Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

VIROLOGI DAN PARASITOLOGI


“Cacing Parasite Usus Golongan Soil Transmitted helminth”

Disusun Oleh;
Diana saputri 170105014

PROGRAM STUDI FARMASI PROGRAM SARJANA


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS HARAPAN BANGSA
2021
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat serta
hidayah-Nya terutama nikmat kesempatan dan kesehatan sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah Virologi dan Parasitologi yang berjudul “Cacing
Parasite Usus Golongan Soil Transmitted Helminth”. Kemudian shalawat beserta
salam kita sampaikan kepada Nabi besar kita Muhammad SAW yang telah
memberikan pedoman hidup yakni al-Qur’an dan sunnah untuk keselamatan
umat di dunia. Terima kasih kepada Dosen yang telah membantu memberikan
arahan dan petunjuk untuk pembuatan makalah ini.
Akhirnya kami menyadari bahwa banyak terdapat kekurangan-
kekurangan dalam penulisan makalah ini, maka dari itu kami mengharapkan
kritik dan saran yang konstruktif dari para pembaca demi kesempurnaan makalah
ini.

Purwokerto, April 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Contents
COVER...............................................................................................................................i
KATA PENGANTAR........................................................................................................ii
DAFTAR ISI.....................................................................................................................iii
BAB I.................................................................................................................................1
A. Latar Belakang.......................................................................................................1
B. Rumusan masalah...................................................................................................2
C. Tujuan....................................................................................................................2
BAB II...............................................................................................................................4
A. Definisi cacing usus dari Soil transmitted helminth................................................4
B. Ascaris Lumbricoides (Cacing Gelang)..................................................................4
C. Trichuris trichiura (Cacing Cambuk)...................................................................10
D. Cacing Tambang / Hookworm (Ancylostoma duodenale dan Nectator
americanus)..................................................................................................................13
BAB III............................................................................................................................19
A. Kesimpulan..........................................................................................................19

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keadaan iklim indonesia yang tropis sangat berpengaruh terhadap

perkembangan penyakit endemik, salah satunya infeksi cacingyang ditularkan

melalui tanah. Berdasarkan keputusan menteri kesehatan Republik Indonesia

nomor 424/Menkes/SK/VI/2006 tentang pedoman pengendalian infeksi cacing

di Indonesia pada umumnya infeksi cacingmasih sangat tinggi, terutama untuk

penduduk golongan ekonomikurang mampu mempunyai resiko tinggi

terjangkit penyakit infeksi cacing (Ambarisa, 2015). Selain itu terdapat

beberapa faktor resiko lain seperti kebersihan perorangan dan sanitasi yang

kurang baik, tingkat pendidikan yang rendah, tingkat kepadatan penduduk

yang tinggi serta kebiasaan hidup yang kurang baik (Noviastuti, 2015).

Infeksi soil transmitted helminth asalah infeksi yang disebabkan oleh

nematode usus yang dalam penularannya memerlukanmedia tanah. Cacing

yang tergolong STH adalah ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura dan

Cacing tambang (ancylostoma doudonale dan nrcator americanus). Infeksi

STH banyak ditemukan pada daerah yang beriklim tropis dan subtropics

seperti Asa Tenggara, karena telur dan larvanya lebih dapat berkembang di

tanah yang hangat dan basah. Indonesia merupakan salah satu Negara

berkembang yang memiliki berbagai faktor risiko untuk dapat menyebabkan

infeksi Soil transmitted helminth (STH) menjadi berkembang, yaitu eperti

1
iklim tropis yang lembab, kebersihan perorangan dan sanitasi yang kurang

baik, tingkat pendidikan dan sosial ekonomi yang rendah, kepadatan

penduduk yang tinggi serta kebiasaan hidup yang kurang baik (Noviastuti,

2015)

Menurut WHO (2012), diperkirakan jumlah penderita infeksi A.

lumbricoides adalah sebanyak 1,2 milyar orang, penderita infeksi T. trichiura

adalah sebanyak 795 juta orang dan penderita infeksi cacing tambang adalah

sebanyak 740 juta orang.4 Diperkirakan lebih dari dua milyar orang yang

terinfeksi cacing di seluruh dunia, sekitar 300 juta orang menderita infeksi

helminth (kecacingan) yang berat, dan sekitar 150.000 diantaranya

menginggal akibat infeksi STH.

