Penyusun:
Pembimbing:
1
Tugas Laporan Kasus Divisi Dermatologi & Venerologi
Nama / NPM : Nabil Dhiya Ulhak (1102014177)
Judul : Morbus Hansen tipe LL dengan Fenomena Lucio
Tempat : RSUD Kabupaten Bekasi
Pembimbing : dr. Evy Aryanti, Sp.KK
BAB I
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. S
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 25 Tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Sumberjaya, Tambun Selatan
Status : Menikah
Suku : Betawi
Pendidikan Terakhir : SMA
Tanggal datang ke RS : 12 November 2020
II. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama
B. Keluhan Tambahan
2
C. Riwayat Penyakit Sekarang
Sejak 2 bulan yang lalu bercak yang serupa muncul di kaki kiri
berwarna merah kehitaman berjumlah 5 buah seukuran koin yang
bertambah banyak dan meluas hingga menyebar ke tangan kanan
dan kiri serta punggung tangan. Bercak disertai dengan rasa panas,
tidak terasa kebas, tidak terasa gatal dan tidak terasa nyeri.
3
Pada keluarga pasien tidak ada yang menderita penyakit seperti
pasien
F. Riwayat Pengobatan
Kepala : Normocephal
Mata :lKonjungtiva anemis (-/-), Sklera
llIkterik (-/-), pupil bulat isokhor,
llreflek cahaya langsung (+/+).
Alis : Madarosis (+/+)
Wajah : Facies leonine (+)
Leher : KGB tidak teraba membesar, trakea
llditengah tidak deviasi, kelenjar
lltiroid tidak membesar.
Thorax & Abdomen : Dalam batas normal
4
Ekstremitas :lAkral hangat, tidak ada edema.
2) Pemeriksaan Dermatologis
5
Gambar
3.1. Lesi
pada regio
fasialis terjadi deviasi septum dan gambaran fasies leonine
6
Gambar 3.3. Lesi pada ekstremitas bawah bilateral dan pada
regio dorsum pedis bilateral
Kanan Kiri
Mata
Lagoftalmus Negatif Negatif
Nervus facialis Negatif Negatif
Nervus auricularis magnus
Penebalan saraf Negatif Negatif
Nyeri tekan Negatif Negatif
Ekstremitas Atas
Nervus ulnaris
7
Nyeri tekan Negatif Negatif
Kekuatan otot
Ibu jari (N. Medianus) Tidak ada kelemahan Tidak ada kelemahan
Jari ke V (N. Ulnaris) Tidak ada kelemahan Tidak ada kelemahan
Pergelangan tangan (N. Tidak ada kelemahan Tidak ada kelemahan
Radialis )
Rasa raba Penurunan sensibilitas (-) Penurunan sensibilitas (-)
Ekstremitas Bawah
8
a Morbus Hansen tipe LL
b. Morbus Hansen tipe BL
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
BTA Kulit
• Telinga kanan : Positif
• Telinga kiri : Positif
• Tangan kanan : Positif
• Tangan kiri : Positif
• Tungkai kanan : Positif
• Tungkai kiri : Positif
9
• Anemia mikrositik normokrom ec DIC
• Leukositosis reaktif
VII. RESUME
Pada regio dorsum pedis bilateral tampak makula hingga patch eritema
hingga hiperpigmentasi multiple, dengan permukaan halus mengkilat,
berukuran plakat dengan batas sirkumskrip, tersebar konfluens disertai dengan
10
skuama halus, erosi serta ekskoriasi diatasnya dan ulkus pada digiti V pedis
dextra-sinistra.
VIII. TATALAKSANA
Medikamentosa :
Perawatan ulkus :
Non medikamentosa :
11
• Menjaga higenitas dengan mandi 2 kali sehari menggunakan air dan
sabun.
• Menghindari manipulasi lesi.
• Konsultasi dengan dokter spesialis gizi untuk mengatur gizi pasien.
IX. PROGNOSIS
BAB II
PEMBAHASAN
12
Penyakit kusta adalah penyakit infeksi granulomatosa kronis yang
disebabkan oleh basil Mycobacterium leprae yang bersifat obligat intraselular.
Saraf perifer sebagai afinitas pertama, kemudian selanjutnya dapat menyerang
kulit, lalu menyebar ke organ lain (mukosa mulut, traktus respiratorius bagian atas,
sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang, dan testis), kecuali susunan saraf pusat.
Bakteri penyebab adalah Mycobacterium leprae ditemukan oleh Gerhard
Armaurer Hansen pada tahun 1873 di Norwegia, yang sampai sekarang belum
dapat di biakkan karena bersifat obligat intraseluler, bakteri aerob, basil tahan asam,
gram positif,. Organisme ini tidak dapat dibiakkan dengan media kultur. Bakteri ini
tidak mudah diwarnai namun akan bertahan terhadap bekolorisasi oleh asam atau
alkohol.
