Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH BIOMEDIK II

NEMATODA USUS DAN JARINGAN

Dosen Pengampu

Wiya Elsa Fitri, M.Si

Disusun Oleh

Arini Putri. M 2103032 Sabrina Angelika.S 2103041

Hafizah Putri 2103032 Syalsa Seruan 2103042

Nofira Dona. S 2103037 Wahyuda Delia M. R 2103004

PROGRAM STUDI S1 KESEHATAN MASYARAKAT

SEKOLAH TINGGI KESEHATAN SYEDZA SAINTIKA

PADANG

2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat
dan karuniaNya kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.
Adapun judul dari makalah ini yaitu “Nematoda Usus dan Jaringan”.

Pada kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-


besarnya kepada dosen mata kuliah Biomedik II, Bu Wiya Elsa Fitri, M. Si, yang
telah memberikan tugas terhadap kami. Kami juga ingin mengucapkan terima kasih
kepada pihak - pihak yang turut membantu dalam proses pembuatan makalah ini.

Kami menyadari makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu,
keterbatasan waktu dan kemampuan kami, maka kritikan dan saran dari para
pembaca sangat kami harapkan. Semoga makalah ini dapat berguna bagi penulis
dan para pembaca.

Padang, 15 Maret 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

JUDUL
KATA PENGANTAR ............................................................................................ i

DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

A. Latar belakang .............................................................................................. 1

B. Rumusan masalah......................................................................................... 1

C. Tujuan .......................................................................................................... 2

D. Manfaat ........................................................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................... 3

A. Nematoda Usus ............................................................................................ 3

B. Jenis – jenis Soil Transmitted Helmint ........................................................ 4

C. Jenis NonSoil Transmitted Helmint ........................................................... 12

D. Nematoda Jaringan ..................................................................................... 14

E. Praktikum Pemeriksaan Tinja Atau Tanah ................................................ 21

BAB III PENUTUP ............................................................................................. 25

A. Kesimpulan ................................................................................................ 25

B. Saran ........................................................................................................... 25

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 26

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Nemathelminthes berasal dari kata Yunani, nematos yang berarti
benang dan helminthes yang artinya cacing atau cacing benang. Cacing ini
juga sering disebut cacing gilik. Cacing yang termasuk dalam filum ini sangat
banyak, sehingga dalam tanah, halaman terdapat jutaan jumlahnya, namun
demikian peluang untuk melihatnya sangat kecil. Hal ini disebabkan karena
ukurannya sangat kecil seperti benang (Irianto, 2013).

Nematoda mempunyai bentuk tubuh yang bulat panjang, silindris,


filariform, tidak bersegmen, dan bilateral simetris. Cacing ini memiliki
rongga tubuh (body cavity), dan tubuhnya tertutup oleh kutikulum. Ukuran
panjang tubuhnya sangat bervariasi, antara 2 mm – 1 meter. Alat
pencernaanya telah lengkap, tetapi sistem saraf dan sistem ekskresinya belum
sempurna.

B. Rumusan masalah
Dengan latar belakang yang telah disampaikan sebelumnya, bahwa dalam makalajh
ini akan membahas mengenai, yaitu:

• Apa saja yang menjadi bagian filum nematoda?


• Apa yang membedakan nematoda usus dan jaringan?
• Bagaimana perbedaan dalam nematoda usus, antara soil transmitted helmint
dan non soil transmitted helmint?
• Apa saja jenis-jenis nematoda usus dan jaringan?
• Apa nama lain, morfologi, patogenesis, dan pencegahan dari suatu penyakit
akibat parasit jenis nematoda?
• Bagaimana prosedur pratikum pemeriksaan tinja atau tanah?

1
C. Tujuan
Adapun tujuan yang ingin dicapai agar para pembaca dapat:

• Mengetahui apa saja yang menjadi bagian filum nematoda


• Mampu membedakan nematoda usus dan jaringan
• Memahami perbedaan dalam nematoda usus, antara soil transmitted helmint
dan non soil transmitted helmint
• Mengetahui apa saja jenis-jenis nematoda usus dan jaringan
• Mengetahui dan memahami nama lain, morfologi, patogenesis, dan
pencegahan dari suatu penyakit akibat parasit jenis nematoda
• Memahami prosedur pratikum pemeriksaan tinja atau tanah

D. Manfaat
Dengan adanya penulisan makalah ini diharapkan mampu menjadi
bahan ajar dan referensi dalam pembelajaran terkait topik nematoda. Selain
itu, dapat menjadi sumber pengetahuan karena bahasa yang digunakan mudah
dipahami masyarakat umum.

2
BAB II
PEMBAHASAN
Klasifikasi Nematoda dilakukan berdasarkan habitat dan daur hidupnya:
nematoda usus, cacing dwasanya hidup di rongga usus dan nematoda jaringan
adalah nematoda yang cacing dewasanya hidup di jaringan berbagai alat tubuh.

A. Nematoda Usus
Faktor penunjang keberadaan filum ini antara lain keadaan alam serta
iklim, sosial, ekonomi, pendidikan, kepadatan penduduk serta masih
berkembangnya kebiasaan yang kurang baik. Berdasarkan fungsi tanah pada
siklus hidup cacing ini, nematoda usus dibagi atas dua kelompok yaitu (Safar,
2010):

1. Soil Transmitted Helmint (STH)


Biasanya cacing yang ditularkan melalui tanah adalah cacing yang
dalam siklus hidupnya memerlukan stadium hidup di tanah untuk
berkembang menjadi bentuk infeksi bagi manusia. Tanah yang
terkontaminasi oleh telur cacing semakin meluas terutama di sekitar rumah
pada penduduk yang mempunyai kebiasaan membuang tinja di sembarang
tempat, hal ini akan memudahkan terjadinya penularan pada masyarakat.
Tanah merupakan hospes perantara atau tuan rumah sementara tempat
perkembangan telur-telur atau larva cacing sebelum dapat menular dari
seorang terhadap orang lain. Jenis-jenis STH antara lain Ascaris
lumbricoides, Trichuris trichiura, Necator americanus (Hookworm),
Anclylostoma duodenale, dan Strongyloides stercoralis (Safar, 2010).
2. Non-Soil Transmitted Helmint
Merupakan nematoda usus yang di dalam siklus hidupnya tidak
membutuhkan tanah, ada 3 jenis spesies yang termasuk kelompok ini yaitu:
Enterobius vermicularis (cacing kremi) menimbulkan enterobiasis dan
Trichnella spiralis dapat menimbulkan Trichinosis serta parasit yang
paling baru ditemukan yaitu Cappilaria phillipinensis (Safar, 2010).

