Anda di halaman 1dari 13

REFERAT

ILMU KESEHATAN MATA


EPISCLERITIS

Pembimbing :
dr. Trisna Rini, Sp. M

Penyusun :
Dina Savita Marchelly 2017.04.2.0043
Dio Digdaya 2017.04.2.0044
Erica Winata 2017.04.2.0049
Rasyidah Fikri Izzudinah 2017.04.2.0142

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HANG TUAH SURABAYA
RSAL DR. RAMELAN SURABAYA
2017
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA

“Episcleritis”

Oleh:

Dina Savita Marchelly 2017.04.2.0043


Dio Digdaya 2017.04.2.0044
Erica Winata 2017.04.2.0049
Rasyidah Fikri Izzudinah 2017.04.2.0142

Telah diperiksa dan disetujui sebagai salah satu tugas dalam rangka
menyelesaikan studi kepaniteraan klinik dokter muda di bagian Imu Kesehatan Mata.

Pembimbing :

dr. Trisna Rini, Sp. M


BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Mata merah merupakan keluhan utama yang menjadi fokus bagi dokter umum maupun
spesialis mata. Banyak sekali penyakit mata yang didahului dengan mata merah. Oleh karena itu,
dibutuhkan keahlian dari dokter umum dan dokter pesialis mata untuk mendiagnosa dengan
tepat. Penyebab mata merah adalah kerusakan atau ketidak seimbangan pada berbagai sistem
dalam bola mata, dapat berupa kerusakan konjungtiva, sclera, traktus uvealis, atau gangguan
aliran humor aquos.

Salah satu penyakit yang menyebabkan manifestasi klinis berupa mata merah adalah inflamasi
pada lapisan episclera. Episclera merupakan lapisan bola mata yang pada bagian dalamnya
terdiri atas jaringan ikat yang berhubungan langsung dengan sclera, sedangkan dibagian tengah
terdapat jarinan ikat lunak. Lapisan luar episclera bergabung dengan pembungkus otot dan
konjungtiva (Denniston, 2014).

Episcleritis merupakan reaksi radang jaringan ikat vaskuler yang terletak antara konjungtiva
dan permukaan sclera. Di United State terdapat 41 penderita episcleritis dari total populasi
100.000 orang.Terdapat dua jenis episcleritis, yaitu; nodular dan difusa. Sebagian besar kasus
episcleritis (70%) menderita episcleritis tipe difusa. Dua pertiga pasien dengan episcleritis
menderita inflamasi unilateral. Episcleritis lebih banyak terjadi pada dewasa muda, namun tidak
menutup kemungkinan penyakit ini menyerang kelompok usia lain. (Yu-Keh, 2017).

Walau tergolong penyakit yang ringan, episcleritis menimbulkan rasa tidak nyaman bagi
penderitanya sehingga pasien memilih berobat dengan tujuan mengurangi rasa tidak nyaman
tersebut. Berdasarkan SKDI 2012 episcleritis termasuk dalam kategori penyakit yang harus
mampu ditangani hingga tuntas oleh dokter umum. Referat ini dibuat untuk meningkatkan
wawasan calon dokter umum mengenai episcleritis.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Organ


2.1.1 Anatomi dan Fisiologi Konjungtiva
Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sklera dan kelopak bagian belakang.
Konjungtiva mengandung kelenjar musin yang dihasilkan oleh sel goblet yang berfungsi
membasahi bola mata terutama kornea. Bermacam-macam obat mata dapat diserap melalui
konjungtiva ini.

Konjungtiva terdiri dari 3 bagian, yaitu

1. konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, sukar digerakkan dari tarsus.

2. konjungtiva bulbi menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera di bawahnya.

3. konjungtiva fornises atau forniks konjungtiva yang merupakan tempat peralaihan


konjungtiva tarsal dan konjungtiva bulbi.

Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan dengan sangat longgar dengan jaringan
dibawahnya sehingga bola mata mudah bergerak (Ilyas, 2017).

2.1.2 Anatomi dan Fisiologi Sklera


Bagian bola mata putih yang bersama-sama dengan kornea merupakan pembungkus dan
pelindung isi bola mata. Sklera berhubungan erat dengan kornea dalam bentuk lingkaran yang
disebut limbus. Sklera berjalan dari papil optik sampai kornea.

