Anda di halaman 1dari 55

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Penyakit malaria sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan
dengan morbiditas dan mortalitas yang cukup tinggi.World Health
Organization (WHO), memperkirakan terdapat 300- 500 juta orang
terinfeksi malaria tiap tahunnya, dengan angka kematian berkisar 1,5 juta
sampai 2,7 juta pertahun. Penyakit ini menjadi masalah kesehatan lebih
dari 90 negara, dan mengenai hampir 40% populasi dunia.Lebih dari 90%
kasus malaria di sebagian Sahara Afrika. (WHO, 2010)
Penyakit malaria masih ditemukan di seluruh provinsi di
Indonesia.Berdasarkan API, dilakukan stratifikasi wilayah dimana
Indonesia bagian timur masuk dalam startifikasi malaria tinggi, stratifikasi
sedang di beberapa wilayah di Kalimantan, Sulawesi, dan Sumatera,
sedangkan di Jawa – Bali masuk dalam staritifikasi rendah, meskipun
masih terdapat desa dengan kasus malaria yang tinggi. (Infodatin, 2016)
Di Papua, malaria masih merupakan masalah utama bagi kesehatan
masyarakat, karena Papua merupakan daerah endemis tinggi. Menurut data
Dinas Kesehatan Provinsi Papua menyebutkan bahwa pada tahun 2010
lalu telah terjadi 142.238 kasus malaria, dan pada tahun 2011 terjadi
129.550 kasus malaria. (Arsin, 2012)
Dalam rencana strategis Kementrian Kesehatan Tahun 2010-2014
pengendalian malaria merupakan salah satu penyakit yang ditargetkan
untuk menurunkan angka kesakitannya dari 2 menjadi 1 per 1.000
penduduk. Dari gambarantersebut angka kesakitan malaria (API) tahun
2009 adalah 1,85 per 1000 penduduk, sehingga masih harus dilakukan
upaya efektif untuk menurunkan angka kesakitan 0, 85 per 1000 penduduk
dalam waktu 4 tahun agar target rencana startegis kesehatan tahun 2014
tercapai. (Infodatin, 2016)
Beberapa upaya yang dilakukan untuk menekan angka kesakitan dan
kematian akibat malaria, yaitu melalui program pemberantasan malaria

1
yang seperti contoh kegiatannya antara lain meliputi diagnosis dini,
pengobatan cepat dan tepat, surveilans dan pengendalian vector yang
kesemuanya ditunjukan untuk memutuskan rantai penularan, tidak hanya
itu peran masyarakat dalam penanganan lingkungannya juga menjadi
faktor penentu kejadian malaria. (Ramdja, 2003)
Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2013, menunjukkan bahwa
penduduk dengan deskripsi karakteristik tertentu memiliki prevalensi
malaria yang lebih tinggi dibandingkan penduduk pada kelompok lainnya.
Deskripsi karakteristik yang dimaksud adalah karakteristik berdasarkan
tempat tinggal, pekerjaan dan kelompok Usia. Masyarakat yang hidup di
pedesaan, berprofesi sebagai petani, nelayan dan buruh, dan kelompok
Usia 25-34 tahun memiliki prevalensi kasus malaria yang tinggi
dibandingkan lainnya. (Kementerian Kesehatan RI, 2016)
Berdasarkan hal tersebut maka kami menyusun laporan kasus
mengenai “Karakteristik Penderita malaria di Puskesmas Kotaraja”.

1.2. RUMUSAN MASALAH


Bagaimana karakteristik penderita malaria di Puskesmas Kotaraja?

1.3. TUJUAN PENELITIAN


1.3.1. Tujuan Umum
Mengetahui karakteristik penderita malariadi Puskesmas
Kotaraja.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Mengetahui jumlah penderita malaria disetiap kelurahan yang
termasuk dalam wilayah kerja Puskesmas Kotaraja.
2. Mengetahui presentasi kunjungan penderita malaria di
Puskesmas Kotaraja berdasarkan jenis kelamin.
3. Mengetahui presentasi kunjungan penderita malaria di
Puskesmas Kotaraja berdasarkan usia.
4. Mengetahui presentasi kunjungan penderita malariadi
Puskesmas Kotaraja berdasarkan jenis plasmodium.

2
5. Mengetahui upaya yang dapat dilakukan untuk pencegahan
malaria di wilayah kerja Puskesmas Kotaraja.

1.4. MANFAAT PENELITIAN


1. Memberi informasi kepada Dinas Kesehatan Kota mengenai
manajemen penderita malaria di Puskesmas Kotaraja
2. Laporan ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai informasi,
perbandingan, serta referensi bagi kelompok selanjutnya.
3. Sebagai syarat untuk menyelesaikan bagian Kepaniteraan Klinik
Madya (KKM) di SMF Ilmu Kesehatan Masyarakat (IKM) RSUD
Dok 2 Jayapura.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1.1. DEFINISI
Malaria merupakan suatu penyakit akut maupun kronik, yang disebabkan
oleh protozoa genus plasmodium dengan manifestasi klinis berupa demam,
anemia dan pembesaran limpa. Sedangkan, menurut ahli lain malaria
merupakan suatu penyakit infeksi akut maupun kronik yang disebabkan oleh
infeksi Plasmodium yang menyerang eritrosit dan ditandai dengan
ditemukannya bentuk aseksual dalam darah dengan gejala demam, menggigil,
anemia dan pembesaran limpa.(Harijanto, 2010)

1.2. EPIDEMIOLOGI
Diperkirakan 35% penduduk Indonesia tinggal di daerah yang berisiko
tertular malaria.Dari 497 Kabupaten/Kota yang ada di Indonesia saat ini, 54%
masih merupakan wilayah endemis malaria. Secara nasional kasus malaria
tahun 2005-2011, berdasarkan laporan rutin, cenderung menurun yaitu
sebesar 4,10‰ (tahun 2005) menjadi 1,38‰ (tahun 2013). Namun begitu, di
daerah endemis tinggi angka API masih sangat tinggi dibandingkan angka
nasional, sedangkan di daerah endemis rendah sering terjadi KLB (Kejadian
Luar Biasa) sebagai akibat adanya kasus import. Pada tahun 2010 jumlah
kematian malaria yang dilaporkan adalah 432 kasus. (Depertemen Kesehatan
RI, 2014)
Di Indonesia, tingginya kasus malaria dan KLB malaria sangat berkaitan
erat dengan hal-hal sebagai berikut: (Depertemen Kesehatan RI, 2014)
 Adanya perubahan lingkungan yang berakibat meluasnya tempat
perindukan nyamuk penular malaria;
 Mobilitas penduduk yang cukup tinggi;
 Perubahan iklim yang menyebabkan musim hujan lebih panjang dari
musim kemarau;

4
 Krisis ekonomi yang berkepanjangan, berdampak pada masyarakat di
daerah tertentu, mengalami gizi buruk sehingga lebih rentan untuk
terserang malaria;
 Tidak efektifnya pengobatan karena terjadi resisten klorokuin dan
meluasnya daerah resisten, serta
 Menurunnya perhatian dan kepedulian pemerintah dan masyarakat
terhadap upaya pengendalian malaria secara terpadu.
Daerah dengan kasus malaria tinggi dilaporkan dari Kawasan Timur
Indonesia (provinsi Papua, Papua Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku dan
Maluku Utara). Di kawasan lain juga dilaporkan masih cukup tinggi antara
lain di provinsi Bengkulu, Bangka Belitung, Kalimanatan Tengah, Lampung,
dan Sulawesi Tengah. (Hakim, 2011)

Gambar 2.1
Peta Distribusi Penderita Malaria (Global)
Kejadian luar biasa (KLB) ditandai dengan peningkatan kasus yang
disebabkan adanya peningkatan populasi vektor sehingga transmisi malaria
meningkat dan jumlah kesakitan malaria juga meningkat.Sebelum
peningkatan populasivektor, selalu didahului perubahan lingkungan yang
berkaitan dengan tempat perindukan potensial seperti luas perairan,flora serta
karakteristik lingkungan yang mengakibatkan meningkatnya kepadatan larva.
Untuk mencegahKLB malaria, maka peningkatan vektor perlu diketahui
melalui pengamatan yang terus menerus (surveilans). (Hakim, 2011)

5
Gambar 2.2
Peta Endemisitas Malaria di Indonesia Tahun 2011

1.3. ETIOLOGI
Penyakit malaria adalah salah satu penyakit yang penularannya melalui
gigitan nyamuk Anopheles betina. Penyebab penyakit malaria adalah genus
Plasmodia famili Plasmodiidae. Malaria adalah salah satu masalah kesehatan
penting di dunia.Secara umum ada 4 jenis malaria, yaitu tropika, tertiana,
ovale dan quartana.Di dunia ada lebih dari 1 juta meninggal setiap tahun.
(Arsin, 2012)
Malaria adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh protozoa obligat
intraseluler dari genus Plasmodium.Penyakit ini secara alami ditularkan oleh
gigitan nyamuk Anopheles betina.Penyakit malaria ini dapat menyerang siapa
saja terutama penduduk yang tinggal di daerah dimana tempat tersebut
merupakan tempat yang sesuaidengan kebutuhan nyamuk untuk berkembang.
(Arsin, 2012)
Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkanoleh parasit
(Plasmodium) yang ditularkan oleh gigitan nyamuk yang terinfeksi (vector
borne disease).Malariapada manusia dapat disebabkan oleh P. malariae, P.
vivax,danP. ovale. Pada tubuh manusia, parasit membelah diridan bertambah

6
banyak di dalam hati dan kemudian menginfeksi sel darah merah. (Arsin,
2012)
1.3.1. Vektor
Nyamuk termasuk dalam Phylum Arthropoda; ordo Diptera; kelas
Hexapoda; famili Culicidae; subfamili Anopheline; genus Anopheles.
(Arsin, 2012)
Diketahui lebih dari 422 spesies Anopheles di duniadan sekitar 60
spesies berperan sebagai vektor malaria yang alami.Di Indonesia hanya
ada 80 spesies dan 22 diantaranya ditetapkan menjadi vektor malaria.18
spesies dikonfirmasi sebagai vektor malaria dan 4 spesies diduga
berperan dalam penularan malaria di Indonesia.Nyamuk tersebut hidup
di daerah tertentu dengan kondisi habitat lingkungan yang spesifik
seperti daerah pantai, rawa-rawa, persawahan, hutan dan
pegunungan.Nyamuk Anopheles dewasa adalah vektor penyebab
malaria.Nyamuk betina dapat bertahan hidup selama sebulan. (Arsin,
2012)
1.1.1.1. Telur
Nyamuk betina meletakkan telurnya sebanyak 50 – 200 butir
sekali bertelur.Telur-telur itu diletakkan di dalam air dan
mengapung di tepi air. Telur tersebut tidak dapat bertahan di
tempat yang kering dan dalam 2 – 3 hari akan menetas menjadi
larva. (Arsin, 2012)
1.1.1.2. Larva
Larva nyamuk memiliki kepala dan mulut yang digunakan
untuk mencari makan, sebuah toraks dan sebuah perut.Mereka
belum memiliki kaki.Dalam perbedaan nyamuk lainnya, larva
Anopheles tidak mempunyai saluran pernafasan dan untuk posisi
badan mereka sendiri sejajar dipermukaan air. (Arsin, 2012)
Larva bernafas dengan lubang angin pada perut danoleh karena
itu harus berada di permukaan.Kebanyakan larva memerlukan
makan pada alga, bakteri, dan mikroorganisme lainnya di
permukaan.Mereka hanya menyelam di bawah permukaan ketika

