Anda di halaman 1dari 25

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN MEI 2019


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

KERATITIS VIRUS

Oleh :

DZAKIYAH NURUL ISRA


10542 0584 14

Pembimbing :
dr. Rahasiah Taufik, Sp.M

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Dzakiyah Nurul Isra, S.Ked.

NIM : 10542 0584 14

Judul Referat : Keratitis Virus

Telah menyelesaikan tugas referat dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu
Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar.

Makassar, Mei 2019

Pembimbing

(dr. Rahasiah Taufik, Sp.M)

1
BAB I

PENDAHULUAN

Kornea merupakan bagian anterior dari mata yang harus dilalui cahaya, dalam perjalanan
pembentukan bayangan di retina. Karena itu kornea harus tetap jernih dan permukaannya rata
agar tidak menghalangi proses pembiasan sinar. Kelainan yang bisa merusak bentuk dan
kejernihan kornea dapat menimbulkan gangguan penglihatan yang hebat, terutama bila letaknya
di sentral (daerah pupil), bila kelainan ini tidak diobati maka dapat terjadi kebutaan.1,2

Kelainan kornea yang paling sering ditemukan adalah keratitis. Keratitis merupakan
suatu proses peradangan kornea yang dapat bersifat akut maupun kronis yang disebabkan oleh
berbagai faktor antara lain bakteri, jamur, virus atau karena alergi. keratitis dapat dibagi menjadi
beberapa golongan berdasarkan kedalaman lesi pada kornea (tempatnya), penyebab dan bentuk
klinisnya.3

Berdasarkan tempatnya keratitis secara garis besar dapat dibagi menjadi keratitis pungtata
superfisialis, keratitis marginal dan keratitis interstitial. Berdasarkan penyebabnya keratitis
digolongkan menjadi keratitis bakterialis, keratitis fungal, keratitis viral, keratitis akibat alergi.
Kemudian berdasarkan bentuk klinisnya dapat dibagi menjadi keratitis sika, keratitis flikten,
keratitis nurmularis dan keratitis neuroparalitik.3

Gejala umum keratitis virus adalah visus turun perlahan, mata merah, rasa silau, merasa
ada benda asing di matanya, dan terkadang tidak disertai rasa nyeri. Gambaran klinik masing-
masing keratitis pun berbeda-beda tergantung dari jenis penyebab dan tingkat kedalaman yang
terjadi di kornea.1-3

2
BAB II
PEMBAHASAN

Keratitis virus paling sering disebabkan oleh virus herpes simpleks, virus varicella-
zooster, dan adenovirus. Penyebab lain yang lebih jarang mencakup cytomegalovirus, virus
measles, atau virus rubella.1

A. Anatomi dan Fisiologi Kornea

Kornea merupakan bagian selaput mata yang tembus cahaya, bersifat transparan,
berukuran 11-12 mm horizontal dan 10-11 mm vertikal, tebal 0,6-1 mm. Indeks bias kornea
1,375 dengan kekuatan pembiasan 80%. Sifat kornea yang dapat ditembus cahaya ini
disebabkan oleh struktur kornea yang uniform, avaskuler dan diturgesens atau keadaan
dehidrasi relatif jaringan kornea yang dipertahankan oleh pompa bikarbonat aktif pada
endotel dan oleh fungsi sawar epitel dan endotel. Endotel lebih penting daripada epitel dalam
mencegah dehidrasi, dan cedera kimiawi atau fisik pada endotel jauh lebih berat daripada
cedera pada epitel. Kerusakan sel-sel endotel jauh menyebabkan sifat transparan hilang dan
edema kornea, sedangkan kerusakan epitel hanya menyebabkan edema lokal sesaat karena
akan menghilang seiring dengan regenerasi epitel.1,2

Batas antara sclera dan kornea disebut limbus kornea. Kornea merupakan lensa cembung
dengan kekuatan refraksi sebesar + 43 dioptri. Jika kornea oedem karena suatu sebab, maka
kornea juga bertindak sebagai prisma yang dapat menguraikan sinar sehingga penderita akan
melihat halo.1,2

Kornea bersifat avaskuler, maka sumber-sumber nutrisi kornea berasal dari pembuluh-
pembuluh darah limbus, humor aquaeus dan air mata. Kornea superfisial juga mendapatkan
oksigen sebagian besar dari atmosfer. Kornea dipersarafi oleh banyak serat saraf sensorik yang
didapat dari percabangan pertama (oftalmika) dari nervus kranialis V yang berjalan supra koroid,
masuk kedalam stroma kornea, menembus membran bowman dan melepaskan selubung
schwannya. Bulbus Krause untuk sensasi dingin ditemukan didaerah limbus. Daya regenerasi
saraf sesudah dipotong didaerah limbus terjadi dalam waktu 3 bulan.1,2

3
Kornea merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata sebelah depan dan terdiri atas
lima lapisan dari anterior ke posterior yaitu: lapisan epitel (yang bersambung dengan lapisan
epitel konjungtiva bulbaris), membran bowman, stroma, membran descemet dan lapisan endotel.