Sklera anterior tertutupi oleh 3 lapis jaringan ikat vaskuler. Sklera mempunyai kekauan
tertentu sehingga mempengaruhi pengukuran tekanan bola mata. Walaupun sklera kaku dan
tipisnya 1mm, ia masih tahan terhadap kontusi trauma tumpul. Kekakuan sklera dapat meningkat
pada pasien diabetes mellitus, atau merendah pada eksoftalmus goiter, miotika, dan minum air
banyak (Ilyas, 2017).
2.1.3 Anatomi dan Fisiologi Episclera
Episclera merupakan lapisan jaringan ikat yang terdiri atas: lapisan dalam yang dekat
dengan sclera, lapisan intermediate yang terdiri atas jaringan ikat longgar, dan bagian terluar
yang bersatu dengan lapisan otot dan konjungtiva. Vaskularisasi episclera berasal dari pembuluh
darah ciliaris anterior. Lapisan ini berfungsi untuk memberikan nutrisi pada sclera dan
memberikan ruang untuk pergerakan bola mata. Inflamasi pada episclera menyebaban
pembengkakan konjungtiva dan pembuluh darah superfisial mata.
2.2 Episcleritis
2.2.1 Definisi
Inflamasi merupakan kasus yang paling banyak terjadi pada episclera. Menurut Prof. dr. H
Sidarta Ilyas, Sp.M dan dr. Sri Rahayu, Sp.M, episcleritis merupakan reaksi radang jaringan ikat
vaskuler yang terletak antara konjungtiva dan permukaan sclera. Terdapat dua jenis episcleritis,
yaitu; nodular dan difusa (Ilyas, 2017).

2.2.2 Etiopatogenesis
Penyebab dan mekanisme terjadinya episcleritis belum sepenuhnya diketahui. Episcleritis
menunjukkan respon inflamasi yang terlokalisir pada superficial episcleral vascular
network. Pada pemeriksaan dengan menggunakan slit-lamp didapatkan edema lokal diatas sclera
tanpa disertai dengan peradangan ataupun penebalan pada sclera. Berdasarkan pada pemeriksaan
histopatologi, didapatkan inflamasi non granulomatosa dengan dilatasi vaskular dan infiltrasi
perivaskular. Sebagian besar kasus gangguan pada sclera diperantarai oleh reaksi
hipersensitivitas tipe III dan berhubungan dengan penyakit sistemik. Sepertiga kasus terjadi
akibat hipersensitivitas terhadap antigen penyakit sistemik (Lang, 2000 dan Yanoff, 2013).

a. collagen vaskular disease lens (Katz, 2012):


1. Polyarteritis nodosa
2. Ankylosing spondylitis
3. inflamatory bowel disease
4. Reiter syndrome
5. psoriatic arthritis
6. rheumatoid arthritis.
b. Penyakit infeksi (Katz, 2012):
1. Tuberculosis
2. Lyme disease
3. syphilis
4. herpes zoster
5. fungi
6. parasites.

c. Penyakit lainnya (Katz, 2012):


1. Gout
2. Atopy
3. Benda asing
4. Zat kimia
5. T-cell leukemia
6. Paraproteinemia
7. Paraneoplastic syndromes-Sweet syndrome
8. Dermatomyositis
9. Wiskott-Aldrich syndrome
10. Adrenal cortical insufficiency
11. Necrobiotic xanthogranuloma
12. Progressive hemifacial atrophy
13. Insect bite granuloma
14. Malpositioned Jones tube
15. following transscleral fixation of posteriorchamber intraocular.

Table 2.1 Etiologi episleritis berdasarkan banyaknya kejadian (Lang, 2000).

Penyebab Tersering Penyebab Jarang

Rheumatoid arthritis Tuberculosis

Polymyositis Lues

Dermatomyositis Borreliosis
Ankylosing spondylitis Reiter’s syndrome

Spondylarthritis

Vasculitis

Wegener’s granulomatosis

Herpes zoster opthalmicus

Syphilis

Gout

2.2.3 Klasifikasi
Secara klinis episcleritis dibagi menjadi dua tipe, yaitu nodular dan simple. Episcleritis tipe
simple dibagi menjadi episcleritis difusa dan fokal. Jenis yang paling sering ditemukan adalah
tipe difusa, berupa inflamasi derajat sedang sampai dengan berat. Umumnya akan muncul
kembali dalam interval 1-3 bulan. Sedangkan inflamasi tipe nodular cenderung memiliki durasi
lebih lama dan lebih nyeri dibandingkan dengan episcleritis difusa. Tipe ini umumnya
berhubungan dengan penyakit sistemik.

