“MALARIA”
KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
2020
Pengantar
Berdasarkan etimologinya, kata “malaria” berasal dari kata “male” dan “aria” yang
artinya ‘hawa buruk’. Malaria merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh protozoa
genus Plasmodium, yang pada umumnya disebarkan melalui gigitan nyamuk betina dari
spesies Anopheles. Berdasarkan beberapa catatan milik Hippocrates, malaria telah menjadi
penyakit yang mengancam umat manusia selama ribuan tahun. Akan tetapi, di masa
sekarang, obat malaria telah ditemukan, sehingga merendahkan peluang seseorang untuk
terinfeksi. Meskipun begitu, malaria masih dianggap sebagai salah satu penyakit menular
yang sangat berbahaya bagi manusia. Sekitar 200 hingga 500 juta kasus baru dilaporkan tiap
tahunnya di seluruh dunia, dengan jumlah kematian 1 hingga 2,5 juta orang per tahun.
(Crutcher & Hoffman, 1996)
Epidemologi
Genus Plasmodium yang menyebabkan penyakit pada manusia ada 5 jenis, yaitu P.
falciparum, P. vivax, P. ovale, P. malariae, dan P. knowlesi. Secara global, Plasmodium
falciparum dan Plasmodium vivax merupakan plasmodium yang menyebabkan sebagian
besar kasus malaria di dunia. Meskipun Plasmodium falciparum mengakibatkan lebih banyak
kematian, Plasmodium vivax adalah jenis malaria paling banyak tersebar yang menyebabkan
terjadinya infeksi fatal bagi yang terinfeksi, yang berakibat terjadinya peningkatan tingkat
morbiditas dan mortilitas malaria. (Howes et al., 2016; MenkinSmith & Winders, 2019)
Lebih dari satu per tiga populasi dunia, hampir 2,5 milyar orang berisiko terinfeksi
penyakit malaria dari P. vivax. (Howes et al., 2016) P. vivax mampu bertahan di kondisi yang
lebih dingin dibandingkan spesies Plasmodium yang lain, sehingga memberikannya
kemampuan untuk mampu hidup di daerah yang lebih luar, termasuk tropis dan subtropis.
Prevalensi tertinggi berada pada daerah Amerika Latin dan Asia Tenggara. P. vivax memiliki
karakteristik unik yaitu membutuhkan antigen Duffy pada dinding sel agar dapat menyerang
sel darah merah dalam tubuh. (Gunalan et al., 2016)
Menurut WHO, mulai dari tahun 2015 hingga 2019 terjadi peningkatan kasus yang
sangat tinggi di Afrika, dimana wanita hamil dan anak – anak sangat mudah terjangkit
penyakit ini. (World Health Organization, 2019)
Gambar : Data Penyebaran Malaria 2019 Sumber : World Malaria Report 2019, WHO
Adapun di Indonesia sendiri, angka API ( Annual Parasite Incidence ) terus menurun
dari tahun 2011 hingga 2015. Ini dapat berarti bahwa program pengendalian malaria yang
ditetapkan pemerintah telah berjalan dengan baik. Jika dilihat dari segi provinsi, DKI Jakarta
dan Bali memiliki angka API nol yang berarti kedua daerah tersebut telah bebas dari malaria.
Akan tetapi, angka API pada wilayah Indonesia Timur masih tinggi. (Pusat Kementerian
Kesehatan RI, 2016)
Gambar : Data Tren API Malaria Indonesia Tahun 2011 - 2015
Gambar : Data Tren API Malaria Indonesia Tahun 2015 Tingkat Provinsi
Gambar : Peta Endemisitas Malaria di Indonesia Tahun 2015
Pada gambar di atas, terlihat bahwa sebagian besar kasus malaria di Indonesia terjadi
di wilayah Indonesia Timur. Sedangkan, wilayah Kalimantan dan Sulawesi menunjukkan
terjadinya penurunan selama periode 2012 – 2015. (Pusat Kementerian Kesehatan RI, 2016)
Sejak tahun 2010, WHO menyatakan bahwa terjadi peningkatan jumlah kasus,
terutama pada tahun 2015 dan 2017. Jumlah kasus pada tahun 2017 adalah 219 juta kasus,
dibandingkan dengan tahun 2015 yaitu 214 juta dan tahun 2010 yaitu 239 juta. Memang telah
terjadi penurunan jumlah kasus dari tahun 2010, tetapi jumlahnya naik lagi selama periode
2015 hingga 2017. Langkah paling penting dalam membasmi malaria ini adalah dengan