3
B. Jenis – jenis Soil Transmitted Helmint
1. Ascraris lumbricoides
Nama lain: Cacing gelang/bulat
Hospes: Manusia
Habitat: hidup dan berkembang dalam usus manusia
Distribusi: melalui mulut (per oral) tertelan telur infektif
a. Morfologi
Cacing dewasa merupakan Nematoda usus terbesar, berwarna
putih, kekuningan sampai merah muda, sedangkan pada cacing mati
akan berwarna putih. Badan bulat memanjang, kedua ujung lancip,
bagian anterior lebih tumpul daripada posterior. Pada bagian anterior
terdapat mulut dengan tiga lipatan bibir (1 bibir di dorsal dan 2 di
ventral), pada bibir, tepi lateral terdapat sepasang papil peraba
(Natadisastra, 2009).
Cacing jantan, memiliki ukuran panjang 10-30 cm, bagian
posterior melengkung ke depan; terdapat kloaka dengan 2 spikula
yang dapat ditarik. Cacing betina, berukuran panjang 22-35 cm, vulva
membuka ke depan pada 2/3 bagian posterior tubuh terdapat
penyempitan lubang vulva yang disebut sebagai cincin kopulasi.
Seekor cacing betina menghasilkan telur 100.000-200.000 butir
sehari, dapat berlangsung selama hidupnya kira kira 6-12 bulan.
Untuk menjadi infektif diperlukan pematangan di tanah yang lembab
dan teduh selama 20-24 hari dengan suhu optimum 30°C.
b. Siklus hidup
Telur cacing yang telah dibuahi yang keluar bersama tinja
penderita, di dalam tanah yang lembap dan suhu yang optimal akan
berkembang menjadi telur infektif yang mengandung larva cacing.
Infeksi terjadi dengan masukna telur cacing yang infektif ke dalam
mulut melalui makanan atau minuman yang tercemar tanah yang
mengandung tinja penderita askariasis. Dalam usus halus bagian atas
dinding telur akan pecah sehingga larva dapat keluar, untuk

4
selanjutnya menembus dinding usus halus dan memasuki vena porta
hati. Bersama aliran darah vena, larva akan beredar menuju jantung,
paru-paru, lalu menembus dinding kapiler masuk ke dalam alveoli.
Masa migrasi ini berlangsung sekitar 15 hari. Dari alveoli larva
cacing merangkak ke bronki, trakea dan laring, untuk selanjutnya
masuk ke faring, usofagus, turun ke lambung akhirnya sampai ke usus
halus. Sesudah berganti kulit, larva cacing akan tumbuh menjadi
cacing dewasa. Sirkulasi dan migrasi larva cacing dalam darah
tersebut disebut “long migration”. Dua bulan sejak infeksi (masuknya
telur infektif per oral) terjadi, seekor betina mulai mampu bertelur,
yang jumlah produksi telurnya dapat mencapai 200.000 butir per hari
(Soedarto, 2008).
c. Patogenesis
Cacing dewasa yang berada di dalam usus dan larva cacing yang
beredar melalui aliran darah, menimbulkan perubahan patologis pada
penderita. Migrasi larva cacing di paru-paru dapat menimbulkan
pneumonia dengan gejala berupa demam, batuk, sesak dan dahak
berdarah. Penderita juga mengalami urtikaria dan terjadi gambaran
eosinofili sampai 20%. Pneumonia disertai gejala alergi ini disebut
sebagai Sindrom loeffler atau Ascaris pneumonia. Pada infeksi berat
(hiperinfeksi), terutama pada anak-anak dapat terjadi gangguan
pencernaan dan penyerapan protein sehingga penderita mengalami
gangguan pertumbuhan dan anemia akibat kurang gizi.
Cairan tubuh cacing yang toksik dapat menimbulkan gejala mirip
demam tifoid, disertai tanda-tanda alergi misalnya urtikaria, edema
pada wajah, konjungtivitis dan irirtasi pernapasan bagian atas. Pada
manusia cacing dewasa dapat menimbulkan berbagai akibat mekanik,
yaitu obstruksi usus, intususepsi, dan perforasi ulkus yang ada di usus.
Selain itu cacing dewasa dapat melakukan migrasi ke organ-organ di
luar usus (askariasis ektopik), misalnya ke lambung, usofagus, mulut,
hidung, rima glottis atau bronkus, sehingga menyumbat pernapasan