7
terganggu.Larva berenang tiap tersentak pada seluruh badan atau
bergerak terus dengan mulut. (Arsin, 2012)
Larva berkembang melalui 4 tahap atau stadium, setelah larva
mengalami metamorfisis menjadi kepompong.Disetiap akhir
stadium larva berganti kulit, larva mengeluarkan exokeleton atau
kulit ke pertumbuhan lebih lanjut. (Arsin, 2012)
Habitat larva ditemukan di daerah yang luas tetapi kebanyakan
spesies lebih suka di air bersih. Larva pada nyamuk Anopheles
ditemukan di air bersih atau air payau yang memiliki kadar garam,
rawa bakau, di sawah, selokan yang ditumbuhi rumput, pinggir
sungai dan kali, dan genangan air hujan. Banyak spesies lebih suka
hidup di habitat dengan tumbuhan.Habitat lainnya lebih suka
sendiri.Beberapa jenis lebih suka di alam terbuka, genangan air
yang terkena sinar matahari. (Arsin, 2012)
1.1.1.3. Kepompong
Kepompong terdapat dalam air dan tidakmemerlukan makanan
tetapi memerlukan udara.Padakepompong belum ada perbedaan
antara jantan dan betina.Kepompong menetas dalam 1 – 2 hari
menjadi nyamuk,dan pada umumnya nyamuk jantan lebih dulu
menetasdaripada nyamuk betina.Lamanya dari telur
berubahmenjadi nyamuk dewasa bervariasi tergantung
spesiesnyadan dipengaruhi oleh panasnya suhu.Nyamuk bias
berkembang dari telur ke nyamuk dewasa paling
sedikitmembutuhkan waktu 10 – 14hari. (Arsin, 2012)

8
Gambar 2.3 Perbedaan postur dan cara istirahat nyamuk Anopheles dan larvanya
dibandingkan dengan nyamuk lain, serta kebutuhannya akan darah untuk
digunakan memproduksi telur oleh nyamuk betina.
1.1.1.4. Nyamuk Dewasa
Semua nyamuk, khususnya Anopheles dewasamemiliki tubuh
yang kecil dengan 3 bagian: kepala, toraks dan abdomen (perut).
Kepala nyamuk berfungsi untukmemperoleh informasi dan untuk
makan.Pada kepalaterdapat mata dan sepasang antena. Antena
nyamuk sangat penting untuk mendeteksi bau host dari tempat
perindukandimana nyamuk betina meletakkan telurnya.Nyamuk
Anopheles dapat dibedakan dari nyamuklainnya, dimana hidungnya
lebih panjang dan adanya sisikhitam dan putih pada sayapnya.
(Arsin, 2012)
1.1.2. Karakteristik Parasit Plasmodium
Malaria disebabkan oleh protozoa dari genus Plasmodium, pada
manusia terdapat 4 spesies yaitu P.falcifarum, P.vivax, P. malariae,
P.ovale.P.facifarummenyebabkan infeksi paling berat dan angka kematian
tertinggi. (Arsin, 2012)
Morfologi plasmodium pada manusia di dalamdarah memiliki
sitoplasma dengan bentuk tidak teraturpada berbagai stadium pertumbuhan
dan mengandungkromatin, pigmen serta granula.Pigmen malaria ialah
suatukomplek yang terdiri dari protein yang telah di denaturasi,yaitu
hamozoin atau hamatin, suatu hasil metabolism parasit dengan bahan-
bahan dari eritrosit.Pigmen ini tidakada pada parasit eksoerotrositik yang
terdapat dalam selhati.Gametosit dapat dibedakan dari tropozoit tua
karenasitoplasma lebih padat, tidak ada pembelahan kromatindan pigmen
yang tersebar dibagian tepi. (Arsin, 2012)
1.1.2.1. Plasmodium vivax
Eritrosit yang dihinggapi P. vivax membesar dan menjadi pucat,
karena kekurangan hemoglobin. P.vivax mempunyai afinitas yang besar
terhadap retikulosit, sehingga pembesarannya pun tampak lebih nyata
dari padasebenarnya. Trofozoit muda tampak sebagai cincin denganinti
pada satu sisi, sehingga merupakan cincin stempel. (Arsin, 2012)

9
Bila trofozoit tumbuh maka bentuknya menjadi tidak teratur,
berpigmen halus dan menunjukkan gerakan ameboid yang jelas. Setelah
36 jam mengisi lebih dari setengah sel darah merah yang membesar,
intinya membelah dan menjadi skizon. Gerakannya menjadi kurang,
mengisi hampir seluruh sel yang membengkak dan mengandung pigen
yang tertimbun di dalam sitoplasma. Setelah 48 jam skizon mencapai
ukuran maksimal 8–10 mikron dan mengalami segmentasi. Pigmen
berkumpul dipinggir, inti yang membelah dengan bagian-bagian
sitoplasma membentuk 16–18 sel berbentuk bulat atau lonjong,
berdiameter 1.5–2 mikron yang disebut merozoit. (Arsin, 2012)
Gametosit berbentuk lonjong, hampir mengisi seluruheritrosit.
Mikro gametosit mempunyai inti besar yangberwarna merah muda
pucat dan sitoplasma berwarnabiru pucat. Makro gametosit mempunyai
sitoplasma yangberwarna lebih biru dengan inti yang padat berwarna
merah dan letaknya biasanya di bagian pinggir parasit. Dengan
pewarnaan, butir-butir halus bulat, uniform, berwarna merah muda atau
kemerah-merahan sering tampak didalam sel darah merah yang di
infeksi oleh P. vivax. (Arsin, 2012)
1.1.2.2. Plasmodium malariae
Plasmodium malariae mempunyai ukuran yang lebihkecil, kurang
aktif, jumlahnya lebih kecil dan memerlukan lebih sedikit hemoglobin
dibandingkan dengan P.vivax hanya sitoplasmanya lebih biru dan
parasitnya lebih kecil, lebih teratur dan lebih padat. (Arsin, 2012)
Trofozoit yang sedang tumbuh mempunyai butir butir-pigmen yang
kasar dan berwarna tengguli tua atauhitam. Parasit ini dapat berbentuk
pita yang melintang pada sel darah merah, bentuk kromatin seperti
benang dan kadang-kadang vakuol. Pigmen kasar berkumpul di pinggir
parasit, dalam waktu 72 jam skizon menjadi matang dan bersegmentasi,
hampir mengisi seluruh sel darah merah yang tidak membesar. Parasit
dikelilingi oleh 8–10 merozoit lonjong, masing-masing dengan
kromatin berwarna merah dan sitoplasma biru. Di dalam sel darah
merah yang mengandung P. malariae butir-butir kecil merah muda

10
kadang-kadang tampak (titik Zeiman).Gemotosit mirip gametosit
P.vivax tetapi lebih kecil dan pigmennya lebih sedikit. (Arsin, 2012)
1.1.2.3. Plasmodium falciparum
Plasmodium falcifarum berbeda dengan Plasmodium lain manusia.
Hanya ditemukan bentuk-bentuk cincin dan gemotosit dalam darah tepi,
kecuali pada infeksi berat. Skizogoni terjadi dalam kapiler alat- alat
dalam, juga didalam jantung, dan hanya beberapa skizon terdapat
didalam darah tepi. Sel darah merah yang terinfeksi tidak membesar,
infeksi multipel di dalam sel darah merah sangat khas. Dengan adanya
bentuk-bentuk cincin halus yang khas, sering kali dengan titik kromatin
rangkap, walaupun tidakada gametosit, kadang-kadang cukup untuk
identifikasi spesies ini. Dua titik kromatin (nucleus) sering dijumpai
pada bentuk cincin P. falcifarum, sedang pada P. vivax dan P. malariae
hanya kadang- kadang. (Arsin, 2012)
Bentuk skizon lonjong atau bulat, jarang sekali ditemukan di dalam
darah tepi. Skizon ini menyerupai skizon P. vivax, tetapi tidak mengisi
seluruh eritrosit. Skizon matang biasanya mengandung 16–20 merozit
kecil. Gemotosit yang muda mempunyai bentuk lonjong sehingga
memanjangkan dinding sel darah merah, setelah mencapai
perkembangan akhir parasit menjadi berbentuk pisang yang khas yang
disebut juga bentuk sabit. Di dalam seldarah merah yang dihinggapi P.
falcifarum sering tampakpresipitat sitoplasma yang disebut titik
Maurer. Titik-titik ini tampak sebagai bercak-bercak merah yang
bentuknya tidak teratur, sebagai kepingan-kepingan atau batang-batang
didalam sitoplasma. (Arsin, 2012)
1.1.2.4. Plasmodium ovale
P. ovale merupakan parasit manusia yang jarang terdapat dan
dalam berbagai hal mirip dengan P. vivax. Sel darah merah yang
dihinggapi sedikit membesar, berbentuk lonjong, mempunyai titik- titik
Scuffner kasar pada stadium dini. (Arsin, 2012)
Sel darah merah dengan bentuk yang lonjong dan bergigi pada satu
ujungnya, adalah khas untuk membuat diagnosis spesies P. ovale.

11
Pigmen tersebar diseluruh parasit yang sedang tumbuh, sebagai butir-
butir tengguli dan mempunyai corak jelas. Pada skizon matangyang
hampir seluruh eritrosit, pigmen ini terletak ditengah-tengah P.ovale
menyerupai P.malariae pada bentuk skizon muda dan tropozoit yang
sedang tumbuh, walaupun initidak membentuk pita. Skizon matang
mempunyai pigmen padat dan biasanya mengandung 8 merozoit. Pada
sediaan darah tebal sangat sukar untuk membedakan P. Ovale dengan
P. malariae kecuali bila titik-titik Scufner tampak sebagai zona merah.
(Arsin, 2012)
1.3.2. Siklus Hidup Plasmodium
Spesies Plasmodium pada manusia, yaitu: Plasmodium falciparum,
Plasmodium vivax, Plasmodium ovale, Plasmodium malariae. Jenis
Plasmodium yang banyak ditemukan di Indonesia adalah Plasmodium
falciparum dan Plasmodium vivax, sedaangkan Plasmodium malariae
dapat ditemukan di beberapa provinsi, antara lain: Lampung, NTT, dan
Papua. Plasmodium ovale pernah ditemukan di NTT dan Papua.Parasit
Plasmodium memerlukan manusia dan nyamuk Anopheles betina (lihat
gambar). (Arsin, 2012)
1.1.2.5. Siklus Pada Manusia
Pada waktu nyamuk Anopheles infektif mengisap darah
manusia, sporozoit yang berada di kelenjar air liur nyamuk akan
masuk ke dalam peredaran darah selama kurang lebih ½ jam.
Setelah itu sporozoit akan masuk ke dalam sel hati dan menjadi
tropozoit hati. Kemudian berkembang menjadi skizon hati yang
terdiri dari 10,000 – 30,000 merozoit hati. (Arsin, 2012)
Siklus ini disebut siklus ekso-eritositer yang berlangsung
selama lebih kurang 2 minggu. Pada Plasmodium vivax dan
Plasmodium ovale, sebagian tropozoit hati tidak langsung
berkembang menjadi skizon, tetapi ada yang menjadi bentuk
dorman yang disebut hipnozoit. Hipnozoit tersebut dapat tinggal
di dalam sel hati selama berbulan-bulan sampai bertahun-tahun.

