MALARIA
Oleh :
Preseptor :
2022
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan pada Allah SWT berkat rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah Clinical Science Session yang
berjudul “Malaria”. Makalah ini disusun untuk menambah pengetahuan dan
wawasan penulis dan pembaca, serta menjadi salah satu syarat mengikuti
kepaniteraan klinik di Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas.
Penulis
2
DAFTAR ISI
Kata Pengantar 2
Daftar Isi 3
BAB 1 Pendahuluan 4
2.1 Definisi 6
2.2 Epidemiologi 6
2.3 Etiologi 7
2.4 Patofisiologi 8
2.5 Diagnosis 13
2.6 Tatalaksana 15
2.7 Komplikasi 17
2.8 Prognosis 18
BAB 3 Kesimpulan 19
Daftar Pustaka 20
3
BAB 1
PENDAHULUAN
4
1.2 Batasan Masalah
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Infeksi malaria disebabkan oleh adanya parasit Plasmodium di dalam
darah atau jaringan yang dibuktikan dengan pemeriksaan mikroskopik yang
positif, adanya antigen malaria dengan tes cepat, ditemukan DNA/RNA parasit
pada pemeriksaan PCR. Infeksi malaria dapat memberikan gejala berupa demam,
menggigil, anemia dan splenomegali. Pada individu yang imun dapat berlangsung
tanpa gejala (asimtomatis).1
2.2 Epidemiologi
Infeksi malaria tersebar pada lebih dari 100 negara di benua Afrika, Asia,
Amerika (bagian Selatan) dan daerah Oceania dan kepulauan Caribia. Lebih dari
1.6 triliun manusia terpapar oleh malaria dengan dugaan morbiditas 200-300 juta
dan mortalitas lebih dari 1 juta pertahun. Beberapa daerah yang bebas malaria
yaitu Amerika Serikat, Canada, negara di Eropa (kecuali Rusia), Israel, Singapura,
Hongkong, Jepang, Taiwan, Korea, Brunei dan Australia. Negara tersebut
terhindar dari malaria karena vektor kontrolnya yang baik, walaupun demikian di
negara tersebut makin banyak dijumpai kasus malaria yang diimpor karena
pendatang dari negara malaria atau penduduknya mengunjungi daerah-daerah
malaria.1
Empat puluh persen dari total populasi global tinggal atau mengunjungi
daerah endemik malaria setiap tahunnya. P. falciparum hadir di Afrika Barat dan
sub-Sahara dan menunjukkan morbiditas dan mortalitas tertinggi dari spesies
Plasmodium. P. vivax hadir di Asia Selatan, Pasifik Barat, dan Amerika Tengah.
6
P. ovale dan P. malariae terdapat di Afrika Sub-Sahara. P. knowlesi hadir di Asia
Tenggara. Sebanyak 500 juta kasus malaria terjadi setiap tahun, dengan 1,5
hingga 2,7 juta kematian. Sembilan puluh persen kematian terjadi di Afrika.
