EPISKLERITIS
Disusun oleh
Narasumber
Prof. Dr. dr. Ratna Sitompul, Sp.M (K)
BAB I 2
PENDAHULUAN 3
BAB II 4
TINJAUAN PUSTAKA 4
Anatomi Sklera 4
Definisi dan Etiologi Episkleritis 6
Epidemiologi dan Faktor Resiko Episkleritis 6
Klasifikasi, Patogenesis, dan Patofisiologi Episkleritis 7
Manifestasi Klinis dan Diagnosis 8
Diagnosis Banding 10
Tatalaksana Episkleritis 10
Komplikasi Episkleritis 12
Prognosis Episkleritis 12
BAB III 13
KESIMPULAN 13
DAFTAR PUSTAKA 14
2
BAB I
PENDAHULUAN
Mata merah adalah manifestasi dari berbagai penyakit sistemik maupun penyakit
oftalmologi yang umum ditemukan di fasilitas kesehatan primer. Mata merah adalah bentuk
inflamasi yang terjadi di berbagai bagian mata termasuk aparatus lakrimalis, kelopak mata,
hingga defek pada tear film. Mata merah umumnya adalah kondisi yang jinak dan dapat
ditatalaksana oleh dokter di fasilitas kesehatan primer. Salah satu patologi dengan manifestasi
mata merah adalah episkleritis, yaitu peradangan pada lapisan episklera. Kondisi ini sering
terjadi di masyarakat, sebagian besar kasus bersifat jinak, dan dapat hilang dengan sendirinya
setelah 1-2 minggu. Akan tetapi kasus rekurensinya cukup tinggi sehingga pasien
memerlukan edukasi lebih rinci agar tidak panik di kemudian hari. Selain itu, tampilan mata
merah pada episkleritis perlu dibedakan dari diagnosis banding lainnya seperti
kongjungtivitis dan skleritis karena setiap penyakit memiliki strategi tatalaksana yang
berbeda. Sebagai calon dokter umum, penting bagi mahasiswa profesi untuk mengetahui
patologi ini sehingga dapat menegakkan diagnosis dan memberikan tatalaksana dengan tepat.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
Ketebalan sklera bervariasi tergantung lokasi dan berbeda pada tiap individu.
Bagian sklera paling tebal adalah bagian posterior (1 mm) dan menipis di anterior.
Bagian sklera yang paling tipis adalah bagian insersio otot ekstraokular yaitu sekitar
0.3 mm. Pada sklera terdapat tiga celah, yaitu celah posterior, celah media, dan celah
anterior. Celah posterior terdapat di sekitar nervus optikus dan menjadi pintu
masuknya arteri silier posterior dan nervus siliaris panjang maupun pendek. Arteri
silier posterior panjang dan nervus siliaris panjang berjalan ke badan silier melalui
lekukan dangkal di permukaan dalam sklera pada arah jam 3 dan 9. Sedikit posterior
dari garis ekuator terdapat celah media, tempat empat vena vortex mempenetrasi
sklera. Vena vortex ini merupakan drainase koroid keluar dari sklera. Celah anterior
terletak 3-4 mm dari limbus. Celah ini adalah tempat masuknya arteri dan vena silier
anterior. Sklera sendiri diinervasi oleh cabang nervus siliaris longus.1,2,4
Secara mikroskopik, sklera disusun oleh serat paralel padat kolagen yang
saling berikatan dengan ketebalan tiap serat 10-16 mirkometer dan lebar 100-140
mikrometer. Sklera tersusun oleh tiga lapisan, yaitu jaringan episklera, sklera, dan
lamina fusca. Jaringan episklera adalah jaringan tipis, padat, dengan vaskularisasi.
Vaskularisasi episklera dibagi menjadi tiga lapisan, yaitu pleksus konjungtiva,
episklera superfisial, dan episklera profunda dari superfisial ke profunda. Pleksus
konjungtiva adalah pleksus yang paling superfisial dan dapat digerakkan. Pleksus
episklera superfisial berjalan radial dan mengalami kongesti saat terjadi episkleritis.
5
Pleksus episklera profunda mendarahi sklera dan mengalami kongesti saat skleritis.
Pada episklera dapat ditemukan fibroblas, makrofag, dan limfosit. Sklera adalah
struktur avaskular yang disusun oleh serat kolagen padat yang tersusun menyilang.