Gambar 1. Anatomi Kornea

 Epitel

Lapisan epitel kornea tebalnya 50m berbentuk pipih berlapis tanpa tanduk, ada satu
lapis sel basal dan sel polygonal. Sel bersifat fat soluble substance. Pada sel basal sering terlihat
mitosis sel dan sel muda ini terdorong kedepan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju
kedepan menjadi sel pipih, sel basal berikatan erat dengan sel basal disampingnya dan sel
polygonal didepannya melalui desmosom dan macula okluden. Ikatan ini menghambat
pengaliran air, elektrolit dan glukosa melalui barrier. Sel basal menghasilkan membran basal
yang saling melekat erat. Bila terjadi gangguan akan menjadi erosi rekuren. Ujung saraf kornea
berakhir di epitel, oleh karena itu kelainan pada epitel akan menyebabkan gangguan sensibilitas
korena dan rasa sakit dan mengganjal. Daya regenerasi epitel juga cukup besar. Lapisan epitel
ini dapat terinfeksi oleh sebagian besar virus,contohnya herpes simpeks, varicella zooster dan
adenovirus.1,2

4
 Membran Bowman

Terletak di bawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen yang tersusun
tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma. Lapisan ini tidak mempunyai
daya regenerasi. Kerusakan pada lapisan ini akan berakhir dengan terbentuknya jaringan parut1,2

 Stroma

Stroma merupakan lapisan yang paling tebal dari kornea, mencakup sekitar 90% dari
ketebalan kornea. Bersifat water soluble substance. Terdiri atas jaringan kolagen yang tersusun
atas lamel-lamel, pada permukaannya terlihat anyaman yang teratur sedang dibagian perifer serat
kolagen bercabang. Stroma bersifat higroskopis yang menarik air, kadar air diatur oleh fungsi
pompa sel endotel dan penguapan oleh sel epitel. Terbentuknya kembali serat kolagen memakan
waktu lama yang kadang-kadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang
merupakan fibroblast terletak di antara serat kolagen stroma. Diduga keratosit membentuk bahan
dasar dan serat kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma. Infeksi pada stroma
disebabkan oleh respon imun terhadap partikel virus yang tidak bereplikasi, namun dapat juga
disebabkan juga oleh virus hidup, salah satu virus penyebabnya adalah virus herpes simpleks.1,2

 Membran Descemet

Merupakan membran aselular yang tipis, kenyal, kuat dan bening, terletak dibawah
stroma dan pelindung atau barrier infeksi dan masuknya pembuluh darah. Membran ini sangat
elastis dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai tebal 40m.1,2

 Endotel

Merupakan lapisan kornea yang penting untuk mempertahankan kejernihan kornea,


mengatur cairan didalam stroma kornea dan tidak mempunyai daya regenerasi, sehingga endotel
mengkompensasi sel-sel yang mati dengan mengurangi kepadatan seluruh endotel dan
memberikan dampak pada regulasi cairan, jika endotel tidak lagi dapat menjaga keseimbangan
cairan akibat gangguan sistem pompa endotel, maka stroma akan bengkak karena kelebihan
cairan (edema kornea) dan hilangnya transparansi (kekeruhan) akan terjadi. Dapat rusak atau
terganggu fungsinya akibat trauma bedah, penyakit intraokuler dan usia lanjut. Lapisan endotel

5
berasal dari mesotalium, terdiri atas satu lapis sel berbentuk heksagonal dengan tebal 20-40m
yang melekat pada membran descmet melalui hemi desmosom dan zonula okluden. Infeksi virus
pada endotel biasanya merupakan kelanjutan infeksi virus di lapisan sebelumnya yang tidak
ditangani, salah satunya infeksi oleh herpes simpleks.1,2

B. Klasifikasi Berdasarkan Etiologi


1. Virus Herpes Simplex (HSV)

Keratitis herpes simpleks (HSV) ada dua bentuk, yaitu primer dan rekurens. Keratitis ini
adalah penyebab ulkus kornea paling umum. Infeksi primer HSV pada mata biasanya
bermanifestasi sebagai blefarokonjungtivitis yang sembuh tanpa bekas luka. Keratitis
merupakan bentuk rekurensi infeksi virus herpes simpleks pada mata yang paling sering.
Beberapa faktor yang dipikirkan menyebabkan rekurensi mencakup demam, menstruasi,
sinar matahari, dan stres emosional. Gejala yang dirasakan pada keratitis herpes simpleks
biasanya nyeri, fotofobia, lakrimasi, kemerahan, dan edema palpebra. Visus juga dapat turun,
bergantung dari lokasinya. Tanda awal dari replikasi virus aktif pada epitel kornea adalah
tumbuhnya vesikel kecil, bening, dan menonjol.1-4

2. Virus Herpes Zoster (VZV)

Infeksi virus varicella-zoster (VZV) terjadi dalam dua bentuk, primer (varicella) dan
rekurens (herpes zoster). Pada varicella, jarang terjadi manifestasi di mata, pada zoster
oftalmik sering terjadi. Herpes zoster merupakan penyakit neurokutaneus yang disebabkan
oleh herpesvirus 3, virus yang sama yang menyebabkan varicella. Keterlibatan okular terjadi
pada 70% pasien dengan zoster pada divisi pertama (oftalmik) nervus trigeminus. Lesi zoster
oftalmik yang relatif banyak dijumpai, seringkali disertai keratouveitis yang bervariasi
beratnya sesuai dengan status kekebalan pasien. Meskipun keratouveitis zoster pada anak
umumnya tergolong penyakit jinak, namun penyakit ini tergolong berat pada orang dewasa
dan kadang-kadang berakibat kebutaan. Keterlibatan cabang nasosiliari, yang ditandai
dengan lesi kulit pada sudut dalam mata, ujung hidung, dan akar atau sisi hidung
(Hutchinson’s sign) merupakan tanda prediktif keterlibatan okular dan sangat prognostik
terhadap inflamasi okular dan denervasi saraf sensorik kornea.2,5

