Anda di halaman 1dari 24

Case Report Session (CRS)

* Kepaniteraan Klinik Senior / G1A219090 / Desember 2021


** Pembimbing / dr. Rini Chrisna, M.Ked (DV), Sp.DV

Tinea Korporis

Oleh :
Yola Artika Verina, S.Ked
G1A219090

Pembimbing :
dr. Rini Chrisna, M.Ked (DV), Sp.DV

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR

BAGIAN ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN

RUMAH SAKIT H. ABDUL MANAP

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JAMBI

2021
LEMBAR PENGESAHAN

Case Report Session (CRS)

Tinea Korporis

Disusun oleh:
Yola Artika Verina, S.Ked
G1A219090

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER

BAGIAN ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN

RUMAH SAKIT H.ABDUL MANAP

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JAMBI
2021

Jambi, Desember 2021


Pembimbing

dr. Rini Chrisna, M.Ked (DV), Sp.DV

ii
KATA PENGANTAR

Puji  dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Case Report
Session (CRS) yang berjudul “Tinea Korporis” sebagai salah satu syarat dalam
mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
di Rumah Sakit H. Abdul Manap Kota Jambi.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Rini Chrisna,
M.Ked (DV), Sp.DV yang telah bersedia meluangkan waktu dan
pikirannya untuk membimbing penulis selama menjalani Kepaniteraan
Klinik Senior di Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin di Rumah
Sakit H. Abdul Manap Kota Jambi.
Penulis menyadari laporan ini masih banyak kekurangannya,
untuk itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan
oleh penulis. Sebagai penutup semoga kiranya laporan Case Report
Session (CRS) ini dapat bermanfaat bagi kita khususnya dan bagi dunia
kesehatan pada umumnya.

Jambi, Desember 2021

Yola Artika Verina

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Dermatofitosis adalah infeksi jamur yang disebabkan oleh dermatofit yang


memiliki kemampuan untuk melekat pada keratin dan menggunakannya sebagai
sumber nutrisi. Dermatofitosis adalah salah satu penyakit kulit yang tersebar
diseluruh dunia dimana prevalensinya berbeda-beda pada tiap negara.1 Infeksi
dermatofitosis dikenal dengan nama tinea dan dibagi berdasarkan lokasi.
Dermatofita ialah golongan jamur yang menyebabkan dermatofitosis. Dermatofita
termasuk kelas Fungi imperfecti, yang terbagi dalam 3 genus, yaitu Microsporum,
Trichophyton, dan Epidermophyton.2
Ciri khas pada infeksi jamur adanya central healing yaitu bagian tengah
tampak kurang aktif, sedangkan bagian pinggirnya tampak aktif.3 Faktor-faktor
yang mempengaruhi diantaranya udara lembab, lingkungan yang padat, sosial
ekonomi yang rendah, adanya sumber penularan disekitarnya, obesitas, penyakit
sistemik, penggunaan antibiotika dan obat steroid. Higiene juga berperan untuk
timbulnya penyakit ini.3 Di negara yang beriklim tropis dengan kelembaban udara
relatif tinggi, akan mudah memicu terjadinya penyakit jamur. Pada infeksi kulit
karena jamur, selain gatal gejalanya berupa bercak putih bersisik halus atau bintil
merah.4
Dermatofitosis salah satu pembagiannya berdasarkan lokasi bagian tubuh
manusia yang diserang salah satunya adalah Tinea Korporis, yaitu dermatofitosis
yang menyerang daerah kulit yang tidak berambut (glabrous skin), misalnya pada
wajah, badan, lengan dan tungkai. Yang gejala subyektifnya yaitu gatal dan
terutama jika berkeringat.1,2

1
BAB II
LAPORAN KASUS

STATUS PASIEN

IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. K
Umur : 47 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Mandiangin
Pekerjaan : IRT
Status Pernikahan : Menikah
Suku Bangsa : Melayu
Hobi : Memasak

I. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama :
Bercak putih bersisik halus yang melebar disertai rasa gatal pada
wajah, kedua tangan, dada, punggung sejak ± 1 bulan yang lalu.

