Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN KASUS

Morbus Hansen

Penyusun:

Nabilla Sophianingtyas

Pembimbing:

dr. Evy Aryanti, Sp.KK

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT KULIT DAN


KELAMIN RSUD KABUPATEN BEKASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
PERIODE 9 NOVEMBER 2020 – 28 NOVEMBER 2020

1
Tugas Laporan Kasus Divisi Dermatologi & Venerologi
Nama / NPM : Nabilla Sophianingtyas (1102013194)
Judul : Morbus Hansen
Tempat : RSUD Kabupaten Bekasi
Pembimbing : dr. Evy Aryanti, Sp.KK

BAB I
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. M
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 48 Tahun
Agama : Kristen
Pekerjaan : Asisten Rumah Tangga
Alamat : Lemah abang, Cikarang
Status : Janda
Suku : Kalimantan
Pendidikan Terakhir : SMP
Tanggal datang ke RS : 11 November 2020

II. ANAMNESIS

Autoanamnesis dilakukan dengan pasien di Poli Klinik Kulit dan


Kelamin RSUD Kabupaten Bekasi pada tanggal 11 November
2020 pukul 13:30.

2
a. Keluhan Utama

Pasien datang dengan keluhan terdapat bercak merah kehitaman


pada tangan dan kaki sejak 6 bulan yang lalu.

b. Keluhan Tambahan

Kelluhan disertai dengan rasa kebas pada kedua tangan.

c. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Kabupaten


Bekasi pada tanggal 11 November 2020 dengan keluhan terdapat
bercak merah kehitaman pada kedua tangan dan kaki sejak 6
bulan yang lalu sebelum masuk rumah sakit. Bercak pertama kali
muncul berwarna merah berjumlah 3 buah berukuran sebesar
koin pada kaki kanan pasien. Bercak tidak disertai dengan rasa
kebas, tidak terasa panas, tidak terasa nyeri dan tidak terasa gatal.
Bercak dirasakan semakin hari bertambah, menyebar ke kaki kiri
dan berubah warna menjadi kehitaman .

Sejak dua bulan yang lalu bercak yang serupa muncul di tangan
kiri berwarna kehitaman berjumlah 2 buah seukuran koin yang
bertambah banyak dan meluas hingga menyebar ke tangan kanan
serta punggung tangan. Bercak disertai dengan rasa kebas pada
kedua lengan, tidak terasa panas, tidak terasa gatal dan tidak
terasa nyeri. Pasien mengatakan kulit semakin kering terutama
pada kedua lengan.

Sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit, pasien berobat ke


Puskesmas setempat dan diberikan pengobatan untuk keluhan

3
tersebut. Pasien diberikan obat berwarna putih dan merah yang
harus diminum setiap hari namun keluhan belum berkurang.

d. Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien pernah mengalami keluhan serupa tahun 2018 saat masih


tinggal di Banjarmasin. Pasien mengatakan mendapat pengobatan
untuk penyakit kusta dan harus meminum obat setiap hari selama 1
tahun dan keluhan berkurang namun pasien tidak kontrol kembali
setelah pengobatan.

e. Riwayat Penyakit Keluarga

Pasien mengatakan tidak ada anggota keluarga yang mengalami hal


serupa.

f. Riwayat Pengobatan

Pasien pernah mendapat pengobatan kusta pada tahun 2018 dan


mngonsumsi obat 2 butir pil setiap hari selama 1 tahun. Pasien
mengaku terkadang tidak rutin minum obat namun keluhan hilang
setelah menyelesaikan pengobatan.

g. Riwayat Sosial Ekonomi

Pasien tinggal di rumah sederhana dengan kawasan cukup padat


dan ventilasi baik. Saat ini pasien tinggal bersama dengan majikan
dan keluarga majikanya. Pasien bekerja sebagai asisten rumah
tangga.

h. Riwayat kebiasaan

Pasien mengatakan jarang mengonsumsi daging, ayam dan telur

4
karena khawatir bercak akan semakin meluas. Pasien dalam sehari
mandi 2 kali menggunakan sabun. Pasien mengganti sprei 2 kali
seminggu.

III. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang

Kesadaran : Composmentis

Tanda-tanda vital :

 Tekanan darah : Tidak diperiksa

 Nadi : 90x/menit

 Respirasi : 20x/menit

Statsus gizi : Berat badan : 41 kg

Tinggi badan : 150 cm

Kesan : underweight (18,2)

Status Generalis :

 Kepala :
 Alis : Madarosis (+/+)
 Mata : Konjungtiva hiperemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
lagoftalmus (-/-)
 Wajah : Gambaran fasies leonine (+)
 Hidung : Deviasi septum (+/-), sekret (-/-)
 Mulut : Tidak kering, lidah tidak kotor
 Leher : Tidak ada pembesaran KGB
 Thoraks : Vesikular seluruh lapang paru, BJ 1 dan 2 normal
 Abdomen : Datar, BU (+) normal

 Ekstremitas : Akral hangat (+), CRT <2 detik, terdapat kelainan


kulit (lihat status dermatologikus)

5
 Kulit : Lihat status dermatologikus

Status Dermatologis

Gambar 1. Lesi pada regio fasialis

6
Gambar 2. Lesi pada regio fasialis

Gambar 3. Deviasi septum dan gambaran fasies leonine

7
Deskripsi : Pada regio fasialis tampak makula hingga patch
hiperpigmentasi multiple, dengan permukaan halus mengkilat, berukuran
plakat, berbatas tidak tegas. Didapatkan alis madarosis (+/+), deviasi
septum dextra dan fasies leonine (+) . Gambar 4. Lesi pada ekstremitas
atas dextra

Gambar 4. Lesi pada ekstremitas atas dextra

8
Gambar 5. Lesi pada ekstremitas atas sinistra

Deskripsi : Pada ekstremitas atas bilateral tampak makula sampai patch


hiperpigmentasi multiple, dengan permukaan halus mengkilat, berukuran
numular hingga plakat, berbatas tidak tegas, tersebar konfluens disertai
dengan skuama halus diatasnya, terdapat erosi dan ekskoriasi pada 1/3
distal extremitas atas bilateral, dorsum manus, digiti IV manus dextra,
digiti II-V manus sinistra.

9
Gambar 6-7 . Lesi pada ekstremitas bawah bilateral
Deskripsi :

 Deskripsi : Pada regio cruris bilateral tampak macula sampai patch


hiperpigmentasi multiple, dengan permukaan halus mengkilat,
berukuran numular hingga plakat dengan batas sirkumskrip, tersebar
diskret sampai konfluens disertai dengan skuama halus, erosi dan
ekskoriasi.

10
Gambar 8. Lesi pada regio dorsum pedis bilateral

Deskripsi : Pada regio dorsum pedis bilateral tampak makula hingga patch
eritema hingga hiperpigmentasi multiple, dengan permukaan halus
mengkilat, berukuran plakat dengan batas sirkumskrip, tersebar konfluens
disertai dengan skuama halus dan erosi diatasnya. Pada regio dorsum pedis
dextra edema (+).

Pemeriksaan Fisik Morbus Hansen


Kanan Kiri
Mata
Lagoftalmus Negatif Negatif
Nervus facialis Negatif Negatif
Nervus auricularis magnus
Penebalan saraf Positif Negatif
Nyeri tekan Negatif Negatif
Ekstremitas Atas
Nervus ulnaris
Penebalan saraf Negatif Negatif
Nyeri tekan Negatif Negatif
Nervus radialis
Penebalan saraf Negatif Negatif
Nyeri tekan Negatif Negatif
Kekuatan otot
Ibu jari (N. Medianus) Tidak ada kelemahan Tidak ada kelemahan
Jari ke V (N. Ulnaris) Berkurang Berkurang
Pergelangan tangan (N. Tidak ada kelemahan Tidak ada kelemahan
Radialis )
Rasa raba Penurunan sensibilitas (+) Penurunan sensibilitas (+)

11
Ekstremitas Bawah
Nervus Peroneus lateralis
Penebalan saraf Negatif Negatif
Nyeri tekan Negatif Negatif
Nervus Tibialis posterior
Penebalan saraf Negatif Negatif
Nyeri tekan Negatif Negatif
Kekuatan otot pergelangan Tidak ada kelemahan Tidak ada kelemahan
kaki(N.Perineous
communis)
Rasa raba Normal Normal
Perbedaan suhu Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Anhidrosis Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Pemeriksaan fungsi motorik :