6
Zoster oftalmikus dapat mengenai semua jaringan okular dan adnexal, dan bermanifestasi
dengan berbagai tanda dan gejala. Keterlibatan okular atau ekstraokular dapat terjadi
bersamaan dengan erupsi kutaneus atau bertahun-tahun kemudian.5

3. Keratitis Adenovirus

Keratitis umumnya menyertai seluruh konjungtivitis adenovirus, yang mencapai


puncaknya 5-7 hari sesudah mulainya konjungtivitis. Keratitis ini merupakan keratitis epitel
halus yang paling jelas terlihat dengan slit-lamp setelah ditetes fluorescein.2

C. Etiologi
1. Virus Herpes Simplex (HSV)

HSV adalah virus DNA double-stranded yang memiliki kapsul ikosahedral dan termasuk
dalam famili herpesvirus. Replikasi virus terjadi pada nukleus sel. Virion yang terbentuk
keluar dengan melakukan budding pada membran sel, menghancurkan sel pada prosesnya.
Infeksi HSV-1 lebih sering ditemukan pada area orolabial dan HSV-2 lebih sering ditemukan
pada area genital. Meskipun antibodi serum dibentuk sebagai respon infeksi HSV,
produksinya tidak konsisten dan hanya protektif sebagian. Respon imun yang berperan
protektif adalah sel limfosit T yang dimediasi oleh CD8 dan sel CD4 yang berperan dalam
patogenesis. Herpesvirus memiliki keadaan laten dimana virus tetap dorman dalam sel dan
dapat tereaktivasi secara periodikal. HSV-1 dan HSV-2 memiliki afinitas terhadap sel
ganglion sensorik sehingga disebut sebagai virus neurotropik.3

2. Virus Herpes Zoster (VZV)

Herpes zoster disebabkan oleh herpesvirus 3, virus yang sama yang menyebabkan
varicella. Virus ini merupakan anggota dari keluarga virus herpes (Herpesviridae) dan hanya
menginfeksi sel manusia atau primata. VZV merupakan virus alphaherpes yang paling kecil
dan memiliki DNA double-stranded yang paling stabil. Virus ini juga memiliki kapsul
ikosahedral dan pembungkus lipid, yang mengandung glikoprotein untuk jalan masuk sel.
Reaktivasi VZV yang sudah dormal dalam ganglia dorsal, seringkali dalam waktu yang lama
setelah eksposur awal virus dalam bentuk varicella, menyebabkan herpes zoster.5,6

7
3. Adenovirus

Adenovirus merupakan virus DNA double-stranded, berukuran 80-110 nm. Virus ini
dikelilingi oleh kapsul ikosahedral dan antigen spesifik. Virus ini resisten terhadap pengaruh
lingkungan dan dapat bertahan terhadap berbagai desinfektan. Terdapat 54 tipe adenovirus
yang diketahui patogen terhadap manusia dan diklasifikasikan ke dalam 7 grup, yang diberi
nama grup A-G.7,8

Transmisi sering terjadi pada tempat dimana banyak orang berkumpul bersama, seperti
sekolah, pabrik, dan juga institusi kesehatan seperti rumah sakit dan ruang kerja dokter.
Inokulasi langsung oleh jari dipikirkan menjadi cara transmisi utama adenovirus.7,8

4. Keratitis Virus Lain

Keratitis epitel halus mungkin tampak pada infeksi virus lain, seperti campak (terutama
mengenai bagian sentral kornea), rubella, parotitis epidemika, mononukleosus infeksiosa,
konjungtivitis hemoragik akut, konjungtivitis penyakit New Castle, dan verruca pada tepian
palpebra. Keratitis epitel superior dan pannus sering menyertai nodul-nodul molluscum
contagiosum pada tepian palpebra, yang merupakan ciri dari infeksi HIV.2

D. Patofisiologi

Infeksi HSV terjadi secara kontak langsung dengan kulit atau membran mukosa yang
memiliki lesi atau sekresi mengandung virus. HSV-1 menginfeksi orofacial dan ocular,
sedangkan HSV-2 ditransmisikan secara seksual dan menyebabkan penyakit genital. HSV-2
dapat menginfeksi mata jika orofacial terkena kontak dengan lesi genital dan juga dapat
ditransmisikan ke neonatus sewaktu melewati jalan lahir ibu dengan infeksi HSV-2.3,9

Infeksi HSV-1 primer terjadi paling sering pada distribusi mukokutaneus nervus
trigeminal. Infeksi ini sering asimtomatik namun dapat bermanifestasi sebagai infeksi non
spesifik saluran pernapasan atas. Setelah infeksi primer, virus menyebar dari sel epitel
terinfeksi ke ujung saraf sensoris terdekat dan ditranspor sepanjang akson saraf ke badan sel
yang terletak di ganglion trigeminus. Disana, genom virus masuk ke dalam nukleus neuron,
dimana virus masuk ke dalam fase laten.3,9

8
Infeksi primer salah satu dari 3 cabang (oftalmik, maxilla, mandibula) nervus kranial V
dapat menyebabkan infeksi laten sel saraf di ganglion trigeminus. Penyebaran interneuron
HSV melalui ganglion menyebabkan pasien dapat terkena penyakit okular tanpa sebelumnya
pernah mengalami infeksi HSV okular primer.3,9