B. Keluhan Tambahan :
Tidak ada keluhan tambahan.

C. Riwayat Perjalanan Penyakit :


Pasien datang dengan keluhan terdapat bercak putih bersisik halus
yang melebar disertai rasa gatal pada wajah, kedua tangan, dada,
punggung sejak ± 1 bulan yang lalu.
Awalnya timbul bercak kemerahan pada kedua kedua tangan
kurang lebih sebesar koin, bercak ini disertai rasa gatal. Rasa gatal timbul
sepanjang hari tak menentu baik siang maupun malam, dan dirasakan

2
memberat saat pasien sedang berkeringat dan terasa perih ketika mandi
sehingga pasien hanya mandi sesekali. Karena merasa gatal pasien
menggaruk bercak tersebut kemudian bercak tersebut bertambah luas dan
rasa gatal makin bertambah disertai dengan rasa nyeri.
Pasien memiliki riwayat penyakit diabetes melitus dan sudah
berobat ke dokter spesialis penyakit dalam untuk kontrol diabetes
melitusnya serta keluhan gatal tersebut, oleh dokter diberikan salep
namun pasien lupa nama obatnya dan tidak membawa obat ketika
kunjungan. Menurut pasien gatal sedikit berkurang dan sisik pada kulit
yang gatal tersebut lepas. Tapi keluhan gatal tak kunjung hilang dan
setiap harinya gatal semakin bertambah parah. Lalu pasien dirujuk ke
dokter spesialis kulit dan kelamin.

D. Riwayat Penyakit Dahulu :


- Riwayat keluhan serupa (-)
- Riwayat menderita penyakit kulit lainnya (-)
- Riwayat DM (+) dengan insulin sejak ± 3 tahun yang lalu

E. Riwayat Penyakit Keluarga :


- Riwayat Keluhan Serupa (-)

F. Riwayat Sosial Ekonomi :


- Pasien adalah seorang ibu rumah tangga yang sehari-hari sering di
dapur

II. PEMERIKSAAN FISIK


A. Status Generalis
1. Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
2. Tanda Vital :
Kesadaran : Compos Mentis RR : 20x/menit
TD : 120/80 mmHg Nadi : 82x/menit

3
Suhu : 36,6oC

3. Kepala :
a. Bentuk : Normocephal
b. Mata : Pupil isokor, RC (+/+), CA (-/-), SI (-/-)
c. THT : Nyeri tekan tragus (-), Otorrhea (-/-), Rhinorrea (-/-)
d. Leher : Pembesaran KGB (-), deviasi trakea (-), lesi (+)
4. Thoraks :
a. Jantung : BJ I/II reguler, murmur (-), gallop (-)
b. Paru : Vesikuler (+), wheezing (-), rhonki (-)
5. Abdomen : Soepel, nyeri tekan (-), timpani (+), BU (+), lesi (+)
6. Genitalia : Tidak dilakukan
7. Ekstremitas :
a. Superior : Sensoris (+), motorik (+), akral hangat, CRT < 2 detik,
lesi kulit (+/+), edema (-)
b. Inferior : Sensoris (+), motorik (+), akral hangat, CRT < 2 detik,
edema (-)

B. Status Dermatologi
1. Inspeksi :
Gambar Lesi
Regio fasialis
 Lesi : plak
 Bentuk : irregular
 Ukuran : numular sampai plakat
 Jumlah : multiple
 Batas : difuse
 Warna : hipopigmentasi
 Tepi : tidak aktif
 Distribusi : generalisata
 Permukaan : rata
 Konsistensi : kenyal
 Daerah sekitar : skuama

