PENDAHULUAN
Prevalensi malaria yang ditampilkan pada gambar diatas merupakan prevalensi menurut
hasil pemeriksaan rapid diagnostic test (rdt). Pada gambar di atas dapat diketahui
bahwa menurut karakteristik kelompok umur, bayi berumur 0-11 bulan dan anak-anak
berumur 5-9 tahun memiliki prevalensi tertinggi yaitu 1.0%.
Berdasarkan karakteristik pendidikan menunjukkan bahwa populasi tidak tamat
SD/MI dan tamat D1/D2/D3/PT memiliki prevalensi tertinggi yaitu 0.8%.
Berdasarkan karakteristik pekerjaan menunjukkan bahwa populasi dengan
pekerjaan lainnya memiliki prevalensi tertinggi yaitu 1.0% dan populasi dengan
pekerjaan PNS/TNI/Polri/BUMN memiliki prevalensi kedua tertinggi yaitu 0.9%.
Berdasarkan karakteristik wilayah menunjukkan prevalensi yang sama di
perkotaan maupun diperdesaan yaitu 0.6%.
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 293 Tahun 2009 tentang
Eliminasi Malaria di Indonesia, eliminasi malaria adalah suatu upaya untuk
menghentikan penularan malaria setempat dalam satu waktu wilayah geografis
tertentu, dan bukan berarti tidak ada kasus malaria impor serta sudah tidak ada
vektor malaria di wilayah tersebut, sehingga tetap dibutuhkan kegiatan
kewaspadaan untuk mencegah penularan kembali (Kemenkes RI, 2016).
Upaya eliminasi dilakukan secara bertahap dari kabupaten/kota, provinsi, dari
satu pulau ke beberapa pulau hingga pada akhirnya mencakup seluruh Indonesia.
Dalam mewujudkan hal ini diperlukan kerjasama yang menyeluruh dan terpadu
antara Pemerintah Pusat dan Daerah dengan dunia usaha, lembaga donor,
organisasi profesi, organisasi kemasyarakatan dan masyarakat. Tahap-tahap
eliminasi malaria adalah Tahap Pemberantasan, Tahap Pra Eliminasi, Tahap
Eliminasi, Dan Tahap Pemeliharaan (Pencegahan Penularan Kembali) (Kemenkes
RI, 2009).
Hingga Desember 2015, jumlah kabupaten/kota yang mencapai tahap
akselerasi 45 kabupaten/kota, tahap intensifikasi 90 kabupaten/kota, dan tahap pra
eliminasi 379 kabupaten/kota. Dari 379 kabupaten/kota yang ada pada tahap pra
eliminasi sebanyak 232 kabupaten/kota telah dinyatakan eliminasi atau bebas
penularan setempat. Hasil ini telah melampaui target Indikator Kinerja Program
dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2015 yaitu
sebesar 225 kabupaten/kota yang dinyatakan eliminasi malaria (Kemenkes RI,
2016).
Wilayah kabupaten/kota atau provinsi yang sudah tidak ditemukan lagi
penderita dengan penularan setempat (kasus indigenous) selama 3 tahun berturut-
turut dan dijamin adanya pelaksanaan surveilans yang baik dapat mengusulkan/
mengajukan ke pusat untuk dinilai apakah sudah layak mendapatkan Sertifikat
Eliminasi Malaria dari Pemerintah yaitu Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia.
Menurut Depkes RI pengetahuan masyarakat Indonesia tentang malaria pada
umumnya masih kurang sehingga kasus malaria terus meningkat. Oleh karena itu,
untuk mengurangi peningkatan penyebaran kasus malaria diperlukan pengetahuan
dari masyarakat dalam pencegahan penyakit malaria. Pendidikan dan perilaku
(pengetahuan, sikap dan tindakan) tentang hidup sehat adalah hal yang penting
terutama diterapkan dalam hidup agar dapat menjalankan aktifitas sebagaimana
mestinya (Hermawan, 2016).
Sesuai dengan yang dikatakan Depkes RI bahwa pengetahuan masyarakat
memiliki hubungan dengan peningkatan kasus malaria sehingga peneliti tertarik
untuk mengetahui tingkat pengetahuan mahasiswa/i mengenai malaria.
