Anda di halaman 1dari 12

TUGAS MATA KULIAH

PATOLOGI VETERINER SISTEMIK II

“NEFRITIS AKIBAT CANINE DISTEMPER VIRUS”

Oleh

Baiq Indah Pratiwi 1609511001

Yoga Mahendra Pandia 1609511005

Dimas Norman Medellu 1609511013

Pieter Mbolo Maranata 1609511016

Audrey Febiannya Putri Bhaskara 1609511023

Kelas C

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2019
NEFRITIS AKIBAT CANINE DISTEMPER VIRUS

I. Nefritis
Nefritis adalah penyakit yang disebabkan adanya peradangan pada ginjal.
Peradangan ginjal biasanya disebabkan oleh infeksi atau akibat suatu reaksi kekebalan yang
keliru hingga melukai ginjal. Glomerulo Nefritis adalah gangguan pada ginjal yang ditandai
denganperadangan pada kapiler glomerulus yang fungsinya sebagai filtrasi cairan tubuh dan
sisa-sisa pembuangan. Glomerulo Nefritis merupakan sindrom yang ditandai oleh
peradangan dari glomerulus diikuti pembentukan beberapa antigen. Glomerulo Nefritis Akut
(GNA) adalah suatu reaksi imunologis ginjal terhadap bakteri / virus tertentu. Glomerulo
Nefritis Akut (GNA) adalah istilah yang secara luas digunakan yang mengacu pada
sekelompok penyakit ginjal dimana inflamasi terjadi di glomerulus. Nefritis interstitial akut
(AIN) ditandai dengan adanya infiltrat inflamasi dan edema di dalam interstitium, biasanya
berhubungan dengan penurunan fungsi ginjal yang akut. (Cameron, 1998; Pettersson et al,
1984)

II. Etiologi

Nefritis dapat disebabkan oleh infeksi ekstra renal terutama disaluran napas bagian
atas atau kulit oleh bakteri, penyakit amyloid, thrombosis renalis, penyakit kolagen, obat-
obatan dan juga virus. Virus yang dapat menyebabkan nefritis ini adalah canine distemper
virus, CDV ini dapat menyebabkan nefritis hemoragika, dimana sel radang menginfiltrasi di
glomerulus dan babgian interstitial tubulus, akumulasi eritrosit dapat teramati di jaringan
antar tubulus dan edema pada intertubulus.

Canine distemper virus (CDV) berasal dari genus Morbillivirus, familu


Paramyxoviridae, bersamaan dengan phocid distemper virus, measles virus, rinderpest
virus, peste-des-petits-ruminants virus, dan cetacean Morbiliviruses (Regenmortel et al,
2000). CDV merupakan agen penyebab beberapa penyakit sistemik yang parah pada anjing
yang ditandai dengan berbagai symptom, termasuk demam, gejala pernafasan dan
pencernaan, dan kelainan saraf. (Blancou, 2004)
III.Patogenesis
Penularan virus lewat udara menyebabkan infeksi ke dalam sel makrofag alat
pernafasan. Virus mula-mula akan berkembang di dalam kelenjar getah bening lokal dan
kemudian dalam 7 hari ke seluruh jaringan kelenjar getah bening. Dalam 3-6 hari setelah
infeksi virus distemper suhu badan akan meninggi dan interferon virus mulai masuk ke
dalam peredaran darah. Dalam minggu kedua dan ketiga pasca infeksi, anjing mulai
membentuk zat kebal baik humoral maupun seluler untuk merespon infeksi dan jika mampu
mengatasi virus distemper anjing tersebut akan sembuh tanpa menunjukkan gejala klinik.
Apabila tidak mampu mengatasi virus tersebut maka anjing tersebut akan memperlihatkan
penyakit baik akut atau subakut (Dharmojono, 2001).
Anjing yang tidak mampu mempertahankan diri pada fase awal, maka akan diikuti
terjadinya viremia dan infeksi diseluruh organ limphatik, kemudian limfosit dan makrofag
yang terinfeksi akan membawa virus ke permukaan epitel dari alat pencernaan, alat
pernafasan, dan saluran urogenital sampai ke susunan syaraf pusat (CNS) (Merck and Co,
1986).
Virus awalnya akan menginfeksi sistem saraf pusat, sistem pencernaan, sistem
pernapasan, epitel urogenital. Virus distemper melalui sirkulasi darah akan asuk kedalam
organ hati dan ginjal, kemudian virusakan menginfeksi organ tersebut sehingga pada ginjal
akan terjadi degenerasi, dan lesi degenerasi yang paling menonjol adalah pada ginjal.

