Oleh
Kelas C
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2019
NEFRITIS AKIBAT CANINE DISTEMPER VIRUS
I. Nefritis
Nefritis adalah penyakit yang disebabkan adanya peradangan pada ginjal.
Peradangan ginjal biasanya disebabkan oleh infeksi atau akibat suatu reaksi kekebalan yang
keliru hingga melukai ginjal. Glomerulo Nefritis adalah gangguan pada ginjal yang ditandai
denganperadangan pada kapiler glomerulus yang fungsinya sebagai filtrasi cairan tubuh dan
sisa-sisa pembuangan. Glomerulo Nefritis merupakan sindrom yang ditandai oleh
peradangan dari glomerulus diikuti pembentukan beberapa antigen. Glomerulo Nefritis Akut
(GNA) adalah suatu reaksi imunologis ginjal terhadap bakteri / virus tertentu. Glomerulo
Nefritis Akut (GNA) adalah istilah yang secara luas digunakan yang mengacu pada
sekelompok penyakit ginjal dimana inflamasi terjadi di glomerulus. Nefritis interstitial akut
(AIN) ditandai dengan adanya infiltrat inflamasi dan edema di dalam interstitium, biasanya
berhubungan dengan penurunan fungsi ginjal yang akut. (Cameron, 1998; Pettersson et al,
1984)
II. Etiologi
Nefritis dapat disebabkan oleh infeksi ekstra renal terutama disaluran napas bagian
atas atau kulit oleh bakteri, penyakit amyloid, thrombosis renalis, penyakit kolagen, obat-
obatan dan juga virus. Virus yang dapat menyebabkan nefritis ini adalah canine distemper
virus, CDV ini dapat menyebabkan nefritis hemoragika, dimana sel radang menginfiltrasi di
glomerulus dan babgian interstitial tubulus, akumulasi eritrosit dapat teramati di jaringan
antar tubulus dan edema pada intertubulus.
Gejala klinis Canine Distemper Virus pada anjing yang berbeda-beda, hal ini
tergantung dari umur hewan, kondisi tubuh, sistem kekebalan tubuh dan jenis virus. Gejala
klinis yang terlihat mulai dari yang ringan berbentuk kelesuan (kejang) sampai berat berupa
kejang- kejang. Gambaran awal klinis yang terlihat dari penyakit ini adalah demam,
dehidrasi, keberadaan pelepasan purulen dari hidung (Gambar 1) dan mata, batuk, gangguan
pernafasan, konjungtivitis (Gambar 2), semburan dan diare dengan konsistensi cairan dan
bercak darah dapat digunakan juga diare yang berlendir.
Gambar 1. Keluarnya discharge purulen dari hidung pada anjing yang terinfeksi Canine
Distemper Virus
Sumber: http://www.worldclassgsd.com
Gambar 2. Anjing yang berusia 2 tahun mengalami Canine Distemper akut dengan gejala
klinis konjungtivitis, rinitis dan dermatitis pada kulit wajah (facial dermatitis)
Anjing yang bertahan dari penyakit sistemik akut dapat mengembangkan berbagai
macam bentuk gejala klinis seperti terjadi lesi pada kulit termasuk dermatitis pustular pada
Anak anjing, hiperkeratosis pada telapak kaki (hard pad) (Gambar 3) dan hidung serta
juvenile cellulitis. Gejala saraf dapat terlihat 1 - 3 minggu setelah pemulihan dari penyakit
sistemik. Munculnya gejala saraf juga bisa lebih lama yaitu beberapa minggu hingga
beberapa bulan. Hal ini tergantung pada daerah mana dari sistem saraf pusat yang terkena
dampak oleh virus ini. Gejala saraf yang terlihat dapat berupa hiperestesia (peningkatan
kepekaan terhadap rangsangan terutama terhadap sentuhan / sakit jika disentuh) atau
kekakuan pada leher (meningitis), kejang-kejang, paresis, paralisis, ataksia, mioklonus
(kejang pada otot tak sadar). Gejala syaraf sering terlihat bersamaan dengan hiperkeratosis
(penebalan kulit).
Gambar 3. Anjing yang terinfeksi Canine Distemper Virus mengalami hiperkeratosis pada
telapak kaki (hard pad)
Sumber: http://www.worldclassgsd.com
Lesi pada tulang (metaphyseal osteosclerosis) juga dapat terjadi, hal ini dikaitkan
dengan infeksi Canine Distemper Virus pada anjing ras besar pada umur antara 3 - 6 bulan.
