Anda di halaman 1dari 64

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Malaria merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit Genus Plasmodium

yang ditularkan oleh nyamuk Anopheles. Malaria merupakan masalah kesehatan masyarakat

yang dapat mempengaruhi angka kematian bayi, anak balita, ibu hamil, serta dapat menurunkan

produktivitas kerja. 300-500 juta penduduk dunia menderita malaria setiap tahunnya, 23 juta

diantaranya tinggal di daerah endemis tinggi di benua afrika. Sebanyak 1,5-2,7 juta jiwa

meninggal setiap tahunnya terutama terjadi pada anak-anak dan ibu hamil.

Kejadian malaria dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu host (manusia dan nyamuk),

agent (parasit/plasmodium), environment (lingkungan). Keadaan lingkungan berpengaruh besar

terhadap ada tidaknya malaria pada suatu daerah. Tingginya penularan malaria disebabkan

karena adanya tempat perindukan nyamuk berupa rawa dan genangan air di got, kebiasaan

penduduk tidur tanpa menggunakan kelambu, serta kepatuhan masyarakat akan minum obat

masih kurang ( Ikrayama,etc).

Malaria merupakan salah satu penyakit yang menjadi ancaman masyarakat di daerah

tropis dan subtropis terutama pada bayi, anak balita dan ibu melahirkan. Diseluruh dunia setiap

bulan ditemukan 500 juta kasus malaria yang mengakibatkan 1 juta orang meninggal dunia

(Teukuputra,2011).

Di Indonesia malaria menjadi salah satu penyakit menular utama khususnya di beberapa

wilayah yang dinyatakan masih endemis. Pada tahun 2006 terdapat sekitar 2 juta kasus malaria

klinis, sedangkan tahun 2007 menjadi 1,75 juta kasus. Jumlah penderita positif malaria tahun

2006 sekitar 350 ribu kasus dan pada tahun 2007 sekitar 311 ribu kasus. (lukman,2011). Menurut

1
hasil survai kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 2001, 70 juta tinggal diendemik malaria dan

56,3 juta penduduk diantaranya tinggal diendemi malaria sedang sampai tinggi dengan 15 juta

kasus malaria klinis (Teukuputra,2011).

Laporan WHO tahun 2005 menyebutkan, di seluruh dunia jumlah kasus baru malaria

berkisar 300-500 juta orang dengan kematian 2,7 juta orang/tahun, sebagian besar anak-anak di

bawah lima tahun yang merupakan kelompok paling rentan terhadap penyakit dan kematian

akibat malaria dengan jumlah Negara endemis malaria pada tahun 2004 sebanyak 107 negara

(Lukman,2011).

Menurut Riset Kesehatan Dasar 2013, insiden malaria berdasarkan diagnosis sebesar

0,35% atau 3,5 per 1.000 penduduk. Pada survei ini tiga provinsi dengan insiden tertinggi sama

dengan hasil laporan rutin yaitu Papua (6,1%), Papua Barat (4,5%) dan Nusa Tenggara Timur

(2,6%). Sementara insiden malaria berdasarkan diagnosis/gejala sebesar 1,9% atau 19 per 1.000

penduduk (Kemenkes RI, 2017).

Di Papua, malaria masih merupakan masalah utama bagi kesehatan masyarakat, karena

Papua merupakan daerah endemis tinggi. Menurut Data dan Informasi Kementrian Kesehatan

menyebutkan bahwa di Papua pada tahun 2016 lalu telah terjadi 128.066 kasus malaria. Selain

itu, jumlah kabupaten/kota dengan API <1/1.000 penduduk di provinsi Papua masih nol

(Kemenkes RI, 2017).

Berdasarkan hal tersebut maka kami menulis makalah tentang bagaimana karakteristik

penderita malaria dari bulan Maret 2018 hingga bulan Maret tahun 2019 di wilayah kerja

Puskesmas Abepura?

2
1.2 Tujuan Umum

Mengetahui karakteristik penderita malaria di Puskesmas Abepura.

1.2.1 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui jumlah penderita malaria disetiap kelurahan yang termasuk

dalam wilayah kerja Puskesmas Abepura.

2. Untuk mengetahui presentasi kunjungan penderita malaria di Puskesmas

Abepura berdasarkan jenis kelamin.

3. Untuk mengetahui presentasi kunjungan penderita malariadi Puskesmas

Abepura berdasarkan usia.

4. Untuk mengetahui presentasi kunjungan penderita malariadi Puskesmas

Abepura berdasarkan jenis plasmodium.

1.3 Manfaat Penelitian

1.3.1 Bagi Dinas Kesehatan Kota Jayapura

Sebagai masukan atau bahan pertimbangan kepada pengelola progam

pemberantasan penyakit menular terutama pada pengelola program penyakit

malaria.

1.3.2 Bagi Puskesmas Kotaraja

Menjadi bahan acuan bagi Puskesmas Kotaraja dalam memberikan pelayanan

terutama.

1.3.3 Bagi Institusi Pendidikan

Untuk menambah literatur atau bahan bacaan di perpustakaan Fakultas Kedokteran

Universitas Cenderawasih.

3
1.3.4 Bagi Peneliti

Bagi peneliti merupakan penghargaan berharga dalam memperluas wawasan serta

meningkatkan kompetensi penulis untuk menulis penelitian.

1.3.5 Bagi Masyarakat

Memberikan informasi bagi masyarakat mengenai malaria, sehingga masyarakat

menjadi lebih tahu tentang malaria dan dapat melakukan tindakan-tindakan

pencegahan kejadian malaria.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 Definisi

Malaria adalah suatu penyakit akut maupun kronik, yang disebabkan oleh protozoa

genus Plasmodium dengan manifestasi klinis berupa demam, anemia dan pembesaran

limpa. Sedangkan menurut ahli lain malaria merupakan suatu penyakit infeksi akut

maupun kronik yang disebakan oleh infeksi Plasmodium yang menyerang eritrosit dan

ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual dalam darah, dengan gejala demam,

menggigil, anemia, dan pembesaran limpa (Harijanto, 2014).

2.2 Epidemiologi

a. Distribusi Frekuensi Malaria

1) Orang

Di Indonesia, malaria merupakan masalah kesehatan yang penting, oleh karena

penyakit ini endemik di sebagian besar wilayah Indonesia terutama di wilayah Timur.

Epidemiologi malaria seringkali dilaporkan dari berbagai wilayah dengan angka kematian

yang lebih tinggi pada anak-anak di bawah 5 tahun dibanding orang dewasa. Namun

secara keseluruhan fenomena menunjukkan bahwa penyakit malaria menyerang hampir

seluruh kelompok umur, dan lebih tinggi pada jenis kelamin laki-laki dibandingkan jenis

kelamin perempuan.

2) Tempat

Batas dari penyebaran malaria adalah 64°LU (Rusia) dan 32°LS (Argentina).

Ketinggian yang dimungkinkan adalah 400 meter di bawah permukaan laut (Laut mati

dan Kenya) dan 2600 meter di atas permukaan laut (Bolivia). Plasmodium vivax

5
mempunyai distribusi geografis yang paling luas, mulai dari daerah beriklim dingin,

subtropik sampai kedaerah tropik. Malaria di suatu daerah dikatakan endemik apabila

kesakitannya yang disebabkan oleh infeksi alamiah, kurang lebih konstan selama

beberapa tahun berturut-turut. Berdasarkan hasil Spleen Rate (SR), yaitu persentase

penduduk yang limpanya membesar dari seluruh penduduk yang diperiksa pada

kelompok umur 2-9 tahun, suatu daerah dapat diklasifikasikan menjadi 4 tingkat

endemisitas :

1. Hipoendemik SR < 10%

2. Mesoendemik SR 11-50%

3. Hiperendemik SR > 50% (SR dewasa tinggi > 25 %)

4. Holoendemik SR >75 % (SR dewasa rendah).

Berdasarkan AMI, daerah malaria dapat diklasifikasikan menjadi :

1. Low Malaria Incidence, AMI< 10 kasus per 1.000 penduduk

2. Medium, AMI 10-50 kasus per 1.000 penduduk

3. High, AMI > 50 kasus per 1.000 penduduk

6
Gambar 2.1 Peta Distribusi Penderita Malaria (Global)

Gambar 2.2 Peta Endemisitas Malaria di Indonesia tahun 2014 dan 2015

Dari gambaran peta endemisitas malaria di kabupaten/kota terlihat penurunan

jumlah yang sangat tajam daerah endemis tinggi dari 17,4% pada tahun 2011 menjadi

8,8% pada tahun 2015. Dan daerah endemis sedang juga menurun dari 18,6% tahun

2011 menjadi 17% pada tahun 2015, serta daerah endemis rendah juga mengalami

menurun yang tajam dari 42,8% pada tahun 2011 menjadi 28,8% pada tahun 2015.

Sebaliknya daerah bebas malaria mengalami peningkatan dari 21,5% pada tahun 2011

menjadi 45,4% pada tahun 2015. Pada RPJM 2015-2019 indikator yang pakai adalah

jumlah kumulatif kabupaten/kota mencapai status eliminasi. Saat ini terdapat 232

kabupaten/kota yang telah mencapai status eliminasi dari 225 kabupaten/kota yang

ditargetkan (Kemenkes, 2017).

Angka kesakitan malaria pada tahun 2012 mengalami kenaikan kasus bila

dibandingkan dengan tahun 2011 yaitu dari 19,550 kasus (18,37%) menjadi 23,195 kasus

(20,93%) tahun 2012 dan menempati posisi kedua setelah penyakit SPBA dengan jumlah

7
kasus 41,514 kasus (37,49%) serta diikuti kasus-kaus lain seperti ; penyakit pada sistem

otot dan jaringan pengikat 11,309 kasus (10,21%) penyakit kulit 10,029 kasus (9,05%),

gastritis 5,143 kasus (5,0%) Diare dengan jumlah 4.974 kasus (4,49%), kecelakaan 3,187

kasus (2,88%), hipertensi 1,504 kasus (1,36%), konjungtivitis jumlah 1.056 kasus

(0,95%) dan skabies dengan jumlah 1,38 kasus (0,94%). Angka kesakitan malaria yang

dinialai menggunakan API (Annual Parasite incidence) per 1.000 penduduk di provinsi

papua tahun 2011 sebesar 58 pada tahun 2012 meningkat menjadi 77, API tertinggi

terdapat di kabupaten keerom (554) dan menyusul kebupaten Mimika (502) dan

sedangkan 4 kabupaten lainnya Pegunungan Bintang, Membramo Tengah, Puncak, dan

Dogiyai.

3) Waktu

Waktu adalah besaran yang menunjukkan lamanya suatu peristiwa berlangsung.

Menurut data Profil Dinkes Kota Jayapura Tahun 2016, terjadi kasus malaria positif

malaria sebanyak 6.060 penderita. Menurut data laporan bulanan malaria di Wilayah

Kerja Puskesmas Abepura Distrik Heram jumlah kasus postif malaria sebanyak 896

penderita.

b. Determinan Malaria

Dalam epidemiologi selalu ada 3 faktor yang diselidiki : Host (umumnya manusia),

Agent (penyebab penyakit) dan Environment (lingkungan).

Host

8
Agent Environment
Gambar 2.3 Model Epidemiologi Tentang Kesehatan dan Penyakit

1. Faktor Host

Penyakit malaria mempunyai keunikan karena ada 2 macam host yakni manusia

sebagai host intermediate (dimana siklus aseksual parasit terjadi) dan nyamuk Anopheles

betina sebagai host definitive (tempat siklus seksual parasit berlangsung).

a. Manusia (Host Intermediate)

Secara umum dapat dikatakan bahwa pada dasarnya setiap orang dapat terkena

malaria. Setiap orang rentan terhadap penularan kecuali pada mereka yang

mempunyai galur genetika spesifik. Toleransi atau daya tahan terhadap munculnya

gejala klinis ditemukan pada penduduk dewasa yang tinggal di daerah endemis

dimana gigitan nyamuk Anopheles berlangsung bertahun-tahun. Faktor-faktor yang

berpengaruh pada manusia ialah:

(1) Kekebalan / Imunitas

Kekebalan pada penyakit malaria dapat didefinisikan sebagai adanya

kemampuan tubuh manusia untuk menghancurkan plasmodium yang masuk atau

membatasi perkembangbiakannya. Ada dua macam kekebalan, yaitu kekebalan

alamiah dan kekebalan yang didapat. Kekebalan alamiah timbul tanpa memerlukan

infeksi lebih dahulu. Kekebalan yang didapat ada yang merupakan kekebalan aktif

sebagai akibat dari infeksi sebelumnya atau vaksinasi, dan ada juga kekebalan pasif

didapat melalui pemindahan antibodi dari ibu kepada anak atau pemberian serum

dari seseorang yang kebal penyakit.

