Morbus Hansen
Penyusun:
Nabilla Sophianingtyas
Pembimbing:
1
Tugas Laporan Kasus Divisi Dermatologi & Venerologi
Nama / NPM : Nabilla Sophianingtyas (1102013194)
Judul : Morbus Hansen
Tempat : RSUD Kabupaten Bekasi
Pembimbing : dr. Evy Aryanti, Sp.KK
BAB I
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. M
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 48 Tahun
Agama : Kristen
Pekerjaan : Asisten Rumah Tangga
Alamat : Lemah abang, Cikarang
Status : Janda
Suku : Kalimantan
Pendidikan Terakhir : SMP
Tanggal datang ke RS : 11 November 2020
II. ANAMNESIS
2
a. Keluhan Utama
b. Keluhan Tambahan
Sejak dua bulan yang lalu bercak yang serupa muncul di tangan
kiri berwarna kehitaman berjumlah 2 buah seukuran koin yang
bertambah banyak dan meluas hingga menyebar ke tangan kanan
serta punggung tangan. Bercak disertai dengan rasa kebas pada
kedua lengan, tidak terasa panas, tidak terasa gatal dan tidak
terasa nyeri. Pasien mengatakan kulit semakin kering terutama
pada kedua lengan.
3
tersebut. Pasien diberikan obat berwarna putih dan merah yang
harus diminum setiap hari namun keluhan belum berkurang.
f. Riwayat Pengobatan
h. Riwayat kebiasaan
4
karena khawatir bercak akan semakin meluas. Pasien dalam sehari
mandi 2 kali menggunakan sabun. Pasien mengganti sprei 2 kali
seminggu.
Kesadaran : Composmentis
Tanda-tanda vital :
Nadi : 90x/menit
Respirasi : 20x/menit
Status Generalis :
Kepala :
Alis : Madarosis (+/+)
Mata : Konjungtiva hiperemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
lagoftalmus (-/-)
Wajah : Gambaran fasies leonine (+)
Hidung : Deviasi septum (+/-), sekret (-/-)
Mulut : Tidak kering, lidah tidak kotor
Leher : Tidak ada pembesaran KGB
Thoraks : Vesikular seluruh lapang paru, BJ 1 dan 2 normal
Abdomen : Datar, BU (+) normal
5
Kulit : Lihat status dermatologikus
Status Dermatologis
6
Gambar 2. Lesi pada regio fasialis
7
Deskripsi : Pada regio fasialis tampak makula hingga patch
hiperpigmentasi multiple, dengan permukaan halus mengkilat, berukuran
plakat, berbatas tidak tegas. Didapatkan alis madarosis (+/+), deviasi
septum dextra dan fasies leonine (+) . Gambar 4. Lesi pada ekstremitas
atas dextra
8
Gambar 5. Lesi pada ekstremitas atas sinistra
9
Gambar 6-7 . Lesi pada ekstremitas bawah bilateral
Deskripsi :
10
Gambar 8. Lesi pada regio dorsum pedis bilateral
Deskripsi : Pada regio dorsum pedis bilateral tampak makula hingga patch
eritema hingga hiperpigmentasi multiple, dengan permukaan halus
mengkilat, berukuran plakat dengan batas sirkumskrip, tersebar konfluens
disertai dengan skuama halus dan erosi diatasnya. Pada regio dorsum pedis
dextra edema (+).
11
Ekstremitas Bawah
Nervus Peroneus lateralis
Penebalan saraf Negatif Negatif
Nyeri tekan Negatif Negatif
Nervus Tibialis posterior
Penebalan saraf Negatif Negatif
Nyeri tekan Negatif Negatif
Kekuatan otot pergelangan Tidak ada kelemahan Tidak ada kelemahan
kaki(N.Perineous
communis)
Rasa raba Normal Normal
Perbedaan suhu Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Anhidrosis Tidak dilakukan Tidak dilakukan
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hematokrit : 28 %
MCV : 81 fl
12
MCH : 25 pg/mL
MCHC : 31 g/dL
BTA Kulit
• Epitel : 3-5/LPK
• Jamur : (-)
• Hifa : (-)
• Budding : (-)
Anemia mikrositik
Underweight
VII. RESUME
13
Telah diperiksa seorang pasien perempuan usia 48 tahun, datang berobat ke
Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Kabupaten Bekasi dengan lesi merah
kehitaman. Lesi pertama kali muncul 6 bulan yang lalu berwarna merah pada
regio cruris dextra lalu lesi berubah warna merah kehitaman kemudian
menyebar ke seluruh regio cruris bilateral, extremitas superior bilateral,fasialis.