IV. Gejala Klinis

Gejala klinis Canine Distemper Virus pada anjing yang berbeda-beda, hal ini
tergantung dari umur hewan, kondisi tubuh, sistem kekebalan tubuh dan jenis virus. Gejala
klinis yang terlihat mulai dari yang ringan berbentuk kelesuan (kejang) sampai berat berupa
kejang- kejang. Gambaran awal klinis yang terlihat dari penyakit ini adalah demam,
dehidrasi, keberadaan pelepasan purulen dari hidung (Gambar 1) dan mata, batuk, gangguan
pernafasan, konjungtivitis (Gambar 2), semburan dan diare dengan konsistensi cairan dan
bercak darah dapat digunakan juga diare yang berlendir.
Gambar 1. Keluarnya discharge purulen dari hidung pada anjing yang terinfeksi Canine
Distemper Virus

Sumber: http://www.worldclassgsd.com

Gambar 2. Anjing yang berusia 2 tahun mengalami Canine Distemper akut dengan gejala
klinis konjungtivitis, rinitis dan dermatitis pada kulit wajah (facial dermatitis)

Sumber: Mazzaferro 2010

Anjing yang bertahan dari penyakit sistemik akut dapat mengembangkan berbagai
macam bentuk gejala klinis seperti terjadi lesi pada kulit termasuk dermatitis pustular pada
Anak anjing, hiperkeratosis pada telapak kaki (hard pad) (Gambar 3) dan hidung serta
juvenile cellulitis. Gejala saraf dapat terlihat 1 - 3 minggu setelah pemulihan dari penyakit
sistemik. Munculnya gejala saraf juga bisa lebih lama yaitu beberapa minggu hingga
beberapa bulan. Hal ini tergantung pada daerah mana dari sistem saraf pusat yang terkena
dampak oleh virus ini. Gejala saraf yang terlihat dapat berupa hiperestesia (peningkatan
kepekaan terhadap rangsangan terutama terhadap sentuhan / sakit jika disentuh) atau
kekakuan pada leher (meningitis), kejang-kejang, paresis, paralisis, ataksia, mioklonus
(kejang pada otot tak sadar). Gejala syaraf sering terlihat bersamaan dengan hiperkeratosis
(penebalan kulit).

Gambar 3. Anjing yang terinfeksi Canine Distemper Virus mengalami hiperkeratosis pada
telapak kaki (hard pad)

Sumber: http://www.worldclassgsd.com

Lesi pada tulang (metaphyseal osteosclerosis) juga dapat terjadi, hal ini dikaitkan
dengan infeksi Canine Distemper Virus pada anjing ras besar pada umur antara 3 - 6 bulan.
Gejala klinis lain yang dapat muncul yaitu lesi pada mata yang terkait dengan infeksi Canine
Distemper Virus yang berkembang setelah anjing pulih dari penyakit sistemik akut. Lesi
pada mata dapat menyebabkan kebutaan tiba-tiba, midriasis (pelebaran pupil) persisten
(neuritis optik), ablasi retina, hyperreflectivity retina dan keratokonjungtivitis sicca. Kadang-
kadang enamel hipoplasia atau kekurangan enamel gigi terlihat pada anjing dewasa (Gambar
4), hal ini merupakan bukti dari adanya infeksi Canine Distemper Virus sebelumnya.
Kekurangan enamel gigi apabila tidak diobati dapat menyebabkan kerusakan gigi parah.
Gambar 4. Terjadi enamel hipoplasia pada anjing yang menderita Canine Distemper

Sumber: Mazzaferro 2010

V. Diagnosa
Diagnosa Canine Distemper Virus dapat dilakukan dengan pengujian biokimiawi,
hematologi dan analisis urin. Hasil pengujian tersebut menunjukkan terjadinya limfopenia,
dimana berkurangnya jumlah limfosit (sel-sel darah putih yang berfungsi dalam sistem
kekebalan tubuh pada tahap awal penyakit). Selain itu, pada hasil pengujian biokimiawi juga
menunjukkan hipoalbuminemia, dan hipoglobulinemia. Pemeriksaan mikroskopis dengan
pewarnaan preparat ulas darah perifer atau sitologi eksfoliatif (swab konjungtiva) ditemukan
adanya badan inklusi intraseluler di sitoplasma monosit, limfosit, netrofil atau eritrosit.
Pengujian biokimiawi pada cairan serebrospinal dapat menunjukkan peningkatan jumlah
limfosit dan monosit serta peningkatan protein atau hanya terjadi peningkatan protein saja.