5
penderita. Juga dapat terjadi sumbatan saluran empedu, apendisitis,
abses hati, dan pankreatitis akut (Soedarto, 2008).
d. Pencegahan
Penularan Ascaris lumbricoides dapat terjadi secara oral, maka
sebagai pencegahannya menghindarkan tangan dalam keadaan kotor,
karena kemungkinkan adanya kontaminasi dari telur-telur Nematoda
usus, dan membiasakan mencuci tangan sebelum makan. Menghidari
sayuran yang mentah yang tidak dimasak terlebih dahulu dan jangan
membiarkan makanan terbuka begitu saja, sehingga debu-debu yang
beterbangan dapat mengkontaminasi makanan tersebut ataupun
dihinggapi serangga di mana terbawa telur-telur tersebut. Untuk
menekan volume dan lokasi dari aliran telur-telur melalui jalan ke
penduduk, maka pencegahannya dengan mengadakan penyaluran
pembuangan feses yang teratur dan sesuai dengan syarat pembuangan
kotoran yang memenuhi aturan kesehatan dan tidak boleh mengotori
air permukaan, untuk mencegah agar tanah tidak terkontaminasi telur-
telur Ascaris lumbricoides. Mengingat prevalensi yang tinggi pada
golongan anak-anak maka perlu diadakan pendidikan di sekolah-
sekolah mengenai cacing Ascaris lumbricoides. Dan dianjurkan untuk
membiasakan mencuci tangan sebelum makan, mencuci makanan dan
memasaknya dengan baik, memakai alas kaki terutama di luar rumah.
Ada baiknya di desa-desa diberi pendidikan dengan cara peragaan
secara audio visual, sehingga dengan cara ini mudah dapat dimengerti
oleh mereka. Untuk melengkapi hal di atas perlu ditambah dangan
penyediaan sarana air minum dan jamban keluarga, sehingga
sebagaimana telah menjadi program nasional, rehabilitasi sarana
perumahan juga merupakan salah satu perbaikan keadaan sosial-
ekonomi yang menjurus kepada perbaikan hygine dan sanitasi. Cara-
cara perbaikan tersebut adalah sebagai berikut:

6
1. Buang air selalu di jamban dan menggunakan air untuk
membersihkannya.
2. Memakan makanan yang sudah dicuci dan dipanaskan serta
menggunakan sendok garpu dalam waktu makan dapat mencegah
infeksi oleh telur cacing.
3. Anak-anak dianjurkan tidak bermain di tanah yang lembap dan
kotor.
4. Halaman rumah selalu dibersihkan. (Irianto, 2013)

2. Trichuris trichiura
Nama lain: Cacing cambuk
Hospes: Manusia
Habitat: hidup di dalam kolon, ditemukan di daerah panas dan lembab,
seperti Indonesia.
Distribusi: tertelan telur infektif (per oral)
a. Morfologi
Cacing dewasa berbentuk cambuk, dengan bagian anterior yang
merupakan tiga per lima panjang tubuh berbentuk langsing seperti tali
cambuk, sedangkan dua perlima bagian tubuh posterior lebih tebal
mirip pegangan cambuk. Cacing jantan panjangnya sekitar 4 cm dan
cacing betina 5 cm. Bagian ekor cacing jantan melengkung ke arah
ventral, mempunyai satu spikulum yang berselubung retrakil. Bagian
kaudal cacing betina membulat tumpul seperti koma (Soedarto, 2008).
Telur cacing khas bentuknya, berwarna coklat mirip biji melon. Telur
yang berukuran sekitar 50 x 25 mikron ini mempunyai dua kutub
jernih yang menonjol (Soedarto, 2008). Setiap hari dapat dihasilkan
telur sekitar 3.000-10.000. Telurtelur yang telah dibuahi tidak
bersegem waktu dikeluarkan (Gambar 2.3). Pertumbuhan telur ini
berlangsung baik di daerah panas, dengan kelembapan tinggi terutama
ditempat yang terlindungi (Irianto, 2013).

7
b. Siklus hidup
Infeksi terjadi jika manusia tertelan telur cacing yang infektif,
sesudah telur mengalami pematangan di tanah dalam waktu 3-4
minggu lamanya (Soedarto, 2008). Selanjutnya dibagian proksimal
usus halus, telur menetas, keluar larva menetap selama 3-10 hari.
Setelah dewasa, cacing akan turun ke usus besar dan menetap dalam
beberapa tahun. Jelas sekali bahwa larva tidak mengalami migrasi
dalam sirkulasi darah ke paru-paru. Waktu yang diperlukan sejak telur
infektif tertelan sampai cacing betina menghasilkan telur, 30-90 hari.
Seperti juga pada Ascaris lumbricoides, siklus hidup Trichuris
trichiura merupakan siklus langsung karena keduanya tidak
membutuhkan tuan rumah perantara (Gambar 2.4) (Rusmartini,
2009).
c. Patogenesis
Cacing dewasa yang menembus dinding usus menimbulkan
trauma dan kerusakan pada jaringan usus. Selain itu cacing
menghasilkan toksin yang menimbulkan iritasi dan peradangan. Pada
infeksi ringan dengan beberapa ekor cacing, todak tampak gejala atau
keluhan penderita. Tetapi pada infeksi yang berat, penderita akan
mengalami gejala dan keluhan berupa:
1. Anemia dengan hemoglobin yang dapat >3%
2. Diare berdarah
3. Nyeri perut
4. Mual dan muntah
5. Berat badan menurun
6. Kadang-kadang terjadi prolaps dari rectum yang melalui
pemeriksaan proktoskopi dapat dilihat adanya cacing-cacing dewasa
pada kolon atau rektum penderita.

8
d. Pencegahan
Pecegahan penularan trikuriasis dilakukan melalui pengobatan
penderita atau pengobatan massal untuk terapi pencegahan terhadap
terjadinya reinfeksi di daerah endemis. Memperbaiki hiegine sanitasi
perorangan dan lingkungan, agar tidak terjadi pencemaran lingkungan
oleh tinja penderita, misalnya membuat WC atau jamban yang baik di
setiap rumah. Memasak makanan dan minuman dengan baik dapat
membunuh telur infektif cacing (Soedarto, 2008).

