Anda di halaman 1dari 21

Clinical Science Session

MALARIA

Disusun Oleh:

Rahimi Ramadhani 1810311021

Irfani Rizka Fitri 2140312163

Preseptor :

Dr. dr. Saptino Miro, Sp.PD-KGEH, FINASIM

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM

RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR. M. DJAMIL PADANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi rabbil‟alamiin. Puji dan syukur penulis ucapkan pada Allah


S.W.T karena berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan Clinical
Science Session (CRS) yang berjudul “Malaria”. Laporan kasus ini disusun untuk
menambah pengetahuan dan wawasan penulis dan pembaca, serta menjadi salah
satu ilmiah dalam mengikuti kepaniteraan klinik di Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. dr. Saptino Miro, Sp.PD-KGEH,
FINASIM selaku preseptor yang telah memberikan arahan dan petujuk dalam
pembuatan makalah ini. Penulis juga berterima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu dalam penulisan makalah ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa laporan kasus ini masih memiliki
banyak kekurangan. Untuk itu kritik dan saran sangat penulis harapkan. Akhir kata,
semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Padang, Maret 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ii

Daftar Isi iii

BAB 1 Pendahuluan 1

BAB 2 Tinjauan Pustaka 3

2.1 Definisi 3

2.2 Epidemiologi 3

2.3 Etiologi 4

2.4 Patofisiologi 5

2.5 Diagnosis 10

2.6 Tatalaksana 12

2.7 Komplikasi 14

2.8 Prognosis 15

BAB 3 Kesimpulan 16

Daftar Pustaka 18

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit malaria merupakan salah satu penyakit infeksi yang memberikan


morbiditas yang cukup tinggi di dunia, dan merupakan infeksi yang ke-3 teratas
dalam jumlah kematian. Infeksi malaria masih merupakan masalah klinik bagi
negara tropik/subtropik dan negara berkembang maupun negara yang sudah maju.
Malaria merupakan penyebab kematian utama penyakit tropik, diperkirakan satu
juta penduduk dunia meninggal tiap tahunnya dan terjadi kasus malaria baru 200-
300 juta/tahun. Menurut data laporan WHO, jumlah kasus malaria di dunia yaitu
sebanyak 241 juta kasus pada tahun 2020, hal ini mengalami peningkatan
dibandingkan dengan angka kejadian pada tahun 2019 yaitu sebanyak 227 juta
kasus. Di Indonesia sendiri malaria masih merupakan penyakit infeksi yang
menjadi perhatian utama kementerian kesehatan untuk dilakukan eliminasi
disamping infeksi tuberculosis dan infeksi HIV/AIDS.1,2

Malaria adalah suatu infeksi parasit yang ditularkan melalui nyamuk


Anopheles yang dapat menyebabkan penyakit akut yang mengancam nyawa.
Sekitar dua juta orang berisiko untuk terkena malaria setiap tahunnya. Termasuk di
90 negara endemik dan diantara 125 juta pelaku perjalanan.3

Parasit Plasmodium memiliki siklus hidup yang bertingkat yang


menyebabkan demam siklik yang khas. Dengan pengobatan tepat waktu,
kebanyakan orang mengalami resolusi gejala yang cepat, namun, komplikasi yang
signifikan dapat terjadi, termasuk malaria serebral, anemia malaria berat, koma,
atau kematian. Rejimen terapi antimalaria dan kemoprofilaksis yang dipilih
ditentukan oleh spesies, geografi, kerentanan, dan demografi pasien. Infeksi laten
atau reaktivasi dapat dilaporkan beberapa tahun setelah pajanan. 3

1
1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana definisi, epidemiologi, etiologi dan faktor risiko, patofisiologi,


diagnosis, tatalaksana, komplikasi, prognosis dan pencegahan kasus malaria?.

1.3 Tujuan Penulisan

Mengetahui dan memahami definisi, epidemiologi, etiologi dan faktor


risiko, patofisiologi, diagnosis, tatalaksana, komplikasi, prognosis dan pencegahan
malaria.

