Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Malaria merupakan penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan


masyarakat karena seringkali menimbulkan kejadian luar biasa (KLB),
berdampak luas terhadap kualitas kehidupan dan ekonomi, serta dapat
menyebabkan kematian. Penurunan angka infeksi malaria menjadi salah satu
komitmen global pada Millenium Development Goals (MDGs). WHO
memperkirakan jumlah kasus malaria setiap tahunnya berkisar antara 300-500
juta dengan angka kematian mencapai 1 juta kasus. World Malaria Report 2015
menyebutkan malaria telah menyerang 106 negara di dunia (Triana et al., 2017).
Di Indonesia yang merupakan negara tropis, malaria tetap menjadi salah
satu penyakit menular utama khususnya di beberapa wilayah yang dinyatakan
masih endemis terutama di luar Pulau Jawa. Hal ini disebabkan karena malaria
masih merupakan penyakit menular yang dapat menyebabkan kematian pada
kelompok berresiko tinggi yaitu bayi, balita dan ibu hamil dan secara langsung
dapat menurunkan produktivitas kerja (Hakim, 2011). Sekitar 35 % penduduk
Indonesia tinggal di daerah berisiko malaria dan dilaporkan sebanyak 38 ribu
orang meninggal setiap tahunnya karena malaria berat (Triana et al., 2017).
Pemerintah memandang malaria masih sebagai ancaman terhadap status
kesehatan masyarakat terutama pada rakyat yang hidup di daerah terpencil. Hal
ini tercermin dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 2 tahun 2015
tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2015 – 2019
dimana malaria termasuk penyakit prioritas yang perlu ditanggulangi
(Kemenkes RI, 2017). Penyakit malaria disebabkan oleh protozoa genus
Plasmodium, yang ditularkan oleh nyamuk Anopheles betina, dan sudah dikenal
sejak 3000 tahun yang lalu. Ada 5 jenis Plasmodium yang menyebabkan
penyakit malaria pada manusia yaitu Plasmodium falciparum, Plasmodium
vivax, Plasmodium malariae, Plasmodium ovale, dan Plasmodium knowlesi.
Diantaranya Plasmodium falciparum adalah yang terpenting karena
penyebarannya luas, angka kesakitan tinggi serta bersifat ganas, hingga
sering menyebabkan
malaria berat dan menimbulkan lebih dari 2 juta kematian tiap tahun diseluruh
dunia (Irawati, 2014). Angka kesakitan malaria di Sumatera Utara tahun 2015
menurut API sebesar 0,51 per 1000 penduduk. Sebanyak 17 kabupaten/ kota di
Sumatera Utara masuk dalam kategori endemis malaria, mulai kategori tinggi,
sedang dan rendah. Ke-17 daerah itu adalah Asahan, Batubara, Labuhan Batu,
Labura, Langkat, Madina, Nias, Nisel, Palas, Paluta, Tapsel, Tapteng, Taput,
Deliserdang, Samosir, Sergai dan Tobasa (Setiadi, 2017). Hasil Riset
Kesehatan Dasar tahun 2018 bahwa penduduk dengan deskripsi tertentu
memiliki prevalensi malaria yang lebih tinggi dibandingkan penduduk pada
kelompok lainnya.

Gambar 1. 1 Prevalensi Malaria Berdasarkan Karakteristik Kelompok


Umur, Pendidikan, Pekerjaan dan Wilayah
(Riskesdas, 2018)

Prevalensi malaria yang ditampilkan pada gambar diatas merupakan prevalensi menurut
hasil pemeriksaan rapid diagnostic test (rdt). Pada gambar di atas dapat diketahui
bahwa menurut karakteristik kelompok umur, bayi berumur 0-11 bulan dan anak-anak
berumur 5-9 tahun memiliki prevalensi tertinggi yaitu 1.0%.
Berdasarkan karakteristik pendidikan menunjukkan bahwa populasi tidak tamat
SD/MI dan tamat D1/D2/D3/PT memiliki prevalensi tertinggi yaitu 0.8%.
Berdasarkan karakteristik pekerjaan menunjukkan bahwa populasi dengan
pekerjaan lainnya memiliki prevalensi tertinggi yaitu 1.0% dan populasi dengan
pekerjaan PNS/TNI/Polri/BUMN memiliki prevalensi kedua tertinggi yaitu 0.9%.
Berdasarkan karakteristik wilayah menunjukkan prevalensi yang sama di
perkotaan maupun diperdesaan yaitu 0.6%.
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 293 Tahun 2009 tentang
Eliminasi Malaria di Indonesia, eliminasi malaria adalah suatu upaya untuk
menghentikan penularan malaria setempat dalam satu waktu wilayah geografis
tertentu, dan bukan berarti tidak ada kasus malaria impor serta sudah tidak ada
vektor malaria di wilayah tersebut, sehingga tetap dibutuhkan kegiatan
kewaspadaan untuk mencegah penularan kembali (Kemenkes RI, 2016).
Upaya eliminasi dilakukan secara bertahap dari kabupaten/kota, provinsi, dari
satu pulau ke beberapa pulau hingga pada akhirnya mencakup seluruh Indonesia.
Dalam mewujudkan hal ini diperlukan kerjasama yang menyeluruh dan terpadu
antara Pemerintah Pusat dan Daerah dengan dunia usaha, lembaga donor,
organisasi profesi, organisasi kemasyarakatan dan masyarakat. Tahap-tahap
eliminasi malaria adalah Tahap Pemberantasan, Tahap Pra Eliminasi, Tahap
Eliminasi, Dan Tahap Pemeliharaan (Pencegahan Penularan Kembali) (Kemenkes
RI, 2009).
Hingga Desember 2015, jumlah kabupaten/kota yang mencapai tahap
akselerasi 45 kabupaten/kota, tahap intensifikasi 90 kabupaten/kota, dan tahap pra
eliminasi 379 kabupaten/kota. Dari 379 kabupaten/kota yang ada pada tahap pra
eliminasi sebanyak 232 kabupaten/kota telah dinyatakan eliminasi atau bebas
penularan setempat. Hasil ini telah melampaui target Indikator Kinerja Program
dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2015 yaitu
sebesar 225 kabupaten/kota yang dinyatakan eliminasi malaria (Kemenkes RI,
2016).
Wilayah kabupaten/kota atau provinsi yang sudah tidak ditemukan lagi
penderita dengan penularan setempat (kasus indigenous) selama 3 tahun berturut-
turut dan dijamin adanya pelaksanaan surveilans yang baik dapat mengusulkan/
mengajukan ke pusat untuk dinilai apakah sudah layak mendapatkan Sertifikat
Eliminasi Malaria dari Pemerintah yaitu Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia.
Menurut Depkes RI pengetahuan masyarakat Indonesia tentang malaria pada
umumnya masih kurang sehingga kasus malaria terus meningkat. Oleh karena itu,
untuk mengurangi peningkatan penyebaran kasus malaria diperlukan pengetahuan
dari masyarakat dalam pencegahan penyakit malaria. Pendidikan dan perilaku
(pengetahuan, sikap dan tindakan) tentang hidup sehat adalah hal yang penting
terutama diterapkan dalam hidup agar dapat menjalankan aktifitas sebagaimana
mestinya (Hermawan, 2016).
Sesuai dengan yang dikatakan Depkes RI bahwa pengetahuan masyarakat
memiliki hubungan dengan peningkatan kasus malaria sehingga peneliti tertarik
untuk mengetahui tingkat pengetahuan mahasiswa/i mengenai malaria.
Mahasiswa/i Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara stambuk 2020
sebagai sampel penelitian karena mahasiswa/i tersebut merupakan tamatan SMA
yang baru terjun ke dunia perkuliahan kedokteran dan generasi muda dokter
Indonesia yang dapat menyebarkan informasi yang diketahuinya kepada orang tua
mahasiswa/i tersebut atau sanak saudara mahasiswa/i tersebut serta ke orang-
orang disekitarnya sehingga semakin banyak masyarakat yang mengetahui tentang
infeksi malaria.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 MALARIA