3. Necator americanus dan Ancilostoma duodenale


Nama lain: Cacing Tambang
Hospes: Manusia
Habitat: di tanah yang lembab, hangat, dan terhindar dari sinar matahari
langsung.
Distribusi: larva infektif/larva filari menembus kulit
a. Morfologi
Cacing dewasa berbentuk silidris dengan ujung anterior
melengkung tajam ke arah dorsal ( seperti huruf ‘S’), berwarna kuning
keabu-abuan atau sedikit kemerahan. Cacing jantan panjangnya 7-9
mm dan diameternya 0,3 mm, sedangkan betina panjangnya 9-11 mm
dengan diameternya 0,4 mm. Rongga mulut terdapat bentukan
semilunar cutting plate, ujung posterior cacing jantan terdapat bursa
kopulatrix (bursa copultrix) dan sepasang spikula, ujung posterior
betina runcing, vulva terletak di bagian tengah tubuh. Necator
americanus ukuran tubuh cacing dewasa lebih kecil dan langsing dari
Ancylostoma duodenale.
Ancylostoma duodenale berbentuk silindris dan relatif gemuk,
terdapat lengkungan cervical kea rah dorso-anterior (seperti huruf
‘C’), berwarna merah muda atau cokelat muda keabu-abuan. Cacing
jantan panjangnya 8-11 mm dan diameternya 0,4-0,5 mm, sedangkan
betina 10-13 mm dan diameternya 0,6 mm. Di rongga mulut terdapat

9
sepasang gigi ventral, gigi sebelah luar ukurannya lebih besar. Ujung
posterior cacing betina tumpul, cacing jantan mempunyai bursa
kopulatix.
b. Siklus hidup
Manusia merupakan satu-satunya hospes definitif Necator
americanus maupun Acylostoma duodenale. Telur yang keluar dari
usus penderita dalam waktu 2 hari akan tumbuh di tanah menjadi larva
rhabditiform (tidak infektif). Sesudah berganti kulit dua kali, larva
rhabditiform dalam waktu satu minggu akan berkembang menjadi
larva filariform yang infektif.
Lung migration. Larva filariform akan menembus kulit sehat
manusia memasuki pembuluh darah dan limfe, beredar di dalam aliran
darah, masuk ke jantung kanan, lalu masuk ke dalam kapiler paru.
Larva menembus dinding kapiler masuk ke dalam alveoli. Larva
cacing kemudian mengadakan migrasi ke bronki, trakea, laring dang
faring, akhirnya tertelan masuk ke esofagus. Di esofagus larva
berganti kulit untuk yang ke tiga kalinya migrasi larva berlangsung
sekitar 10 hari. Dari esofagus larva masuk ke usus halus, berganti kulit
yang ke empat kalinya, lalu tumbuh menjadi cacing dewasa. Dalam
waktu satu bulan, cacing betina sudah mampu bertelur (Gambar 2.6)
(Soedarto, 2008).
c. Patogenesis
Penyakit infeksi cacing tambang, Uncinariasis necatoriasis atau
ancylostomiasis. Infeksi cacing tambang pada hakikatnya adalah
infeksi menahun sehingga sering tidak menunjukkan gejala akut.
Kerusakan jaringan pada gejala penyakit dapat disebabkan baik larva
maupun oleh cacing dewasa. Larva menembus kulit membentuk
maculopapula dan eritem, sering disertai rasa gatal yang hebat disebut
ground itch atau dew itch. Waktu larva berada dalam aliran darah
dalam jumlah banyak atau pada orang yang sensitive dapat
menimbulkan bronchitis bahkan pneumonitis (Natadisastra, 2009).

10
Cacing dewasa melekat dan melukai mukosa usus, menimbulkan
perasaan tidak enak di perut, mual, dan diare. Seekor cacing dewasa
mengisap darah 0,2-0,3 ml sehari sehingga dapat menimbulkan
anemia yang progresif, hipokrom, mikrositer, tipe defisiensi besi.
Gejala klinik timbul setelah tampak adanya anemia , pada infeksi
berat, Hb dapat turun 2 gr %, penderita merasa sesak nafas waktu
melakukan kegiatan lemah dan pusing kepala. Terjadi perubahan pada
jantung yang mengalami hipertropi, adanya bising katup serta nadi
cepat. Keadaan demikian akan dapat menimbulkan kelamahan
jantung, jika terjadi pada anak dapat menimbulkan keterbelakangan
fisik dan mental.
d. Pencegahan
Pencegahan infeksi cacing tambang dapat dihindarkan dengan
cara sebagai berikut berikut:
1. pembuangan tinja pada jamban-jamban yang memenuhi syarat
kesehatan
2. memakai sepatu/alas kaki untuk menghindari masuknya larva
melalui kulit
3. menghidari penggunaan pupuk kotoran manusia untuk
tanaman.
Di pedesaan, bila sistem pengaliran air selokan tidak baik untuk
sanitasi, defekasi di sembarang tempat dapat dihindari dengan
pembuatan lubang-lubang kakus (Irianto, 2013).

11
C. Jenis NonSoil Transmitted Helmint
1. Enterobius vermicularis
Nama lain: Pinworm, Buttworm, Seatworm, Threadworm, cacing kremi
Hospes: Manusia
Habitat: di usus besar rectum
Distribusi: tertelan telur infektif (per oral) inhalasi, autoinfeksi,
retroinfeksi
a. Morfologi
Mulutnya dikelilingi 3 bibir dan tidak ada kapsul buccal. Cacing
betina berukuran panjang 8 – 13 mm, lebar 0,3 – 0,5 mm dan
mempunyai ekor yang meruncing menyerupai jarum. Bentuk jantan
lebih kecil dan berukuran panjang 2 -5 mm, lebar 0,1 – 0,2 mm,
ekornya melengkung ke arah ventral dan alea caudal lateral
mengelilingi ujung.
b. Siklus hidup
Cacing kremi yang ada di tubuh, bergerak menuju anus unutk
bertelur, dari anus telur akan masuk kembali ke mulut apabila orang
tersebut tidak mencuci tangan setelah menyentuh area anus dan
langsung makan. Setelah masuk ke mulut, telur akan bergerak menuju
ke usus halus dan menetas di sana menjadi larva. Larva cacing kremi
akan terus berkembang di usus halus dan saat sudah dewasa akan
bergerak menuju ke bagian cecum di usus besar dan menetap di sana.
Cacing kremi betina yang sudah dewasa dan bisa bertelur akan
bergerak ke area anus saat malam hari dan menetaskan telurnya.
Dalam waktu 4-6 jam setelah dikeluarkan dari tubuh cacing dewasa,
telur cacing sudah dapat menginfeksi dan siklus hidupnya pun akan
kembali berulang apabila orang tersebut tidal kunjung menjaga
kebersihan diri. Waktu yang dibutuhkan cacing kremi untuk
berkembang dari telur menjadi dewasa adalah satu bulan. Sementara
itu, masa hidup cacing kremi dewasa dalam tubuh manusia adalah dua
bulan.