 Claw hand : Dextra (-), Sinistra (-)
 Wrist drop : Dextra (-), Sinistra (-)
 Foot drop : Dextra (-), Sinistra (-)
 Lagoftalmus : Dextra (-), Sinistra (-)
 Claw toes : Dextra (-), Sinistra (-)

IV. DIAGNOSIS BANDING


a Morbus Hansen tipe LL
b. Morbus Hansen tipe BL

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Darah Lengkap

Hemoglobin : 8,6 g/dL

Hematokrit : 28 %

Eritrosit : 3,46. 106 / mL

MCV : 81 fl

12
MCH : 25 pg/mL

MCHC : 31 g/dL

BTA Kulit

• Telinga kanan : (+)

• Telinga kiri : (+)

• Lengan tangan kanan : (2+)

• Lengan tangan kiri : (2+)

Pemeriksaan KOH 10%

• Epitel : 3-5/LPK

• Jamur : (-)

• Hifa : (-)

• Budding : (-)

VI. DIAGNOSIS KERJA

 Morbus Hansen tipe Lepromatosa (LL)

 Anemia mikrositik

 Underweight

VII. RESUME

13
Telah diperiksa seorang pasien perempuan usia 48 tahun, datang berobat ke
Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Kabupaten Bekasi dengan lesi merah
kehitaman. Lesi pertama kali muncul 6 bulan yang lalu berwarna merah pada
regio cruris dextra lalu lesi berubah warna merah kehitaman kemudian
menyebar ke seluruh regio cruris bilateral, extremitas superior bilateral,fasialis.
Ditemukan penurunan sensibilitas pada lesi di extremitas superior bilateral.
Tidak ditemukan nyeri dan pruritus pada lesi atau bagian tubuh yang lain .

Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan


pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis diketahui pasien pernah
mengalami keluhan serupa tahun 2018 saat tinggal di Banjarmasin dan
mendapat pengobatan kusta selama 1 tahun namun pasien tidak rutin
meminum obat. Pasien tinggal di kawasan padat penduduk dengan latar
belakang status sosial ekonomi yang rendah.

Pada pemeriksaan fisik morbus hansen didapatkan penurunan sensibilitas lesi


untuk rasa nyeri. Pada pemeriksaan dermatologis didapatkan pada regio
fasialis, extremitas superior bilateral, regio cruris bilateral lesi berupa makula
sampai patch hiperpigmentasi multiple, berukuran numular-plakat, tersebar
diskret sampai konfluens, serta skuama halus, erosi dan eksoriasi pada dorsum
manus bilateral, digiti IV manus dextra, digiti II-V manus sinistra dan pedis
bilateral. Pada regio fasialis ditemukan madarosis (+/+), fasies leonina (+) dan
Pada regio dorsum pedis dextra edema (+).

Pada pemeriksaan penunjang didapatkan hemoglobin Hemoglobin 8,6 g/dL


hematokrit 28 % eritrosit 3,46. 10 6 / mL, MCV 81 fl,MCH 25 pg/mL, MCHC 31
g/dL. Hasil pemeriksaan BTA (+) pada sampel kerokan kulit cuping telinga dan
kedua lengan. Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
dapat didiagnosis dengan Morbus Hansen tipe Lepromatosa (LL) dengan
Anemia mikrositik.

14
VIII. TATALAKSANA

Medikamentosa:

 Obat MDT MB

a. Bulanan:

1. Rifampicin 600 mg (di depan petugas)

2. Klofazimin 300 mg (di depan petugas)

b. Harian:

1. Klofazimin 50 mg/hari

2. Dapson 100 mg/hari

 Tablet Besi (Fe) 60 mg/ hari


 Urea 10% cream 2x1

Non medikamentosa :

 Memberikan edukasi kepada pasien mengenai penyakit kusta.


 Menjelaskan kepada pasien agar teratur mengonsumsi obat setiap hari
sesuai dosis dan lama terapi yang ditentukan.
 Menjelaskan efek samping dari obat MDT dan kemungkinan akan timbul
reaksi kusta.