menurunkan jumlah kasus hingga seminimal mungkin ( terutama di Afrika ). Pada tahun
2010 terjadi lebih dari 600 ribu kematian akibat malaria. Angka tersebut menurun seiring
tahun, hingga pada tahun 2017, angka kematian akibat malaria telah menjadi 435.000
kematian secara global. (“WHO | World Malaria Report 2010,” 2014) Selain itu, jumlah
negara yang melawan malaria telah meningkat dari 15 pada tahun 2010 menjadi 26 pada
tahun 2017. (World Health Organization, 2018)
Gambar : Jumlah Kasus yang Dilaporkan per region WHO dari 1990 - 2017
Gambar : Jumlah Kematian Akibat Malaria per region WHO dari 1990 - 2017
Menurut WHO,
Afrika menjadi negara dengan jumlah kasus malaria tertinggi dengan total 200 juta kasus
( 92%) pada tahun 2017, diikuti Asia Tenggara (5%), dan Mediterania Timur (2%). Strategi
teknis yang direncanakan dari 3 tahun yang lalu adalah pada tahun 2020, pemerintah tiap
region telah membasmi malaria di 15 negara endemic malaria pada tahun 2015. (World
Health Organization, 2018)
Transmisi
Dari lebih dari 2500 jenis nyamuk di dunia, hanya 50 hingga 60 sub-spesies yang
berasal dari genus Anopheles yang mampu membawa malaria. Beberapa nyamuk Anopheles
tidak memilih – milih dalam hal makanan, tetapi ada juga yang lebih menyukai hewan dan
manusia sebagai targetnya. Nyamuk Anopheles betina membutuhkan nutrisi dari darah agar
bisa bereproduksi. (Control et al., 1991)
Gambar : Nyamuk malaria sedang menghisap Sumber :Dr. Robert Gwadz,
darah dari manusia NIAID, NIH
Diagnosis
Orang yang baru pulang dari suatu negara endemic malaria dan demam, sebaiknya
diperiksa untuk melihat apakah positif malaria atau tidak. Diagnosis infeksi malaria
dilakukan dengan melihat mikroskopis darah dari pasien untuk melihat adanya kehadiran
parasit atau tidak.
Semua gejala klinis yang berhubungan dengan malaria disebabkan oleh eritrosit
aseksual atau parasit dalam darah (malaria). Ketika parasit berkembang dalam eritrosit,
banyak zat yang tidak dibutuhkan tubuh seperti pigmen hemozoin dan toksin – toksin lain
terkumpul dalam eritrosit yang terinfeksi parasit. Zat – zat tersebut dibuang ke dalam aliran
darah saat sel eritrosit yang terinfeksi mengalami lisis dan melepaskan merozoite. Hemozoin
dan zat toksin lainnya menstimulasi makrofag dan sel lain untuk memproduksi sitokinin yang
akhirnya menyebabkan munculnya demam, rigor, dan beberapa patofisiologi lainnya yang
berkaitan dengan malaria. (Prevention, 2019)
Malaria sendiri terbagi menjadi dua, yaitu yang ringan dan parah. Malaria yang ringan
merupakan serangan malaria yang bertahan selama 6 hingga 10 jam. Malaria ringan terdiri
dari 3 fase, yaitu :
Adapun gejala – gejala yang muncul biasanya adalah demam, menggigil, berkeringat, sakit
kepala, muntah, dan rasa pegal di seluruh tubuh. Dalam pemeriksaan fisik pasien, biasanya
didapatkan hal – hal berikut :
1. Malaria cerebral, diikuti perilaku tidak normal, masalah pada kesadaran, kejang –
kejang, koma, dan masalah saraf lainnya
2. Anemia akibat terjadinya hemolisis
3. Hemoglobinuria, kondisi saat adanya darah dalam urin
4. ARDS, inflamasi pada paru – paru menghambat terjadinya pertukaran udara di kapiler
5. Koagulasi darah yang abnormal
6. Tekanan darah menurun
7. Terjadi kerusakan pada ginjal
8. Hiperparasitemia, kondisi dimana lebih dari 5% eritrosit telah terinfeksi parasit
9. Asidosis metabolik
10. Hipoglikemia, biasanya terjadi pada ibu yang sedang hamil saat terinfeksi malaria
Perawatan Malaria
Malaria adalah penyakit yang bisa dicegah dan diobati. Tujuan utama dari perawatan
malaria adalah eliminasi penuh parasit Plasmodium dari dalam darah dalam jangka waktu
yang singkat untuk mencegah perkembangan malaria dari yang ringan hingga menjadi parah.