1.4 Metode Penulisan

Metode yang dipakai dalam penulisan makalah ini adalah tinjauan


kepustakaan dengan merujuk kepada beberapa literatur berupa buku teks, jurnal dan
makalah ilmiah.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Infeksi malaria disebabkan oleh adanya parasit Plasmodium di dalam darah
atau jaringan yang dibuktikan dengan pemeriksaan mikroskopik yang positif,
adanya antigen malaria dengan tes cepat, ditemukan DNA/RNA parasit pada
pemeriksaan PCR. Infeksi malaria dapat memberikan gejala berupa demam,
menggigil, anemia dan splenomegali. Pada individu yang imunnya baik dapat
berlangsung tanpa gejala (asimtomatis). 1

Penyakit Malaria (malaria disease) ialah penyakit yang disebabkan oleh


infeksi parasit Plasmodium di dalam eritrosit dan biasanya disertai dengan gejala
demam, dapat berlangsung akut ataupun kronik. Infeksi malaria dapat berlangsung
tanpa komplikasi ataupun mengalami komplikasi sistemik yang dikenal sebagai
malaria berat. Sejenis infeksi parasit yang menyerupai malaria ialah infeksi
babesiosa yang menyebabkan babesiosis. 1

2.2 Epidemiologi
Infeksi malaria tersebar pada lebih dari 100 negara di benua Afrika, Asia,
Amerika (bagian Selatan) dan daerah Oceania dan kepulauan Caribia. Lebih dari
1.6 triliun manusia terpapar oleh malaria dengan dugaan morbiditas 200-300 juta
dan mortalitas lebih dari 1 juta pertahun. Beberapa daerah yang bebas malaria yaitu
Amerika Serikat, Canada, negara di Eropa (kecuali Rusia), Israel, Singapura,
Hongkong, Jepang, Taiwan, Korea, Brunei dan Australia. Negara tersebut terhindar
dari malaria karena vektor kontrolnya yang baik, walaupun demikian di negara
tersebut makin banyak dijumpai kasus malaria yang diimpor karena pendatang dari
negara malaria atau penduduknya mengunjungi daerah-daerah malaria.1

Empat puluh persen dari total populasi global tinggal atau mengunjungi
daerah endemik malaria setiap tahunnya. P. falciparum hadir di Afrika Barat dan
sub-Sahara dan menunjukkan morbiditas dan mortalitas tertinggi dari spesies
Plasmodium. P. vivax hadir di Asia Selatan, Pasifik Barat, dan Amerika Tengah. P.
ovale dan P. malariae terdapat di Afrika Sub-Sahara. P. knowlesi hadir di Asia

3
Tenggara. Sebanyak 500 juta kasus malaria terjadi setiap tahun, dengan 1,5 hingga
2,7 juta kematian. Sembilan puluh persen kematian terjadi di Afrika. Mereka yang
berisiko tinggi termasuk anak-anak di bawah usia 5 tahun, wanita hamil, dan
populasi yang naif penyakit, termasuk populasi pengungsi di Afrika Tengah dan
Timur, pelancong sipil dan militer yang tidak kebal, dan imigran yang kembali ke
tempat asal mereka. Dari 125 juta pelancong yang mengunjungi lokasi endemik
setiap tahun, 10.000 hingga 30.000 menderita malaria, dan 1% diantaranya akan
meninggal karena komplikasi penyakitnya.3 Menurut data laporan WHO, jumlah
kasus malaria di dunia yaitu sebanyak 241 juta kasus pada tahun 2020, hal ini
mengalami peningkatan dibandingkan dengan angka kejadian pada tahun 2019
yaitu sebanyak 227 juta kasus.2 Meningkatnya suhu rata-rata global dan perubahan
pola cuaca diproyeksikan akan menambah beban malaria; kenaikan 3 derajat
Celcius didalilkan untuk meningkatkan kejadian malaria sebesar 50 hingga 80 juta. 3
Pada surveilens malaria di masyarakat, tingginya slide positive rate (SPR)
menentukan endemisitas suatu daerah dan pola klinis penyakit malaria akan
berbeda. Secara tradisi endemisitas daerah dibagi menjadi : 1

