Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN KASUS

Selulitis Facialis

Penulis:
dr. Fauzi Ahmad

DPJP:
dr. Erwi Saswita, Sp. THT-KL

Pembimbing:
dr. Frans Otto Hasibuan

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA BATCH 1 FEBRUARI


WAHANA RUMKIT Tk. III REKSODIWIRYO
PADANG
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah Yang Maha Esa atas segala
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan
judul “Selulitis Facialis”. Laporan kasus ini disusun untuk memenuhi kewajiban
sebagai Peserta Dokter Internship Indonesia (PIDI).

Keberhasilan penyusunan laporan kasus ini tidak terlepas dari bantuan


berbagai pihak. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis
ucapkan kepada semua pihak yang telah membantu. Penulis berharap semoga Allah
Yang Maha Esa senantiasa memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada semua pihak
yang telah membantu. Semoga laporan kasus ini dapat memberikan sumbangan dan
manfaat kepada dunia ilmu pengetahuan dan klinisi.

Padang, 24 Maret 2023

Penulis

1
DAFTAR ISI

LAPORAN KASUS i
KATA PENGANTAR 1
DAFTAR ISI 2
DAFTAR GAMBAR 3
BAB 1 PENDAHULUAN 4
1.1 Latar Belakang 4
1.2 Tujuan Penulisan 5
1.3 Metode Penulisan 5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 6
2.1 Definisi 6
2.2 Anatomi Hidung 6
2.3 Etiologi 14
2.4 Gejala Klinis 14
2.5 Patogenesis 14
2.6 Diagnosis 15
BAB 3 LAPORAN KASUS 18
DAFTAR PUSTAKA 23

2
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Dinding lateral kavum nasi :8


Gambar 2. Vaskularisasi dinding lateral hidung :9
Gambar 3. Vaskularisasi septum :9
Gambar 4. Vena – vena pada hidung :10
Gambar 5. Persarafan hidung :11
Gambar 6. Potongan koronal sinus kavernosus :12
Gambar 7. Hubungan sinus kavernosus dengan sinus dural lainnya dan vena :13
pada kepala dan leher
Gambar 8. Daerah segitiga berbahaya wajah :14

3
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Selulitis adalah peradangan akut terutama menyerang jaringan dermis dan
subkutis. Faktor risiko untuk terjadinya infeksi ini adalah trauma lokal (robekan kulit),
luka terbuka di kulit atau gangguan pembuluh vena maupun pembuluh getah bening.
Lebih dari 40% penderita selulitis memiliki penyakit sistemik. Penyakit ini biasanya
didahului trauma. Gejala prodormal selulitis adalah demam dan malaise, kemudian
diikuti tanda-tanda peradangan yaitu bengkak (tumor), nyeri (dolor), kemerahan
(rubor), dan teraba hangat (kalor) pada area tersebut.1
Prevalensi selulitis di seluruh dunia tidak diketahui secara pasti. Sebuah studi
tahun 2006 melaporkan insidensi selulitis di Utah, AS, sebesar 24,6 kasus per 1000
penduduk per tahun dengan insidensi terbesar pada pasien laki-laki dan usia 45-64
tahun. Secara garis besar, terjadi peningkatan kunjungan ke pusat kesehatan di Amerika
Serikat akibat penyakit infeksi kulit dan jaringan lunak kulit yaitu dari 32,1 menjadi
48,1 kasus per 1000 populasi dari 1997-2005 dan pada tahun 2005 mencapai 14,2 juta
kasus .2
Data rumah sakit di Inggris melaporkan kejadian selulitis sebanyak 69.576 kasus
pada tahun 2004-2005, selulitis di tungkai menduduki peringkat pertama dengan jumlah
58.824 kasus. Di Indonesia sendiri secara epidemiologi masih terbatas.2
Penyebab selulitis paling sering pada orang dewasa adalah Staphylococcus aureus
dan Streptococcus beta hemoliticus group A sedangkan penyebab selulitis pada anak
adalah Haemophilus influenza tipe b (Hib), Streptokokus beta hemolitikus grup A, dan
Staphylococcus aureus. Streptococcuss beta hemolitikus group B adalah penyebab yang
jarang pada selulitis.3
Diagnosis selulitis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis
serta di tunjang dengan pemriksaan darah rutin yang mengarah kearah infeksi.
Penanganan SF terpenting adalah diagnosis sedini mungkin dan pemberian antibiotik
yang sesuai dengan bakteri penyebab secara agresif.4,5 Gambaran klinis tertentu,
termasuk lokasi anatomi, riwayat penyakit sebelumnya dan paparan terhadap bakteri
penyebab merupakan faktor yang mempengaruhi pemberian antibiotik dan prognosis
SF.4

4
1.2 Tujuan Penulisan
Laporan kasus ini bertujuan untuk mengetahui definisi, etiologi, patogenesis,
klasifikasi, diagnosis, dan pengobatan sulilitis facialis.

