Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN KASUS

Morbus Hansen Dengan Fenomena Lucio

Penyusun:

Nabil Dhiya Ulhak


1102014177

Pembimbing:

dr. Evy Aryanti, Sp.KK

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT KULIT DAN


KELAMIN RSUD KABUPATEN BEKASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
PERIODE 30 NOVEMBER 2020 – 20 DESEMBER 2020

1
Tugas Laporan Kasus Divisi Dermatologi & Venerologi
Nama / NPM : Nabil Dhiya Ulhak (1102014177)
Judul : Morbus Hansen tipe LL dengan Fenomena Lucio
Tempat : RSUD Kabupaten Bekasi
Pembimbing : dr. Evy Aryanti, Sp.KK

BAB I
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. S
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 25 Tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Sumberjaya, Tambun Selatan
Status : Menikah
Suku : Betawi
Pendidikan Terakhir : SMA
Tanggal datang ke RS : 12 November 2020

II. ANAMNESIS

Autoanamnesis dilakukan dengan pasien di Ruang Gardenia


RSUD Kabupaten Bekasi pada tanggal 1 Desember 2020 pukul
13:30.

A. Keluhan Utama

Pasien datang dengan keluhan terdapat bercak merah


kehitaman pada kaki dan tangan sejak 4 bulan yang lalu.

B. Keluhan Tambahan

Keluhan disertai dengan rasa seperti terbakar pada kedua


kaki dan tangan.

2
C. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke IGD RSUD Kabupaten Bekasi pada tanggal 12


November 2020 dengan keluhan terdapat bercak kehitaman pada
kedua lengan dan tungkai. Sejak 8 bulan yang lalu sebelum masuk
rumah sakit. Bercak pertama kali muncul merah kehitaman
berjumlah 5 buah berukuran sebesar koin pada kaki kanan pasien.
Bercak tidak disertai dengan rasa kebas, tidak terasa panas, tidak
terasa nyeri dan tidak terasa gatal. Bercak dirasakan semakin hari
bertambah, menyebar ke kaki kiri dan berubah warna menjadi
kehitaman.

Sejak 2 bulan yang lalu bercak yang serupa muncul di kaki kiri
berwarna merah kehitaman berjumlah 5 buah seukuran koin yang
bertambah banyak dan meluas hingga menyebar ke tangan kanan
dan kiri serta punggung tangan. Bercak disertai dengan rasa panas,
tidak terasa kebas, tidak terasa gatal dan tidak terasa nyeri.

Sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit, pasien berobat ke


Puskesmas setempat karena bercak semakin meluas dan menutupi
jari kaki dan tangan pasien. Saat itu pasien diberikan Rivanol dan
salep gentamicin namun keluhan tidak membaik dan lesi semakin
terasa panas.
D. Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat keluhan yang sama :lPasien pernah mengalami


lllkeluhan serupa pada tahun 2018.
lllPasien mengatakan mendapat
lllpengobatan berupa salep
lllgentamicin dan rivanol.

E. Riwayat Penyakit Keluarga

3
Pada keluarga pasien tidak ada yang menderita penyakit seperti
pasien

F. Riwayat Pengobatan

Pasien pernah mendapat pengobatan berupa salep


gentamicin, pasien belum pernah menerima terapi MDT.

III. PEMERIKSAAN FISIK


1) Pemeriksaan Umum
1. Keadaan Umum : Baik
2. Kesadaran :lComposmentis E4M6V5 (GCS: 15)
3. Tanda Vital
Tekanan Darah : 106/57 mmHg
Heart Rate : 73 x/menit
Respiration Rate : 20 x/menit
Suhu : 36,70C
Respirasi : 20x/menit
Status Gizi
- BB : 60 Kg
- TB : 150 Cm
- BMI : 26.6 (overweight)

Kepala : Normocephal
Mata :lKonjungtiva anemis (-/-), Sklera
llIkterik (-/-), pupil bulat isokhor,
llreflek cahaya langsung (+/+).
Alis : Madarosis (+/+)
Wajah : Facies leonine (+)
Leher : KGB tidak teraba membesar, trakea
llditengah tidak deviasi, kelenjar
lltiroid tidak membesar.
Thorax & Abdomen : Dalam batas normal

4
Ekstremitas :lAkral hangat, tidak ada edema.

2) Pemeriksaan Dermatologis

Pada regio fasialis tampak makula hingga patch hipopigmentasi


multiple, dengan permukaan halus mengkilat, berukuran plakat,
berbatas tidak tegas. Didapatkan alis madarosis (+/+), deviasi
septum sinistra dan fasies leonine (+).