Mereka yang berisiko tinggi termasuk anak-anak di bawah usia 5 tahun, wanita
hamil, dan populasi yang naif penyakit, termasuk populasi pengungsi di Afrika
Tengah dan Timur, pelancong sipil dan militer yang tidak kebal, dan imigran yang
kembali ke tempat asal mereka. Dari 125 juta pelancong yang mengunjungi lokasi
endemik setiap tahun, 10.000 hingga 30.000 menderita malaria, dan 1%
diantaranya akan meninggal karena komplikasi penyakitnya. 3 Menurut data
laporan WHO, jumlah kasus malaria di dunia yaitu sebanyak 241 juta kasus pada
tahun 2020, hal ini mengalami peningkatan dibandingkan dengan angka kejadian
pada tahun 2019 yaitu sebanyak 227 juta kasus. 2 Meningkatnya suhu rata-rata
global dan perubahan pola cuaca diproyeksikan akan menambah beban malaria;
kenaikan 3 derajat Celcius didalilkan untuk meningkatkan kejadian malaria
sebesar 50 hingga 80 juta.3
Pada surveilens malaria di masyarakat, tingginya slide positive rate (SPR)
menentukan endemisitas suatu daerah dan pola klinis penyakit malaria akan
berbeda. Secara tradisi endemisitas daerah dibagi menjadi :1
2.3 Etiologi
Terdapat lima spesies plasmodium yang menginfeksi manusia diantaranya
P. falciparum, P. ovale, P. vivax, P. malariae, dan P. knowlesi. Nyamuk
7
Anopheles betina menelan gamet selama menghisap darah, yang membentuk
sporozoit yang bereplikasi di usus. Ketika makan darah berikutnya, air liur yang
mengandung sporozoit dilepaskan ke dalam aliran darah inang manusia. Dalam 60
menit, sporozoit mencapai hati, menyerang hepatosit, dan kemudian membelah
dengan cepat, membentuk merozoit. Pada infeksi aktif, organisme masuk kembali
ke aliran darah dan menyerang eritrosit. Di dalam eritrosit, Plasmodium
mengonsumsi hemoglobin dan berkembang dari trofozoit imatur (tahap cincin)
menjadi trofozoit matang atau gametosit. Trofozoit dewasa bereplikasi,
membentuk skizon, mengganggu integritas membran sel eritrosit, dan
menyebabkan perlekatan endotel kapiler dan lisis sel. Malaria yang tidak diobati
berlangsung 2 sampai 24 bulan. Infeksi P. vivax dan P. ovale dapat menunjukkan
"schizogony dorman," di mana parasit intrahepatik yang tidak aktif (hipnozoit)
tetap ada sampai reaktivasi berbulan-bulan hingga bertahun-tahun di masa depan.3
2.4 Patofisiologi
Masa inkubasi dan waktu munculnya gejala, bervariasi menurut spesies: 8
hingga 11 hari untuk P. falciparum, 8 hingga 17 hari untuk P. vivax, 10 hingga 17
hari untuk P. ovale, 18 hingga 40 hari untuk P. malariae (meskipun mungkin
sampai beberapa tahun), dan 9 sampai 12 hari untuk P. knowlesi. Periode siklus
hidup Plasmodium menciptakan kekakuan klasik yang disebut "paroxysm
malaria", diikuti oleh beberapa jam demam, diaforesis dan penurunan suhu tubuh
normal (infeksi P. vivax membentuk siklus 48 jam), meskipun ini lebih jarang
ditemukan saat ini karena identifikasi dan pengobatan yang cepat.3
Setelah melalui jaringan hati P. falciparum melepaskan 18-24 merozoit ke
dalam sirkulasi. Merozoit yang di lepaskan akan masuk dalam sel RES di limpa
dan mengalami fagositosis serta filtrasi. Merozoit yang lolos dari filtrasi dan
fagositosis di limpa akan menginvasi eritrosit. Selanjutnya parasit berkembang
biak secara aseksual dalam eritrosit. Bentuk aseksual parasit dalam eritrosit yang
berpotensi (EP) inilah yang bertanggung jawab dalam patogenesis terjadinya
malaria pada manusia. Patogenesis malaria yang banyak diteliti adalah
patogenesis malaria yang disebabkan oleh P. falciparum.1
8
Patogenesis malaria falsiparum dipengaruhi oleh faktor parasit dan faktor
pejamu (host). Termasuk dalam faktor parasit adalah intensitas transmisi, densitas
parasit dan virulensi parasit. Sedangkan yang masuk dalam faktor pejamu adalah
tingkat endemisitas daerah tempat tinggal, genetik, usia, status nutrisi dan status
imunologi. EP secara garis besar mengalami 2 stadium, yaitu stadium cincin pada