2.1.1 DEFINISI MALARIA

Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit Plasmodium


yang hidup dan berkembang biak di dalam sel darah manusia. (Fuadzy et al.,
2013).
Malaria adalah suatu infeksi sel darah merah oleh Plasmodium yang
ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles betina, transfusi darah yang
terkontaminasi, dan suntikan dengan jarum yang sebelumnya telah digunakan oleh
penderita malaria (Diaz, 2017).
Malaria adalah termasuk penyakit yang disebabkan oleh protozoa genus
Plasmodium, yang ditandai dengan demam mendadak (parozysmal), anemia, dan
pembesaran limpa yang disebabkan oleh nyamuk Anopheles (Manalu Monica,
2017).

2.1.2 EPIDEMIOLOGI MALARIA

Prevalensi malaria yang ditampilkan pada gambar dibawah merupakan


prevalensi malaria berdasarkan pemeriksaan darah menurut provinsi oleh Hasil
Riset Kesehatan Dasar 2018. Dapat dilihat bahwa Provinsi Papua memiliki
prevalensi tertinggi yaitu 12%, Provinsi Papua Barat memiliki prevalensi kedua
tertinggi yaitu sekitar 9%, dan Provinsi Nusa Tenggara Timur memiliki prevalensi
ketiga tertinggi yaitu sekitar 2%. Sedangkan Provinsi Sumatera Utara sendiri
memiliki prevalensi malaria sekitar 0.1%-0.2%.
Gambar 2. 1 Prevalensi malaria menurut provinsi (Riskesdas, 2018)

Sebanyak 17 kabupaten/kota di Sumatera Utara masuk dalam kategori


endemis malaria, mulai kategori tinggi, sedang, dan rendah. Ke-17 daerah itu
adalah Asahan, Batubara, Labuhan Batu, Labura (Labuhan Batu Utara), Langkat,
Madina (Mandailing Natal), Nias, Nisel (Nias Selatan), Palas (Palang Lawas),
Paluta (Padang Lawas Utara), Tapsel (Tapanuli Selatan), Tapteng (Tapanuli
Tenggara), Taput (Tapanuli Utara), Deliserdang, Samosir, Sergai (Serdang
Berdagai), dan Tobasa (Toba Samosir) (Setiadi, 2017).

2.1.3 ETIOLOGI MALARIA

Penyakit malaria ini disebabkan oleh parasit Plasmodium. Sampai saat ini di
Indonesia dikenal 5 macam (spesies) Plasmodium, yaitu (Kemenkes RI, 2017) :
1. Plasmodium falciparum penyebab penyakit malaria falciparum/tropika. Gejala
demam dapat timbul intermiten dan dapat kontinyu. Jenis malaria ini paling
sering menyebabkan kematian.
Plasmodium falciparum merupakan penyebab infeksi yang berat dan bahkan
dapat menimbulkan suatu variasi manifestasi-manifestasi akut dan jika tidak
diobati dapat menyebabkan kematian (Putra, 2011).
2. Plasmodium vivax penyebab malaria vivax/tertiana. Gejala demam berulang
dengan interval bebas demam 2 hari. Telah ditemukan juga kasus malaria
berat yang disebabkan oleh Plasmodium vivax.
3. Plasmodium malariae penyebab malaria malariae/quartana. Gejala demam
berulang dengan interval bebas demam 3 hari.
4. Plasmodium ovale penyebab malaria ovale. Manifestasi klinis biasanya
bersifat ringan. Pola demam seperti pada malaria.
5. Plasmodium knowlesi penyebab malaria knowlesi. Gejala demam menyerupai
malaria falciparum.
Plasmodium knowlesi adalah plasmodium yang umumnya menginfeksi kera
ekor panjang (Macaca fascicularis) dan kera ekor babi (Macaca nemestrina) di
wilayah Asia Tenggara. Plasmodium knowlesi biasanya menyebabkan infeksi
ringan pada Macaca fascicularis dan infeksi berat pada rhesus monkey Macaca
mulatta. Di Indonesia, ada beberapa laporan kasus infeksi malaria Plasmodium
knowlesi terutama di Pulau Kalimantan. Sampai saat ini terdapat 4 kasus infeksi
malaria knowlesi berat dan fatal yang terjadi pada manusia di dunia (Asmara,
2018).
Seseorang dapat menginfeksi lebih dari satu jenis Plasmodium, dikenal
sebagai infeksi campuran / majemuk (mixed infection) (Putra, 2011).
Nyamuk Anophelini berperan sebagai vektor penyakit malaria. Nyamuk
Anophelini yang berperan hanya genus Anopheles. Di seluruh dunia, genus
Anopheles ini diketahui jumlahnya kira-kira 2000 spesies, diantaranya 60 spesies
diketahui sebagai vektor malaria (Putra, 2011).
2.1.4 KARAKTERISTIK TIAP PLASMODIUM

1. Karakteristik Plasmodium falciparum (Adhinata et al., 2016).


Tabel 2. 1 Karakteristik Plasmodium falciparum (Adhinata et al., 2016).

Fase dalam Gambar Penampakan Sel Darah Penampakan Parasit


Darah Merah (eritrosit)
Ring Eritrosit tidak membesar; Sitoplasma tipis; 1
(Tropozoite titik Maurer (dengan atau 2 titik kromatin
immature) pewarnaan tertentu) kecil

Tropozoite Eritrosit tidak membesar; Sitoplasma tebal;


mature titik Maurer (dengan pigmen gelap
pewarnaan tertentu)

Schizont Eritrosit tidak membesar; Dewasa = 8-24


titik Maurer (dengan merozoit kecil;
pewarnaan tertentu) pigmen gelap,
mengelompok menjadi
satu
Gametocyte Bentuknya tidak teratur Berbentuk sabit atau
mengikuti bentuk parasit sosis; kromatin
mengelompok menjadi
satu
(macrogametocyte)
atau menyebar
(microgametocyte);
pigmen mengumpul
2. Karakteristik Plasmodium vivax (Adhinata et al., 2016).
Tabel 2. 2 Karakteristik Plasmodium vivax (Adhinata et al., 2016).