 Mengedukasi pasien pentingnya mengonsumsi makanan dengan gizi


seimbang.

15
 Menjaga higenitas dengan mandi 2 kali sehari menggunakan air dan
sabun.
 Menghindari manipulasi lesi.

IX. PROGNOSIS
 Quo ad Vitam : dubia ad bonam
 Quo ad Functionam : dubia ad bonam
 Quo ad Sanationam : dubia ad malam

BAB II
PEMBAHASAN

Lepra atau yang dikenal juga dengan “Morbus Hansen” merupakan penyakit
kronis menular, yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae, basil
intraseluler obligat, yang terutama menyerang kulit, saraf, dan selaput lendir.
Lepra dapat mempengaruhi mata, hidung, persendian, kelenjar getah bening,

16
organ dalam dan sumsum tulang, terutama pada pasien multibasiler (MB).
(Rossillene C , 2020)

Penyakit lepra merupakan penyakit endemik di negara tropis, terutama di


negara berkembang. Prevalensinya telah menurun tajam sejak pengenalan
MDT pada awal 1980. Namun, 105 negara endemik, khususnya yang
terletak di Asia Tenggara, di Amerika, Afrika, Pasifik Timur dan
Mediterania Barat, masih terkonsentrasi pada jumlah kasus yang besar. Pada
triwulan I tahun 2012 tercatat 181.941 kasus baru dan terdapat prevalensi
0,34 kasus per 10.000 penduduk. (Lastoria J, 2014). Angka prevalensi kusta
di Indonesia pada tahun 2017 sebesar 0,70 kasus/10.000 penduduk dan
angka penemuan kasus baru sebesar 6,08 kasus/10.000 penduduk. Selain itu
ada beberapa provinsi yang prevalensinya masih diatas 1/10.000 penduduk.
Angka prevalensi ini belum bisa dinyatakan bebas kusta dan terjadi di 10
provinsi di Indonesia (Kemenkes, 2018). Rasio pria-wanita ialah 2: 1 hingga
3: 1. Dibandingkan ras, status sosial ekonomi yang lebih rendah dianggap
sebagai faktor risiko lepra di daerah endemis (Estrada B, 2020).

Hal ini sesuai dengan pasien dalam laporan kasus ini, yaitu pasien usia 48
tahun, berjenis kelamin perempuan dengan diagnosis Morbus Hansen tipe
Lepromatosa (LL). Diketahui pasien tinggal di Banjarmasin dan menderita
lepra sebelumnya. Pasien saat ini tinggal kawasan padat penduduk dan
memiliki status sosial ekonomi yang rendah, hal ini merupakan faktor risiko
pasien terkena penyakit Morbus Hansen sesuai dengan teori epidemiologi di
atas.

Mycobacterium leprae merupakan bakteri aerob, basil tahan asam, gram


positif, obligat inraseluler. Organisme ini tidak dapat dibiakkan dengan
media kultur. Bakteri ini tidak mudah diwarnai namun akan bertahan terhadap
bekolorisasi oleh asam atau alkohol (Kemenkes,2018).

17
Sesuai dengan kasus ini, pasien menderita penyakit lepra dikarenakan
infeksi Mycobacterium leprae yang merupakan basil tahan asam, hal ini
dibuktikan dengan ditemukannya basil tahan asam pada sampel apusan
kerokan lesi kulit yang aktif, yaitu cuping telinga dan kedua pergelangan
tangan pasien.

Penularan penyakit lepra belum sepenuhnya dipahami, namun diyakini


menyebar melalui saluran pernapasan. Studi melaporkan bahwa infeksi
pejamu berpotensi terjadi melalui kulit yang rusak juga. Mekanisme utama
penyebaran M. leprae dan kondisi lingkungan yang menyimpan
mikroorganisme tersebut masih diteliti. Lepra menular melalui kontak
langsung dengan penderita dimana keduanya memiliki lesi baik mikrospopis
atau makroskopis dan adanya kontak lama dan berulang-ulang dan melalui
pernafasan (Kemenkes, 2018).