4
Regio brachii dan antebrachii dextra
et sinistra
 Lesi : plak
 Bentuk : irregular
 Ukuran : numular sampai plakat
 Jumlah : multiple
 Batas : difuse
 Warna : hipopigmentasi
 Tepi : tidak aktif
 Distribusi : generalisata
 Permukaan : rata
 Konsistensi : kenyal
 Daerah sekitar : skuama

5
Regio trunkus anterior
 Lesi : plak
 Bentuk : irregular
 Ukuran : nummular sampai plakat
 Jumlah : multiple
 Batas : difuse
 Warna : hipopigmentasi
 Tepi : tidak aktif
 Distribusi : generalisata
 Permukaan : rata
 Konsistensi : kenyal
 Daerah sekitar : skuama
Regio trunkus posterior
 Lesi : plak
 Bentuk : irregular
 Ukuran : nummular sampai plakat
 Jumlah : multiple
 Batas : difuse
 Warna : hipopigmentasi
 Tepi : tidak aktif
 Distribusi : generalisata
 Permukaan : rata
 Konsistensi : kenyal
 Daerah sekitar : skuama

2. Palpasi : Nyeri tekan (-), teraba kasar (+)


3. Auskultasi : Tidak dilakukan
4. Lain-lain

6
Regio
Fasialis

Regio Regio
Brachii Antebrachii Trunkus Posterior
dextra et sinistra

Regio
Trunkus Anterior

C. Status Venerelogi
1. Inspeksi : Tidak dilakukan pemeriksaan
o Inspekulo : Tidak dilakukan pemeriksaan
2. Palpasi : Tidak dilakukan pemeriksaan

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan penunjang

IV. DIAGNOSIS BANDING


- Tinea Korporis
- Dermatitis Seboroik
- Psoriasis Vulgaris
- Eritrasma

V. DIAGNOSIS KERJA
Tinea korporis

VI. TERAPI
Non Medikamentosa
- Menjelaskan kepada pasien tentang penyakit pasien.
- Menjaga kebersihan diri dengan mandi 2x sehari dengan sabun.

7
- Menerangkan pentingnya menjaga kebersihan perseorangan dan
lingkungan tempat tinggal.
- Menganjurkan agar menjaga daerah lesi tetap kering, bila berkeringat
keringkan dengan handuk dan mengganti pakaian yang lembab.
- Menyarankan untuk menggunakan pakaian yang terbuat dari bahan yang
dapat menyerap keringat, tidak ketat, dan untuk mengganti pakaian setiap
hari.
- Bila gatal sebaiknya jangan menggaruk terlalu keras karena dapat
menyebabkan luka dan resiko infeksi.

Medikametosa
a. Topikal
- Ketokonazole krim 2 % dioleskan pada area yang lesi 2 kali sehari,
setelah area dibersihkan dan dikeringkan selama 2 minggu.
b. Sistemik
- Antihistamin : Cetirizine tab 10 mg, 1 kali sehari selama 10 hari
- Griseofulvin 500 mg tab diminum 1 kali sehari selama 7 hari

VII. PROGNOSIS
- Quo ad Vitam : Ad bonam
- Quo ad Functionam : Ad bonam
- Quo ad Sanationam : Ad bonam

VIII. PEMERIKSAAN ANJURAN


1. Kerokan kulit dengan KOH 10%
2. Auspitz sign
3. Histopatologi
4. Pemeriksaan dengan lampu wood

8
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Definisi
Tinea korporis adalah infeksi dermatofita superfisial yang ditandai oleh
baik lesi inflamasi maupun non inflamasi pada glabrous skin (kulit yang tidak
berambut) seperti muka, leher, badan, lengan, tungkai dan gluteal. 2,4 Tinea
Korporis umumnya disebabkan jamur oleh dermatofita spesies Trichophyton,
Microsporus, Epidermophyton.2