Lamina fusca adalah struktur terdalam sklera yang tergabung dengan lamina
suprakoroid dan suprasiliar dari traktus uvea. Struktur histologis sklera sangat mirip
sengan stroma kornea, namun sklera lebih opak karena lamela kolagen yang tersusun
ireguler dan kandungan air yang lebih tinggi.2,3,5
6
memiliki mata kering.1,7 Penyakit ini dikatakan memiliki insidensi yang sulit
ditentukan secara pasti karena sifatnya yang merupakan self-limiting disease dan
mayoritas asimtomatik sehingga jarang pasien datang untuk berobat ke dokter.
Penyakit ini memiliki onset mendadak (tiba - tiba mata terlihat kemerahan) namun
memiliki prognosis yang baik serta tanpa komplikasi jangka panjang. Mayoritas
episkleritis terdiagnosis pada golongan usia muda hingga dewasa pertengahan,
dikatakan sering terjadi pada wanita, dan jarang pada anak - anak. Namun tidak ada
konsensus pada populasi secara umum mengenai insidensi dan prevalensi, hanya
diketahui bahwa pada 70% kasus episkleritis, pasien lebih sering mengalami
episkleritis difus dibandingkan nodular.5,6
1. Episkleritis simpel
Merupakan jenis episkleritis yang paling sering terjadi (yaitu sekitar 75%
kasus episkleritis) dan dilaporkan memiliki tingkat rekurensi yang tinggi mencapai
60%. Gejala yang ditimbulkan berupa kemerahan, rasa tidak nyaman, hingga dapat
pula muncul fotofobia yang dikeluhkan pasien. Biasanya gejala memuncak pada 24
7
jam dan kemudian berangsur membaik. Lokasi kemerahan bisa melibatkan hingga 2-3
kuadran mata hingga difus dan juga tajam penglihatan biasa normal.1,2,6
2. Episkleritis nodular
8
akan berhenti sendirinya (dalam hitungan hari hingga minggu). Sifat yang self limited
ini membuat episkleritis jarang butuh pengobatan.5
Episkleritis memiliki dua bentuk klasik. Serangan bentuk pertama atau disebut
episkleritis simple berlangsung selama 5-10 hari dengan resolusi sempurna selama 2-3
minggu. Bentuk ini memiliki kecenderungan kambuh dengan angka rekurensi hingga
60%. Rekurensi pertama terjadi dalam 2 bulan setelah serangan pertama kali.
Rekurensi gejala tersebut akan terjadi hingga 3-6 tahun kemudian dan terjadi
penurunan frekuensi rekurensi sesudah 3-4 tahun. Peradangan episkleritis simple
bersifat sedang-berat dan tidak terkait dengan penyakit sistemik. Bentuk keduanya
disebut episkleritis nodular, memiliki episode serangan yang lebih panjang dan lebih
nyeri, dan interval antar serangan bersifat yang tidak teratur. Pasien dengan gambaran
bentuk kedua biasanya mempunyai keterlibatan penyakit sistemik.5
Selanjutnya dilakukan pemeriksaan oftalmologi, pada pemeriksaan tajam
penglihatan didapatkan tajam penglihatan baik, dapat terlihat inflamasi terlokalisir di
episklera berupa edema dan inflamasi dengan injeksi merah muda dan dilatasi
pembuluh darah pada episklera superfisial. Peradangan yang terjadi tidak melibatkan
jaringan dan pembuluh darah di sklera dan konjungtiva subtarsal, namun pada
konjungtiva di atas lapisan episklera yang terjadi peradangan dapat ikut terkena.5
Injeksi episklera berwarna merah muda dapat membedakan episkleritis dengan
skleritis yang memiliki injeksi dengan warna merah kebiruan. Apabila pembuluh
darah episklera ditekan dan digerakkan dengan lidi kapas maka akan tampak
pembuluh darah yang dapat digerakkan; serta dengan tetes mata fenilefrin 10% injeksi
pada episkleritis selanjutnya akan berkurang. Edema kelopak mata dan khemosis
terjadi pada kasus yang berat akibat ekstravasasi cairan dari pembuluh darah di area
terinflamasi. Bentuk episkleritis yang difus lebih sering terjadi daripada nodular.5
9
Gambar 6. Episkleritis Nodular5
10
meliputi pemberian terapi suportif, seperti artificial tears dengan pemberian
setidaknya 4 kali dalam sehari. Selain itu, NSAID oral atau topikal dapat diberikan
kepada pasien episkleritis yang mengalami rasa nyeri yang mengganggu. Pemberian
edukasi kepada pasien mengenai kondisi matanya yang tidak mengancam penglihatan
serta dapat ditangani dengan memberikan lubrikan topikal saja perlu dilakukan.
Pemberian kortikosteroid topikal dibatasi untuk kondisi ringan serta self-limiting.