9
(2) Umur dan Jenis Kelamin

Perbedaan angka kesakitan malaria pada laki-laki dan wanita atau pada berbagai

kelompok umur sebenarnya disebabkan oleh faktor-faktor lain seperti pekerjaan,

pendidikan, perumahan, migrasi penduduk, kekebalan dan lain-lain.

a. Nyamuk (Host Definitive)

Nyamuk Anopheles yang menghisap darah hanya nyamuk Anopheles

betina. Darah diperlukan untuk pertumbuhan telurnya. Perilaku nyamuk

sangat menentukan dalam proses penularan malaria.

(1) Perilaku nyamuk

Beberapa perilaku nyamuk yang penting, yaitu tempat hinggap atau

istirahat (di luar atau dalam rumah), tempat menggigit (di luar atau dalam

rumah), objek yang digigit (manusia). Nyamuk Anopheles hanya

mengigit satu orang setiap kali mengisap darah, berbeda dengan nyamuk

Aedes yang bisa menggigit banyak orang saat mengisap darah.

(2) Umur nyamuk (longevity)

Diperlukan waktu untuk perkembangbiakan gametosit dalam tubuh

nyamuk menjadi sporozoit yakni bentuk parasit yang siap menginfeksi

manusia sehat. Apabila umur nyamuk lebih pendek dari proses

sporogoni, yakni replikasi parasit dalam tubuh nyamuk (sekitar 5 hingga

10 hari), maka dapat dipastikan nyamuk tersebut tidak dapat menjadi

vektor.

(3) Kerentanan nyamuk terhadap infeksi gametosit

10
Nyamuk yang terlalu banyak parasit dalam perutnya tentu bisa melebihi

kapasitas perut nyamuk itu sendiri.

(4) Frekuensi menggigit manusia

Semakin sering seekor nyamuk yang membawa sporozoit dalam kelenjar

ludahnya, semakin besar kemungkinan nyamuk berperan sebagai vektor

penular penyakit malaria.

(5) Siklus gonotrofik

Waktu yang diperlukan untuk matangnya telur sebagai indikator untuk

mengukur interval menggigit nyamuk pada objek yang digigit (manusia).

2. Faktor Agent

Parasit adalah suatu istilah yang diberikan kepada mahluk hidup baik tumbuhan

atau binatang yang menumpang pada mahluk hidup lain (induk semang) dan dalam

kehidupannya merugikan induk semangnya tersebut . Untuk hidup dan berkembang biak

parasit ini mengambil makanan dari dalam tubuh induk semangnya, sehingga induk

semangnya mengalami gangguan bahkan bisa menimbulkan kematian. Parasit malaria

adalah Plasmodium spp. yaitu binatang bersel satu (protozoa) yang termasuk genus

Plasmodia, famili Plasmodiidae dari ordo Coccidiidae.

Dalam tubuh manusia, untuk kelangsungan hidupnya Plasmodium memakan sel

darah merah (SDM) tempat ia hidup sehingga induk semangnya (penderita) mengalami

anemia dan gangguan lainnya. Plasmodium sebagai parasit malaria baru ditemukan pada

abad ke 19, ketika Laveran melihat "bentuk pisang" dalam darah

11
seorangpenderitamalaria. Kemudian diketahui oleh Ross pada tahun 1897 bahwa malaria

ditularkan oleh nyamuk yang banyak terdapat di rawa - rawa .

Secara keseluruhan Plasmodium terdiri dari 12 sub genera. Dari kedua belas sub

genera tersebut, hanya tiga sub genera yang menjadi parasit pada mamalia termasuk

manusia yaitu sub genera Plasmodium, sub generaLaverinia , dan subgenera Vinckeria .

Lima sub genera menjadi parasit pada reptilia dan empat sub genera lagi hidup pada

burung (Aves).

Plasmodium yang menjadi parasitpada manusia yaitu sub genera Plasmodium

terdiri dari spesies P. vivax, P. ovale, dan P. malariae . Sub generaLaverinia terdiri dari

spesies P. falciparum. Sedangkan dari sub generaVinckeria terdiri dari spesies

P.reichenowi, P. schwetzi , dan P. rhodaini tidak menjadi parasit padamanusia tapi pada

mamalia lain.

Di Indonesia, spesies Plasmodium yang hidup pada manusia yang dominan adalah

P .falciparum dan P. vivax . Sedangkan P. ovale dan P. malariae biasanya ditemukan di

wilayah Indonesia bagian Timur. Sebagaimanamakhlukhidup lainnya, Plasmodium spp.

juga melakukan proses kehidupan yang meliputi metabolisme (pertukaran zat),

pertumbuhan, pergerakkan, berkembang biak dan mempunyai reaksi terhadap

rangsangan. Dalam berkembang biak, Plasmodium spp. Mempunyai dua carayaitu :

a. Pembiakan seksual.

Pembiakan ini terjadi di dalam tubuh nyamuk melalui proses sporogoni. Bila

mikrogametosit (sel jantan) dan makrogametosit (sel betina) terhisapoleh vektor

bersama darah penderita, maka proses perkawinan antara kedua sel kelamin itu a kan

terjadi. Dari proses ini akan terbentuk zigot t yang kemudian akan berubah menjadi

12
ookinet dan selanjutnya menjadi ookista .Terakhir ookista pecah dan membentuk

sporozoit yang tinggal dalam kelenjarludah vektor. Perubahan dari mikrogametosit dan

makrogametosit sampai menjadi sporozoit di dalam kelenjar ludah vektor disebut masa

tunas ekstrinsik atau siklus sporogoni.

Jumlah sporokista pada setiap ookista dan lamanya siklussporogoni ,pada

masing-masing spesies plasmodium adalah berbeda. Jumlah sporozoit P. vivax dalam

ookista adalah30 -40 butir dan siklus sporogoni selama 8 - 9 hari; sporozoit P. falci-

parum adalah 10-12 butir dan siklus sporogoni selama 10 hari, P.malariae adalah 6-8

butir dan siklus sporogoni selama 26 - 28 hari .

b. Pembiakan aseksual

Pembiakan aseksual terjadi di dalam tubuh manusia melalui proses schizogoni

yang terjadi melaluiprosespembelahansel secara ganda. Inti tropozoit dewasa membelah

menjad 2,4,8, dan seterusnya sampai batas tertentu tergantung pada spesies

Plasmodiumnya. Bila pembelahan inti telah selesai,sitoplasmasel induk dibagi – bagi

kepada setiap inti dan terjadilah sel baru yang disebut merozoit. Dengan adanya proses -

proses pertumbuhan dan pembiakan aseksual di dalam sel darah merah manusia, maka

dikenal ada tiga tingkatan (stadium) Plasmodium yaitu (1) stadium tropozoit,

Plasmodium ada dalam proses pertumbuhan, stadium schizon, Plasmodium ada dalam

proses pembiakan, (3). stadiumgametosit, Plasmodium ada dalam proses pembentukan sel

kelamin .

Karena dalam setiap stadium terjadi proses, maka morfologi parasit juga mengalami

perubahan. Dengan demikian, maka dalam stadium itu sendiri terdapat tingkatan umur

13
yaitu tropozoit muda, tropozoit setengah dewasa, tropozoit dewasa, sizon muda, schizon

tua, schizon matang, gametosit muda, gametosit tua, dan gametosit matang.

Jumlah merozoit dan schizon yang dihasilkan oleh satu sel sporozoit, tidak sama

pada masing-masing spesies Plasmodium. Jumlah merozoit P .falciparumdi dalam satusel

sizon dewasa sebanyak 32 dan lama siklusnya 24 jam; artinya reproduksi tinggi dan cepat

sehingga kepadatan tropozoit pada darah sangat tinggi. Jumlah merozoit P .vivaxdan P.

ovale sebanyak 16 dan lama siklusnya 48 jam, artinya reproduksi rendah dan lebih lambat

sehingga kepadatan tropozoit pada darah sering rendah. Sedangkan jumlah merozoit P.

malariae sebanyak 8 danlama siklusnya 72 jam, artinya reproduksi lebih rendah dan lebih

lambat.Ini mungkin yang menjadi penyebab jarangnya spesies ini ditemukan.

Gambar 2.5 Siklus Hidup Plasmodium

14
Fase eritrositik dimulai saat merozoit dari hati menginvasi sel darah merah.Di

dalam eritrosit, parasit ini bertransformasi menjadi bentuk cincin yang kemudian

membesar membentuk tropozoit. Tropozoit berkembang biak secara aseksual yang

kemudian ruptur dan mengeluarkan eritrositik merozoit, yang secara klinis ditandai

dengan demam. Beberapa dari merozoit ini berkembang menjadi gametosit jantan dan

gametosit betina, sekaligus melengkapi fase siklus aseksual pada manusia.Gametosit

jantan dan gametosit betina ini dicerna oleh nyamuk Anopheles betina saat mengisap

darah dari manusia.Dalam perut nyamuk, gametosit jantan dan betina ini bergabung

untuk membentuk zigot.Zigot berkembang menjadi ookinet kemudian menembus dinding

lambung nyamuk. Pada dinding luar, nyamuk ookinet akan menjadi ookista dan

selanjutnya menjadi sporozoit. Sporozoit ini bersifat infektif dan siap ditularkan ke

manusia (Liwan, 2015).

Karena perbedaan proses perkembangan, maka masa tunas atau pre paten atau masa

inkubasi Plasmodium di dalam tubuh manusia (intrinsik) masing-masing spesies lamanya

berbeda. P. falciparum selama 9-14 hari, P. vivax selama 12-17 hari, dan P. malariae 18

hari.

Agent penyakit malaria adalah Genus plasmodia, Family plasmodiidae, dan

OrdoCoccidiidae. Ada empat jenis parasit malaria, yaitu:

a. Plasmodium falciparum

Plasmodium falciparum, penyebab malaria tropika yang sering menyebabkan

malaria berat/malaria otak yang fatal, gejala serangnya timbul berselang setiap dua

hari (48 jam) sekali.

b. Plasmodium vivax

15
Penyebab penyakit malaria tertiana yang gejala serangannya timbul berselang

setiap tiga hari (Sering Kambuh).

c. Plasmodium malariae

Penyebab penyakit malaria quartana yang gejala serangnya timbul berselang

setiap empat hari sekali.

d. Plasmodium ovale

Jenis ini jarang sekali dijumpai, umumnya banyak di Afrika dan Pasifik Barat,

menyebabkan malaria ovale.

Seorang penderita dapat dihinggapi oleh lebih dari satu jenis plasmodium.

Infeksi demikian disebut infeksi campuran (mixed infection). Biasanya paling

banyak dua jenis parasit, yakni campuran antara P. falciparum dengan P. vivax

atau P. malariae. Kadang-kadang dijumpai tiga jenis parasit sekaligus, meskipun

hal ini jarang sekali terjadi (Depkes RI, 2017).

Tidak semua spesies Anopheles menjadi vektor penyakit malaria, karena

dipengaruhi oleh lamanya berkembang parasit plasmodium dalam tubuh nyamuk

(inkubasi ekstrinsik) yaitu periode mulai nyamuk mengisap gamet pada darah manusia,

kemudian berkembang menjadi sporozoit yang berkumpul da-lam kelenjar ludah nyamuk

untuk siapt ditularkan kepadalam tubuh manusia.Inkubasi ekstrinsik ini membutuhkan

waktu lebih dari 2 minggu tergantung dari spesies Plasmodium.Spesies anopheles yang

menjadi vektor malaria adalah apabila anggota populasi berumur cukup panjang, kontak

dengan manusia cukup tinggi, dan merupakan jenis yang dominan di lokasi yang

bersangkutan.

