Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH DISKUSI TOPIK

EPISKLERITIS

Disusun oleh

Hervi Salsabila M. P. 1706982613

Kemal Akbar S. 1706982632

Natasha Citra M. 1606900083

Reihana Zahra 1706982903

Narasumber
Prof. Dr. dr. Ratna Sitompul, Sp.M (K)

MODUL PRAKTIK KLINIK


ILMU KESEHATAN MATA
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
MEI 2022
DAFTAR ISI

BAB I 2
PENDAHULUAN 3
BAB II 4
TINJAUAN PUSTAKA 4
Anatomi Sklera 4
Definisi dan Etiologi Episkleritis 6
Epidemiologi dan Faktor Resiko Episkleritis 6
Klasifikasi, Patogenesis, dan Patofisiologi Episkleritis 7
Manifestasi Klinis dan Diagnosis 8
Diagnosis Banding 10
Tatalaksana Episkleritis 10
Komplikasi Episkleritis 12
Prognosis Episkleritis 12
BAB III 13
KESIMPULAN 13
DAFTAR PUSTAKA 14

2
BAB I
PENDAHULUAN

Mata merah adalah manifestasi dari berbagai penyakit sistemik maupun penyakit
oftalmologi yang umum ditemukan di fasilitas kesehatan primer. Mata merah adalah bentuk
inflamasi yang terjadi di berbagai bagian mata termasuk aparatus lakrimalis, kelopak mata,
hingga defek pada tear film. Mata merah umumnya adalah kondisi yang jinak dan dapat
ditatalaksana oleh dokter di fasilitas kesehatan primer. Salah satu patologi dengan manifestasi
mata merah adalah episkleritis, yaitu peradangan pada lapisan episklera. Kondisi ini sering
terjadi di masyarakat, sebagian besar kasus bersifat jinak, dan dapat hilang dengan sendirinya
setelah 1-2 minggu. Akan tetapi kasus rekurensinya cukup tinggi sehingga pasien
memerlukan edukasi lebih rinci agar tidak panik di kemudian hari. Selain itu, tampilan mata
merah pada episkleritis perlu dibedakan dari diagnosis banding lainnya seperti
kongjungtivitis dan skleritis karena setiap penyakit memiliki strategi tatalaksana yang
berbeda. Sebagai calon dokter umum, penting bagi mahasiswa profesi untuk mengetahui
patologi ini sehingga dapat menegakkan diagnosis dan memberikan tatalaksana dengan tepat.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Sklera


Sklera adalah jaringan fibrosa melingkupi lima per-enam bagian luar bola
mata, yang sebagian besar tersusun oleh serat kolagen. Jaringan ini padat, berwarna
putih, dan bersinambung dengan kornea di bagian anterior dan lapisan duramater saraf
optik di bagian posterior. Seluruh bagian luar sklera diselimuti oleh kapsula Tenon
dandi bagian anterior juga dilingkupi oleh konjungtiva bulbi. Bagian terluar sklera
anterior diselubungi oleh lapisan tipis jaringan elastin yang disebut episklera. Jaringan
ini mengandung pembuluh darah yang memberikan nutrisi bagi sklera. Pada bagian
anterior, di sudut bilik mata depan, sklera membentuk jaringan trabekular, kanal
Schlemm, tempat drainase cairan akuos ke vena intraskleral dan episklera melalui 20
kanalikuli. Lapisan pigmen cokelat pada bagian profunda sklera adalah lamina fusca
yang membentuk lapisan luar dari ruang subkoroid. Di bagian posterior foramen
sklera terdapat serat kolagen dan jaringan elastin, membentuk lamina kribrosa, yang
di bagian tengahnya dilalui oleh akson dari nervus optikus.1,2,3