12
c. Patogenesis
Manusia terinfeksi bila menelan telur infektif, telur akan menetas
di dalam usus (daerah Sekam), dan kemudian akan berkembang
menjadi dewasa. Cacing betina mungkin memerlukan waktu kira-kira
satu bulan untuk menjadi matang dan mulai untuk produksi telurnya.
setelah membuahi cacing betina, cacing jantan biasanya mati dan
mungkin akan keluar bersama tinja. Didalam cacing betina yang
gravid, hampir seluruh tubuhnya dipenuhi oleh telur. Pada saat ini
bentuk betina akan turun ke bagian bawah kolon dan keluar melalui
anus, telur-telur akan diletakkan diperianal di kulit perinium.
Kadang-kadang cacing betina dapat bemigrasi ke vagina.
Diperkirakan juga bahaya setelah meletakkan telur-telurnya, cacing
betina kembali masuk ke dalam usus; tetapi hal ini belum terbukti.
Kadang-kadang apabila bolus tinja keluar dari anus, cacing dewasa
dapat melekat pada tinja dan dapat ditemukan dipermukaannya. Untuk
diagnosis infeksi ini, cacing dewasa dapat di ambil dengan pita
perekat. Meskipun telur biasanya tidak diletakkan di dalam usus,
beberapa telur dapat ditemukan di dalam tinja. Telur tersebut menjadi
matang dan infektif dalam waktu beberapa jam.15 Telur cacing kremi
tampak seperti bola tangan (American Football) dengan satu sisi
mendatar. Bentuknya lonjong, bagian lateral tertekan, datar di satu sisi
d. Pencegahan
Daerah disekitar anus hendaknya dicuci bersih. Penderita,
khususnya anak-anak harus memakai celana yang rapi, sehingga
mencega kontak dengan garukan tangan atau pemindahan telur-telur
ketempat-tempat lainnya. Melindungi makanan dari kontaminasi
debu.

13
D. Nematoda Jaringan
1. Wuchereria bancrofti
Nama lain: cacing filaria
Hospes: manusia
Habitat: terdapat di daerah tropis seluruh dunia, termasuk Indonesia, India,
Jepang. Hidup di jaringan limfe
Distribusi: melalui gigitan nyamuk (Culex quinquefasciatus, Anopheles,
Aedes, Mansonia) mengandung larva stadium III
a. Morfologi
Cacing dewasa berbentuk seperti benang, warna putih susu. Pada
tubuhnya mempunyai inti yang halus, sama besar dan tersusun teratur
tanpa inti tambahan pada ujung posterior. Cacing dewasa jantan
memiliki panjang 40 mm, ekor melingkar mempunyai 2 spikula,
warna putih, ujung runcing. Betina memiliki panjang 65-100 mm,
ekor lurus, ujung tumpul.
b. Siklus hidup
Mikrofilaria masuk ke dalam tubuh manusia dengan melalui
gigitan nyamuk (dari genus Mansonia, Culex, Aedes, dan Anopheles).
Kemudian, mikrofilaria masuk ke dalam saluran limfa dan menjadi
dewasa. Cacing jantan dan betina melakukan kopulasi, lalu, cacing
gravid mengeluarkan larva mikrofilaria, mikrofilaria hidup di
pembuluh darah dan pembuluh limfa, mikrofilaria masuk ke dalam
tubuh nyamuk saat nyamuk menghisap darah manusia, mikrofilaria
berkembang menjadi larva stadium 1, larva stadium 2, larva stadium
3 dan siap ditularkan.
c. Patogenesis
Saat nyamuk menggigit manusia, ia akan menusukkan
probosisnya pada kulit manusia. Pada saat inilah larva L3 akan keluar
dari probosis nyamuk dan menempel di kulit. Pada saat nyamuk
menarik probosisnya, larva akan bergerak masuk ke dalam kulit
melalui bekas gigitan nyamuk. Selanjutnya, larva ini akan menuju ke

14
sistem limfe. Larva stadium 3 yang ada dalam kelenjar limfe dalam
waktu 9-10 hari akan berganti kulit dan berkembang menjadi larva
stadium 4(L4). Larva ini merupakan stadium akhir yang akan
berkembang menjadi cacing dewasa atau makrofilaria. Perkembangan
larva stadium 3 sampai ke dewasa membutuhkan waktu sekira 9
bulan. Apabila dalam saluran limfe terdapat cacing betina dan jantan,
maka akan mengadakna perkawinan. Setelah kopulasi cacing betina
secara periodik menghasilkan mikrofilaria. Satu cacing betina dewasa
akakn menghasilkan kurang lebih 30.000 mikrofilaria tiap harinya.
Mikrofilaria tidak hidup dalam saluran atau kelenjar limfe, tapi akan
bermigrasi ke dalam saluran darah dan saluran darah tepi. Mikrofilaria
yang beredar di saluran darah tepi akan terhisap kembali oleh nyamuk
vector dan siap ditularkan ke orang lain di sekitarnya.
d. Pencegahan
Menaburkan bubuk larvasida pada tempat penampungan air yang
sulit dibersihkan. Menggunakan obat nyamuk atau anti nyamuk,
menggunakan kelambu saat tidur, memelihara ikan pemangsa jentik
nyamuk. Mengatur cahaya dan ventilasi dalam rumah Menghindari
kebiasaan menggantung pakaian di dalam rumah yang bisa menjadi
tempat istirahat nyamuk.