Pada pasien dilakukan dua macam pemeriksaan fisik untuk menilai ada
tidaknya penurunan sensibilitas, yaitu pemeriksaan rasa raba, dan rasa nyeri.
Pada pemeriksaan rasa raba, pasien masih bisa membedakan perabaan pada
daerah lesi dan derah kulit normal. Namun pada pemeriksaan rasa nyeri
pasien hampir tidak bisa membedakan bagian tajam dan tumpul dari jarum.
Kemungkinan Mycobacterium leprae sudah berafinitas pada sel schwann
sehingga bermanifestasi pada penurunan sensibilitas rasa nyeri. Temuan ini
sesuai dengan teori patogenesis seperti yang

Diagnosis didasarkan pada temuan tanda kardinal (tanda utama) menurut


WHO, yaitu:
a. Bercak kulit yang mati rasa

Bercak hipopigmentasi atau eritematosa, mendatar (makula)


atau meninggi (plak). Mati rasa pada bercak bersifat total atau
sebagian saja terhadap rasa raba, suhu, dan nyeri.
b. Penebalan saraf tepi

18
Dapat / tanpa disertai rasa nyeri dan gangguan fungsi saraf
yang terkena, yaitu:
1. Gangguan fungsi sensoris: mati rasa

2. Gangguan fungsi motoris: paresis atau paralisis

3. Gangguan fungsi otonom: kulit kering, retak,


edema, pertumbuhan rambut yang terganggu.
c. Ditemukan kuman tahan asam

Bahan pemeriksaan berasal dari apusan kulit cuping telinga


dan lesi kulit pada bagian yang aktif. Kadang-kadang bahan
diperoleh dari biopsi saraf.
Diagnosis kusta ditegakkan bila ditemukan paling sedikit satu tanda
kardinal. Bila tidak atau belum dapat ditemukan, disebut tersangka/suspek
kusta, dan pasien perlu diamati dan diperiksa ulang 3 sampai 6 bulan sampai
diagnosis kusta dapat ditegakkan atau disingkirkan (Wisnu M et al, 2017).

Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu menegakkan


diagnosis dan pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan
kulit atau usapan dan kerokan mukosa hidung yang diwarnai dengan
pewarnaan terhadap basil tahan asam (BTA), antara lain dengan ZIEHL-
NEELSEN. Pertama-tama harus ditentukan lesi di kulit yang diharapkan
paling padat oleh kuman, setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tempat
yang akan diambil. Untuk pemeriksaan rutin sebaiknya minimal 4-6 tempat,
yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2-4 lesi lain yang paling aktif,
berarti yang paling eritematosa dan paling infiltratif.

Pada pasien dalam laporan kasus ini ditemukan 2 tanda kardinal, yaitu
bercak kulit eritematosa berupa makula dan patch yang mengalami
penurunan sensibilitas pada pemeriksaan rasa nyeri. Mati rasa pada pasien
ini bersifat sebagian karena hanya ditemukan pada pemeriksaan fisik rasa
nyeri. Tanda kardinal yang kedua ialah ditemukannya kuman Basil Tahan

19
Asam (BTA) dari sampel apusan kerokan kulit cuping kedua telinga pasien,
berdasarkan itu maka dapat ditegakkan diagnosis Morbus Hansen. Pada
pasien ini diambil sampel kerokan dari 5 tempat, yaitu kedua cuping telinga,
2 dibagian pergelangan lengan kanan . Hasil positif Basil Tahan Asam
(BTA) ditemukan pada sampel apusan kerokan lesi kulit di cuping telinga
sebelah kanan.

Terdapat beberapa klasifikasi pada penyakit lepra, di antaraya ialah


klasifikasi Madrid, Ridley dan Joping, serta WHO (Wisnu M et al, 2017).
Klasifikasi Madrid terbagi menjadi Tuberculoid, Borderline, dan
Lepromatosa. Ridley dan Joping memperkenalkan istilah “spectrum
determinate” pada penyakit kusta, yang terdiri atas beberapa bentuk, di
antaranya ialah Polar Tuberculoid (TT), Borderline Tuberculoid (BT),
Borderline (BB), Borderline Lepromatosa (BL), Subpolar Lepromatosa
(LLs), dan Polar Lepromatosa (LLp). Tuberkuloid polar (TT) dan
Tuberkuloid lepromatosa (LLp) secara klinis stabil, sedangkan
spektrum di antara keduanya, respon penjamu dapat berubah-ubah
(Lee DJ, 2019). Indeterminate tidak termasuk ke dalam spektrum di
atas, istilah ini digunaknan untuk menggambarkan lesi yang kaya basil
tetapi tidak memiliki pola histologis tuberkuloid atau lepromatous yang
khas. Pasien seperti ini biasanya BL atau kadang-kadang LL (Lee DJ,
2019).