3.2. Etiologi
Dermatofita ialah golongan jamur yang menyebabkan Dermatifitosis.
Dermatofita termasuk kelas Fungi imperfecti (jamur yang belum diketahui dengan
pasti cara pembiakan secara generatif), yang terbagi dalam 3 genus, yaitu
Microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton. Selain keratofilik, masih
banyak sifat yang sama di antara dermatofita. Misalnya sifat faal, taksonomis,
antigenik, kebutuhan zat makanan untuk pertumbuhannya, dan penyebab
penyakit.3
Terjadinya penularan dermatofitosis adalah melalui 3 cara yaitu :
a. Antropofilik
Transmisi dari manusia ke manusia. Ditularkan baik secara langsung
maupun tidak langsung melalui lantai kolam renang dan udara sekitar rumah
sakit/klinik, dengan atau tanpa reaksi peradangan (silent “carrier”).
b. Zoofilik
Transmisi dari hewan ke manusia. Ditularkan melalui kontak langsung
maupun tidak langsung melalui bulu binatang yang terinfeksi dan melekat
dipakaian, atau sebagai kontaminan pada rumah/tempat tidur hewan, tempat
makanan dan minuman hewan. Sumber penularan utama adalah anjing, kucing,
sapi, kuda dan mencit.

c. Geofilik

9
Transmisi dari tanah ke manusia. Secara sporadik menginfeksi manusia
dan menimbulkan reaksi radang.4
Tiga penyebab utama tinea corporis yaitu Epidermophyton floccosum,
Trichophyton rubrum and Trichophyton mentagrophytes.5
Dermatofita Gambaran Klinis
Trichophyton rubrum  Penyebab paling utama di USA
 Biasanya penyakit akan berkembang menjadi
kronis
 Jamur tidak dapat bertahan pada (perabotan,
karpet dan linen) dalam jangka waktu yang
lama
 Sering melebar ke gluteus, pinggang dan paha
Epidermophyton floccosum  Umumnya berhubungan dengan “epidemics”
seperti menyebar pada kamar ganti asrama
 Infeksi akut (jarang kronis)
 Jamur dapat bertahan pada (perabotan, karpet
dan linen) dalam jangka waktu yang lama
 Penyebaran jamur tidak melewati daerah
inguinal
Trichophyton  Infeksi lebih parah dan akut akan
mentagrophytes menyebabkan peradangan dan pustul
 Jamur cepat menyebar ke tubuh dan
ekstremitas inferior, menyebabkan inflamasi
berat
 Biasanya didapatkan pada bulu binatang

3.3. Epidemiologi
Tinea korporis adalah infeksi umum yang sering terlihat pada daerah
dengan iklim yang panas dan lembab. Seperti infeksi jamur yang lain, kondisi
hangat dan lembab membantu menyebarkan infeksi ini.4 Oleh karena itu daerah

10
tropis dan subtropis memiliki insiden yang tinggi terhadap tinea korporis.3 Tinea
korporis dapat terjadi pada semua usia bisa didapatkan pada pekerja yang
berhubungan dengan hewan-hewan.5 Maserasi dan oklusi kulit lipatan
menyebabkan peningkatan suhu dan kelembaban kulit yang memudahkan infeksi.
Penularan juga dapat terjadi melalui kontak langsung dengan individu yang
terinfeksi atau tidak langsung melalui benda yang mengandung jamur, misalnya
handuk, lantai kamr mandi, tempat tidur hotel dan lain-lain.6
Infeksi tinea corporis terdapat di seluruh dunia terutama daerah tropis yang
mempunyai kelembapan tinggi seperti Negara Indonesia. Penyakit ini menyerang
pria maupun wanita dan terjadi pada semua umur terutama dewasa. 5,6 Penyebab
tersering penyakit ini adalah Tricophyton rubrum dengan prevalensi 47% dari
semua kasus tinea corporis. Tricophyton rubrum mempunyai dinding sel sehingga
resisten terhadap eradikasi. Barrier proteksi ini mengandung mannan, yang
menghambat organisme ini tahan terhadap pertahanan lapisan kulit.7