Gambar 1, Anatomi bagian dalam bola mata. 3

4
Ketebalan sklera bervariasi tergantung lokasi dan berbeda pada tiap individu.
Bagian sklera paling tebal adalah bagian posterior (1 mm) dan menipis di anterior.
Bagian sklera yang paling tipis adalah bagian insersio otot ekstraokular yaitu sekitar
0.3 mm. Pada sklera terdapat tiga celah, yaitu celah posterior, celah media, dan celah
anterior. Celah posterior terdapat di sekitar nervus optikus dan menjadi pintu
masuknya arteri silier posterior dan nervus siliaris panjang maupun pendek. Arteri
silier posterior panjang dan nervus siliaris panjang berjalan ke badan silier melalui
lekukan dangkal di permukaan dalam sklera pada arah jam 3 dan 9. Sedikit posterior
dari garis ekuator terdapat celah media, tempat empat vena vortex mempenetrasi
sklera. Vena vortex ini merupakan drainase koroid keluar dari sklera. Celah anterior
terletak 3-4 mm dari limbus. Celah ini adalah tempat masuknya arteri dan vena silier
anterior. Sklera sendiri diinervasi oleh cabang nervus siliaris longus.1,2,4

Gambar 2, Celah sklera.2

Secara mikroskopik, sklera disusun oleh serat paralel padat kolagen yang
saling berikatan dengan ketebalan tiap serat 10-16 mirkometer dan lebar 100-140
mikrometer. Sklera tersusun oleh tiga lapisan, yaitu jaringan episklera, sklera, dan
lamina fusca. Jaringan episklera adalah jaringan tipis, padat, dengan vaskularisasi.
Vaskularisasi episklera dibagi menjadi tiga lapisan, yaitu pleksus konjungtiva,
episklera superfisial, dan episklera profunda dari superfisial ke profunda. Pleksus
konjungtiva adalah pleksus yang paling superfisial dan dapat digerakkan. Pleksus
episklera superfisial berjalan radial dan mengalami kongesti saat terjadi episkleritis.

5
Pleksus episklera profunda mendarahi sklera dan mengalami kongesti saat skleritis.
Pada episklera dapat ditemukan fibroblas, makrofag, dan limfosit. Sklera adalah
struktur avaskular yang disusun oleh serat kolagen padat yang tersusun menyilang.
Lamina fusca adalah struktur terdalam sklera yang tergabung dengan lamina
suprakoroid dan suprasiliar dari traktus uvea. Struktur histologis sklera sangat mirip
sengan stroma kornea, namun sklera lebih opak karena lamela kolagen yang tersusun
ireguler dan kandungan air yang lebih tinggi.2,3,5

2.2. Definisi dan Etiologi Episkleritis


Episkleritis adalah inflamasi pada jaringan ikat antara sklera dan konjungtiva
(episklera), yang melibatkan kapsula Tenon namun tidak sampai lapisan sklera.
Inflamasi ini biasanya berbatas tegas, segmental, dan umumnya berbentuk nodular.
Pada level selular, dapat ditemukan infiltrasi limfositik lokal pada jaringan episklera
disertai dengan edema dan kongesti pada kapsula Tenon dan konjungtiva di bagian
superfisialnya. Sebanyak 70% kasus episkleritis bersifat unilateral, namun pada kasus
yang berkaitan dengan penyakit sistemik, dapat ditemukan episkleritis bilateral.1,2,4
Episkleritis seringkali terjadi tanpa etiologi yang jelas dan hingga sekarang
belum diketahui etiologinya secara pasti. Akan tetapi, 26% hingga 36% kasus
episkleritis dikaitkan dengan penyakit sistemik seperti gout, rosasea, psoriasis,
rheumatoid arthritis, penyakit Crohn, kolitis ulseratif, artritis reaktif, ankylosing
spondylitis, Behcet disease, sindrom Cogan, dan systemic lupus erythematosus (SLE).
Episkleritis juga dipikirkan merupakan reaksi hipersensitivitas terhadap toksin
endogen tuberkular atau streptokokal. Beberapa infeksi seperti penyakit Lyme, cat
scratch fever disease, sifilis dan infeksi virus herpes juga dikaitkan dengan episkleritis
meskipun kejadiannya lebih jarang dibandingkan akibat penyakit kolagen vaskular
maupun autoimun.1,2,4,6

2.3. Epidemiologi dan Faktor Resiko Episkleritis


Penyakit episkleritis merupakan peradangan akut pada lapisan episklera yang
mayoritas penyebabnya merupakan idiopatik, meskipun pada beberapa pasien kondisi
ini dipicu oleh kondisi penyakit sistemik seperti Rheumatoid arthritis, Psoriatic
arthritis, Systemic lupus erythematosus, ataupun pada infeksi seperti Lyme disease
hingga juga dilaporkan sebagai salah satu manifestasi okular dari infeksi COVID-19.
Kondisi ini juga dapat terjadi pada pasien yang menggunakan lensa kontak atau