Fase dalam Gambar Penampakan Sel Darah Penampakan Parasit


Darah Marah (eritrosit)
Ring Ukuran eritrosit normal Titik kromatin besar
(Tropozoite sampai membesar 1.25x;
immature) berbentuk bulat; kadang
terdapat titik-titik Schüffner

Tropozoite Ukuran eritrosit membesar Sitoplasma amoeboid


mature 1.5-2 kali; kadang besar; kromatin besar,
bentuknya tidak teratur; terdapat pigmen coklat
terdapat titik-titik Schüffner kekuningan

Schizont Ukuran eritrosit membesar Besar; hampir mengisi


1.5-2 kali; kadang seluruh eritrosit; dewasa
bentuknya tidak teratur; = 12-24 merozoit; coklat
terdapat titik-titik Schüffner kekuningan, pigmen
mengumpul
Gametocyte Ukuran eritrosit membesar Berbentuk bulat sampai
1.5-3 kali; kadang oval; padat; hampir
bentuknya tidak teratur; mengisi seluruh
terdapat titik-titik Schüffner eritrosit; kromatin
padat; berkumpul
(macrogametocyte) atau
menyebar
(microgametocyte);
tersebar pigmen coklat
3. Karakteristik Plasmodium malariae (Ardilla, 2017).
- Bentuk tropozoite
Bentuk seperti cincin dengan sitoplasma tebal dengan inti yang besar.
Pada tropozoite dewasa bentuk cincin berukuran lebih besar, pigmen
kasar dan sering menutupi inti. Sulit dibedakan dengan bentuk
gametocyte Plasmodium falciparum.
- Bentuk schizont
Ukurannya lebih kecil dari Plasmodium vivax. Bentuk kecil seperti
bunga mawar. Jumlah merozoite rata-rata 8, sering hanya terdapat inti
dan pigmen yang terlihat.
- Bentuk gametocyte
Pigmen padat, gelap dan menggumpal. Bentuknya sama dengan
tropozoite yang berkelompok sehingga sulit dibedakan dan jumlah
dalam darah sedikit.

Gambar 2. 2 Plasmodium malariae (Ardilla,2017)

4. Karakteristik Plasmodium ovale (Ardilla, 2017)


Plasmodium ovale merupakan parasit yang jarang terjadi pada manusia
bentuknya mirip dengan Plasmodium vivax. Eritrosit yang diinvasi akan
sedikit membesar, bentuknya lonjong dan bergerigi pada satu ujungnya
(comet form) adalah khas Plasmodium ovale. Plasmodium ovale
menyerupai Plasmodium malariae pada bentuk schizont dan tropozoite.
Gambar 2. 3 Plasmodium ovale (Ardilla, 2017)

5. Karakterisitik Plasmodium knowlesi


Pada stadium tropozoite immature (ring stage) ada kesamaan dengan
P.falciparum, selain itu pada satu sel eritrosit dapat ditemukan lebih dari
satu tropozoite. Infeksi P.knowlesi pada manusia sangat mudah terjadinya
misidentifikasi sebagai P.falciparum saat infeksi parasit didominasi
stadium tropozoite immature (Ambarita, 2014).
Pada stasium tropozoite mature, schizont maupun gametocyte ada
kesamaan dengan P.malariae. Tidak terdapat gambaran yang khas dari
sitoplasma, nukleus dan pigmen parasit ataupun eritrosit yang terinfeksi
yang dapat dengan mudah membedakan P.knowlesi dan P.malariae
(Ambarita, 2014).

2.1.5 MASA INKUBASI MALARIA

Masa inkubasi adalah waktu sejak sporozoite masuk sampai timbulnya gejala
klinis yang ditandai dengan demam. Masa inkubasi bervariasi tergantung spesies
Plasmodium (Kemenkes RI, 2013).
Tabel 2. 3 Masa Inkubasi Penyakit Malaria (Kemenkes RI, 2013).

Plasmodium Masa Inkubasi (rata-rata)

Plasmodium falciparum 9 – 14 hari (12)

Plasmodium vivax 12 – 17 hari (15)

Plasmodium ovale 16 – 18 hari (17)

Plasmodium malariae 18 – 40 hari (28)

Plasmodium knowlesi 10 – 12 hari (11)

2.1.6 PATOFISIOLOGI MALARIA

Gejala malaria timbul saat rupturnya eritrosit yang mengandung parasit.


Demam mulai timbul bersamaan dengan rupturnya eritrosit yang mengandung
skizon. Antigen ini akan merangsang makrofag, monosit atau limfosit yang
mengeluarkan berbagai macam sitokin, diantaranya Tumor Necrosis Factor
(TNF). TNF akan dibawa aliran darah ke hipothalamus yang merupakan pusat
pengatur suhu tubuh manusia. Sebagai akibat dari demam terjadi vasodilatasi
perifer yang mungkin disebabkan oleh bahan vasoaktif yang diproduksi oleh
parasit (Putra, 2011).
Limpa merupakan organ retikuloendotelial. Pembesaran limpa (splenomegali)
disebabkan oleh terjadi peningkatan jumlah eritrosit yang terinfeksi parasit,
teraktifasinya sistem retikuloendotelial untuk memfagositosis eritrosit yang
terinfeksi parasit dan sisa eritrosit akibat hemolisis (Putra, 2011).
Anemia terutama disebabkan oleh rupturnya eritrosit dan fagositosis oleh
sistem retikuloendotelial. Anemia juga disebabkan oleh hemolisis autoimun,
sekuentrasi oleh limpa pada eritrosit yang terinfeksi maupun yang normal dan
gangguan eritropoesis. Hiperglikemi dan hiperbilirubinemia sering terjadi.
Hemoglobinuria dan hemoglobinemia dijumpai bila hemodialisis berat (Putra,
2011).
2.1.7 PATOGENESIS MALARIA DAN SIKLUS HIDUP MALARIA

Gambar 2. 4 Siklus Hidup Plasmodium dan Patogenesis Malaria (CDC, 2015)