3.4. Patogenesis
Infeksi dermatofita melalui tiga proses, yaitu perlekatan ke keratinosit,
penetrasi melewati dan diantara sel, dan perkembangan respon pejamu. 9 Pertama
adalah berhasil melekatnya artrokonidia, spora aseksual yang dibentuk dari hasil
fragmentasi hifa, ke permukaan jaringan berkeratin setelah melewati beberapa
pertahanan pejamu, antara lain asam lemak yang dihasilkan oleh kelenjar sebasea
yang bersifat fungistatik dan kompetisi dengan flora normal. 3 Dalam beberapa
jam, secara in vitro 2 jam setelah terjadinya kontak, pertumbuhan dan invasi spora
mulai berlangsung.3,5
Proses kedua adalah invasi spora ke lapisan yang lebih dalam. Tahap ini
dibantu oleh sekresi proteinase, lipase dan enzim musinolitik, yang menjadi
nutrisi bagi jamur. Trauma dan maserasi juga membantu penetrasi jamur ke
keratinosit. Selain itu, manans suatu zat yang terkandung dalam dinding sel
dermatofita ini, dapat menghalangi proliferasi dari keratinosit dan respon imunitas
seluler yang memperlambat penyembuhan epidermis.3

11
Proses ketiga adalah perkembangan respon pejamu. Derajat inflamasi
dipengaruhi oleh status imun penderita dan organisme yang terlibat. Reaksi
hipersensitifitas tipe IV, atau Delayed Type Hipersensitivity (DHT) memegang
peranan yang sangat penting dalam melawan dermatofita. Respon inflamasi dari
reaksi hipersensitivitas ini berkaitan dengan penyembuhan pasien. Respon
imunitas seluler yang rusak akan mengakibatkan proses penyakit yang kronis dan
berulang. Pengaruh adanya atopi atau kadar IgE yang tinggi juga diduga
berpengaruh terhadap kronisitas.3,4
Faktor host yang berperan pada dermatofitosis yaitu genetik, jenis
kelamin, usia, obesitas, penggunanaan kortikosteroid dan obat-obat
imunosupresif. Kulit di lipat paha yang basah dan tertutup menyebabkan
terjadinya peningkatan suhu dan kelembaban kulit sehingga memudahkan infeksi.

Penjalaran infeksi dari bagian tubuh lain juga dapat menyebabkan terjadinya tinea
kruris, misalnya tinea pedis pada daerah kaki. Faktor lingkungan, berupa higiene
sanitasi dan lokasi geografis beriklim tropis, merupakan faktor predisposisi
terjadinya penyakit jamur.3,5

12
3.5. Manifestasi Klinis
Penderita merasa gatal dan kelainan berbatas tegas terdiri atas bermacam-
macam effloresensi kulit (polimorfi).1 Bagain tepi lesi lebih aktif (tanda
peradangan) tampak lebih jelas dari pada bagian tengah. Bentuk lesi yang
beraneka ragam ini dapat berupa sedikit hiperpigmentasi dan skuamasi menahun. 3
Kelainan yang dilihat dalam klinik merupakan lesi bulat atau lonjong, berbatas
tegas, terdiri atas eritema, skuama, kadang-kadang dengan vesikel dan papul di
tepi lesi. Daerah di tengahnya biasanya lebih tenang, sementara yang di tepi lebih
aktif yang sering disebut dengan central healing.2
Kadang-kadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan. Kelainan kulit
juga dapat dilihat secara polisiklik, karena beberapa lesi kulit yang menjadi satu.
Lesi dapat meluas dan memberikan gambaran yang tidak khas terutama pada
pasien imunodefisiensi.4 Pada tinea korporis yang menahun, tanda radang
mendadak biasanya tidak terlihat lagi. Kelainan ini dapat terjadi pada tiap bagian
tubuh dan bersamaan timbul dengan kelainan pada sela paha. Dalam hal ini
disebut tinea corporis et cruris atau sebaliknya.8