6
memiliki mata kering.1,7 Penyakit ini dikatakan memiliki insidensi yang sulit
ditentukan secara pasti karena sifatnya yang merupakan self-limiting disease dan
mayoritas asimtomatik sehingga jarang pasien datang untuk berobat ke dokter.
Penyakit ini memiliki onset mendadak (tiba - tiba mata terlihat kemerahan) namun
memiliki prognosis yang baik serta tanpa komplikasi jangka panjang. Mayoritas
episkleritis terdiagnosis pada golongan usia muda hingga dewasa pertengahan,
dikatakan sering terjadi pada wanita, dan jarang pada anak - anak. Namun tidak ada
konsensus pada populasi secara umum mengenai insidensi dan prevalensi, hanya
diketahui bahwa pada 70% kasus episkleritis, pasien lebih sering mengalami
episkleritis difus dibandingkan nodular.5,6

2.4. Klasifikasi, Patogenesis, dan Patofisiologi Episkleritis


Seperti yang telah disampaikan di atas bahwa episkleritis merupakan
peradangan pada episklera yaitu adalah lapisan di antara konjungtiva dengan sklera.
Episkleritis dapat terjadi baik unilateral (pada salah satu mata) maupun bilateral (pada
kedua mata). Kemudian berdasarkan jenis inflamasi nya terbagi menjadi episkleritis
simpel (difus) dan episkleritis nodular.1,2

1. Episkleritis simpel

Gambar 3. Episkleritis difus1

Merupakan jenis episkleritis yang paling sering terjadi (yaitu sekitar 75%
kasus episkleritis) dan dilaporkan memiliki tingkat rekurensi yang tinggi mencapai
60%. Gejala yang ditimbulkan berupa kemerahan, rasa tidak nyaman, hingga dapat
pula muncul fotofobia yang dikeluhkan pasien. Biasanya gejala memuncak pada 24

7
jam dan kemudian berangsur membaik. Lokasi kemerahan bisa melibatkan hingga 2-3
kuadran mata hingga difus dan juga tajam penglihatan biasa normal.1,2,6

2. Episkleritis nodular

Gambar 4. Episkleritis nodular1


Merupakan jenis episkleritis yang dapat bertahan hingga 3 hari dan
menimbulkan rasa tidak nyaman. Pada episkleritis nodular biasanya bisa ada lebih
dari satu fokus nodul. Sama seperti episkleritis simpel, jenis ini juga sifatnya
self-limiting (dapat sembuh dengan sendirinya tanpa pengobatan).1
Mekanisme sesungguhnya dari penyakit episkleritis ini dikatakan belum dapat
dipastikan. Namun disebutkan bahwa pada episkleritis terjadi inflamasi non
granulomatosa pada rangkaian pembuluh darah di lapisan episklera. Kemudian proses
inflamasi akut yang melibatkan aktivasi sel imun seperti limfosit dan makrofag akan
menyebabkan mediator inflamasi terlepas dan menyebabkan vasodilatasi dan
meningkatkan permeabilitas vaskular. Seperti yang telah dijelaskan pada bagian
anatomi bahwa pada lapisan episklera terdapat pembuluh darah sebagai vaskularisasi
bagi sklera yaitu pembuluh darah konjungtiva, pleksus episklera superfisial, dan
pleksus vaskular dalam, dimana pada mata tampak kemerahan sebagai salah satu
manifestasi klinis episkleritis, vasodilatasi pembuluh darah maksimal terjadi pada
pleksus episklera superfisial.2,5,6

2.5. Manifestasi Klinis dan Diagnosis


Keluhan utama pasien episkleritis umumnya adalah mata merah tanpa iritasi
pada daerah mata yang terpapar, dan keluhan tidak nyaman atau sensasi benda asing
hingga terasa nyeri ringan. Serangan berlangsung singkat dengan onset yang akut dan