Pada ekstremitas atas bilateral tampak makula sampai patch


hiperpigmentasi multiple, dengan permukaan halus mengkilat,
berukuran numular hingga plakat, berbatas tidak tegas, tersebar
konfluens disertai dengan skuama halus diatasnya, terdapat erosi
pada 1/3 distal extremitas atas bilateral, dorsum manus, digiti II-V
manus dextra, digiti I-V manus sinistra.
Pada regio cruris bilateral tampak macula hiperpigmentasi multiple,
dengan permukaan halus mengkilat, berukuran numular hingga
plakat dengan batas sirkumskrip, tersebar diskret sampai konfluens
disertai dengan skuama halus.
Pada regio dorsum pedis bilateral tampak makula hingga patch
eritema hingga hiperpigmentasi multiple, dengan permukaan halus
mengkilat, berukuran plakat dengan batas sirkumskrip, tersebar
konfluens disertai dengan skuama halus, erosi serta ekskoriasi
diatasnya dan ulkus pada digiti V pedis dextra sinistra

5
Gambar
3.1. Lesi
pada regio
fasialis terjadi deviasi septum dan gambaran fasies leonine

Gambar 3.2. Lesi pada ekstremitas atas bilateral

6
Gambar 3.3. Lesi pada ekstremitas bawah bilateral dan pada
regio dorsum pedis bilateral

3) Pemeriksaan Fisik Morbus Hansen

Kanan Kiri
Mata
Lagoftalmus Negatif Negatif
Nervus facialis Negatif Negatif
Nervus auricularis magnus
Penebalan saraf Negatif Negatif
Nyeri tekan Negatif Negatif
Ekstremitas Atas

Nervus ulnaris

Penebalan saraf Negatif Negatif


Nyeri tekan Negatif Negatif
Nervus radialis

Penebalan saraf Negatif Negatif

7
Nyeri tekan Negatif Negatif
Kekuatan otot

Ibu jari (N. Medianus) Tidak ada kelemahan Tidak ada kelemahan
Jari ke V (N. Ulnaris) Tidak ada kelemahan Tidak ada kelemahan
Pergelangan tangan (N. Tidak ada kelemahan Tidak ada kelemahan
Radialis )
Rasa raba Penurunan sensibilitas (-) Penurunan sensibilitas (-)
Ekstremitas Bawah

Nervus Peroneus lateralis

Penebalan saraf Negatif Negatif


Nyeri tekan Negatif Negatif
Nervus Tibialis posterior

Penebalan saraf Negatif Negatif


Nyeri tekan Negatif Negatif
Kekuatan otot pergelangan Tidak ada kelemahan Tidak ada kelemahan
kaki(N.Perineous
communis)

Rasa raba Normal Normal


Perbedaan suhu Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Anhidrosis Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Pemeriksaan fungsi motorik :


• Claw hand : Dextra (-), Sinistra (-)
• Wrist drop : Dextra (-), Sinistra (-)
• Foot drop : Dextra (-), Sinistra (-)
• Lagoftalmus : Dextra (-), Sinistra (-)
• Claw toes : Dextra (-), Sinistra (-)

IV. DIAGNOSIS BANDING

8
a Morbus Hansen tipe LL
b. Morbus Hansen tipe BL

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Darah Lengkap


Hemoglobin : 9.9 g/dL
Hematokrit : 32 %
Eritrosit : 4,85. 106 / mL
MCV : 66 fl
MCH : 20 pg/mL
MCHC : 31 g/dL
Trombosit : 493 . 103/uL
Leukosit : 16.5 . 103/uL

BTA Kulit
• Telinga kanan : Positif
• Telinga kiri : Positif
• Tangan kanan : Positif
• Tangan kiri : Positif
• Tungkai kanan : Positif
• Tungkai kiri : Positif

