PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di Indonesia malaria merupkan salah satu penyakit menular yang masih
menjadi masalah kesehatan masyarakat yang utama. Penyakit malaria mempunyai
pengaruh yang sangat besar pada angka kesakitan dan kematian bayi, anak balita
dan ibu melahirkan, serta dapat menyebabkan penurunan produktifitas kerja.
Angka kejadian kasus malaria perseribu penduduk (API) di Jawa dan Bali
sejak empat tahun terakhir menunjukan kecenderungan yang menurun, dari 0,81
perseribu penduduk pada tahun 2000 menjadi 0,15 perseribu penduduk pada
tahun2004. Di luar Jawa dan Bali angka klinis malaria perseribu penduduk (AMI)
juga menunjukan kecenderungan yang menurun, yaitu dari 31,09 perseribu
penduduk pada tahun 2004. Proporsi kematian karena malaria berdasarkan hasil
Survey Kesehatan Rumah Tangga tahun 2001 adalah sebesar 2%. Jumlah
Kabupaten endemis di Indonesia adalah 424 Kabupaten dari 576 Kabupatenyang
ada, dan diperkirakan 42,4% penduduk Indonesia beresiko tertular.
PEMBAHASAN
A. Definisi
D. Diagnosa
Penanganan dimulai dengan diagnosa malaria melalui pemeriksaan fisik
dan tes diagnostic cepat (RDT – Rapid Diagnostic Test). RDT ini dilakukan untuk
mendeteksi keberadaan dan jenis parasit yang ada di tubuh sehingga
menyebabkan malaria. Hasil dari RDT ini juga sangat penting untuk menentukan
jenis pengobatan anti malaria yang akan diberikan kepada penderita. Selain RDT,
terdapat pula pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan darah. Pemeriksaan ini
terdiri dari dua jenis yaitu pemeriksaan tetes tipis hapusan darah dan pemeriksaan
tetes tebal hapusan darah.
Pemeriksaan tetes tebal hapusan darah digunakan untuk mendeteksi
Plasmodium sedangkan pemeriksaan tetes tipis hapusan darah digunakan untuk
menentukan spesies penyebab serta kepadatan parasit. Kelebihan dari
pemeriksaan ini adalah memantau efikasi terapi dan alat-alat yang digunakan untuk
pemeriksaan sederhana sehingga biaya pemeriksaan murah.
E. Epidemiologi
Secara alamiah, penularan malaria terjadi karena adanya interaksi antara agent
(parasit Plasmodium spp), host de-finitive (nyamuk Anopheles spp) dan host
intermediate (manusia). Karena itu, penu- laran malaria dipengaruhi oleh
keberadaan dan fluktuasi populasi vektor (penular yaitu nyamuk Anopheles spp),
yang salah satunya dipengaruhi oleh in- tensitas curah hujan, serta sumber
parasit Plasmodium spp. atau penderita5 di samping adanya host yang rentan.6
Sum- ber parasit Plasmodium spp. adalah host yang menjadi penderita positif
malaria7 Tapi di daerah endemis malaria tinggi, seringkali gejala klinis pada
penderita tidak muncul (tidak ada gejala klinis) meskipun parasit terus hidup di
dalam tubuhnya. Ini disebabkan adanya peru- bahan tingkat resistensi manusia
terhadap parasit malaria sebagai akibat tingginya frekuensi kontak dengan
parasit, bahkan di beberapa negara terjadinya kekebalan ada yang diturunkan
melalui mutasi ge- netik.8 Keadaan ini akan mengakibatkan penderita carrier
(pembawa penyakit) atau penderita malaria tanpa gejala klinis (asymptomatic),
setiap saat bisa menular- kan parasit kepada orang lain, sehingga kasus baru
bahkan kejadian luar biasa (KLB) malaria bisa terjadi pada waktu yang tidak
terduga.7 Selain penularan secara alamiah, malaria juga bisa ditular- kan melalui
transfusi darah atau trans-plasenta dari ibu hamil ke bayi yang dikandungnya.
Kejadian luar biasa (KLB) ditandai dengan peningkatan kasus yang disebab- kan
adanya peningkatan populasi vektor sehingga transmisi malaria meningkat dam
jumlah kesakitan malaria juga me- ningkat. Sebelum peningkatan populasi
vektor, selalu didahului perubahan ling- kungan yang berkaitan dengan tempat
perindukan potensial seperti luas per- airan, flora serta karakteristik lingkungan
yang mengakibatkan meningkatnya kepadatan larva. Untuk mencegah KLB
malaria, maka peningkatan vektor perlu diketahui melalui pengamatan 4 yang
terus menerus (surveilans).
Ketika parasit dalam bentuk sporozoit masuk ke dalam tubuh manusia melalui
gigitan nyamuk Anopheles spp, kurang lebih dalam waktu 30 menit akan sampai
ke dalam sel hati. Selanjutnya akan melakukan siklus dalam sel hati dengan
berubah dari sporozoit menjadi schizon hati muda, kemudian tua dan matang.
