Oleh:
Muhammad Rizki
2207501010228
Pembimbing:
Segala puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat ini. Shalawat
beserta salam kita haturkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa
kita dari zaman kebodohan ke zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan
seperti saat ini.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada dr. Desiana, M.Ked
(ClinPath), Sp.PK (K) yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk
membimbing penulis dalam penyusunan ilmiah yang berjudul “Aspek
Laboratorium pada Kasus Leptospirosis”, serta para dokter spesialis di
bagian/KSM Patologi Klinik yang telah memberikan arahan serta bimbingan
hingga referat ini selesai.
Penulis menyadari bahwa tinjauan pustaka ini masih jauh dari kata
sempurna dan banyak kekurangan serta keterbatasan. Oleh karena itu, penulis
sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun terhadap tinjauan
Pustaka ini demi perbaikan di masa yang akan datang.
Penulis
1
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI 2
DAFTAR GAMBAR 3
DAFTAR TABEL 4
BAB I 1
PENDAHULUAN 1
BAB II 3
TINJAUAN PUSTAKA 3
2.1 Definisi 3
2.2 Epidemiologi 3
2.3 Etiologi 5
2.4 Faktor Resiko 6
2.5 Patogenesis 7
2.6 Manifestasi Klinis 10
2.7 Kriteria Diagnosis 11
2.8 Pemeriksaan Laboratorium 12
BAB III 22
KESIMPULAN 22
DAFTAR PUSTAKA 23
2
DAFTAR GAMBAR
3
DAFTAR TABEL
4
BAB I
PENDAHULUAN
1
mencerminkan paparan dalam kegiatan yang didominasi laki-laki. Angka
kematian akibat leptospirosis di Indonesia termasuk tinggi, mencapai 2,5%-
16,4% dan hal ini tergantung sistem organ yang terinfeksi. Pada usia lebih dari 50
tahun kematian mencapai 56%.2
Salah satu kendala dalam menangani leptospirosis berupa kesulitan dalam
melakukan diagnostik awal. Sementara dengan pemeriksaan sederhana memakai
mikroskop biasa dapat dideteksi adanya gerakan Leptospira dalam urine.
Diagnostik pasti ditegakkan dengan ditemukannya leptospira pada darah atau
urine atau ditemukannya hasil serologi positif. Diagnosis leptospirosis seringkali
terlewatkan sebab gejala klinis penyakit ini tidak spesifik dan sulit dilakukan
konfirmasi diagnosis tanpa uji laboratorium. Oleh karena itu, penting mengangkat
Aspek Laboratorium Leptospirosis pada referat ini agar dapat membantu dalam
menegakkan diagnosis pasti leptospirosis.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Leptospirosis adalah suatu penyakit infeksi akut pada manusia dan hewan
(zoonosis) yang disebabkan oleh mikroorganisme Leptospira sp yang terdiri dari
lebih 300 serovar. Pada manusia umumnya disebabkan oleh Leptospira
interogans (Gambar 1) yang ditemukan dalam air seni dan sel-sel hewan yang
terkena. 3
Penyakit ini pertama sekali dikemukakan oleh Weil pada tahun 1886 yang
membedakan penyakit yang disertai dengan ikterus ini dengan penyakit lain yang
iuga menyebabkan ikterus. Leptospirosis berat disebut juga dengan Weil's disease.