Pemeriksaan KOH 10%


• Epitel : 3-5/LPK
• Jamur : Negatif
• Hifa : Negatif
• Budding : Negatif

VI. DIAGNOSIS KERJA

• Morbus Hansen tipe Lepromatosa (LL) dengan fenomena lucio

9
• Anemia mikrositik normokrom ec DIC

• Leukositosis reaktif

VII. RESUME

Telah diperiksa seorang pasien perempuan usia 25 tahun, datang berobat ke


Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Kabupaten Bekasi dengan lesi merah
kehitaman. Lesi pertama kali muncul 8 bulan yang lalu berwarna merah pada
regio cruris dextra lalu lesi berubah warna merah kehitaman kemudian
menyebar ke seluruh regio cruris bilateral, extremitas superior bilateral,fasialis.
Ditemukan rasa terbakar pada lesi di extremitas superior dan inferior bilateral.
Tidak ditemukan nyeri dan pruritus pada lesi atau bagian tubuh yang lain.
Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis diketahui pasien pernah mengalami
keluhan serupa pada tahun 2018.
Pada pemeriksaan fisik morbus hansen didapatkan nyeri seperti terbakar
pada lesi di ekstremitas atas dan bawah.
Pada pemeriksaan dermatologis didapatkan pada regio fasialis makula
hipopigmentasi, madarosis (+/+) dan fasies leonina (+).
Pada extremitas superior bilateral di temukan patch hiperpigmentasi
multiple, dengan permukaan halus mengkilat, berukuran numular hingga
plakat, berbatas tidak tegas, tersebar konfluens disertai dengan skuama halus
diatasnya, terdapat erosi pada 1/3 distal extremitas atas bilateral, dorsum
manus, digiti II-V manus dextra, digiti I-V manus sinistra.
Pada regio cruris bilateral lesi berupa regio cruris bilateral tampak macula
hiperpigmentasi multiple, dengan permukaan halus mengkilat, berukuran
numular hingga plakat dengan batas sirkumskrip.

Pada regio dorsum pedis bilateral tampak makula hingga patch eritema
hingga hiperpigmentasi multiple, dengan permukaan halus mengkilat,
berukuran plakat dengan batas sirkumskrip, tersebar konfluens disertai dengan

10
skuama halus, erosi serta ekskoriasi diatasnya dan ulkus pada digiti V pedis
dextra-sinistra.

Pada pemeriksaan penunjang didapatkan hemoglobin 9.9 g/dL hematokrit


32 % eritrosit 4.85. 106 / mL, MCV 66 fl,MCH 20 pg/mL, MCHC 31 g/dL,
trombosit 493. 103/uL Leukosit 16.5 . 103/uL.
Hasil pemeriksaan BTA (+) pada sampel kerokan kulit cuping telinga,
kedua lengan dan kedua tungkai. Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang dapat didiagnosis dengan Morbus Hansen tipe
Lepromatosa (LL) dengan Anemia mikrositik normokrom.

VIII. TATALAKSANA

Medikamentosa :

• Dexamethasone 30 mg/ hari


• Mecobalamin 500 μg 3 x 1
• Tablet Besi (Fe) 60 mg/ hari
• Cefixime 200mg 3 x 1
• Paracetamol 500 mg 3x1

Perawatan ulkus :

• Modern Wound Dressing


▪ Cuci dan bersihkan lesi dengan NaCl 0.9 %
▪ Tutup luka dengan patch hidrokoloid

Non medikamentosa :

• Memberikan edukasi kepada pasien mengenai penyakit kusta.


• Menjelaskan kepada pasien agar teratur mengonsumsi obat setiap
hari sesuai dosis dan lama terapi yang ditentukan.
• Mengedukasi pasien pentingnya mengonsumsi makanan dengan gizi
seimbang.

11
• Menjaga higenitas dengan mandi 2 kali sehari menggunakan air dan
sabun.
• Menghindari manipulasi lesi.
• Konsultasi dengan dokter spesialis gizi untuk mengatur gizi pasien.

IX. PROGNOSIS

• Quo ad Vitam : dubia ad bonam


• Quo ad Functionam : dubia ad bonam
• Quo ad Sanationam : dubia ad malam

BAB II
PEMBAHASAN

12
Penyakit kusta adalah penyakit infeksi granulomatosa kronis yang
disebabkan oleh basil Mycobacterium leprae yang bersifat obligat intraselular.
Saraf perifer sebagai afinitas pertama, kemudian selanjutnya dapat menyerang
kulit, lalu menyebar ke organ lain (mukosa mulut, traktus respiratorius bagian atas,
sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang, dan testis), kecuali susunan saraf pusat.
Bakteri penyebab adalah Mycobacterium leprae ditemukan oleh Gerhard
Armaurer Hansen pada tahun 1873 di Norwegia, yang sampai sekarang belum
dapat di biakkan karena bersifat obligat intraseluler, bakteri aerob, basil tahan asam,
gram positif,. Organisme ini tidak dapat dibiakkan dengan media kultur. Bakteri ini
tidak mudah diwarnai namun akan bertahan terhadap bekolorisasi oleh asam atau
alkohol.
Penyakit lepra merupakan penyakit endemik di negara tropis, terutama di
negara berkembang. Prevalensinya telah menurun tajam sejak pengenalan MDT
pada awal 1980. Namun, 105 negara endemik, khususnya yang terletak di Asia
Tenggara, di Amerika, Afrika, Pasifik Timur dan Mediterania Barat, masih
terkonsentrasi pada jumlah kasus yang besar. Pada triwulan I tahun 2012 tercatat
181.941 kasus baru dan terdapat prevalensi 0,34 kasus per 10.000 penduduk.
(Lastoria J, 2014). Angka prevalensi kusta di Indonesia pada tahun 2017 sebesar
0,70 kasus/10.000 penduduk dan angka penemuan kasus baru sebesar 6,08
kasus/10.000 penduduk. Selain itu ada beberapa provinsi yang prevalensinya masih
diatas 1/10.000 penduduk. Angka prevalensi ini belum bisa dinyatakan bebas kusta
dan terjadi di 10 provinsi di Indonesia (Kemenkes, 2018). Rasio pria-wanita ialah
2: 1 hingga 3: 1. Dibandingkan ras, status sosial ekonomi yang lebih rendah
dianggap sebagai faktor risiko lepra di daerah endemis (Estrada B, 2020).
Sesuai dengan kasus ini, pasien menderita penyakit lepra dikarenakan
infeksi Mycobacterium leprae yang merupakan basil tahan asam, hal ini dibuktikan
dengan ditemukannya basil tahan asam pada sampel apusan kerokan lesi kulit yang
aktif, yaitu cuping telinga dan kedua lengan dan tungkai pasien
Penularan penyakit lepra belum sepenuhnya dipahami, namun diyakini
menyebar melalui saluran pernapasan. Studi melaporkan bahwa infeksi pejamu
berpotensi terjadi melalui kulit yang rusak juga. Mekanisme utama penyebaran M.