1.3 Metode Penulisan


Penulisan laporan kasus ini menggunakan tinjauan kepustakaan yang merujuk
kepada berbagai literatur.

5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Selulitis adalah peradangan akut terutama menyerang jaringan dermis dan
subkutis. Faktor risiko untuk terjadinya infeksi ini adalah trauma lokal (robekan kulit),
luka terbuka di kulit atau gangguan pembuluh vena maupun pembuluh getah bening.
Lebih dari 40% penderita selulitis memiliki penyakit sistemik. Penyakit ini biasanya
didahului trauma. Gejala prodormal selulitis adalah demam dan malaise, kemudian
diikuti tanda-tanda peradangan yaitu bengkak (tumor), nyeri (dolor), kemerahan
(rubor), dan teraba hangat (kalor) pada area tersebut.1
Selulitis merupakan infeksi bakterial akut pada kulit. Infeksi yang terjadi
menyebar ke dalam hingga ke lapisan dermis dan sub kutis.Infeksi ini biasanya
didahului luka atau trauma dengan penyebab tersering Streptococcus beta hemoliticus
dan Staphylococcus aureus. Pada anak usia di bawah 2 tahun dapat disebabkan oleh
Haemophilus influenza, keadaan anak akan tampak sakit berat, sering disertai gangguan
pernapasan bagian atas, dapat pula diikuti bakterimia dan septikemia. Terdapat tanda-
tanda peradangan lokal pada lokasi infeksi seperti eritema, teraba hangat, dan nyeri
serta terjadi limfangitis dan sering bergejala sistemik seperti demam dan peningkatan
hitungan sel darah putih. Selulitis yang mengalami supurasi disebut flegmon,
sedangkan bentuk selulitis superfisial yang mengenai pembuluh limfe yang disebabkan
oleh Streptococcus beta hemoliticus group A disebut erisepelas. Tidak ada perbedaan
yang bersifat absolut antara selulitis dan erisepelas yang disebabkan oleh Streptokokus.
Sebagian besar kasus selulitis dapat sembuh dengan pengobatan antibiotik. Infeksi
dapat menjadi berat dan menyebabkan infeksi seluruh tubuh jika terlambat dalam
memberikan pengobatan.1

2.2 Anatomi Hidung


Hidung terdiri dari hidung bagian luar dan rongga hidung atau kavum nasi.
Hidung luar berbentuk pyramid yang dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan
yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk
melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Rongga hidung atau kavum nasi
berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan oleh septum nasi di bagian
tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi

6
bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior
(koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.6

HIDUNG LUAR

Hidung bagian luar yang menonjol pada garis tengah diantara pipi dan bibir atas.
Struktur hidung luar dibedakan atas bagian, pada bagian yang paling atas adalah kubah
tulang yang tak dapat digerakkan, dibawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit
dapat digerakkan dan yang paling bawah adalah lobulus hidungyang mudah
digerakkan.7 Bentuk hidung luar seperti piramid dengan bagian-bagian yaitu: 1)
pangkal hidung, 2) batang hidung, 3) puncak hidung, 4) ala nasi, 5) kolumnela, dan 6)
lubang hidung. Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang
dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk
melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari: 1) tulang
hidung, 2) prosesus frontalis os maxila, 3) prosesus nasalis os frontalis; sedangkan
kerangka tulang rawan yang terdiri atas beberapa pasang tulang rawan yang terletak di
bagian paling bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2)
sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala
mayor dan 3) tepi anteriorkartilagoseptum.8

HIDUNG DALAM

Bagian hidung dalam terdiri dari struktur yang membentang dari os. Internum di
sebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hiidung dari
nasofaring. Setiap rongga hidung memiliki dinding lateral, dinding medial, atap dan
lantai. Pada dinding lateral terdapat konka superior, konka media, dan konka inferior.
Celah antara konka inferior dengan dasar hidung dinamakan meatus inferior, celah
antara konka media dan inferior disebut meatus media dan sebelah atas konka media
disebut meatus superior.9