B. Rumusan masalah

1. Bagaimana morfologi cacing usus dari soil transmitted helminth?

2. Bagaimana siklus hidup cacing usus dari soil transmitted helminth?

3. Bagaimana patologi dari cacing usus dari soil transmitted helminth?

4. Bagaimana epidemiologi dari cacing usus dari soil transmitted helminth?

5. Bagaimana pencegahan terhadap cacing usus dari soil transmitted

helminth?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui morfologi dari cacing usus dari soil transmitted

helminth

2. Untuk mengetahui siklus hidup dari cacing usus dari soil transmitted

helminth

2
3. Untukmengetahui patologi dari cacing usus dari soil transmitted helminth

4. Untuk mengetahui epidemiologi parasite soil transmited helminth

5. Untuk mengetahui cara pencehagahan terhadap cacing usus dari soil

transmitted helminth

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi cacing usus dari Soil transmitted helminth

Soil Transmitted Helminths adalah sekelompok cacing parasit (kelas

Nematoda) yang dapat menyebabkan infeksi pada manusia melalui kontak

dengan telur ataupun larva parasit itu sendiri yang berkembang di tanah yang

lembab yang terdapat di negara yang beriklim tropis maupun subtropis

(Bethony,et al.2006)

Soil Transmitted Helminth (STH) adalah cacing golongan nematoda

yang memerlukan tanah untuk perkembangan bentuk infektif. Golongan

cacing ini dapat menyebabkan masalah kesehatan pada masyarakat seperti

cacing gelang (Ascaris Lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris Trichiura),

cacing tambang (Ancylostoma doudenale dan Necator americanus) (Widjaja,

2014).

B. Ascaris Lumbricoides (Cacing Gelang)

Di Indonesia cacing Ascaris lumbricoides dikenal sebagai cacing

gelang. Predileksi cacing terdapat didalam lumen usus halus manusia tetapi

dapat juga bermanifestasi ke organ lain (Noviastuti. 2015).

a. Morfologi cacing gelang

Cacing Ascaris lumbricoides berukuran besar, berwarna putih

kecoklatan atau kuning pucat. Cacing jantan mempunyai ukuran 10-31 cm,

ekor melingkar, dan memiliki 2 spikula dengan diameter 2-4 mm.

4
Sedangkan cacing betina mempunyai ukuran 22-35 cm terkadang sampai

39 cm dengan diameter 3-6 mm, ekor lurus pada bagian 1/3 anterior, dan

memiliki cincin kopulasi. Baik cacing jantan, maupun betina memiliki

mulut terdiri atas tiga buah bibir yaitu satu bibir di bagian dorsal dan dua

bibir lainnya terletak subventral. Selain ukurannya lebih kecil dari betina,

cacing jantan mempunyai ujung posterior yang runcing dengan ekor

melengkung ke arah ventral. Bentuk tubuh cacing betina membulat

(conical) dengan ukuran badan yang lebih besar dan lebih panjang

daripada cacing jantan dan bagian ekor yang lurus, tidak melengkung

(Suwarno. 2016)

Gambar 1. Cacing Ascaris lumbricoides betina dan jantan

Cacing Ascaris lumbricoides memiliki 4 macam telur yang dapat

dijumpai di feses, yaitu telur fertilized egg(telur yang dibuahi), telur

unfertilized (telur yang tidak dibuahi), decorticated (telur yang sudah

dibuahi tetapi tidak ada lapisan albuminnya) dan telur infektif (telur yang

mengandung larva). Fertilized egg berbentuk lonjong berukuran 45-70

mikron x 35-50 mikron dengan kulit telur tak berwarna. Unfertilized egg

dapat ditemukan jika dalam usus penderita jika dalam usus penderita

hanya terdapat cacing betina saja. Bentuk telur ini lebih lonjong dan lebih

5
panjang dibanding ukuran fertilized egg dengan ukuran sekitar 80-55

mikron. Telur ini tidak mempunyai rongga di kedua kutubnya (Suwarno.

2016).