VI. Histopatologi
Infeksi virus distemper sangatlah berbahaya karena menyerang semua ras anjing. Pada
hewan dapat mengakibatkan perubahan patologis pada organ. Salah satunya secara
histopatologi organ akan banyak diinfiltrasi oleh sel radang. Berikut merupakan beberapa
gambaran histopatologis yang mengakibatkan keadaan patologis pada ginjal.

Keterangan Gambar 5. Tanda panah terdapat perdarahan ditubulus ginjal anjing

penderita distemper umur 2 bulan (Sitepu et al. 2013)


Terdapat lesi pada ginjal anjing umur 2 bulan karena virus berada pada sirkulasi darah dan
akhirnya menuju ke ginjal. Bila dikeadaan imunosupresif, virus dapat menyerang organ
termasuk hati dan ginjal. Hewan lain yang dapat terkena adalah anjing laut jenis Caspian
Phoca capsica. Hal ini terjadi karena adanya perubahan cuaca mendadak dan aktivitas
disekitar anjing laut saat bermigrasi. Berikut merupakan histopatologinya.

Keterangan Gambar 6. Terdapat badan inklusi intrasitoplasmik eosinofilik yang


ada disel epitel renal pelvis (Kuiken et al. 2006).

Keterangan Gambar 7. Kandung kemih terdapat badan inklusi intrasitoplasmik eosinofilik


pada

VII. Pencegahan dan Pengobatan

Pengobatan
Tidak ada pengobatan pada CDV, hanya pencegahan. Anjing dengan virus akan
diberikan perawatan suportif untuk membantu tubuh mereka melawan virus dan diobati
dengan cairan untuk mencegah dehidrasi dan obat-obatan untuk membantu mengendalikan
seizures dan prognosisnya bersifat infausta (Widodo Setyo, et al, 2012).

Prognosis tergantung pada strain CDV dan respons imun anjing. Setelah demam
awal mereda, penyakit ini dapat berkembang dalam beberapa cara.

Lebih dari setengah anjing yang terinfeksi virus ini akan mati antara 2 minggu dan 3
bulan setelah infeksi, biasanya dari komplikasi sistem saraf pusat. Kebanyakan dokter
hewan merekomendasikan euthanasia untuk anjing yang menderita progresif, komplikasi
neurologis yang parah.

Infeksi CDV ditandai oleh pireksia dan keluarnya cairan dari hidung dan mata,
kadang-kadang karena diare dan pneumonia dan, yang paling kritis, oleh defisit neurologis
dan leukopenia, sehingga mengakibatkan kematian. Infeksi akut hewan dengan CDV sering
disertai dengan manifestasi neurologis yang parah (Takenaka, Akiko, et al, 2016)

Anjing yang tampak pulih dapat mengalami masalah sistem saraf pusat kronis atau
fatal. Anjing dengan gejala ringan (mis., Mioklonus) dapat pulih, meskipun gejalanya dapat
bertahan selama beberapa bulan atau lebih. Anjing dengan respons imun yang kuat mungkin
tidak pernah menunjukkan tanda-tanda infeksi. Setelah seekor anjing pulih sepenuhnya, ia
tidak lagi menularkan virus.

Pencegahan

a) Vaksinasi

Pencegahan terbaik terhadap virus distemper pada anjing adalah vaksinasi. Vaksinasi
akan bekerja dengan sangat baik, bahkan pada hewan yang sudah terpapar virus — jika
diberikan dalam waktu 4 hari setelah terpapar. Paparan CDV melalui vaksinasi akan
menginduksi kekebalan yang tahan lama, tetapi tidak permanen. Anjing harus menerima
vaksinasi tahunan untuk memastikan tetap terlindungi dari infeksi CDV.

Ada beberapa jenis vaksin distemper yang tersedia, masing-masing dengan kelebihan
dan kekurangan. Pemilik hewan peliharaan harus mendiskusikan berbagai pilihan vaksin
tersebut dengan dokter hewan. Dua vaksin yang paling umum adalah vaksin dari adaptasi
kultur jaringan anjing dan vaksin adaptasi embrio ayam.

Vaksin yang diadaptasi kultur jaringan anjing (mis., Strain Rockborn) hampir 100 persen
efektif; vaksin tersebut sangat jarang menyebabkan echepalitis fatal, 1 sampai 2 minggu
setelah vaksinasi. Jenis vaksin ini sangat berisiko pada anjing dengan sistem kekebalan yang
lemah.

Vaksin yang diadaptasi embrio ayam (mis., Strain Onderstepoort dan Lederle) lebih
aman daripada strain Rockborn tetapi hanya sekitar 80 persen efektif.