16
Di Indonesia dijumpai lebih dari 90 spesies anopheles spp. dan yang telah diketahui

menjadi vektor adalah sebanyak 18 spesies. Yang paling dikenal adalah An .sundaicus,

An. barbirostris, An . maculatusdan An . aconitus

a. Siklus hidup nyamuk

Dalam hidupnya, nyamuk mengalami dua tingkatan kehidupan, yaitu tingkatan

dalam air dan tingkatan di luar air yaitu di darat dan udara.Tingkatan dalam air dimulai

dari telur yang umurnya satu atau dua hari yang kemudian menetas jadi jentik.Jentik

yang baru keluar dari telur, sangat halus seperti jarum.Dalam pertum-buhannya, jentik

nyamuk mengalami pelepasan kulit sebanyak empat kali (maka dikenal Stadium I

sampai IV).Waktu yang diperlukan untuk pertum-buhan jentik antara 8-10 hari

tergantung pada suhu, keadaan makanan serta spesies. Dari jentik akan tumbuh menjadi

kepompong (pupa) yang merupakan stadium istirahat dan tidak makan. Pada tingkatan

ini akan dibentuk alat-alat tubuh nyamuk dewasa serta alat kelamin. Tingkatan

kepompong ini memakan waktu sampai dua hari. Setelah itu nyamuk akan menjadi

dewasa untuk hidup di darat dan udara.

17
Gambar 2.3 Siklus Hidup Nyamuk

b. Bionomik nyamuk Anopheles

Bionomik nyamuk meliputi pengertian tentang perilaku, perkembangbiakan, umur

populasi, penyebaran, fluktuasi musiman, serta faktor – factor lingkungan yang

mempengaruhinya, seperti ling-kungan fisik (musim, kelembaban, angin, matahari, arus

air). Lingkungan kimiawi (kadar garam, pH) dan lingkungan biologik (tumbuhan bakau,

ganggang, vegetasi di sekitar tempat perindukan dan musuh alami).

Dalam kehidupannya, ada tiga macam tempat dan jenis perilaku yang diperlukan

nyamuk yaitu tempat dan perilaku berkembang biak, tempat dan perilaku mencari darah

serta tempat dan perilaku istirahat .

c. Ekologi Nyamuk Anopheles

Masing - masing spesies Anopheles mempunyai ekologi atau lingkungan yang

berbeda -beda, mulai dari daerah pantai, sawah dan hutan.

18
 Pantai

Daerah pantai dengan karakteristik airnya payau, kelembaban tinggi serta sinar

matahari langsung, biasanya disenangi oleh spesies An. sundaicus dan An.

subpictus.Disamping itu ada pula spesies lain yang ditemukan seperti An. barbirostris,

An. vagus. An.kochi dll .Tapi yang dominan dan biasanya menjadi vektor di daerah ini

adalah An. sundaicus. Kepadatantertinggi biasanya terjadi pada musim kemarau

 Sawah

Karakteristik daerah seperti ini adalah airnya tawar dan tersedia sepanjang tahun,

sinar matahari tidak langsung mengenai air, kelembaban tinggi dan suhu stabil .

Sawah yang dijadikan tempat perindukan biasanya sawah bertingkat yang di

pegunun-gan airnya bersumber dari mata air yang ada sepanjang tahun.

Di daerah seperti ini spesies Anopheles yang dominan ada lah An. aconitus di

samping itu juga biasa ditemukan An. barbirostris, An. vagus, An. kochi dll .Di samping

di sawah, An. aconitus juga bisa berkembang biak di aliran sungai irigasi yang berasal

dari mata air yang sisinya ditumbuhi rumput .Kepadatan nyamuk tertinggi, biasanya

terjadi pada saat tanaman padi mulai berusia 50 hari sampai panen tiba, pada saat

daunnya telah rimbun.

 Daerah pegunungan

Karakteristik daerah seperti ini adalah airnya jernih dan tawar, kelembaban tinggi

.Perairan yang dijadikan tempat perindukan adalah tepi danau yang terlindung, mata air

yang terlindung serta kobakan yang ada di dasar sungai pada musim kemarau.Populasi

Anopheles yang dominan di daerah ini adalah An.maculatus. Di samping itu juga bisa

ditemukan An. philipinensis, An. ramsayi, An. annularis, An. barbirostris dll .Kepadatan

19
nyamuk tertinggi biasanya terjadi pada musim kemarau ketika air danau dan mata air

volumenya berkurang dan debitnya mengecil . Juga dasar sungai pegunungan biasanya

menyusut dan tercipta beberapa kobakan di dasarnya

 Hutan

Karakteristik daerah ini adalah lembab dan suhu rendah.Air yang dijadikan tempat

perindukan biasanya berasal dari air hujan yang tergenang pada lubang di tanah bekas

kaki binatang.Karena itu kepadatan tertinggi dari daerah ini biasanya terjadi pada musim

hujan.Spesies Anopheles yang dominan di daerahhutan adalah An. balabacensis.

3. Faktor Environment

Lingkungan adalah lingkungan manusia dan nyamuk berada. Nyamuk berkembang

biak dengan baik bila lingkungannya sesuai dengan keadaan yang dibutuhkan oleh

nyamuk untuk berkembang biak. Kondisi lingkungan yang mendukung perkembangan

nyamuk tidak sama tiap jenis/spesies nyamuk. Nyamuk Anopheles conitus cocok pada

daerah perbukitan dengan sawah non teknis berteras, saluran air yang banyak ditumbuhi

rumput yang menghambat aliran air. Nyamuk Anopheles balabacensis cocok pada daerah

perbukitan yang banyak terdapat hutan dan perkebunan. Jenis nyamuk Anopheles

maculatus dan Anopheles balabacensis sangat cocok berkembang biak pada tempat

genangan air seperti bekas jejak kaki, bekas jejak roda kendaraan dan bekas lubang

galian.

Faktor lingkungan yang dimaksud adalah lingkungan dimana manusia dan nyamuk

berada, lingkungan tersebut terbagi atas lingkungan fisik, lingkungan kimia, lingkungan

biologik dan lingkungan sosial budaya.

a. Lingkungan fisik meliputi :

20
1. Suhu udara, sangat mempengaruhi panjang pendeknya siklus sporogoni atau

masa inkubasi ekstrinsik. Makin tinggi suhu (sampai batas tertentu) makin

pendek masa inkubasi ekstrinsik.

2. Kelembaban udara, kelembaban yang rendah memperpendek umur nyamuk.

3. Hujan, hujan yang diselingi oleh panas akan memperbesar kemungkinan

berkembangbiakan Anopheles.

4. Angin, jarak terbang nyamuk dapat diperpendek atau diperpanjang tergantung

kepada arah angin.

5. Sinar matahari, pengaruh sinar matahari terhadap pertumbuhan larva nyamuk

berbeda-beda.

6. Arus air, An. barbirostris menyukai tempat perindukan dengan air yang statis

atau mengalir sedikit, sedangkan An. minimus menyukai aliran air cukup

deras.

b. Lingkungan kimiawi, dari lingkungan ini yang baru diketahui pengaruhnya adalah

kadar garam dari tempat perindukan.

c. Lingkungan biologik, tumbuhan bakau, lumut, ganggang dan berbagai jenis

tumbuh-tumbuhan lain dapat mempengaruhi kehidupan larva nyamuk karena

dapat menghalangi sinar matahari yang masuk atau melindungi dari serangan

makhluk hidup lain.

d. Lingkungan sosial budaya, kebiasaan untuk berada di luar rumah sampai larut

malam, di mana vektornya lebih bersifat eksofilik (lebih suka hinggap/istirahat di

luar rumah) dan eksofagik (lebih suka menggigit di luar rumah) akan

memperbesar jumlah gigitan nyamuk, penggunaan kelambu, kawat kasa dan

21
repellent akan mempengaruhi angka kesakitan malaria dan pembukaan lahan

dapat menimbulkan tempat perindukan buatan manusia sendiri (man made

breeding places).

Karena itu, penularan malaria dipengaruhi oleh keberadaan dan fluktuasi populasi

vektor (penular yaitu nyamuk Anopheles spp), yang salah satunya dipengaruhi oleh

intensitas curah hujan, serta sumber parasit Plasmodium spp atau penderita di samping

adanya host yang rentan.Sumber parasit Plasmodium spp. adalah host yang menjadi

penderita positif malaria.Tapi di daerah endemis malaria tinggi, seringkali gejala klinis

pada penderita tidak muncul (tidak ada gejala klinis) meskipun parasit terus hidup di

dalam tubuhnya. Ini disebabkan adanya perubahan tingkat resistensi manusia terhadap

parasit malaria sebagai akibat tingginya frekuensi kontak dengan parasit, bahkan di

beberapa negara terjadinya kekebalan ada yang diturunkan melalui mutasi genetik.

Keadaan ini akan mengakibatkan penderita carrier (pembawa penyakit) atau penderita

malaria tanpa gejala klinis (asymptomatic), setiap saat bisa menularkan parasit kepada

orang lain, sehingga kasus baru bahkan kejadian luar biasa (KLB) malaria bisa terjadi

pada waktu yang tidak terduga. Selain penularan secara alamiah, malaria juga bisa

ditularkan melalui transfusi darah atau transplasenta dari ibu hamil ke bayi

yangdikandungnya.

Kejadian luar biasa (KLB) ditandai dengan peningkatan kasus yang disebabkan

adanya peningkatan populasi vektor sehingga transmisi malaria meningkat dan jumlah

kesakitan malaria juga meningkat.Sebelum peningkatan populasi vektor, selalu didahului

perubahan lingkungan yang berkaitan dengan tempat perindukan potensial seperti luas

perairan, flora serta karakteristik lingkungan yang mengakibatkan meningkatnya

22
kepadatan larva.Untuk mencegah KLB malaria, maka peningkatan vektor perlu diketahui

melalui pengamatan yang terus menerus (surveilans).

Ketika parasit dalam bentuk sporozoit masuk ke dalam tubuhmanusia melalui

gigitan nyamuk Anopheles spp, kurang lebih dalamwaktu 30 menit akan sampai ke dalam

sel hati . Selanjutnya akan melakukan siklus dalam sel hati dengan berubah dari sporozoit

menjadi schizon hati muda, kemudian tua dan matang. Selanjutnya schizon hati yang

matang akan melepaskan merozoit untuk masuk ke dalam sistem sirkulasi.

2.3 Etiologi

Penyebab infeksi malaria ialah plasmodium, yang selain menginfeksi manusia juga

menginfeksi binatang seperti golongan burung, reptil dan mamalia.Termasuk Genus

Plasmodium dari Family plasmodidae, Ordo Eucoccidioridia, Kelas Sporozoasida, dan

Phylum apicomplexan.

Plasmodium ini pada manusia menginfeksi eritrosit (sel darah merah) dan

mengalami pembiakan aseksual di jaringan hati dan di eritrosit.Pembiakan seksual terjadi

pada tubuh nyamuk Anopheles betina.Secara keseluruhan ada lebih dari 100 plasmodium

yang menginfeksi binatang (82 pada jenis burung dan reptil dan 22 pada binatang

primata).

Sementara itu terdapat empat plasmodium yang dapat menginfeksi manusia, yang

sering dijumpai Plasmodium vivax yang menyebabkan malaria tertiana dan Plasmodium

falciparum yang menyebabkan malaria tropika. Plasmodium malariae pernah juga

dijumpai pada kasus di Indonesia tetapi sangat jarang.Plasmodium ovale pernah

dilaporkan dijumpai di Irian Jaya, pulau Timor, dan pulau Owi (utara Irian Jaya). Sejak

23
tahun 2004 telah dilaporkan munculnya malaria baru dikenal sebagai malaria ke-5 (the

fifth malaria) yang disebabkan oleh Plasmodium knowlesi yang sebelumnya menginfeksi

monyet berekor panjang, namun sekarang dapat pula menginfeksi manusia

(Harijanto,2014).