12
Pada suatu saat bila imunitas tubuh menurun, akan menjadi aktif
sehingga dapat menimbulkan relaps. (Arsin, 2012)
Merozoit yang berasal dari skizon hati yang pecah akan
masuk ke peredaran darah dan menginfeksi sel darah merah. Di
dalam sel darah merah, parasit tersebut berkembang dari stadium
tropozoit sampai skizon (8 – 30 merozoit, tergantung spesiesnya).
Proses perkembangan aseksual ini disebut skizogoni. Selanjutnya
eritrosit yang terinfeksi (skizon) pecah dan merozoit yang keluar
akan menginfeksi sel darah merah lainnya. Siklus ini disebut
siklus eritrositer. (Arsin, 2012)
Setelah 2 – 3 siklus skizogoni darah, sebagian merozoit akan
menginfeksi sel darah merah dan membentuk stadium seksual
(gametosit jantan dan betina). (Arsin, 2012)
1.1.1.1. Siklus Pada Nyamuk Anopheles Betina
Apabila nyamuk Anopheles betina menghisap darah yang
mengandung gametosit, di dalam tubuh nyamuk, gamet jantan
dan betina melakukan pembuahan menjadi zigot.Zigot
berkembang menjadi ookinet kemudian menembus dinding
lambung nyamuk. Pada dinding luar nyamuk ookinet akan
menjadi ookista dan selanjutnya menjadi sporozoit. Sporozoit ini
bersifat infektif dan siap ditularkan ke manusia. (Arsin, 2012)
Masa inkubasi adalah rentang waktu sejak sporozoit masuk
sampai timbulnya gejala klinis yang ditandai dengan demam.
Masa inkubasi bervariasi tergantung spesies Plasmodium. Masa
prepaten adalah rentang waktu sejenak sporozoit masuk sampai
parasit dapat dideteksi dalam darah dengan pemeriksaan
mikroskopik. (Arsin, 2012)
Tabel 2.1
Masa Inkubasi Penyakit Malaria
Plasmodium Masa Inkubasi (hari)
Plasmodium falciparum 9 – 14 (12)
Plasmodium vivax 12 – 17 (15)

13
Plasmodium ovale 16 – 18 (17)
Plasmodium malariae 18 – 40 (28)

Gambar 2.4
Siklus Hidup Plasmodium
1.4. PATOGENESIS
Parasit malaria (plasmodium) mempunyai dua siklus daur hidup, yaitu
pada tubuh manusia dan didalam tubuh nyamuk Anopheles betina Pada waktu
nyamuk Anopheles spp yang terinfeksi menghisap darah manusia, sporozoit
yang berada dalam kelenjar ludah nyamuk Anopheles masuk kedalam aliran
darah selama lebih kurang 30 menit. Setelah itu sporozoit menuju ke hati dan
menembus hepatosit, dan menjadi tropozoit. Kemudian berkembang menjadi
skizon hati yang terdiri dari 10.000 sampai 30.000 merozoit hati. Siklus ini
disebut siklus eritrositik yang berlangsung selama 9-16 hari. (Setiati, 2014)
Pada Plasmodium falciparum dan Plasmodium malariae siklus skizogoni
berlangsung lebih cepat sedangkan Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale
siklus ada yang cepat dan ada yang lambat. Sebagian tropozoit hati tidak
langsung berkembang menjadi skizon, akan tetapi ada yang menjadi bentuk
dorman yang disebut bentuk hipnozoit. Bentuk hipnozoit dapat tinggal didalam

14
sel hati selama berbulan-bulan bahkan sampai bertahun-tahun yang pada suatu
saat bila penderita mengalami penurunan imunitas tubuh, maka parasit menjadi
aktif sehingga menimbulkan kekambuhan. (Setiati, 2014)
Apabila nyamuk Anopheles betina mengisap darah yang mengandung
gematosit, didalam tubuh nyamuk gematosit akan membesar ukurannya dan
meninggalkan eritrosit. Pada tahap gematogenesis ini, mikrogame takan
mengalami eksflagelasi dan diikuti fertilasi makrogametosit. Sesudah
terbentuknya ookinet, parasit menembus dinding sel midgut, dimana parasit
berkembang menjadi ookista. Setelah ookista pecah, sporozoit akan memasuki
homokel dan pindah menuju kelenjar ludah. Dengan kemampuan bergeraknya,
sporozoit infektif segera menginvasi sel-sel dan keluar dari kelenjar ludah.
(Setiati, 2014)
Masa inkubasi adalah rentang waktu sejak sporozoit masuk kedalam tubuh
sampai timbulnya gejala klinis berupa demam. Lama masa inkubasi bervariasi
tergantung spesies Plasmodium. Masa prapaten adalah rentang waktu sejak
sporozoit masuk sampai parasit dapat dideteksi dalam darah dengan
pemeriksaan mikroskopik. (Setiati, 2014)

1.5. KLASIFIKASI
1.5.1. Malaria Asimptomatik
Malaria asimptomatik ialah penderita malaria dengan ditemukannya
parasit malaria pada pemeriksaan darah dan penderita tidak ada
gejala/keluhan. Penderita ini biasanya ditemukan pada waktu surveilens dan
dijumpai pada orang yang tinggal di daerah hiperendemik. Penderita ini
dengan imunitas yang tinggi sehingga adanya parasit dalam darahnya tidak
memberi gejala. Bila dijumpai kasus seperti ini penderita harus tetap
diberikan obat anti-malaria. (Setiati, 2014)
1.5.2. Malaria Tanpa Komplikasi
Malaria tanpa komplikasi ialah ditemukannya parasit bentuk aseksual
dari seseorang penderita disertai dengan gejala-gejala klinis malaria tetapi
pada penderita ini tidak ditemukan tanda-tanda komplikasi. (Setiati, 2014)
1.5.3. Malaria Berat

15
Malaria berat ialah ditemukannya parasit bentuk aseksual dari
seseorang penderita disertai dengan gejala-gejala klinis malaria dan
pada penderita ini ditemukan tanda-tanda komplikasi. Komplikasi
malaria disebabkan oleh Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax,
dan Plasmodium knowlesi.
Sering terjadi mendadak tanpa gejala-gejala sebelumnya, dan
sering terjadi pada pendatang/traveller dan ibu hamil. Komplikasi
terjadi 5-10% pada seluruh penderita malaria yang dirawat di rumah
sakit dan 20% nya merupakan kasus yang fatal. (Setiati, 2014)
1.5.4. Malaria Kondisi Khusus
1.5.4.1. Malaria Pada Kehamilan
Malaria pada ibu hamil lebih sering dijumpai pada kehamilan
trisemester I dan II serta pada saat 40 hari setelah melahirkan (masa
Nifas/Puerperium) pada daerah mesoendemik dan hipoendemik.
Hal ini disebabkan karena penurunan imunitas selama
kehamilan.yang menyebabkan mudahnya terjadi infeksi pada ibu
hamil. (Setiati, 2014)
1.5.4.2. Malaria Pada Pelancong
Umumnya pada pelancong yang belum memiliki kekebalan
(non-immune) pada parasit malaria, dari daerah yang tidak ada
infeksi malaria, ataupun kelompok dengan imunitas rendah dari
daerah endemik yang transmisinya rendah. Kelompok ini berisiko
terinfeksi malaria dan bila kembali ke daerah asalnya sering tidak
terdeteksi karena tenaga dokter sering tidak terbiasa/berpengalaman
dalam deteksi malaria sehingga sering terlambat diagnosis ataupun
tidak tersedianya sarana serta kesulitan dalam ketersediaan obat-obat
anti malaria. (Setiati, 2014)

1.6. MANIFESTASI KLINIS


Dalam tahapan siklus plasmodium gambaran anatomik dan klinis yang
khas pada malaria berkaitan dengan keadaan-keadaan sebagai berikut:
(Hakim, 2011)

16
1. Merozoit baru dalam jumlah besar dibebaskan dari Sel Darah Merah
(SDM) pada interval sekitar 48 jam untuk P.vivax, P.ovale, dan P.
falciparum;72 jam untuk P. malariae,gejala klinis berupa menggigil
dan demam bersamaan dengan pembebasan ini.
2. Parasit menghancurkan sejumlah besar SDM sehingga terjadi anemia
hemolitik.
3. Suatu pigmen malaria cokelat yang khas, mungkin turunan Hb yang
identik dengan hematin, dibebaskan dari SDM yang pecah bersama
dengan merozoit. Pigmen ini menyebabkan perubahan warna pada
limpa, hati, kelenjar getah bening, dan sumsum tulang.
Aktivasi mekanisme pertahanan fagositik oleh pejamu menyebabkan
hiperplasia sistem fagosit mononukleus di seluruh tubuh, yang tercermin
pada splenomegali masif. Walaupun jarang, hati juga dapat membesar.
(Hakim, 2011)

1.7. DIAGNOSIS
Manifestasi klinis malaria dapat berupa malaria tanpa komplikasi dan
malaria berat. Diagnosis malaria ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang laboratorium. ( Depertemen
Kesehatan RI, 2014)
Diagnosa malaria diperlukan dalam pengobatan penderita malaria,
karena itu kemampuan teknis dalam diagnosis malaria yang tepat sangat
penting untuk menentukan langkah selanjutnya dalam pengobatan
penderita malaria penderita lain. Diagnosis yang benar dan cepat, selain
bisa dengan cepat mengobati penderita juga akan bisa mengurangi bahkan
menghentikan penularan lanjut kepada orang lain. ( Depertemen Kesehatan
RI, 2014)
Diagnosis malaria, secara umum terdiri dari diagnosis berdasarkan
gejala klinis serta diagnosis berdasarkan pemeriksaan secara laboratorium.
Diganosis malaria klinis atau clinical presumptive diagnosis adalah
diagnosa malaria berdasarkan pada pemeriksaan penderita secara klinis,
pada umumnya terdiri dari pemeriksaan gejala demam (berkala), panas,
tingkat kesadaran, pusing, dll gejaja khas malaria yang sering kali tidak

17
sama antara satu daerah dengan daerah lainnya. ( Depertemen Kesehatan RI,
2014)
Pengalaman tenaga medis yang melakukan diagnosa sangat
menentukan tepat atau tidaknya diagnosa, sehingga diagnosis klinis tidak
bisa dijadikan acuan utama dalam pengobatan malaria sebab tingkat
kesalahannya cukup tinggi. (Depertemen Kesehatan RI, 2014)
1.7.1. Anamnesis
Gejala demam tergantung jenis malaria. Sifat demam akut
(paroksismal) yang didahului oleh stadium dingin (menggigil)
diikuti demam tinggi kemudian berkeringat banyak. Gejala klasik
ini biasanya ditemukan pada penderita non imun (berasal dari
daerah non endemis). (Hakim, 2011)
Selain gejala klasik diatas, dapat ditemukan gejala lain seperti
nyeri kepala, mual, muntah, diare, pegal-pegal, dan nyeri otot.
Gejala tersebut biasanya terdapat pada orang-orang yang tinggal
di daerah endemis (imun). Setiap penderita dengan keluhan
demam atau riwayat demam harus selalu ditanyakan riwayat
kunjungan ke daerah endemis malaria. Pada anamnesis sangat
penting diperhatikan: (Hakim, 2011)
 Keluhan utama: demam, menggigil, berkeringat dan dapat
disertai sakit kepala, mual, muntah, diare dan nyeri otot atau
pegal-pegal.
 Riwayat berkunjung dan bermalam 1 – 4 minggu yang lalu ke
daerah endemik malaria.
 Riwayat tinggal di daerah endemik malaria.
 Riwayat sakit malaria.
 Riwayat minum obat malaria satu bulan terakhir.
 Riwayat mendapat transfusi darah.
Jika tidak ditangani segera dapat menjadi malaria berat yang
menyebabkan kematian. Selain hal-haldi atas, pada penderita
malaria berat, dapat ditemukan keadaan di bawah ini: (Hakim,
2011)

18
 Gangguan kesadaran dalam berbagai derajat
 Keadaan umum yang lemah
 Kejang-kejang
 Panas tinggi
 Mata atau tubuh kuning
 Perdarahan hidung, gusi atau saluran pencernaan
 Nafas cepat dan atau sesak nafas
 Muntah terus menerus
 Dan tidak dapat makan minum
 Warna air seni seperti teh tua dan dapat sampai kehitaman
 Jumlah air seni kurang (oliguria) bahkan sampai tidak ada
(anuria)
 Telapak tangan sangat pucat
1.7.2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dengan kasus terduga malaria, dapat
ditemui keadaan-keadaan sebagai berikut: (Hakim, 2011)
 Demam (pengukuran dengan thermometer ≥37,5 °C)
 Konjungtiva atau telapak tangan pucat
 Splenomegali
 Hepatomegali
Untuk memastikan diagnosis untuk kasus malaria berat jika
ditemukan Plasmodium falcifarum atau Plasmodium vivax
stadium aseksual atau RDT positif ditambah satu atau beberapa
keadaan di bawah ini: (Hakim, 2011)
 Gangguan kesadaran atau koma
 Kelemahan otot (tak ias duduk/berjalan tanpa bantuan)
 Tidak bisa makan dan minum
 Kejang berulang lebih dari dua episode dalam 24 jam
 Sesak napas, Respiratory Distress ( pernafasan asidosis)
 Gagal sirkulasi atau syok: tekanan sistolik <70 mm Hg (pada
anak: < 50 mmHg)