24 jam pertama dan stadium matur pada 24 jam kedua. Permukaan EP stadium
cincin akan menampilkan antigen RESA (Ring-erythrocyte surgace antigen) yang
menghilang setelah parasit masuk stadium matur. Permukaan membrane EP
stadium matur akan mengalami penonjolan dan membentuk knob dengan Histidin
Rich-protein-1 (HRP-1) sebagai komponen utamanya. Selanjutnya bila EP
tersebut berubah menjadi merozoid, akan dilepaskan toksin malaria berupa GPI
atau glikosilfosfatidilinositol yang merangsang pelepasan TNF-a dan interleukin-1
(IL-1) dari makrofag.1
9
otak, diikuti dengan hepar dan ginjal, paru, jantung, usus dan kulit. Sekuestrasi ini
diduga memegang peranan utama dalam patofisiologi malaria berat.1
Sitokin. Sitokin terbentuk dari sel endotel, monosit dan makrofag setelah
mendapat stimulasi dari malaria toksin (LPS, GPI). Sitokin ini antara lain TNF-a
(tumor necrosis factor-alpha), interleukin-1 (IL-1), interleukin-6 (IL-6),
interleukin-3 (IL-3), LT (lymphotoxin) dan interferongamma (INF-g). Dari
beberapa penelitian dibuktikan bahwa penderita malaria serebral yang meninggal
atau dengan komplikasi berat seperti hipoglikemia mempunyai kadar TNF-a yang
tinggi. Demikian juga malaria tanpa komplikasi kadar TNF-a, IL-1, IL-6 lebih
rendah dari malaria serebral. Walaupun demikian hasil ini tidak konsisten karena
juga dijumpai penderita malaria yang mati dengan TNF normal/rendah atau pada
malaria serebral yang hidup dengan sitokin yang tinggi. Oleh karenanya diduga
adanya peran dari neurotransmitter yang lain sebagai radikal bebas dalam kaskade
ini seperti nitrit-oksida sebagai faktor yang penting dalam patogenesis malaria
berat.1
Nitrit Oksida. Akhir-akhir ini banyak diteliti peran mediator nitrit oksida
(NO) baik dalam menimbulkan malaria berat terutama malaria serebral, maupun
sebaliknya NO justru memberikan efek protektif karena membatasi perkembangan
parasit dan menurunkan ekspresi molekuladesi. Diduga produksi NO lokal di
organ terutama otak yang berlebihan dapat mengganggu fungsi organ tersebut.
Sebaliknya pendapat lain menyatakan kadar NO tertentu, memberikan
perlindungan terhadap malaria berat. Justru kadar NO yang rendah mungkin
menimbulkan malaria berat, ditunjukkan dari rendahnya kadar nitrat dan nitrit
total pada cairan serebrospiral. Anak-anak penderita malaria serebral di Afrika,
mempunyai kadar arginine yang rendah. Masalah peran sitokin proinflamasi dan
NO pada patogenesis malaria berat masih kontroversial, banyak hipotesis yang
10
belum dapat dibuktikan dengan jelas dan hasil berbagai penelitian sering saling
bertentangan.1
11
Antibodi yang mengaglutinasi merozoit, antibodi yang menghambat
sitoaderens, dan antibodi yang menghambat pelepasan atau menetralkan
toksin-toksin parasit. Seperti: antigen dan antibodi pada stadium merozoit/
Merozoit surface antigen/protein 1(MSA/MSP-1), MSA-2, MSP-3, Apical
membrane Antigen (AMA-1), Eritrocyte Binding Antigen-175 (EBA-175),
Rhoptry Associated Protein-1 (RAP-1), Glutamine Rich Protein
(GLURP). Antigen dan antibodi pada stadium aseksual eritrositer: Pf-
155/Ring Eritrocyte Surface Antigen (RESA), Pf-155 Ring Eritrocyte
Surface Antigen (RESA), Serine Repeat Antigen (SERA), Histidine Rich
protein-2 (HRP-2), P. falcifarum Eritrocyte Membrane Protein-1/ Pf-
EMP-1, Pf-EMP-2, Mature Parasite Infective Erytrocyte Surface Antigen
(MESA), Pf-EMP-3, Heat Shock Protein-70 (HSP-70)
Imunitas pada stadium seksual berupa: antibodi yang membunuh
gametosit, antibodi yang menghambat fertilisasi, antibodi yang
menghambat transformasi zigot menjadi ookinet, antigen/antibodi pada
stadium seksual prefertilisasi: Pf- 230 (Transmission blocking antibody),
Pf - 48/45, Pf- 7/25, Pf-16, Pf-320, dan antigen/antibodi pada stadium
seksual post fertilisasi, misal : Pf-25, Pf-28.