7
Gambar 1: Dinding lateral kavum nasi8

VASKULARISASI HIDUNG

Daerah septum hidung ini berisi serangkaian anastomosis antara cabang arteri
karotis internal (AKI) dan eksternal (AKE). Arteri oftalmika, yang merupakan cabang
dari AKI, bercabang dua menjadi arteri ethmoidalis anterior dan posterior. Cabang
anterior lebih besar dibanding cabang posterior dan pada bagian medial akan melintasi
atap rongga hidung, untuk mendarahi bagian superior dari septum nasi dan dinding
lateral hidung. AKE bercabang menjadi arteri fasialis dan arteri maksilaris interna.
Arteri fasialis memperdarahi bagian anterior hidung melalui arteri labialis superior.7
Arteri maksilaris interna di fossa pterigopalatina bercabang menjadi arteri
sfenopalatina, arteri nasalis posterior dan arteri palatina mayor. Arteri sfenopalatina
memasuki rongga hidung pada bagian posterior konka media, memperdarahi daerah
septum dan sebagian dinding lateral hidung.7 Pada bagian anterior dari cavum nasi,
pembuluh-pembuluh ini membentuk anastomosis yang disebut sebagai pleksus
Kiesselbach, yang terdiri dari a. spenopalatina, a. palatina mayor, a. labialis superior
dan a. etmoidalis anterior. Pada daerah posterior terdapat pleksus woodruff yang
dibentuk oleh anastomosis dari a. sphenopalatina, a.nasalis posterior, dan a. faringeal
ascenden 8
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan
dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v. oftalmika
yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki
katup, sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi
hingga ke intrakranial.

8
Aliran darah balik dari hidung dialirkan melalui pembuluh v. etmoidalis anterior
dan posterior menuju v. sfenopalatina lalu ke pleksus Pterygoideus dalam fossa
infratemporalis yang akhirnya bermuara pada sinus kavernosus. Karakteristik vena
yang tidak memiliki katup merupakan salah satu hal yang dapat meningkatkan risiko
penyebaran infeksi ke intra kranial.

Gambar 2: Vaskularisasi dinding lateral hidung8

Gambar 3: Vaskularisasi septum8

9
Gambar 4: Vena – vena pada hidung
PERSARAFAN HIDUNG
Bagian depan dan atas rongga hidung dipersarafi oleh n.etmoidalis anterior, yang
merupakan cabang dari n.nasosiliaris dan berasal dari n.oftalmikus (N.V-1). Rongga
hidung lainnya sebagian besar mendapat persyarafan sensoris dari n.maksila melalui
ganglion sfenopalatinum. selain memberikan persyarafan sensoris, ganglion
sfenopalatinum juga memberikan persyarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa
hidung. Ganglion ini menerima serabut sensoris dari n.maksila (N.V-2), serabut
parasimpatis dari n.petross superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari
n.petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit di atas
ujung posterior konka media. Nervus olfaktorius turun dari lamina kribrosa dari
permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor
penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.7

10
Gambar 5: Persarafan hidung 7

ANATOMI SINUS KAVERNOSUS


Secara anatomi, sinus kavernosus merupakan ruang vena, dengan arteri karotis
interna (AKI) dan beberapa saraf kranial melewatinya.Sinus kavernosus merupakan
pertemuan vena yang dibungkus oleh lapisan dura dan berlokasi pada sisi medial fossa
kranial media dan lateral dari daerah sellar.10,11
Ciri khas sinus kavernosus yaitu adanya hubungan yang erat antara aliran vena
dengan sejumlah nervus kranial.Segmen horizontal arteri karotis interna dan N.
abdusen (N VI) melintasi sinus vena ini. N. oculomotor (N III), n. troklearis (N IV), n.
trigeminal (N V) cabang pertama dan kedua berhubungan erat dengan dinding lateral
sinus kavernosus (Gambar 1)10,12

11
Gambar 6. Potongan koronal sinus kavernosus11

Sinus kavernosus mendapat aliran darah dari vena serebral dan oftalmik
superior, pleksus pterigoid dan vena oftalmik inferior, berakhir di posterior pada sinus
petrosal superior dan inferior yang mengalir ke sinus transversa dan vena jugular
interna (Gambar 2).11