Infeksi okular HSV rekuren dipikirkan sebagai reaktivasi virus di ganglion trigeminus,
yang bermigrasi melalui akson saraf untuk memproduksi infeksi litik di jaringan okular.
Virus juga dapat bertahan secara laten dalam jaringan kornea, menjadi sumber potensial
untuk rekurensi penyakit dan menyebabkan keratitis HSV pada orang yang mendapatkan
transplantasi kornea. Meskipun begitu, latensi HSV di kornea sebagai penyebab rekurensi
masih kontroversial.3,10

Reaktivasi HSV pada pasien yang menggunakan latanoprost dilaporkan pada pasien
dengan glaukoma. Reaktivasi HSV juga berhubungan dengan penggunaan steroid sistemik,
lokal, atau topikal, termasuk injeksi triamcinolone intravitreal.3,10

Herpes zoster oftalmikus, disebabkan oleh reaktivasi VZV di nervus trigeminus. Semua
cabang nervus dapat terkena, dan cabang frontal di dalam divisi pertama nervus trigeminus
yang terkena paling sering. Cabang ini mempersarafi hampir semua struktur okular dan
periokular.6,10

E. Manifestasi Klinik
1. Keratitis HSV

Manifestasi klinik keratitis HSV dibedakan dari lapisan spesifik lokasi lesi. Keratitis HSV
dapat dibedakan menjadi:

a. Keratitis Epitel

Keratitis epitel disebabkan oleh aktifnya replikasi virus pada permukaan kornea. Tanda
awal yang timbul biasanya berupa vesikel epitel, keratitis punctata, atau plak opak yang
menyatu dan terpecah di sentral. Episode awal terasa seperti sensasi adanya benda asing,
namun pada episode setelahnya biasanya menjadi tidak nyeri karena terjadi hipoestesi
kornea. Fotofobia dan lakrimasi dapat terjadi akibat dari inflamasi yang terjadi. Keratitis
epitel mencakup:3,4

9
 Ulkus Dendritik

Gejala khas dari ulkus dendritik adalah adanya gambaran percabangan linier dikotom
dengan ujung bulat (sel epitel membengkak dan nekrotik). Tepi lesi biasanya menonjol,
keabu-abuan, dan terwarna oleh pewarnaan rose bengal karena tersusun atas sel
terinfeksi yang mengalami akantosis. Defek epitel sentral dapat terlihat langsung oleh
mata dengan sebelumnya diberikan pewarnaan oleh fluorescein. Sensitivitas kornea
biasanya berkurang. Pada fase resolusi, luka berbetuk seperti dendrit, biasa disebut
dendrit hantu, dapat tertinggal di stroma superfisial. Dendrit hantu sering bertambah
nyata karena pemakaian obat anti virus, khususnya idoxuridine. Biasanya, lesi ini tidak
menetap lebih dari 1 tahun.1-4

Gambar 2. Ulkus Dendritik dengan Pewarnaan Fluorescein3

 Ulkus Geografik

Ulkus geografik adalah bentuk penyakit dendritik kronik dengan lesi dendritik halus
yang bentuknya lebih lebar. Tepi ulkus tidak terlalu kabur. Pasien dengan
imunokompromi, menggunakan steroid topikal, atau memiliki ulkus yang lama tidak
diobati dapat mempunyai defek epitel yang sangat besar. Cabang dikotom dan ujung
bulat dapat terlihat pada bagian perifer.2-4

10
Gambar 3. Ulkus Geografik pada Keratitis HSV3

 Keratitis Marginal

Lesi ini terdapat di dekat limbus dan dapat menyerupai ulkus kataralis yang
disebabkan oleh Staphylococcus. Terdapatnya defek epitel dan berkurangnya sensasi
kornea dapat membantu menegakkan diagnosis. Inflamasi stroma yang signifikan dapat
terjadi karena letak yang proksimal ke pemburuh darah limbal. Stroma anterior
terinfiltrasi oleh leukosit dari pembuluh darah limbal, sehingga menyebabkan lesi
dendritik di atas infiltrat stroma anterior. Keratitis marginal lebih resisten terhadap
pengobatan dan sering menjadi ulkus tropik.3,4

 Ulkus Metaherpetik (Tropik)

Ulkus ini tidak berhubungan dengan virus hidup dan diakibatkan oleh
ketidakmampuan epitel untuk menyembuh. Ulkus ini disebut ulkus tropik apabila
timbul secara de novo atau ulkus metaherpetik jika mengikuti ulkus dendritik atau ulkus
geografik. Penyebabnya multifaktorial dan mencakup toksisitas akibat pengobatan
dengan antivirus, kekurangan faktor pertumbuhan yang berasal dari saraf, kekurangan
air mata, dan inflamasi stroma derajat rendah. Ulkus neurotropik bermula sebagai epitel
kasar, yang kemudian terpecah dan membentuk defek epitel dengan batas yang halus.
Tepinya keabu-abuan, menonjol, dan terdiri atas beberapa lapisan epitel. Berbeda
dengan ukus geografik, pewarnaan rose bengal mewarnai sel epitel yang tidak sehat
yang mencoba untuk bermigrasi melalui dasar ulkus, sementara fluorescein bocor

11
melalui sel aderen yang buruk ke stroma dan mewarnai bagian perifer, sehingga disebut
dengan pewarnaan terbalik.3,4

b. Keratitis Stroma/Endotel

Keratitis ini biasanya merupakan respon imun terhadap partikel virus yang tidak
bereplikasi, namun bentuk yang lebih berat dapat disebabkan oleh virus hidup. Keratitis
stroma dapat mengenai semua lapis kornea, dan dapat juga mengenai trabecular meshwork
dan iris. Keratitis stroma primer tanpa didahului keratitis dendritik sebelumnya
memberikan gambaran epitel yang intak yang tidak memperlihatkan defek setelah
diberikan pewarnaan oleh fluorescein.1-4