13
leprae dan kondisi lingkungan yang menyimpan mikroorganisme tersebut masih
diteliti. Lepra menular melalui kontak langsung dengan penderita dimana keduanya
memiliki lesi baik mikrospopis atau makroskopis dan adanya kontak lama dan
berulang-ulang dan melalui pernafasan (Kemenkes, 2018).

Pada pasien dilakukan dua macam pemeriksaan fisik untuk menilai ada tidaknya
penurunan sensibilitas, yaitu pemeriksaan rasa raba, dan rasa nyeri. Pada
pemeriksaan rasa raba, pasien masih bisa membedakan perabaan pada daerah lesi
dan derah kulit normal. Pada pemeriksan rasa nyeri pasien masih bisa membedakan
perababaan pada daerah lesi dan daerah kulit normal.

Diagnosis kusta didasarkan pada temuan tanda kardinal (tanda utama) menurut
WHO, yaitu:
a. Bercak kulit yang mati rasa

Bercak hipopigmentasi atau eritematosa, mendatar (makula) atau


meninggi (plak). Mati rasa pada bercak bersifat total atau sebagian saja
terhadap rasa raba, suhu, dan nyeri.
b. Penebalan saraf tepi

Dapat / tanpa disertai rasa nyeri dan gangguan fungsi saraf yang terkena,
yaitu:
1. Gangguan fungsi sensoris: mati rasa

2. Gangguan fungsi motoris: paresisatau paralisis

3. Gangguan fungsi otonom: kulit kering, retak, edema,


pertumbuhan rambut yang terganggu.
c. Ditemukan kuman tahan asam

Bahan pemeriksaan berasal dari apusan kulit cuping telinga dan lesi kulit pada
bagian yang aktif. Kadang-kadang bahan diperoleh dari biopsi saraf.
Diagnosis kusta ditegakkan bila ditemukan paling sedikit satu tanda kardinal. Bila
tidak atau belum dapat ditemukan, disebut tersangka/suspek kusta, dan pasien perlu

14
diamati dan diperiksa ulang 3 sampai 6 bulan sampai diagnosis kusta dapat
ditegakkan atau disingkirkan (Wisnu M et al, 2017).

Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis


dan pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau
usapan dan kerokan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan terhadap
basil tahan asam (BTA), antara lain dengan ZIEHL- NEELSEN. Pertama-tama
harus ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh kuman, setelah
terlebih dahulu menentukan jumlah tempat yang akan diambil. Untuk pemeriksaan
rutin sebaiknya minimal 4-6 tempat, yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan
2-4 lesi lain yang paling aktif, berarti yang paling eritematosa dan paling infiltratif.

Pada pasien dalam laporan kasus ini ditemukan 1 tanda kardinal, yaitu
ditemukannya Bakteri Tahan Asam (BTA) dari sampel apusan kerokan kulit cuping
kedua telinga pasien, berdasarkan itu maka dapat ditegakkan diagnosis Morbus
Hansen. Pada pasien ini diambil sampel kerokan dari 6 tempat, yaitu kedua cuping
telinga, 2 dibagian lengan dan 2 bagian tungkai . Hasil positif Basil Tahan Asam
(BTA) ditemukan pada semua sampel apusan kerokan lesi kulit.