Nama lain leptospirosis adalah mud fever, slime fever, swamp fever, autumnal
fever, infectious jaundice, field fever, canicola fever dan lain-lain. 1
2.2 Epidemiologi
Menurut WHO, jumlah kasus leptospirosis berat lebih dari 500.000 per
tahun di seluruh dunia atau berkisar 10 kasus per 100.000 penduduk setiap tahun
di regio tropikal dan 0,1 - 1,0 per 100.000 penduduk di temperate area. Angka ini
3
tentunya dibawah yang sebenarnya, karena kurangnya survailans dan sulitnya
menegakkan diagnosis pasti. 1
4
2.3 Etiologi
Gambar 2. Spirochaeta
5
Gambar 3. Spirochaeta pada mikroskop lapangan gelap1
6
1) Pemukiman, semakin padat pemukiman maka akan semakin sulit untuk
mengontrol kebersihan lingkungan tersebut, sehingga lingkungan yang
kotor merupakan habitat yang sangat baik bagi tikus dan meningkatkan
faktor resiko bakteri Leptospira berada di dalam tikus tersebut
3) Area luasan banjir, semakin luas area banjir dan ketika tikus yang
terinfeksi bakteri Leptospira mengeluarkan urinnya maka akan semakin
mudah penyebarannya dan akan banyak manusia yang terinfeksi bakteri
Leptospira. 6
2) Penggunaan alat pelindung diri, alat pelindung diri merupakan alat yang
dapat mencegah infeksi bakteri Leptospira untuk masuk ke dalam tubuh
manusia, tidak menggunakan alat pelindung diri memperbesar faktor
resiko bakteri Leptospira untuk menginfeksi tubuh manusia.
4) Riwayat kontak dengan genangan air, genangan air yang tercemar oleh
urin tikus yang mengandung bakteri Leptospira akan meningkatkan faktor
resiko infeksi dari bakteri Leptospira kepada manusia. 5) Pendidikan
7
rendah, pendidikan yang rendah membuat pengetahuan dan kesadaran diri
mengenai pencegahan terhadap keselamatan diri dari bakteri Leptospira
kurang dilakukan.
2.5 Patogenesis
Leptospira dapat masuk melalui luka di kulit atau menembus jaringan
mukosa seperti konjungtiva, nasofaring, dan vagina kemudian masuk ke dalam
darah, berkembang biak, dan menyebar ke jaringan tubuh. Leptospira juga dapat
menembus jaringan seperti ruang depan mata dan ruang subarakhnoid tapa
menimbulkan reaksi peradangan yang berarti. Tubuh manusia akan memberikan
respon imunologik, baik secara selular maupun humoral.2
8
kidney injury (AKI), disebut juga sindrom pseudohepatorenal. AKI merupakan
penyebab kematian yang penting pada leptospirosis. Pada kasus yang meninggal
minggu pertama perjalanan penyakit, terlihat pembengkakan atau nekrosis sel
epitel tubulus ginjal. Pada kasus yang meninggal minggu ke-2 terlihat banyak
fokus nekrosis pada epitel tubulus ginjal, sedangkan yang meninggal setelah
minggu ketiga ditemukan sel radang yang menginfiltrasi seluruh ginjal.2
Gejala pada paru bervariasi, mulai dari batuk, dispneu, dan hemoptisis
sampai dengan acute respiratory distress syndrome (ARDS) dan severe pulmonary
haemorrhage syndrome (SPHS). Kelainannya dapat berupa kongesti septum paru,
perdarahan multifokal, dan infiltrasi sel mononuklear. Perdarahan dapat terjadi
pada pleura, alveoli, dan trakeobronkial. Efusi pleura mungkin juga dapat terjadi.
Gambaran infiltrat biasanya dapat terlihat pada daerah intra-alveolar dan
perdarahan interstisial. Baik infiltrat alveolar maupun dispneu merupakan
indikator yang buruk pada leptospirosis berat.2
9
Gambar 5. Diagram Patogenesis Leptospirosis2
Masa inkubasi 2-26 hari, biasanya 7-13 hari dan rata-rata 10 hari.