3.6. Diagnosis
Penegakan diagnosis tinea corporis berdasarkan gambaran klinis, status
lokalis dan pemeriksaan penunjang. Gambaran klinis berupa rasa gatal pada lesi
terutama saat berkeringat. Keluhan gatal tersebut memacu pasien untuk
menggaruk lesi yang pada akhirnya menyebabkan perluasan lesi terutama di
daerah yang lembab. Kelainan yang terlihat pada lesi berupa makula eritematosa
yang berbentuk bulat atau lonjong dan berbatas tegas. Pada daerah tepi terdapat
skuama halus, vesikel dan papul yang aktif, sedangkan pada daerah tengah lebih
tenang (central healing). Lesi yang berdekatan dapat membentuk pola gyrate atau
polisiklik. Tempat predileksi dari tinea corporis yaitu pada bagian tubuh yang
tidak berambut dan lembab seperti thorax, abdomen, glutea, dan ekstremitas.9,10
Pemeriksaan penunjang menggunakan sediaan dari bahan kerokan (kulit,
rambut dan kuku) dengan larutan KOH 10-30%. Dengan pemeriksaan
mikroskopis akan terlihat elemen jamur dalam bentuk hifa panjang, spora dan

13
artospora (spora berderet). Dengan pembiakan yang bertujuan untuk mengetahui
spesies jamur penyebab dengan menggunakan bahan kerokan yang ditanam dalam
agar Sabouroud Dekstrose, untuk mencegah pertumbuhan bakteri dapat
ditambahkan antibiotik seperti khloramfenikol ke dalam media tersebut.
Perbenihan pada suhu 24-30°C. Pembacaan dilakukan dalam waktu 1-3 minggu.
Koloni yang tumbuh diperhatikan mengenai warna, bentuk, permukaan dan ada
atau tidaknya hifa. 9,10

Gambar 2. Gambaran hifa (tanda panah biru) disertai spora (tanda panah merah) 4

Biopsi dan pemeriksaan histopatologi tidak dilakukan pada gambaran lesi


yang khas. Biopsi dilakukan untuk penegakan diagnosis yang memerlukan terapi
sistemik pada lesi yang luas. Dengan pewarnaan hematoksilin dan eosin, hifa akan
terlihat pada stratum korneum. Pewarnaan yang apling sering digunakan adalah
dengan periodic acid-Schiff (PAS), jamur akan tampak merah muda dan
methenamisme silver strains, jamur akan tampak coklat atau hitam.3,10

3.7. Diagnosis Banding


Tidaklah sulit untuk menentukan diagnosis tinea korporis pada umumnya,
namun ada beberapa penyakit kulit yang dapat mengaburkan diagnosis misalnya
dermatitis seboroika, psoriasis, dan pitiriasis rosea.11 Kelainan pada kulit pada
dermatitis seboroika selain dapat menyerupai tinea korporis, biasanya dapat
terlihat pada tempat-tempat predileksi, misalnya di kulit kepala (scalp), lipatan