Siklus hidup pada Plasmodium meliputi dua host atau agent. Pada waktu
menghisap darah, nyamuk Anopheles betina yang telah terinfeksi Plasmodium sp.
akan menyuntik atau mengeluarkan sporozoites ke dalam host manusia (1).
Sporozoites akan menginfeksi sel-sel hepar (2) dan dewasa menjadi schizonts (3)
yang kemudian ruptur dan melepaskan merozoites (4). (catatan, pada Plasmodium
vivax dan Plasmodium ovale terdapat fase dorman [hypnozoites] yang dapat
bertahan di dalam sel-sel hepar dan dapat menyebabkan relaps dengan menginvasi
aliran darah beberapa minggu bahkan beberapa tahun setelahnya). Setelah
replikasi di sel-sel hepar (exo-erythrocytic schizogony A), Plasmodium akan
bermultiplikasi secara aseksual di dalam eritrosit (erythrocytic schizogony B).
Merozoites menginfeksi sel darah merah atau eritrosit (5). Pada ring stage
trophozoites dewasa menjadi schizonts, yang kemudian ruptur melepaskan
merozoites (6). Beberapa Plasmodium berdiferensiasi menjadi fase sexual
erythrocytic (gametocytes) (7).
Plasmodium yang berada di eritrosit yang menghasilkan gejala klinis pada
penyakit malaria (CDC, 2015).
Pada tahap gametocytes, gamet jantan (microgametocytes) dan gamet betina
(macrogametocytes) terhisap oleh nyamuk Anopheles betina pada saat menghisap
darah manusia (8). Plasmodium tersebut bermultiplikasi di dalam nyamuk
Anopheles yang dikenal sebagai sporogonic cycle (C). Ketika berada di dalam
nyamuk Anopheles, microgametocytes menembus macrogametocytes
menghasilkan zygotes (9). Zygotes ini berubah memanjang (ookinetes) dan dapat
bergerak (10). Kemudian menginvasi dinding midgut dari nyamuk Anopheles
dimana zygotes berkembang menjadi oocysts (11). Oocysts bertumbuh, kemudian
ruptur dan melepaskan sporozoites (12), kemudian sporozoites akan berjalan ke
kelenjar ludah nyamuk Anopheles. Penyuntikan sporozoites ke host manusia akan
terus melanjutkan siklus hidup Plasmodium (CDC, 2015).

2.1.8 MANIFESTASI KLINIS MALARIA

Gejala demam tergantung jenis malaria. Sifat demam akut (paroksisme) yang
didahului oleh stadium dingin (menggigil) diikuti demam tinggi kemudian
berkeringat banyak. Gejala klasik ini biasanya ditemukan pada penderita non
imun (berasal dari daerah non endemis). Selain gejala klasik diatas, dapat
ditemukan gejala lain seperti nyeri kepala, mual, muntah & diare, pegal-pegal, dan
nyeri otot. Gejala tersebut biasanya terdapat pada orang-orang yang tinggal di
daerah endemis (imun) (Kemenkes RI, 2017).
Paroksisme demam pada malaria mempunyai interval tertentu, ditentukan oleh
waktu yang diperlukan oleh siklus aseksual/skizogoni darah untuk menghasilkan
skizon yang matang, yang sangat dipengaruhi oleh spesies plasmodium yang
menginfeksi. Suatu peroksisme demam biasanya mempunyai 3 stadium yang
berurutan, yaitu (Putra, 2011) :
1. Stadium frigoris (menggigil)
Stadium ini dimulai dengan menggigil dan perasaan sangat dingin. Nadi
penderita sangat cepat, tetapi lemah. Bibir dan jari-jari pucat kebiruan
(sianotik). Kulitnya kering dan pucat dan pada penderita anak sering terjadi
kejang. Stadium ini berlangsung selama 15 menit – 1 jam.
2. Stadium akme (puncak demam)
Setelah menggigil/merasa dingin, pada stadium ini penderita mengalami
serangan demam. Muka penderita menjadi merah, kulitnya kering dan
dirasakan sangat panas seperti terbakar, sakit kepala bertambah keras, dan
sering disertai rasa mual atau muntah-muntah. Nadi penderita menjadi kuat
kembali. Biasanya penderita merasa sangat haus dan suhu badan bisa
meningkat sampai 41oC, stadium ini berlangsung selama 2 – 4 jam.
3. Stadium sudoris (berkeringat banyak, suhu turun)
Pada stadium ini penderita berkeringat banyak sekali, sampai membasahi
tempat tidur. Namun suhu badan pada fase ini turun dengan cepat, kadang-
kadang sampai dibawah normal. Biasanya penderita tertidur nyenyak dan pada
saat terjaga, ia merasa lemah, tetapi tanpa gejala lain. Stadium ini berlangsung
selama 2 – 4 jam.

2.1.9 MANIFESTASI KLINIS MALARIA BERAT

Malaria berat adalah ditemukannya Plasmodium falciparum stadium aseksual


dengan minimal satu dari manifestasi klinis atau didapatkan temuan hasil
laboratorium (WHO, 2015) :
1. Perubahan kesadaran ( GCS < 11, Blantyre < 3)
2. Kelemahan otot (tidak bisa duduk atau berjalan)
3. Kejang berulang lebih dari dua episode dalam 24 jam
4. Distress pernafasan
5. Gagal sirkulasi atau syok : pengisian kapiler > 3 detik, tekanan sistolik < 80
mmHg (pada anak < 70 mmHg)
6. Jaundice (bilirubin > 3 mg/dL dan kepadatan parasit > 100.000)
7. Hemoglobinuria
8. Perdarahan spontan abnormal
9. Edema paru (radiologi, saturasi oksigen < 92%)
Gambaran laboratorium (WHO, 2015) :
1. Hipoglikemi ( kadar gula darah < 40 mg%)
2. Asidosis metabolik (bikarbonat plasma < 15 mmol/L)
3. Anemia berat (Hb < 5 gr% untuk endemis tinggi, < 7gr% atau hematokrit <
15%)
4. Hiperparasitemia (parasit > 2% eritrosit atau 100.000 parasit/μl di daerah
endemis rendah atau > 5% eritrosit atau 100.000 parasit/μl di daerah endemis
tinggi)
5. Hiperlaktemia (asam laktat > 5 mmol/L)
6. Hemoglobinuria
7. Gangguan fungsi ginjal (kreatinin serum > 3 mg%)

