MALARIA
Disusun Oleh:
Preseptor :
2023
KATA PENGANTAR
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ii
BAB 1 Pendahuluan 1
2.1 Definisi 3
2.2 Epidemiologi 3
2.3 Etiologi 4
2.4 Patofisiologi 5
2.5 Diagnosis 10
2.6 Tatalaksana 12
2.7 Komplikasi 14
2.8 Prognosis 15
BAB 3 Kesimpulan 16
Daftar Pustaka 18
iii
BAB 1
PENDAHULUAN
1
1.2 Rumusan Masalah
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Infeksi malaria disebabkan oleh adanya parasit Plasmodium di dalam darah
atau jaringan yang dibuktikan dengan pemeriksaan mikroskopik yang positif,
adanya antigen malaria dengan tes cepat, ditemukan DNA/RNA parasit pada
pemeriksaan PCR. Infeksi malaria dapat memberikan gejala berupa demam,
menggigil, anemia dan splenomegali. Pada individu yang imunnya baik dapat
berlangsung tanpa gejala (asimtomatis). 1
2.2 Epidemiologi
Infeksi malaria tersebar pada lebih dari 100 negara di benua Afrika, Asia,
Amerika (bagian Selatan) dan daerah Oceania dan kepulauan Caribia. Lebih dari
1.6 triliun manusia terpapar oleh malaria dengan dugaan morbiditas 200-300 juta
dan mortalitas lebih dari 1 juta pertahun. Beberapa daerah yang bebas malaria yaitu
Amerika Serikat, Canada, negara di Eropa (kecuali Rusia), Israel, Singapura,
Hongkong, Jepang, Taiwan, Korea, Brunei dan Australia. Negara tersebut terhindar
dari malaria karena vektor kontrolnya yang baik, walaupun demikian di negara
tersebut makin banyak dijumpai kasus malaria yang diimpor karena pendatang dari
negara malaria atau penduduknya mengunjungi daerah-daerah malaria.1
Empat puluh persen dari total populasi global tinggal atau mengunjungi
daerah endemik malaria setiap tahunnya. P. falciparum hadir di Afrika Barat dan
sub-Sahara dan menunjukkan morbiditas dan mortalitas tertinggi dari spesies
Plasmodium. P. vivax hadir di Asia Selatan, Pasifik Barat, dan Amerika Tengah. P.
ovale dan P. malariae terdapat di Afrika Sub-Sahara. P. knowlesi hadir di Asia
3
Tenggara. Sebanyak 500 juta kasus malaria terjadi setiap tahun, dengan 1,5 hingga
2,7 juta kematian. Sembilan puluh persen kematian terjadi di Afrika. Mereka yang
berisiko tinggi termasuk anak-anak di bawah usia 5 tahun, wanita hamil, dan
populasi yang naif penyakit, termasuk populasi pengungsi di Afrika Tengah dan
Timur, pelancong sipil dan militer yang tidak kebal, dan imigran yang kembali ke
tempat asal mereka. Dari 125 juta pelancong yang mengunjungi lokasi endemik
setiap tahun, 10.000 hingga 30.000 menderita malaria, dan 1% diantaranya akan
meninggal karena komplikasi penyakitnya.3 Menurut data laporan WHO, jumlah
kasus malaria di dunia yaitu sebanyak 241 juta kasus pada tahun 2020, hal ini
mengalami peningkatan dibandingkan dengan angka kejadian pada tahun 2019
yaitu sebanyak 227 juta kasus.2 Meningkatnya suhu rata-rata global dan perubahan
pola cuaca diproyeksikan akan menambah beban malaria; kenaikan 3 derajat
Celcius didalilkan untuk meningkatkan kejadian malaria sebesar 50 hingga 80 juta. 3
Pada surveilens malaria di masyarakat, tingginya slide positive rate (SPR)
menentukan endemisitas suatu daerah dan pola klinis penyakit malaria akan
berbeda. Secara tradisi endemisitas daerah dibagi menjadi : 1
2.3 Etiologi
Terdapat lima spesies plasmodium yang menginfeksi manusia diantaranya
P. falciparum, P. ovale, P. vivax, P. malariae, dan P. knowlesi. Nyamuk Anopheles
betina menelan gamet selama menghisap darah, yang membentuk sporozoit yang
bereplikasi di usus. Ketika makan darah berikutnya, air liur yang mengandung
4
sporozoit dilepaskan ke dalam aliran darah inang manusia. Dalam 60 menit,
sporozoit mencapai hati, menyerang hepatosit, dan kemudian membelah dengan
cepat, membentuk merozoit. Pada infeksi aktif, organisme masuk kembali ke aliran
darah dan menyerang eritrosit. Di dalam eritrosit, Plasmodium mengonsumsi
hemoglobin dan berkembang dari trofozoit imatur (tahap cincin) menjadi trofozoit
matang atau gametosit. Trofozoit dewasa bereplikasi, membentuk skizon,
mengganggu integritas membran sel eritrosit, dan menyebabkan perlekatan endotel
kapiler dan lisis sel. Malaria yang tidak diobati berlangsung 2 sampai 24 bulan.