2. Brugia malayi
Nama lain: Filaria malayi, dan Wuchereria malayi, cacing filari
Hospes: Hospes definitif parasit ini adalah manusia sedangkan hospes
perantaranya adalah nyamuk Mansonia dan Aedes
Habitat: daerah tropis dan subtropis (Asia selatan dan Tenggara)
Distribusi: melalui gigitan nyamuk

15
a. Morfologi
Mikrofilaria:
- Ukuran: panjang 170 – 260 μm dan lebar +/- 6 μm
- Mempunyai sarung / sheath
- Ujung anterior membulat / tumpul dengan 2 buah stylet (alat
pengebor)
- Ujung posterior runcing
- Cephalic space → panjang : lebar = 2 : 1
- Inti tubur kasar, tersusun tidak teratur sampai ujung posterior
dengan 2 buah nukleus terminalis.
Cacing dewasa:
- Ukuran lebih kecil daripada Wuchereria bancrofti
- Ukuran cacing betina : ± 160 μm dan lebar ± 55 μm
- Ukuran cacing jantan : ± 90 μm dan lebar ± 25 μm
- Bentuk seperti benang halus
- Berwarna putih kekuningan
- Cacing jantan mempunyai sepasang papila yang besar di sebelah
anterior kloaka dan sepasang lagi di belakangnya dengan ukuran
yang lebih kecil, spicula satu pasang dengan ukuran yang tidak
sama panjang
b. Siklus hidup
Siklus hidup parasit ini sama dengan siklus hidup Wuchereria
bancrofti. Mikrofilaria masuk ke dalam tubuh manusia dengan melalui
gigitan nyamuk (dari genus Mansonia, Culex, Aedes, dan Anopheles).
Mikrofilaria masuk ke dalam saluran limfa dan menjadi dewasa →
cacing jantan dan betina melakukan kopulasi → cacing gravid
mengeluarkan larva mikrofilaria → mikrofilaria hidup di pembuluh
darah dan pembuluh limfa → mikrofilaria masuk ke dalam tubuh
nyamuk saat nyamuk menghisap darah manusia → mikrofilaria
berkembang menjadi larva stadium 1 → larva stadium 2 → larva
stadium 3 dan siap ditularkan.

16
c. Patogenesis
Ketika nyamuk menghisap darah manusia, nyamuk yang terinfeksi
B.malayi menyelipkan larva B.malayi ke dalam inang manusia. Dalam
tubuh manusia, larva B.malayi berkembang menjadi cacing dewasa
yang biasanya menetap di dalam pembuluh limfa. Cacing dewasa
dapat memproduksi mikrofilaria yang dapat menyebar
hinggamencapai darah tepi. Ketika nyamuk menggigit manusia yang
telah terinfeksi, mikrofilaria dapat terhisap bersamaan dengan darah
kedalam perut nyamuk. Setelah masuk kedalam tubuh nyamuk,
mikrofilaria meninggalkan selubungnya. Mikrofilaria kemudian
berenang melalui dinding proventikulus dan porsi kardiak (bagian
dalam perut nyamuk), hingga mencapai otot toraksis (otot dada). Di
dalam otot toraksis, larva filaria berkembang menjadi larva tahap
akhir. Larva tahap akhir berenang melalui homocoel (rongga tubuh)
hingga sampai pada prosbosis (sungut) nyamuk. Ketika tiba di dalam
probosis nyamuk, cacing tersebut siap menginfeksi inang manusia
yang selanjutnya infeksi B.malayi terbatas pada wilayah Asia.
d. Pencegahan
Menggunakan obat nyamuk atau anti nyamuk Menggunakan kelambu
saat tidur Memelihara ikan pemangsa jentik nyamuk Menanam
tanaman pengusir nyamuk Mengatur cahaya dan ventilasi dalam
rumah Menghindari kebiasaan menggantung pakaian di dalam rumah
yang bisa menjadi tempat istirahat nyamuk.

3. Brugria timori
Nama lain: cacing filari
Hospes: An. Barbirostris
Habitat: hidup di saluran dan kelenjar getahbening. Banyak didaerah
persawahan.
Distribusi: melalui vektor nyamuk yang mengandung larva stadium III

17
a. Morfologi
Bentuk cacing dewasa mirip bentuknya dengan W. bancrofti,
sehingga sulit dibedakan. Pada kedua jenis kelamin, ujung anteriornya
melebar pada kepalanya yang membulat ekornya berbentuk seperti
pita dan agak bundar pada tiap sisi terdapat 4 papil sirkum oral yang
teratur pada bagian luar dan bagian dalam membentuk lingkaran,
esophagus panjangnya lebih kurang 1 mm dengan ujung yang kurang
jelas diantara otot dan kelenjar. Bentuk cacing dewasa mirip
bentuknya dengan W. bancrofti, sehingga sulit dibedakan. Panjang
cacing betina Brugia malayi dapat mencapai 55 mm, dan cacing jantan
23 cm. Brugia timori betina panjang badannya sekitar 39 mm dan yang
jantan panjangnya dapat mencapai 23 mm. Mikrofilaria Brugia
mempunyai selubung, panjangnya dapat mencapai 260 mikron pada
B.malayi dan 310 mikron pada B.timori. Ciri khas mikrofilaria
B.malayi adalah bentuk ekornya yang mengecil, dan mempunyai dua
inti terminal, sehingga mudah dibedakan dari mikrofilaria W.
bancrofti
b. Siklus hidup
Siklus hidup B. timori hampir sama dengan B. malayi, yang
membedakan hanya morfologinya. Mikrofilaria masuk ke dalam tubuh
manusia dengan melalui gigitan nyamuk (dari genus Mansonia, Culex,
Aedes, dan Anopheles). Mikrofilaria masuk ke dalam saluran limfa
dan menjadi dewasa → cacing jantan dan betina melakukan
kopulasi → cacing gravid mengeluarkan larva mikrofilaria →
mikrofilaria hidup di pembuluh darah dan pembuluh limfa →
mikrofilaria masuk ke dalam tubuh nyamuk saat nyamuk menghisap
darah manusia → mikrofilaria berkembang menjadi larva stadium 1 →
larva stadium 2 → larva stadium 3 dan siap ditularkan.