2.4 Patogenesis Malaria

Patogenesis malaria akibat dari interaksi kompleks antara parasit, inang dan

lingkungan.Patogenesis lebih ditekankan pada terjadinya peningkatan permeabilitas

pembuluh darah daripada koagulasi intravaskuler. Oleh karena skizogoni menyebabkan

kerusakan eritrosit maka akan terjadi anemia. Beratnya anemi tidak sebanding dengan

parasitemia menunjukkan adanya kelainan eritrosit selain yang mengandung parasit.Hal

ini diduga akibat adanya toksin malaria yang menyebabkan gangguan fungsi eritrosit dan

sebagian eritrosit pecah melalui limpa sehingga parasit keluar. Faktor lain yang

menyebabkan terjadinya anemia mungkin karena terbentuknya antibodi terhadap eritrosit

(Rampengan, 2000).

Limpa mengalami pembesaran dan pembendungan serta pigmentasi sehingga mudah

pecah.Dalam limpa dijumpai banyak parasit dalam makrofag dan sering terjadi

fagositosis dari eritrosit yang terinfeksi maupun yang tidak terinfeksi.Pada malaria kronis

terjadi hyperplasia dari retikulosit diserta peningkatan makrofag.(Rampengan, 2000).

Pada malaria berat mekanisme patogenesisnya berkaitan dengan invasi merozoit ke

dalam eritrosit sehingga menyebabkan eritrosit yang mengandung parasit mengalami

perubahan struktur dan mbiomolekular sel untuk mempertahankan kehidupan

24
parasit.Perubahan tersebut meliputi mekanisme, diantaranya transport membran sel,

sitoadherensi, sekuestrasi dan resetting(Harijanto et al., 2000).

Sitoadherensi merupakan peristiwa perlekatan eritrosit yang telah terinfeksi P.

falciparum pada reseptor di bagian endotelium venule dan kapiler.Selain itu eritrosit juga

dapat melekat pada eritrosit yang tidak terinfeksi sehingga terbentuk roset (Harijanto,

2014).

Resetting adalah suatu fenomena perlekatan antara sebuah eritrosit yang

mengandung merozoit matang yang diselubungi oleh sekitar 10 atau lebih eritrosit non

parasit, sehingga berbentu seperti bunga. Salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya

resetting adalah golongan darah dimana terdapatnya antigen golongan darah A dan B

yang bertindak sebagai reseptor pada permukaan eritrosit yang tidak terinfeksi

(Harijanto,2014)

Menurut pendapat ahli lain, patogenesis malaria adalah multifaktorial dan

berhubungan dengan hal-hal sebagai berikut:

1. Penghancuran eritrosit

Fagositosis tidak hanya pada eritrosit yang mengandung parasit tetapi juga terhadap

eritrosit yang tidak mengandung parasit sehingga menimbulkan anemia dan hipoksemia

jaringan. Pada hemolisis intravascular yang berat dapat terjadi hemoglobinuria (black

white fever) dan dapat menyebabkan gagal ginjal(Pribadi,2000).

2. Mediator endotoksin-makrofag

25
Pada saat skizogoni, eritrosit yang mengandung parasit memicu makrofag yang

sensitive endotoksin untuk melepaskan berbagai mediator.Endotoksin mungkin berasal

dari saluran cerna dan parasit malaria sendiri dapat melepaskan faktor nekrosis tumor

(TNF) yang merupakan suatu monokin, ditemukan dalam peredaran darah manusia dan

hewan yang terinfeksi parasit malaria. TNF dan sitokin dapat menimbulkan demam,

hipoglikemia, dan sindrom penyakit pernapasan pada orang dewasa(Pribadi,2000).

3. Sekuestrasi eritrosit yang terluka

Eritrosit yang terinfeksi oleh Plasmodium dapat membentuk tonjolan-tonjolan

(knobs) pada permukaannya.Tonjolan tersebut mengandung antigen dan bereaksi dengan

antibodi malaria dan berhubungan dengan afinitas eritrosit yang mengandung parasit

terhadap endothelium kapiler alat dalam, sehingga skizogoni berlangsung di sirkulasi alat

dalam. Eritrosit yang terinfeksi menempel pada endothelium dan membentuk gumpalan

yang mengandung kapiler yang bocor dan menimbulkan anoksia dan edema

jaringan(Pribadi,2000).

2.5 Klasifikasi

2.5.1 Malaria Asimtomatik

Penderita malaria dengan ditemukannya parasit malaria pada pemeriksaan darah

dan penderita tidak ada gejala/keluhan.Penderita ini biasanya ditemukan pada waktu

survailens dan dijumpai pada orang yang di daerah hiperendemik.Penderita ini dengan

imunitas yang tinggi sehingga adanya parasit dalam darahnya tidak memberi gejala.Bila

dijumpai kasus seperti ini penderita harus tetap diberikan obat anti-malaria.

2.5.2 Malaria tanpa komplikasi

26
Ditemukannya parasit bentuk aseksual dari seorang penderita disertai dengan

gejala-gejala klinis malaria.Gejala dapat klasik maupun tidak klasik.Pada penderita ini

tidak ditemukan tanda-tanda komplikasi.

2.5.3 Malaria berat

Komplikasi malaria umumnya disebabkan karena P. falciparum dan sering disebut

pernicious manifestation.Sekarang komplikasi malaria dapat juga disebabkan karena

P.vivax dan P.knowlesi.Sering terjadi mendadak tanpa gejala-gejala sebelumnya, dan

sering terjadi pada penderita yang tidak imun seperti pada pendatang dan ibu

hamil.Kompikasi terjadi 5-10% pada seluruh penderita malaria yang dirawat di RS dan

20% nya merupakan kasus yang fatal. Penderita malaria berat yang menurut WHO

diidentifikasikan sebagai infeksi P.falciparum dengan satu atau lebih komplikasi berikut :

1. Malaria serebral : penurunan kesadaran (koma) yang tidak disebabkan oleh penyakit

lain atau lebih dari 30 menit setelah serangan kejang, derajat penurunan kesadaran

harus dilakukan penelitian berdasarkan GCS (Glasgow Coma Scale).

2. Acidemia/acidosis: pH <7,25 atau plasma bikarbonat <15 mmol/L kadar laktat vena

>5 mmol/L, klinis pernapasan dalam/respiratory distress.

3. Anemia berat normositik (hb <5gr% atau hematokrit <15%)

4. Gagal ginjal akut (urin kurang dari 400 ml/24 jam pada orang dewasa atau 12

ml/kgBB pada anak-anak setelah dilakukan rehidrasi, disertai kreatinin >3 mg%

5. Edema paru (berdasarkan temuan foto toraks)

6. Ketidak mampuan untuk makan (failure to feed)

7. Hipoglikemia : gula darah <40 mg%

27
8. Gagal sirkulasi atau syok : tekanan sistolik, <70mmHg (anak 1-5 tahun

<50mmHg);disertai keringat dingin atau perbedaan temperature kulit-mukosa >1

derajat celcius

9. Perdarahan spontan

10. Kejang berulang lebih dari 2 kali/24 jam

11. Hiperkalemia >5 mmol/L

12. Makroskopik hemoglobinuri oleh karena infeksi malaria akut (bukan karena obat anti

malaria/kelainan eritrosit (kekurangan G-6-PD)

13. Diagnosis post-mortem dengan ditemukannya parasit yang padat pada pembuluh

kapiler di jaringan otak/jaringan lain (Harijanto, 2014).

Beberapa keadaan lain yang juga digolongkan sebagai malaria berat sesuai dengan

gambaran klinis daerah setempat ialah :

1. Gangguan kesadaran ringan (GCS <15) di Indonesia sering dengan keadaan delirium

2. Prostration- kelemahan otot (tak bisa duduk/berjalan tanpa bantuan)

3. Hiperparasitemia >2% (>100.000 parasit/uL) pada daerah transmisi rendah atau

>5%(250.000/uL) pada daerah transmisi tinggi/stabil malaria

4. Ikterik (bilirubin >3Mg%) bila disertai gagal organ lain

5. Hiperpireksia (temperature rektal >40 derajat celcius)pada orang dewasa/anak.

(Harijanto, 2014)

2.6 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis malaria tergantung pada imunitas penderita, dan tingginya

transmisi infeksi malaria. Berat/ringannya infeksi dipengaruhi oleh jenis plasmodium (P.

28
falciparum sering memberikan komplikasi), daerah asal infeksi (pola resistensi terhadap

pengobatan), umur (usia lanjut dan bayi sering lebih berat), ada dugaan konstitusi genetic,

keadaan kesehatan dan nutrisi, kemoprofilaksis dan pengobatan sebelumnya (Harijanto,

2014)

2.6.1 Manifestasi Malaria Tanpa Komplikasi

Dikenal 5 jenis plasmodium yang menginfeksi manusia yaitu P. vivax yang paling

sering menyebabkan malaria tertian/vivaks, P. falciparum memberikan banyak

komplikasi dan mempunyai perjalanan klinis yang cukup serius, mudah resisten dengan

pengobatan dan menyebabkan malaria tropika/falsiparum, P. malariae cukup jarang

namun dapat menimbulkan sindroma nefrotik dan menyebabkan malaria

quartana/malariae, P. ovale dijumpai pada daerah Afrika dan Pasifik Barat, memberikan

infeksi yang paling ringan dan sering sembuh spontan tanpa pengobatan dan

29
menyebabkan malaria ovale, P. knowlesi dilaporkan pertama kali di Serawak sering

didiagnosa sebagai P. malariae dan dapat menyebabkan malaria berat (Harijanto, 2014).

2.6.2 Manifestasi Umum Malaria

Malaria mempunyai gambaran karakteristik berupa demam periodik, anemia dan

splenomegaly. Keluhan prodromal dapat terjadi sebelum terjadinya demam berupa

kelesuan, malaise, sakit kepala, sakit punggung, nyeri sendi dan tulang, demam ringan,

anoreksia, sakit perut, diare ringan dan kadang-kadang dingin. Keluhan prodromal sering

terjadi pada P. vivax dan P. ovale, sedang pada P. falciparum dan malariae keluhan

prodromal tidak jelas bahkan gejala dapat mendadak (Harijanto, 2014).

Gejala yang klasik yaitu terjadinya “Trias Malaria” secara berurutan: periode dingin

(15-60 menit): mulai menggigil, penderita sering membungkus diri dengan selimut atau

sarung dan pada saat menggigil sering seluruh badan bergetar dan gigi geligi saling

terantuk, diikuti dengan meningkatnya temperature, diikuti dengan periode panas: muka

penderita merah, nadi cepat, dan suhu badan tetap tinggi beberapa jam, diikuti dengan

keadaan berkeringat; kemudian periode berkeringat: penderita berkeringat banyak dan

temperature turun dan penderita merasa sehat. Trias malaria lebih sering terjadi pada

infeksi P. vivaks, pada P. falciparum menggigil dapat berlangsung berat ataupun tidak

ada. Periode tidak panas berlangsung 12 jam pada P. falciparum, 36 jam pada P. vivax

dan P. ovale, 60 jam pada P. malariae. Timbulnya gejala trias malaria ini juga

dipengaruhi tingginya kadar TNF-alfa (Harijanto, 2014).

Anemia merupakan gejala yang sering dijumpai pada infeksi malaria. Beberapa

mekanisme terjadinya anemia ialah: pengrusakan eritrosit oleh parasite, hambatan

30
sementara eritropoiesis, hemolysis oleh karena kompleks imun yang diperantarai

komplemen, eritrofagositosis, penghambatan pengeluaran retikulosit, dan pengaruh

sitokin. Pembesaran limpa (splenomegaly) sering dijumpai pada malaria, limpa akan

teraba setelah 3 hari dari serangan infeksi akut, limpa menjadi bengkak, nyeri dan

hiperemis. Limpa merupakan organ yang penting dalam pertahanan tubuh terhadap

infeksi malaria, penelitian pada binatang percobaan memperlihatkan limpa memfagosit

eritrosit yang terinfeksi melalui perubahan metabolism, antigenic dan rheological dari

eritrosit yang terinfeksi (Harijanto, 2014).