Penyakit lepra merupakan penyakit endemik di negara tropis, terutama di
negara berkembang. Prevalensinya telah menurun tajam sejak pengenalan MDT
pada awal 1980. Namun, 105 negara endemik, khususnya yang terletak di Asia
Tenggara, di Amerika, Afrika, Pasifik Timur dan Mediterania Barat, masih
terkonsentrasi pada jumlah kasus yang besar. Pada triwulan I tahun 2012 tercatat
181.941 kasus baru dan terdapat prevalensi 0,34 kasus per 10.000 penduduk.
(Lastoria J, 2014). Angka prevalensi kusta di Indonesia pada tahun 2017 sebesar
0,70 kasus/10.000 penduduk dan angka penemuan kasus baru sebesar 6,08
kasus/10.000 penduduk. Selain itu ada beberapa provinsi yang prevalensinya masih
diatas 1/10.000 penduduk. Angka prevalensi ini belum bisa dinyatakan bebas kusta
dan terjadi di 10 provinsi di Indonesia (Kemenkes, 2018). Rasio pria-wanita ialah
2: 1 hingga 3: 1. Dibandingkan ras, status sosial ekonomi yang lebih rendah
dianggap sebagai faktor risiko lepra di daerah endemis (Estrada B, 2020).
Sesuai dengan kasus ini, pasien menderita penyakit lepra dikarenakan
infeksi Mycobacterium leprae yang merupakan basil tahan asam, hal ini dibuktikan
dengan ditemukannya basil tahan asam pada sampel apusan kerokan lesi kulit yang
aktif, yaitu cuping telinga dan kedua lengan dan tungkai pasien
Penularan penyakit lepra belum sepenuhnya dipahami, namun diyakini
menyebar melalui saluran pernapasan. Studi melaporkan bahwa infeksi pejamu
berpotensi terjadi melalui kulit yang rusak juga. Mekanisme utama penyebaran M.
13
leprae dan kondisi lingkungan yang menyimpan mikroorganisme tersebut masih
diteliti. Lepra menular melalui kontak langsung dengan penderita dimana keduanya
memiliki lesi baik mikrospopis atau makroskopis dan adanya kontak lama dan
berulang-ulang dan melalui pernafasan (Kemenkes, 2018).
Pada pasien dilakukan dua macam pemeriksaan fisik untuk menilai ada tidaknya
penurunan sensibilitas, yaitu pemeriksaan rasa raba, dan rasa nyeri. Pada
pemeriksaan rasa raba, pasien masih bisa membedakan perabaan pada daerah lesi
dan derah kulit normal. Pada pemeriksan rasa nyeri pasien masih bisa membedakan
perababaan pada daerah lesi dan daerah kulit normal.
Diagnosis kusta didasarkan pada temuan tanda kardinal (tanda utama) menurut
WHO, yaitu:
a. Bercak kulit yang mati rasa
Dapat / tanpa disertai rasa nyeri dan gangguan fungsi saraf yang terkena,
yaitu:
1. Gangguan fungsi sensoris: mati rasa
Bahan pemeriksaan berasal dari apusan kulit cuping telinga dan lesi kulit pada
bagian yang aktif. Kadang-kadang bahan diperoleh dari biopsi saraf.
Diagnosis kusta ditegakkan bila ditemukan paling sedikit satu tanda kardinal. Bila
tidak atau belum dapat ditemukan, disebut tersangka/suspek kusta, dan pasien perlu
14
diamati dan diperiksa ulang 3 sampai 6 bulan sampai diagnosis kusta dapat
ditegakkan atau disingkirkan (Wisnu M et al, 2017).
Pada pasien dalam laporan kasus ini ditemukan 1 tanda kardinal, yaitu
ditemukannya Bakteri Tahan Asam (BTA) dari sampel apusan kerokan kulit cuping
kedua telinga pasien, berdasarkan itu maka dapat ditegakkan diagnosis Morbus
Hansen. Pada pasien ini diambil sampel kerokan dari 6 tempat, yaitu kedua cuping
telinga, 2 dibagian lengan dan 2 bagian tungkai . Hasil positif Basil Tahan Asam
(BTA) ditemukan pada semua sampel apusan kerokan lesi kulit.
15
tuberculoid atau lepromatous yang khas. Pasien seperti ini biasanya BL atau
kadang-kadang LL (Lee DJ, 2019).