Gambar 2. Telur cacing Ascaris lumbriciodes

b. Siklus Hidup

Cacing ini keluar bersama dengan tinja penderita. Jika keluar

cacing yang dibuahi jatuh di tanah yang lembab dan suhunya optimal, telur

akan berkembang menjadi telur yang infektif yang mengandung larva

cacing, untuk menjadi infektif diperlukan pematangan di tanah lembab

selama 20 – 24 hari dengan suhu optimal 300C. Bentuk ini bila tertelan

manusia akan menetas menjadi larva diusus halus, khususnya pada bagian

usus halus bagian atas. Dinding telur akan pecah kemudian larva keluar,

menembus dinding usus halus dan memasuki vena porta hati. Dengan

6
aliran darah vena, larva beredar menuju dinding paru, lalu menembus

masuk dakam alveoli, migrasi larva berlangsung selama 15 hari. Setelah

melalui dinding alveoli masuk ke rongga alveolus, lalu naik ke trachea

melalui bronchiolus dan bronchus. Dari trachea larva menuju ke faring,

sehingga menimbulkan rangsangan batuk, kemudian tertelan masuk dalam

eosofagus menuju ke usus halus, tumbuh menjadi cacing dewasa. Proses

tersebut memerlukan waktu kurang lebih 2 bulan sejak tertelan sampai

menjadi cacing dewasa. Migrasi larva cacing dalam darah mencapai organ

paru disebut “lung migration”. Dua bulan sejak masuknya telur infektif

melalui mulut cacing betina mulai mampu bertelur dengan jumlah

produksi telurnya encapai 300.000 butir perhari (Suwarno. 2016).

Gambar 3. Siklus hidup Ascaris lumbricoides

c. Patologi

Gejala klinis yang timbul dari Ascariasis tergantung dari

beratnya infeksi, keadaan umum penderita, daya tahan, dan kerentanan

penderita terhadap infeksi cacing ini (Natadisastra. 2012). Gejala klinis

yang timbul bervariasi, bisa dimulai dari gejala yang ringan seperti batuk

7
sampai dengan yang berat seperti sesak nafas dan perdarahan. Gejala yang

timbul pada penderita Ascariasis berdasarkan migrasi larva dan

perkembangbiakan cacing dewasa, yaitu Anak yang menderita Ascariasis

akan mengalami gangguan gizi akibat malabsorpsi yang disebabkan oleh

cacing dewasa Ascaris lumbricoides perhari dapat menyerap 2,8 gram

karbohidrat dan 0,7 gram protein, sehingga pada anak-anak dapat

memperlihatkan gejala berupa perut buncit, pucat, lesu, dan rambut yang

jarang (Natadisastra. 2012). Penderita Ascariasis juga dapat mengalami

alergi yang berhubungan dengan pelepasan antigen oleh Ascaris

lumbricoides dalam darah dan kemudian merangsang sistem imunologis

tubuh sebagai defence mechanism dengan gejala berupa asma bronkial,

urtikaria, hipereosinofilia, dan sindrom Loeffler (Alcantara dkk. 2010).

d. Epidemiologi

Askariasis merupakan infeksi yang paling umum terjadi di

seluruh dunia, biasa terjadi di daerah tropis dan subtropis di mana sanitasi

dan kebersihan buruk. Sekitar 1,5 miliar orang terinfeksi Askaris pada

tahun 2002. Kasus pada anak lebih sering terjadi dibandingkanpada orang

dewasa, yaitu dengan kelompok usia yang paling umum antara 3-8 tahun.

Status gizi buruk: infeksi yang lebih serius Askariasis mungkin ada

sebagai infeksi zoonosis yang terkait dengan babi dan penggunaan kotoran

babi. Orang yang memelihara babi atau menggunakan kotoran babi

sebagai pupuk mungkin berisiko terinfeksi Infeksi Ascaris suum. Kontak

dengan babi harus diselidiki sebagai penyebab potensial setelah diagnosis

8
askariasis. Di sebagian besar daerah endemis, kemungkinan besar

ditularkan dari orang ke orang. Penularan infeksi Ascaris lumbricoides

kepada orang lain di lingkungan masyarakat dapat dicegah dengan tidak

buang air besar di luar ruangan dan sistem pembuangan limbah yang

efektif (Kusumasari, 2029).