 HIPOENDEMIK: bila parasit rate atau spleen rate 0 - 10%


 MESOENDEMIK: bila parasit rate atau spleen rate 10 - 50%
 HIPERENDEMIK: bila parasit rate atau spleen rate 50 - 75%
 HOLOENDEMIK: bila parasit rate atau spleen rate > 75%
Parasit rate dan spleen rate ditentukan pada pemeriksaan anak-anak usia 2
- 9 tahun. Pada daerah holoendemik banyak penderita anak-anak dengan anemia
berat, pada daerah hiperendemik dan mesoendemik mulai banyak malaria serebral
pada usia kanak-kanak (2-10 tahun), sedangkan pada daerah hipoendemik/ daerah
tidak stabil banyak dijumpai malaria serebral, malaria dengan gangguan fungsi
hati atau gangguan fungsi ginjal pada usia dewasa. 1

2.3 Etiologi
Terdapat lima spesies plasmodium yang menginfeksi manusia diantaranya
P. falciparum, P. ovale, P. vivax, P. malariae, dan P. knowlesi. Nyamuk Anopheles
betina menelan gamet selama menghisap darah, yang membentuk sporozoit yang
bereplikasi di usus. Ketika makan darah berikutnya, air liur yang mengandung

4
sporozoit dilepaskan ke dalam aliran darah inang manusia. Dalam 60 menit,
sporozoit mencapai hati, menyerang hepatosit, dan kemudian membelah dengan
cepat, membentuk merozoit. Pada infeksi aktif, organisme masuk kembali ke aliran
darah dan menyerang eritrosit. Di dalam eritrosit, Plasmodium mengonsumsi
hemoglobin dan berkembang dari trofozoit imatur (tahap cincin) menjadi trofozoit
matang atau gametosit. Trofozoit dewasa bereplikasi, membentuk skizon,
mengganggu integritas membran sel eritrosit, dan menyebabkan perlekatan endotel
kapiler dan lisis sel. Malaria yang tidak diobati berlangsung 2 sampai 24 bulan.
Infeksi P. vivax dan P. ovale dapat menunjukkan "schizogony dorman," di mana
parasit intrahepatik yang tidak aktif (hipnozoit) tetap ada sampai reaktivasi
berbulan-bulan hingga bertahun-tahun di masa depan.3

2.4 Patofisiologi
Masa inkubasi dan waktu munculnya gejala, bervariasi menurut spesies: 8
hingga 11 hari untuk P. falciparum, 8 hingga 17 hari untuk P. vivax, 10 hingga 17
hari untuk P. ovale, 18 hingga 40 hari untuk P. malariae (meskipun mungkin
sampai beberapa tahun), dan 9 sampai 12 hari untuk P. knowlesi. Periode siklus
hidup Plasmodium menciptakan kekakuan klasik yang disebut "paroxysm malaria",
diikuti oleh beberapa jam demam, diaforesis dan penurunan suhu tubuh normal
(infeksi P. vivax membentuk siklus 48 jam), meskipun ini lebih jarang ditemukan
saat ini karena identifikasi dan pengobatan yang cepat.3
Setelah melalui jaringan hati P. falciparum melepaskan 18-24 merozoit ke
dalam sirkulasi. Merozoit yang di lepaskan akan masuk dalam sel RES di limpa dan
mengalami fagositosis serta filtrasi. Merozoit yang lolos dari filtrasi dan fagositosis
di limpa akan menginvasi eritrosit. Selanjutnya parasit berkembang biak secara
aseksual dalam eritrosit. Bentuk aseksual parasit dalam eritrosit yang berpotensi
(EP) inilah yang bertanggung jawab dalam patogenesis terjadinya malaria pada
manusia. Patogenesis malaria yang banyak diteliti adalah patogenesis malaria yang
disebabkan oleh P. falciparum.1

Patogenesis malaria falsiparum dipengaruhi oleh faktor parasit dan faktor


pejamu (host). Termasuk dalam faktor parasit adalah intensitas transmisi, densitas
parasit dan virulensi parasit. Sedangkan yang masuk dalam faktor pejamu adalah