19
 Ikterus disertai adanya disfungsi organ vital
 Black Water Fever
 Perdarahan spontan
 Edema Paru (secara radiologi)
Penderita tersangka malaria berat perlu segera dirujuk untuk
mendapat kepastian diagnosis secara mikroskopik dan
penanganan yang lebih lanjut. (Hakim, 2011)
1.7.3. Pemeriksaan Laboratorium
Diagnosis berdasarkan pemeriksaan laboratorium, awalnya
hanya berdasarkan pemeriksaan sediaan darah tepi yang telah
diwarnai dan diperiksa dibawah mikroskop. Tujuannya untuk
mengetahui keberadaan parasit Plasmodium, menentukan
spesiesnya serta menghitung kepadatannya. Tapi dengan
berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, pemeriksaan
laboratorium bukan hanya berdasarkan pemeriksaan mikroskopis,
tapi lebih jauh lagi dilakukan dengan pemeriksaan keberadaan
antibodi anti parasit Plasmodium yang berdasarkan deteksi
enzyme-linked immunosorbent assays (ELISA) melalui
pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) juga pemeriksaan
keberadaan DNA parasitnya. (Hakim, 2011)
Pemeriksaan Polymerase Chain Reactions (PCR) adalah
suatu pemeriksaan parasit malaria secara molekuler terhadap
rantai DNA. PCR saat ini digunakan dalam penelitian dan dapat
digunakan untuk diagnosis malaria apabila jumlah parasit berada
di bawah ambang mikroskop (yaitu pasien diduga malaria tapi
tidak terdeteksi pada pemeriksaan mikroskop), bisa dikonfirmasi
dengan menggunakan PCR. (Hakim, 2011)
Sekarang ini sudah bisa dilakukan pemeriksaan secara cepat
menggunakan rapid diagnostic test (RDT) untuk mendeteksi
keberadaan antibodi anti parasit Plasmodium yang bisa dilakukan
secara cepat di lapangan. Mekanisme kerja tes ini berdasarkan

20
deteksi antigen parasit malaria, dengan menggunakan metoda
imunokromatografi. (Hakim, 2011)
Sebelum menggunakan RDT perlu dibaca petunjuk
penggunaan dan tanggal kadaluarsanya. Pemeriksaan RDT
bersifat kualitatif, tidak dapat digunakan untuk pemantauan
pengobatan. Kebijakan penggunaan RDT, yaitu: (Hakim, 2011)
 Pada puskesmas terpencil di daerah endemis, yang belum
dilengkapi dengan mikroskop atau sarana laboratorium, di
Pustu, Polindes dan Poskesdes.
 Pada kondisi kegawatdaruratan pasien yang memerlukan
penatalaksanaan dengan segera (hanya untuk diagnosis awal).
 Pada daerah dengan KLB malaria dan bencana alam di
daerah endemis malaria yang belum dilengkapi fasilitas
laboratorium malaria.
Pemeriksaan diagnostik secara cepat ditujukan untuk
mendeteksi adanya antigen atau produk parasit yang dihasilkan
oleh keempat spesies Plasmodium.

Dari beberapa jenis pemeriksaan laboratorium, yang


dianggap paling baik sehingga dijadikan sebagai goal standard
pemeriksaan laboratorium malaria adalah pemeriksaan secara
mikroskopis karena pemeriksaan berdasarkan mikroskopis
mempunyai kelebihan yaitu bisa menentukan dengan tepat spesies
serta stadium parasit Plasmodium termasuk kepadatannya.
(Hakim, 2011)
Tapi kadangkala hasil pemeriksaan mikroskopis tidak dapat
dipercaya penuh sebagai dasar penegakan diagnosis terutama
pada penderita yang telah diberi pengobatan atau profilaksis,
karena obat anti malaria secara parsial dapat menyebabkan
berkurangnya jumlah parasit sehingga berada di bawah ambang
pemeriksaan mikroskop. (Hakim, 2011)

21
Ini mengakibatkan pada pewarnaan sediaan darah hanya
ditemukan sedikit parasit yang menggambarkan parasitemia yang
rendah padahal pasien sedang menderita malaria berat. Jumlah
parasit yang sedikit pada sediaan hapus darah juga bisa ditemui
pada fase awal atau relap. (Hakim, 2011)
Pemeriksaan sediaan darah (SD) tebal dan tipis di
Puskesmas/lapangan/ rumah sakit/laboratorium klinik untuk
menentukan: (Hakim, 2011)
 Ada tidaknya parasit malaria (positif atau negatif).
 Spesies dan stadium plasmodium
 Kepadatan parasit
Pemeriksaan parasit malaria berdasarkan mikroskopis, pada
umumnya dilakukan pada penderita dengan gejala klinis umum
malaria yaitu panas dan demam berkala. Dilakukan pada
spesimen darah yang diambil dari darah tepi, biasanya dari ujung
jari tangan atau jempol kaki. (Hakim, 2011)
Spesimen darah dibuat preparat pada slide glass dan dibuat
bentuk lingkaran dengan diameter 1 cm, setelah kering
selanjutnya diwarnai dengan Giemsa dengan pewarnaan cepat
atau lambat. Setelah dicuci dengan air yang mengalir, selanjutnya
diperiksa di bawah mikroskop dengan pembesaran 10 x 100
kali.Langkah-langkah pada pemeriksaan malaria secara
mikroskopis meliputi: (Hakim, 2011)
Pada kasus malaria berat, dapat ditemukan gambaran klinis
dari hasil laboratorium sebagai berikut: (Hakim, 2011)
 Hipoglikemi: gula darah < 40 mg%.
 Asidemia (pH:< 7,25) atau asidosis (bikarbonat plasma < 15
mmol/L).
 Anemia berat (Hb < 5 gr% atau hematokrit <15%)
 Hemoglobinuri

22
 Hiperparasitemia (di daerah endemis rendah : >2 % atau
>100.000 parasit/uL; daerah endemis tinggi :> 5% atau
>250.000 parasit/ uL).
 Hiperlaktatemia (laktat > 5 ugr/L)
 Gagal ginjal akut (urin < 0,5 ml/kgBB/jam dalam 6 jam)

1.8. DIAGNOSIS BANDING


Demam merupakan salah satu gejala malaria yang menonjol, yang
juga dijumpai pada hampir semua penyakit infeksi seperti infeksi virus
pada sistem respiratorius, influenza, bruselosis, demam tifoid, demam
dengue, dan infeksi bakteri lainnya seperti pneumonia, infeksi saluran
kemih, dan tuberkulosis.
Pada malaria berat diagnosis banding tergantung pada manifestasi
malaria beratnya.Pada malaria dengan ikterus, diagnosis banding ialah
demam tifoid, hepatitis, kolesistitis, dan leptospirosis.Pada malaria
serebral harus dibedakan dengan infeksi otak lainnya seperti meningitis
dan ensefalitis.(Setiati, 2014)

1.9. PENATALAKSANAAN
Pengobatan malaria yang dianjurkan saat ini dengan pemberian
ACT.Pemberian kombinasi ini untuk meningkatkan efektifitas dan
mencegah resistensi. Malaria tanpa komplikasi diobati dengan pemberian
ACT secara oral. Malaria berat diobati dengan injeksi Artesunat atau
Artemeter dilanjutkan dengan ACT oral. Disamping itu diberikan
primakuin sebagai gametosidal dan hipnozoidal. (Depertemen Kesehatan
RI, 2014)
1.9.1. Pengobatan Malaria Tanpa Komplikasi
Malaria falsiparum dan Malaria vivaks
Pengobatan malaria falciparum dan vivaks saat ini
menggunakan ACT di tambah primakuin. Dosis ACT untuk
malaria falciparum sama dengan malaria vivaks 1 kali perhari
selama 3 hari, Primakuin untuk malaria falciparum hanya

23
diberikan pada hari pertama saja dengan dosis 0,75 mg/kgBB, dan
untuk malaria vivaks selama 14 hari dengan dosis 0,25 mg /kgBB.
Pengobatan malaria falciparum dan malaria vivaks adalah seperti
yang tertera di bawah ini: (Hakim, 2011)

Tabel 2.2
Pengobatan Malaria Falciparum Menurut Berat Badan
(DHP Dan Primakuin)

Tabel 2.3
Pengobatan Malaria Vivaks Menurut Berat Badan Dengan
(DHP dan Primakuin)

Sebaiknya dosis pemberian DHP berdasarkan berat badan,


apabila penimbangan berat badan tidak dapat dilakukan maka
pemberian obat dapat berdasarkan kelompok Usia. (Hakim, 2011)

24
Tabel 2.4
Pengobatan Malaria Falsiparum Menurut Berat Badan
(Artesunat +Amodiakuin dan Primakuin)

Tabel 2.5
Pengobatan Malaria Vivaks Menurut Berat Badan
(Artesunat +Amodiakuin dan Primakuin)
Pengobatan Malaria Vivaks Relaps
Pengobatan kasus malaria vivaks relaps (kambuh) diberikan
dengan regimen ACT yang sama tapi dosis Primakuin
ditingkatkan menjadi 0.5 mg/kgBB/hari. (Hakim, 2011)
Pengobatan Malaria Ovale
Pengobatan malaria ovale saat ini menggunakan ACT yaitu
DHP atau kombinasi Artesunat + Amodiakuin. Dosis pemberian
obatnya sama dengan untuk malaria vivaks yaitu 1 kali perhari
selama 3 hari. (Hakim, 2011)
Pengobatan Malaria Malariae
Pengobatan P. malariae yaitu diberikan ACT 1 kali perhari
selama 3 hari, dengan dosis sama dengan pengobatan malaria
lainnya hanya tidak diberikan primakuin.(Hakim, 2011)

25
Pengobatan Infeksi Malaria Campuran (P. falciparum + P.
vivax/P. ovale)
Pada penderita dengan infeksi campur diberikan ACT selama
3 hari serta primakuin dengan dosis 0.25 mg/kgBB/hari selama 14
hari. (Hakim, 2011)

Tabel 2.6
Pengobatan infeksi campur P. falciparum + P. vivax/P. ovale
(DHP + Primakuin)

Tabel 2.7
Pengobatan infeksi campur P. falciparum + P.Vivax/P.ovale
(Artesunat + Amodiaquin dan Primakuin)
Dosis obat:
 Amodiakuin basa = 10 mg/kgbb
 Artesunat = 4 mg/kgbb.
Catatan:

26
 Sebaiknya dosis pemberian obat berdasarkan berat badan,
apabila penimbangan berat badan tidak dapat dilakukan maka
pemberian obat dapat berdasarkan kelompok Usia
 Apabila ada ketidaksesuaian antara Usia dan berat badan
(pada tabel pengobatan), maka dosis yang dipakai adalah
berdasarkan berat badan.
 Untuk anak dengan obesitas gunakan dosis berdasarkan berat
badan ideal.
 ACT tidak boleh diberikan pada ibu hamil trimester 1 dan
Primakuin tidak boleh diberikan pada ibu hamil.
1.9.2. Pengobatan Malaria Berat
Semua penderita malaria berat harus ditangani di Rumah
Sakit (RS) atau puskesmas perawatan. Bila fasilitas maupun
tenaga kurang memadai, misalnya jika dibutuhkan fasilitas
dialisis, maka penderita harus dirujuk ke RS dengan fasilitas yang
lebih lengkap. Prognosis malaria berat tergantung kecepatan dan
ketepatan diagnosis serta pengobatan. (Arsin, 2012)
Jika puskesmas/klinik tidak memiliki fasilitas rawat inap,
pasien malaria berat harus langsung dirujuk ke fasilitas yang lebih
lengkap.Sebelum dirujuk berikan artemeter intramuskular dosis
awal (3.2mg/kgbb). Sedangkan untuk pengobatan di Pusat
Pelayanan Kesehatan Primer maupun Sekunder (Puskesmas,
Klinik Kesehatan, dan Rumah Sakit) dapat diberikan artesunat
intravena sebagai pilihan utama. Jika tidak tersedia dapat
diberikan artemeter intramuskular atau kina drip. (Arsin, 2012)

1.10. HUBUNGAN HOST-AGENT-ENVIRONMENT DAN MALARIA


Infeksi malaria dipengaruhi oleh faktor manusia (Host), plasmodium
(Agent), nyamuk (Vector) dan perindukan nyamuk (Environment).
Masing-masing faktor saling mempengaruhi pada proses terjadinya
penyakit malaria.