e. Pencegahan terhadap cacing Ascaris lumbricoides

Berdasarkan kepada siklus hidup dan sifat sel telur cacing ini,

yakni upaya pencegahannya dapat dilakukan dengan sanitasi yang baik

dan tepat guna, hygiene keluarga dan hygiene pribadi seperti:

1. Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk tanaman

2. Sebelum melakukan persiapan makanan dan hendak makan, cuci

tangan terlebih dahulu dengan menggunakan sabun dan air mengalir

3. Bagi yang mengkonsumsi sayuran segar atau mentah sebagai lalapan,

henfdaklah dicuci bersih dengan air mengalir

4. Mengadakan terapi masalsetiap 6 bulan sekali didaerah endemic

ataupun didaerah yang rawab terhadap penyakit askariasis

5. Memberi penyuluhan tentang sanitasi lingkungan

6. Melakukan usaha aktif dan preventif untuk dapat mematahkan siklus

hidup cacing, misalnya memakai jamban/WC

7. Makan makanan yang dimasak saja

8. Menghindari sayuran mentah dan selada di daerah yang menggunakan

tinja sebagai pupuk.

9
Karena telur cacing ascari dapat hidup didalam tanah selama

bertahun – tahun, pencegahan dam pembrantasan di daerah endemic

adalah sulit (Ariwati. 2017).

C. Trichuris trichiura (Cacing Cambuk)

Trichiuriasis merupakan penyakit yang disebabkan oleh

Trichuris trichiura, salah satu cacing yang dalam kelompok STH. Cacing

ini mempunyai tubuh mirip cambuk, sehingga cacing ini disebut cacing

cambuk (whipworm). Cacing cambuk tersebar luas di daerah tropis di

daerah berhawa panas, lembab dan hanya dapat ditularkan dari manusia ke

manusia melalui Fecal oral transmission atau melalui makanan yang

terkontaminasi tinja. Prevalensi cacingan ini di Indonesia bervariasi antara

60-90% cacing Trichuris trichiura dewasa meletakan diri pada mukosa

usus penderita, terutama di daerah sekum dan kolon, dengan

membenamkan kepalanya di dalam dinding usus. Meskipun demikian

cacing ini dapat ditemukan hidup di apendiks dan ileum bagian distal

(Sumanto, 2013).

a. Morfologi

Cacing Trichuris trichiura memiliki bentuk sangat khas,

mirip cambuk dengan tiga per lima panjang tubuh bagian anterior

berbentuk langsing seperti tali cambuk, sedangkan dua per lima bagian

10
tubuh posterior lebih tebal mirip pegangan cambuk. Cacing jantan

memiliki panjang 30-45 mm, bagian posterior melengkung kedepan

sehingga membentuk satu lingkaran penuh. Pada bagian posterior ini

terdapat satu spikulum yang keluar melalui selaput retraksi cacing

betina panjangnya 30- 50 mm ujung posterior tubuhnya membulat

tumpul. Organ kelamin tidak berpasangan dan berakhir di vulva yang

terletak pada tempat tubuhnya mulai menebal. Telur berukuran 50x25

mikron, memiliki bentuk seperti tempayan, pada kedua tutupnya

terdapat operculum yaitu semacam penutup yang jernih dan menonjol.

Dinding telur terdiri atas dua lapis, bagian dalam berwarna jernih

bagian luar berwarna kecoklatan. Dalam sehari, 1 ekor cacing betina

dapat menghasilkan 3.000-4.000 telur (Suwarno. 2016).

Gambar 4. Cacing dan telur Trichuris trichiura

b. Siklus Hidup

Telur yang keluar bersama tinja dalam keadaan belum

matang, tidak infektif. Telur ini perlu pematangan dalam tanah selama

3-5 minggu sampai terbentuk telur infektif yang berisi embrio di

dalamnya. Jika telur yang infektif tertelan oleh manusiamaka di dalam

11
usus halus dinding telur pecah dan larva keluar menuju sekum lalu

berkembang menjadi cacing dewasa. Pada bagian proksimal usus

halus, telur menetas keluar larva dan menetap 3-10 hari. Setelah

dewasa cacing akan turun ke usus besar dan menetap selama beberapa

tahun. Waktu yang diperlukan sejak telur infektif tertelan sampai

cacing betina menghasilkan telur adalah 30-90 hari. Cacing Trichuris

trichiura dewasa dapat hidup beberapa tahun lamanya di dalam usus

manusia (Suwarno. 2016).