Gejala klinis lain yang dapat muncul yaitu lesi pada mata yang terkait dengan infeksi Canine
Distemper Virus yang berkembang setelah anjing pulih dari penyakit sistemik akut. Lesi
pada mata dapat menyebabkan kebutaan tiba-tiba, midriasis (pelebaran pupil) persisten
(neuritis optik), ablasi retina, hyperreflectivity retina dan keratokonjungtivitis sicca. Kadang-
kadang enamel hipoplasia atau kekurangan enamel gigi terlihat pada anjing dewasa (Gambar
4), hal ini merupakan bukti dari adanya infeksi Canine Distemper Virus sebelumnya.
Kekurangan enamel gigi apabila tidak diobati dapat menyebabkan kerusakan gigi parah.
Gambar 4. Terjadi enamel hipoplasia pada anjing yang menderita Canine Distemper
V. Diagnosa
Diagnosa Canine Distemper Virus dapat dilakukan dengan pengujian biokimiawi,
hematologi dan analisis urin. Hasil pengujian tersebut menunjukkan terjadinya limfopenia,
dimana berkurangnya jumlah limfosit (sel-sel darah putih yang berfungsi dalam sistem
kekebalan tubuh pada tahap awal penyakit). Selain itu, pada hasil pengujian biokimiawi juga
menunjukkan hipoalbuminemia, dan hipoglobulinemia. Pemeriksaan mikroskopis dengan
pewarnaan preparat ulas darah perifer atau sitologi eksfoliatif (swab konjungtiva) ditemukan
adanya badan inklusi intraseluler di sitoplasma monosit, limfosit, netrofil atau eritrosit.
Pengujian biokimiawi pada cairan serebrospinal dapat menunjukkan peningkatan jumlah
limfosit dan monosit serta peningkatan protein atau hanya terjadi peningkatan protein saja.
VI. Histopatologi
Infeksi virus distemper sangatlah berbahaya karena menyerang semua ras anjing. Pada
hewan dapat mengakibatkan perubahan patologis pada organ. Salah satunya secara
histopatologi organ akan banyak diinfiltrasi oleh sel radang. Berikut merupakan beberapa
gambaran histopatologis yang mengakibatkan keadaan patologis pada ginjal.
Pengobatan
Tidak ada pengobatan pada CDV, hanya pencegahan. Anjing dengan virus akan
diberikan perawatan suportif untuk membantu tubuh mereka melawan virus dan diobati
dengan cairan untuk mencegah dehidrasi dan obat-obatan untuk membantu mengendalikan
seizures dan prognosisnya bersifat infausta (Widodo Setyo, et al, 2012).
Prognosis tergantung pada strain CDV dan respons imun anjing. Setelah demam
awal mereda, penyakit ini dapat berkembang dalam beberapa cara.
Lebih dari setengah anjing yang terinfeksi virus ini akan mati antara 2 minggu dan 3
bulan setelah infeksi, biasanya dari komplikasi sistem saraf pusat. Kebanyakan dokter
hewan merekomendasikan euthanasia untuk anjing yang menderita progresif, komplikasi
neurologis yang parah.
Infeksi CDV ditandai oleh pireksia dan keluarnya cairan dari hidung dan mata,
kadang-kadang karena diare dan pneumonia dan, yang paling kritis, oleh defisit neurologis
dan leukopenia, sehingga mengakibatkan kematian. Infeksi akut hewan dengan CDV sering
disertai dengan manifestasi neurologis yang parah (Takenaka, Akiko, et al, 2016)
Anjing yang tampak pulih dapat mengalami masalah sistem saraf pusat kronis atau
fatal. Anjing dengan gejala ringan (mis., Mioklonus) dapat pulih, meskipun gejalanya dapat
bertahan selama beberapa bulan atau lebih. Anjing dengan respons imun yang kuat mungkin
tidak pernah menunjukkan tanda-tanda infeksi. Setelah seekor anjing pulih sepenuhnya, ia
tidak lagi menularkan virus.
Pencegahan
a) Vaksinasi
Pencegahan terbaik terhadap virus distemper pada anjing adalah vaksinasi. Vaksinasi
akan bekerja dengan sangat baik, bahkan pada hewan yang sudah terpapar virus — jika
diberikan dalam waktu 4 hari setelah terpapar. Paparan CDV melalui vaksinasi akan
menginduksi kekebalan yang tahan lama, tetapi tidak permanen. Anjing harus menerima
vaksinasi tahunan untuk memastikan tetap terlindungi dari infeksi CDV.