8
akan berhenti sendirinya (dalam hitungan hari hingga minggu). Sifat yang self limited
ini membuat episkleritis jarang butuh pengobatan.5
Episkleritis memiliki dua bentuk klasik. Serangan bentuk pertama atau disebut
episkleritis simple berlangsung selama 5-10 hari dengan resolusi sempurna selama 2-3
minggu. Bentuk ini memiliki kecenderungan kambuh dengan angka rekurensi hingga
60%. Rekurensi pertama terjadi dalam 2 bulan setelah serangan pertama kali.
Rekurensi gejala tersebut akan terjadi hingga 3-6 tahun kemudian dan terjadi
penurunan frekuensi rekurensi sesudah 3-4 tahun. Peradangan episkleritis simple
bersifat sedang-berat dan tidak terkait dengan penyakit sistemik. Bentuk keduanya
disebut episkleritis nodular, memiliki episode serangan yang lebih panjang dan lebih
nyeri, dan interval antar serangan bersifat yang tidak teratur. Pasien dengan gambaran
bentuk kedua biasanya mempunyai keterlibatan penyakit sistemik.5
Selanjutnya dilakukan pemeriksaan oftalmologi, pada pemeriksaan tajam
penglihatan didapatkan tajam penglihatan baik, dapat terlihat inflamasi terlokalisir di
episklera berupa edema dan inflamasi dengan injeksi merah muda dan dilatasi
pembuluh darah pada episklera superfisial. Peradangan yang terjadi tidak melibatkan
jaringan dan pembuluh darah di sklera dan konjungtiva subtarsal, namun pada
konjungtiva di atas lapisan episklera yang terjadi peradangan dapat ikut terkena.5
Injeksi episklera berwarna merah muda dapat membedakan episkleritis dengan
skleritis yang memiliki injeksi dengan warna merah kebiruan. Apabila pembuluh
darah episklera ditekan dan digerakkan dengan lidi kapas maka akan tampak
pembuluh darah yang dapat digerakkan; serta dengan tetes mata fenilefrin 10% injeksi
pada episkleritis selanjutnya akan berkurang. Edema kelopak mata dan khemosis
terjadi pada kasus yang berat akibat ekstravasasi cairan dari pembuluh darah di area
terinflamasi. Bentuk episkleritis yang difus lebih sering terjadi daripada nodular.5

Gambar 5. Episkleritis Difus5

9
Gambar 6. Episkleritis Nodular5

2.6. Diagnosis Banding


Diagnosis banding pada episkleritis diantaranya meliputi skleritis,
konjungtivitis, contact lens-associated red eye (CLARE), iritis, dan pingueculitis.
Berbagai diagnosis banding dapat disingkirkan dengan anamnesis dan pemeriksaan
mata yang terarah. Konjungtivitis ditandai dengan mata merah dan disertai keluarnya
cairan, gejala fotofobia, rasa gatal atau terbakar, serta edema palpebra. Diagnosis
CLARE sangat khas yang dapat disebabkan oleh pasien lupa melepas lensa kontak
pada saat tidur dan disertai keluhan nyeri unilateral, fotofobia, serta epifora dengan
ketajaman mata normal. Iritis terlihat mirip dengan episkleritis, namun hiperemia
konjungtiva lebih terkonsentrasi di daerah sirkumlimbal yang disebut sebagai ciliary
flush dan juga akan terdapat gambaran presipitat keratik di endotel kornea dan
gambaran flare di bilik mata depan. Pada diagnosis banding pinguekulitis, inflamasi
terjadi di pinguekula dan terkait dengan kondisi pinguekula lebih besar dibandingkan
pada umumnya serta adanya mata kering.6
Selanjutnya terdapat pemeriksaan khusus untuk membedakan episkleritis
dengan berbagai diagnosis banding lainnya yakni melalui pemberian fenilefrin
topikal. Pemberian fenilefrin 2,5% topikal menyebabkan konstriksi pembuluh darah
di konjungtiva, sehingga pada pasien konjungtivitis mata merah akan menjdi pucat
(blanching). Pemberian fenilefrin 10% topikal menyebabkan konstriksi jaringan
pembuluh darah episklera namun tidak mengenai bagian pleksus dalam, sehingga bisa
membedakan episkleritis dan skleritis.8