Sebagian besar anak anjing dilahirkan dengan antibodi maternal terhadap CDV, yang
mencegah anak anjing dari infeksi jika terpapar virus. Anak anjing mulai kehilangan
antibodi maternal mereka antara usia 6 dan 12 minggu, saat itulah anak anjing harus
divaksinasi. Dua hingga tiga vaksinasi harus diberikan selama periode ini. Anjing-anjing
harus di vaksinasi ulang setiap tahun setelahnya.

b) Tempat Penangkaran Anjing & Canine Distemper


Anjing yang dicurigai terinfeksi harus diisolasi dari anjing lain. Anjing lain harus
divaksinasi.
CDV tidak bertahan lama di luar tubuh anjing; panas, sinar matahari, sebagian besar
cairan deterjen, sabun, dan berbagai bahan kimia akan menghilangkan sifat virulensinya.
Setelah anjing yang terinfeksi dikeluarkan dari tempat isolasi, benda yang terkontaminasi
dan tempat tinggal harus didesinfeksi dengan larutan air pemutih 1:30.
c) Anjing Rumahan & Distemper pada Satu Anjing
Jika seekor anjing mati karena infeksi CDV, pemilik hewan peliharaan harus
menunggu sekitar satu bulan sebelum memasukkan anak anjing atau anjing baru ke rumah.
Benda-benda yang terkontaminasi dan tempat tinggal harus dibersihkan secara menyeluruh
dan didesinfeksi dengan larutan air pemutih 1:30.
DAFTAR PUSTAKA

Bistner and Kirk., 1985, Handbook of Veterinary Procedures and Emergency Treatment, Fourth
edition, WB. Saunders Co, Philadelphia.

Blancou K. Dog Distemper: imported into Europe from South America. Hist Med Vet. 2004.
29:35-41

Cameron JS. Allergic interstitial nephritis: clinical features and pathogenesis. Q J Med1998; 66:
97–115. Martella V., Elia G. Buonavoglia C. Canine Distemper Virus. Vet Clin Small
Anim (2008). 38:787-797

Dharmojono, H., 2001, Kapita Selecta Kedokteran Veteriner, Edisi I, Pustaka Popular Obor,
Jakarta, hal 16-20.

Ettinger, S. J., 1989, Text Book of Veterinary Internal Medicine Disease of The Dog and Cat, W.
B. Saunders Company, California, hal 301-303.
Fadhilah, Debby. 2015. Gejala Klinis Distemper Virus. Ilmu veteriner.com. diakses tanggal 29
Maret 2019.

Fenner, F. J., Gibbs, E. P. J., Murphy,F. A, Rott, R., Studdert, M. J., White, D. O., 1995, Virologi
Veteriner, Edisi kedua, Academic Press, inc., Harcourt Brace Jovanovich, Publishers, San
Diego New York Boston London Sidney Tokyo Toronto, hal 516-519.

Kuiken T., Kennedy S., Barrett M., et al. The 2000 Canine Distemper Epidemic in Caspian Seals
(Phoca caspica): Pathology and Analysis of Contributory Factors. Vet Pathl 43:3. 2006

Lane, D.R., Cooper, B.C., 2003, Veterinary Nursing, 3rd.ed, Butterworth Heinemann, pp: 432-
435.

Merck and Co., 1986, The Merck Veterinary Manual, Eight Edition, A Merck and Rhone-
Poutene Company, pp: 326-328.

Nelson R.W and Couto C.G., 2003, Small Animal Internal Medicine, Third Edition, Mosby,
pp:1015-1016.

Pettersson E, von Bonsdorff M, Tornroth T. Nephritis among young Finnish men. Clin Nephrol
1984; 22: 217–222.

Praga M., Gonzalez E. Acute Interstitial Nephritis. 2010. Vol 77:956-961

Plumb, D.C., 1999, Veterinary Drugs Handbook, Third Edition, Iowa State University Press,
Ames.

Schaer, M., 2003, Clinical Medicine of The Dog and Cat, Manson Publising, hal 80-81.

Takenaka, Akiko, et al. 2016. Infectious Progression of Canine Distemper Virus from
Circulating Cerebrospinal Fluid into the Central Nervous System. Laboratory Animal
Research Center, Institute of Medical Science,. The University of Tokyo. Tokyo. Japan

Tilley L.P and Smith F.W.K., 2000, The 5 Minute Veterinary Consult, LEA and Febiger Book,
New York.

Van Regenmortel HVM, Fauquet CM, Bishop DHL, et al, editors. Virus taxonomy. Seventh
report of the International Committee on Taxonomy of Viruses. New York: Academic
Press; 2000. P. 556-7.
Widodo, Setyo, et al. 2012. Diagnostik Hewan Kecil. IPB Press. Bogor.

Anda mungkin juga menyukai