27
Secara umum, semua manusia dapat menderita penyakit malaria.
Namun banyak faktor yang berpengaruh, seperti sistem imun tubuh, status
gizi, tempat tinggal yang dekat dengan perindukan vektor dan faktor
genetika yang bisa bersifat protektif terhadap penyakit malaria serta faktor
perilaku manusia. Manifestasi perilaku dapat dilihat dari tindakan mencari
bantuan kesehatan, tindakan pencegahan penyakit dan kualitas pelayanan
kesehatan. Semua faktor tersebut saling berpengaruh terhadap terjadinya
penyakit malaria (Gunawan, 2010).
Karakteristik plasmodium sp. berbeda satu dengan yang lainnya.
Perbedaan karakteristik tersebut ditambah dengan faktor lainnya seperti
kepadatan parasit di dalam darah, akan menghasilkan manifestasi klinis
yang berbeda pula. Kemampuan adaptasi untuk bertahan hidup, juga
berbeda antar spesies yang berakibat pada terjadinya resistensi antimalaria
(Gunawan, 2010).
Malaria pada manusia umumnya ditularkan oleh nyamuk betina
anopheles yang memiliki lebih dari 400 spesies dan tersebar di banyak
tempat dengan letak ketinggian tempat perindukan yang berbeda-beda.
Efektivitas nyamuk sebagai vektor pembawa penyakit malaria dipengaruhi
oleh banyak faktor, antara lain kepadatan vektor, kesukaan menghisap
darah manusia (antropofilia) dan temperatur lingkungan. Temperatur
lingkungan berpengaruh pada proses pembentukan sporozoite dan lamanya
hidup nyamuk yang terinfeksi oleh gametocyte (Gunawan, 2010).
Lingkungan sebagai tempat tinggal manusia, vektor dan plasmodium
juga berpengaruh pada interaksi ketiganya. Faktor-faktor seperti letak
ketinggian, temperatur, angin, hujan, kelembaban udara, sinar matahari
dan lingkungan sosial budaya juga berpengaruh dalam interaksi manusia,
vektor dan plasmodium. Sebagai salah satu manifestasi perilaku manusia,
kualitas pelayanan kesehatan dan tatalaksana penyakit, juga berpengaruh
pada virulensi parasit (Gunawan,2010).
Intervensi pada masing-masing faktor (manusia, vektor, plasmodium
dan lingkungan) merupakan upaya yang tidak bisa dilakukan secara
terpisah. Kompleksitas setiap faktor saling mempengaruhi satu sama

28
lainnya sehingga memerlukan strategi yang komprehensip untuk
melakukan intervensi yang tepat.
Manifestasi klinis penderita malaria sangat dipengaruhi oleh faktor
virulensi, kepadatan parasit, sistem imun tubuh dan faktor genetis. Faktor
ekternal lain adalah deteksi dini dan tatalaksana malaria yang tepat
sasaran. Manifestasi klinis penderita malaria dapat berupa demam
(symptomatic malaria) ataupun tanpa demam (asymptomatic malaria).

Gambar 2.4. Hubungan Host-Agent-Environment dan Malaria

1.11. PENCEGAHAN
Pencegahan malaria secara garis besar mencakup tiga aspek sebagai
berikut: (Arsin, 2012)

Mengurangi pengandung gametosit


Mengurangi pengandung gametosit yang merupakan sumber infeksi
(reservoar). Hal tersebut dapat dicegah dengan jalan mengobati penderita
malaria akut dengan obat yang efektif terhadap fase awal dari siklus
eritrosit aseksual sehingga gametosit tidak sempat terbentuk didalam darah
penderita. Selain itu, jika gametosit telah terbentuk dapat dipakai jenis obat
yang secara spesifik dapat membunuh gametosit (obat gametosida). (Arsin,
2012)

29
Memberantas nyamuk sebagai vektor malaria
Memberantas nyamuk dapat dilakukan dengan menghilangkan
tempat-tempat perindukan nyamuk, membunuh larva atau jentik dan
membunuh nyamuk dewasa. Pengendalian tempat perindukan dapat
dilakukan dengan menyingkirkan tumbuhan air yang menghalangi aliran
air, melancarkan aliran saluran air dan menimbun lubang-lubang yang
mengandung air. (Arsin, 2012)
Jentik nyamuk diberantas dengan menggunakan solar atau oli yang
dituangkan ke air, memakai insektisida, memelihara ikan pemangsa jentik
nyamuk (ikan kepala timah atau Gambusia affinis), memelihara Crustacea
kecil pemangsa jentik (genus Mesocyclops) atau memanfaatkan bakteri
Bacillus thuringiensis yang menginfeksi dan membunuh jentik
nyamuk.Untuk negara-negara berkembang, telah ditemukan teknologi
sederhana untuk mengembangbiakkan bakteri di atas dengan memakai air
kelapa sebagai media kulturnya. (Arsin, 2012)
Nyamuk dewasa dapat diberantas dengan menggunakan insektisida,
biasanya dengan cara disemprotkan. Peran DDT sekarang diganti oleh
insektisida sintetis dari golongan kimia lain, yang masih efektif. Akhir-
akhir ini telah dikembangkan teknik genetika untuk mensterilkan nyamuk
Anopheles dewasa. (Arsin, 2012)
Melindungi orang yang rentan dan berisiko terinfeksimalaria
Secara prinsip upaya ini dikerjakan dengan cara sebagai berikut:
mencegah gigitan nyamuk, memberikan obat-obat untuk mencegah
penularan malaria, memberi vaksinasi (belum diterapkan secara luas
danmasih dalam tahap riset atau percobaan di lapangan). (Arsin, 2012)
1.11.1. Jenis Intervensi Pengendalian Vektor
Jenis intervensi pengendalian vektor malaria yang dapat
dilakukan berdasarkan hasil analisis situasi adalah melakukan
penyemprotan rumah dengan insektisida (IRS = Indoor Residual
Spraying), memakai kelambu, melakukan larviciding, melakukan
penebaran ikan pemakan larva, dan pengelolaan lingkungan.
(Depertemen Kesehatan RI, 2014)

30
(IRS = Indoor Residual Spraying)
Penyemprotan rumah dengan insektisida adalah suatu cara
pengendalian vektor dengan menempelkan racun serangga dengan
dosis tertentu secara merata pada permukaan dinding yang
disemprot. Tujuannya adalah memutus rantai penularan dengan
memperpendek Usia populasi, sehingga nyamuk yang muncul
adalah populasi nyamuk muda atau belum infektif (belum
menghasilkan sporozoit di dalam kelenjar ludahnya).IRS
dilakukan di wilayah endemis tinggi, wilayah yang terjadi
peningkatan kasus dan KLB. Dalam pelaksanaannya harus
memperhatikan waktu pelaksanaan berdasarkan data kasus
malaria yaitu 2 bulan sebelum puncak kasus atau data pengamatan
vektor, atau 1 bulan sebelum puncak kepadatan vektor.
Monitoring dan evaluasi dilakukan terhadap cakupan bangunan
harus mencapai minimal 80% dari jumlah rumah di desa tersebut,
sedangkan cakupan permukaan yang disemprot minimal 90% dari
semua bagian rumah yang seharusnya disemprot.Evaluasi
entomologi dilakukan untuk mengetahui resistensi dan efektifitas
insektisida yang digunakan dalam program pengendalian malaria.
(Depertemen Kesehatan RI, 2014)
Memakai Kelambu
Memakai kelambu berguna untuk mencegah terjadinya
penularan (kontak langsung manusia dengan nyamuk) dan
membunuh nyamuk yang hinggap pada kelambu.Saat ini upaya
pengendalian malaria menggunakan kelambu berinsektisida
(Long Lasting Insecticidal Nets/LLINs) yang Usia residu
efektifnya relatif lama yaitu lebih dari 3 tahun. Distribusi kelambu
dilakukan pada semua penduduk terutama di daerah endemis
tinggi.Selain itu perlu juga dilindungi kelompok masyarakat yang
berada sementara di daerah risiko penularan (tentara, pekerja
musiman, mahasiswa, peneliti, dan lain-lain).Hal-hal yang perlu
diperhatikan dalam rangka meningkatkan efektifitas penggunaan

31
kelambu adalah kesadaran dan kemauan masyarakat dalam
pemakaian kelambu. (Depertemen Kesehatan RI, 2014)
Selain itu perlu dipertimbangkan kebiasaan nyamuk
menggigit dan istirahat di dalam rumah (endofilik dan endofagik)
serta kebiasaan tidur masyarakat lebih cepat dari puncak aktifitas
gigitan nyamuk. Monitoring dan evaluasi dilakukan terhadap
rumah tangga atau keluarga yang mendapat kelambu dengan
cakupan lebih dari 90%. Evaluasi entomologi dilakukan untuk
mengetahui lamanya efektifitas kelambu berinsektisida.
(Depertemen Kesehatan RI, 2014)
Melakukan Larviciding
Kegiatan ini dilakukan antara lain dengan menggunakan
jasad renik yang bersifat patogen terhadap larva nyamuk sebagai
biosida seperti: Bacillus thuringiensis subsp. israelensis (Bti) dan
larvisida Insect Growth Regulator (IGR). (Depertemen Kesehatan
RI, 2014)
1. Melakukan larviciding dengan Bti
Mekanisme infeksi Bti terhadap jentik (larva) nyamuk
adalah setelah larva memakan atau menelan kristal
endotoksin Bti, maka kristal tersebut akan mengikatkan diri
pada reseptor yaitu dinding usus larva nyamuk. Kristal
endotoksin akan larut pada cairan usus yang bersifat alkali
(basa), sehingga mengakibatkan sel epitel usus rusak dan
larva berhenti makan, lalu mati. (Depertemen Kesehatan RI,
2014)
Sasarannya adalah larva nyamuk yang masih aktif makan
(terutama larva stadium/instar satu dan dua) di tempat
perindukan yang luas dan bersifat permanen.Waktu aplikasi
dengan interval setiap 2 minggu atau bulanan sesuai dengan
formulasinya. Jumlah aplikasi tergantung pada lamanya
genangan air yang potensial menjadi tempat perindukan.
Untuk meningkatkan efisiensi sebaiknya dilakukan pada saat

32
luas tempat perindukan minimal (kemarau). (Depertemen
Kesehatan RI, 2014)
2. Melakukan larviciding dengan Larvisida Insect Growth
Regulator (IGR)
IGR adalah zat pengatur tumbuh serangga yang
merupakan kelompok senyawa-senyawa antara lain
Metoprene dan Piriproksifen yang dapat mengganggu proses
perkembangan dan pertumbuhan larva secara normal yaitu
terjadi perpanjangan stadia larva, larva gagal menjadi pupa
atau kalau menjadi dewasa akan mandul. Waktu aplikasi
sangat cocok pada awal musim hujan atau pada saat populasi
larva masih sedikit untuk mencegah meningkatnya populasi
serangga. Larvisida ini dapat disebarkan pada genangan air,
rawa, kolam/tambak yang tidak terurus, dan lain-lain.
Monitoring dan evaluasi dilakukan terhadap jumlah tempat
perindukan potensial yang dilakukan larviciding dengan
cakupan 100%. (Depertemen Kesehatan RI, 2014)
Melakukan penebaran ikan pemakan larva
Penebaran ikan termasuk dalam upaya pengendalian larva
secara biologi yang menggunakan predator/pemangsa larva
nyamuk seperti: ikan kepala timah, ikan guppy. Jenis ikan lainnya
dapat dipakai sebagai mina padi di persawahan seperti: ikan
mujair, ikan nila yang mempunyai nilai ekonomis. (Depertemen
Kesehatan RI, 2014)
Pengendalian vektor jenis ini merupakan kegiatan yang
ramah lingkungan. Monitoring dan evaluasi dilakukan terhadap
jumlah tempat perindukan potensial yang dilakukan penebaran
ikan pemakan larva dengan cakupan 100%. (Depertemen
Kesehatan RI, 2014)
Mengelola lingkungan (Pengendalian secara fisik)