Leptospirosis mempunyai 2 fase penyakit yang khas yaitu fase leptospiremia
dan fase imun.7
a. Fase leptospiremia
Fase ini ditandai dengan adanya leptospira di dalam darah dan
cairan serebrospinal, berlangsung secara tiba-tiba dengan gejala awal sakit
kepala biasanya di frontal, rasa sakit pada otot yang hebat terutama pada
paha, betis, dan pinggang disertai nyeri tekan. Mialgia dapat diikuti
dengan hiperestesi kulit, demam tinggi yang disertai menggigil, juga
didapati mual dengan atau tampa muntah disertai mencret, bahkan pada
sekitar 25% kasus disertai penurunan kesadaran. Pada pemeriksaan
10
keadaan sakit berat, bradikardia relatif, dan icterus (50%). Pada hari ke 3-
4 dapat dijumpai adanya konjungtiva suffusion dan fotofobia. Pada kulit
dapat dijumpai rash yang berbentuk macular, maculopapular, atau
urtikaria. Kadang-kadang dijumpai splenomegali, hepatomegali, serta
limfadenopati. Fase ini berlangsung 4-7 hari. Jika pepat ditangani, pasien
akan membaik, suhu akan kembali normal, penyembuhan organ-organ
yang terlibat dan fungsinya akan kembali normal 3-6 minggu setelah
onset. Pada keadaan sakit yang lebih berat, demam turun setelah 7 hari
diikuti oleh bebas demam selama 1-3 hari, setelah itu terjadi demam
kembali. Keadaan ini disebut fase kedua atau fase imun.7
b. Fase imun
Fase ini ditandai dengan peningkatan titer antibody, dapat timbul
demam yang mencapai suhu 40 derajat celcius disertai menggigil dan
kelemahan umum. Terdapat rasa sakit yang menyeluruh pada leher, perut,
dan otot-otot kaki terutama Otot betis. Terdapat perdarahan berupa
epistaksis, gejala kerusakan pada ginjal dan hepar, uremia dan ikterik.
Perdarahan paling jelas terlihat pada fase ikterik, purpura, petechiae,
epistaksis, perdarahan gusi merupakan manifestasi perdarahan paling
sering. Conjungtiva injection dan conjungtiva suffusion dengan icterus
merupakan tanda patognomonis untuk leptospirosis. Terjadinya
meningitis merupakan tanda pada fase ini, walaupun hanya 50% gejala
dan tanda meningitis, tetapi pleositosis pada CSS dijumpai pada 50-90%
pasien. Tanda-tanda meningeal dapat menetap dalam beberapa minggu,
tetapi biasanya menghilang setelah 1-2 hari. Pada fase ini, leptospira
dapat dijumpai dalam urin.7
1. Kasus suspek : Demam akut dengan atau tanpa sakit kepala, disertai
nyeri otot, lemah (malaise), conjungtival suffusion, dan riwayat terpapar
11
dengan lingkungan yang terkontaminasi atau aktifitas yang merupakan
faktor risiko leptospirosis dalam kurun waktu 2 minggu.
12
enzim hati dan bilirubin, pemeriksaan BUN dan kreatinin, elektrolit
darah.
3. Urinalisa
Indikasi: untuk mendeteksi adanya kelainan pada ginjal Pemeriksaan
yang dapat dilakukan : pemeriksaan visual meliputi kekeruhan,
pemeriksaan miksroskopis untuk menilai ada tidaknya leukosit,
eritrosit, bakteri, kristal, dan sel epitel; metode dipstick untuk menilai
pH, glukosa, bilirubin, protein.
4. Analisa Cairan Serebrospinal
Indikasi: untuk mendeteksi adanya Leptospira dan meningitis sebagai
komplikasi neurologik leptospirosis
Pemeriksaan : visual, kimia, dan hematologi.
13
sementara kadar glukosa normal. Pada penderita dengan ikterus berat,
cairan serebrospinal tampak xantochrom. Kelainan cairan serebrospinal
tampak jelas pada minggu ke-2 sakit, dan pleositosis pada cairan
serebrospinal dapat terjadi sampai berminggu-minggu. Perubahan alami
yang tidak spesifik ini hanya dapat dipakai untuk menduga adanya infeksi
leptospirosis. Untuk memastikan diagnosis, perlu dilakukan pemeriksaan
mikrobiologi spesifik.8
14
Gambar 8. Leptospira pada saat pemeriksaan mikroskopik lapangan gelap8
Leptospira tampak sebagai organisme bergerak cepat, berbentuk
spiral pegas yang lurus, umumnya ditemukan dalam biakan, darah, dan
urine. Dari hasil penelitian, sensitifitas pemeriksaan mikroskop lapangan
gelap 40,2% dan spesifisitas 61,5%, dengan nilai ramal positif 55,2% dan
nilai ramal negatif 46,6%. Nilai rata-rata positif pada penderita dengan
pemeriksaan biakan positif cukup rendah yaitu 40%. Walaupun
pemeriksaan ini merupakan tes yang cepat, tetapi tidak disarankan
digunakan sebagai prosedur tes tunggal untuk mendiagnosis leptospirosis.