2.2.4 Epidemiologi
Kasus ini merupakan bentuk terbanyak daripada jenis inflamasi pada sclera lainnya. Di United
State terdapat 41 penderita episcleritis dari total populasi 100.000 orang, Berdasarkan jenis
kelamin, didapatkan bahwa 70% penderita episcleritis adalah wanita. episcleritis lebih banyak
terjadi pada dewasa muda, namun tidak menutup kemungkinan penyakit ini menyerang
kelompok usia lain. Sebagian besar kasus episcleritis (70%) merupakan tipe difusa. Dua pertiga
pasien menderita inflamasi unilateral (Yu-Keh, 2017).

2.2.5 Manifestasi Klinis


Gejala episcleritis meliputi kemerahan dan iritasi ringan atau rasa tidak nyaman. Pasien
seringkali mengeluhkan rasa tidak nyaman bersifat unilateral, kemerahan, nyeri seperti ditusuk-
tusuk, nyeri saat ditekan, dan lakrimasi. Pada tipe noduler gejala lebih hebat dan disertai
perasaan ada yang mengganjal (Rior, 2000).

Pemeriksaan mata memperlihatkan injeksi episclera bersifat nodural, sektoral, atau difus.
Tidak tampak peradangan atau edema pada sklera dibawahnya, keratitis dan uveitis jarang
menyertai. Diagnosa konjungtivitis disingkirkan dengan tidak adanya injeksi konjungtiva
palpebralis ataupun sekret. Tanda objektif dapat ditemukan kelopak mata bengkak, konjungtiva
bulbi kemosis disertai pelebaran pembuluh darah episklera dan konjungtiva (Rior, 2000).

Pada pasien dengan episcleritis nodular, memiliki satu atau lebih benjolan kecil atau benjolan
pada daerah putih mata. Pasien mungkin merasakan bahwa benjolan tersebut dapat bergerak di
permukaan bola mata. Ditandai dengan adanya hiperemia lokal sehingga bola mata tampak
berwarna merah muda atau keunguan. Juga terdapat infiltrasi, kongesti, dan edem episklera,
konjungtiva di atasnya dan kapsul di bawahnya (Rior, 2000).

Pada kasus yang jarang, pemeriksaan pada kornea menunjukkan adanya dellen
formation yaitu adanya infiltrat kornea bagian perifer. Pemeriksaan fisik lainnya adalah adanya
uveitis bagian anterior yang didapatkan pada 10 % penderita. Pemeriksaan visus pada penderita
episcleritis tidak menunjukkan penurunan (Hood, 2009).

Pada kebanyakan pasien dengan episcleritis yang “self limited” pemeriksaan


laboratorium tidak diperlukan. Pada beberapa pasien dengan episcleritis noduler atau pada kasus
yang berat, rekuren, dan episcleritis sederhana yang persisten atau rekuren, diperlukan hitung
jenis sel darah (diff count), kecepatan sedimentasi eritrosit (ESR), pemeriksaan asamurat serum,
foto thoraks, pemeriksaan antibodi antinuklea, rheumatoid factor, tes VDRL(Venereal Disease
Research Laborator) dan tes FTA-ABS (Fluorescent Treponemal Antibody Absorption)
(Katz, 2012).

2.2.6 Differential Diagnosa


Konjungtivitis, disingkirkan dengan sifat episkleritis yang lokal dan tidak adanya keterlibatan
konjungtiva palpebra. Pada konjungtivitis ditandai dengan adanya sekret dan tampak adanya
folikel atau papil pada konjungtiva tarsal inferior (Hood, 2009).
Skleritis, dalam hal ini misalnya noduler episcleritis dengan sklerits noduler, untuk
mendeteksi keterlibatan sklera dalam dan membedakannya dengan episcleritis,
konjungtivitis, dan injeksi siliar, pemeriksaan dilakukan di bawah sinar matahari (jangan
pencahayaan artifisial) disertai penetesan epinefrin 1:1000 atau fenilefrin 10% yang
menimbulkan konstriksi pleksus vaskular episklera superfisial dan konjungtiva (Rior, 2000).