Gambar 5. Siklus hidup Trichuris trichiura

c. Patologi

Infeksi ringan tidak menyebabkan gejala klisnis yang khas.

Pada infeksi berat dan menahun menyebabkan disentri, prolapses rekti,

apendesitis, anemia berat, mual dan muntah. Disentri yang terjadi

dapat menyerupai amebiasis. Infeksi pada umumnya ringan sampai

sedang dengan sedikit atau tanpa gejala. Perkembangan larva trichuris

dalam usus biasanya tidak memberikan gejala klinik yang berarti

walaupun dalam sebagian masa perkembangan larva memasuki

mukosa intestinum tenue. Proses yang berperan dalam menimbulkan

12
gejala yaitu trauma oleh cacing dan dampak toksik. Trauma pada

dinding usus terjadi karena cacing ini membenamkan kepalanya pada

dinding usus. Cacing ini biasanya menetap pada sektum. Pada infeksi

yang ringan kerusakan dinding mukosa usus hanya sedikit (Suwarno.

2016).

d. Epidemiologi

Infeksi sering terjadi pada masyarakat rural yang miskin

dimana fasilitas sanitasi tidak ada. Infeksi terbanyak pada anak – anak,

mereka terkontaminasi tanah tempat mereka bermain. Dapat terjadi

reinfeksi pada mereka melalui telur dari tanah ke mulut. Telur tidak

dapat bertahan dalam suasana kering atau dingin sekali.

e. Pencegahan

Untuk mencegah terjadinya penyakit ini perlu diperhatikan

hal – hal berikut:

1. Hindari sayuran yang belum dicuci

2. Gunakan jamban yang bersih atau pembuangan tinja yang

memenuhi syarat

3. Tingkatkan kebersihan individu

D. Cacing Tambang / Hookworm (Ancylostoma duodenale dan Nectator

americanus)

Infeksi cacing hookworm banyak ditemukan di negara tropis dan

sub tropis yang bersuhu tropis dan mempunyai kelembaban tinggi. Cacing

13
Ancylostoma duodenale menimbulkan ankilostomiasis, cacing dewasa

Nectator americanus menimbulkan nekatoriasis. Cacing Nectator

americanus ditemukan terutama di beberapa negara barat dan juga negara-

negara tropis seperti Afrika, Asia Tenggara, Indonesia, Australia,

kepulauan pasafik, dan beberapa bagian amerika. Cacing Ancylostoma

duodenale tersebar terutama di mediterania, Asia utara, India utara, Cina

dan Jepang. Infeksi ini banyak dijumpai pada pekerja tambang. Cacing

hookworm dewasa hidup dalam usus halus terutama di jejenum dan

duodenum manusia dengan cara menggigit membran mukosa

menggunakan giginya dan menghisap darah yang keluar dari luka gigitan

(Suwarno. 2016).

Infeksi hookworm menunjukkan gejala seperti kekurangan zat

besi. Pada anemia defisiensi besi ini yang berlangsung terus menerus

menunjukkan kekuranagan darah disertai infeksi usus kronis. Parasit

memakan sel darah dan akan mengakibatkan kekurangan darah dapat

berlangsug terus menerus (Suwarno. 2016).

a. Morfologi

Cacing hookworm dewasa memiliki bentuk silindris

berwarna keabuan dengan ukuran panjang cacing betina sampai 9-13

mm, sedangkan cacing jantan berukuran antara 5- 11 mm. Pada ujung

posterior cacing jantan terdapat bursa kopulatris yang merupakan suatu

alat bantu kopulasi. Cacing hookworm dapat dibedakan morfologinya

berdasarkan bentuk tubuh, rongga mulut (buccal capsule) dan bursa

14
kopulatriksnya. Nectator americanus menyerupai bentuk S sedangkan

Ancylostoma duodenale menyerupai bentuk C. Nectator americanus

memiliki buccal capsule sempit, pada dinding ventral terdapat

sepasang benda pemotong berbentuk bulan sabit (semilunar cutting

plate) sedangkan sepasang lagi kurang nyata berada di dinding dorsal.