12
Gambar 7. Hubungan sinus kavernosus dengan sinus dural lainnya dan vena pada
kepala dan leher11
Terdapat hubungan antara daerah segitiga berbahaya wajah dengan risiko
terjadinya TSK. Daerah segitiga berbahaya wajah terdiri dari daerah sudut bibir ke
dorsum nasi (gambar 3).13 Pada daerah ini terdapat vena fasialis yang berhubungan
dengan sinus kavernosus oleh beberapa anastomosis. Anastomosisnya adalah dengan
vena angular, supraorbital, oftalmik superior dan inferior serta vena nasalis.14
Beberapa faktor yang menyebabkan komplikasi serius dari vena-vena ini,
meliputi tidak adanya lemak subkutan pada bibir atas, aliran darah yang aktif pada otot-
otot daerah ini dan ketidakmampuan vena untuk kolaps.15

13
Gambar 8. Daerah segitiga berbahaya wajah15

2.3 Etiologi
Penyebab selulitis paling sering pada orang dewasa adalah Staphylococcus
aureus dan Streptococcus beta hemoliticus group A sedangkan penyebab selulitis pada
anak adalah Haemophilus influenza tipe b (Hib), Streptokokus beta hemolitikus grup A,
dan Staphylococcus aureus. Streptococcuss beta hemolitikus group B adalah penyebab
yang jarang pada selulitis. Selulitis pada orang dewasa imunokompeten banyak
disebabkan oleh Streptococcus pyogenes dan Staphylococcus aureus sedangkan pada
ulkus diabetikum dan ulkus dekubitus biasanya disebabkan oleh organisme campuran
antara kokus gram positif dan gram negatif aerob maupun anaerob. Bakteri mencapai
dermis melalui jalur eksternal maupun hematogen. Pada imunokompeten perlu ada
kerusakan barrier kulit, sedangkan pada imunokopromais lebih sering melalui aliran
darah. Onset timbulnya penyakit ini sama pada semua usia.3

2.4 Patogenesis
Bakteri patogen yang menembus lapisan luar menimbulkan infeksi pada
permukaan kulit atau menimbulkan peradangan. Penyakit infeksi sering berjangkit pada
orang gemuk, rendah gizi, kejemuan atau orang tua pikun dan pada orang yang
menderita diabetes mellitus yang pengobatannya tidak adekuat.16
Furunkulosis merupakan infeksi pada folikel rambut yang menyebabkan
pembentukan abses dengan akumulasi nanah dan jaringan nekrotik. Furunkel ditandai
dengan nodul merah, bengkak dan nyeri tekan. Penyebab infeksi paling banyak adalah
Staphylococcus aureus.17,18 Furunkulosis dimulai dengan infeksi tunggal, biasanya
berhasil di tatalaksana dengan pembersihan luka dan antibiotik. Akan tetapi penyebaran
infeksi ke bagian lebih dalam dapat menyebabkan komplikasi serius.19 Komplikasi
paling umum mengikuti furunkulosis hidung adalah edema tip nasi dan eritema diikuti
selulitis fasial, abses septum dan trombosis sinus kavernosus.18

14
Setelah menembus lapisan luar kulit, infeksi akan menyebar ke jaringan-
jaringan dan menghancurkannya, hyaluronidase memecah substansi polisakarida,
fibrinolysin mencerna barrier fibrin, dan lecithinase menghancurkan membran sel.2