Terdapat beberapa klasifikasi pada penyakit lepra, di antaranya ialah klasifikasi


Madrid, Ridley dan Joping, serta WHO (Wisnu M et al, 2017). Klasifikasi Madrid
terbagi menjadi Tuberculoid, Borderline, dan Lepromatosa. Ridley dan Joping
memperkenalkan istilah “spectrum determinate” pada penyakit kusta, yang terdiri
atas beberapa bentuk, di antaranya ialah Polar Tuberculoid (TT) Borderline
Tuberculoid (BT), Borderline (BB), Borderline Lepromatosa (BL), Subpolar
Lepromatosa (LLs), dan Polar Lepromatosa (LLp). Tuberkuloid polar (TT) dan
Tuberkuloid lepromatosa (LLp) secara klinis stabil, sedangkan spektrum diantara
keduanya, respon penjamu dapat berubah-ubah (Lee DJ, 2019). Indeterminate
tidak termasuk ke dalam spektrum di atas, istilah ini digunaknan untuk
menggambarkan lesi yang kaya basil tetapi tidak memiliki pola histologis

15
tuberculoid atau lepromatous yang khas. Pasien seperti ini biasanya BL atau
kadang-kadang LL (Lee DJ, 2019).

Menurut WHO pada tahun 1988, kusta dibagi menjadi multibasilar dan
pausibasilar. Yang termasuk dalam multibasilar adalah tipe LL, BL dan BB pada
klasifikasi Ridley-Jopling dengan apusan kerokan kulit positif.

Pada kusta lepromatosa (LL), penurunan cell-mediated immunity terhadap


M. leprae memungkinkan replikasi basil tak terbatas dan penyakit multiorgan yang
tersebar luas. Terdapat infiltrasi dermal yang dapat dimanifestasikan secara nyata
dengan pembesaran lobus telinga, pelebaran akar hidung, pembengkakan fusiform
pada jari, dan kulit terlipat menjadi lipatan. Gabungan lipatan kulit dan
pembentukan nodul menghasilkan "Leonine Facies" (Lee DJ, 2019).

Lesi pada kusta LL tersebar simetris dengan jumlah yang sukar dihitung,
ukurannya kecil, dengan permukaan halus mengkilat, dapat ditemukan gangguan
sensibilitas pada lesi, namun bisa juga tidak. Kerontokan rambut pada daerah lesi
belum terjadi pada awal munculnya penyakit. Ditemukan banyak basil tahan asam
dengan globus (Bhushan Kumar et al, 2017).

Pada pasien ini, berdasarkan klasifikasi WHO termasuk ke dalam klasifikasi


multibasilar, karena didapatkan beberapa kriteria, di antaranya ialah jumlah lesi
yang lebih dari 5, dan distribusi yang simetris. Pada pasien didapatkan tanda-tanda
khas seperti leonine facies, deformitas septum dan kerontokan alis.

Menurut klasifikasi Ridley-Jopling, Morbus Hansen pada pasien ini


tergolong ke dalam klasifikasi polar lepromatosa (LL) karena pada pemeriksaan
dermatologis ditemukan lesi berupa makula sampai patch hiperpigmentasi
multipel, dengan permukaan halus mengkilat, berukuran numular-plakat, dengan
batas sirkumskrip, tersebar diskret-konfluens, pada regio fasialis, regio ekstremitas
atas bilateral dan regio cruris bilateral.

16
Multi Drug Therapy (MDT) yang saat ini direkomendasikan untuk kusta PB
adalah rifampisin dan dapson selama 6 bulan dan MDT yang saat ini
direkomendasikan untuk kusta MB adalah rifampisin, klofazimine dan dapson
untuk 12 bulan. Multi Drug Therapy (MDT) disediakan dalam kemasan blister yang
lebih lanjut dibedakan antara dewasa dan anak-anak. Terdapat empat kemasan
blister berbeda: dewasa PB, anak PB, dewasa MB, dan anak MB.

Guidelines Development Group (GDG) menetapkan rekomendasi untuk


menggunakan regimen 3 obat untuk kusta PB dibenarkan, berdasarkan bukti yang
menunjukkan manfaat dari regimen 3 obat dibandingkan regimen 2 obat untuk
kusta PB, yakni 10-14 lebih pasien untuk 100 pasien yang diobati dengan regimen
3 obat mendapatkan hasil klinis yang baik setelah 12 bulan, dan 26 pasien lagi untuk
100 pasien setelahnya 24 bulan. Beberapa bukti juga menunjukkan potensi
peningkatan risiko relaps pada pasien PB dengan regimen 2 obat yang saat ini
direkomendasikan. Regimen 3 obat berpotensi untuk mengurangi konsekuensi
kesalahan klasifikasi pasien MB sebagai pasien PB (berdasarkan lesi jumlah).

Pada kusta MB, GDG menetapkan bahwa tidak didapatkan bukti yang
cukup guna mendukung rekomendasi untuk mempersingkat durasi pengobatan.
Sebuah Randomized Control Trial (RCT) menunjukkan adanya potensi
peningkatan angka relaps serta terdapatnya efek negatif dari hasil klinis dengan
durasi pengobatan yang lebih singkat.