Selan- jutnya schizon hati yang matangakan melepaskan merozoit untuk masuk
ke dalam sistem sirkulasi. Komponen epidemiologi ma- laria terdiri dari (1). agent
malaria adalah parasit Plasmodium spp, (2). host malaria, ada dua jenis yaitu
manusia sebagai host intermediate atau sementara karena tidak ter- jadi
pembiakan seksual dan nya- muk sebagai host definitive atau tetap karena
terjadi pembiakan seksual dan (3). lingkungan yaitu yang berpengaruh terhadap
ke- hidupan manusia dan nyamuk vektor malaria.
F. Faktor Risiko
Faktor risiko individual meliputi pengetahuan, persepsi, pemakaian repellent,
penggunaan kelambu, penggunaan obat antinyamuk, penggunaan kawat kasa,
penutup
tubuh lengkap, aktivitas keluar rumah malam hari dan aktivitas menginap di
tempat pekerjaan, kepadatan populasi vektor, probabilitas vektor menjadi
infeksius, keberadaan dan prevalensi dari sumber penularan (manusia yang
telah terinfeksi) di dalam populasi, probabilitas untuk menerima gigitan yang
infektif, tingkat imunitas di populasi dan efektivitas strategi penanggulangan
malaria yang digunakan di tempat itu.
Faktor lingkungan fisik yang terkait dengan malaria meliputi keadaan tempat
perindukan dan faktor lingkungan fisik lainnya seperti kadar garam, suhu,
kelembaban, curah hujan, angin dan lain sebagainya yang berhubungan dengan
kehidupan nyamuk sebagai vektor penyakit malaria maupun pada kehidupan
parasit didalam tubuh nyamuk itu sendiri. Ketinggian, kelembaban, curah hujan,
kondisi satwa maupun tumbuhan memainkan peranan di faktor lingkungan terkait
malaria.
Hasil penelitian menunjukan bahwa 70- 90% risiko dari malaria adalah faktor
lingkungan. Variasi dan besar pengaruh lingkungan kepada vector malaria
sangat besar. Tidak hanya melalui elemen yang abiotik seperti hujan dan suhu
yang akan mempengaruhi peningkatan jumlah vector nyamuk dan
perkembangan parasit di dalam vektor, tetapi juga faktor biotik melalui
penebangan hutan, pertanian, dan konstruksi perumahan. Dampak dari
penebangan hutan pada suhu, hujan, dan tumbuh-tumbuhan saling berinteraksi
dan berkorelasi Dalam pengaruh lingkungan.
G. Patofisiologi
munculnya gejala pada malaria berkaitan dengan siklus eritrositik parasit.
Parasitemia meningkat setiap kali terjadi lisis eritrosit dan ruptur skizon eritrosit
yang melepaskan ribuan parasit dalam bentuk merozoit dan zat sisa metabolik
ke sirkulasi darah. Tubuh yang mengenali antigen tersebut kemudian
melepaskan makrofag, monosit, limfosit, dan berbagai sitokin, seperti tumor
necrosis factor alpha.
Sitokin TNF-α dalam sirkulasi darah yang sampai ke hipotalamus akan
menstimulasi demam. Demam bertahan selama 6–10 jam, lalu suhu tubuh
kembali normal, dan meningkat kembali setiap 48–72 jam saat siklus eritrositik
lengkap. Selain TNF-α, ditemukan juga sitokin proinflamasi lainnya, seperti
interleukin 10 (IL-10) dan interferon γ (IFN- γ). Pada fase infeksi lanjutan, tubuh
memproduksi antibodi yang membantu proses pembersihan parasit melalui jalur
makrofag-sel T-sel B.
Parasitemia pada malaria falciparum lebih hebat dibandingkan parasitemia
spesies lain. Hal ini disebabkan karena Plasmodium falciparum dapat
menginvasi semua fase eritrosit, sedangkan Plasmodium vivax lebih dominan
menginfeksi retikulosit dan Plasmodium malariaemenginvasi eritrosit matur.
Tingkat parasitemia biasanya sebanding dengan respons tubuh manusia dan
keparahan gejala klinis.[9,16,17]
Anemia pada malaria terjadi akibat proses hemolisis dan fagositosis eritrosit,
baik yang terinfeksi maupun normal oleh sistem retikuloendotelial pada limpa.
Peningkatan aktivitas limpa menyebabkan splenomegali. Anemia berat juga
dipengaruhi oleh gangguan respons imun monosit dan limfosit akibat hemozoin
(pigmen toksik hasil metabolisme Plasmodium), sehingga terjadi gangguan
eritropoiesis dan destruksi eritrosit normal.
Hemolisis dapat juga diinduksi oleh kuinin atau primaquine pada orang dengan
defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD) herediter. Pigmen yang keluar
ke dalam sirkulasi saat hemolisis dapat terakumulasi di sel retikuloendotelial
limpa, sehingga folikelnya menjadi hiperplastik dan kadang-kadang nekrotik.
Pigmen juga dapat mengendap dalam sel Kupffer hati, sumsum tulang, otak, dan
berbagai organ lain.
Hemolisis dapat meningkatkan serum bilirubin sehingga menimbulkan jaundice.
Malaria falciparum dapat disertai hemolisis berat yang menyebabkan
hemoglobinuria.