18
c. Patogenesis
Brugia timori ditularkan oleh Anopheles didalam tubuh nyamuk
betina, mikrofilaria yang terisap waktu menghisap darah akan
melakukan penetrasi pada dinding lambung dan berkembang dalam
otot thorax hingga menjadi larva filariform infektif, kemudian
berpindah ke probosis. Saat nyamuk menghisap darah, larva filariform
infektif akan ikut terbawa dan masuk melalui lubang bekas tusukan
nyamuk di kulit. Larva infektif tersebut akan bergerak mengikuti
saluran limfa dimana kemudian akan mengalami perubahan bentuk
sebanyak dua kali sebelum menjadi cacing dewasa
d. Pencegahan
Menggunakan obat nyamuk atau anti nyamuk Menggunakan
kelambu saat tidur Memelihara ikan pemangsa jentik nyamuk
Menanam tanaman pengusir nyamuk Mengatur cahaya dan ventilasi
dalam rumah Menghindari kebiasaan menggantung pakaian di dalam
rumah yang bisa menjadi tempat istirahat nyamuk.

4. Loa-loa
Nama lain: cacing mata
Hospes: hanya di temukan pada manusia penyakit ini di sebut loaiasis atau
calabar swelling.
Habitat: daerah katulistiwa berhutan (rain forest)→ Afrika tropis bagian
Barat. Cacing dewasa hidup di jaringan subkutan manusia dan sering
ditemukan di jaringan subkonjunktiva pada mata.
Distribusi: penyebaran terutama di afrika barat dan afrika tengah. Parasit
ini tersebar didaerah khatulistiwa di hutan yang berhujan dan sekitarnya
a. Morfologi
- Cacing dewasa hidup dalam jaringan subkutan
- Mengeluarkan mikrofilaria yang beredar dalam darah pada siang
hari

19
- Mikrofilaria bersarung, dapat ditemukan dalam urin, sputum,
kadang-kadang dalam cairan sumsum tulang blakang. Vektor : lalat
Chrysops
b. Siklus hidup
Pertumbuhan mikrofilaria di dalam tubuh lalat terjadi di otot dan
bagian yang berlemak yang berlangsung selama 10 – 12 hari.
Mikrofilaria kemudian menjadi larva infektif yang keluar dari labium
ke permukaan kulit dekat luka gigitan dan menembus ke dalam
jaringan subkutan dan otot, serta tumbuh menjadi dewasa di sini
dalam waktu ± 1 tahun. Periodisitas Loa loa adalah diurna yaitu aktif
pada waktu siang hari.
c. Patogenesis
Lalat Chrysop merupakan serangga yang menggigit pada siang
hari dan mempunyai tempat perindukan di rawa-rawa dan perairan
yan berlumpur. Larva Loa loa yang masuk ke dalam tubuh akan
tumbuh menjadi filaria dewasa yang hidup di antara lapisan fascia.
Filaria dewasa juga dapat terlihat saat sedang melewati permukaan
mata. Rata-rata filaria dewasa dapat bertahan hidup selama 9 tahun,
namun dapat juga bertahan sampai 15–21 tahun.
Loa loa betina akan memproduksi 10,000–22,000 mikrofilaria
setiap harinya. Mikrofilaria akan masuk ke pembuluh limfatik dan
berkumpul di pembuluh darah paru dan nantinya akan masuk ke
pembuluh darah perifer. Mikofilaria ini memiliki periodisitas. Saat
siang hari, mikrofilaria dapat ditemukan di pembuluh darah perifer,
sedangkan pada malam hari, mikrofilaria berada di pembuluh darah
paru. Mikrofilaria dapat bertahan hidup selama 3–12 bulan. Respons
imun tubuh terhadap filaria dewasa atau larva akan menyebabkan
timbulnya pembengkakan Calabar, yaitu pembengkakan pada area
subkutan yang tidak nyeri dan tidak memerah. Pembengkakan ini
akan sembuh spontan dalam waktu beberapa hari

20
d. Pencegahan
Menghindari daerah di mana lalat penyebar loiasis ditemukan,
seperti berlumpur, daerah teduh di sepanjang sungai atau sekitar api
kayu. Menggunakan obat anti serangga yang mengandung DEET (N,
N-Diethyl-meta-toluamide). Memakai baju lengan panjang dan celana
panjang selama siang hari. Jika sedang berada di daerah dengan loiasis
untuk jangka waktu yang panjang, konsumsi obat diethylcarbamazine
(DEC) 300mg seminggu sekali, bisa untuk mengurangi risiko infeksi.

E. Praktikum Pemeriksaan Tinja Atau Tanah


Pemeriksaan telur cacing dari feses dapat dilakukan dengan 2 cara,
yaitu sediaan langsung (sediaan basah) dan sediaan tidak langsung
(konsentrasi). Metode pemeriksaan tinja juga dibagi menjadi metode
kuantitatif dan metode kualitatif. Metode kualitatif berguna untuk
menentukan positif atau negatif cacingan. Metode yang biasa digunakan
untuk pemeriksaan kualitatif adalah metode direct slide, metode flotasi dan
metode sedimentasi. Metode kuantitatif berguna untuk menentukan intensitas
infeksi atau berat ringannya penyakit dengan mengetahui jumlah telur per
gram tinja. Metode yang biasa digunakan untuk pemeriksaan kuantitatif
adalah metode Kato-Katz dan metode stoll (Natadisastra2009).