Ada beberapa jenis vaksin distemper yang tersedia, masing-masing dengan kelebihan
dan kekurangan. Pemilik hewan peliharaan harus mendiskusikan berbagai pilihan vaksin
tersebut dengan dokter hewan. Dua vaksin yang paling umum adalah vaksin dari adaptasi
kultur jaringan anjing dan vaksin adaptasi embrio ayam.
Vaksin yang diadaptasi kultur jaringan anjing (mis., Strain Rockborn) hampir 100 persen
efektif; vaksin tersebut sangat jarang menyebabkan echepalitis fatal, 1 sampai 2 minggu
setelah vaksinasi. Jenis vaksin ini sangat berisiko pada anjing dengan sistem kekebalan yang
lemah.
Vaksin yang diadaptasi embrio ayam (mis., Strain Onderstepoort dan Lederle) lebih
aman daripada strain Rockborn tetapi hanya sekitar 80 persen efektif.
Sebagian besar anak anjing dilahirkan dengan antibodi maternal terhadap CDV, yang
mencegah anak anjing dari infeksi jika terpapar virus. Anak anjing mulai kehilangan
antibodi maternal mereka antara usia 6 dan 12 minggu, saat itulah anak anjing harus
divaksinasi. Dua hingga tiga vaksinasi harus diberikan selama periode ini. Anjing-anjing
harus di vaksinasi ulang setiap tahun setelahnya.
Bistner and Kirk., 1985, Handbook of Veterinary Procedures and Emergency Treatment, Fourth
edition, WB. Saunders Co, Philadelphia.
Blancou K. Dog Distemper: imported into Europe from South America. Hist Med Vet. 2004.
29:35-41
Cameron JS. Allergic interstitial nephritis: clinical features and pathogenesis. Q J Med1998; 66:
97–115. Martella V., Elia G. Buonavoglia C. Canine Distemper Virus. Vet Clin Small
Anim (2008). 38:787-797
Dharmojono, H., 2001, Kapita Selecta Kedokteran Veteriner, Edisi I, Pustaka Popular Obor,
Jakarta, hal 16-20.
Ettinger, S. J., 1989, Text Book of Veterinary Internal Medicine Disease of The Dog and Cat, W.
B. Saunders Company, California, hal 301-303.
Fadhilah, Debby. 2015. Gejala Klinis Distemper Virus. Ilmu veteriner.com. diakses tanggal 29
Maret 2019.
Fenner, F. J., Gibbs, E. P. J., Murphy,F. A, Rott, R., Studdert, M. J., White, D. O., 1995, Virologi
Veteriner, Edisi kedua, Academic Press, inc., Harcourt Brace Jovanovich, Publishers, San
Diego New York Boston London Sidney Tokyo Toronto, hal 516-519.
Kuiken T., Kennedy S., Barrett M., et al. The 2000 Canine Distemper Epidemic in Caspian Seals
(Phoca caspica): Pathology and Analysis of Contributory Factors. Vet Pathl 43:3. 2006
Lane, D.R., Cooper, B.C., 2003, Veterinary Nursing, 3rd.ed, Butterworth Heinemann, pp: 432-
435.
Merck and Co., 1986, The Merck Veterinary Manual, Eight Edition, A Merck and Rhone-
Poutene Company, pp: 326-328.
Nelson R.W and Couto C.G., 2003, Small Animal Internal Medicine, Third Edition, Mosby,
pp:1015-1016.
Pettersson E, von Bonsdorff M, Tornroth T. Nephritis among young Finnish men. Clin Nephrol
1984; 22: 217–222.
Plumb, D.C., 1999, Veterinary Drugs Handbook, Third Edition, Iowa State University Press,
Ames.
Schaer, M., 2003, Clinical Medicine of The Dog and Cat, Manson Publising, hal 80-81.
Takenaka, Akiko, et al. 2016. Infectious Progression of Canine Distemper Virus from
Circulating Cerebrospinal Fluid into the Central Nervous System. Laboratory Animal
Research Center, Institute of Medical Science,. The University of Tokyo. Tokyo. Japan
Tilley L.P and Smith F.W.K., 2000, The 5 Minute Veterinary Consult, LEA and Febiger Book,
New York.
Van Regenmortel HVM, Fauquet CM, Bishop DHL, et al, editors. Virus taxonomy. Seventh
report of the International Committee on Taxonomy of Viruses. New York: Academic
Press; 2000. P. 556-7.
Widodo, Setyo, et al. 2012. Diagnostik Hewan Kecil. IPB Press. Bogor.