2.1.10 DIAGNOSIS BANDING MALARIA

1. Demam Tifoid
Beberapa gejala klinis yang sering ditemukan pada Demam Tifoid pada
diantaranya adalah (Kemenkes RI, 2006) :
a. Demam
Merupakan gejala utama Tifoid. Pada awal sakit, demamnya kebanyakan
samar-samar saja, selanjutnya suhu tubuh sering turun naik. Pagi lebih
rendah atau normal, sore dan malam tinggi (demam intermitten).
b. Gangguan Saluran Pencernaan
Pada umumnya penderita sering mengeluh nyeri perut, terutama regio
epigastrik (nyeri ulu hati), disertai nausea, mual dan muntah. Pada awal
sakit sering meteorismus dan konstipasi. Pada minggu selanjutnya kadang-
kadang timbul diare.
c. Gangguan Kesadaran
Umumnya terdapat gangguan kesadaran yang berupa penurunan kesadaran
ringan. Sering didapatkan kesadaran apatis dengan kesadaran seperti
berkabut (tifoid). Bila klinis berat, tidak jarang penderita sampai somnolen
dan koma.
d. Hepatosplenomegali
Hati dan/atau limpa, sering ditemukan membesar. Hati terasa kenyal dan
terdapat nyeri tekan.
e. Bradikardia relatif
Bradikardia relatif sering tidak ditemukan, mungkin karena teknis
pemeriksaan yang sulit dilakukan. Bradikardi relatif adalah peningkatan
suhu tubuh yang tidak diikuti oleh peningkatan frekuensi nadi. Patokan
yang sering dipakai adalah bahwa setiap peningkatan suhu 1oC tidak
diikuti peningkatan frekuensi nadi 8 denyut dalam 1 menit.
2. Demam Dengue
Demam tinggi terus menerus selama 2-7 hari, disertai keluhan sakit kepala,
nyeri tulang, nyeri epigastrik (nyeri ulu hati), sering muntah, uji torniquet positif,
penurunan jumlah trombosit dan peningkatan hemoglobin dan hematokrit pada
demam berdarah dengue, tes serologi inhibisi hemaglutinasi, IgM atau IgG anti
dengue positif (Putra, 2011).
3. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) memiliki manifestasi klinis seperti
batuk, beringus, sakit menelan, sakit kepala dan manifestasi kesukaran bernafas,
antara lain nafas cepat/sesak nafas tarikan dinding dada kedalam dan adanya
stidor (Putra, 2011).
4. Leptospirosis Ringan / Anikterik
Demam tinggi, nyeri kepala, mialgia, nyeri perut, mual muntah, konjungtiva
injeksi (kemerahan konjungtiva mata), dan nyeri betis yang menyolok.
Pemeriksaan Ring Forms of Plasmodium falciparum serologi MAT (Microscopic
Agglutination Test) atau tes leptodipstik positif (Putra, 2011).
5. Radang Otak (Meningitis/Ensefalitis)
Penderita demam dengan riwayat nyeri kepala yang progresif, hilang
kesadaran, kaku kuduk, kejang dan gejala neurologis lainnya (Putra, 2011).
6. Hepatitis
Prodormal hepatitis (demam, mual, nyeri pada kuadran kanan atas abdomen,
muntah, tidak bisa makan diikuti dengan timbulnya ikterus tanpa demam), mata
atau kulit kuning, air seni seperti teh. Biasanya SGOT dan SGPT meningkat
(Putra, 2011).
7. Sepsis
Demam dengan fokal infeksi yang jelas, penurunan kesadaran, gangguan
sirkulasi, leukositosis dengan toksik granula didukung hasil biakan mikrobiologi
(Putra, 2011).