Infeksi P. vivax dan P. ovale dapat menunjukkan "schizogony dorman," di mana
parasit intrahepatik yang tidak aktif (hipnozoit) tetap ada sampai reaktivasi
berbulan-bulan hingga bertahun-tahun di masa depan.3
2.4 Patofisiologi
Masa inkubasi dan waktu munculnya gejala, bervariasi menurut spesies: 8
hingga 11 hari untuk P. falciparum, 8 hingga 17 hari untuk P. vivax, 10 hingga 17
hari untuk P. ovale, 18 hingga 40 hari untuk P. malariae (meskipun mungkin
sampai beberapa tahun), dan 9 sampai 12 hari untuk P. knowlesi. Periode siklus
hidup Plasmodium menciptakan kekakuan klasik yang disebut "paroxysm malaria",
diikuti oleh beberapa jam demam, diaforesis dan penurunan suhu tubuh normal
(infeksi P. vivax membentuk siklus 48 jam), meskipun ini lebih jarang ditemukan
saat ini karena identifikasi dan pengobatan yang cepat.3
Setelah melalui jaringan hati P. falciparum melepaskan 18-24 merozoit ke
dalam sirkulasi. Merozoit yang di lepaskan akan masuk dalam sel RES di limpa dan
mengalami fagositosis serta filtrasi. Merozoit yang lolos dari filtrasi dan fagositosis
di limpa akan menginvasi eritrosit. Selanjutnya parasit berkembang biak secara
aseksual dalam eritrosit. Bentuk aseksual parasit dalam eritrosit yang berpotensi
(EP) inilah yang bertanggung jawab dalam patogenesis terjadinya malaria pada
manusia. Patogenesis malaria yang banyak diteliti adalah patogenesis malaria yang
disebabkan oleh P. falciparum.1
5
tingkat endemisitas daerah tempat tinggal, genetik, usia, status nutrisi dan status
imunologi. EP secara garis besar mengalami 2 stadium, yaitu stadium cincin pada
24 jam pertama dan stadium matur pada 24 jam kedua. Permukaan EP stadium
cincin akan menampilkan antigen RESA (Ring-erythrocyte surgace antigen) yang
menghilang setelah parasit masuk stadium matur. Permukaan membrane EP
stadium matur akan mengalami penonjolan dan membentuk knob dengan Histidin
Rich-protein-1 (HRP-1) sebagai komponen utamanya. Selanjutnya bila EP tersebut
berubah menjadi merozoid, akan dilepaskan toksin malaria berupa GPI atau
glikosilfosfatidilinositol yang merangsang pelepasan TNF-a dan interleukin-1 (IL-
1) dari makrofag.1
6
Rosetting ialah berkelompoknya EP matur yang diselubungi 10 atau lebih
eritrosit yang tidak mengandung parasit. Plasmodium yang dapat melakukan
sitoaderensi juga yang dapat melakukan rosetting. Rosetting menyebabkan
obstruksi aliran darah lokal/dalam jaringan sehingga mempermudah terjadinya
sitoadheren.1
Sitokin. Sitokin terbentuk dari sel endotel, monosit dan makrofag setelah
mendapat stimulasi dari malaria toksin (LPS, GPI). Sitokin ini antara lain TNF-a
(tumor necrosis factor-alpha), interleukin-1 (IL-1), interleukin-6 (IL-6),
interleukin-3 (IL-3), LT (lymphotoxin) dan interferongamma (INF-g). Dari
beberapa penelitian dibuktikan bahwa penderita malaria serebral yang meninggal