Keuntungan pemeriksaan ini: dapat digunakan untuk mengamati
Leptospira dalam biakan, terutama bila bakteri dalam jumlah banvak dan
untuk mengamati aglutinasi pada pemeriksaan Microscopic Agglutination
Test (MAT). Kelemahannya, memerlukan tenaga ahli berpengalaman. Bila
jumlah bakteri sedikit, Leptospira sulit ditemukan. Sensitifitas
pemeriksaan ini dapat ditingkatkan dengan memberikan pewarnaan.
Metode pewarnaan yang sering dipakai immunofluorescence. Teknik ini
dapat dilakukan untuk pemeriksaan urine, darah, dan tanah. Di samping
itu, Leptospira dapat juga diwarai dengan immunoperoksidase, sering
digunakan untuk pemeriksaan sampel darah dan urine. Pewarnaan
histologis yang paling sering digunakan untuk memperlihatkan Leptospira
adalah pewarnaan perak dan pewarnaan Warthin-Starry.8
15
Gambar 10. Pemeriksaan histopatologi Leptospira dengan pewarnaan Warthi
Starry.8
16
Gambar 11. Koloni Leptospira pada medium LVW (Leptospira Vanaporn
Wuthiekanum).8
17
Ada banyak metode serologis yang dapat digunakan, dan yang dianggap
paling baik sampai saat ini adalah microscopic agglutination test (MAT).8
2.8.3.1 Microscopic Aglutination Test (MAT)
Microscopic aglutination test (MAT) adalah tes untuk menentukan
antibodi aglutinasi di dalam serum penderita. Cara melakukan tes adalah
serum penderita direaksikan dengan suspensi antigen serovar Leptospira
hidup atau mati. Setelah diinkubasi, reaksi antigen-antibodi diperiksa di
bawah mikroskop lapangan gelap untuk melihat aglutinasi. Pada uji
aglutinasi mikroskopik, peningkatan titer empat kali lipat dari serum akut
ke konvalesens merupakan konfirmasi diagnosis.'
MAT hingga kini masih digunakan sebagai gold standard
pemeriksaan leptospirosis. Keuntungan utama adalah spesifitasnya tinggi
namun kekurangannya adalah MAT membutuhkan fasilitas khusus untuk
kultur dan pemeliharaan panel Leptospira hidup. Bakteri ini sangat mudah
terkontaminasi baik antar serovar maupun bakteri lain yang dapat
menyebabkan ketidaktepatan dalam pembacaan hasil. Oleh karena itu
selain keterampilan teknis pekerja laboratorium, pemeliharaan kultur
Leptospira adalah time consuming, terutama bila panel kulturnya terlalu
banyak. Kekurangan lain yang sering terjadi adalah ketika titer antibodi
belum cukup terdeteksi atau bila serovar infeksi tersebut tidak ada dalam
panel serovar hal itu diketahui hingga kini ada lebih dari A 300 serovar
didunia yang terbagi kedalam 25 serogrup jadi harus diketahui terlebih
dahulu jenis serovar apa saja yang bersirkulasi diwilayah tersebut untuk
menentukan jenis dan jumlah serovar dalam pelaksaan MAT di
laboratorium. Sepasang serum dapat memastikan diagnosis tapa
memperhatikan jarak waktu pengambilan di antara kedua sampel. Jarak
pengambilan antara sampel pertama dan kedua sangat tergantung pada
waktu antara munculnya gejala dan penampilan gejala penyakit yang berat
pada penderita. Jika gejala penyakit leptospirosis sangat jelas, maka jarak
3-5 hari sudah dapat mendeteksi peningkatan titer. Untuk penderita dengan
perjalanan penyakit kurang jelas atau jika munculnya gejala tidak
diketahui, maka jarak pengambilan sampel pertama dan kedua antara 10-