Menurut WHO pada tahun 1988, kusta dibagi menjadi multibasilar dan
pausibasilar. Yang termasuk dalam multibasilar adalah tipe LL, BL dan BB pada
klasifikasi Ridley-Jopling dengan apusan kerokan kulit positif.
Lesi pada kusta LL tersebar simetris dengan jumlah yang sukar dihitung,
ukurannya kecil, dengan permukaan halus mengkilat, dapat ditemukan gangguan
sensibilitas pada lesi, namun bisa juga tidak. Kerontokan rambut pada daerah lesi
belum terjadi pada awal munculnya penyakit. Ditemukan banyak basil tahan asam
dengan globus (Bhushan Kumar et al, 2017).
16
Multi Drug Therapy (MDT) yang saat ini direkomendasikan untuk kusta PB
adalah rifampisin dan dapson selama 6 bulan dan MDT yang saat ini
direkomendasikan untuk kusta MB adalah rifampisin, klofazimine dan dapson
untuk 12 bulan. Multi Drug Therapy (MDT) disediakan dalam kemasan blister yang
lebih lanjut dibedakan antara dewasa dan anak-anak. Terdapat empat kemasan
blister berbeda: dewasa PB, anak PB, dewasa MB, dan anak MB.
Pada kusta MB, GDG menetapkan bahwa tidak didapatkan bukti yang
cukup guna mendukung rekomendasi untuk mempersingkat durasi pengobatan.
Sebuah Randomized Control Trial (RCT) menunjukkan adanya potensi
peningkatan angka relaps serta terdapatnya efek negatif dari hasil klinis dengan
durasi pengobatan yang lebih singkat.
17
1. Reaksi Kusta
Reaksi Kusta Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada
perjalanan penyakit yang sebenarnya sangat kronik. Reaksi kusta terdiri atas
reaksi tipe 1 (reaksi reversal) tipe 2 (eritema nodosum leprosum) Penyebab
reaksi kusta masih belum diketahui, kemungkinan reaksi ini menggambarkan
episode hipersensitivitas akut terhadap antigen basil yang menimbulkan
gangguan keseimbangan imunitas yang telah ada.
Factor pencetus yang dianggap sering mendahuli timbulnya rekasi kusta adalah
• Setelah pengobatan antikusta yang intensif
• Infeksi rekuren
• Pembedahan
• Stress fisik
• Imunisasi
• Kehamilan
Ada 2 tipe reaksi menurut hipersensitivitas yang menyebabkan reaksi kusta
• Reaksi kusta tipe 1 (tipe reversal) disebabkan oleh hipersensitivitas selular
18
• Reaksi kusta tipe 2 (eritema nodosum leprosum) disebabkan oleh
hipersensitivitas humoral
• Fenomena lucio atau reaksi kusta tipe 3 merupakan reaksi kusta tipe 2 yang
lebih berat.
19
Reaksi berat ditandai dengan salah satu dari gejala berikut, yaitu adanya :
1. Lagoftalmos baru terjadi dalam 3 bulan terakhir
2. Nyeri raba saraf tepi
3. Kekuatan otot yang berkurang dalam 6 bulan terakhir
4. Makula pecah atau nodul pecah
5. Makula aktif (meradang), diatas lokasi saraf tepi
6. Gangguan pada organ lain
Penanganan Reaksi
Prinsip pengobatan reaksi ringan:
• Berobat jalan, istirahat di rumah
• Pemberian analgetik/antipiretik, obat penenang bila perlu
• Menghindari/menghilangkan faktor pencetus.
20
• Reaksi tipe 2 berat dan berulang diberikan prednison dan klofazimin.
Catatan: MDT hanya diberikan pada reaksi yang timbul sebelum dan selama
pengobatan. Bila telah RFT, MDT tidak diberikan lagi.
21
Prinsip tatalaksana reaksi tipe 2 adalah sebagai berikut:
• Identifikasi tingkat keparahan reaksi tipe 2
o Reaksi ringan (hanya ada beberapa lesi ENL, tanpa keterlibatan organ
lain, tetapi pasien merasa tidak nyaman)
o Reaksi sedang (demam ringan <100o F dan lesi ENL dalam jumlah
sedikit-sedang, ditemukan leukositosis dan keterlibatan beberapa organ
lain kecuali saraf, mata dan testis)
o Reaksi berat (demam tinggi, lesi ENL luas dengan atau lesi
pustular/nekrotik, neuritis, gangguan fungsi saraf, iridosiklitis, orkitis,
o dan/atau nyeri tulang hebat, dan lain-lain), harus dirawat inap untuk
diobservasi dan ditatalaksana lebih lanjut.