33
Mengelola lingkungan dapat dilakukan dengan cara
modifikasi dan manipulasi lingkungan untuk pengendalian larva
nyamuk: (Depertemen Kesehatan RI, 2014)
 Modifikasi lingkungan yaitu mengubah fisik lingkungan
secara permanen bertujuan mencegah, menghilangkan atau
mengurangi tempat perindukan nyamuk dengan cara
penimbunan, pengeringan, pembuatan tanggul, dan lain-lain.
 Manipulasi lingkungan yaitu mengubah lingkungan bersifat
sementara sehingga tidak menguntungkan bagi vektor untuk
berkembang biak seperti: pembersihan tanaman air yang
mengapung (ganggang dan lumut) di lagun, pengubahan
kadar garam, pengaturan pengairan sawah secara berkala, dan
lain-lain.
1.1.2. Upaya Pencegahan
Upaya pencegahan agar terhindar dari penularan malaria,
antara lain: (Depertemen Kesehatan RI, 2014)
Penggunaan kelambu biasa
Sejak zaman dahulu sebelum ada bahan anti nyamuk,
masyarakat sering menggunakan kelambu saat tidur untuk
melindungi diri dari gigitan nyamuk sehingga dapat mencegah
penularan malaria. Kelambu ini berfungsi untuk menghindari
nyamuk yang infektif menggigit orang sehat dan menghindari
nyamuk yang sehat menggigit orang sakit. (Depertemen Kesehatan
RI, 2014)
Penggunaan insektisida rumah tangga
Insektisida rumah tangga adalah produk anti nyamuk yang
banyak dipakai masyarakat untuk mengusir atau menghidar dari
gigitan. Formulasi MC dibuat dengan caramencampurkan bahan
aktif, yang umumnya adalah piretroid (knockdown agent), dengan
bahan pembawa seperti tepung, tempurung kelapa, tepung kayu,
tepung lengket dan bahan lainnya seperti pewangi, anti jamur dan
bahan pewarna. Berbagai variasi pemasaran telah berkembang pada

34
formulasi ini mulai warna yang bermacam-macam (biasanya hanya
hijau), bentuknya yang tidak selalu melingkar, dan berbagai jenis
bahan pewangi untuk menarik pembeli.Selain itu dapat
menggunakan anti nyamuk semprot (Aerosol).Aerosol adalah
formulasi siap pakai yang paling diminati di lingkungan rumah
tangga setelah formulasi MC dan liquid (AL).Untuk menghasilkan
formulasi ini dilakukan dengan melarutkan bahan aktif dengan
pelarut organik dan dimasukkan ke dalam kaleng aerosol dan
selanjutnya diisi gas sebagai tenaga pendorong (propelan) untuk
menghasilkan droplet halus melalui nosel. (Depertemen Kesehatan
RI, 2014)
Pemasangan kawat kasa
Upaya mencegah nyamuk masuk ke dalam rumah dengan
memasang kawat kasa pada pintu dan jendela.Dapat menggunakan
kasa dengan pelekat karet di sekelilingnya yang dilekatkan pada
alat khusus yang dipasang di kusen, baik pintu maupun jendela.
(Depertemen Kesehatan RI, 2014)
Penggunaan repelan
Repelen merupakan bahan aktif yang mempunyai kemampuan
untuk menolak serangga (nyamuk) mendekati manusia, mencegah
terjadinya kontak langsung nyamuk dan manusia, sehingga
manusia terhindar dari penularan penyakit akibat gigitan nyamuk.
Bahan repelen dapat langsung diaplikasikan ke kulit, pakaian atau
permukaan lainnya untuk mencegah atau melindungi diri dari
gigitan nyamuk.Repelen berbentuk lotion dianggap praktis karena
dapat digunakan pada kegiatan di luar rumah (outdoor). Repelen
dikatakan baik apabila: (Depertemen Kesehatan RI, 2014)
 Nyaman digunakan di kulit tubuh, tidak menyebabkan iritasi,
tidak menimbulkan rasa panas atau terasa lengket di kulit
 Melindungi kulit lebih lama karena bahan aktifnya terurai
secara perlahan

35
 Praktis atau mudah digunakan saat kegiatan di dalam maupun
di luar rumah
 Berbahan dasar alami, aman dan bebas racun, ramah
lingkungan dan tidak menimbulkan efek samping
 Dibuat dari bahan yang berkualitas baik.
Penutup badan
Apabila melakukan kegiatan di luar rumah malam hari
terutama di daerah endemis malaria (memancing, ronda malam,
berkemah, masuk hutan) perlu perlindungan diri dari gigitan
nyamuk dengan repelan atau memakai baju lengan panjang dan
celana panjang. Penggunaan pakaian penutup badan ini sangat
membantu dalam mencegah gigitan nyamuk sehingga dapat
terhindar dari penularan penyakit. (Depertemen Kesehatan RI,
2014)
Pengendalian vektor malaria akan memberikan hasil optimal
apabila pelaksanaannya berdasarkan data dan informasi yang
akurat tentang vektor (bionomik atau perilaku vektor), lingkungan
perkembangbiakannya serta perilaku masyarakat setempat.
Berkenaan dengan hal tersebut, maka aplikasi pengendalian vektor
perlu mempertimbangkan aspek REESAA, yakni: Rational,
dilakukan berdasarkan data (evidence based); Efektif, memberi
dampak terbaik karena ada kesesuaian antara metoda yang dipilih
dengan perilaku vektor sasaran. Efisien, dengan metoda tersebut
biaya operasional paling murah. Sustainable, kegiatan harus
berkesinambungan sampai mencapai tingkat penularan rendah.
Acceptable, dapat diterima dan didukung masyarakat, serta
Affordable, mampu dilaksanakan pada lokasi terjangkau.
(Depertemen Kesehatan RI, 2014)

36
BAB III
METODE PENELITIAN

1.1. JENIS PENELITIAN


Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif dengan
menggunakan pengumpulan data secara retrospektif.

1.2. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN


1.2.1. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Kotaraja Jayapura.
1.2.2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari sampai Maret 2017.

1.3. POPULASI DAN SAMPEL


1.3.1. Populasi
Populasi penelitian yang diambil yaitu seluruh masyarakat di
wilayah kerja Puskesmas Kotaraja yang datang untuk
mendapatkan pengobatan malaria di Puskesmas Kotaraja selama
periode Bulan Januari 2017 hingga Bulan Maret 2017 dengan
jumlah populasi 758 orang.
1.3.2. Sampel
Sampel penelitian adalah total populasi dari seluruh masyarakat
yang datang untuk mendapatkan pengobatan malaria di
Puskesmas Kotaraja yaitu 758 orang, dimana 356 orang berasal
dari Kelurahan Wahno, 293 orang berasal dari Kelurahan Vim,
dan 109 orang berasal dari Kelurahan Wai Mhorok.

1.4. VARIABEL PENELITIAN


Variabel dalam penelitian ini adalah gambaran karakteristik pada
penderita malaria berdasarkan :
1. Lokasi Tempat Tinggal Pasien (Kelurahan)
2. Jenis Kelamin

37
3. Usia
4. Jenis Kelamin
5. Jenis Parasit
6. Cara Pemeriksaan Darah

1.5. DEFINISI OPERASIONAL


 Kelurahan yang termasuk dalam wilayah kerja Puskesmas KOtaraja
adalah Kelurahan Wahno, Kelurahan Vim dan Kelurahan Wai
Mhorok
 Usia adalah selisih antara tanggal pengambilan spesimen darah
dengan tanggal lahir responden. Dalam hal ini, usia pasien penderita
malaria dalam penelitian ini dibagi menjadi enam kelompok usia,
yaitu :
1. Kelompok Usia 0 – 11 bulan
2. Kelompok Usia 1 – 4 tahun
3. Kelompok Usia 5 – 9 tahun
4. Kelompok Usia 10 – 14 tahun
5. Kelompok Usia 15 – 59 tahun
6. Kelompok Usia ≥60 tahun
 Jenis kelamin adalah jenis kelamin responden (laki-laki dan
perempuan) yang datang ke Puskesmas Kotaraja untuk memeriksa
keberadaan parasit penyebab malaria di dalam darah.
 Jenis parasit adalah parasit Plasmodium yang ditularkan melalui
gigitan nyamuk malaria (Anopheles). Ada empat jenis parasit dan satu
kondisi malaria campuran (disebabkan oleh karena Plasmodium
falciparum dengan Plasmodium vivax atau dengan Plasmodium ovale)
yang ditemukan berdasarkan hasil pemeriksaan darah adalah:
1. Plasmodium falciparum
2. Plasmodium vivax
3. Plasmodium malariae
4. Plasmodium ovale
5. Mixed – malaria

38
 Cara pemeriksaan darah merupakan metode yang dilakukan saat
responden memeriksakan darahnya untuk melihat apakah dalam darah
responden terdapat parasit Plasmodium. Cara pemeriksaan pasien
dilakukan dengan cara:
1. Cara mikroskopik
2. Tes RDT (Rapid Diagnostic Test)

1.6. CARA PENGUMPULAN DATA


Data yang diambil dalam penelitian ini adalah data sekunder periode
Januari – Maret 2017 yang berasal dari data hasil rekam medik yang
terdapat di Puskesmas Kotaraja Jayapura.

1.7. ANALISIS DATA


Penyusunan menggunakan sistem tabulasi dalam pengolahan data
secara kuantitatif dan dianalisa berdasarkan persentase yang kemudian
disajikan dalam bentuk tabel.

39
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

1.1. HASIL PENETILIAN


Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh populasi pada Puskesmas
Kotaraja dari bulan Januari 2018 sampai Juni 2018 dimana populasi yang
datang dan diperiksakan malaria sebanyak 5.139 orang. Dimana pada
Kelurahan Wahno dari 9.293 populasi sebanyak 611 orang menderita
malaria, Kelurahan Vim dari 15.436 populasi sebanyak 430 orang
menderita malaria, Kelurahan Wai Mhorok dari 10.672 populasi sebanyak
168 orang menderita malaria. Berikut ini adalah gambaran sampel yang
diteliti.
Tabel 4.1. Karakteristik Penderita Malaria Puskesmas Kotaraja
Berdasarkan Kelurahan Yang Termasuk Ke Dalam Wilayah Kerja
Puskesmas Kotaraja Periode Januari 2018 – Juni 2018
N Penderita
No Kelurahan %
Malaria
1 Wahno 9.293 611 6.57
2 Vim 15.436 430 2.78
3 Wai Mhorok 10.672 168 1.57
Jumlah 35.401 1209 10.92

40
Karakteristik Penderita Malaria Puskesmas
Kotaraja Berdasarkan Kelurahan Yang
Termasuk Ke Dalam Wilayah Kerja
Puskesmas Kotaraja Periode Januari 2018
– Juni 2018
700
6,57%
600
500
Penderita Malaria

2,78%
400
300
200 1,57%
100
0
Wahno Vim Wai Mhorok

Series 2

Berdasarkan table 4.1. terlihat bahwa penderita malaria yang paling


banyak di wilayah kerja Puskesmas Kotaraja yaitu kelurahan Wahno yaitu
sebanyak 611 atau 6.57%, sedangkan kelurahan Vim sebanyak 430 orang
atau 2.78%, dan kelurahan Wai Mhorok sebanyak 168 orang atau 1.57%.