18
14 hari. Pemeriksaan serologis menggunakan MAT kurang sensitif
terutama untuk pemeriksaan spesimen yang diambil pada permulaan fase
akut, sehingga tidak dapat digunakan menentukan diagnosis pada
penderita berat yang meninggal sebelum terjadinya serokonversi.10
Karena pemeriksaan MAT sangat kompleks, maka dikembangkan
sistem pemeriksaan antibodi Leptospira yang cepat. Ada berbagai metode
serodiagnostik untuk leptospirosis. Beberapa di antaranya sudah tersedia
secara komersial.10
2.8.3.2 Enzyme-linked Immunosorbent Assay (ELISA)
Tes ELISA sangat popular dan bahan yang diperlukan untuk
pemeriksaan sudah tersedia secara komersial dengan antigen yang
diproduksi sendiri (in house). Untuk mendeteksi IgM lumumnya
digunakan antigen spesifik genus yang bereaksi secara luas, teknik ini
kadang-kadang juga digunakan untuk mendeteksi antibodi IgG. Adanya
antibodi [gM merupakan pertanda adanya infeksi baru Leptospira atau
infeksi yang terjadi beberapa minggu terakhir. Test ELISA cukup sensitif
untuk mendeteksi Leptospira dengan cepat pada fase akut, dan lebih
sensitif dibandingkan dengan MAT. Tes ini dapat mendeteksi antibodi
IgM yang muncul pada minggu pertama sakit, sehingga cukup efektif
untuk mendiagnosis penyakit. ELISA dapat juga digunakan untuk
mendeteksi antibodi IgM dalam cairan serebrospinal, saliva dan urine..
ELISA biasanya hanya mendeteksi antibodi yang bereaksi dengan antigen
spesifik genus yang sangat luas, sehingga tidak dapat menentukan serovar
atau serogrup penyebab. Di samping untuk mendeteksi IgM, metode ini
dimodifikasi untuk mendeteksi IgG dan IgA. Dipstick assay telah
digunakan secara luas di beberapa negara. Dari hasil pemeriksaan sampel
darah yang diambil pada fase akut, tes ini memberikan sensitifitas 60,1%,
dan bila sampel darah diambil pada fase konvalesen sensitifitasnya
meningkat menjadi 87,4%. Dari hasil penelitian ternyata sensitifitas IgM-
ELISA dan IgM-dipstick komersial untuk mendeteksi leptospirosis akut
adalah 89,6-98% dan spesifisitasnya 90-92,7% dengan nilai ramal positif
87,6-90% dan nilai ramal negatif 90,7- 92%.9
19
2.8.3.3 Tes Serologi Lain
Tes Macroscopic Slide Agglutination sudah pernah dilakukan pada
binatang dan manusia. Sering digunakan untuk penapisan serum manusia
atau binatang, tetapi sering memberikan hasil positif palsu. Di samping itu,
juga dapat dilakukan pemeriksaan hemaglutinasi. Pemeriksaan ini dapat
mendeteksi antibodi IgM dan IgG. Pemeriksaan indirect hemagglutination
(IHA) dikembangkan oleh Communicable Disease Control (CDC),
mempunyai sensitifitas 92%, spesifisitas 95%, dan dengan nilai ramal
negatif 92%, bila dibandingkan dengan MAT. Metode ini tersedia secara
komersial. Sensitifitas IHA pada populasi yang endemi Leptospira
memberikan hasil yang sangat bervariasi. Tes aglutinasi mikrokapsul
menggunakan polimer sintetik sebagai pengganti sel darah merah telah
dievaluasi secara luas di Jepang dan China, ternyata lebih sensitif
dibandingkan dengan MAT atau ELISA-IgM untuk pemeriksaan fase akut,
tetapi gagal mendeteksi infeksi yang disebabkan oleh banyak serovar.