Perawatan malaria terbagi menjadi perawatan untuk malaria ringan dan parah. Untuk
penanganan malaria ringan, ada 2 jenis perawatan yang digunakan. Pertama, penanganan
infeksi P. falciparum. WHO merekomendasikan ‘artemisinin-based combination therapies
(ACTs). Dengan menggabungkan 2 bahan aktif dengan mekanisme yang berbeda, ACTs
adalah obat anti malaria paling efektif yang tersedia hari ini. WHO saat ini
merekomendasikan 5 ACTs untuk melawan malaria P. falciparum. Pilihan ACT yang
digunakan harus berdasarkan studi terhadap hasil terapi dalam melawan malaria P.
falciparum. Khusus pada daerah dengan transmisi yang rendah, dosis rendah primaquine
harus ditambahkan ke dalam obat anti malaria untuk mengurangi transmisi infeksi. (OMS,
2018; WHO, 2015)
Kedua, penanganan malaria P. vivax. Infeksi yang berasal dari P. vivax harus diobati
dengan menggunakan ACT atau chloroquine pada area tanpa P. vivax chloroquine-resistant .
Di area yang telah teridentifikasi P. vivax chloroquine-resistant, infeksi sebaiknya dirawat
dengan menggunakan ACT, dengan harapan ACT dapat efektif melawan infeksi pada darah
yang dilakukan oleh P. vivax. Untuk mencegah kambuh, primaquine harus ditambahkan
selama perawatan. (OMS, 2018)
Berikutnya adalah perawatan terhadap malaria yang parah. Malaria parah sebaiknya
dirawat dengan ‘injectable artesunate’ selama minimal 24 jam, diikuti pemberian ACT
selama 3 hari berturut – turut ketika pasien sudah bisa toleran terhadap obat oral. Bagi anak –
anak di bawah 6 tahun yang belum bisa melakukan perawatan melalui suntik, harus
menerima perawatan awal dengan ‘rectal artesunate’ sebelum dirujuk secepatnya ke fasilitas
medis yang bisa memberikan pelayanan medis secara penuh terhadap malaria. (OMS, 2018;
“WHO | Management of severe malaria – A practical handbook. Third edition,” 2019)
Daftar Pustaka
Control, I. of M. (US) C. for the S. on M. P. and, Stanley C. Oaks, Jr., Mitchell, V. S., Pearson, G.
W., & Carpenter, C. C. J. (1991). Background.
Crutcher, J. M., & Hoffman, S. L. (1996). Medical Microbiology for Malaria. In Medical
Microbiology. University of Texas Medical Branch at Galveston.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21413352
Dayananda, K. K., Achur, R. N., & Gowda, D. C. (2018). Epidemiology, drug resistance, and
pathophysiology of plasmodium vivax malaria. In Journal of Vector Borne Diseases (Vol.
55, Issue 1, pp. 1–8). Wolters Kluwer Medknow Publications. https://doi.org/10.4103/0972-
9062.234620
Gunalan, K., Lo, E., Hostetler, J. B., Yewhalaw, D., Mu, J., Neafsey, D. E., Yan, G., & Miller, L.
H. (2016). Role of Plasmodium vivax Duffy-binding protein 1 in invasion of Duffy-null
Africans. Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America,
113(22), 6271–6276. https://doi.org/10.1073/pnas.1606113113
Howes, R. E., Battle, K. E., Mendis, K. N., Smith, D. L., Cibulskis, R. E., Baird, J. K., & Hay, S.
I. (2016). Global epidemiology of Plasmodium vivax. In American Journal of Tropical
Medicine and Hygiene (Vol. 95, Issue 6 Suppl, pp. 15–34). American Society of Tropical
Medicine and Hygiene. https://doi.org/10.4269/ajtmh.16-0141
MenkinSmith, L., & Winders, W. T. (2019). Malaria (Plasmodium Vivax). In StatPearls.
StatPearls Publishing. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/30855917
Prevention, C.-C. for D. C. and. (2019). CDC - Malaria - About Malaria - Disease.
Pusat Kementerian Kesehatan RI. (2016). InfoDATIN Malaria. Pusat Informasi Kementerian
Kesehatan RI 2016.
WHO. (2015). Guidelines For the Treament of Malaria (Dr P Olumese, Ed.; 3rd ed.).
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/162441/1/9789241549127_eng.pdf
WHO | Management of severe malaria – A practical handbook. Third edition. (2019). WHO.
OMS. (2018). WHO | Overview of malaria treatment. Who, 1–4.
https://www.who.int/malaria/areas/treatment/overview/en/
WHO | World Malaria Report 2010. (2014). WHO.
World Health Organization. (2015). Clinical malaria and epidemiology. In Guidelines for the
treatment of malaria (pp. 24–26). World Health Organization.
World Health Organization. (2018). WHO | The World malaria report 2018. In Who.
www.who.int/malaria
%0Ahttps://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/275867/9789241565653-eng.pdf?
ua=1%0Ahttps://www.who.int/malaria/publications/world-malaria-report-2018/en/; consulté
le 22/03/2019%0Ahttps://www.who.int/malaria/media/world-malaria-rep
World Health Organization. (2019). World Malaria Report 2019. Geneva.
https://www.who.int/publications-detail/world-malaria-report-2019