2.4 Gejala Klinis


Gambaran klinis tergantung akut atau tidaknya infeksi. Umumnya semua
bentuk ditandai dengan kemerahan dengan batas jelas, nyeri tekan dan bengkak.
Penyebaran perluasan kemerahan dapat timbul secara cepat di sekitar luka atau ulkus
disertai dengan demam dan lesu. Pada keadaan akut, kadang-kadang timbul bula. Dapat
dijumpai limfadenopati limfangitis. Tanpa pengobatan yang efektif dapat terjadi
supurasi lokal (flegmon, nekrosis atau gangren).3
Selulitis biasanya didahului oleh gejala sistemik seperti demam, menggigil, dan
malaise. Daerah yang terkena terdapat 4 kardinal peradangan yaitu rubor (eritema),
color (hangat), dolor (nyeri) dan tumor (pembengkakan). Pada pemeriksaan darah tepi
biasanya ditemukan leukositosis.20
Periode inkubasi sekitar beberapa hari, tidak terlalu lama. Gejala prodormal
berupa: malaise anoreksia; demam, menggigil dan berkembang dengan cepat, sebelum
menimbulkan gejala-gejala khasnya. Pasien imunokompromais rentan mengalami
infeksi walau dengan patogen yang patogenisitas rendah. Terdapat gejala berupa nyeri
yang terlokalisasi dan nyeri tekan. Jika tidak diobati, gejala akan menjalar ke sekitar
lesi terutama ke proksimal. Kalau sering residif di tempat yang sama dapat terjadi
elefantiasis.1
Lokasi selulitis pada anak biasanya di kepala dan leher, sedangkan pada orang
dewasa paling sering di ekstremitas karena berhubungan dengan riwayat seringnya
trauma di ekstremitas. Pada penggunaan salah obat, sering berlokasi di lengan atas.
Komplikasi jarang ditemukan, tetapi termasuk glomerulonefritis akut (jika disebabkan
oleh strain nefritogenik streptococcus, limfadenitis, endokarditis bakterial subakut).
Kerusakan pembuluh limfe dapat menyebabkan selulitis rekurens.20

2.5 Diagnosis
Diagnosis selulitis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis.
Pada pemeriksaan klinis selulitis ditemukan makula eritematous, tepi tidak meninggi,
batas tidak jelas, edema, infiltrat dan teraba panas, dapat disertai limfangitis dan
limfadenitis. Penderita biasanya demam dan dapat menjadi septikemia.21 Selulitis yang
disebabkan oleh H. Influenza tampak sakit berat, toksik dan sering disertai gejala

15
infeksi traktus respiratorius bagian atas bakteriemia dan septikemia. Lesi kulit berwarna
merah keabu-abuan, merah kebiru-biruan atau merah keunguan. Lesi kebiru-biruan
dapat juga ditemukan pada selulitis yang disebabkan oleh Streptokokus pneumonia
Pada pemeriksaan darah tepi selulitis terdapat leukositosis (15.000-400.000) dengan
hitung jenis bergeser ke kiri.3
2.6 Pengobatan Selulitis Facialis
Penanganan selulitis fasialis terpenting adalah diagnosis sedini mungkin dan
pemberian antibiotic yang sesuai dengan bakteri penyebabnya secara agresif. Gambaran
klinis tertentu, termasuk lokasi anatomi, riwayat penyakit sebelumnya dan paparan
terhadap bakteri penyebab merupakan factor yang mempengaruhi pemberian antibiotic
dan prognosis selulitis fasialis.22,23
Antibiotic spectrum luas merupakan pilihan pertama dalam pengobatan jika
belum mengetahui bakteri penyebabnya. Beberapa contoh pilihan antibiotic
berdasarkan sensitivitasnya adalah : cefadroxil yang merupakan golongan
cephalosporin generasi 1 yang sensitive terhadap bakteri gram positif tetapi kurang
sensitive terhadap bakteri gram negative, ceftriaxone yang merupakan cephalosporin
generasi III yang kurang sensitive terhadap bakteri gram positif tetapi lebih sensitive
terhadap bakteri gram negative.22,23
Selulitis karena streptokokus diberi penisilin prokain G 600.000-2.000.000 IU
IM selama 6 hari atau dengan pengobatan secara oral dengan penisilin V 500 mg setiap
6 jam, selama 10-14 hari. Pada selulitis karena H. Influenza diberikan Ampicilin untuk
anak (3 bulan sampai 12 tahun) 100-200 mg/kg/d (150-300 mg), >12 tahun seperti
dosis dewasa.3

Pada selulitis yang ternyata penyebabnya bukan staphylococcus aureus


penghasil penisilinase (non SAPP) dapat diberi penisilin. Pada yang alergi terhadap
penisilin, sebagai alternatif digunakan eritromisin (dewasa: 250-500 gram peroral;
anak-anak: 30-50 mg/kgbb/hari) tiap 6 jam selama 10 hari. Dapat juga digunakan
klindamisin (dewasa 300-450 mg/hari PO; anak-anak 16-20 mg/kgbb/hari). Pada yang
penyebabnya SAPP selain eritromisin dan klindamisin, juga dapat diberikan
dikloksasilin 500 mg/hari secara oral selama 7-10 hari.3