Menurut WHO pada tahun 1988, kusta dibagi menjadi multibasilar dan
pausibasilar. Yang termasuk dalam multibasilar adalah tipe LL, BL dan BB
pada klasifikasi Ridley-Jopling dengan apusan kerokan kulit positif.

20
Pada kusta lepromatosa (LL), penurunan cell-mediated immunity terhadap
M. leprae memungkinkan replikasi basil tak terbatas dan penyakit
multiorgan yang tersebar luas. Terdapat infiltrasi dermal yang dapat
dimanifestasikan secara nyata dengan pembesaran lobus telinga, pelebaran
akar hidung, pembengkakan fusiform pada jari, dan kulit terlipat menjadi
lipatan. Gabungan lipatan kulit dan pembentukan nodul menghasilkan
"Leonine Facies" (Lee DJ, 2019).

Lesi pada kusta LL tersebar simetris dengan jumlah yang sukar dihitung,
ukurannya kecil, dengan permukaan halus mengkilat, dapat ditemukan
gangguan sensibilitas pada lesi, namun bisa juga tidak. Kerontokan rambut
pada daerah lesi belum terjadi pada awal munculnya penyakit. Ditemukan
banyak basil tahan asam dengan globus (Bhushan Kumar et al, 2017).

Pada pasien ini, berdasarkan klasifikasi WHO termasuk ke dalam klasifikasi


multibasilar, karena didapatkan beberapa kriteria, di antaranya ialah jumlah
lesi yang lebih dari 5, dan distribusi yang simetris. Pada pasien didapatkan
tanda-tanda khas seperti leonine facies, deformitas septum dan kerontokan
alis.

Menurut klasifikasi Ridley-Jopling, Morbus Hansen pada pasien ini


tergolong ke dalam klasifikasi polar lepromatosa (LL) karena pada
pemeriksaan dermatologis ditemukan lesi berupa makula sampai patch
hiperpigmentasi multipel, dengan permukaan halus mengkilat, berukuran
numular-plakat, dengan batas sirkumskrip, tersebar diskret-konfluens, pada
regio fasialis, regio ekstremitas atas bilateral dan regio cruris bilateral.

Multi Drug Therapy (MDT) yang saat ini direkomendasikan untuk kusta PB
adalah rifampisin dan dapson selama 6 bulan dan MDT yang saat ini
direkomendasikan untuk kusta MB adalah rifampisin, klofazimine dan
dapson untuk 12 bulan. Multi Drug Therapy (MDT) disediakan dalam
kemasan blister yang lebih lanjut dibedakan antara dewasa dan anak-anak.
Terdapat empat kemasan blister berbeda: dewasa PB, anak PB, dewasa MB,
dan anak MB.

Guidelines Development Group (GDG) menetapkan rekomendasi untuk


menggunakan regimen 3 obat untuk kusta PB dibenarkan, berdasarkan bukti
yang menunjukkan manfaat dari regimen 3 obat dibandingkan regimen 2
obat untuk kusta PB, yakni 10-14 lebih pasien untuk 100 pasien yang diobati
dengan regimen 3 obat mendapatkan hasil klinis yang baik setelah 12 bulan,
dan 26 pasien lagi untuk 100 pasien setelahnya 24 bulan. Beberapa bukti
juga menunjukkan potensi peningkatan risiko relaps pada pasien PB dengan
regimen 2 obat yang saat ini direkomendasikan. Regimen 3 obat berpotensi
untuk mengurangi konsekuensi kesalahan klasifikasi pasien MB sebagai
pasien PB (berdasarkan lesi jumlah).