Beberapa keadaan klinik dalam perjalanan infeksi malaria ialah:

Serangan primer: mulai dari akhir masa inkubasi dan mulai terjadi serangan

paroksismal yang terdiri dari dingin/menggigil; panas dan berkeringat. Serangan

paroksismal ini dapat pendek atau panjang tergantung dari jumlah parasite dan keadaan

imunitas penderita (Harijanto, 2014).

Pariode latent: periode tanpa gejala dan tanpa parasitemia selama terjadinya

infeksi malaria. Biasanya terjadi diantara dua keadaan paroksismal (Harijanto, 2014).

Rekrudesensi: berulangnya gejala klinik dan parasitemia dalam masa 8 minggu

sesudah berakhirnya serangan primer. Rekrudesensi dapat terjadi berupa berulangnya

gejala klinik sesudah periode laten dari serangan primer. Sering disebut relaps waktu

panjang (Harijanto, 2014).

Rekurens: berulangnya gejala klinik atau parasitemia setelah 24 minggu

berakhirnya serangan primer (Harijanto, 2014).

31
Relaps atau Rechute: berulangnya gejala klinik atau parasitemia yang lebih lama

dari waktu diantara serangan periodik dari infeksi primer atau setelah periode yang lama

dari masa laten (sampai 5 tahun) biasanya terjadi karena infeksi tidak sembuh atau oleh

bentuk diluar eritrosit (hati) pada malaria vivaks atau ovale (Harijanto, 2014).

2.6.3 Manifestasi Klinik Malaria Tertiana/M. Vivaks/M. Benigna

Masa inkubasi 12-17 hari, bias lebih panjang 12-20 hari.Pada hari pertama panas

irregular, kadang-kadang remiten atau intermiten, pada saat tersebut perasaan dingin atau

menggigil jarang terjadi. Pada akhir minggu tipe panas menjadi intermiten dan periodik

setiap 48 jam dengan gejala klasik trias malaria. Serangan paroksismal biasanya terjadi

waktu sore hari.Kepadatan parasite mencapai maksimal dalam waktu 7-14 hari

(Harijanto, 2014).

Pada minggu kedua limpa mulai teraba.Parasitemia mulai menurun setelah 14 hari,

limpa masih dapat membesar dan panas masih berlangsung.Pada akhir minggu kelima

panas mulai turun.Pada malaria vivaks, limpa dapat membesar sampai derajat 4 atau 5

(ukuran Hackett).Malaria serebral jarang terjadi.Edema tungkai disebabkan karena

hipoalbuminemia. Malaria vivaks sering menyebabkan relaps. Pada penderita yang semi-

imun infeksi malaria vivaks tidak spesifik dan ringan saja; parasitemia hanya rendah;

serangan demam hanya pendek dan penyembuhan lebih cepat.Resistensi terhadap

kloroquin pada malaria vivaks juga dilaporkan di Irian Jaya dan didaerah lainnya

(Sumatera).Relaps sering terjadi karena keluarnya bentuk hipnozoit yang tertinggal dihati

pada saat stastus imun tubuh menurun.Malaria vivaks saat ini dapat juga berkembang

32
menjadi malaria berat dan memberikan komplikasi seperti gagal pernafasan, malaria

serebral, disfungsi hati dan anemia berat (Harijanto, 2014).

2.6.4 Manifestasi Klinik Malaria Malariae/M. Quartana

Masa inkubasi 18-40 hari.Manifestasi klinik seperti pada malaria vivaks hanya

berlangsung lebih ringan, anemia jarang terjadi, splenomegaly sering dijumpai walaupun

ringan.Serangan paroksismal terjadi tiap 3-4 hari biasanya pada waktu sore dan

parasitemia sangat rendah <1% (Harijanto, 2014).

Komplikasi jarang terjadi, sindroma nefrotik dilaporkan pada infeksi P. malariae

pada anak-anak di Afrika. Diduga komplikasi ginjal disebabkan oleh karena deposit

kompleks imun pada glomerulus ginjal. Hal ini terbukti dengan adanya peningkatan IgM

bersama peningkatan titer antibodinya.Pada pemeriksaan dapat dijumpai edema, asites,

proteinuria yang banyak, hipoproteinemia, tanpa uremia dan hipertensi.Keadaan ini

prognosisnya jelek, respon terhadap pengobatan anti malaria tidak menolong, diet kurang

garan dan tinggi protein dan diuretic boleh dicoba, steroid tidak berguna. Pengobatan

dengan azatioprin dengan dosis 2-2,5 mg/kgBB selama 12 bulan tampaknya memberikan

hasil yang baik; siklofosfamid lebih sering memberikan efek toksik. Rekrudesensi sering

terjadi pada P. malaria, parasite dapat bertahan lama dalam darah perifer, sedangkan

bentuk diluar eritrosit (dihati) tidak terjadi pada P. malariae (Harijanto, 2014).

2.6.5 Manifestasi Klinik Malaria Ovale

Masa inkubasi 11-16 hari, serangan paroksismal 3-4 hari terjadi pada malam hari

dan jarang lebih dari 10 kali walaupun tanpa terapi. Apabila terjadi infeksi campuran

dengan plasmodium lain, maka P. ovale tidak akan tampak didarah tepi, tetapi

33
plasmodium yang lain yang akan ditemukan. Gejala klinis hampir sama dengan malaria

vivaks, lebih ringan, puncak panas lebih rendah dan berlangsung lebih pendek dan dapat

sembuh spontan tanpa pengobatan. Serangan menggigil jarang terjadi dan splenomegaly

jarang sanpai dapat diraba (Harijanto, 2014).

2.6.6 Manifestasi Klinik Malaria Tropika/M. Falsiparum

Malaria tropika merupakan bentuk yang paling berat, ditandai dengan panas yang

ireguler, anemia, splenomegaly, parasitemia jarang dijumpai, dan sering terjadi

komplikasi.Masa inkubasi 9-14 hari.Malaria tropika mempunyai perjalanan klinis yang

cepat, dan parasitemia yang tinggi dan menyerang semua bentuk eritrosit.Gejala

prodromal yang sering dijumpai yaitu sakit kepala, nyeri punggung/nyeri tungkai, lesu,

perasaan dingin, mual, muntah, dan diare.Panas biasanya ireguler dan tidak periodic,

sering terjadi hiperpireksia dengan temperature diatas 40 oC. Gejala lain berupa konvulsi,

pneumonia aspirasi dan banyak keringat walaupun temperature normal. Apabila infeksi

memberat nadi cepat, nausea, muntah, diarea menjadi berat dan diikuti kelainan paru

(batuk).Splenomegaly dijumpai lebih sering dari hepatomegaly dan nyeri pada perabaan;

dapat disertai timbulnya icterus.Kelainan urin dapat berupa albuminuria, hialin dan

Kristal yang granuler.Anemia lebih menonjol dengan leukopenia dan monositosis

(Harijanto, 2014).

2.6.7 Manifestasi Klinik P. Knowlesi

Sejak dipublikasikan tahun 2004 sebagai hasil study retrospektif terhadap adanya

kasus di Kapit-Serawak dimana dilaporkan sebagai P. malariae yang tidak klasik.Malaria

ini dikenal sebagai Simian malaria yang menginfeksi kera berekor panjang dikenal

34
sebagai Maccaca fascicularis, M. nemestrina dan juga Presbytis femoralis.Selain di

Serawak Malaysia, P. knowlesi juga dilaporkan di Filipina, Singapore, Thailand dan

Myanmar.Di Indonesia juga pernah dilaporkan penderita dari Kalimantan. Sebagai vector

utama ialah Anopheles cracens, An. Latens, An. Balabacencis. Malaria ini sering

didiagnosa sebagai P. malariae yang tidak klasik karena gejala panas lebih dominan,

dengan puncak panas tiap hari, kadang dengan 2 puncak. Mempunyai siklus aseksual tiap

24 jam dan masa inkubasi eksperimental 9-12 hari. Sering dijumpai gejala nyeri abdomen

dengan diare.Parasitemia lebih tinggi dibandingkan oleh P. malariae.Komplikasi malaria

berat dapat terjadi berupa penurunan kesadaran, hipotensi, gagal ginjal, ikterik, gagal

pernafasan dan menyebabkan kematian.Diagnosa pasti malaria knowlesi saat ini dengan

pemeriksaan analisis DNA dengan pemeriksaan PCR (Harijanto, 2014).

2.7 Diagnosis Malaria

Diagnosis malaria ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan

mikroskopik. Gejala klinis saja sering bervariasi dan tidak spesifik sehingga penegakkan

diagnose berdasarkan gejala klinis mempunyai spesifitas yang rendah. Adanya

riwayat/anamnesa penderita tentang asal apakah dari daerah endemic malaria, riwayat

bepergian ke daerah malaria sangat membantu dalam memperkirakan adanya infeksi

malaria. WHO merekomendasikan diagnosis berdasarkan gejala klinis dengan 2 petunjuk:

1. Bila risiko infeksi malaria rendah, kemungkinan transmisi malaria minimal,

diagnosis berdasarkan adanya demam selama 3 hari dan tidak ditemukan penyebab

infeksi lainnya

35
2. Bila penderita risiko malaria tinggi, dan transmisi malaria sangat tinggi, diagnosis

berdasarkan adanya demam satu hari disertai adanya anemia, pada anak sering ditandai

dengan pucat ditelapak tangan.

Diagnosis pasti dengan menemukan adanya parasite malaria ditegakkan dengan

pemeriksaan mikroskopik sebagai standar baku dan bila tidak dimungkinkan dibantu

dengan tes diagnose cepat (Rapid Diagnosis Test =RDT).

2.7.1 Pemeriksaan Tetes Darah untuk Malaria

Pemeriksaan mikroskopik darah tepi untuk menemukan adanya parasite malaria

sangat penting untuk menegakkan diagnosis.Pemeriksaan satu kali dengan hasil negative

tidak menyingkirkan diagnosis malaria.Pemeriksaan darah tepi 3 kali dan hasil negative

dapat menyingkirkan kemungkinan malaria.Pemeriksaan pada saat penderita demam atau

panas dapat meningkatkan kemungkinan ditemukannya parasite. Adapun pemeriksaan

darah tepi dapat dilakukan melalui:

Tetesan preparat darah tebal. Merupakan cara terbaik untuk menemukan parasit

malaria karena tetesan darah cukup banyak dibandingkan preparat darah tipis. Ketebalan

dalam membuat sediaan perlu untuk memudahkan identifikasi parasite.Pemeriksaan

parasite dilakukan selama 5 menit (diperkirakan 100 lapang pandang dengan pembesaran

kuat).Preparat dinyatakan negative bila setelah diperiksa 200 lapang pandang dengan

pembesaran kuat (700-1000 kali) tidak ditemukan parasite.Hitung parasite dapat

dilakukan pada tetes tebal dengan menghitung jumlah parasite per 200 leukosit.Bila

leukosit 10.000/ul maka hitung parasitnya ialah jumlah parasite dikalikan 50 merupakan

jumlah parasite per microliter darah (Harijanto, 2014).

36
Hapusan darah tipis.Digunakan untuk identifikasi jenis plasmodium, bila dengan

preparat darah tebal sulit ditentukan.Kepadatan parasite dinyatakan sebagai hitung

parasite (parasite count), dapat dilakukan berdasarkan jumlah eritrosit yang mengandung

parasite per 1000 sel darah merah.Bila jumlah parasite >100.000/ul darah menandakan

infeksi yang berat.Hitung parasite penting untuk menentukan prognosis penderita

malaria, walaupun komplikasi juga dapat timbul dengan jumlah parasite yang minimal.

Pengecatan dilakukan dengan cat Giemsa, atau Leishman’s, atau Field’s dan juga

Romanowsky. Pengecatan Giemsa yang umum dipakai pada beberapa laboratorium dan

merupakan pengecatan yang mudah dengan hasil yang cukup baik (Harijanto, 2014).