 Endotheliitis

Endotheliitis disebabkan oleh adanya HSV pada humor aqueous. Hal ini
menyebabkan edema pada sel endotel dan opasifikasi stroma kornea yang berdekatan.
Edema stroma yang berkepanjangan menyebabkan jaringan parut permanen yang
merupakan penyebab utama penurunan penglihatan yang berhubungan dengan keratitis
HSV. Keterlibatan sel endotel kornea pada sudut COA menyebabkan peningkatan
tekanan intra okuler sekunder (glaukoma sekunder). Hal lain yang dapat ditemukan
adalah sel inflamasi dan sel pigmen pada COA, serta plak endotel (protein yang
terkumpul pada permukaan posterior kornea).1-4

Endotheliitis Terlokalisasi
Endotheliitis terlokalisasi menyebabkan edema kornea berbentuk seperti cakram,
dan disebut keratitis disciform. Keratitis disciform merupakan bentuk penyakit stroma
yang paling umum pada infeksi HSV. Terdapat edema stroma pada daerah sentral,
tanpa infiltrasi berarti, dan biasanya tanpa vaskularisasi di bawah edema merupakan
dasar diagnosis namun sulit untuk divisualisasikan. Focal keratic precipitate dapat
pula tampak di seluruh endotel, karena sering bersamaan dengan uveitis anterior.1-4

12
Gambar 3. Endotheliitis Disciform dengan Ulkus Stroma Sekunder3

Endotheliitis Difus dan Linear


Endotheliitis ini jarang dan biasanya disertai dengan trabekulitis, yang
menyebabkan peningkatan tekanan intra okuler. Pseudo-guttae dan lipatan-lipatan
pada membran Descemet dapat terlihat.3,4
 Keratitis Nekrotik

Inflamasi yang sangat hebat di kornea dipikirkan sebagai reaksi terhadap partikel virus
hidup di stroma kornea. Keratitis ini biasanya terjadi pada pasien dengan rekurensi
berulang, terutama akibat HSV-2. Keratitis ini sulit dibedakan dengan keratitis
mikrobial, sehingga perlu kecurigaan tinggi, dan dapat menyebabkan perlelehan dan
perforasi kornea. Seringkali, keratitis ini berhubungan dengan uveitis dan trabekulitis
yang dapat menyebabkan glaukoma.4

 Keratitis Stroma Imun

Keratitis ini bermanifestasi sebagai kesuraman stroma fokal, multifokal, atau difuse,
atau sebuah immune ring. Keratitis ini biasanya disertai edema stroma dan reaksi COA
ringan. Epitel dan endotel terpisah. Keratitis ini disebut keratitis interstitial jika disertai
dengan vaskularisasi. HSV merupakan penyebab tersering keratitis interstitial, terutama
unilateral. Berbeda dengan keratitis interstitial akibat sifilis, neovaskularisasi pada HSV
biasanya sektoral dan menyebabkan lesi stromal.3,4

13
Gambar 4. Keratitis Stroma Imun Aktif3

 Keratouveitis

Jaringan granulomatosa dengan keratic precipitate “mutton-fat” luas pada endotel


biasanya terdapat pada uveitis. Biasanya keratouveitis dimediasi oleh imun, namun
iritis sektoral dengan aqueous plasmoid dipikirkan sebagai akibat dari pelepasan virus
hidup dari nervus simpatetik. Hal ini dapat menyebakan sinekia, katarak, dan
glaukoma. Uveitis unilateral yang disertai tekanan intra okuler tinggi hampir selalu
disebabkan oleh HSV.4

2. Keratitis VZV

Penyakit kornea herpes zoster dapat menyebabkan kehilangan penglihatan signifikan.


Berbeda dari keratitis HSV rekurens yang umumnya hanya mengenai epitel, keratitis VZV
mengenai stroma dan uvea anterior sejak awal terjadinya. Keratitis VZV dapat dibedakan
menjadi:2,5

a. Keratitis Epitel

Penemuan kornea paling awal adalah keratitis epitel punctata. Pada pemeriksaan slit-
lamp ditemukan lesi multipel, halus, bengkak, dan menonjol yang berlokasi parasentral atau
pada limbus, yang terwarna sedikit dengan fluorescein namun terwarna seluruhnya dengan
pewarnaan rose bengal. Lesi-lesi ini mengandung virus hidup dan dapat sembuh atau
bergabung menjadi lesi epitel yang menonjol, berbentuk seperti dendrit, yang disebut sebagai

14
pseudodendrit. Pseudodendrit berukuran lebih kecil dari dendrit, dan tidak memiliki bentuk
bulat di ujung. Lesi ini hanya sementara dan biasanya sembuh dalam 2 minggu setelah erupsi
kutaneus. Sensasi kornea dapat berkurang sedikit atau normal, dan penggunaan steroid hanya
berefek sedikit pada lesi ini.2,5