atau dengan komplikasi berat seperti hipoglikemia mempunyai kadar TNF-a yang
tinggi. Demikian juga malaria tanpa komplikasi kadar TNF-a, IL-1, IL-6 lebih
rendah dari malaria serebral. Walaupun demikian hasil ini tidak konsisten karena
juga dijumpai penderita malaria yang mati dengan TNF normal/rendah atau pada
malaria serebral yang hidup dengan sitokin yang tinggi. Oleh karenanya diduga
adanya peran dari neurotransmitter yang lain sebagai radikal bebas dalam kaskade
ini seperti nitrit-oksida sebagai faktor yang penting dalam patogenesis malaria
berat.1
Nitrit Oksida. Akhir-akhir ini banyak diteliti peran mediator nitrit oksida
(NO) baik dalam menimbulkan malaria berat terutama malaria serebral, maupun
sebaliknya NO justru memberikan efek protektif karena membatasi perkembangan
parasit dan menurunkan ekspresi molekuladesi. Diduga produksi NO lokal di organ
terutama otak yang berlebihan dapat mengganggu fungsi organ tersebut. Sebaliknya
pendapat lain menyatakan kadar NO tertentu, memberikan perlindungan terhadap
malaria berat. Justru kadar NO yang rendah mungkin menimbulkan malaria berat,
ditunjukkan dari rendahnya kadar nitrat dan nitrit total pada cairan serebrospiral.
Anak-anak penderita malaria serebral di Afrika, mempunyai kadar arginine yang
rendah. Masalah peran sitokin proinflamasi dan NO pada patogenesis malaria berat
masih kontroversial, banyak hipotesis yang belum dapat dibuktikan dengan jelas
dan hasil berbagai penelitian sering saling bertentangan. 1
7
Bentuk imunitas terhadap malaria dapat dibedakan atas : 1). Imunitas
alamiah non-imunologis berupa kelainan-kelainan genetik polimorfisme yang
dikaitkan dengan resistensi terhadap malaria. Misalnya: hemoglobin S (sickle cell
trait), hemoglobin C, hemoglobin E, talasemia A/B, defisiensi glukosa-6 pospat
dehidrogenase (G6PD), ovalositosis herediter, golongan darah Duffy negative
yang kebal terhadap infeksi R vivax, individu dengan human leucocyte antigen
(HLA) tertentu misalnya HLA Bw 53 lebih rentan terhadap malaria dan melindungi
terhadap malaria berat; 2). Imunitas didapat non-spesifik (non-adaptive/innate).
Sporozoit yang masuk darah akan dengan cepat merangsang respon imun non-
spesifik yang terutama dilakukan oleh makrofag dan monosit, dengan
menghasilkan sitokin-sitokin seperti TNF, IL-1, IL-2, IL- 4, IL-6, IL-8, IL-10,
secara langsung menghambat pertumbuhan parasit (sitostatik), dan membunuh
parasit (sitotoksik); 3). Imunitas didapat spesifik. Tanggapan sistem imun terhadap
infeksi malaria mempunyai sifat spesies spesifik, strain spesifik, dan stage spesifik.
Imunitas terhadap stadium siklus hidup parasit (stage spesifik), dibagi menjadi: 1
8
membrane Antigen (AMA-1), Eritrocyte Binding Antigen-175 (EBA-175),
Rhoptry Associated Protein-1 (RAP-1), Glutamine Rich Protein (GLURP).