2.7.2 Tes Antigen

Ada 2 jenis antigen yaitu Histidine Rich Protein II mendeteksi antigen dari P.

falciparum dan antigen terhadap LDH (Laktase Dihidrogenase) yang terdapat pada

plasmodium lainnya.Deteksi sangat cepat hanya 3-5 menit, tidak memerlukan latihan

khusus, sensitivitasnya baik, tidak memerlukan alat khusus. Beberapa tes mendeteksi

antigen spesifik terhadap P. falciparum sedang yang lain deteksi pan-spesifik antigen

(aldolase atau pan-malaria pLDH). Tes ini sekarang dikenal sebagai tes cepat (Rapid

Tes).Karena sensitivitas dan spesivitasnya tinggi, tes ini sangat bermanfaat untuk tes

penyaring dan dapat dipakai sebagai tes deteksi parasite untuk pemberian obat malaria

ACT.Tes ini tidak dapat dipakai untuk monitoring maupun mendeteksi adanya

hiperparasitemia (Harijanto, 2014).

37
2.7.3 Tes Serologi

Tes serologi mulai diperkenalkan sejak tahun 1962 dengan memakai teknik

immuno fluorescent antibody (IFA).Tes ini berguna mendeteksi adanya antibody spesifik

terhadap malaria atau pada keadaan dimana parasite sangat sedikit jumlahnya.Tes ini

kurang bermanfaat sebagai alat diagnostic sebab antibody baru terjadi setelah 2 minggu

terjadinya infeksi dan menetap 3-6 bulan.Tes ini sangat spesifik dan sensitiv, manfaat tes

serologi terutama untuk digunakan pada penelitian epidemiologi atau alat uji saring donor

darah. Titer > 1:200 dianggap sebagai infeksi baru; dan tes > 1:20 dinyatakan positif

terinfeksi. Metode tes serologi lain adalah indirect haemagglutination test, immune-

precipitation techniques, ELISA test, radio-immunoassay (Harijanto, 2014).

2.7.4 Tes Diagnosis Molekuler

Pemeriksaan ini dianggap sangat peka dengan teknologi amplifikasi DNA, waktu

dipakai cukup cepat dan sensitivitas maupun spesifitasnya tinggi.Keunggulan tes ini

walaupun jumlah parasite sangat sedikit dapat memberikan hasil positif.Tes ini baru

dipakai sebagai sarana penelitian dan belum untuk pemeriksaan rutin. Termasuk dalam

tes ini: PCR(Polymerase Chain Reaction), LMAP(Loop-mediated Isothermal

Amplification), Microarray, Mass Spectrometry (MS), flow cytometric assay (FCA)

(Harijanto, 2014).

2.8 Diagnosis Banding Malaria

Demam merupakan salah satu gejala malaria yang menonjol, yang juga dijumpai

pada hampir semua penyakit infeksi seperti infeksi virus pada system respiratorius,

influenza, bruselosis, demam tifoid, demam dengue, dan infeksi bacterial lainnya seperti

38
pneumonia, ISK, dan tuberculosis.Pada malaria dengan icterus, diagnosis banding adalah

demam tifoid dengan hepatitis, kolesistitis, abses hati dan leptospirosis. Pada malaria

serebral harus dibedakan dengan infeksi pada otak lainnya seperti meningitis, ensefalitis,

tifoid ensefalopati, tripanososmiasis (Harijanto,2014).

2.9 Penatalaksanaan

2.9.1 Pengobatan Malaria Tanpa Komplikasi

Pengobatan malaria yang dianjurkan saat ini dengan pemberian ACT. Pemberian

kombinasi ini untuk meningkatkan efektifitas dan mencegah resistensi.Malaria tanpa

komplikasi diobati dengan pemberian ACT secara oral. Malaria berat diobati dengan

injeksi Artesunat dilanjutkan dengan ACT oral. Disamping itu diberikan primakuin

sebagai gametosidal dan hipnozoidal (Kemenkes RI,2017).

1. Malaria falsiparum, malaria knowlesi dan malaria vivaks

Pengobatan malaria falsiparum, knowlesi dan vivaks saat ini menggunakan DHP

ditambah primakuin.

Dosis DHP untuk malaria falsiparum, malaria knowlesi sama dengan malaria

vivaks, primakuin untuk malaria falsiparum dan malaria knowlesi hanya diberikan pada

hari pertama saja dengan dosis 0,25 mg/kgBB,dan untuk malaria vivaks selama 14 hari

dengan dosis 0,25 mg/kgBB. Primakuin tidak boleh diberikan pada bayi usia<6 bulan dan

ibu hamil. Pengobatan malaria falsiparum,knowlesi dan malaria vivaks dengan

Dihidroartemisin-Piperakuin (DHP) + Primakuin.

39
Table . Pengobatan Malaria Falsifarum Dan Malaria Knwlesi Menurut Berat Badan

Dengan DHP Dan Primakuin.

Hari Jenis Jumlah tabel perhari menurut berat badan


<5 kg 5-6 >6-10 11-17 18-30 31-40 41-59 60-80 .>80
obat
kg kg kg kg kg kg kg kg
0-1 2-5 6-11 1-4 5-9 10-14 >15 >15 >15

bulan bulan tahun tahun tahun tahun tahun tahun tahun


1-3 DHP 1/3 ½ ½ 1 11/2 2 3 4 5
1 Primakuin - - ¼ ¼ 1/2 3/4 1 1 1

Table. Pengobatan Malaria vivaks Menurut Berat Badan Dengan DHP Dan Primakuin.

Hari Jenis Jumlah tabel perhari menurut berat badan


<5 kg 5-6 >6-10 11-17 18-30 31-40 41-59 60-80 .>80
obat
kg kg kg kg kg kg kg kg
0-1 2-5 6-11 1-4 5-9 10-14 >15 >15 >15

bulan bulan tahun tahun tahun tahun tahun tahun tahun


1-3 DHP 1/3 ½ ½ 1 11/2 2 3 4 5
1-14 Primakuin - - ¼ ¼ 1/2 3/4 1 1 1

Catatan:

a. Sebaiknya dosis pemberian DHP berdasarkan berat badan, apabila penimbangan

berat badan tidak dapat dilakukan maka pemberian obat dapat berdasarkan

kelompok umur.

b. Apabila ada ketidaksesuaian antara umur dan berat badan (pada tabel

pengobatan), maka dosis yang dipakai adalah berdasarkan berat badan.

c. Untuk anak dengan obesitas gunakan dosis berdasarkan berat badan ideal.

d. Primakuin tidak boleh diberikan pada ibu hamil.

40
e. Khusus untuk penderita defisiensi enzim G6PD yang dicurigai melalui anamnesis

ada keluhan atau riwayat warna urine coklat kehitaman setelah minum obat

primakuin, maka pengobatan diberikan secara mingguan selama 8-12 minggu

dengan dosis mingguan 0,75 mg/kgBB. Pengobatan malaria pada penderita

dengan defisiensi G6PD segera di rujuk ke rumah sakit.

2. Pengobatan malaria vivaks yang relaps (kambuh) diebrikan dengan regimen DHP yang

sama tapi dosis primakuin ditingkatkan menjadi 0,5 mg/kgBB/hari (harus disertai dengan

pemeriksaan laboratorium enzim G6PD)

3. Pengobatan malaria ovale menggunakan DHP yaitu DHP ditambah dengan primakuin

selama 14 hari. Dosis pemberian obatnya sama dengan untuk malaria vivaks.

4. Pengobatan malaria malariae cukup diberikan DHP 1 kali perhari selama 3 hari dengan

dosis yang sama dengan pengobatan malaria lainnya dan tidak diberikan primakuin.

5. Pengobatan infeksi campuran P. falciparum + P. vivax/P. ovale diberikan DHP selama 3

hari serta primakuin dengan dosis 0,25 mg/kgBB/hari selama 14 hari.

Tabel. Pengobatan Infeksi Campur P.Falciparum, P. Vivax Dan Ovale DHP Dan

Primakuin

Hari Jenis Jumlah tabel perhari menurut berat badan


<5 kg 5-6 >6-10 11-17 18-30 31-40 41-59 60-80 .>80
obat
kg kg kg kg kg kg kg kg
0-1 2-5 6-11 1-4 5-9 10-14 >15 >15 >15

41
bulan bulan tahun tahun tahun tahun tahun tahun tahun
1-3 DHP 1/3 ½ ½ 1 11/2 2 3 4 5
1-14 Primakuin - - ¼ ¼ 1/2 3/4 1 1 1

2.10 Komplikasi

1. Malaria serebral

2. Anemia berat

3. Gagal ginjal akut

4. Edema paru atau ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome)

5. Hipoglikemia

6. Gagal sirkulasi atau syok

7. Perdarahan spontan dari hidung, gusi, alat pencernaan dan atau disertai kelainan

laboratorik adanya gangguan koagulasi intravascular

8. Kejang berulang > 2 kali per 24 jam pada hipertermia

9. Asidemia (pH darah < 7,25) atau asidosis (biknat plasma < 15 mmol/L)

10. Makroskopik hemoglobinuria karena infeksi malaria akut

2. 11 Pencegahan

Pencegahan terhadap infeksi malaria diperlukan untuk melindungi pendatang dalam

arti turis dosmetik/internasional ataupun pelaku bisnis yang umumnya ialah pendatang

yang tinggal dalam waktu pendek. Sebagian lain ialah pendatang sebagai pekerja ataupun

pendatang yang akan tinggal tetap baik berupa migrasi spontan maupun program

transmigrasi. Tindakan pencegahan umumnya diperlukan karena untuk menghindari

infeksi dari kelompok yang rentan terhadap infeksi malaria dimana umumnya tidak

42
memiliki kekebalan sehingga menifestasi malaria sangat mungkin berlaku berat dan dapat

menyebabkan kematian (Harijanto, 2014).

Umumnya gejala klinis malaria pada pelancong timbul 30 hari setelah kembali dari

perjalanan (95%); akan tetapi dapat terjadi pada kurun waktu 12 hari sampai berbulan-

bulan (Harijanto, 2014).

Manajemen pencegahan terdiri dari:

1. Tingkah laku dan intervensi non-obat: meliputi pengetahuan tentang transmisi malaria

didaerah kunjungan, pengetahuan tentang infeksi malaria, menghindarkan dari gigitan

nyamuk.

2. Pemilihan obat kemoprofilaksis tergantung dari pola resistensi daerah kunjungan, usia

pelancong, lama kunjungan, kehamilan, kondisi penyakit tertentu penderita, toleransi

obat dan factor ekonomi.

3. Obat kemoprofilaksis: yang dapat dipakai sebagai obat pencegahan ialah atovaquone-

proguanil (Malarone), doksisiklin, kloroquine, dan mefloquine. Obat yang ideal adalah

Malarone karena berefek pada parasite yang beredar didarah dan juga yang dihati

karenanya boleh dihentikan 1 minggu setelah selesai perjalanan, sedang obat lain

seperti doksisiklin, kloroquine dan mefloquine harus diteruskan sampai 4 minggu

selesai perjalanan. Malarone dan doksisiklin dapat dimulai 1-2 hari sebelum perjalanan

sedangkan untuk kloroquine harus mulai 1 minggu sebelum mulai perjalanan,

sedangkan mefloquine harus mulai 2-3 minggu sebelum perjalanan. Primakuin

merupakan obat yang dapat digunakan untuk profilaksis dengan risiko terjadinya

hemolysis karenanya dianjurkan pemeriksaan enzim G6PD sebelum memakai

43
profilaksis primakuin. Dapat dimulai 1 hari sebelum berangkat dan 7 hari setelah

selesai perjalanan (minimal 14 hari) (Harijanto, 2014).

Pada daerah dengan resistensi klorokuin dianjurkan doksisiklin 100 mg/hari atau

mefloquin 250 mg/minggu atau klorokuin 2 tab/minggu ditambah proguanil 200 mg/hari.

Obat lain yang dipakai untuk pencegahan yaitu primakuin dosis 0,5 mg/kgBB/hari;

Etaquin, Atovaquone/Proguanil (Malarone) dan Azitromicin (Harijanto,2014).