Mahasiswa/i Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara stambuk 2020
sebagai sampel penelitian karena mahasiswa/i tersebut merupakan tamatan SMA
yang baru terjun ke dunia perkuliahan kedokteran dan generasi muda dokter
Indonesia yang dapat menyebarkan informasi yang diketahuinya kepada orang tua
mahasiswa/i tersebut atau sanak saudara mahasiswa/i tersebut serta ke orang-
orang disekitarnya sehingga semakin banyak masyarakat yang mengetahui tentang
infeksi malaria.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 MALARIA
Penyakit malaria ini disebabkan oleh parasit Plasmodium. Sampai saat ini di
Indonesia dikenal 5 macam (spesies) Plasmodium, yaitu (Kemenkes RI, 2017) :
1. Plasmodium falciparum penyebab penyakit malaria falciparum/tropika. Gejala
demam dapat timbul intermiten dan dapat kontinyu. Jenis malaria ini paling
sering menyebabkan kematian.
Plasmodium falciparum merupakan penyebab infeksi yang berat dan bahkan
dapat menimbulkan suatu variasi manifestasi-manifestasi akut dan jika tidak
diobati dapat menyebabkan kematian (Putra, 2011).
2. Plasmodium vivax penyebab malaria vivax/tertiana. Gejala demam berulang
dengan interval bebas demam 2 hari. Telah ditemukan juga kasus malaria
berat yang disebabkan oleh Plasmodium vivax.
3. Plasmodium malariae penyebab malaria malariae/quartana. Gejala demam
berulang dengan interval bebas demam 3 hari.
4. Plasmodium ovale penyebab malaria ovale. Manifestasi klinis biasanya
bersifat ringan. Pola demam seperti pada malaria.
5. Plasmodium knowlesi penyebab malaria knowlesi. Gejala demam menyerupai
malaria falciparum.
Plasmodium knowlesi adalah plasmodium yang umumnya menginfeksi kera
ekor panjang (Macaca fascicularis) dan kera ekor babi (Macaca nemestrina) di
wilayah Asia Tenggara. Plasmodium knowlesi biasanya menyebabkan infeksi
ringan pada Macaca fascicularis dan infeksi berat pada rhesus monkey Macaca
mulatta. Di Indonesia, ada beberapa laporan kasus infeksi malaria Plasmodium
knowlesi terutama di Pulau Kalimantan. Sampai saat ini terdapat 4 kasus infeksi
malaria knowlesi berat dan fatal yang terjadi pada manusia di dunia (Asmara,
2018).
Seseorang dapat menginfeksi lebih dari satu jenis Plasmodium, dikenal
sebagai infeksi campuran / majemuk (mixed infection) (Putra, 2011).
Nyamuk Anophelini berperan sebagai vektor penyakit malaria. Nyamuk
Anophelini yang berperan hanya genus Anopheles. Di seluruh dunia, genus
Anopheles ini diketahui jumlahnya kira-kira 2000 spesies, diantaranya 60 spesies
diketahui sebagai vektor malaria (Putra, 2011).
2.1.4 KARAKTERISTIK TIAP PLASMODIUM
Masa inkubasi adalah waktu sejak sporozoite masuk sampai timbulnya gejala
klinis yang ditandai dengan demam. Masa inkubasi bervariasi tergantung spesies
Plasmodium (Kemenkes RI, 2013).
Tabel 2. 3 Masa Inkubasi Penyakit Malaria (Kemenkes RI, 2013).
Siklus hidup pada Plasmodium meliputi dua host atau agent. Pada waktu
menghisap darah, nyamuk Anopheles betina yang telah terinfeksi Plasmodium sp.
akan menyuntik atau mengeluarkan sporozoites ke dalam host manusia (1).
Sporozoites akan menginfeksi sel-sel hepar (2) dan dewasa menjadi schizonts (3)
yang kemudian ruptur dan melepaskan merozoites (4). (catatan, pada Plasmodium
vivax dan Plasmodium ovale terdapat fase dorman [hypnozoites] yang dapat
bertahan di dalam sel-sel hepar dan dapat menyebabkan relaps dengan menginvasi
aliran darah beberapa minggu bahkan beberapa tahun setelahnya). Setelah
replikasi di sel-sel hepar (exo-erythrocytic schizogony A), Plasmodium akan
bermultiplikasi secara aseksual di dalam eritrosit (erythrocytic schizogony B).
Merozoites menginfeksi sel darah merah atau eritrosit (5). Pada ring stage
trophozoites dewasa menjadi schizonts, yang kemudian ruptur melepaskan
merozoites (6). Beberapa Plasmodium berdiferensiasi menjadi fase sexual
erythrocytic (gametocytes) (7).