Antigen dan antibodi pada stadium aseksual eritrositer: Pf-155/Ring
Eritrocyte Surface Antigen (RESA), Pf-155 Ring Eritrocyte Surface Antigen
(RESA), Serine Repeat Antigen (SERA), Histidine Rich protein-2 (HRP-2),
P. falcifarum Eritrocyte Membrane Protein-1/ Pf-EMP-1, Pf-EMP-2,
Mature Parasite Infective Erytrocyte Surface Antigen (MESA), Pf-EMP-3,
Heat Shock Protein-70 (HSP-70)
Imunitas pada stadium seksual berupa: antibodi yang membunuh gametosit,
antibodi yang menghambat fertilisasi, antibodi yang menghambat
transformasi zigot menjadi ookinet, antigen/antibodi pada stadium seksual
prefertilisasi: Pf- 230 (Transmission blocking antibody), Pf - 48/45, Pf-
7/25, Pf-16, Pf-320, dan antigen/antibodi pada stadium seksual post
fertilisasi, misal : Pf-25, Pf-28.
Pembuatan vaksin banyak ditujukan pada stadium sporozoit, terutama
dengan menggunakan epitop tertentu dari sirkumsporozoid. Respon imun spesifik
ini diatur dan/atau dilaksanakan langsung oleh limfosit T untuk imunitas selular dan
limfosit B untuk imunitas humoral. 1
9
Gambar 2.1 Siklus hidup plasmodium1
2.5 Diagnosis
10
Suhu tubuh aksiler > 37,5 °C
Konjungtiva atau telapak tangan pucat
Sklera ikterik
Pembesaran Limpa (splenomegali)
Pembesaran hati (hepatomegali)
c. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan dengan mikroskop
Pemeriksaan sediaan darah tebal dan tipis di
Puskesmas/lapangan/rumah sakit/laboratorium klinik untuk
menentukan ada tidaknya parasit malaria, spesies dan stadium
plasmodium, dan kepadatan parasit/jumlah parasit
Pemeriksaan uji diagnostik cepat (Rapid Diagnostic Test)
Mekanisme kerja tes ini berdasarkan deteksi antigen parasit
makaria, dengan menggunakan metoda imunokromatografi.
Pemeriksaan dengan RDT tidak digunakan untuk mengevaluasi
pengobatan.4
11
i. Perdarahan spontan abnormal
12
boleh diberikan pada bayi usia < 6 bulan dan ibu hamil juga ibu menyusui
bayi usia < 6 bulan dan penderita kekurangan G6PD. Pengobatan malaria
falsiparum dan malaria vivaks adalah seperti yang tertera di bawah ini7:
13
e. Pengobatan infeksi campur P. Falciparum + P. Vivax/ P. Ovale
Pada penderita dengan infeksi campur diberikan DHP selama 3 hari
serta primakuin dengan dosis 0,25 mg/kgBB/hari selama 14 hari7.
14
2.8 Prognosis
a. Malaria falsiparum ringan/sedang, malaria vivax, atau malaria ovale :
bonam
b. Malaria berat : dubia ad malam. Prognosis malaria berat tergantung
dengan kecepatan dan ketepatan diagnosis serta pengobatan. Apabila
tidak ditanggulangi, dilaporkan bahwa mortalitas pada anak anak 15%,
dewasa 20%, dan pada kehamilan meningkat sampai 50%.6
15
BAB 3
KESIMPULAN
16
terapi antimalaria dan kemoprofilaksis yang dipilih ditentukan oleh spesies,
geografi, kerentanan, dan demografi pasien. Infeksi laten atau reaktivasi dapat
dilaporkan beberapa tahun setelah pajanan. 3,4,5,6
17
DAFTAR PUSTAKA
1. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, K MS, Setiyohadi B, Syam AF. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. VI. Vol. 1. Jakarta: Interna Publishing; 2014.
2. World Health Organization. Malaria [Internet]. Available from:
https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/malaria.
3. Buck E, Finningan NA. Malaria. StatPearls [Internet]. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK551711.
4. IDI. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Primer. Ikatan Dokter Indonesia. Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia; 2017. 21–
23 p.
5. WHO. List of countries, territories and areas: Vaccination requirements and
recommendations for international travellers, including yellow fever and
malaria. World Heatlh Organ Geneva. 2016.
6. RI K. Inilah Fakta Keberhasilan Pengendalian Malaria. 2016; Available from:
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.
http://www.depkes.go.id/article/print/16050200003/inilah-fakta-
keberhasilanpengendalian-malaria.html.
7. Harijanto P. Epidemiologi Malaria di Indonesia : Tatalaksana Malaria untuk
Indonesia. Volume II-triwulan II.2017.
18