22
• Terapi reaksi tipe 2 ringan
Reaksi tipe 2 ringan dapat diterapi dengan obat analgetik dan obat
antiinflamasi, misalnya aspirin dan OAINS lainnya. Aspirin diberikan dengan
dosis 600 mg setiap 6 jam setelah makan.
23
mg atau 4x100 mg selama 3-7 hari atau sampai reaksi terkontrol, diikuti
penurunan dosis dalam 3-4 minggu atau diturunkan perlahan-lahan jika
rekurensi terjadi, yaitu:
- 100 mg pagi hari + 200 mg malam hari selama 4 minggu
- 1x200 mg malam hari selama 4 minggu
- 1x100 mg malam hari selama 4 minggu
- 50 mg setiap hari atau 100 mg selang sehari, malam hari, selama
8-12 minggu.
24
Fenomena lucio
Fenomena lucio merupakan varian reaksi kusta yang jarang ditemukan, dengan
gambaran klinis necrotizing erythema pada pasien kusta lepromatoosa yang belum
mendapatkan terapi atau tidak menyelesaikan terapinya.
Penegakkan diagnosis fenomena lucio dilakukan dengan :
• Distribusi geografis pasien biasanya di Meksiko
• Gambaran klinis klasik
• Tidak ada gejala konstitusional
• Kondisi membaik dengan dimulainya MDT.
Gejala klinis
• Lesi awal berupa bercak di kaki kemudian menjalar ke tungkai bawah,
paha, tangan, batang tubuh dan kemudian wajah.
• Lesi berupa bercak eritematosa dalam berbagai ukuran dan bentuk
yang terasa nyeri.
• Dalam 24-48 jam timbul infiltasi, pada hari ke-4 lesi menghiitam dan
tampak purpura dengan nekrosis sentral
• Gejala biasanya disertai dengan demam, mengigil, nyeri sendi dan
keadaan umum yang buruk.
• Sensasi nyeri terbakar pada lesi
Tatalaksana
• Terapi kusta dengan MDT.
• Kortikosteroid dosis tinggi (mulai dari 1mg/kgBB).
25
BAB III
KESIMPULAN
Lepra atau yang dikenal juga dengan “Morbus Hansen” merupakan penyakit kronis
menular, yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae. Penyakit ini merupakan penyakit
endemik di negara tropis, terutama di negara berkembang. Angka prevalensi kusta di
Indonesia pada tahun 2017 sebesar 0,70 kasus/10.000 penduduk dan angka penemuan
kasus baru sebesar 6,08 kasus/10.000 penduduk. Angka prevalensi ini belum bisa
dinyatakan bebas kusta dan terjadi di 10 provinsi di Indonesia.
Diagnosis lepra ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Selain itu, terdapat 3 tanda kardinal pada penyakit lepra yang dapat
menegakkan diagnosis apabila ditemukan salah satunya. Di antara tanda-tanda kardinal
tersebut ialah bercak kulit yang mati rasa, gangguan fungsi saraf, dan ditemukannya
kuman tahan asam.
Reaksi Kusta Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan
penyakit yang sebenarnya sangat kronik. Reaksi kusta terdiri atas reaksi tipe 1 (reaksi
reversal) tipe 2 (eritema nodosum leprosum) Penyebab reaksi kusta masih belum
diketahui, kemungkinan reaksi ini menggambarkan episode hipersensitivitas akut
terhadap antigen basil yang menimbulkan gangguan keseimbangan imunitas yang telah
ada.
Telah dilaporkan kasus lepra pada pasien perempuan berusia 25 tahun. Diagnosis
ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan lesi terasa seperti terbakar Pada pemeriksaan dermatologis
didapatkan lesi berupa makula-patch hiperpigmentosa dengan jumlah yang banyak,
permukaan halus mengkilat, serta distribusi simetris, disertai erosi, ekskoriasi pada
dorsum pedis dan ulkus pada digiti-V pedis dextra-sinistra Pada pemeriksaan
bakterioskopik didapatkan hasil positif basil tahan asam pada sampel apusan kerokan kulit
cuping telinga, kedua lengan dan kedua tungkai.
26
DAFTAR PUSTAKA
Lee DJ. Rea TH. Modlin RL. Leprosy. Dalam: Kang, S., 2019.
Fitzpatrick's Dermatology In General Medicine. NEW YORK:
MCGRAW-HILL EDUCATION.
Rossillene et all. 2017. Leprosy: current situation, clinical and laboratory aspects,
treatment history and perspective of the uniform multidrug therapy for all patients.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5786388/
Wisnu MI. Daili ES. Menaldi SL. Kusta. Dalam: Menaldi, S., Bramono, K. and
Indriatmi, W, penyunting. 2017. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. 7th ed.
Jakarta: Badan Penerbit FKUI.
27