Plasmodium yang berada di eritrosit yang menghasilkan gejala klinis pada
penyakit malaria (CDC, 2015).
Pada tahap gametocytes, gamet jantan (microgametocytes) dan gamet betina
(macrogametocytes) terhisap oleh nyamuk Anopheles betina pada saat menghisap
darah manusia (8). Plasmodium tersebut bermultiplikasi di dalam nyamuk
Anopheles yang dikenal sebagai sporogonic cycle (C). Ketika berada di dalam
nyamuk Anopheles, microgametocytes menembus macrogametocytes
menghasilkan zygotes (9). Zygotes ini berubah memanjang (ookinetes) dan dapat
bergerak (10). Kemudian menginvasi dinding midgut dari nyamuk Anopheles
dimana zygotes berkembang menjadi oocysts (11). Oocysts bertumbuh, kemudian
ruptur dan melepaskan sporozoites (12), kemudian sporozoites akan berjalan ke
kelenjar ludah nyamuk Anopheles. Penyuntikan sporozoites ke host manusia akan
terus melanjutkan siklus hidup Plasmodium (CDC, 2015).
Gejala demam tergantung jenis malaria. Sifat demam akut (paroksisme) yang
didahului oleh stadium dingin (menggigil) diikuti demam tinggi kemudian
berkeringat banyak. Gejala klasik ini biasanya ditemukan pada penderita non
imun (berasal dari daerah non endemis). Selain gejala klasik diatas, dapat
ditemukan gejala lain seperti nyeri kepala, mual, muntah & diare, pegal-pegal, dan
nyeri otot. Gejala tersebut biasanya terdapat pada orang-orang yang tinggal di
daerah endemis (imun) (Kemenkes RI, 2017).
Paroksisme demam pada malaria mempunyai interval tertentu, ditentukan oleh
waktu yang diperlukan oleh siklus aseksual/skizogoni darah untuk menghasilkan
skizon yang matang, yang sangat dipengaruhi oleh spesies plasmodium yang
menginfeksi. Suatu peroksisme demam biasanya mempunyai 3 stadium yang
berurutan, yaitu (Putra, 2011) :
1. Stadium frigoris (menggigil)
Stadium ini dimulai dengan menggigil dan perasaan sangat dingin. Nadi
penderita sangat cepat, tetapi lemah. Bibir dan jari-jari pucat kebiruan
(sianotik). Kulitnya kering dan pucat dan pada penderita anak sering terjadi
kejang. Stadium ini berlangsung selama 15 menit – 1 jam.
2. Stadium akme (puncak demam)
Setelah menggigil/merasa dingin, pada stadium ini penderita mengalami
serangan demam. Muka penderita menjadi merah, kulitnya kering dan
dirasakan sangat panas seperti terbakar, sakit kepala bertambah keras, dan
sering disertai rasa mual atau muntah-muntah. Nadi penderita menjadi kuat
kembali. Biasanya penderita merasa sangat haus dan suhu badan bisa
meningkat sampai 41oC, stadium ini berlangsung selama 2 – 4 jam.
3. Stadium sudoris (berkeringat banyak, suhu turun)
Pada stadium ini penderita berkeringat banyak sekali, sampai membasahi
tempat tidur. Namun suhu badan pada fase ini turun dengan cepat, kadang-
kadang sampai dibawah normal. Biasanya penderita tertidur nyenyak dan pada
saat terjaga, ia merasa lemah, tetapi tanpa gejala lain. Stadium ini berlangsung
selama 2 – 4 jam.
1. Demam Tifoid
Beberapa gejala klinis yang sering ditemukan pada Demam Tifoid pada
diantaranya adalah (Kemenkes RI, 2006) :
a. Demam
Merupakan gejala utama Tifoid. Pada awal sakit, demamnya kebanyakan
samar-samar saja, selanjutnya suhu tubuh sering turun naik. Pagi lebih
rendah atau normal, sore dan malam tinggi (demam intermitten).
b. Gangguan Saluran Pencernaan
Pada umumnya penderita sering mengeluh nyeri perut, terutama regio
epigastrik (nyeri ulu hati), disertai nausea, mual dan muntah. Pada awal
sakit sering meteorismus dan konstipasi. Pada minggu selanjutnya kadang-
kadang timbul diare.