1. Pemeriksaan feses secara langsung (sediaan basah)


Merupakan metode yang digunakan bertujuan untuk mengetahui telur
cacing pada tinja secara langsung. Pemeriksaan feses secara langsung
dapat dilakukan dengan dua metode yaitu dengan kaca penutup dan tanpa
kaca penutup (Maulida 2016)
2. Pemeriksaan feses secara tidak langsung (Konsentrasi)
a. Metode Sedimentasi/Pengendapan
Prinsip metode ini adalah adanya gaya sentrifugal dari sentrifuge
yang dapat memisahkan antara suspensi dan supernatannya sehingga
telur cacing akan terendapkan (Maulida 2016)

21
b. Metode Flotasi
Metode ini menggunakan larutan garam jenuh atau gula jenuh
sebagai alat untuk mengapungkan telur. Metode ini terutama dipakai
untuk pemeriksaa tinja yang mengandung sedikit telur
(Natadisastra2009)

c. Metode Stoll

Metode ini menggunakan NaOH 0,1N sebagai pelarut tinja,


Metode ini baik digunakan untuk infeksi berat dan sedang. Metode ini
kurang baik untuk pemeriksaan ringan (Natadisastra 2009)

d. Metode Direct

Metode ini dipergunakan untuk pemeriksaan secara cepat dan


baik untuk infeksi berat.Tetapi untuk infeksi ringan sulit untuk
menemukan telur. Digunakan larutan NaCl fisiologis (0,9%) atau eosin
2%. Eosin 2% dimaksudkan untuk lebih jelas membedakan telur cacing
dengan kotoran disekitarnya (Natadisastra 2009) Menurut (Sofia
2017)Metode langsung (direct slide) mempunyai kelemahan yaitu jika
bahan untuk membuat sediaan secara langsung terlalu banyak, maka
preparat menjadi tebal sehingga telur menjadi tertutup oleh unsur lain.
Metode direct slide cepat dan baik untuk infeksi berat, tetapi untuk
infeksi yang ringan sulit ditemukan telur-telurnya.

e. Metode Kato Katz


Metode ini dapat digunakan untuk pemeriksaan kuantitatif
maupun kualitatif tinja. Prinsip dari metode ini sama dengan metode
direct slide dengan penambahan pemberian selophane tape yang sudah
direndam dengan malanchit green sebagai latar (Limpomo dan
Sudaryanto2014)

22
f. Metode Flotasi
Metode ini menggunakan larutan garam jenuh atau gula jenuh
sebagai alat untuk mengapungkan telur. Metode ini terutama dipakai
untuk pemeriksaan tinja yang mengandung sedikit telur. Cara kerja dari
metode ini berdasarkan Berat Jenis (BJ) telur-telur yang lebih ringan
daripada BJ larutan yang digunakan sehingga telur-telur terapung
dipermukaan, dan juga untuk memisahkan partikel-partikel yang besar
yang terdapat didalam tinja (Natadisastra 2009).
g. Teknik Sediaan Tebal
Metode ini digunakan untuk menemukan telur cacing dan
menghitung jumlah telur cacing yang terdapat pada feses. Pengganti
cover glass untuk penutup adalah cellahane tape.Teknik ini lebih banyak
terdapat telur cacing karena digunakan lebih banyak feses. Teknik ini
dianjurkan untuk pemeriksaan masal karena sederhanan dan murah
(Dharma 2016)

Memilih Metode Pemeriksaan

Oleh karena banyak dikenal metode pemeriksaan, perlu dicermati


metode mana yang dipilih untuk situasi tertentu. Metode mana yang harus
dipilih bila hendak memeriksa spesimen awetan. Disamping itu, pemilihan
metode juga harus disesuaikan dengan tujuan pemeriksaan, karena setiap
metode memiliki kepekaan berbeda-beda untuk setiap jenis stadium parasit
(kista, trofozoit, larva atau telur cacing).Pada bagian ini, dibahas mengenai
metode pemeriksaan mana yang ada dan stadium perkembangan stadium
parasitnya. Selain itu dibahas pula keuntungan dan karugian pada
pelaksanaan metode tersebut (Setya 2013)

23
Pemeriksaan Tanah

Metode yang digunakan biasanya metode apung (kualitatif). Prinsip kerjanya


adalah berat jenis telur yang lebih ringan daripada berat jenis larutan yang
digunakan, sehingga telur terapung di permukaan dan terpisah dari partikel besar
yang terdapat pada sampel tanah.

1. Mengambil sampel ± 5 gram sampel tanah ke dalam beacker glass yang


telah berisi larutan NaCl jenuh, mengaduk hingga tercampur rata.
2. Memasukkan ke dalam tabung reaksi hingga cembung, kemudian menutup
dengan cover glass, diamkan salama 30-40 menit.
3. Mengambil cover glass kemudian meletakkan di atas objek glass.
4. Melakukan pengamatan di bawah mikroskop

24
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kecacingan menjadi masalah kesehatan yang masih sering ditemukan
saat ini, termasuk di Indonesia masalah kecacingan masih banyak dijumpai
mengingat dari sisi geografi Indonesia yang mendukung terkait
keberadaannya. Nematoda merupakan filum cacing yang cukup luas,
Sebagian besar bersifat parasite, diperlukan pemahaman dan pengetahuan
kepada masyarakat untuk bisa menciptakan kebiasaan atau poal hidup yang
meminimalisir risiko bahaya cacing.

B. Saran
Semoga dengan penulisan makalah ini mampu membuka wawasan dan
kesadaran masyarakat terkait pola hidup sehat dan sanitasi yang baik. Karena
kecacingan hanya bis akita cegah dengan sanitasi yang baik.

25
DAFTAR PUSTAKA
Ideah, Bariam. Dkk. 2009. Penuntun Praktis Parasitologi Kedokteran (edisi 2).
Surabya: Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair (AUP)

Triatmojo, Yudi. 2015. Pemeriksaan Cacing telur Parasit Pada Feses (Metode
Apung dengan dan Tanpa Disenttrifugasi serta Metode Modifik Harada
Mori). Jawa Tengah

Puspa, Maricta. dkk. 2018. Perbandingan pemeriksaan tinja antara metode


sedimentasi biasa dan metode sedimentasi formol-ether dalam mendeteksi
soil-transmitted helminth. Jurnal kedokteran diponegoro.

Yanti, Niwsrik. 2018. Nematoda usus (repository poltekkes). Diakses 17 September


2022 dari <http://repository.poltekkes-
denpasar.ac.id/214/3/bab%202%20pdf.pdf>

Craig, C.F., et al. 1970. Craig and Faust’s Clinical Parasitology. Michigan: Lea &
Febiger CDC. Lymphatic Filariasis.
http://www.cdc.gov/parasites/lymphaticfilariasis/

26

Anda mungkin juga menyukai