2.1.11 DIAGNOSIS MALARIA

Manifestasi klinis malaria dapat bervariasi dari ringan sampai membahayakan


jiwa. Gejala utama demam sering didiangnosis dengan infeksi lain, seperti demam
tifoid, demam dengue, leptospirosis dan infeksi saluran nafas. Adanya
trombositopenia sering didiagnosis dengan leptospirosis, demam dengue atau
tifoid. Apabila ada demam dengan ikterik bahkan sering diintepretasikan dengan
diagnosis hepatitis dan leptospirosis. Penurunan kesadaran dengan sering juga
didiagnosis sebagai infeksi otak (Kemenkes RI, 2017).
Mengingat bervariasinya manifestasi klinis malaria maka anamnesis riwayat
perjalanan ke daerah endemis malaria pada setiap penderita dengan demam harus
dilakukan (Kemenkes RI, 2017).
Diagnosis malaria ditegakkan seperti diagnosis penyakit lainnya berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium. Untuk malaria berat
diagnosis ditegakkan berdasarkan kriteria WHO (Kemenkes RI, 2017).
Diagnosis pasti malaria harus ditegakkan dengan pemeriksaan sediaan darah
secara mikroskopis atau uji diagnostic cepat (Rapid Diagnostic Test / RDT)
(Kemenkes RI, 2017).
A. ANAMNESIS
Pada anamnesis sangat penting diperhatikan :
1. Keluhan : demam, menggigil, berkeringat dan dapat disertai sakit kepala,
mual, muntah, diare dan nyeri otot atau pegal-pegal.
2. Riwayat sakit malaria dan riwayat meminum obat malaria.
3. Riwayat berkunjung ke daerah endemis malaria.
4. Riwayat tinggal di daerah endemis malaria.
B. PEMERIKSAAN FISIK
1. Suhu tubuh aksilar ≥ 37,5oC.
2. Konjungtiva atau telapak tangan pucat.
3. Sklera ikterik.
4. Pembesaran limpa (splenomegali).
5. Pembesaran hati (hepatomegali).
C. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
1. Pemeriksaan dengan mikroskop
Pemeriksaan mikroskop hapusan darah masih menjadi baku emas
untuk diagnosis malaria. Preparat untuk pemeriksaan malaria sebaiknya
dibuat saat pasien demam untuk meningkatkan kemungkinan
ditemukannya parasit. Sampel darah harus diambil sebelum obat anti
malaria diberikan agar parasit bisa ditemukan jika pasien memang
mengidap malaria (Kusuma et al., 2000).
Darah yang akan digunakan untuk membuat preparat diambil dari
ujung jari manis untuk pasien dewasa, sedangkan pada bayi bisa diambil
dari jempol kaki. Cara pengambilan darah (Kusuma et al., 2000) :
- Dilakukan prosedur asepktik pada ujung jari pasien.
- Gunakan lanset steril lalu ujung jari pasien dicukit, kemudian sampel
diambil dan ditetesi diatas kaca obyek.
Ada 2 bentuk sediaan yang digunakan untuk pemeriksaan
mikroskopik, yaitu (Kusuma et al., 2000) :
- Hapusan darah tebal
Untuk deteksi parasit malaria di darah ketika parasitemia rendah.
Dibuat dengan meletakkan satu tetes darah pada kaca obyek yang
bersih, dan dengan menggunakan sudut dari kaca obyek kedua
sebarkan darah untuk membuat lingkaran dengan ukuran kira-kira
sebesar uang logam. Setelah dikeringkan dengan udara, preparat tidak
difiksasi tetapi langsung diwarnai dengan pewarna Wright atau
Giemsa.
Saat perwarnaan dilakukan tanpa fiksasi, hemoglobin di dalam sel
darah merah larut (dehemoglobinisasi), sehingga darah dalam jumlah
besar dapat diperiksa dengan cepat dan mudah. Parasit malaria, jika
ada, lebih terkonsentrasi daripada di preparat tipis dan lebih muda
dilihat dan diidentifikasi.
- Hapusan darah tipis
Digunakan untuk mengkonfirmasi spesies parasit malaria ketika
dengan preparat tebal sulit dilakukan. Dibuat dengan meletakkan satu
tetes darah pada salah satu ujung kaca obyek yang bersih. Kaca obyek
yang kedua dipegang dengan sudut 45o terhadap kaca obyek pertama,
menyentuk tetesan darah tadi, dan menyebarkannya dengan hapusan
yang tipis saat kaca obyek yang kedua didorong sepanjang permukaan
kaca obyek pertama kea rah ujung yang lain. Setelah pengeringan
dengan udara, preparat tadi difiksasi dengan anhydrous methanol dan
diwarnai dengan perwarnaan Field’s, Wright’s atau Giemsa.
Pemeriksaan sediaan darah tebal dan tipis di
puskesmas/lapangan/rumah sakit/laboratorium klinik untuk menentukan
(Kemenkes RI, 2017) :
- Ada tidaknya parasit malaria (positif atau negatif).
- Spesies dan stadium Plasmodium.
- Kepadatan parasit.
Untuk kepadatan parasit, ada 2 jenis penilaian, yaitu (Kusuma et al.,
2000) :
- Semi Kuantitatif
(-) = negatif (tidak ditemukan parasit dalam 100 lapangan pandang
besar (LPB).
(+) = positif 1 (ditemukan 1-10 parasit dalam 100 LPB). (+
+) = positif 2 (ditemukan 11-100 parasit dalam 100 LPB).
(+++) = positif 3 (ditemukan 1-10 parasit dalam 1 LPB). (+
+++) = positif 4 (ditemukan > 10 parasit dalam 2 LPB).
- Kuantitatif
Pada jenis penilaian ini, jumlah parasit dihitung per mikro liter darah pada sediaan
darah tebal (leukosit) atau sediaan darah tipis (eritrosit). Contoh : bila dijumpai 1.500
parasit per 200 leukosit, sedangkan jumlah leukosit 8.000/μL maka hitung parasit =
8.000/200 x 1.500 = 60.000 parasit/μL. Bila dijumpai 50 parasit per 1.000 ertirosit dan
jumlah eritrosit 450.000 maka hitung parasit = 450.000/1.000 x 50 = 225.000
parasit/μL.
Diagnosis malaria dapat disingkirkan setelah dilakukan 3 kali pemeriksaan
hapusan darah dan hasilnya negatif. Pemeriksaan mikroskop memiliki sejumlah
keterbatasan, diantaranya memerlukan mikroskop berkualitas dan sumber listrik serta
seorang mikroskopis yang ahli dan berpengalaman. Pemeriksaan ini juga
menghasbiskan waktu antara 20-60 menit, kualitas hapusan darah mempengaruhi hasil
pewarnaan dimana variasi dalam pewarnaan dan cara yang digunakan untuk
mengumpulkan dan mengolah sampel darah mempengaruhi interpretasi preparat
(Kusuma et al., 2000).
2. Pemeriksaan dengan uji diagnostik cepat (Rapid Diagnostic Test)
Mekanisme kerja tes ini berdasarkan deteksi antigen parasit malaria, dengan
menggunakan metode imunokromatografi (Kemenkes RI, 2017). Untuk setiap
antigen parasit digunakan 2 set antibody monoklonal atau poliklonal, satu sebagai
antibodi penangkap, dan satu sebagai antibody deteksi. Antibodi monoklonal bersifat
lebih spesifik tapi kurang sensitif bila dibandingkan dengan antibody poliklonal
(Kusuma et al., 2000).
Antigen yang digunakan sebagai target dapat spesifik terhadap satu spesies
Plasmodium, atau dapat mencakup 4 parasit malaria pada manusia. Saat ini tes
imunokromatografi dapat mendeteksi histidine rich protein 2 (HRP2) dari
Plasmodium falciparum, parasite lactate dehydrogenase (pLDH), dan plasmodium
aldolase yang diproduksi oleh bentuk aseksual atau seksual dari parasit Plasmodium
falciparum, Plasmodium vivax, Plasmodium ovale dan Plasmodium malariae
(Kusuma et al., 2000).
HRP2 diekspresikan pada permukaan membrane sel darah merah dan masih
terdeteksi di darah selama minimal 28 hari setelah dimulainya terapi anti malaria. Rata-
rata 9-12 hari setelah gigitan nyamuk infeksius, HRP2 Plamsodium falciparum
ditemukan di sirkulasi bertepatan dengan gejala klinis malaria. Jumlah HRP2 meningkat
selama siklus infeksi eritrositer dengan jumlah terbesar dilepaskan saat skizon ruptur
(Kusuma et al., 2000).
Plasmodium aldolase adalah enzim jalur glikolisis pada parasit yang
diekspresikan oleh Plasmodium falciparum dan non falciparum pada stadium eritrositer
(Kusuma et al., 2000).
Parasite lactate dehydrogenase (pLDH) adalah enzim glikosis yang diproduksi
oleh bentuk aseksual dan seksual dari Plasmodium, dan terdapat serta dilepaskan oleh
Plasmodium yang menginfeksi eritrosit. Tes pLDH didesain untuk mendeteksi
parasitemia dengan konsentrasi parasit lebih dari 100-200 parasit/μL darah. Beberapa
tes HRP2 dikatakan dapat mendeteksi parasitemia aseksual dengan konsentrasi lebih
dari 40 parasit/μL (Kusuma et al., 2000).
Pada umumnya, spesimen untuk pemeriksaan RDT dapat berupa darah yang
diperoleh dari tusukan pada jari. Spesimen ini dicampur dengan larutan penyangga yang
mengandung hemolyzing compound dan antibodi spesifik. Dianjurkan untuk
menggunakan RDT dengan kemampuan minimal sensitivitas 95% dan spesifisitas 95%
(Kusuma et al., 2000).
Pemeriksaan RDT memiliki beberapa kelemahan, diantaranya hasil positif palsu
dan hasil negatif palsu pada beberapa kasus. Hasil positif palsu terjadi karena reaksi
silang dengan faktor rematoid di darah. Hasil negatif palsu dapat disebabkan oleh delesi
atau mutasi dari gen HRP2. RDT juga tidak mampu menghitung densitas parasitemia,
dan kemampuannya kurang optimal pada parasitemia yang rendah. Kualitas alat
diagnostik RDT sangat dipengaruhi transportasi dan penyimpanan alat diagnostic.
Kelembapan dan temperatur yang tinggi dapat dengan cepat merusak reagen (Kusuma
et al., 2000). Pemeriksaan dengan Rapid Diagnostic Test tidak digunakan untuk
mengevalusi pengobatan (Kemenkes RI, 2017).
Pemeriksaan mikroskop masih diperlukan untuk identifikasi dan konfirmasi spesies
(Kemenkes RI, 2017).
3. Selain pemeriksaan di atas, pada malaria berat pemeriksaan penunjang yang perlu
dilakukan adalah (Kemenkes RI, 2013) :
- Pengukuran hemoglobin dan hematokrit;
- Perhitungan jumlah leukosit dan trombosit;
- Kimia darah lain, seperti gula darah, serum bilirubin, SGOT dan SGPT, alkali
fosfatase, albumin/globulin, ureum, kreatinin, natrium dan kalium, analisis gas darah;
dan
- Urinalisis.