17
1. Reaksi Kusta
Reaksi Kusta Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada
perjalanan penyakit yang sebenarnya sangat kronik. Reaksi kusta terdiri atas
reaksi tipe 1 (reaksi reversal) tipe 2 (eritema nodosum leprosum) Penyebab
reaksi kusta masih belum diketahui, kemungkinan reaksi ini menggambarkan
episode hipersensitivitas akut terhadap antigen basil yang menimbulkan
gangguan keseimbangan imunitas yang telah ada.

Factor pencetus yang dianggap sering mendahuli timbulnya rekasi kusta adalah
• Setelah pengobatan antikusta yang intensif
• Infeksi rekuren
• Pembedahan
• Stress fisik
• Imunisasi
• Kehamilan
Ada 2 tipe reaksi menurut hipersensitivitas yang menyebabkan reaksi kusta
• Reaksi kusta tipe 1 (tipe reversal) disebabkan oleh hipersensitivitas selular

18
• Reaksi kusta tipe 2 (eritema nodosum leprosum) disebabkan oleh
hipersensitivitas humoral
• Fenomena lucio atau reaksi kusta tipe 3 merupakan reaksi kusta tipe 2 yang
lebih berat.

19
Reaksi berat ditandai dengan salah satu dari gejala berikut, yaitu adanya :
1. Lagoftalmos baru terjadi dalam 3 bulan terakhir
2. Nyeri raba saraf tepi
3. Kekuatan otot yang berkurang dalam 6 bulan terakhir
4. Makula pecah atau nodul pecah
5. Makula aktif (meradang), diatas lokasi saraf tepi
6. Gangguan pada organ lain

Penanganan Reaksi
Prinsip pengobatan reaksi ringan:
• Berobat jalan, istirahat di rumah
• Pemberian analgetik/antipiretik, obat penenang bila perlu
• Menghindari/menghilangkan faktor pencetus.

Prinsip pengobatan reaksi berat:


• Imbolisasi lokal organ tubuh yang terkena neuritis/istirahat di rumah
• Pemberian analgetik/antipiretik, obat penenang bila perlu
• Menghindari/menghilangkan faktor pencetus
• Memberikan obat anti reaksi: prednison, lamprene, talidomid (bila tersedia)
• Bila ada indikasi rawat inap pasien dikirim ke rumah sakit

20
• Reaksi tipe 2 berat dan berulang diberikan prednison dan klofazimin.
Catatan: MDT hanya diberikan pada reaksi yang timbul sebelum dan selama
pengobatan. Bila telah RFT, MDT tidak diberikan lagi.

2. Pengobatan untuk reaksi tipe 1 dan 2


Prinsip tatalaksana reaksi tipe 1 adalah sebagai berikut:
• MDT harus segera dimulai (bila pasien belum mendapat terapi kusta) atau
tetap dilanjutkan (bila pasien sedang dalam terapi kusta).
• Terapi reaksi tipe 1 sesuai dengan tingkat keparahan:
• Reaksi ringan ditandai dengan inflamasi pada beberapa lesi lama (EEL)
• Reaksi berat ditandai dengan adanya satu atau lebih tanda-tanda berikut:
- Terdapat beberapa EEL dan juga bisa juga terdapat lesi baru
- Nyeri saraf, nyeri tekan, parestesia, atau berkurangnya fungsi saraf
- Demam, rasa tidak nyaman, nyeri sendi
- Edema pada tangan dan/atau kaki
- Lesi ulserasi di kulit
- Reaksi menetap lebih dari 6 minggu
• Terapi Spesifik
Terapi spesifik bertujuan untuk menekan respons hipersensitivitas
tipe lambat (delayed type hypersensitivity) terhadap antigen M. leprae
dengan memberikan terapi anti inflamasi. Tatalaksana RR dengan berbagai
tingkat keparahan dan berbagai pilihan terapi adalah sebagai berikut:
o Terapi reaksi reversal ringan
Reaksi reversal ringan dapat diterapi dengan aspirin atau parasetamol
selama beberapa minggu.
o Terapi reaksi reversal berat dan neuritis akut
Kortikosteroid (prednisolon) masih merupakan terapi utama dan terapi
pilihan pada RR (lihat Tabel 3).

21
Prinsip tatalaksana reaksi tipe 2 adalah sebagai berikut:
• Identifikasi tingkat keparahan reaksi tipe 2
o Reaksi ringan (hanya ada beberapa lesi ENL, tanpa keterlibatan organ
lain, tetapi pasien merasa tidak nyaman)
o Reaksi sedang (demam ringan <100o F dan lesi ENL dalam jumlah
sedikit-sedang, ditemukan leukositosis dan keterlibatan beberapa organ
lain kecuali saraf, mata dan testis)
o Reaksi berat (demam tinggi, lesi ENL luas dengan atau lesi
pustular/nekrotik, neuritis, gangguan fungsi saraf, iridosiklitis, orkitis,
o dan/atau nyeri tulang hebat, dan lain-lain), harus dirawat inap untuk
diobservasi dan ditatalaksana lebih lanjut.