14
kulit, misalnya belakang telinga, daerah nasolabial dan sebgainya. 9 Pitiriasi rosea
yang distribusi kelainan kulitnya simetris dan terbatas pada tubuh dan bagian
proksimal anggota badan, sukar dibedakan dengan tinea korporis tanpa herald
patch yang dapat membedakan penyakit ini dengan tinea korporis. Pemeriksaan
laboraturium dapat memastikan diagnosisnya. Psoriasis dapat dikenal dari
kelainan kulit pada tempat predileksi yaitu di daerah ekstensor, misalnya lutut,
siku dan punggung. Kulit kepala berambut juga sering terkena penyakit ini.
Adanya lekukakn pada kuku dapat menolong untuk menentukan diagnosis.7
Psoriasis pada sela paha dapat menyerupai tinea kruris. Lesi-lesi pada
psoriasis biasanya lebih merah, skuama lebih banyak dan lamelar. Adanya lesi
psoriasis pada tempat lesi dapat menentrukan diagnosis.3 Kandidiosis pada lipatan
paha mempunyai konfigurasi hen and chicken. Kelainan ini biasanya basah dan
berkrusta. Pada wanita ada tidaknya fluor albus dapat membantu mengarahkan
diagnosis. Pada penderita-penderita diabetes mellitus, kandidiosis merupakan
penyakit yang sering dijumpai. Eritrasma merupakan penyakit yang tersering
berlokasi di daerah sela paha. Effloresensi yang sama yaitu eritema dan skuama
pada seluruh lesi merupakan tanda khas penyakit ini. Pemeriksaan dengan lampu
wood dapat menolong dengan adanya effloresensi merah (coral red).5

3.8. Terapi
Terapi pada penyakit kulit tinea korporis dibagi menjadi dua bagian yaitu
terapi umum dan khusus. Pada terapi umum bertujuan untuk menghilangkan
faktor predisposisi seperti memakai baju yang menyerap keringat supaya
lingkungan kulit tidak lembab dan tidak menjadi tempat proliferasi jamur.
Kemudian terapi khusus tinea corporis berupa medikamentosa yang terdiri dari
obat topikal dan sistemik.11
Terapi topikal direkomendasikan untuk infeksi lokal karena dermatofit
yang hidup pada jaringan kulit. Preparat yang sering digunakan yaitu golongan
imidazol, allilamin, siklopirosolamin, dan kortikosteroid. Pada golongan imidazol
terdiri dari ketokonazol, mikonazol, klotrimazol, dan hanya ketokonazol yang
paling banyak digunakan. Ketokonazol merupakan turunan imidazol sintetik yang

15
bersifat lipofilik dan larut dalam air pada pH asam. Ketokonazol digunakan untuk
pengobatan dermatofita, pitiriasis versikolor, kutaneus kandidiasis, dan dapat juga
untuk pengobatan dermatitis seboroik. Obat ini bekerja dengan cara menghambat
14-D-dimetilase pada pembentukan ergosterol membrane jamur. Ketokonazol 2%
cream digunakan untuk infeksi jamur di kulit tak berambut seperti dermatofita,
dengan dosis dan lamanya pengobatan tergantung dari kondisi pasien, biasanya
diberikan selama 2-4 minggu dan dioleskan 1-2 kali sehari.11
Untuk terapi sistemik tinea corporis menggunakan pedoman yang
dikeluarkan oleh American Academy of Dermatology yang menyatakan bahwa
obat anti jamur sistemik dapat digunakan pada kasus hiperkeratosis terutama pada
telapak tangan dan kaki, lesi yang luas, infeksi kronis, pasien imunokompromais,
dan pasien yang tidak responsif maupun intoleran terhadap obat anti jamur
topikal.11
Terapi sistemik yang paling banyak digunakan yaitu griseofulvin,
Ketokonazol, flukonazol, itrakonazol, dan amfoterisin B. ketokonazol yang
merupakan obat antifungi sistemik pertama yang berspektrum luas. Ketokonazol
merupakan turunan imidazol sintetik yang bersifat lipofilik dan larut dalam air
pada pH asam. Ketokonazol bekerja degan cara berinteraksi dengan C-14 D-
demetilase (enzim P-450 sitokrom) untuk menghambat dimetilasi lanosterol
menjadi ergosterol yang merupakan sterol penting untuk membran jamur.
Penghambatan ini mengganggu fungsi membran dan meningkatkan permeabilitas.
Ketokonazol mempunyai ikatan yang kuat dengan keratin dan mencapai keratin
dalam waktu 2 jam melalui kelenjar keringat eccrine. Penghantaran akan menjadi
lebih lambat ketika mencapai lapisan basal epidermis dalam waktu 3-4 minggu.11
Konsentrasi ketokonazol masih tetap dijumpai, sekurangnya 10 hari
setelah obat dihentikan. Pemakaian ketokonazol belum ditemukan adanya
resistensi selama diobservasi sehingga obat ini sangat efektif dalam pengobatan
jamur. Efek samping yang sering timbul dalam penggunaan ketokonazol berupa
mual dan muntah. Ketokonazol sistemik tersedia dalam sediaan tablet 200mg.
Dosis yang dianjurkan pada dewasa adalah 200- 400mg perhari. Lama pengobatan
untuk tinea corporis selama 2-4 minggu. Kerena keunggulan ketokonazol sebagai