Clinical features episcleritis scleritis


In daylight Salmon pink purple/grey choroid
Slitlamp (red-free) Yellow patch Scleral edema, vessels, avascular patches
10% phenylephrine More constriction Minimal constriction
symptoms Mild or no pain Severe pain, photophobia
Scleral edema no Yes or thinning
tenderness minimal Moderate-severe

2.2.7 Terapi
Manajemen terapi umumnya hanya suportif (AAO, 2016).

Terapi Umum

Episcleritis biasanya menghilang sendiri tanpa terapi. Tujuan utama tatalaksana


terapi episcleritis adalah menghilangkan ketidaknyamanan pasien. Beberapa pasien
mengalami rasa sakit atau ketidaknyamanan yang signifikan atau mungkin tidak
menyukai tampilan kondisinya. Dalam kasus tersebut dapat diberikan terapi suportif
berupa kompres dingin, air mata buatan, atau terapi medis lainnya (Bernfeld, 2016).

Terapi medis

Pada pasien dapat diberikan air mata buatan untuk menjaga kelembapan dann
dan kenyamanan mata 4-6 kali sehari. Selain itu dapat juga diberikan NSAID (obat
antiinflamasi nonsteroid) topikal, seperti: jika tidak memberikan respon atau terjadi
kekambuhan maka dapat diberikan NSAID sistemik. . Penggunaan steroid topikal
lemah (diberikan 1-4 kali sehari sampai gejala sembuh) kadang kala digunakan, namun
ini kontroversial. Meskipun pasien kontrol tepat waktu, steroid dapat meningkatkan
risiko kekambuhan dan menyebabkan kemerahan kembali diikuti oleh serangan yang
lebih hebat. Pada pasien dengan penyakit kolagen vaskular, tindakan yang ditujukan
untuk penyakit yang mendasari dapat mengontrol episcleritis itu sendiri (Bernfeld, 2016).

Follow Up Medis

Follow up secara teratur tidak diperlukan kecuali jika pasien tidak merasakan
perbaikan pada gejalanya. Sebagian besar episode epikleritis terisolasi sembuh tuntas
selama 2-3 minggu. Kasus-kasus yang terkait dengan penyakit sistemik dapat
berlangsung dalam waktu yang lebih lama dengan beberapa kali kekambuhan.

2.2.8 Komplikasi
Episcleritis sebagian besar bersifat jinak; Namun, ada beberapa laporan
komplikasi pada pasien dengan penyakit rekuren. Salah satu komplikasi episcleritis
adalah uveitis anterior dan intermediate, serta dellen kornea (berdekatan dengan nodul
episkleral) dan infiltrat kornea perifer (bersebelahan dengan peradangan episkleral).
Visus yang menurun, pada episcleritis, biasanya dikaitkan dengan perkembangan
menjadi katarak. Glaukoma juga telah tercatat pada sebagian kecil pasien. Baik katarak
maupun glaukoma bisa dikaitkan dengan penggunaan steroid sebagai bagian dari
pengelolaan episcleritis (Bernfeld, 2016).

2.2.9 Prognosis
episcleritis adalah kondisi jinak dan self-limitting yang biasanya sembuh
sepenuhnya selama beberapa minggu (Bernfeld, 2016).
BAB 3

KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA

Bernfeld, E. (2016). Eyewiki: Episcleritis. [online] American Academy of


Opthalmology. Available from: {http://eyewiki.aao.org/Episcleritis} [Accessed 26th
November 2017]

Denniston, Alastair & Murray, Philip 2014. Oxford Handbook of Ophthalmology, Ed.
3, OUP Oxford,

Hood, C. 2009. The Wills eye manual: office and emergency room diagnosis and treatment of
eye disease. British Journal of Ophthalmology.
Katz, M. S. J., Chuck, R. S., & Gritz, D. C. (2012). Scleritis and episcleritis. Ophthalmology.
http://doi.org/10.1016/j.ophtha.2012.05.013

Lang, Gerhard 2000, Ophthalmology: A Short Textbook, Thieme Stuttgart, New York.

Rior dan Paul-Eva (2000), Episkleritis dalam Oftalmologi Umum edisi 14 hal.170-171.
Jakarta. Widya Medika.

Yanoff, Myron & Duker, Jay 2013, Ophthalmology: Expert Consult, ed.4, Saunders Elsevier,

Yu-Keh, Ellen (2017). Episcleritis: Background, Pathophysiology, Epidemiology. [online]


emedicine.medscape.com. Available at: https://emedicine.medscape.com/article/1228245-
overview. [Accessed 2 dec 2017]

Anda mungkin juga menyukai