• Mencari dan mengatasi faktor presipitasi (lihat Tabel 1).


• Melanjutkan pemberian MDT. Pemberian MDT bila terjadi reaksi harus
• tetap dilanjutkan, dan bila MDT belum diberikan saat terjadi reaksi, harus
• segera diberikan bersamaan dengan terapi spesifik ENL, terutama pada
• pasien LL/BL.
• Penatalaksanaan manifestasi ENL reaksi tipe 2: neuritis, iridosiklitis akut
epididimo-orkitis akut
Tatalaksana reaksi tipe 2 sesuai dengan berbagai tingkat keparahan penyakit
maka pilihan pengobatan untuk reaksi tipe 2 adalah sebagai berikut:

22
• Terapi reaksi tipe 2 ringan
Reaksi tipe 2 ringan dapat diterapi dengan obat analgetik dan obat
antiinflamasi, misalnya aspirin dan OAINS lainnya. Aspirin diberikan dengan
dosis 600 mg setiap 6 jam setelah makan.

• Terapi reaksi tipe 2 sedang dengan antimalaria (klorokuin), antimonial


Terapi reaksi tipe 2 berat
Pasien dengan ENL berat (demam tinggi, lesi ENL luas dengan pustular/nekrotik,
neuritis, gangguan fungsi saraf, iridosiklitis, orkitis, atau nyeri tulang hebat,dan
lain-lain) harus dirawat inap untuk diobservasi dan ditatalaksana lebih lanjut.
Reaksi tipe 2 berat terdiri atas reaksi tipe 2 episode pertama ENL berat dan reaksi
tipe 2 episode ulangan atau ENL kronik.
• Terapi reaksi tipe 2 episode pertama ENL berat
o Pilihan pertama: prednison
Pemberian prednisolon jangka pendek, tetapi dengan dosis awal tinggi, 40-
60 mg sampai ada perbaikan klinis kemudian taper 5-10 mg setiap minggu
selama 6-8 minggu atau lebih. Dosis rumatan 5-10 mg diperlukan selama
beberapa minggu untuk mencegah rekurensi ENL.
o Pilihan kedua: kombinasi prednisolon dan klofazimin.
Kombinasi prednisolon (dosis seperti di atas) dan klofazimin diberikan
dengan dosis sebagai berikut:
- 300 mg/hari selama 1 bulan
- 200 mg/hari selama 3-6 bulan
- 100 mg/hari selama gejala masih ada
Penggunaan klofamizin dengan dosis tinggi dan periode yang cukup lama
dapat mengurangi dosis atau bahkan menghentikan pemberian steroid. Selain itu
dapat mencegah atau mengurangi rekurensi reaksi. Sebaiknya pemberian
klofazimin tidak melebihi 12 bulan.
o Pilihan ketiga: talidomid
Talidomid diberikan sebagai pilihan terakhir, dengan dosis awal 400

23
mg atau 4x100 mg selama 3-7 hari atau sampai reaksi terkontrol, diikuti
penurunan dosis dalam 3-4 minggu atau diturunkan perlahan-lahan jika
rekurensi terjadi, yaitu:
- 100 mg pagi hari + 200 mg malam hari selama 4 minggu
- 1x200 mg malam hari selama 4 minggu
- 1x100 mg malam hari selama 4 minggu
- 50 mg setiap hari atau 100 mg selang sehari, malam hari, selama
8-12 minggu.

• Terapi reaksi tipe 2 episode ulangan atau ENL kronik5


o Pilihan pertama: prednisolon + klofazimin
Kombinasi klofazimin dan prednisolon lebih dianjurkan. Dosis klofazimin
adalah sebagai berikut:
- 300 mg selama 3 bulan, kemudian dilanjutkan
- 200 mg selama 3 bulan, kemudian dilanjutkan
- 100 mg selama gejala dan tanda masih ada.
ditambah
Prednisolon 30 mg/hari selama 2 minggu, kemudian dilanjutkan:
- 25 mg/hari selama 2 minggu
- 20 mg/hari selama 2 minggu
- 15 mg/hari selama 2 minggu
- 10 mg/hari selama 2 minggu
- 5 mg/hari selama 2 minggu, kemudian dihentikan.