Pada kusta MB, GDG menetapkan bahwa tidak didapatkan bukti yang cukup
guna mendukung rekomendasi untuk mempersingkat durasi pengobatan.
Sebuah Randomized Control Trial (RCT) menunjukkan adanya potensi
peningkatan angka relaps serta terdapatnya efek negatif dari hasil klinis
dengan durasi pengobatan yang lebih singkat.
Berdasarkan rekomendasi tersebut, maka pasien pada kasus ini dapat
diberikan 2 macam obat berdasarkan waktu mengkonsumsinya, yaitu obat
bulanan dan obat harian. Untuk obat bulanan, pasien diberikan Rifampisin
600 mg dan Klofazimin 300 mg, masing-masing diminum sekali dalam
sebulan. Sedangkan untuk obat hariannya, pasien diberikan Klofazimin 50
mg sekali sehari, serta Dapsone 100 mg sekali sehari. Kedua obat tersebut
diminum sejak hari ke-2 sampai hari ke-28 di setiap bulannya. Keseluruhan
pengobatan berlangsung selama 1 tahun.
BAB III
KESIMPULAN

Lepra atau yang dikenal juga dengan “Morbus Hansen”


merupakan penyakit kronis menular, yang disebabkan oleh
Mycobacterium leprae. Penyakit ini merupakan penyakit endemik
di negara tropis, terutama di negara berkembang. Angka
prevalensi kusta di Indonesia pada tahun 2017 sebesar 0,70
kasus/10.000 penduduk dan angka penemuan kasus baru sebesar
6,08 kasus/10.000 penduduk. Angka prevalensi ini belum bisa
dinyatakan bebas kusta dan terjadi di 10 provinsi di Indonesia.
Diagnosis lepra ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang. Selain itu, terdapat 3 tanda
kardinal pada penyakit lepra yang dapat menegakkan diagnosis
apabila ditemukan salah satunya. Di antara tanda-tanda kardinal
tersebut ialah bercak kulit yang mati rasa, gangguan fungsi saraf,
dan ditemukannya kuman tahan asam.
Telah dilaporkan kasus lepra pada pasien perempuan berusia
48 tahun. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis
diketahui pasien tinggal di kawasan padat penduduk, dengan
status sosial ekonomi yang rendah. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan penurunan sensibilitas lesi untuk rasa nyeri. Pada
pemeriksaan dermatologis didapatkan lesi berupa makula-patch
hiperpigmentosa dengan jumlah yang banyak, permukaan halus
mengkilat, serta distribusi simetris. Pada pemeriksaan
bakterioskopik didapatkan hasil positif basil tahan asam pada
sampel apusan kerokan kulit cuping telinga.
Berdasarkan rekomendasi pengobatan WHO, pada
pasien ini dapat diberikan tatalaksana regimen 3 obat dengan
lama pengobatan satu tahun.
DAFTAR PUSTAKA

Estrada, B., 2020. Pediatric Leprosy Clinical Presentation: History,


Physical Examination. [online] Emedicine.medscape.com.
Available at: <https://emedicine.medscape.com/article/965605
clinical>.

Kemenkes RI. 2018. InfoDatin. Hapuskan Stigma dan Diskriminasi


pada Kusta. Kemenkes.go.id

Lee DJ. Rea TH. Modlin RL. Leprosy. Dalam: Kang, S., 2019.
Fitzpatrick's Dermatology In General Medicine. NEW YORK:
MCGRAW-HILL EDUCATION.

Rossillene et all. 2017. Leprosy: current situation, clinical and laboratory


aspects, treatment history and perspective of the uniform multidrug therapy for
all patients. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5786388/

Widaty, S. et al. 2017. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Spesialis Kulit
Dan Kelamin Di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit
dan Kelamin Indonesia, pp.359-361.

Wisnu MI. Daili ES. Menaldi SL. Kusta. Dalam: Menaldi, S., Bramono, K. and
Indriatmi, W, penyunting. 2017. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. 7th ed.
Jakarta: Badan Penerbit FKUI.

World Health Organization, 2018. Guidelines For The Diagnosis,


Treatment And Prevention Of Leprosy. WHO.

Anda mungkin juga menyukai