2.7 Komplikasi selulitis fasialis

16
Komplikasi pada selulitis fasialis didasari oleh penyebaran infeksi melalu sinus
kavernosus. Sinus kavernosus merupakan sebuah drainase yang saling berkaitan
sehingga mempermudah untuk penyebaran infeksi. Ketika daerah segitia berbahaya
mengalami infeksi baik itu disebabkan secara eksternal maupun internal, infeksi
tersebut dapat menyebar ke bagian tubuh lainnya seperti bagian hidung lain, mata
bahakan sampe ke otak.
Salah satu yang mendahului terjadinya infeksi di hidung adalah folikulitis.
Folikulitis adalah peradangan pada akar rambut. Salah satu rambut yang dapat
mengalami poeradangan adalah rambut atau bulu hidung yang di akibatkan oleh
berbagai mekanisme. Dari folikulitis ini lah berkembang salah satunya menjadi eritema
pada fasial atau disebut dengan selulitis fasialis.
Beberapa komplikasi yang dapat di sebebkan adalah : edema tip nasi dan eritem
yang diikuti selulitis fasialis, abses septum, thrombosis sinus kavernosus serta abses
pada otak.18
Trombosis sinus kavernosus adalah pembentukan bekuan darah di dalam sinus
kavernosus.24 Sinus kavernosus merupakan jaringan yang saling berhubungan, dengan
pola drainase yang unik digabung dengan vena yang tidak berkatup.19 Sinus kavernosus
juga berkomunikasi antara satu dengan yang lainnya dan menyilang pada garis tengah
melalui vena interkavernosus anterior dan posterior, sehingga berpotensi menyebabkan
trombosis bilateral.25 Sinus kevernosus mengandung trabekula yang dapat
menyebabkan emboli terperangkap di dalamnya. Bakteri dapat menyebabkan trombosis
dan dilindungi oleh thrombus itu sendiri.26
Gejala klinis TSK adalah demam dan nyeri kepala disertai proptosis, kemosis,
bengkak periorbita dan kelumpuhan beberapa nervus kranial.25,26 Proptosis dan kemosis
terjadi akibat stasis aliran vena.25,27 Oftalmoplegia eksterna terjadi akibat keterlibatan
Nervus oculomotor (III), Nervus troklearis (IV) dan Nervus abducens (VI) pada sinus
kavernosus. Nervus kranial VI paling umum terlibat karena letaknya sentral dan
melewati sinus kavernosus dengan nervus kranial IV paling terakhir dipengaruhi.26
Nervus lain yang juga terlibat adalah Nervus trigeminal (V) cabang kesatu dan kedua.25

17
BAB 3
LAPORAN KASUS

IDENTIFIKASI
• Nama : Tn. KA
• Umur : 58 tahun
• Jenis kelamin : Laki-laki
• Pekerjaan : Pensiunan
• No. RM : 256308
• Tanggal Masuk : 2 Maret 2023
• Alamat : Padang
• Status : Menikah
• Agama : Islam

ANAMNESIS
Pasien dirawat di bangsal Rumkit Tk. III Reksodiwiryo Padang pada tanggal 2 Maret
2023 dengan:
Keluhan Utama
Bengkak di pipi kanan sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit.

Riwayat Perjalanan Penyakit


- Bengkak di pipi kanan sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit.
- Bengkak berwarna kemerahan dengan batas yang tegas.
- Bengkak terasa panas dan nyeri.
- Satu minggu yang lalu ada riwayat mencabut bulu hidung, 1 hari setelah itu
tampak merah di tepi lobang hidung kanan dan terasa nyeri. 4 hari setelah itu
bengkak terasa di pipi kanan dan terasa nyeri dan kemerahan.
- Badan terasa panas dan diikuti rasa nyeri kepala
- nyeri tekan di wajah ada sebelah kanan, nyeri tekan di wajah kiri tidak ada
- Riwayat bersin – bersin dan ingusan di pagi hari tidak ada
- Riwayat batuk 2 minggu yang lalu tidak ada
- Bengkak di sekitar mata tidak ada
- Penglihatan tidak terganggu dan kemarahan pada mata tidak ada
- Nyeri kepala tidak ada.

18
Gambar 9: Foto Pasien

Riwayat Penyakit Dahulu

- Riwayat DM ada
- Riwayat Hipertensi tidak ada

Riwayat Penyakit Pengobatan


- Riwayat suntik Insulin
Riwayat Penyakit Keluarga
- Riwayat DM dalam keluarga tidak ada
- Riwayat Hipertensi dalam keluarga tidak ada
- Riwayat keganasan dalam keluarga tidak ada

Riwayat Kebiasaan
- Riwayat konsumsi alkohol dan alkohol tidak ada.