Tabel 4.2. Karakteristik Penderita Malaria Puskesmas Kotaraja


Berdasarkan Jenis Kelamin Periode Januari 2018 – Juni 2018.
No Jenis Kelamin Menderita Malaria %
1 Laki-Laki 772 15,08
2 Perempuan 439 8,57
Jumlah 1211 23,65

Karakteristik Penderita Malaria Puskesmas


Kotaraja Berdasarkan Jenis Kelamin Periode
Januari 2018 – Juni 2018.

15,08%

8,57%

Laki-laki Perempuan

Dari 5.139 populasi yang datang dan dilakukan pemeriksaan malaria


didapatkan 1.211 menderita malaria, dimana pada jenis kelamin laki – laki

41
sebanyak 772 orang atau 15,08% dan wanita 439 orang atau 8,57%,
sisanya dinyatakan negative menderita malaria.

Tabel 4.3. Distribusi Penderita Malaria Berdasarkan Jenis Kelamin di


Kelurahan Wilayah Kerja Puskesmas Kotaraja Periode Januari 2018 –
Juni 2018.
Wahno Vim Wai Mhorok
No Jenis Kelamin
N % N % N %
1 Laki-Laki 343 6.70 283 5.52 146 2.85
2 Perempuan 205 4.00 173 3.37 61 1,19
Jumlah 548 10.7 456 8.89 207 4.04

Distribusi Penderita Malaria Berdasarkan Jenis


Kelamin di Kelurahan Wilayah Kerja Puskesmas
Kotaraja Periode Januari 2018 – Juni 2018.
400
343
350
300 283
Jumlah Penderita

250
205
200 173
146
150
100 61
50
0
Laki-Laki Perempuan
Kelompok Usia

Wahno Vim Wai Mhorok

Berdasarkan tabel 4.2. terlihat bahwa dari 5.139 populasi penderita


malaria di setiap kelurahan paling banyak adalah yang berjenis kelamin
laki – laki, dimana pada tabel 4.3 di peroleh data pada kelurahan Wahno
sebanyak 548 orang atau 6.70%, di kelurahan Vim sebanyak 456 orang
atau 5.52%, dan di kelurahan Wai Mhorok sebanyak 207 orang atau
2.85%.

Tabel 4.4. Karakteristik Penderita Malaria Puskesmas Kotaraja


Berdasarkan Usia Periode Januari 2018 – Juni 2018

42
No Kelompok Usia N %
1 0 – 11 bulan 9 0,74
2 1 – 4 tahun 104 8.58
3 5 – 9 tahun 110 9.08
4 10 – 14 tahun 71 5.86
5 15 – 59 tahun 908 74.97
6 Ibu Hamil 9 0.74
Jumlah 1.211 100

Karakteristik Penderita Malaria Puskesmas Kotaraja


Berdasarkan Usia Periode Januari 2018 – Juni 2018
1000
908
900
800
700
Jumlah Penderita

600
500
400
300
200
104 110
100 71
9 9
0
0 – 11 bulan 1 – 4 tahun 5 – 9 tahun 10 – 14 tahun 15 – 59 tahun Ibu Hamil

Kelompok Usia

Series 1

Berdasarkan tabel 4.4. terlihat bahwa penderita malaria yang paling


banyak di Puskesmas Kotaraja yaitu penderita yang berusia 15 – 59 tahun
sebanyak 908 orang atau 74.97%, sedangkan penderita paling sedikit yaitu
penderita yang berusia 0 – 11 bulan dan Ibu Hamil sebanyak 9 orang atau
0.74%.

Tabel 4.5. Distribusi Penderita Malaria Berdasarkan Kelompok Usia di


Kelurahan Wilayah Kerja Puskesmas Kotaraja Periode Januari 2018 – Juni
2018
No Kelompok Usia Wahno Vim Wai Mhorok

43
N % N % N %
1 0 – 11 bulan 6 0.98 2 0.46 1 0.62
2 1 – 4 tahun 46 7.56 42 9.69 11 6.87
3 5 – 9 tahun 60 9.86 36 8.31 8 5
4 10 – 14 tahun 34 5.59 37 8.54 1 0.62
5 15 – 59 tahun 455 74.83 314 72.51 139 86.87
6 Ibu Hamil 7 1.15 2 0.46 0 0
Jumlah 608 99.97 433 99.97 160 99.98

Distribusi Penderita Malaria Berdasarkan Kelompok Usia di Ke-


lurahan Wilayah Kerja Puskesmas Kotaraja Periode Januari
2018 – Juni 2018
500
455
450
400
350 314
Jumlah Penderita

300
250
200
150 139
100 60
46 42 36 34 37
50 6 11 8 7
2 1 1 2 0
0
0 – 11 bulan 1 – 4 tahun 5 – 9 tahun 10 – 14 tahun 15 – 59 tahun Ibu Hamil
Kelompok Usia

Wahno Vim Wai Mhorok

Berdasarkan tabel 4.5.terlihat bahwa penderita malaria di setiap


kelurahan paling banyak adalah yang berusia 15 – 59 tahun yaitu, di
kelurahan Wahno sebanyak 455 orang atau 74.83%, di kelurahan Vim
sebanyak 314 orang atau 72.51%, dan di kelurahan Wai Mhorok sebanyak
139 orang atau 86.87%.

Tabel 4.6. Karakteristik Penderita Malaria Puskesmas Kotaraja


Berdasarkan Cara Pemeriksaan Periode Januari 2018 – Juni 2018
No Cara Pemeriksaan N %
1 Mikroskopis 4.668 90.83

44
2 RDT 471 9.16
Jumlah 5.139 99.99

RDT 471

Mikroskopis 4668

0 500 1,000 1,500 2,000 2,500 3,000 3,500 4,000 4,500 5,000

Berdasarkan tabel 4.6. terlihat bahwa penderita malaria yang paling


banyak di Puskesmas Kotaraja yaitu penderita yang diperiksa dengan
menggunakan mikroskopis sebanyak 4.668 orang atau 90,83%, sedangkan
penderita yang diperiksa dengan menggunakan mikroskopis sebanyak 471
orang atau 9.16%.

Tabel 4.7. Distribusi Penderita Malaria Berdasarkan Cara Pemeriksaan di


Kelurahan Wilayah Kerja Puskesmas Kotaraja
Cara Wahno Vim Wai Mhorok
No
Pemeriksaan N % N % N %
1 Mikroskopis 2.022 93.48 1.740 92.94 906 82.06
2 RDT 141 6.51 132 7.05 198 17.93
Jumlah 2.163 99.99 1.872 99.99 1.104 99.99

45
Distribusi Penderita Malaria Berdasarkan Cara
Pemeriksaan di Kelurahan Wilayah Kerja
Puskesmas Kotaraja
Mikroskopis RDT
2,500

2,000 141
132
1,500
Jumlah

1,000 2,022 198


1,740
500 906

0
Wahno Vim Wai Mhorok
Kelurahan

Berdasarkan tabel 4.7.terlihat bahwa penderita malaria di setiap


kelurahan paling banyak adalah penderita yang diperiksa dengan
menggunakan mikroskopis yaitu, di kelurahan Wahno sebanyak 2.022
orang atau 99.99%, di kelurahan Vim sebanyak 1.740 orang atau 99.99%,
dan di kelurahan Wai Mhorok sebanyak 906 orang atau 99.99%.

Tabel 4.8. Karakteristik Penderita Malaria Puskesmas Kotaraja


Berdasarkan Jenis Plasmodium Periode Januari – Juni 2018
No Jenis Plasmodium N %
1 Plasmodium falcifarum 628 51.85
2 Plasmodium vivax 533 44.01
3 Plasmodium malariae 12 1
4 Plasmodium ovale 0 0
5 Mixed 38 3.13
Jumlah 1211 100

46
Karakteristik Penderita Malaria Puskesmas Kotaraja
Berdasarkan Jenis Plasmodium Periode Januari – Juni
2018
12
38

533 628

Plasmodium falcifarum Plasmodium vivax Plasmodium malariae


Plasmodium ovale Mixed

Berdasarkan tabel 4.8. terlihat bahwa penderita malaria yang paling


banyak di Puskesmas Kotaraja yaitu penderita dengan jenis Plasmodium
falcifarum sebanyak 628 orang atau 51.85%, sedangkan penderita yang
berdasarkan jenis Plasmodium ovale sebanyak 0 orang atau 0%.
Berdasarkan tabel 4.9. terlihat bahwa penderita malaria di setiap
kelurahan paling banyak adalah penderita dengan jenis plasmodium
falcifarum yaitu, di kelurahan Wahno sebanyak 340 orang atau 55.65%, di
kelurahan Vim sebanyak 219 orang atau 50.93%, dan di kelurahan Wai
Mhorok sebanyak 62 orang atau 40.58%.

Tabel 4.9. Distribusi Penderita Malaria Berdasarkan Jenis Plasmodium di


Kelurahan Wilayah Kerja Puskesmas Kotaraja Periode Januari – Juni 2018
Jenis Wahno Vim Wai Mhorok
No
Plasmodium N % N % N %
Plasmodium
1 340 55.65 219 50.93 62 40.58
falcifarum
Plasmodium
2 242 39.60 202 46.97 89 52.35
vivax
3 Plasmodium 0 0 0 0 0 0

47
ovale
Plasmodium
4 8 1.30 2 0.46 2 1.17
malariae
5 Mixed 21 3.43 7 1.62 10 5.88
Jumlah 356 100 293 100 109 100

Distribusi Penderita Malaria Berdasarkan Jenis Plas-


modium di Kelurahan Wilayah Kerja Puskesmas Kotaraja
Periode Januari – Juni 2018

340
350
242
300
202
250 219
N

21 10
200 7
8 2 89 2 Mixed
150
0 0 69 0
100 Plasmodium ovale
50
Plasmodium falcifarum
0
Wahno Vim Wai Mhorok

Kelurahan

Plasmodium falcifarum Plasmodium vivax Plasmodium ovale


Plasmodium malariae Mixed

1.2. PEMBAHASAN
1.2.1. Berdasarkan Lokasi Tempat Tinggal Pasien (Kelurahan)
Dari hasil data di atas menunjukkan bahwa penderita malaria
yang paling banyak di wilayah kerja Puskesmas Kotaraja yaitu
kelurahan Wahno dengan persentase 65% dari total populasi yang
dilayani puskesmas kotaraja, dibandingkan kelurahan Vim dan
kelurahan Wai Mhorok.
Munculnya penyakit malaria disebabkan oleh berbagai faktor
yang menunjang vektor nyamuk Anopheles sp. bisa tetap bertahan

48
karena penyesuaian terhadap lingkungan yang ada, sehingga faktor
yang pertama adalah lingkungan, kemudian invidu.Lingkungan
adalah lingkungan manusia dan nyamuk berada. Nyamuk
berkembang biak dengan baik bila lingkungannya sesuai dengan
keadaan yang dibutuhkan oleh nyamuk untuk berkembang biak.
Keberadaan banyaknya genangan air dikarenakan curah hujan
yang relatif tinggi atau adanya hujan setiap bulan serta keberadaan
parit atau selokan yang tidak mendukung sistem drainase air yang
baik, memungkinkan tersedianya tempat perkembangbiakan vektor
nyamuk Anopheles sp.
Keadaan alam di kelurahan Wahno banyak terdapat
pepohonan. Vektor nyamuk Anopheles sp. yang tumbuh dewasa
digenangan air akan singgah dan beristirahat di tempat – tempat
yang rimbun seperti hutan, semak – semak, dan sebagainya.
Hal penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Rubianti (2009) dimana faktor lingkungan meliputi adanya
tempat perkembangbiakan nyamuk dan peristirahatan nyamuk di
sekitar rumah terbukti sebagai faktor risiko terhadap kejadian
malaria.