Ditemukan penurunan sensibilitas pada lesi di extremitas superior bilateral.
Tidak ditemukan nyeri dan pruritus pada lesi atau bagian tubuh yang lain .
14
VIII. TATALAKSANA
Medikamentosa:
Obat MDT MB
a. Bulanan:
b. Harian:
1. Klofazimin 50 mg/hari
Non medikamentosa :
15
Menjaga higenitas dengan mandi 2 kali sehari menggunakan air dan
sabun.
Menghindari manipulasi lesi.
IX. PROGNOSIS
Quo ad Vitam : dubia ad bonam
Quo ad Functionam : dubia ad bonam
Quo ad Sanationam : dubia ad malam
BAB II
PEMBAHASAN
Lepra atau yang dikenal juga dengan “Morbus Hansen” merupakan penyakit
kronis menular, yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae, basil
intraseluler obligat, yang terutama menyerang kulit, saraf, dan selaput lendir.
Lepra dapat mempengaruhi mata, hidung, persendian, kelenjar getah bening,
16
organ dalam dan sumsum tulang, terutama pada pasien multibasiler (MB).
(Rossillene C , 2020)
Hal ini sesuai dengan pasien dalam laporan kasus ini, yaitu pasien usia 48
tahun, berjenis kelamin perempuan dengan diagnosis Morbus Hansen tipe
Lepromatosa (LL). Diketahui pasien tinggal di Banjarmasin dan menderita
lepra sebelumnya. Pasien saat ini tinggal kawasan padat penduduk dan
memiliki status sosial ekonomi yang rendah, hal ini merupakan faktor risiko
pasien terkena penyakit Morbus Hansen sesuai dengan teori epidemiologi di
atas.
17
Sesuai dengan kasus ini, pasien menderita penyakit lepra dikarenakan
infeksi Mycobacterium leprae yang merupakan basil tahan asam, hal ini
dibuktikan dengan ditemukannya basil tahan asam pada sampel apusan
kerokan lesi kulit yang aktif, yaitu cuping telinga dan kedua pergelangan
tangan pasien.
Pada pasien dilakukan dua macam pemeriksaan fisik untuk menilai ada
tidaknya penurunan sensibilitas, yaitu pemeriksaan rasa raba, dan rasa nyeri.
Pada pemeriksaan rasa raba, pasien masih bisa membedakan perabaan pada
daerah lesi dan derah kulit normal. Namun pada pemeriksaan rasa nyeri
pasien hampir tidak bisa membedakan bagian tajam dan tumpul dari jarum.
Kemungkinan Mycobacterium leprae sudah berafinitas pada sel schwann
sehingga bermanifestasi pada penurunan sensibilitas rasa nyeri. Temuan ini
sesuai dengan teori patogenesis seperti yang
18
Dapat / tanpa disertai rasa nyeri dan gangguan fungsi saraf
yang terkena, yaitu:
1. Gangguan fungsi sensoris: mati rasa
Pada pasien dalam laporan kasus ini ditemukan 2 tanda kardinal, yaitu
bercak kulit eritematosa berupa makula dan patch yang mengalami
penurunan sensibilitas pada pemeriksaan rasa nyeri. Mati rasa pada pasien
ini bersifat sebagian karena hanya ditemukan pada pemeriksaan fisik rasa
nyeri. Tanda kardinal yang kedua ialah ditemukannya kuman Basil Tahan
19
Asam (BTA) dari sampel apusan kerokan kulit cuping kedua telinga pasien,
berdasarkan itu maka dapat ditegakkan diagnosis Morbus Hansen. Pada
pasien ini diambil sampel kerokan dari 5 tempat, yaitu kedua cuping telinga,
2 dibagian pergelangan lengan kanan . Hasil positif Basil Tahan Asam
(BTA) ditemukan pada sampel apusan kerokan lesi kulit di cuping telinga
sebelah kanan.