PEMERIKSAAN FISIK
Vital Sign
Keadaan umum : Sedang
Kesadaran : CMC (E4V5M6)
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 80x/menit
Pernafasan : 15x/menit
Suhu : 37,7° C

19
Status Generalisata

Kepala : Normochepal, rambut hitam dan tidak mudah dicabut, bengkak


pipi kanan (+), kemerahan di pipi kanan dengan batas yang tegas
(+), Nyeri tekan pada pipi kanan (+), fluaktatif (-).
Mata : Edema palpebra (-), mata agak cekung (+), konjungtiva anemis
-/-, sklera ikterik (-) , pupil isokor 3 mm/ 3 mm, refleks cahaya
(+/+)
Telinga : Nyeri tarik pinna (-/-), nyeri tekan tragus (-/-), nyeri ketok
mastoid (-/-), cairan (-/-), pendengaran dalam batas normal
Hidung : Deformitas (-/-), penyumbatan (-/-), epistaksis (-/-), sekret (-/-),
penciuman dalam batas normal, nyeri (-)
Mulut : Mukosa bibir kering, sianosis (-), lidah kotor (-), tonsil ukuran
T1-T1, atrofi papil lidah (-), uvula di tengah, gigi dan gusi dalam
batas normal.
Leher : Pembesaran KGB tidak ada, JVP 5+0 cmH20
Thorax : Jantung
Inspeksi: ictus cordis tidak terlihat
Palpasi: ictus codis teraba 1 jari medial LMCS RIC V
Perkusi: batas atas RIC II, batas jantung kanan linea sternalis
dextra, batas jantung kiri LMCS RIC V
Auskultasi: S1-S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Paru
Inspeksi: Pergerakan dinding dada simetris kiri dan kanan,
Palpasi: Taktil fremitus sama kiri dan kanan
Perkusi: Sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi: Rhonki (+/+), Wheezing (-/-)
Abdomen : Inspeksi: distensi (-), pelebaran vena kolateral dan caput
medusae (-)
Auskultasi: bising usus (+) normal
Palpasi: supel, nyeri tekan epigastrium(+), hepar dan lien tidak
teraba
Perkusi: timpani
Genitalia : Tidak dilakukan pemeriksaan

20
Ekstremitas : Atas : edema -/-, sianosis -/-, clubbing finger -/-
Bawah : edema -/-, sianosis -/-, clubbing finger -/-

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Hb : 14,7 g/dl 14-16 g/dl
Ht : 43% 40-48%
Leukosit : 15.690/mm3 5.000-10.000/mm3
Trombosit : 226.000/mm3 150.000-400.000/mm3
GDR : 140 70 – 199 mg/dl
Ureum : 24 19-45
Kreatinin : O,85 0,72 – 1,18
SGOT : 10,4 <37
SGPT : 12,8 <42
Waktu perdarahan : 2’00” 1-6 menit
Waktu pembekuan : 4’00” 2-6 menit

Kesan : Leukositosis

DIAGNOSIS
Selulitis Facialis

PENATALAKSANAAN
- IVFD RL tiap 12 jam
- Vicilin 3 x 1 gram
- Dexketoprofen 3 x 1
- Dexamethasone 3 x 1
- SC tiap 8 jam
- Lantus 1 x 10 unit
- Apidra 3 x 6 unit
- Klindamisin 3 x 1

21
FOLLOW UP
Kamis, 2 Maret 2023
S/
- Bengkak pipi kanan (+)
- Berwaran kemerahan
- Terasa nyeri

O/
KU Kes TD Nd Nf T
Sdg CMC 110/70 88x/i 15x/i 37,6ºC

- Nyeri Tekan (+) pada pipi kanan

A/
- Selulitis facialis
P/
- Vacilin 3 x 1
- Dexketoprofen 3 x 1
- IVFD RL tiap 12 jam

Jumat, 3 Maret 2023


S/
- Bengkak pipi kanan (+) semakin meningkat
- Berwaran kemerahan
- Terasa nyeri