c. Gangguan Kesadaran
Umumnya terdapat gangguan kesadaran yang berupa penurunan kesadaran
ringan. Sering didapatkan kesadaran apatis dengan kesadaran seperti
berkabut (tifoid). Bila klinis berat, tidak jarang penderita sampai somnolen
dan koma.
d. Hepatosplenomegali
Hati dan/atau limpa, sering ditemukan membesar. Hati terasa kenyal dan
terdapat nyeri tekan.
e. Bradikardia relatif
Bradikardia relatif sering tidak ditemukan, mungkin karena teknis
pemeriksaan yang sulit dilakukan. Bradikardi relatif adalah peningkatan
suhu tubuh yang tidak diikuti oleh peningkatan frekuensi nadi. Patokan
yang sering dipakai adalah bahwa setiap peningkatan suhu 1oC tidak
diikuti peningkatan frekuensi nadi 8 denyut dalam 1 menit.
2. Demam Dengue
Demam tinggi terus menerus selama 2-7 hari, disertai keluhan sakit kepala,
nyeri tulang, nyeri epigastrik (nyeri ulu hati), sering muntah, uji torniquet positif,
penurunan jumlah trombosit dan peningkatan hemoglobin dan hematokrit pada
demam berdarah dengue, tes serologi inhibisi hemaglutinasi, IgM atau IgG anti
dengue positif (Putra, 2011).
3. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) memiliki manifestasi klinis seperti
batuk, beringus, sakit menelan, sakit kepala dan manifestasi kesukaran bernafas,
antara lain nafas cepat/sesak nafas tarikan dinding dada kedalam dan adanya
stidor (Putra, 2011).
4. Leptospirosis Ringan / Anikterik
Demam tinggi, nyeri kepala, mialgia, nyeri perut, mual muntah, konjungtiva
injeksi (kemerahan konjungtiva mata), dan nyeri betis yang menyolok.
Pemeriksaan Ring Forms of Plasmodium falciparum serologi MAT (Microscopic
Agglutination Test) atau tes leptodipstik positif (Putra, 2011).
5. Radang Otak (Meningitis/Ensefalitis)
Penderita demam dengan riwayat nyeri kepala yang progresif, hilang
kesadaran, kaku kuduk, kejang dan gejala neurologis lainnya (Putra, 2011).
6. Hepatitis
Prodormal hepatitis (demam, mual, nyeri pada kuadran kanan atas abdomen,
muntah, tidak bisa makan diikuti dengan timbulnya ikterus tanpa demam), mata
atau kulit kuning, air seni seperti teh. Biasanya SGOT dan SGPT meningkat
(Putra, 2011).
7. Sepsis
Demam dengan fokal infeksi yang jelas, penurunan kesadaran, gangguan
sirkulasi, leukositosis dengan toksik granula didukung hasil biakan mikrobiologi
(Putra, 2011).
Pengobatan malaria yang dianjurkan saat ini dengan pemberian ACT (Artemisinin
Combination Therapy). Pemberian kombinasi ini untuk meningkatkan efektifitas dan
mencegah resistensi. Malaria tanpa komplikasi diobati dengan pemberian ACT secara oral.
Malaria berat diobati dengan injeksi Artesunat dilanjutkan dengan ACT oral. Di samping itu
diberikan primakuin sebagai gametosidal dan hipnozoidal. Semua obat anti malaria tidak
boleh diberikan dalam keadaan perut kosong karena bersifat mengiritasi lambung (Kemenkes
RI, 2017).
A. PENGOBATAN MALARIA TANPA KOMPLIKASI
1. Pengobatan Malaria falsiparum dan Malaria vivaks
Pengobatan malaria falsiparum dan vivaks saat ini menggunakan ACT
ditambah primakuin.
Dosis ACT untuk malaria falsiparum sama dengan malaria vivaks, primakuin untuk
malaria falsiparum hanya diberikan pada hari pertama dengan dosis 0,25 mg/kgBB,
dan untuk malaria vivaks selama 14 hari dengan dosis 0,25 mg/kgBB. Primakuin tidak
boleh diberikan pada bayi usia < 6 bulan. Pengobatan malaria falsiparum dan malaria
vivaks seperti dibawah ini :
Dihidroartemisin-Piperakuin (DHP) + Primakuin
Tabel 2. 4 Pengobatan Malaria falsiparum dengan DHP dan Primakuin (Kemenkes RI, 2017).
Tabel 2. 5 Pengobatan Malaria vivaks dengan DHP dan Primakuin (Kemenkes RI, 2017).