Pemeriksaan aglutinasi latex sederhana (simple latex agglutination assay)
mempunyai sensitifitas 82,3% dan spesifisitas 94,6%. Pemeriksaan ini
sangat mudah dilakukan dan tidak memerlukan keahlian dan peralatan
khusus. Reagen mempunyai masa hidup lama, walaupun pada temperatur
lingkungan daerah tropis.
Teknik lain adalah immunofluorescence, RIA,
counterimmunoelectroforesis dan immuno assay tetes tebal, tetapi jarang
digunakan.1 Selain uji serologi yang telah disebutkan di atas terdapat pula
uji serologis penyaring yang lebih cepat dan praktis sebagai tes
leptospirosis. Uii serologis penyaring yang sering digunakan di Indonesia
adalah Lepto Dipstick Assay, LeptoTek Dri Dot, dan Leptotek Lateral
Flow.9
20
2.8.4 Pemeriksaan Molekuler
3.8.4.1 Teknologi PCR
Metode ini sangat berguna untuk mendiagnosis leptospirosis
terutama pada fase permulaan penyakit. Alat ini dapat mendeteksi
Leptospira beberapa hari setelah munculnya gejala penyakit. Akan tetapi,
alat ini belum tersedia secara luas terutama di negara berkembang. Untuk
mendeteksi DNA Leptospira, teknologi PCR membutuhkan sepasang
primer dengan sasaran gen spesifik, seperti gen rRNA 16S dan 23S, atau
elemen pengulangan. Di samping itu, ada juga yang disusun dari pustaka
genom. Umumnya teknologi ini sangat jarang dipakai untuk memeriksa
spesimen klinik. Keterbatasan PCR adalah tidak mampu untuk mendeteksi
jenis serovar yang menginfeksi. Walaupun demikian PCR bermanfaat
untuk epidemiologi dan kesehatan masyarakat. Keuntungan pemeriksaan
PCR adalah bila bakteri ada maka diagnosis dapat dipastikan dengan cepat
terutama pada fase dini penyakit sebelum titer antibodi dapat dideteksi.
Kelemahannya, memerlukan peralatan dan tenaga ahli yang khusus.
Disamping itu, PCR dapat memberikan hasil positif palsu, apabila
terkontaminasi oleh DNA asing. Dia juga dapat memberi hasil negatif
palsu, karena spesimen klinik yang diperiksa sering mengandung inhibitor
seperti heparin dan saponin.8
3.8.4.2 Metode Pemetaan
Metode yang digunakan adalah mencerna DNA kromosom
menggunakan restriction endonuclease (REA), restriction fragment length
polymorphism (RFLP), ribotyping, pulsed-field gel electrophoresis
(PFGE) dari hasil PCR. Metode-metode ini dapat digunakan untuk
mendeteksi berbagai serovar.8
2.9 Tatalaksana
Pasien leptospirosis pada fase penyakit mana pun, pada kasus ringan
obat terpilih adalah doksisiklin. Obat alternatif adalah amoksisilin dan
azitromisin dihidrat. Antibiotik terpilih pada leptospirosis sedang-berat adalah
penicillin G. Antibiotik harus diberikan selama 7 hari, kecuali azitromisin
dihidrat selama 3 hari. 7
21
Gangguan fungsi ginjal umumnya dengan spontan akan membaik
seiring perbaikan kondisi pasien. Namun pada beberapa pasien membutuhkan
tindakan hemodialisa temporer, seperti pada kondisi azotemia/uremia berat.
Tindakan supportif diberikan sesuai tingkat keparahan penyakit dan
komplikasi yang timbul. Keseimbangan cairan, elektrolit, dan asam basa
diatur sebagaimana pada penanggulangan gagal ginjal secara umum.7
2.10 Komplikasi
22
walaupun umumnya sebagai penyebab kematian. Meskipun jarang dapat
ditemukan uveitis setelah 2 tahun timbul gejala leptospira.2
2.11 Prognosis
23
BAB III
KESIMPULAN
24
DAFTAR PUSTAKA
25
13. BMJ. Leptospirosis: Prognosis. Feb 2017; Available from:
http://bestpractice.bmj.com/best-practice/monograph/913/follow-up/
prognosis.html.
26