2.7. Tatalaksana Episkleritis


Pada umumnya, episkleritis dapat sembuh dengan sendirinya dalam 2 hingga
21 hari atau merupakan self-limiting disease. Terapi yang umumnya diberikan

10
meliputi pemberian terapi suportif, seperti artificial tears dengan pemberian
setidaknya 4 kali dalam sehari. Selain itu, NSAID oral atau topikal dapat diberikan
kepada pasien episkleritis yang mengalami rasa nyeri yang mengganggu. Pemberian
edukasi kepada pasien mengenai kondisi matanya yang tidak mengancam penglihatan
serta dapat ditangani dengan memberikan lubrikan topikal saja perlu dilakukan.
Pemberian kortikosteroid topikal dibatasi untuk kondisi ringan serta self-limiting.
Pemberian kortikosteroid jangka pendek dilakukan pada pasien dengan kasus berat
yang tidak memberikan respons saat diberikan terapi dengan lubrikan dan NSAID.
Pemberian terapi pada episkleritis perlu diperhatikan karena komplikasi yang sering
terjadi pada episkleritis disebabkan akibat pemberian kortikosteroid jangka panjang.5,6
NSAID oral, seperti ibuprofen atau naproxen dapat menjadi pilihan untuk
diberikan. Dosis ibuprofen yang dapat diberikan, yaitu 200 - 600 mg 3 hingga 4 kali
sehari. Dosis naproxen yang dapat diberikan, yaitu 250 - 500 mg 2 kali sehari dapat
diberikan hingga 2 minggu. Pemberian NSAID oral perlu diperhatikan karena
memiliki efek samping terhadap saluran pencernaan, yaitu tukak lambung. Oleh
karena itu, pemberian NSAID oral perlu disertai dengan pemberian antasida, seperti
omeprazole 20 mg sehari atau ranitidine 150 mg 2 kali sehari.5,6
NSAID topikal seperti diklofenak 0,1% dan 0,5% dapat diberikan dalam
jumlah yang terbatas. NSAID topikal dapat mengurangi nyeri ringan serta inflamasi
yang disebabkan akibat episkleritis tanpa mempengaruhi tekanan intraokular. Namun,
berdasarkan sebuah studi, efek NSAID topikal terhadap perjalanan penyakit dianggap
kurang signifikan serta manfaat dari penggunaannya tidak melebihi dari efek samping
yang dapat timbul meliputi corneal melt, rasa nyeri, serta terbakar saat
pengaplikasian.5,6
Pemberian kortikosteroid topikal, seperti fluorometholone 0,1% atau
loteprednol etabonate 0,5% dapat menjadi pilihan dengan pemberian sebanyak 4 kali
sehari selama 1 hingga 2 minggu lalu kemudian dilakukan tapering off. Walaupun
risiko terjadinya hipertensi okular akibat pemberian steroid cukup jarang dengan
pemberian kortikosteroid jenis ringan ini, evaluasi pasien dalam 1 atau 2 minggu
setelah pemberian kortikosteroid perlu dilakukan untuk memonitor tekanan
intraokular serta mengevaluasi resolusi dari episkleritis. Pemberian kortikosteroid
yang lebih poten serta memberikan efek anti-inflamasi yang lebih besar, yaitu
prednisolone acetate 1% 4 kali sehari dapat dilakukan apabila pemberian
fluorometholone 0,1% atau loteprednol etabonate 0,5% tidak menunjukan adanya

11
respons perbaikan. Namun, kortikosteroid yang lebih poten ini memiliki risiko
terjadinya hipertensi okular yang lebih tinggi. Pada umumnya, inflamasi yang
berkaitan dengan episkleritis tidak cukup parah untuk dijadikan indikasi pemberian
difluprednate 0,05% atau steroid oral. Steroid topikal dapat menyebabkan efek
samping katarak subskapular posterior serta meningkatkan kerentanan pasien terhadap
infeksi. Oleh karena itu, pemberiannya perlu dilakukan dengan perhitungan dan
pertimbangan yang baik.5,6

2.8. Komplikasi Episkleritis


Komplikasi pada episkleritis cukup jarang terjadi. Namun, apabila episkleritis
yang terjadi dekat dengan kornea, pembentukan infiltrat pada kornea perifer atau
edema kornea dapat terjadi. Akibatnya, permukaan perifer kornea menjadi lebih tipis
sehingga pembentukan vaskularisasi baru dapat terjadi. Komplikasi seperti katarak,
hipertensi okular, steroid-induced glaucoma, serta keratitis herpetik terjadi umumnya
terjadi akibat penggunaan kortikosteroid jangka panjang.5,6