Gambar 5. Pseudodendrit pada Keratitis Herpes Zoster

b. Keratitis Nummular

Keratitis nummular merupakan penemuan paling awal dari keterlibatan kornea dan stroma,
dan timbul pada minggu kedua dalam 25-30% pasien. Keratitis ini dikarakterisasikan dengan
infiltrat granular, multipel, halus di stroma anterior, pada lokasi yang sebelumnya terkena
keratitis punctata atau pseudodendrit. Lesi ini biasanya hanya sementara, namun dapat juga
membentuk jaringan parut samar-samar.5

c. Keratitis Disciform

Keratitis disciform merupakan infiltrasi stroma dalam yang tumbuh 3-4 bulan setelah fase
akut initsial, dan biasanya didahului oleh keratitis epitel akut atau keratitis stroma anterior.
Pada pemeriksaan ditemui area berbentuk cakram, sentral, mudah dibedakan pada edema
stroma difus tanpa vaskularisasi. Edema kornea dengan inflamasi COA dapat merupakan
gejala khas pada tahap ini. Edema disciform dapat menyebabkan jaringan parut, penumpukan
lipid, dan neovaskularisasi.2,5

d. Keratitis Pembuluh Darah Limbal

15
Keratitis pembuluh darah limbal dikarakterisasikan dengan pertumbuhan ke dalam
pembuluh limbal dan edema stroma, dan dapat berhubungan dengan inflamasi episclera atau
sclera (sclerokeratitis). Keratitis pembuluh darah limbal mungkin adalah vaskulitis yang
dimediasi komplek imun, yang menyebabkan edema kornea, vaskularisasi, dan pada
beberapa kasus penumpukan lipid dan pembentukan jaringan parut.5

e. Keratitis Neurotropik

Keratitis neurotropik merupakan akibat dari penurunan mendalam sensasi kornea secara
kronik. Keratitis ini dikarakterisasikan dengan defek epitel oval, inferior dengan ujung
tergulung. Defek ini tidak dapat mengalami reepitelisasi dengan mudah dan dapat
menyebabkan ulkus kornea tropik, pelelehan kornea, pembentukan descemetocele, dan
kemungkinan perforasi kornea. Kemungkinan infeksi bakteri sekunder sangat tinggi pada
tahap ini.2,5

3. Keratitis Adenovirus

Keratokonjungtivitis epidemik (EKC) merupakan infeksi adenovirus yang bermula


dengan sensasi benda asing pada mata unilateral. Selanjutnya, dalam beberapa jam atau hari,
menjadi keratokonjungtivitis bilateral. Pasien dengan EKC mengeluhkan mata gatal, berair,
terasa terbakar, fotofobia, dan seperti sensasi benda asing pada salah satu mata (unilateral).
Pemeriksaan slit-lamp memperlihatkan konjungtiva kemerahan dan edema, terkadang
membentuk pseudomembran. Dapat ditemukan juga eksudat serofibrinosa, terkadang
mukopurulen, yang disertai kemosis, hiperemia, dan edema plica. Folikel tarsal dan epibulbar
dapat juga terlihat. Jika sudah mengenai kornea, tanda pertama biasanya terbentuknya titik
punctata epitel kecil yang cenderung membesar dan tetap terlihat, meskipun fase akut sudah
berakhir, sebagai lesi individu yang disebut nummuli. Nummuli biasanya multifokal, tidak
bervaskularisasi, dan terletak sentral. Nummuli berisi deposit komplek imun (sel dendritik,
limfosit, histiosit, dan fibroblas) di bawah epitel di sepertiga anterior stroma kornea.
Sensitivitas kornea tidak terpengaruh. Fase akut sembuh dalam 3-6 minggu. Pembengkakkan
kelenjar limfa preaurikular, submandibula, dan servikal berhubungan dengan infeksi
adenovirus.2,7,8

16
Gambar 6. Mata dengan EKC7

Gambar 7. Hasil Pemeriksaan Slit-lamp pada Pasien dengan Beberapa Lesi Aktif dan
Jaringan Parut dari Keratokonjungtivitis Adenovirus Sebelumnya8

F. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang jarang diperlukan pada keratitis virus karena gejala klinis klasik
dan tidak berguna pada keratitis stromal karena biasanya tidak ditemukan virus hidup. Jika
diperlukan, pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah:3,4

17
1. Kultur

Swab kornea diletakkan pada media transport virus atau Chlamydia pada 4oC. Hal yang
perlu diperhatikan adalah rose bengal menjadi virucidal jika terekspor dengan cahaya, dan
kultur yang dilakukan dapat memberikan hasil false negatif.3,4

2. Uji DNA

Uji DNA merupakan pemeriksaan yang sangat cepat, sangat sensitif, dan spesifik, dan
dapat memeriksa serotipe untuk kepentingan epidemiologi. Namun, biaya yang sangat tinggi
membuat uji ini hanya dilakukan untuk kepentingan penelitian.3,4

3. Uji Antibodi Fluorescein

Membran nitroselulosa atau swab kornea yang diletakkan pada slide dapat digunakan. Uji
ini memberikan hasil cepat, namun memiliki sensitivitas dan spesifitas lebih rendah daripada
kultur. Pewarnaan dengan fluorescein mengganggu uji ini.3,4

4. Tzank Smear

Pewarnaan Papanicolaou atau Giemsa pada preparat kornea memperlihatkan sel raksasa
multinukleat dan badan inklusi eosinofilik intranukleus (Cowdry tipe A). Meskipun rendah
pada sensitivitas dan spesifitas, uji ini cepat dan murah dan bisa dilakukan pada kebanyakkan
laboratorium.3,4

5. Uji Antibodi Serum

Uji ini digunakan terbatas namun dapat berguna pada anak-anak jika terdapat IgM atau
peningkatan titer IgG. Titer negatif dapat menyingkirkan diagnosis, meskipun dapat terjadi
false negatif.3,4