Pemberian kortikosteroid jangka pendek dilakukan pada pasien dengan kasus berat
yang tidak memberikan respons saat diberikan terapi dengan lubrikan dan NSAID.
Pemberian terapi pada episkleritis perlu diperhatikan karena komplikasi yang sering
terjadi pada episkleritis disebabkan akibat pemberian kortikosteroid jangka panjang.5,6
NSAID oral, seperti ibuprofen atau naproxen dapat menjadi pilihan untuk
diberikan. Dosis ibuprofen yang dapat diberikan, yaitu 200 - 600 mg 3 hingga 4 kali
sehari. Dosis naproxen yang dapat diberikan, yaitu 250 - 500 mg 2 kali sehari dapat
diberikan hingga 2 minggu. Pemberian NSAID oral perlu diperhatikan karena
memiliki efek samping terhadap saluran pencernaan, yaitu tukak lambung. Oleh
karena itu, pemberian NSAID oral perlu disertai dengan pemberian antasida, seperti
omeprazole 20 mg sehari atau ranitidine 150 mg 2 kali sehari.5,6
NSAID topikal seperti diklofenak 0,1% dan 0,5% dapat diberikan dalam
jumlah yang terbatas. NSAID topikal dapat mengurangi nyeri ringan serta inflamasi
yang disebabkan akibat episkleritis tanpa mempengaruhi tekanan intraokular. Namun,
berdasarkan sebuah studi, efek NSAID topikal terhadap perjalanan penyakit dianggap
kurang signifikan serta manfaat dari penggunaannya tidak melebihi dari efek samping
yang dapat timbul meliputi corneal melt, rasa nyeri, serta terbakar saat
pengaplikasian.5,6
Pemberian kortikosteroid topikal, seperti fluorometholone 0,1% atau
loteprednol etabonate 0,5% dapat menjadi pilihan dengan pemberian sebanyak 4 kali
sehari selama 1 hingga 2 minggu lalu kemudian dilakukan tapering off. Walaupun
risiko terjadinya hipertensi okular akibat pemberian steroid cukup jarang dengan
pemberian kortikosteroid jenis ringan ini, evaluasi pasien dalam 1 atau 2 minggu
setelah pemberian kortikosteroid perlu dilakukan untuk memonitor tekanan
intraokular serta mengevaluasi resolusi dari episkleritis. Pemberian kortikosteroid
yang lebih poten serta memberikan efek anti-inflamasi yang lebih besar, yaitu
prednisolone acetate 1% 4 kali sehari dapat dilakukan apabila pemberian
fluorometholone 0,1% atau loteprednol etabonate 0,5% tidak menunjukan adanya
11
respons perbaikan. Namun, kortikosteroid yang lebih poten ini memiliki risiko
terjadinya hipertensi okular yang lebih tinggi. Pada umumnya, inflamasi yang
berkaitan dengan episkleritis tidak cukup parah untuk dijadikan indikasi pemberian
difluprednate 0,05% atau steroid oral. Steroid topikal dapat menyebabkan efek
samping katarak subskapular posterior serta meningkatkan kerentanan pasien terhadap
infeksi. Oleh karena itu, pemberiannya perlu dilakukan dengan perhitungan dan
pertimbangan yang baik.5,6
12
BAB III
KESIMPULAN
13
DAFTAR PUSTAKA
1. Salmon JF. Kanski’s clinical ophthalmology a systematic approach. 9th ed. New York:
Elsevier; 2020.
2. Khurana AK. Comprehensive ophthalmology. 4th ed. India: New Age International
Ltd Publisher; 2007.
3. Lang GK, Amann J, Gareis O. Ophthalmology: a short textbook. Germany: Thieme;
2000.
4. Riordan-eva P, Augsburger JJ. Vaughan & asburry’s general ophthalmology. 19th ed.
United States: McGraw-Hill Education; 2018.
5. Sitorus RS, Sitompul R, Widyawati S, Bani AP, editors. Buku ajar oftalmologi.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2017.
6. Schonberg S, Stokkermans TJ. Episcleritis [Internet]. US: StatPearls; 2022 Mar 16
[cited 2022 Mei 29]. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK534796/
7. Otaif W, Somali AIA, Habash AA. Episcleritis as a possible presenting sign of the
novel coronavirus disease: A case report. Am J Ophthalmol Case Rep. 2020 Dec 20:
100917.
8. Balakrishnan SA. Episcleritis [Internet]. American Academy of Ophthalmology; 2022
Jan 18. Available from: https://eyewiki.aao.org/Episcleritis#cite_note-3
14