2.9. Prognosis Episkleritis


Prognosis untuk pasien dengan episkleritis umumnya baik. Sebagian besar
pasien tidak memiliki penyakit sistemik yang mendasari. Namun, sebagian pasien ada
yang mengalami episkleritis berulang. Efek samping dari inflamasi serta tatalaksana
yang diberikan jarang ditemukan serta masih dapat ditangani tanpa intervensi yang
signifikan.6

12
BAB III
KESIMPULAN

Episkleritis merupakan peradangan pada lapisan episklera dengan manifestasi


klinis secara umum yaitu asimtomatik hingga kemerahan pada mata. Episkleritis ini
bersifat akut, onsetnya mendadak, bersifat self-limiting, dan dapat terjadi rekurensi.
Episkleritis terbagi menjadi dua klasifikasi yaitu simpel (difus) dan nodular dimana
episkleritis tipe difus lebih umum terjadi. Kemudian karena penyakit ini mayoritas
asimtomatik dan swasirna maka belum terdapat data epidemiologi yang pasti mengenai
insidensi dan prevalensi penyakit ini. Patofisiologi dari penyakit ini juga masih belum
pasti namun diduga terkait dengan adanya proses inflamasi yang menyebabkan
vasodilatasi pembuluh darah pada lapisan episklera, dimana pemicu dari kondisi ini
dapat juga terkait contohnya penyakit autoimun, collagen vascular disorders, mata
kering, hingga manifestasi klinis dari adanya infeksi. Diagnosis episkleritis ditegakkan
sesuai kondisi klinis. Pasien datang dengan keluhan mata merah tanpa iritasi, rasa yanv
tidak nyaman seperti terdapat sensasi benda asing, dan nyeri ringan. Serangan dapat
berhenti dengan sendirinya namun bisa terjadi rekurensi. Dari pemeriksaan oftalmologi
akan terlihat injeksi episklera yang bisa digerakkan dengan lidi kapas. Diagnosis
banding episkleritis bisa disingkirkan dengan anamnesis dan pemeriksaan mata
komperehensif dan dapat melalui pemeriksaan penunjang melalui pemberian fenilefrin
topikal. Episkleritis umumnya dapat sembuh dengan sendirinya sehingga pengobatan
yang diberikan bersifat suportif atau untuk meredakan gejala yang dialami pasien.
Pemberian edukasi mengenai penyakit pasien juga perlu diberikan kepada pasien.
Komplikasi dari episkleritis tergantung dari penyakit yang mendasari serta dapat pula
diakibatkan dari pengobatan yang melebihi batas. Prognosis dari episkleritis adalah
baik.

13
DAFTAR PUSTAKA

1. Salmon JF. Kanski’s clinical ophthalmology a systematic approach. 9th ed. New York:
Elsevier; 2020.
2. Khurana AK. Comprehensive ophthalmology. 4th ed. India: New Age International
Ltd Publisher; 2007.
3. Lang GK, Amann J, Gareis O. Ophthalmology: a short textbook. Germany: Thieme;
2000.
4. Riordan-eva P, Augsburger JJ. Vaughan & asburry’s general ophthalmology. 19th ed.
United States: McGraw-Hill Education; 2018.
5. Sitorus RS, Sitompul R, Widyawati S, Bani AP, editors. Buku ajar oftalmologi.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2017.
6. Schonberg S, Stokkermans TJ. Episcleritis [Internet]. US: StatPearls; 2022 Mar 16
[cited 2022 Mei 29]. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK534796/
7. Otaif W, Somali AIA, Habash AA. Episcleritis as a possible presenting sign of the
novel coronavirus disease: A case report. Am J Ophthalmol Case Rep. 2020 Dec 20:
100917.
8. Balakrishnan SA. Episcleritis [Internet]. American Academy of Ophthalmology; 2022
Jan 18. Available from: https://eyewiki.aao.org/Episcleritis#cite_note-3

14

Anda mungkin juga menyukai