Ancylostoma duodenale memiliki buccal capsule yang lebih besar

dibandingkan Nectator americanus, memiliki dua pasang gigi ventral

yang runcing (triangular cutting plate) dan sepasang gigi dorsal

rudimenter (Suwarno. 2016).

Pada pemeriksaan tinja di bawah mikroskop sinar bentuk

telur berbagai spesies cacing tambang mirip satu dengan yang lainnya,

sehingga sulit dibedakan. Telur berbentuk oval tidak berwarna,

berukuran 40- 60 m. Bentuk Nectator americanus tidak dapat

dibedakan dari Ancylostoma duodenale. Jumlah telur per hari yang

dihasilkan seekor cacing betina Nectator americanus sekitar 9.000-

10.000 sedangkan pada Ancylostoma duodenale 10.000-20.000.

Cacing hookworm mempunyai dua stadium larva yaitu larva

rhabditiform yang tidak infektif dan larva filariform yang infektif.

Larva rhabditiform bentuknya agak gemuk dengan panjang sekitar 250

mikron, sedangkan larva filariform yang berbentuk langsing panjang

tubuhnya sekitar 600 mikron. Selain itu bentuk rongga mulut (buccal

cavity) larva rhabditiform tampakmjelas, sedangkan pada filariform

tidak sempurna sudah mengalami kemunduran. Esofagus larva

15
rhabditiform pendek ukurannya dan membesar di bagian posterior

sehingga berbentuk bola (bulbus eosophagus). Eosofagus larva

filariform lebih panjang dibanding ukuran panjang larva rhabditiform

(Suwarno. 2016).

Gambar 6. Telur cacing hookworn

b. Siklus hidup

Daur hidup hookworm hanya membutuhkan satu hospes

defenitif yaitu manusia. Tidak ada hewan yang bertindak sebagai

hospes reservoir. Telur keluar bersama tinja pada tanah yang cukup

baik, suhu optimal 23-33°C, dalam 24-48 jam akan menetas, keluar

larva rhabditiform berukuran (250-300) x 17 m. Mulut larva ini

terbuka dan aktif makan sampah organik atau bakteri pada tanah

sekitaran tinja. Setelah berganti kulit dua kali, larva rhabditiform

dalam waktu seminggu berkembang menjadi larva filariform yang

tidak infektif yang tidak dapat makan di tanah. Larva filariform

mempunyai bentuk lebih kurus dan panjang dibandingkan larva

rhabditiform. Larva filariform mencari hospes yaitu manusia yang

selanjutnya akan menginfeksi kulit mausia, pembuluh darah dan limfe

16
selanjutnya masuk kedalam darah mengikuti aliran darah menuju

jantung dan paru-paru. Kemudian menembus dinding kapiler masuk ke

dalam alveolus. Sesudah berganti kulit dua kali larva cacing

mengadakan migrasi ke bronki, trakea dan faring akhirnya tertelan

masuk dalam saluran eosofagus. Di dalam eosofagus larva berganti

kulit untuk ketiga kalinya, migrasi larva berlangsung sekitar 10 hari.

Dari eosofagus larva masuk ke usus halus berganti kulit yang keempat

kalinya lalu tumbuh menjadi cacing dewasa jantan dan betina. Dalam

satu bulan cacing betina sudah mampu bertelur untuk melanjutkan

keturunannya (Suwarno. 2016).

Gambar 7. Siklus hidup hookworn

c. Patologi

Pada waktu larva filariform menembus kulit penderita larva

cacing menimbulkan dermatitis dengan gatal – gatal yang hebat.