2.1.12 TATALAKSANA MALARIA

Pengobatan malaria yang dianjurkan saat ini dengan pemberian ACT (Artemisinin
Combination Therapy). Pemberian kombinasi ini untuk meningkatkan efektifitas dan
mencegah resistensi. Malaria tanpa komplikasi diobati dengan pemberian ACT secara oral.
Malaria berat diobati dengan injeksi Artesunat dilanjutkan dengan ACT oral. Di samping itu
diberikan primakuin sebagai gametosidal dan hipnozoidal. Semua obat anti malaria tidak
boleh diberikan dalam keadaan perut kosong karena bersifat mengiritasi lambung (Kemenkes
RI, 2017).
A. PENGOBATAN MALARIA TANPA KOMPLIKASI
1. Pengobatan Malaria falsiparum dan Malaria vivaks
Pengobatan malaria falsiparum dan vivaks saat ini menggunakan ACT
ditambah primakuin.
Dosis ACT untuk malaria falsiparum sama dengan malaria vivaks, primakuin untuk
malaria falsiparum hanya diberikan pada hari pertama dengan dosis 0,25 mg/kgBB,
dan untuk malaria vivaks selama 14 hari dengan dosis 0,25 mg/kgBB. Primakuin tidak
boleh diberikan pada bayi usia < 6 bulan. Pengobatan malaria falsiparum dan malaria
vivaks seperti dibawah ini :
Dihidroartemisin-Piperakuin (DHP) + Primakuin
Tabel 2. 4 Pengobatan Malaria falsiparum dengan DHP dan Primakuin (Kemenkes RI, 2017).

Jumlah tablet per hari


<4 kg 4-6 >6-10 11-17 18- 31-40 41- ≥60
Hari Jenis obat kg kg kg 30 kg kg 59 kg kg
0-1 2-5 <6-11 1-4 5-9 10-14 ≥ 15 ≥ 15
bulan bulan bulan tahun bulan tahun tahun tahun
1-3 DHP 1
/3 1
/2 1
/2 1 11/ 2 3 4
2
1 Primakuin - - 1
/4 1
/4 1
/2 3
/4 1 1

Tabel 2. 5 Pengobatan Malaria vivaks dengan DHP dan Primakuin (Kemenkes RI, 2017).

Jumlah tablet per hari


Hari Jenis obat <4 kg 4-6 >6-10 11-17 18-30 31-40 41-59 ≥60
kg kg kg kg kg kg kg
0-1 2-5 <6-11 1-4 5-9 10-14 ≥15 ≥15
bulan bulan bulan tahun tahun tahun tahun tahun
1-3 DHP 1
/3 1
/2 1
/2 1 11/2 2 3 4
1-14 Primakuin - - 1
/4 1
/4 1
/2 3
/4 1 1
Catatan :
Sebaiknya dosis pemberian DHP berdasarkan berat badan, apabila
penimbangan berat badan tidak dapat dilakukan maka pemberian obat
dapat berdasarkan umur.
A. Apabila ada ketidaksesuaian antara umur dan berat badan (pada tabel
pengobatan), maka dosis yang dipakai adalah berdasarkan berat badan.
B. Apabila pasien Plasmodium falciparum dengan BB >80 kg datang
kembali dalam waktu 2 bulan setelah pemberian obat dan pemeriksaan
sediaan darah masih positif Plasmodium falciparum, maka diberikan
DHP dengan dosis yang ditingkatkan menjadi 5 tablet/hari selama 3
hari (Kemenkes RI, 2017).

2. Pengobatan Malaria vivaks yang relaps

Pengobatan kasus malaria vivaks relaps (kambuh) diberikan dengan


regimen ACT yang sama tapi dosis Primakuin ditingkatkan menjadi 0,5
mg/kgBB/hari (Kemenkes RI, 2017).
3. Pengobatan Malaria ovale
Pengobatan malaria ovale saat ini menggunakan ACT yaitu DHP ditambah
dengan Primakuin selama 14 hari. Dosis pemberian obatnya sama dengan
untuk malaria vivaks (Tabel 2.3.) (Kemenkes RI, 2017).
4. Pengobatan Malaria malariae
Pengobatan Plasmodium malariae cukup diberikan ACT 1 kali perhari
selama 3 hari, dengan dosis yang sama dengan pengobatan malaria lainnya
dan tidak diberikan Primakuin (Kemenkes RI, 2017).
5. Pengobatan infeksi campur P. falciparum + P. vivax/P. ovale
Pada penderita dengan infeksi campuran diberikan ACT selama 3 hari
serta Primakuin dengan dosis 0,25 mg/kgBB/hari selama 14 hari
(Kemenkes RI, 2017).
Tabel 2. 6 Pengobatan infeksi campur P.falciparum + P.vivax/P.ovale dengan DHP dan Primakuin
(Kemenkes RI, 2017).

Jumlah tablet per hari


Hari Jenis obat <4 4-6 >6-10 11-17 18-30 31-40 41-59 ≥60
kg kg kg kg kg kg kg kg
0-1 2-5 <6-11 1-4 5-9 10-14 ≥15 ≥15
bulan bulan bulan tahun tahun tahun tahun tahun
1-3 DHP 1
/3 1
/2 1
/2 1 11/2 2 3 4
1-14 Primakuin - - 1
/4 1
/4 1
/2 3
/4 1 1
Catatan :
a. Sebaiknya dosis pemberian obat berdasarkan berat badan, apabila
penimbangan berat badan tidak dapat dilakukan maka pemberian obat
dapat berdasarkan kelompok umur.
b. Apabila ada ketidaksesuaian antara umur dan berat badan (pada tabel
pengobatan), maka dosis yang dipakai adalah berdasarkan berat badan.
c. Untuk anak dengan obesitas gunakan dosis berdasarkan berat badan
ideal.
d. Primakuin tidak boleh diberikan pada ibu hamil.

B. PENGOBATAN MALARIA PADA IBU HAMIL


Pada prinsipnya pengobatan malaria pada ibu hamil sama dengan pengobatan
pada orang dewasa lainnya hanya saja pada ibu hamil tidak boleh diberikan
Primakuin.
Tabel 2. 7 Pengobatan Malaria pada ibu hamil (Kemenkes RI, 2017).