G. Diagnosis

Diagnosis keratitis virus terutama berdasarkan pada adanya lesi kornea, dan gejala
klinisnya, meskipun pada saat ini telah terjadi pergeseran manifestasi klinis dan penyebaran,
dikarenakan tingginya prevalensi HIV dan pasien imunokompromis lain. Diagnosis juga
dapat dibantu oleh pemeriksaan penunjang.3-5

18
H. Penatalaksanaan
1. Keratitis HSV

Medikamentosa

Terapi keratitis HSV berbeda-beda antara keratitis epitel dan keratitis stroma. Hal ini
sesuai dengan fakta bahwa keratitis epitel disebabkan oleh replikasi virus hidup, sementara
keratitis stroma adalah respon imun terhadap antigen virus. Terapi yang baik dan tepat dapat
meminimalkan risiko terbentuknya jaringan parut.2-4

a. Keratitis Epitel Infeksius

Meskipun keratitis epitel dapat sembuh sendiri dalam 3 minggu pada kebanyakkan kasus,
terapi diperlukan pada ulkus yang lebih besar dari 4 mm, ulkus marginal, dan ulkus dengan
inflamasi stroma. Pengobatan utama adalah menggunakan anti virus topikal, yang sangat
efektif dengan resistensi rendah. Agen anti virus topikal yang dapat digunakan adalah
Idoxuridine, Trifluridine, Vidarabine, dan Acyclovir. Keratitis epitel yang tidak sembuh
dalam 2-3 minggu dipikirkan disebabkan oleh resistensi virus atau ulkus metaherpetik.2-4

Debridement merupakan terapi tambahan yang sangat efektif, yang bertujuan untuk
menghilangkan virus infeksius dan antigen virus yang dapat menyebabkan keratitis stroma.
Epitel sehat melekat erat pada kornea, tetapi epitel terinfeksi mudah dilepaskan. Pasien harus
diperiksa setiap hari dan diganti balutannya sampai defek korneanya sembuh, umumnya
dalam 72 jam.2-4

b. Keratouveitis Stroma

Terapi utama dalam pengobatan keratouveitis stroma adalah steroid topikal, yang akan
mengurangi inflamasi dan pembentukan jaringan parut. Namun, pada beberapa kejadian,
penggunaan steroid dapat memicu reaktivasi HSV yang kemudian akan menyebabkan
keratitis epitel berat atau keratitis nekrotik. Steroid yang digunakan biasanya adalah
Prednisolone Asetat 1% atau Dexamethasone 0,1%. Penggunaan steroid topikal sebaiknya
dihindari pada kelainan yang kemungkinan akan sembuh sendiri. Pemberian anti virus
profilaksis direkomendasikan untuk mengurangi risiko reaktivasi HSV pada tingkat ganglion.
Pemberian anti virus topikal dan sistemik yang agresif disertai pemberian steroid diperlukan

19
pada keratitis nekrotik dan iritis serosa fokal. Untuk penyakit stroma, Trifluridine dan
Acyclovir jauh lebih efektif dibandingkan yang lain.3,4

c. Keratitis Metaherpetik

Prinsip utama pengobatan adalah untuk menyembuhkan defek epitel secara cepat. Cara
yang dilakukan mencakup menghentikan pengobatan yang toksik, melakukan oklusi
punctum, suplementasi lapisan air mata, bandage kontak lens, dan membran amniotik.
Penggunaan steroid topikal dapat diperlukan jika terdapat inflamasi yang signifikan.4

Terapi Bedah

Terapi bedah mungkin diindikasikan untuk merehabilitasi penglihatan pasien dengan


parut kornea berat. Terapi bedah juga dapat diperlukan sebagai pilihan terapi pada pasien
dengan ulkus yang tidak menyembuh atau perforasi akibat keratitis nekrotik.2-4

a. Keratoplasti Penetrans

Tindakan ini hendaknya dilakukan paling sebentar 6 bulan, jika memungkinkan, setelah
penyakit herpesnya non aktif, karena tingkat kesuksesan meningkat pada mata tenang
dibandingkan dengan mata yang terinflamasi. Sayangnya, hasil dari transplantasi kornea pada
keratitis HSV buruk dan memiliki prognosis buruk pada graft kornea. Reaktivasi dan
penolakan graft terjadi pada 44% dan 46% pasien dalam 2 tahun. Infeksi herpes rekurens
dapat timbul sebagai akibat trauma bedah dan kortikosteroid topikal yang diperlukan untuk
mencegah penolakan graft kornea. Penolakan graft sendiri sulit dibedakan dari penyakit
stroma rekurens. Anti virus profilaktik harus diberikan segera setelah operasi selama paling
sedikit 6 bulan untuk mengimbangi penggunaan kortikosteroid topikal.2-4

b. Flap Konjungtiva

Flap konjungtiva dapat berguna pada pasien dengan kontraindikasi medis untuk
dilakukan pembedah atau dengan keratitis inflamasi kronis.4

20
c. Membran Amniotik

Membran amniotik telah terbukti mengurangi inflamasi dan membantu penyembuhan


ulkus neurotropik pada keratitis HSV. Hal ini dipikirkan sebagai akibat penurunan sel
inflamasi pada kornea sebanding dengan tingkat matriks metalloproteinase.4

2. Keratitis VZV

Medikamentosa
Pseudodendrit pada herpes zoster diterapi menggunakan debridement bersamaan dengan
antibiotik topikal profilaktik untuk mempercepat penyembuhan keratitis epitel. Tidak seperti
dendrit pada keratitis HSV, steroid topikal dapat digunakan untuk mempercepat resolusi
pseudodendrit pada herpes zoster. Acyclovir oral juga terbukti efektif untuk keratitis
punctata, pseudodendrit, dan bentuk plak mukus pada kornea.5,10