1.2.2. Berdasarkan Jenis Kelamin


Dari hasil data di atas menunjukkan bahwa penderita malaria
yang paling banyak di Puskesmas Kotaraja yaitu penderita yang
berjenis kelamin laki – laki, yaitu dari 5.139 populasi yang datang
dan dilakukan pemeriksaan malaria didapatkan 1.211 menderita
malaria, dimana pada jenis kelamin laki – laki sebanyak 772 orang
atau 15,08% dan wanita 439 orang atau 8,57%, sisanya dinyatakan
negative menderita malaria.
Hasil penelitian ini sejalan dengan beberapa hasil penelitian
yang dilakukan oleh Junaidi dkk (2015) dan Solikah (2009) yang
menemukan bahwa penderita malaria berjenis kelamin laki-laki
lebih banyak dibandingkan penderita malaria berjenis kelamin

49
perempuan. Namun, penelitian lain juga menunjukkan bahwa
pasien berjenis kelamin perempuan yang menderita malaria lebih
banyak dari laki-laki pada kondisi tertentu (Rubianti dkk, 2009 dan
Gusra dkk, 2014).
Tingginya persentase penderita malaria berjenis kelamin laki-
laki diduga karena perilaku kesehatan yang kurang baik, yakni
kebiasaan beraktivitas diluar rumah pada malam hari (Solikah, dkk
2009; Rubianti dkk 2009).Selanjutnya Solikah (2009) mengatakan
bahwa fakta ini menunjukkan bahwa pola distribusi malaria, salah
satunya dipengaruhi oleh faktor pekerjaan.Sebaliknya, tingginya
persentase penderita malaria berjenis kelamin perempuan yang
dijumpai, disebabkan karena pasien perempuan lebih rajin
memeriksakan diri ke puskesmas, ataupun karena jumlah penduduk
perempuan yang lebih dominan dibanding jumlah penduduk laki-
laki (Gusra dkk, 2014). Sedangkan dalam kasus penelitian
sebelumnya,rendahnya penderita malaria berjenis kelamin laki-laki,
disebabkan karena pada daerah penelitian (Bima, NTT) kaum pria
tidak mempunyai kebiasaan keluar malam (Rubianti dkk, 2009).
1.2.3. Berdasarkan Usia
Dari hasil data di atas menunjukkan bahwa penderita malaria
yang paling banyak di Puskesmas Kotaraja yaitu penderita yang
berusia 15 – 59 tahun, dimana di kelurahan Wahno terdapat
sebanyak 455 orang atau 74.83%, di kelurahan Vim sebanyak 314
orang atau 72.51%, dan di kelurahan Wai Mhorok sebanyak 139
orang atau 86.87%. Tingginya persentase penderita pada kelompok
umur produktif diduga karena aktivitas pasien sehari-hari misalnya
berada di luar rumah untuk bersekolah maupun pekerjaan lain yang
berlokasi di luar rumah.
Hasil ini didukung oleh penelitian – penelitian yang dilakukan
oleh Gusra (2014), Rubianti dkk (2009), Solikha (2009) yang
menemukan juga bahwa penderita malaria banyak pada orang-
orang berusia produktif. Menurut peneliti-peneliti tersebut,

50
penyebabnya adalah karena pada kelompok ini, terutama orang
dewasa lebih aktif diluar rumah karena faktor pekerjaan dan juga
seringnya bermigrasi dalam bekerja.Selanjutnya dikatakan bahwa
orang dewasa karena keaktifannya diluar rumah lebih rentan dan
lebih banyak terserang malaria melalui gigitan nyamuk Anopheles
dibanding anak-anak.
1.2.4. Berdasarkan Cara Pemeriksaan
Dari hasil data di atas menunjukkan bahwa penderita malaria
yang paling banyak di Puskesmas Kotaraja yaitu penderita yang
diperiksa dengan menggunakan mikroskopis sebanyak 4.668 orang
atau 90,83%, sedangkan penderita yang diperiksa dengan
menggunakan RDT sebanyak 471 orang atau 9.16%. Diagnosis dan
terapi malaria berdasarkan klinis saja kurang dipercaya dan
sebaiknya didukung oleh hasil tes laboratorium. Pemeriksaan
mikroskop hapusan darah masih menjadi baku emas untuk
diagnosis malaria. Pemeriksaan hapusan darah dengan cara
mikroskopik akan memberikan informasi tentang ada tidaknya
parasit malaria, menentukan spesiesnya, stadium plasmodium dan
kepadatan parasitemia. Pemeriksaan RDT memiliki beberapa
kekurangan, diantaranya hasil positif palsu dan negatif palsu pada
beberapa kasus.
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Daysema dkk (2015) dimana pemeriksaan
mikroskopis masih menjadi pilihan utama dan merupakan standar
baku diagnosis malaria yang efektif, serta kelebihan pemeriksaan
mikroskopis ialah dapat menghitung jumlah kepadatan parasit dan
dapat melihat bentuk parasit yang utuh dan morfologinya sempurna
serta dapat menentukan jenis plasmodium, stadium plasmodium,
dan kepadatan parasit.
1.2.5. Berdasarkan Jenis Plasmodium
Dari hasil data di atas menunjukkan bahwa penderita malaria
yang paling banyak di Puskesmas Kotaraja yaitu penderita dengan

51
jenis Plasmodium falcifarum sebanyak 436 orang atau 57.52%,
sedangkan penderita yang berdasarkan jenis Plasmodium ovale
sebanyak 0 orang atau 0%.Terlihat bahwa penderita malaria di
setiap kelurahan paling banyak adalah penderita dengan jenis
plasmodium falcifarum yaitu, di kelurahan Wahno sebanyak 205
orang atau 57.58%, di kelurahan Vim sebanyak 169 orang atau
57.68%, dan di kelurahan Wai Mhorok sebanyak 62 orang atau
56.88%.Tingginya persentase Plasmodium falciparum dan
Plasmodium vivax di Puskesmas Kotaraja sebagai penyebab
penyakit malaria disebabkan karena berbagai hal, diduga
disebabkan karena kondisi atau geografis wilayah Jayapura dan
wilayah lainnya di Papua yang mendukung berkembang biaknya
populasi nyamuk Anopheles sebagai vektor. Keadaan ini sejalan
dengan hasil penelitian oleh Gusra (2014) yang menemukan bahwa
di wilayah Pesisir Selatan Sumatera Barat, penderita malaria
didominasi oleh Plasmodiumfalciparum dan Plasmodium
vivax.Serta sejalan dengan temuan Solikha (2009) yang
menyatakan bahwa penyebab malaria di wilayah Kulon Progo
didominasi oleh Plasmodium falciparum dan Plasmodium vivax.
Namun secara umum dapat dikatakan bahwa jenis Plasmodium
falciparum dan Plasmodium vivax merupakan Plasmodium
penyebab malaria yang banyak di derita di seluruh Indonesia,
sedang penderita malaria yang disebabkan oleh Plasmodium
malariae dan Plasmodium ovale merupakan kasus yang sangat
jarang.

1.2.6. Upaya pencegahan yang dapat dilakukan di PKM Kota Raja


a. Intervensi Perilaku
Perilaku pencegahan malaria dapat terlihat dari penggunaan
repellent, anti nyamuk atau kelambu berinsektisida serta perilaku
pengendalian tempat perindukan nyamuk. Sementara itu, perilaku
mencari bantuan dalam penanganan kasus malaria terlihat dari

52
tindakan apa yang akan dilakukan pada saat muncul gejala dan
tanda penyakit malaria pada dirinya atau anggota keluarganya.
Begitu pula dengan perilaku tenaga kesehatan yang terlihat dari
kualitas pelayanan serta tersedianya alat diagnosis dan obat
malaria.
Intervensi terhadap perilaku sangat penting guna menyadarkan
masyarakat tentang pentingnya penerapan pola hidup bersih dan
sehat. Misalnya kesadaran untuk melakukan kegiatan peduli
lingkungan (penimbunan, pengeringan dan pembersihan genangan
air) untuk membatasi breeding places vektor penyebab malaria
b. Intervensi lingkungan
Intervensi lingkungan yang dapat dilakukan dalam
menanggulangi penyakit malaria yakni melalui upaya
pengendalian vektor meliputi:
Tabel 4.10 Pengendalian Vektor

53
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

1.1. KESIMPULAN
1. Dari hasil data yang didapat menunjukkan bahwa penderita malaria di
wilayah kerja Puskesmas Kotaraja paling banyak berada di Kelurahan
Wahno.
2. Dari hasil data yang didapat menunjukkan bahwa penderita malaria di
Puskesmas Kotaraja paling banyak berjenis kelamin laki-laki.
3. Dari hasil data yang didapat menunjukkan bahwa penderita malaria di
Puskesmas Kotaraja paling banyak berusia 15 – 59 tahun.
4. Dari hasil data yang didapat menunjukkan bahwa penderita malaria di
Puskesmas Kotaraja paling banyak dengan menggunakan cara
pemeriksaan mikroskopis.
5. Dari hasil data yang didapat menunjukkan bahwa penderita malaria di
Puskesmas Kotaraja paling banyak dengan jenis Plasmodium
falciparum.
6. Upaya pencegahan yang dapat dilakukan di PKM Kotaraja meliputi
intervensi perilaku dan pengendalian vektor malaria.
1.2. SARAN
1. Perlu dilakukan penelitian atau pengamatan mengenai pengetahuan
sikap, perilaku dan persepsi masyarakat di wilayah kerja Puskesmas
Kotaraja mengenai malaria serta cara pencegahannya
2. Perlu perhatian dan pendataan secara khusus terhadap kejadian
malaria pada ibu hamil dalam wilayah kerja Puskesmas Kotaraja
3. Perlu dibuat peta sebaran malaria pada tingkat Kecamatan Abepura

54
DAFTAR PUSTAKA

Anonimous.(2016). Malaria. Pusat Data Dan Informasi KementerianKesehatan


RI. www.depkes.go.id , diunduh pada 23 April 2017.
Arsin, A. A. (2012).Malaria Di Indonesia. Makassar: Masagena Press.
Daysema, S.D., Warouw, S.M., Rompis, J. (2016). Gambaran Prevalensi Malaria
pada Anak SD YAPIS 2 di Desa Maro Kecamatan Merauke Kabupaten
Merauke Papua. Jurnal e-Clinic (eCl), 4 (1): 41-45
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Kesehatan Lingkungan.(2014).
Pedoman Manajemen Malaria. Jakarta: Depertemen Kesehatan RI.
Gunawan, A. (2010). Dalam: Harijanto, P, N., Nugroho., Agung., Ed., Malaria
dari Molekuler Ke Klinis. Jakarta: EGC.
Gusra, T., N. Irawati, D., Sulastri (2014). Gambaran Penyakit Malaria di
Puskesmas Tarusan dan Puskesmas Balai Selasa Kabupaten Pesisir Selatan
Periode Januari – Maret 2013.Jurnal Kesehatan Andalas, 3 (2): 234-237
Hakim, L. (2011). Malaria: Epidemiologi dan Diagnosis. Aspirator, 3 (2).
Junaidi, H., Raharjo, M., Setiani, O. (2015).Analisis Faktor ResikoKejadian
Malaria di Wilayah Kerja Puskesmas Kuala Bhee Kecamatan Woila
Kabupaten Aceh Barat.Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia, 14 (2): 40-
44
Rubianti, I., Wibowo, T., A., Solikhah (2009). Faktor-faktor Resiko Malaria di
Wilayah Kerja Puskesmas Paruga Kota Bima Nusa Tenggara Barat.Jurnal
KESMAS UAD, 3 (17): 174-185.
Solikah (2012). Pola Penyebaran Penyakit Malaria di Kecamatan Kokap
Kabupaten Kulon Progo DIY Tahun 2009. Buletin Penelitian Sistem
Kesehatan 15 (3): 213-221.
WHO (2010)..http://www.cdc.gov/MALARIA/, Diakses pada tanggal 23 Juni
2014

55

Anda mungkin juga menyukai