5
tingkat endemisitas daerah tempat tinggal, genetik, usia, status nutrisi dan status
imunologi. EP secara garis besar mengalami 2 stadium, yaitu stadium cincin pada
24 jam pertama dan stadium matur pada 24 jam kedua. Permukaan EP stadium
cincin akan menampilkan antigen RESA (Ring-erythrocyte surgace antigen) yang
menghilang setelah parasit masuk stadium matur. Permukaan membrane EP
stadium matur akan mengalami penonjolan dan membentuk knob dengan Histidin
Rich-protein-1 (HRP-1) sebagai komponen utamanya. Selanjutnya bila EP tersebut
berubah menjadi merozoid, akan dilepaskan toksin malaria berupa GPI atau
glikosilfosfatidilinositol yang merangsang pelepasan TNF-a dan interleukin-1 (IL-
1) dari makrofag.1

Sitoaderensi. Sitoaderensi ialah perlekatan antara EP stadium matur pada


permukaan endotel vaskular. Perlekatan terjadi karena molekul adhesif yang
terletak dipermukaan knob EP melekat dengan molekul-molekul adhesif yang
terletak dipermukaan endotel vaskular. Molekul adhesif di permukaan knob EP
secara kolektif disebut PfEMP-1, (P. falciparum erythrocyte membrane protein-1).
Molekul adhesif dipermukaan sel endotel vaskular adalah CD36, trombospondin,
intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1), vascular cell adhesion, adhesion
chondroitin molecule - 1 (VCAM), endothel leucocyte molecule-1 (ELAM-1) dan
glycosaminoglycan sulfate A. PfEMP-1 merupakan protein-protein hasil ekspresi
genetik oleh sekelompok gen yang berada dipermukaan knob. Kelompok gen ini
disebut gen VAR. Gen VAR mempunyai kapasitas variasi antigenik yang sangat
besar.1

Sekuestrasi. Sitoaderen menyebabkan EP matur tidak beredar kembali


dalam sirkulasi. Parasit dalam eritrosit matur yang tinggal dalam jaringan
mikrovaskular disebut EP matur yang mengalami sekuestrasi. Hanya P. falciparum
yang mengalami sekuestrasi, karena pada Plasmodium lainnya seluruh siklus terjadi
pada pembuluh darah perifer. Sekuestrasi terjadi pada organ-organ vital dan hampir
semua jaringan dalam tubuh. Sekuestrasi tertinggi terdapat di otak, diikuti dengan
hepar dan ginjal, paru, jantung, usus dan kulit. Sekuestrasi ini diduga memegang
peranan utama dalam patofisiologi malaria berat. 1

6
Rosetting ialah berkelompoknya EP matur yang diselubungi 10 atau lebih
eritrosit yang tidak mengandung parasit. Plasmodium yang dapat melakukan
sitoaderensi juga yang dapat melakukan rosetting. Rosetting menyebabkan
obstruksi aliran darah lokal/dalam jaringan sehingga mempermudah terjadinya
sitoadheren.1

Sitokin. Sitokin terbentuk dari sel endotel, monosit dan makrofag setelah
mendapat stimulasi dari malaria toksin (LPS, GPI). Sitokin ini antara lain TNF-a
(tumor necrosis factor-alpha), interleukin-1 (IL-1), interleukin-6 (IL-6),
interleukin-3 (IL-3), LT (lymphotoxin) dan interferongamma (INF-g). Dari
beberapa penelitian dibuktikan bahwa penderita malaria serebral yang meninggal
atau dengan komplikasi berat seperti hipoglikemia mempunyai kadar TNF-a yang
tinggi. Demikian juga malaria tanpa komplikasi kadar TNF-a, IL-1, IL-6 lebih
rendah dari malaria serebral. Walaupun demikian hasil ini tidak konsisten karena
juga dijumpai penderita malaria yang mati dengan TNF normal/rendah atau pada
malaria serebral yang hidup dengan sitokin yang tinggi. Oleh karenanya diduga
adanya peran dari neurotransmitter yang lain sebagai radikal bebas dalam kaskade
ini seperti nitrit-oksida sebagai faktor yang penting dalam patogenesis malaria
berat.1