Keratitis neurotropik atau defek epitel yang berhubungan dengan keratitis herpes zoster
diterapi dengan air mata artifisial, salep mata, oklusi punctum, pressure patching, atau
kontak lens terapeutik.5,10

Terapi Bedah
Jika medikamentosa tidak berhasil, maka dapat dipikirkan untuk dilakukan tarsorrafi, flap
konjungtiva, atau transplantasi konjungtiva.5

3. Keratitis Adenovirus

Medikamentosa
Steroid topikal dapat meringankan gejala subjektif dan dapat memperlambat atau
mencegah pembentukan infiltrat kornea. Namun, penggunaan steroid tidak dianjurkan karena
dapat memperpanjang penyakit kornea. Penggunaan steroid hanya diijinkan pada infeksi
fulminan masif untuk mencegah symblephara, jaringan parut kornea, dan gangguan
penglihatan permanen. Antihistamin topikal dan penggunaan alat bantu suportif seperti
kompres dingin dapat diberikan.2,7

21
Terapi Bedah
Sekuele seperti jaringan parut yang menetap, bentuk iregular, dan astigmatisma iregular
setelah EKC dapat menyebabkan penurunan penglihatan. Pada kasus-kasus seperti ini,
keratektomi fototerapeutik dengan bantuan topografi atau gelombang dapat mengembalikan
penglihatan.7

I. Prognosis

Prognosis dari keratitis virus pun berbeda-beda tergantung dari jenis penyebab dan
tingkat kedalaman yang terjadi di kornea, semakin dalam lapisan kornea, semakin buruk
prognosisnya, dan jika keratitis tidak ditangani dengan benar maka penyakit ini akan
berkembang menjadi suatu ulkus yang dapat merusak kornea secara permanen sehingga akan
menyebabkan gangguan penglihatan bahkan dapat sampai menyebabkan kebutaan sehingga
pengobatan keratitis haruslah cepat dan tepat agar tidak menimbulkan komplikasi yang
merugikan di masa yang akan datang terutama pada pasien yang masih muda.

22
BAB III

PENUTUP

Keratitis merupakan suatu infeksi pada kornea yang ditandai dengan adanya infiltrat dan
salah satu penyebabnya adalah virus. Keratitis virus paling sering disebabkan oleh virus herpes
simpleks, virus varicella-zooster, dan adenovirus. Penyebab lain yang lebih jarang mencakup
cytomegalovirus, virus measles, atau virus rubella.

Gambaran klinik masing-masing keratitis pun berbeda-beda tergantung dari jenis


penyebab dan tingkat kedalaman yang terjadi di kornea. Terapi yang dapat diberikan adalah
kortikosteroid tetes disertai dengan antivirus topikal dan pembedahan jikalau diperlukan.
Penggunaan kortikosteroid juga harus bijak, oleh karena ada keratitis viral yang dapat sembuh
sendiri tanpa diperlukan terapi. Prognosis dari keratitis pun berbeda-beda tergantung dari jenis
penyebab dan tingkat kedalaman yang terjadi di kornea, semakin dalam lapisan kornea, semakin
buruk prognosisnya, dan jika keratitis tidak ditangani dengan benar maka penyakit ini akan
berkembang menjadi suatu ulkus yang dapat merusak kornea secara permanen sehingga akan
menyebabkan gangguan penglihatan bahkan dapat sampai menyebabkan kebutaan.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Lang GK. Viral keratitis. In: Lang GK. Ophtalmology: a pocket textbook atlas. Stuttgart:
Thieme; 2006.p.132-4.
2. Biswell R. Keratitis virus. Dalam: Riordan-Eva P, Whitcher JP. Vaughan & Asbury:
oftalmologi umum. Ed 17. Jakarta: EGC; 2009.h.131-5,9.
3. Wang JC. Herpes simplex keratitis. 20 Februari 2014. Downloaded from:
http://emedicine.medscape.com/article/1194268-overview, 16 Agustus 2015.
4. Tuli SS. Herpes simplex keratitis. In: Wiggs JL, Miller D, Azar DT, Goldstein MH,
Rosen ES, et al (eds). Yanoff & Duker ophtalmology. 3rd ed. China: Elsevier;
2009.p.279-84.
5. Holz HA. Espandar L, Moshirfar M. Herpes zoster ophtalmicus. In: Wiggs JL, Miller D,
Azar DT, Goldstein MH, Rosen ES, et al (eds). Yanoff & Duker ophtalmology. 3rd ed.
China: Elsevier; 2009.p.222-6.
6. Janniger CK. Herpes zoster. 27 Mei 2014. Downloaded from:
http://emedicine.medscape.com/article/1132465-overview#a4, 18 Agustus 2015.
7. Bialasiewicz A. Adenoviral keratoconjunctivitis. Sultan Qaboos Univ Med J. 2007 Apr
[cited 2015 Aug 18]; 7(1):15-25. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3086413/.
8. Vinekar A, Avadhani K. Spectral-domain optical coherence tomography imaging of the
eye. New Delhi: Elsevier.p.68-71.
9. American Academy of Ophthalmology. External Eye Disease and Cornea. San Fransisco
2008-2009.p.179-90.
10. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata edisi–5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2015.p.113–116.

24

Anda mungkin juga menyukai