Pengobatan alternatif/second-line treatment


• Reaksi tipe 1: beberapa obat dipakai untuk RR, antara lain azatioprin (A,1),7
siklosporin A (A,1),8 metotreksat (D,5)9.
• Reaksi tipe 2: Beberapa terapi alternatif yang pernah dilaporkan adalah
metotreksat13 (D,5). pentoksifilin (A,1),10 siklosporin A (A,1),11 mofetil
mikofenolat (C,4),12

24
Fenomena lucio
Fenomena lucio merupakan varian reaksi kusta yang jarang ditemukan, dengan
gambaran klinis necrotizing erythema pada pasien kusta lepromatoosa yang belum
mendapatkan terapi atau tidak menyelesaikan terapinya.
Penegakkan diagnosis fenomena lucio dilakukan dengan :
• Distribusi geografis pasien biasanya di Meksiko
• Gambaran klinis klasik
• Tidak ada gejala konstitusional
• Kondisi membaik dengan dimulainya MDT.
Gejala klinis
• Lesi awal berupa bercak di kaki kemudian menjalar ke tungkai bawah,
paha, tangan, batang tubuh dan kemudian wajah.
• Lesi berupa bercak eritematosa dalam berbagai ukuran dan bentuk
yang terasa nyeri.
• Dalam 24-48 jam timbul infiltasi, pada hari ke-4 lesi menghiitam dan
tampak purpura dengan nekrosis sentral
• Gejala biasanya disertai dengan demam, mengigil, nyeri sendi dan
keadaan umum yang buruk.
• Sensasi nyeri terbakar pada lesi
Tatalaksana
• Terapi kusta dengan MDT.
• Kortikosteroid dosis tinggi (mulai dari 1mg/kgBB).

25
BAB III
KESIMPULAN

Lepra atau yang dikenal juga dengan “Morbus Hansen” merupakan penyakit kronis
menular, yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae. Penyakit ini merupakan penyakit
endemik di negara tropis, terutama di negara berkembang. Angka prevalensi kusta di
Indonesia pada tahun 2017 sebesar 0,70 kasus/10.000 penduduk dan angka penemuan
kasus baru sebesar 6,08 kasus/10.000 penduduk. Angka prevalensi ini belum bisa
dinyatakan bebas kusta dan terjadi di 10 provinsi di Indonesia.
Diagnosis lepra ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Selain itu, terdapat 3 tanda kardinal pada penyakit lepra yang dapat
menegakkan diagnosis apabila ditemukan salah satunya. Di antara tanda-tanda kardinal
tersebut ialah bercak kulit yang mati rasa, gangguan fungsi saraf, dan ditemukannya
kuman tahan asam.
Reaksi Kusta Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan
penyakit yang sebenarnya sangat kronik. Reaksi kusta terdiri atas reaksi tipe 1 (reaksi
reversal) tipe 2 (eritema nodosum leprosum) Penyebab reaksi kusta masih belum
diketahui, kemungkinan reaksi ini menggambarkan episode hipersensitivitas akut
terhadap antigen basil yang menimbulkan gangguan keseimbangan imunitas yang telah
ada.
Telah dilaporkan kasus lepra pada pasien perempuan berusia 25 tahun. Diagnosis
ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan lesi terasa seperti terbakar Pada pemeriksaan dermatologis
didapatkan lesi berupa makula-patch hiperpigmentosa dengan jumlah yang banyak,
permukaan halus mengkilat, serta distribusi simetris, disertai erosi, ekskoriasi pada
dorsum pedis dan ulkus pada digiti-V pedis dextra-sinistra Pada pemeriksaan
bakterioskopik didapatkan hasil positif basil tahan asam pada sampel apusan kerokan kulit
cuping telinga, kedua lengan dan kedua tungkai.

26
DAFTAR PUSTAKA

Estrada, B., 2020. Pediatric Leprosy Clinical


Presentation: History, Physical Examination. [online
Emedicine.medscape.com.Availableat:
<https://emedicine.medscape.com/article/965605 clinical>.

Kemenkes RI. 2018. InfoDatin. Hapuskan Stigma dan Diskriminasi pada


Kusta. Kemenkes.go.id

Lee DJ. Rea TH. Modlin RL. Leprosy. Dalam: Kang, S., 2019.
Fitzpatrick's Dermatology In General Medicine. NEW YORK:
MCGRAW-HILL EDUCATION.

Rossillene et all. 2017. Leprosy: current situation, clinical and laboratory aspects,
treatment history and perspective of the uniform multidrug therapy for all patients.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5786388/

Tjokronegoro, Arjatmo. 2003. KUSTA. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.


Widaty, S. et al. 2017. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Spesialis Kulit
Dan Kelamin Di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
Kelamin Indonesia, pp.359-361.

Wisnu MI. Daili ES. Menaldi SL. Kusta. Dalam: Menaldi, S., Bramono, K. and
Indriatmi, W, penyunting. 2017. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. 7th ed.
Jakarta: Badan Penerbit FKUI.

World Health Organization, 2018. Guidelines For The Diagnosis,


Treatment And Prevention Of Leprosy. WHO.

27

Anda mungkin juga menyukai