Nitrit Oksida. Akhir-akhir ini banyak diteliti peran mediator nitrit oksida
(NO) baik dalam menimbulkan malaria berat terutama malaria serebral, maupun
sebaliknya NO justru memberikan efek protektif karena membatasi perkembangan
parasit dan menurunkan ekspresi molekuladesi. Diduga produksi NO lokal di organ
terutama otak yang berlebihan dapat mengganggu fungsi organ tersebut. Sebaliknya
pendapat lain menyatakan kadar NO tertentu, memberikan perlindungan terhadap
malaria berat. Justru kadar NO yang rendah mungkin menimbulkan malaria berat,
ditunjukkan dari rendahnya kadar nitrat dan nitrit total pada cairan serebrospiral.
Anak-anak penderita malaria serebral di Afrika, mempunyai kadar arginine yang
rendah. Masalah peran sitokin proinflamasi dan NO pada patogenesis malaria berat
masih kontroversial, banyak hipotesis yang belum dapat dibuktikan dengan jelas
dan hasil berbagai penelitian sering saling bertentangan. 1

7
Bentuk imunitas terhadap malaria dapat dibedakan atas : 1). Imunitas
alamiah non-imunologis berupa kelainan-kelainan genetik polimorfisme yang
dikaitkan dengan resistensi terhadap malaria. Misalnya: hemoglobin S (sickle cell
trait), hemoglobin C, hemoglobin E, talasemia A/B, defisiensi glukosa-6 pospat
dehidrogenase (G6PD), ovalositosis herediter, golongan darah Duffy negative
yang kebal terhadap infeksi R vivax, individu dengan human leucocyte antigen
(HLA) tertentu misalnya HLA Bw 53 lebih rentan terhadap malaria dan melindungi
terhadap malaria berat; 2). Imunitas didapat non-spesifik (non-adaptive/innate).
Sporozoit yang masuk darah akan dengan cepat merangsang respon imun non-
spesifik yang terutama dilakukan oleh makrofag dan monosit, dengan
menghasilkan sitokin-sitokin seperti TNF, IL-1, IL-2, IL- 4, IL-6, IL-8, IL-10,
secara langsung menghambat pertumbuhan parasit (sitostatik), dan membunuh
parasit (sitotoksik); 3). Imunitas didapat spesifik. Tanggapan sistem imun terhadap
infeksi malaria mempunyai sifat spesies spesifik, strain spesifik, dan stage spesifik.
Imunitas terhadap stadium siklus hidup parasit (stage spesifik), dibagi menjadi: 1

 Imunitas pada stadium eksoeritrositer :


Eksoeritrositer ekstrahepatik (stadium sporozoit), respons imun pada
stadium ini adalah melalui antibodi yang menghambat masuknya sporozoite
ke hepatosit dan antibodi yang membunuh sporozoit melalui opsonisasi
Contoh: Sirkumsporozoid protein (Circumsporozoid protein/CSP),
Sporozoid Threonin and asparagin rich protein (STARP), Sporozoid and
liver stage antigen (SALSA), Plasmodium falcifarum sporozoite
surfaceprotein-2 (SSP-2 / Trombospondin related anonymous protein -
TRAP).
Eksoeritrositer intrahepatik, respons imun pada stadium ini adalah melalui:
Limfosit T sitotoksik CD8+, antigen/antibodi pada stadium hepatosit: Liver
stage antigen -1 (LSA-1), LSA-2, LSA-3
 Imunitas pada stadium aseksual eritrositer berupa :
Antibodi yang mengaglutinasi merozoit, antibodi yang menghambat
sitoaderens, dan antibodi yang menghambat pelepasan atau menetralkan
toksin-toksin parasit. Seperti: antigen dan antibodi pada stadium merozoit/
Merozoit surface antigen/protein 1(MSA/MSP-1), MSA-2, MSP-3, Apical