Pembuatan vaksin banyak ditujukan pada stadium sporozoit, terutama
dengan menggunakan epitop tertentu dari sirkumsporozoid. Respon imun spesifik
ini diatur dan/atau dilaksanakan langsung oleh limfosit T untuk imunitas selular
dan limfosit B untuk imunitas humoral.1
12
Gambar 2.1 Siklus hidup plasmodium
2.5 Diagnosis
Diagnosis malaria ditegakkan seperti diagnosis penyakit lainnya
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium.
Diagnosis pasti malariaharus ditegakkan dengan pemeriksaan sediaan darah
secara mikroskopis atau uji diagnostik cepat (Rapid Diagnostic Test = RDT).4
a. Anamnesis
Keluhan utama, yaitu demam, menggigil, berkeringat dan dapat
disertai sakit kepala, mual, muntah, diare, dan nyeri otot atau
pegal-pegal.
Riwayat berkunjung dan bermalam lebih kurang 1-4 minggu
yang lalu ke daerah endemik malaria.
Riwayat tinggal di daerah endemis malaria.
Riwayat sakit malaria dan riwayat minum obat malaria.
b. Pemeriksaan Fisik
Suhu tubuh aksiler > 37,5 °C
13
Konjungtiva atau telapak tangan pucat
Sklera ikterik
Pembesaran Limpa (splenomegali)
Pembesaran hati (hepatomegali)
c. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan dengan mikroskop
Pemeriksaan sediaan darah tebal dan tipis di
Puskesmas/lapangan/rumah sakit/laboratorium klinik untuk
menentukan ada tidaknya parasit malaria, spesies dan stadium
plasmodium, dan kepadatan parasit/jumlah parasit
Pemeriksaan uji diagnostik cepat (Rapid Diagnostic Test)
Mekanisme kerja tes ini berdasarkan deteksi antigen parasit
makaria, dengan menggunakan metoda imunokromatografi.
Pemeriksaan dengan RDT tidak digunakan untuk mengevaluasi
pengobatan.4
14
Atau gambaran laboratorium sebagai berikut:4
15
menyusui bayi usia < 6 bulan dan penderita kekurangan G6PD.
Pengobatan malaria falsiparum dan malaria vivaks adalah seperti yang
tertera di bawah ini:
16
e. Pengobatan infeksi campur P. Falciparum + P. Vivax/ P. Ovale
Pada penderita dengan infeksi campur diberikan DHP selama 3
hari serta primakuin dengan dosis 0,25 mg/kgBB/hari selama 14 hari
17
2.8 Prognosis
a. Malaria falsiparum ringan/sedang, malaria vivax, atau malaria ovale :
bonam
b. Malaria berat : dubia ad malam. Prognosis malaria berat tergantung
dengan kecepatan dan ketepatan diagnosis serta pengobatan. Apabila
tidak ditanggulangi, dilaporkan bahwa mortalitas pada anak anak 15%,
dewasa 20%, dan pada kehamilan meningkat sampai 50%.6
18
BAB 3
KESIMPULAN
19
Rejimen terapi antimalaria dan kemoprofilaksis yang dipilih ditentukan oleh
spesies, geografi, kerentanan, dan demografi pasien. Infeksi laten atau reaktivasi
dapat dilaporkan beberapa tahun setelah pajanan.3,4,5,6
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, K MS, Setiyohadi B, Syam AF. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. VI. Vol. 1. Jakarta: Interna Publishing; 2014.
2. World Health Organization. Malaria [Internet]. Available from:
https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/malaria.
3. Buck E, Finningan NA. Malaria. StatPearls [Internet]. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK551711.
4. IDI. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Primer. Ikatan Dokter Indonesia. Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia; 2017.
21–23 p.
5. WHO. List of countries, territories and areas: Vaccination requirements and
recommendations for international travellers, including yellow fever and
malaria. World Heatlh Organ Geneva. 2016.
6. RI K. Inilah Fakta Keberhasilan Pengendalian Malaria. 2016; Available
from: Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.
http://www.depkes.go.id/article/print/16050200003/inilah-fakta-
keberhasilanpengendalian-malaria.html.
21