Sedangkan larva cacing tambang yang beredar didalam darah akan

menimbulkan bronchitis dan reaksi alergi yang ringan.

d. Epidemiologi

17
Sekitar 900 juta manusia saat ini terinfeksi, 50.000–60.000

per tahun meninggal karena penyakit parasitic ini. Ancylostoma

duodenale, umumnya dikenal sebagai cacing tambang Dunia Lama,

berlaku di negara-negara subtropis Dunia Lama (Timur Tengah, Afrika

Utara, India, dan sebelumnya Eropa Selatan) dan N. americanus

mendominasi di daerah tropis (Amerika, Afrika sub-Sahara, Asia

Tenggara, Cina, dan Indonesia) (Kusumasari, 2019).

e. Pencegahan

Di daerah endemis Ancylostoma duodenale dan Nectator

americanus penduduk sering mengalami reinfeksi. Infeksi baru

maupun reinfeksi dapat dicegah dengan memberikan obat cacing

kepada penderita dan sebaiknya juga dilakukan pengobatan masal pada

seluruh penduduk di daerah endemis. Pendidikan kesehatan diberikan

pada penduduk untuk membuat jamban pembuangan tinja yang baik

untuk mencegah pencemaran tanah, dan jika berjalan di tanah selalu

menggunakan alas kaki untuk mencegah terjadinya infeksi pada kulit

oleh larva filariform cacing tambang (Safar, 2010).

18
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Infeksi kecacingan tergolong penyakit negleeted diseases yaitu

infeksi yang kurang diperhatikan dan bersifat kronis tanpa menimbulkan

gejala klinis yang jelas dan dampak yang ditimbulkan baru terlihat dalam

jangka panjang. Soil Transmitted Helminth (STH) merupakan jenis cacing

yang infeksinya dapat ditularkan melalui tanah. Jenis cacing STH yang sering

ditemukan menimbulkan infeksi adalah cacing gelang (Ascaris Lumbricoides),

cacing cambuk (Trichuris Trichiura), dan cacing tambang (Anciolostoma

Duodenale dan Necator Americanus). Beberapa dampak yang disebabkan oleh

infeksi cacing tersebut adalah kekurangan gizi, gangguan tumbuh kembang

dan gangguan kognitif pada anak. Apabila terjadi pada orang dewasa akan

menurunkan produktivitas kerja.

Untuk pencegahannya sendiri kita harus menjaga kebersihan diri,

sanitasi keluarga dan lingkungan, sebelum makan dan sesudah makan cuci

tangan terlebih dahulu menggunakan air mengalir, dan untuk sayuran mentah

sebgai lalapan dicuci hingga bersih menggunakan air mengalir.

19
DAFTAR PUSTAKA

Alcantara-Neves NM, Badaro SJ, Santos MCA, Carvalho L, Barreto ML. 2010.
The Presence of Serum Anti-Ascaris lumbricoides IgE Antibodies and of
Trichuris trichiura Infection are Risk Factors for Wheezing and/or Atopy
in Preschool-Aged Brazilian Children. BioMed Central, 11(114):111- 114.

Ariawati L.N. 2017. Infeksi Ascaris lumbricoides. FK Universitas Udaya. Bali

Bethony J, dkk. 2006. Soil Transmitted Helminth Infection: Ascariasis,


Trichuriasis, and Hookworm. Lancer

Kusumasari R. 2019. Infeksi cacing tambang atau Hookworm (Cutaneous Lrva


Migrans). Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada [Diakses April 2021]
tersedia dari: Infeksi cacing tambang atau Hookworm (Cutaneous Larva
Migrans) – Parasitologi Kedokteran UGM

Natadisastra D, Agoes R. Parasit Kedokteran di tinjau dari organ tubuh yang


diserang. EGC; 2012; 69-86.

Noviastuti AR. 2015. Soil Transmitted Helminth Infection. Lampung : Fakultas


kedokteran.

Safar R. 2010. Parasitologi Kedokteran : Protozoologi, Helmintologi, Entomologi,


Cetakan I, Yrama Widya, Bandung

Sumanto, 2013. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis Edisi Ke 2. Bagian
Penerbit IDAI, Jakarta.

Suwarno dkk. 2016. Gambaran Basofil, TNF-α dan IL-9 pada petani terinfeksi.
Jurnal Biosains Pascasarjana. No. 3(18)

WHO. Weekly epidemiological record. Geneva, Wolrd Health Organization;


2012. [Diakses april 2021] tersedia dari:
http://www.who.int/topics/helminthiasi s/en/

20

Anda mungkin juga menyukai