2.12 Konseling dan Edukasi

Pada kasus malaria berat disampaikan kepada keluarga mengenai prognosis

penyakitnya. Pencegahan malaria dapat dilakukan dengan:

a. Menghindari gigitan nyamuk dengan kelambu atau repellen

b. Menghindari aktivitas diluar rumah pada malam hari

c. Mengobati pasien hingga sembuh misalnya dengan pengawasan minum obat

2.13 Kriteria Rujukan

1. Malaria dengan komplikasi

2. Malaria berat, namun pasien harus terlebih dahulu diberi dosis awal Artemisin atau

Artesunat per intramuscular atau intravena dengan dosis awal 3,2 mg/kgBB

2.14 Prognosis

Prognosis bergantung pada derajat beratnya malaria.Secara umum, prognosisnya

adalah dubia ad bonam.Penyakit ini dapat terjadi kembali apabila daya tahan tubuh

menurun.

44
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif

retrospektif.

3.2 Lokasi Penelitian

Lokasi yang dipakai sebagai tempat penelitian mengenai gambaran informasi

karakteristik penderita malaria berada di wilayah kerja Puskesmas Abepura Kelurahan

Hedam, Distrik Heram.

3.3 Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan sejak tanggal 19 sampai 21 Maret 2019.

45
3.4 Populasi Penelitian

3.4.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penderita penyakit malaria yang

teregistrasi di Puskesmas Abepura periode Februari – Juli 2019 sebanyak 896

penderita.

3.4.2 Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah total populasi penderita malaria pada periode

Februari – Juli 2019 sebanyak 896 penderita, dimana terdata yaitu malaria falciparum

berjumlah 496, malaria vivax 359, dan 43 malaria campuran.

3.1. Teknik Pengumpulan Data

Pada penelitian ini menggunakan teknik sampling yaitu Total sampling, Total

sampling adalah teknik pengambilan sampel di mana jumlah sampel sama dengan

populasi (Sugiyono, 2014). Jadi, Berdasarkan pengertian tersebut maka Total

sampling pada penelitian ini adalah semua masyarakat yang terdiagnosis sebagai

penderita penyakit malaria, yang terdata dalam data rekam medik Puskesmas Abepura

sejak Februari – Juli 2019 sebanyak 896 penderita.

3.2. Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan analisis univariat mengunakan rumus distribusi

frekuensi.

46
F
P= x 100%
N

Keterangan:

P= persentase yang dicari

F= frekuensi

N= jumlah sampel

3.3. Etika Penelitian

Etika penelitian bertujuan untuk menjaga kerahasiaan identitas penderita akan

kemungkinan terjadinya ancaman terhadap penderita. Masalah etika ini terutama

ditekankan pada:

1. Anonimity

Untuk privasi penderita maka pada pengambilan data yang diambil tidak dicantumkan

nama tetapi dicantumkan kode atau inisial.

2. Confidentiality

Kerahasiaan informasi atau data yang diberikan oleh pihak Puskesmas kepada peneliti

haruslah dijaga kerahasiaannya oleh peneliti.

3.5 Variabel Penelitian

1. Usia

47
2. Jenis Kelamin

3. Kelurahan

4 Jenis Plasmodium

3.6 Definisi Penelitian

3.6.1 Usia

Usia adalah selisih antara tanggal pengambilan spesimen darah dengan tanggal lahir

responden. Dalam hal ini usia pasien penderita malaria dalam penelitian ini dibagi

menjadi lima kelompok usia, yaitu:

1. kelompok usia 0 – 11 bulan

2. kelompok usia 1 – 4 tahun

3. kelompok usia 5 – 9 tahun

4. kelompok usia 10 – 14 tahun

5. kelompok usia > 15 tahun

3.6.2 Jenis Kelamin

Jenis kelamin adalah ciri khas organ reproduksi yang dimiliki oleh penderita yang

tercatat dalam kartu status, yaitu:

1. Laki-laki

2. Perempuan

3.6.3 Kelurahan

48
Kelurahan adalah tempat penderita tinggal atau berdomisili menetap sesuai yang

tercatat dalam kartu status, yaitu:

1. wilayah kerja Puskesmas Abepura: Kelurahan Asano, Kelurahan Awiyo,

Kelurahan Hedam, Kelurahan Kota Baru dan Kelurahan Yobe

2. luar wilayah kerja Puskesmas Abepura

3.6.4 Plasmodium

Jenis plasmodium adalah parasit Plasmodium yang ditularkan melalui gigitan nyamuk

malaria (Anopheles). Jenis plasmodium dan satu kondisi malaria campuran

(disebabkan oleh karena Plasmodium falciparum dengan Plasmodium vivax atau

dengan Plasmodium ovale) yang ditemukan berdasarkan hasil pemeriksaan darah

adalah:

1. Plasmodium falciparum

2. Plasmodium vivax

3. Plasmodium malariae

4. Plasmodium ovale

5. Mixed- malariae

3.7 Sumber Data

Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara mengumpulkan data secara sekunder. Data

sekunder adalah data yang didapatkan dari medical record yang bersumber dari pihak Puskesmas

Abepura.

49
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Data Geografis/Data Wilayah

4.1.1. Topografi dan Luas Wilayah

Puskesmas Abepura memiliki luas wilayah ± 382 km2 dimana puskesmas kotaraja

memiliki wilayah kerja terdiri dari 5 (lima) kelurahan di 1 (satu) distrik yaitu:

1. Distrik Abepura yang meliputi Kelurahan Asano, Kelurahan Awiyo, Kelurahan

Hedam, kelurahan kotabaru dan kelurahan yobe

50
Batas-batas ini dapat dilihat pada peta di bawah ini:

Gambar. 2. Peta Wilayah Kerja Puskesmas Abepura

4.1.2 Iklim

Puskesmas Abepura bertempat di daerah kota jayapura yang mana memiliki iklim

tropis. Kota Jayapura memiliki curah hujan yang signifikan, dengan variasi bahkan

selama bulan terkering. Suhu rata-rata di Jayapura adalah 33,9° C. Variasi curah hujan

4.056 mm/th. Curah hujan paling sedikit terlihat pada bulan juli. Rata-rata dalam bulan

ini adalah 211 mm. Pada april presipitasi mencapai puncaknya, denganrat-rata 425 mm.

Suhu tertiggi rata-rata terjadi pada bulan Mei, sekitar 34,4° C, dan Januari menjadi bulan

terdingan dengan suhu rata 33,4° C. Musim hujan dan musim kemarau di kota Jayapura

tidak teratur.

4.2 Hasil Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Abepura

khususnya karakteristik penderita malaria dari tanggal 19 - 21 agustus 2019. Jenis

penelitian ini adalah deskriptif retrospektif, yaitu menggambarkan karakteristik

51
penderita malaria di wilayah kerja puskesmas Abepura, Kota Jayapura periode

Februari – Juli 2019. Berikut ini adalah gambaran sampel yang diteliti:

a. Distribusi Penderita Malaria Di Wilayah Kerja Puskesmas Abepura Periode

Februari – Juli 2019.

Tabel 5. Distribusi penderita malaria di wilayah kerja puskesmas Abepura periode

februari-juli 2019

No Kelurahan/ Kampung N %
1. Asano 11 1.22
2. Awiyo 40 4.46
3. Hedam 688 76.78

4. KotaBaru 81 9.04

5. Yobe 59 6.02
6. Luar wilayah 17 1.90
Jumlah 896 100

Berdasarkan tabel 4.2.1 terlihat bahwa penderita malaria yang paling terbanyak

banyak di wilayah kerja Puskesmas Abepura yaitu kelurahan Hedam yaitu sebanyak 688

penderita atau 76.78 %, sedangkan kelurahan Kota Baru sebanyak 81 penderita atau

9.04%, kelurahan Yobe ebanyak 59 penderita atau 6.02%, kelurahan Awiyo sebanyak 40

penderita atau 4.46%, luar wilaya sebanyak 17 penderita atau 1.89%, dan kelurahan

Asano sebanyak 11 orang atau 1.22%

b. Distribusi Karakteristik Penderita Malaria berdasarkan Jenis Kelamin di Wilayah

kerja Puskesmas Abepura Periode Februari – Juli 2019.

Tabel 6. Distribusi Karakteristik penderita malaria berdasarkan jenis kelamin di wilayah

kerja puskesmas Abepura periode februari-juli 2019

52
No Jenis N %

Kelamin
1. Laki-Laki 543 60.60
2. Perempuan 353 39.40
Jumlah 896 100

Berdasarkan tabel 4.2.2 terlihat bahwa penderita malaria yang paling banyak di

Puskesmas Abepura yaitu penderita yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 543

penderita atau 60.60%, sedangkan penderita yang berjenis kelamin perempuan sebanyak

353 penderita atau 39.40%.

c. Distribusi Karakteristik Penderita Malaria berdasarkan Usia di Wilayah kerja

Puskesmas Abepura periode Februari – Juli 2019.

Tabel 7. Distribusi Karakteristik Penderita Malaria berdasarkan usia di wilayah kerja

puskesmas Abepura periode Februari – Juli 2019.

No Kelompok N %

. Usia
1. 0-11 5 0.55

Bulan
2. 1-4 tahun 54 6.02
3. 5-9 tahun 93 10.37
4. 10-14 82 9.15

tahun
5. ≥ 15 tahun 662 73.88
Jumlah 896 100

53
Berdasarkan tabel 4.2.3 terlihat bahwa penderita malaria yang paling banyak di

Puskesmas Abepura yaitu penderita yang berusia ≥ 15 tahun sebanyak 662 orang atau

73.88%, di lanjutkan dengan usia 5-9 tahun sebanyak 93 penderita atau 10.37%, usia 10-

14 sebanyak 82 penderita atau 9.15%, usia 1-4 54 penderita atau 6.02%, dan sedangkan

penderita paling sedikit yaitu penderita yang berusia 0-11 bulan sebanyak 5 orang atau

0.55%.

d. Distribusi Karakteristik penderita Malaria berdasarkan jenis malaria di wilayah

kerja puskesmas Abepura periode Februari – Juli 2019.

Tabel 8. Karakteristik Penderita Malaria Puskesmas Abepura Berdasarkan Jenis Malaria

Periode Februari – Juli 2019.

No Jenis N %

. Plasmodium

1. Plasmodium 49 55.13

Falciparum 4
2. PlasmodiumVivax 35 40.06

9
3. Plasmodium 0 0

Malariae
4. PlasmodiumOvale 0 0
5. Mixed 43 4.80
Jumlah 89 100

54
Berdasarkan tabel 4.2.4 terlihat bahwa penderita malaria yang paling banyak di

Puskesmas Abepura yaitu penderita dengan jenis Plasmodium Falciparum sebanyak 494

penderita atau 55.13%, Plasmodium Vivax 359 penderita atau 40.06%, Plasmodium

Malariae 0 orang atau 0%, Mixed 43 penderita atau 4.80 % sedangkan penderita yang

berdasarkan jenis Plasmodium Ovale sebanyak 0 orang atau 0%.

4.3 Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas

Abepura khususnya karakteristik penderita malaria dari tanggal 19 maret - 21 Mei 2019.

Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif retrospektif, yaitu menggambarkan

karakteristik penderita malaria di wilayah kerja Puskesmas Abepura Kecamatan Abepura,

Kota Jayapura periode februari-juli 2019 dengan jumlah penderita sebnyak 896 penderita.

Adapun gambaran sampel yang diteliti sebagai berikut:

4.3.1. Berdasarkan Distribusi Penderita Malaria

Berdasarkan tabel 4.2.1 terlihat bahwa penderita malaria yang paling terbanyak

banyak di wilayah kerja Puskesmas Abepura yaitu kelurahan Hedam yaitu sebanyak 688

penderita atau 76.78 %, sedangkan kelurahan Kota Baru sebanyak 81 penderita atau

9.04%, kelurahan Yobe ebanyak 59 penderita atau 6.02%, kelurahan Awiyo sebanyak 40

penderita atau 4.46%, luar wilaya sebanyak 17 penderita atau 1.89%, dan kelurahan

Asano sebanyak 11 orang atau 1.22%.