O/
KU Kes TD Nd Nf T
Sdg CMC 110/70 88x/i 15x/i 37,6ºC

- Nyeri Tekan (+) pada pipi kanan

A/
- Selulitis facialis
P/
- Terapi lanjut
- Klindamisin
- Dexamethasone 3 x 1

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda, Adhi. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ketujuh. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.2008
2. Fitzpatrick, Thomas B. Dermatology in General Medicine, seventh edition. New
York: McGrawHill: 2008
3. Herchline TE. 2011. Cellulitis. Wright State University, Ohio, United State of
America.
4. Swartz MN,. Cellulitis, N Engl Med, 2004; 350(9): 904-912.
5. Tunessen, WW,. Practical aspects of bacterial skin infection in children, Ped
Dermatol, 1985; 2 (4): 255-265.
6. Soepardi, E. A. et al. (2017) Buku Ajar Telinga, Hidung, dan Tenggorokan FK
UI, THT UI.
7. Foshee J, lloreta AM, Nyquist GG, Rosen MR. 2016. Epistaxis. In Rhinology
hand book.New York.p109-123
8. Sobotta. 2013. Sobbota atlas anatomi manusia. Edisi 22. EEG penerbit buku
kedokteran. Jakarta.
9. Santos PM, Lapore ML. Epistaxis. Dalam: Bailey BJ. Head and Neck Surgery
Otolaringology. Vol. 2. 3rd ed Philadelphia. JB Lippincot. 2001. P. 301302.
10. Krisht A, Kadri P. Microsurgical anatomy of the cavernous sinus. Techniques in
Neurosurgery. 2003; 8(4):199-203
11. Ebright J, Pace M, Niazi A. Septic thrombosis of the cavernous sinuses. Arch
Intern Med. 2001; 161: 2671-6.
12. Syed A, Bell B, Hise J, Philip J, Spak C, Michael J. Opatowsky. Bilateral
cavernous sinus and superior ophthalmic vein thrombosis in the setting of facial
13. Varshney S, Malhotra M, Gupta P, Gairola P, Kaur N. Cavernous sinus
thrombosis of nasal origin in children. 2015;7(1):100-15.
14. Smith A. Cavernous sinus thrombosis consequent to furuncle of face. Journal of
The Natioal Medical Association. 1941;33(6): 259-64.
15. Dixon J. The pathologic examination in cavernous sinus thrombosis. JAMA.
1926;87(14):1088-92.
16. Concheiro J, Loureiro M, González-Vilas D, et al. 2009. Erysipelas and
cellulitis: a retrospective study of 122 cases. 100(10): 888-94

23
17. Ibler K, Kromann C. Recurrent furunculosis – challenges and management: a
review. Clinical, Cosmetic and Investigational Dermatology. 2014; 7:59–64.
18. Das A, Borah H , Jamil H, Laskar H, Das B. Unusually high incidence and
complications of nasal furunculosis at North East region of Assam. National
Journal of Otorhinolaryngology and Head & Neck Surgery. 2014;2(11):20-1.
19. Faridah M, Azhany Y, Omar N, Rasdi AR, Yaacob M. Bilateral orbital cellulitis
secondary to furunculosis a case series. Sch J Med Case Rep. 2015; 3(9B): 892-
5.
20. Herchline TE. 2011. Cellulitis. Wright State University, Ohio, United State of
America.
21. Wolff K, Johnson RA, Fitspatricks: color atlas and synopsis of clinically
dermatology. New York: McGrawHill. 200
22. Dhariwal DK, Kittur MA, Farrier JN, A.W. Sugar, AW, Aird, DW, Laws,
DE,.Post-traumatic orbital cellulitis, Br J OralMaxillofac Surg, 2003; 41: 21-28.
23. Howe L, Jones NS, Guidelines for themanagement of periorbital
cellulitis/abscess, Clin Otolaryngol, 2004; 29:725-728.
24. Sumantra I, Marzuki H. Trombosis sinus cavernosus. Jurnal Ilmiah Kedokteran.
2014;3(1): 7-20.
25. Syed A, Bell B, Hise J, Philip J, Spak C, Michael J. Opatowsky. Bilateral
cavernous sinus and superior ophthalmic vein thrombosis in the setting of facial
cellulitis. Bayl Univ Med Cent. 2016;29(1):36–8.
26. Andrews C, Hawk H, Holmstedt C. Septic cavernous sinus thrombosis.
Neurology and Clinical Neuroscience. 2014.117–8.
27. Gianonni C. Complication of Rhinosinusitis in Bailey’s head and neck surgery.
Edisi ke-5. 2014; 38:573-85.

24

Anda mungkin juga menyukai