8
membrane Antigen (AMA-1), Eritrocyte Binding Antigen-175 (EBA-175),
Rhoptry Associated Protein-1 (RAP-1), Glutamine Rich Protein (GLURP).
Antigen dan antibodi pada stadium aseksual eritrositer: Pf-155/Ring
Eritrocyte Surface Antigen (RESA), Pf-155 Ring Eritrocyte Surface Antigen
(RESA), Serine Repeat Antigen (SERA), Histidine Rich protein-2 (HRP-2),
P. falcifarum Eritrocyte Membrane Protein-1/ Pf-EMP-1, Pf-EMP-2,
Mature Parasite Infective Erytrocyte Surface Antigen (MESA), Pf-EMP-3,
Heat Shock Protein-70 (HSP-70)
 Imunitas pada stadium seksual berupa: antibodi yang membunuh gametosit,
antibodi yang menghambat fertilisasi, antibodi yang menghambat
transformasi zigot menjadi ookinet, antigen/antibodi pada stadium seksual
prefertilisasi: Pf- 230 (Transmission blocking antibody), Pf - 48/45, Pf-
7/25, Pf-16, Pf-320, dan antigen/antibodi pada stadium seksual post
fertilisasi, misal : Pf-25, Pf-28.
Pembuatan vaksin banyak ditujukan pada stadium sporozoit, terutama
dengan menggunakan epitop tertentu dari sirkumsporozoid. Respon imun spesifik
ini diatur dan/atau dilaksanakan langsung oleh limfosit T untuk imunitas selular dan
limfosit B untuk imunitas humoral. 1

9
Gambar 2.1 Siklus hidup plasmodium1

2.5 Diagnosis

Diagnosis malaria ditegakkan seperti diagnosis penyakit lainnya


berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium.
Diagnosis pasti malariaharus ditegakkan dengan pemeriksaan sediaan darah secara
mikroskopis atau uji diagnostik cepat (Rapid Diagnostic Test = RDT). 4
a. Anamnesis
 Keluhan utama, yaitu demam, menggigil, berkeringat dan dapat
disertai sakit kepala, mual, muntah, diare, dan nyeri otot atau
pegal-pegal.
 Riwayat berkunjung dan bermalam lebih kurang 1-4 minggu
yang lalu ke daerah endemik malaria.
 Riwayat tinggal di daerah endemis malaria.
 Riwayat sakit malaria dan riwayat minum obat malaria.
b. Pemeriksaan Fisik

10
 Suhu tubuh aksiler > 37,5 °C
 Konjungtiva atau telapak tangan pucat
 Sklera ikterik
 Pembesaran Limpa (splenomegali)
 Pembesaran hati (hepatomegali)
c. Pemeriksaan Laboratorium
 Pemeriksaan dengan mikroskop
Pemeriksaan sediaan darah tebal dan tipis di
Puskesmas/lapangan/rumah sakit/laboratorium klinik untuk
menentukan ada tidaknya parasit malaria, spesies dan stadium
plasmodium, dan kepadatan parasit/jumlah parasit
 Pemeriksaan uji diagnostik cepat (Rapid Diagnostic Test)
Mekanisme kerja tes ini berdasarkan deteksi antigen parasit
makaria, dengan menggunakan metoda imunokromatografi.
Pemeriksaan dengan RDT tidak digunakan untuk mengevaluasi
pengobatan.4

2.5.1 Malaria Berat


Pada malaria berat, ditemukan Plasmodium falciparum atau Plasmodium
vivax stadium aseksual dengan satu atau lebih dari manifestasi klinis sebagai
berikut:4

a. Perubahan Kesadaran (GCS <11)


b. Kelemahan otot (tak bisa duduk/berjalan)
c. Kejang berulang-lebih dari dua episode dalam 24 jam
d. Distres pernafasan (pada anak)
e. Edema paru (didapat dari gambaran radiologi atau saturasi oksigen <92
% dan frekuensi pernafasan >30)
f. Gagal sirkulasi atau syok: pengisian kapiler > 3 detik, tekanan sistolik
<80 mm Hg (pada anak: <70 mmHg)
g. Jaundice (bilirubin>3mg/dL dan kepadatan parasit>100.000 pada
Falcifarum)
h. Hemoglobinuria