Menurut WHO pada tahun 1988, kusta dibagi menjadi multibasilar dan
pausibasilar. Yang termasuk dalam multibasilar adalah tipe LL, BL dan BB
pada klasifikasi Ridley-Jopling dengan apusan kerokan kulit positif.
20
Pada kusta lepromatosa (LL), penurunan cell-mediated immunity terhadap
M. leprae memungkinkan replikasi basil tak terbatas dan penyakit
multiorgan yang tersebar luas. Terdapat infiltrasi dermal yang dapat
dimanifestasikan secara nyata dengan pembesaran lobus telinga, pelebaran
akar hidung, pembengkakan fusiform pada jari, dan kulit terlipat menjadi
lipatan. Gabungan lipatan kulit dan pembentukan nodul menghasilkan
"Leonine Facies" (Lee DJ, 2019).
Lesi pada kusta LL tersebar simetris dengan jumlah yang sukar dihitung,
ukurannya kecil, dengan permukaan halus mengkilat, dapat ditemukan
gangguan sensibilitas pada lesi, namun bisa juga tidak. Kerontokan rambut
pada daerah lesi belum terjadi pada awal munculnya penyakit. Ditemukan
banyak basil tahan asam dengan globus (Bhushan Kumar et al, 2017).
Multi Drug Therapy (MDT) yang saat ini direkomendasikan untuk kusta PB
adalah rifampisin dan dapson selama 6 bulan dan MDT yang saat ini
direkomendasikan untuk kusta MB adalah rifampisin, klofazimine dan
dapson untuk 12 bulan. Multi Drug Therapy (MDT) disediakan dalam
kemasan blister yang lebih lanjut dibedakan antara dewasa dan anak-anak.
Terdapat empat kemasan blister berbeda: dewasa PB, anak PB, dewasa MB,
dan anak MB.
Pada kusta MB, GDG menetapkan bahwa tidak didapatkan bukti yang cukup
guna mendukung rekomendasi untuk mempersingkat durasi pengobatan.
Sebuah Randomized Control Trial (RCT) menunjukkan adanya potensi
peningkatan angka relaps serta terdapatnya efek negatif dari hasil klinis
dengan durasi pengobatan yang lebih singkat.
Berdasarkan rekomendasi tersebut, maka pasien pada kasus ini dapat
diberikan 2 macam obat berdasarkan waktu mengkonsumsinya, yaitu obat
bulanan dan obat harian. Untuk obat bulanan, pasien diberikan Rifampisin
600 mg dan Klofazimin 300 mg, masing-masing diminum sekali dalam
sebulan. Sedangkan untuk obat hariannya, pasien diberikan Klofazimin 50
mg sekali sehari, serta Dapsone 100 mg sekali sehari. Kedua obat tersebut
diminum sejak hari ke-2 sampai hari ke-28 di setiap bulannya. Keseluruhan
pengobatan berlangsung selama 1 tahun.
BAB III
KESIMPULAN
Lee DJ. Rea TH. Modlin RL. Leprosy. Dalam: Kang, S., 2019.
Fitzpatrick's Dermatology In General Medicine. NEW YORK:
MCGRAW-HILL EDUCATION.
Widaty, S. et al. 2017. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Spesialis Kulit
Dan Kelamin Di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit
dan Kelamin Indonesia, pp.359-361.
Wisnu MI. Daili ES. Menaldi SL. Kusta. Dalam: Menaldi, S., Bramono, K. and
Indriatmi, W, penyunting. 2017. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. 7th ed.
Jakarta: Badan Penerbit FKUI.