Umur Kehamilan Pengobatan


Trimester I-III (0-9 bulan) ACT tablet selama 3 hari

2.1.13 KOMPLIKASI MALARIA

Malaria dengan berbagai komplikasi digolongkan sebagai malaria berat yang


mana menurut WHO didefinikan sebagai infeksi Plasmodium falciparum dengan
satu atau lebih komplikasi sebagai berikut (Siregar, 2015) :
1. Koma (Malaria serebral)
2. Anemia Berat
3. Hipoglikemia
4. Syok Hipovolemia
5. Gagal Ginjak Akut (GGA)
6. Blackwater Fever (Malaria Hemoglobinuria)
7. Ikterus (Malaria Billiosa)

2.1.14 PROGNOSIS MALARIA

Prognosis bergantung pada pengobatan yang diberikan. Pada malaria tropika


yang disebabkan oleh Plasmodium falciparum dapat timbul komplikasi yang
berbahaya yang disebut blackwater fever (hemoglobinuric fever) dengan gagal
ginjal akut (Putra, 2011).
Prognosis malaria berat tergantung kecepatan dan ketepatan diagnosis serta
pengobatan. Pada malaria berat yang tidak ditanggulangi, maka mortalitas yang
dilaporkan pada anak-anak 15%, dewasa 20%, dan pada kehamilan meningkat
sampai 50%. Mortalitas dengan kegagalan 3 fungsi organ adalah > 50%.
Mortalitas dengan kegagalan 4 atau lebih fungsi organ adalah > 75%. Adanya
korelasi antara kepadatan parasit dengan klinis malaria berat, yaitu :
- Kepadatan parasit < 100.000, maka mortalitas < 1%
- Kepadatan parasit > 100.000, maka mortalitas > 1%
- Kepadatan parasit > 500.000, maka mortalitas > 50% (Fitriany & Sabiq,
2015; Kemenkes RI, 2017).

2.1.15 PENCEGAHAN MALARIA

Upaya pencegahan malaria dengan meningkatkan kewaspadaan terhadap


risiko malaria, yaitu :
1. Pencegahan gigitan nyamuk
Dapat dilakukan dengan menggunakan kelambu berinsektisida, repelen, kawat
kasa nyamuk, memakai baju lengan panjang dan celana panjang, dan memakai
lotion anti nyamuk. (Kemenkes RI, 2017).
2. Kemoprofilaksis
Bertujuan untuk mengurangi resiko terinfeksi malaria, dan apabila terinfeksi
gejala klinisnya tidak berat. Obat malaria yang dipakai adalah (Kemenkes RI,
2017; Putra, 2011) :
- Doksisiklin dengan dosis 100 mg/hari
Diberikan 1-2 hari sebelum bepergian, selama berada di daerah tersebut
sampai 4 minggu setelah kembali. Tidak boleh diberikan pada ibu hamil
dan anak dibawah 8 tahun dan tidak boleh diberikan lebih dari 6 bulan.
- Klorokuin dengan dosis 5 mg/kgBB/minggu
Diminum 1 minggu sebelum ke daerah endemis sampai 4 minggu setelah
kembali.
BAB III
KESIMPULAN

Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit Plasmodium


yang hidup dan berkembang biak di dalam sel darah manusia. (Fuadzy et al.,
2013).
Malaria adalah suatu infeksi sel darah merah oleh Plasmodium yang
ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles betina, transfusi darah yang
terkontaminasi, dan suntikan dengan jarum yang sebelumnya telah digunakan oleh
penderita malaria (Diaz, 2017).
Malaria adalah termasuk penyakit yang disebabkan oleh protozoa genus
Plasmodium, yang ditandai dengan demam mendadak (parozysmal), anemia, dan
pembesaran limpa yang disebabkan oleh nyamuk Anopheles (Manalu Monica,
2017).
Upaya pencegahan malaria dengan meningkatkan kewaspadaan terhadap
risiko malaria, yaitu :
3. Pencegahan gigitan nyamuk
Dapat dilakukan dengan menggunakan kelambu berinsektisida, repelen, kawat
kasa nyamuk, memakai baju lengan panjang dan celana panjang, dan memakai
lotion anti nyamuk. (Kemenkes RI, 2017).
4. Kemoprofilaksis
Bertujuan untuk mengurangi resiko terinfeksi malaria, dan apabila terinfeksi
gejala klinisnya tidak berat. Obat malaria yang dipakai adalah (Kemenkes RI,
2017; Putra, 2011) :
- Doksisiklin dengan dosis 100 mg/hari
Diberikan 1-2 hari sebelum bepergian, selama berada di daerah tersebut
sampai 4 minggu setelah kembali. Tidak boleh diberikan pada ibu hamil
dan anak dibawah 8 tahun dan tidak boleh diberikan lebih dari 6 bulan.
- Klorokuin dengan dosis 5 mg/kgBB/minggu
Diminum 1 minggu sebelum ke daerah endemis sampai 4 minggu setelah
kembali.
DAFTAR PUSTAKA

1. Adhinata, F. D., Suryani, E., & Dirgahayu, P. 2016, 'Identification of Parasite


Plasmodium sp. on Thin Blood Smears With Rule-Based Method', Journal
Itsmart, vol. 5, no. 1, pp. 16–24.
2. Ambarita, L. P. 2014, 'Plasmodium knowlesi: Distribusi, Gambaran Mikroskopis,
Gejala Penderita dan Vektor Potensial', Jurnal Ekologi Kesehatan, vol. 13, no. 3,
pp. 201–209.
3. Ardilla, A. 2017, 'Sensitivitas dan Spesifisitas Hasil Pemeriksaan Malaria Metode
Mikroskopis dan Immunochromatographic Test Kesehatan Masyarakat Ngali
Nusa Tenggara Barat', Semarang.
4. Asmara, I. G. Y. 2018, 'Infeksi Malaria Plasmodium knowlesi pada Manusia',
Jurnal Penyakit Dalam Indonesia, vol. 5, no. 4, pp. 200–208.
5. CDC 2015, 'Malaria', accessed 20 April 2020, Available at:
https://www.cdc.gov/dpdx/malaria/index.html
6. Fitriany, J., & Sabiq, A. 2015, 'Malaria', Malaria Journal, vol. 4, no. 1, pp. 10–31.
Fuadzy, H., Santi, M., & Litbang, L. 7. Hakim, L. 2011, 'Malaria Epidemiology
and Diagnostic', Aspirator: Journal of Vector Borne Diseases Studies, vol. 3, no.
2, pp. 107–116.
7. Kemenkes RI. 2017, 'Penatalaksanaan Kasus Malaria', Jakarta. Kemenkes RI.
2018, 'Hasil Utama Riskesdas 2018', Jakarta.
8. Kusuma, W., Lestari, A. A. W., Herawati, S., Yasa, W. 2000, 'Pemeriksaan
Mikroskop Dan Tes Diagnostik Cepat Dalam Menegakkan Diagnosis Malaria',
Denpasar.
9. Putra, T. R. I. 2011, 'Malaria dan Permasalahannya', FASEB Journal Conference:
Experimental Biology, vol. 11, no. 1 , pp. 103–114.
10. Siregar, M. L. 2015, 'Malaria Berat Dengan Berbagai Komplikasi', Jurnal
Kedokteran Syiah Kuala, vol. 15, no. 3, pp. 149–156.
11. WHO. 2015, 'Malaria Rapid Diagnostic Test Performance', In WHO Publications,
vol. 3.

Anda mungkin juga menyukai