11
i. Perdarahan spontan abnormal

Atau gambaran laboratorium sebagai berikut:4

a. Hipoglikemi (gula darah <40 mg/dL)


b. Asidosis metabolik (bikarbonat plasma <15 mmol/L).
c. Anemia berat (Hb <5 gr% untuk endemis tinggi, <7gr% untuk endemis
sedang-rendah), pada dewasa Hb<7gr% atau hematokrit <15%)
d. Hiperparasitemia (parasit >2 % eritrosit atau 100.000 parasit / μL di
daerah endemis rendah atau > 5% eritrosit atau 100.0000 parasit /μl di
daerah endemistinggi)
e. Hiperlaktemia (asam laktat >5 mmol/L)
f. Hemoglobinuria
g. Gangguan fungsi ginjal (kreatinin serum >3 mg%) atau urea darah >20
mmol/liter
2.6 Tatalaksana
Pengobatan malaria yang dianjurkan saat ini dengan pemberian ACT
(Artemisinin base Combination Therapy). Golongan artemisin (ART) dipilih
sebagai obat utama karena efektif dalam mengatasi plasmodium yang resisten
dengan pengobatan. Selain itu, artemisin juga bekerja membunuh plasmodium
dalam semua stadium termasuk gametosit. 4 Pengobatan malaria yang dianjurkan
saat ini menggunakan DHP dan Primakuin. Pemberian kombinasi ini un tuk
meningkwtkan efektifitas dan mencegah resistensi. Malaria tanpa komplikasi
diobati dengan pemberian DHP secara oral. Disamping itu diberikan primakuin
sebagai gametosidal dan hipnozoidal.7

2.6.1 Pengobatan Malaria tanpa Komplikasi

a. Malaria Falsiparum dan malaria vivax


Pengobatan malaria falsiparum dan vivaks saat ini menggunakan
DHP di tambah primakuin. Dosis DHP untuk malaria falsiparum sama
dengan malaria vivaks, Primakuin untuk malaria falsiparum hanya
diberikan pada hari pertama saja dengan dosis 0,25 mg/kgBB, dan untuk
malaria vivaks selama 14 hari dengan dosis 0,25 mg/ kgBB. Primakuin tidak

12
boleh diberikan pada bayi usia < 6 bulan dan ibu hamil juga ibu menyusui
bayi usia < 6 bulan dan penderita kekurangan G6PD. Pengobatan malaria
falsiparum dan malaria vivaks adalah seperti yang tertera di bawah ini7:

Tabel 2. 1 Pengobatan Malria Falsiparum menurut berat badan dengan


DHP dan Primakuin

Tabel 2. 2 Pengobatan Malaria vivax dan ovale menurut berat badan


dengan DHP dan Primakuin

b. Pengobatan malaria vivax yang relaps


Pengobatan kasus malaria vivaks relaps (kambuh) diberikan dengan
regimen ACT yang sama tetapi dosis Primakuin ditingkatkan menjadi 0,5
mg/kgBB/hari (harus disertai dengan pemeriksaan laboratorium kadar
enzim G6PD)7.
c. Pengobatan malaria ovale
Pengobatan malaria ovale saat ini menggunakan ACT yaitu DHP
selama 3 hari ditambah dengan Primakuin selama 14 hari. Dosis pemberian
obatnya sama dengan untuk malaria vivaks7.
d. Pengobatan malaria malariae
Pengobatan P. malariae diberikan DHP selama 3 hari, dengan dosis
sama dengan pengobatan malaria lainnya dan tidak diberikan primakuin.

13
e. Pengobatan infeksi campur P. Falciparum + P. Vivax/ P. Ovale
Pada penderita dengan infeksi campur diberikan DHP selama 3 hari
serta primakuin dengan dosis 0,25 mg/kgBB/hari selama 14 hari7.

Tabel 2. 3 Pengobatan infeksi campur P. falciparum dan P.vivax/ P.


ovale dengan DHP + Primakuin

f. Pengobatan malaria knowlesi


Diagnosa malaria knowlesi ditegakkan dengan PCR (Polymerase
Chain Reaction). Pengobatan suspek malaria knowlesi sama seperti malaria
falciparum.4
2.7 Komplikasi
a. Malaria serebral.
b. Anemia berat.
c. Gagal ginjal akut.
d. Edema paru atau ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome)
e. Hipoglikemia.
f. Gagal sirkulasi atau syok.
g. Perdarahan spontan dari hidung, gusi, alat pencernaan dan atau disertai
kelainan laboratorik adanya gangguan koagulasi intravaskular.
h. Kejang berulang > 2 kali per 24 jam pendidngan pada hipertermia.
i. Asidemia (pH darah <7.25) atau asidosis (biknat plasma < 15 mmol/L).
j. Makroskopik hemoglobinuria karena infeksi malaria akut.5