Lingkungan menjadi faktor yang sangat berperan penting dan mempengaruhi

perkembangbiakan nyamuk. Nyamuk berkembang biak dengan baik bila lingkungannya

55
sesuai dengan keadaan yang dibutuhkan oleh nyamuk untuk berkembang biak. Nyamuk

Anopheles sp biasanya akan meletakkan telurnya dalam genangan air bersih dan tidak

terkena polusi. Kondisi lingkungan yang mendukung perkembangan nyamuk tidak sama

tiap jenis/spesies nyamuk. Secara garis besar tempat perkembangbiakan Anopheles sp.

dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu:

 Persawahan yaitu Anopheles aconitus, Anopheles annularis, Anopheles barbirostris,

Anopheles kochi, Anopheles karwari, Anopheles nigerrimus, Anopheles sinensis,

Anopheles letifer, dll.

 Perbukitan/hutan yaitu Anopheles balabacencis, Anopheles bancrofti, Anopheles

punculatus, dll.

 Pantai/aliran sungai yaitu Anophelesflavirostis, Anopheles koliensis, Anopheles subpictus,

dll.

Jenis nyamuk Anopheles maculatus dan Anopheles balabacensis sangat cocok

berkembang biak pada tempat genangan air seperti setelah hujan atau banjir, bekas jejak

kaki, bekas jejak roda kendaraan dan bekas lubang galian.

Keadaan alam di distrik/kecamatan abepura, Kota Jayapura dengan topografi tanah

yang berawa (daerah hedam) juga daerah perbukitan (daerah kota baru) dan kawasan

cukup padat penduduk sangat mendukung perkembangbiakan vektor nyamuk Anopheles

sp. yang tumbuh dewasa digenangan air, di tempat-tempat yang rimbun seperti hutan,

semak-semak, dan sebagainya.

4.3.2. Berdasarkan Jenis Kelamin

Berdasarkan tabel 4.2.2 terlihat bahwa penderita malaria yang paling banyak di

Puskesmas Abepura yaitu penderita yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 543

56
penderita atau 60.60%, sedangkan penderita yang berjenis kelamin perempuan sebanyak

353 penderita atau 39.40%.

Lebih tingginya kasus malaria pada laki-laki berdasarkan penelitian di puskesmas

Kotaraja pada umumnya lebih sering disebabkan oleh kecenderungan laki-laki untuk

tetap berkatifitas di luar rumah pada malam hari sehingga hal ini dapat memicu terjadinya

kecenderungan laki-laki terkena penyakit malaria dibandingkan perempuan.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian Ramadhani (2005) dan Riskesdas (2007)

dalam Dwithania, (2013: 78) juga menjelaskan bahwa jumlah kasus malaria lebid

didominasi oleh jenis kelamin laki-laki. Hal ini lebih berkaitan dengan aktivitas kerja,

sosial dan budaya suatu daerah. Penduduk laki-laki umumnya pekerja sebagai petani,

sering duduk diluar rumah atau warung pada malam hari dan bahkan mendirikan gubuk

di ladang-ladang untuk menjaga hasil pertanian agar tidak diganggu binatang, sehingga

berpeluang lebih besar menderita malaria, selain itu penyebab insiden malaria juga

dipengaruhi faktor lain yang memungkinkan risiko kontak penderita dengan vektor

malaria, seperti tidur tanpa kelambu, tanpa obat nyamuk, atau bangunan rumah yang

memberi kesempatan nyamuk vektor malaria masuk pada malam hari (Dwithania, 2013:

78).

Laki-laki di puskesmas abepura pada umumnya lebih sering berkatifitas di luar

rumah pada malam hari sehingga angka kejadian penderita malaria lebih banyak pada

laki-laki daripada perempuan.

4.3.3. Berdasarkan Usia

Berdasarkan tabel 4.2.3 terlihat bahwa penderita malaria yang paling banyak di

Puskesmas Abepura yaitu penderita yang berusia ≥ 15 tahun sebanyak 662 orang atau

57
73.88%, di lanjutkan dengan usia 5-9 tahun sebanyak 93 penderita atau 10.37%, usia 10-

14 sebanyak 82 penderita atau 9.15%, usia 1-4 54 penderita atau 6.02%, dan sedangkan

penderita paling sedikit yaitu penderita yang berusia 0-11 bulan sebanyak 5 orang atau

0.55%.

Penelitian ini juga sesuai dengan Williana pada tahun 2002 dalam Gusra et al,

(2014: 236) bahwa jumlah penderita malaria pada orang dewasa >15 tahun lebih besar

dari pada anak-anak. Penderita malaria yang ditemukan didominasi oleh kelompok usia

dewasa. Hal tersebut diduga disebabkan oleh kegiatan orang dewasa lebih banyak di luar

rumah dibandingkan anak-anak sehingga kemungkinan terserang malaria melalui gigitan

nyamuk Anopheles lebih besar (Gusra et al, 2014: 236).

Usia ≥15 tahun sudah dikategorikan sebagai usia produktif yang mana tingkat

aktivitas dalam dan luar rumah (lingkungan) lebih banyak, termasuk harus bekerja untuk

pemenuhan kebutuhan hidup (sosial-ekonomi). Mata pencaharian masyarakat di wilayah

puskesmas Kotaraja pada umumnya adalah pegawai, swasta, namun tidak jarang pula

sebagai pedagang, nelayan, dan petani dimana mereka harus mulai bekerja waktu subuh

hari dan senja hari. Hal ini berkaitan erat dengan risiko menderita penyakit malaria yang

semakin besar karena sifat nyamuk Anopheles yang aktif menggigit pada waktu subuh

dan senja hari sehingga hal ini memicu terjadinya peningkatan penularan malaria.

4.3.4. Berdasarkan Jenis Plasmodium

Berdasarkan tabel 4.2.4 terlihat bahwa penderita malaria yang paling banyak di

Puskesmas Abepura yaitu penderita dengan jenis Plasmodium Falciparum sebanyak 494

penderita atau 55.13%, Plasmodium Vivax 359 penderita atau 40.06%, Plasmodium

58
Malariae 0 orang atau 0%, Mixed 43 penderita atau 4.80 % sedangkan penderita yang

berdasarkan jenis Plasmodium Ovale sebanyak 0 orang atau 0%.

Hasil yang diperoleh dalam penulisan mengenai gambaran penderita malaria di

puskesmas Kotaraj periode Januari – Desember 2017, yang dilakukan oleh dokter muda

di stase IKM pada tanggal 19 – 24 Maret 2018. Hasil yang diperoleh pada penulisan

tersebut juga menyebutkan bahwa jenis penderita malaria yang paling banyak di

Puskesmas Kotaraja yaitu penderita dengan jenis Malaria Tropika sebanyak 1760 orang

atau 56%, Malaria Tersiana 1220 orang atau 38.8%, Malaria Malariae 44 orang atau

1.4%, Mixed 121 orang atau 3.8%. (Harani, 2018).

Tingginya persentase Plasmodium falciparum (sebagai penyebab malaria tropika)

dan Plasmodium vivax (sebagai penyebab malaria tertiana) di Puskesmas Abepura

disebabkan karena berbagai hal, diduga disebabkan karena kondisi atau iklim dan

geografis wilayah Jayapura dan wilayah lainnya yang sangat mendukung

berkembangbiaknya populasi nyamuk Anopheles sebagai vektor penyakit malaria.

59
BAB V

PENUTUP

5.1. Kesimpulan

1. Dari hasil data yang didapat menunjukkan bahwa penderita malaria di wilayah kerja

Puskesmas Abepura Paling banyak berada di Kelurahan Hedam

2. Dari hasil data yang didapat menunjukkan bahwa penderita malaria di wilayah kerja

Puskesmas Kotaraja Paling banyak berjenis kelamin laki-laki

3. Dari hasil data yang didapat menunjukkan bahwa penderita malaria di wilayah kerja

Puskesmas Kotaraja Paling banyak berusia ≥ 15 tahun

4. Dari hasil data yang didapat menunjukkan bahwa penderita malaria di wilayah kerja

Puskesmas Abepura Paling banyak dengan jenis Plasmodium Falciparum

5.2. Saran

1. Perlu dilakukan penelitian atau pengamatan mengenai pengetahuan sikap, perilaku dan

persepsi masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Abepura mengenai malaria serta cara

pencegahannya

2. Perlu perhatian dan pendataan secara khusus terhadap kejadian malaria pada kondisi

khusus yaitu malaria pada malaria berat dengan hiv/aids, malaria pelancong, malaria

oleh karena transfusi darah dalam wilayah kerja puskesmas Abepura.

60
3. Malaria dapat menyerang siapa saja baik laki-laki maupun perempuan sehingga upaya

pencegahan pada perorangan harus selalu diperhatikan terutama untuk mencegah

gigitan nyamuk pada malam hari.

4. Perlunya peningkatan sosialisasi dan pengawasan minum obat agar tidak terjadi

resistensi dan kasus relaps.

5. Bagi penulis harus lebih sering melakukan latihan terkait penulisan KTI dengan baik

dan benar

61
DAFTAR PUSTAKA

Arsin, A, A. 2012. Malaria di Indonesia : Tinjauan Aspek Epidemiologi. Indonesia: Masagena

Press. Hal 25 & 47-48

Babba Ikrayama, Hadisahputro Suharyo, Sawandi Suandi. Tahun 2006. Faktor-Faktor Resiko

Yang Mempengaruhi Kejadian Malaria (Studi Kasus di Wilayah Kerja Puskesmas Hamadi

Kota Jayapura ). UNDIP Semarang. Hal : 2.

Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit.2017. Buku Saku Penatalaksanaan

Kasus Malaria.Jakarta: Kementrian Kesehatan RI

Dwithania M, Irawati N, Rasyid R (2013). Insiden malaria di puskesmas sungai durian dan

puskesmas talawi kota Sawahlunto bulan oktober 2011 sampai februari 2012.

Jurnal Kesehatan Andalas, 2 (2): 77. [Online]Tersedia di

http://terbitan.litbang.depkes.go.id/penerbitan/index.php/lpb/catalog/download/63/

92/244-1 [Diakses: 24 agustus 2019].

Gusra, T.,Irawati, N., Sulastri, D., Gambaran Penyakit Malaria di Puskesmas Tarusan dan

Puskesmas Balai Selasa Kabupaten Pesisir Selatan periode Januari - Maret 2013

[Online] Tersedia di

http://jurnal.fk.unand.ac.id/index.php/jka/article/download/98/93 [Diakses: 23

agustus 2019].

62
Hakim, Lukman. 2011. Malaria: Epidemiologi dan Diagnosis. Aspirator Vol. 3. Hal: 107.

Harani R. S, et al. Karakteristik Penderita Malaria dari Bulan Januari hingga Desember 2017

di Puskesmas Kotaraja: Dokter Muda (editor). Jayapura, RSUD Dok II, 2018; Hal: 49-51.

Harijanto PN. Malaria. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I, edisi VI. Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia. Jakarta, 2015; Hal: 595-610

Harijanto PN, Langi J, Richie TL. Patogenesis Malaria Berat. Dalam: Harijanto PN (editor).

Malaria, Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis dan Penanganan. Jakarta: EGC,

2000; Hal: 118-26

Indriati Ira,Patanduk Yonan. 2015. Malaria Pada Anak di Bawah Umur Lima tahun. Jurnal

Vektor Penyakit Vol.9 No.2. NTT :65-72.

Liwan, A, S. 2015.Diagnosis dan Penatalaksanaan Malaria Tanpa Komplikasi pada Anak.Dokter

Misi Keuskupan Manokwari-Sorong Kabupaten Teluk Bintuni, Volume 42(6), Hal

Putra, Teuku Romi Imansyah. 2011. Malaria dan Permasalahannya. Jurnal Kedokteran Syiah

Kuala Volume. Hal:103

Pribadi W. Parasit Malaria. Dalam: gandahusada S, Ilahude HD, Pribadi W (editor).

Parasitologi Kedokteran. Edisi ke-3. Jakarta, Fakultas Kedokteran UI, 2000, Hal: 171-97.

Rampengan TH. Malaria Pada Anak. Dalam: Harijanto PN (editor). Malaria, Epidemiologi,

Patogenesis, Manifestasi Klinis dan Penanganan. Jakarta: EGC, 2000; Hal: 249-60.

63
64

Anda mungkin juga menyukai