14
2.8 Prognosis
a. Malaria falsiparum ringan/sedang, malaria vivax, atau malaria ovale :
bonam
b. Malaria berat : dubia ad malam. Prognosis malaria berat tergantung
dengan kecepatan dan ketepatan diagnosis serta pengobatan. Apabila
tidak ditanggulangi, dilaporkan bahwa mortalitas pada anak anak 15%,
dewasa 20%, dan pada kehamilan meningkat sampai 50%.6

15
BAB 3

KESIMPULAN

Penyakit malaria merupakan salah satu penyakit infeksi yang memberikan


morbiditas yang cukup tinggi di dunia, dan merupakan infeksi yang ke-3 teratas
dalam jumlah kematian. Infeksi malaria masih merupakan masalah klinik bagi
negara tropik/subtropik dan negara berkembang maupun negara yang sudah maju.
Malaria merupakan penyebab kematian utama penyakit tropik, diperkirakan satu
juta penduduk dunia meninggal tiap tahunnya dan terjadi kasus malaria baru 200-
300 juta/tahun. Menurut data laporan WHO, jumlah kasus malaria di dunia yaitu
sebanyak 241 juta kasus pada tahun 2020, hal ini mengalami peningkatan
dibandingkan dengan angka kejadian pada tahun 2019 yaitu sebanyak 227 juta
kasus. Di Indonesia sendiri malaria masih merupakan penyakit infeksi yang
menjadi perhatian utama kementerian kesehatan untuk dilakukan eliminasi
disamping infeksi tuberculosis dan infeksi HIV/AIDS. 1,2

Malaria adalah suatu infeksi parasit yang ditularkan melalui nyamuk


Anopheles yang dapat menyebabkan penyakit akut yang mengancam nyawa.
Sekitar dua juta orang berisiko untuk terkena malaria setiap tahunnya. Termasuk di
90 negara endemik dan diantara 125 juta pelaku perjalanan. 3

Parasit Plasmodium memiliki siklus hidup yang bertingkat yang


menyebabkan demam siklik yang khas. Diagnosis dapat ditegakkan dengan
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang tepat, dan juga pemeriksaan penunjang
seperti apusan darah tepi dan rapid diagnostic test (RDT). Pengobatan dapat kita
berikan apabila telah diketahui jenis plasmodium, namun secara umum pengobatan
yang diberikan adalah DHP dan Primakuin. Apabila dicurigai terdapat tanda-tanda
malaria berat pada pasien, segera rujuk pasien ke tingkat fasilitas selanjutnya
dengan pemberian artesunat intramuskular terlebih dahulu. Prognosis malaria
umumnya baik dengan pengobatan tepat waktu, kebanyakan orang mengalami
resolusi gejala yang cepat, namun, komplikasi yang signifikan dapat terjadi,
termasuk malaria serebral, anemia malaria berat, koma, atau kematian. Rejimen

16
terapi antimalaria dan kemoprofilaksis yang dipilih ditentukan oleh spesies,
geografi, kerentanan, dan demografi pasien. Infeksi laten atau reaktivasi dapat
dilaporkan beberapa tahun setelah pajanan. 3,4,5,6

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, K MS, Setiyohadi B, Syam AF. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. VI. Vol. 1. Jakarta: Interna Publishing; 2014.
2. World Health Organization. Malaria [Internet]. Available from:
https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/malaria.
3. Buck E, Finningan NA. Malaria. StatPearls [Internet]. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK551711.
4. IDI. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Primer. Ikatan Dokter Indonesia. Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia; 2017. 21–
23 p.
5. WHO. List of countries, territories and areas: Vaccination requirements and
recommendations for international travellers, including yellow fever and
malaria. World Heatlh Organ Geneva. 2016.
6. RI K. Inilah Fakta Keberhasilan Pengendalian Malaria. 2016; Available from:
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.
http://www.depkes.go.id/article/print/16050200003/inilah-fakta-
keberhasilanpengendalian-malaria.html.
7. Harijanto P. Epidemiologi Malaria di Indonesia : Tatalaksana Malaria untuk
Indonesia. Volume II-triwulan II.2017.

18

Anda mungkin juga menyukai