16
obat berspektrum luas, tidak resisten, efek samping minimal dan harga yang
terjangkau maka obat ini paling banyak digunakan dalam pengobatan antifungi.9

3.9. Prognosis
Prognosis tinea korporis baik jika diagnosis dan penanganannya tepat, tapi
penyakit ini dapat kambuh jika tidak dapat keadaan lembab. Mortalitas tidak ada
kaitannya dengan tinea korporis. Tapi pruritus yang dialami pada penderita tinea
korporis dapat menyebabkan likenifikasi, infeksi bakterial sekunder, dan iritasi
serta dermatitis kontak alergi yang disebabkan oleh pengobatan topikal.11

17
BAB IV
ANALISIS KASUS

Pasien atas nama Ny. K usia 47 tahun datang ke poliklinik Kulit dan
kelamin RSUD Raden Mattaher, berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik,
pasien didiagnosa Tinea Corporis.
Diagnosis tinea korporis ditegakkan berdasarkan anamnesis pasien yang
mengeluhkan bercak putih bersisik halus yang melebar disertai rasa gatal pada
wajah, kedua tangan, dada, punggung sejak ± 1 bulan yang lalu dan rasa gatal
terasa semakin hebat jika pasien berkeringat. Hal ini sesuai dengan teori dimana
keluhan utama tinea korporis adalah rasa gatal hebat pada daerah glabrous skin
(kulit yang tidak berambut) seperti wajah, leher, badan, lengan, tungkai dan
gluteal. Diagnosis diperkuat dengan pemeriksaan fisik yaitu ditemukannya lesi
pada tempat predileksi yaitu di wajah, kedua tangan, dada, punggung.
Pada kasus ini dipikirkan diagnosis banding yaitu eritrasma yaitu infeksi
bakterial superfisial pada kulit yang dicirikan oleh bercak merah-kecoklatan
ireguler dan tegas, terjadi di daerah intertriginosa, atau fissura dan maserasi putih
di sela jari kaki. Tanda khasnya adalah Gejala bervariasi dari asimptomatik
sepenuhnya, lalu bentuk di genitocrural dengan pruritus, hingga bentuk
generalisata dengan plak berskuama pada trunkus, daerah inguinal, dan sela jari
kaki. Diagnosis ini dapat disingkirkan dimana pasien mengalami gatal yang hebat
terutama saat berkeringat. Selain itu, kelainan pada kulit pada dermatitis seboroik
selain dapat menyerupai tinea korporis, biasanya dapat terlihat pada tempat-
tempat predileksi, misalnya di kulit kepala (scalp), lipatan kulit, misalnya
belakang telinga, daerah nasolabial dan sebgainya. Pitiriasi rosea yang distribusi
kelainan kulitnya simetris dan terbatas pada tubuh dan bagian proksimal anggota
badan, sukar dibedakan dengan tinea korporis tanpa herald patch yang dapat
membedakan penyakit ini dengan tinea korporis. Pemeriksaan laboraturium dapat
memastikan diagnosisnya.
Penatalaksanaan pada kasus tinea korporis dapat dilakukan baik dengan
non medikamentosa dan medikamentosa. Penatalaksanaan non medikamentosa

18
yaitu dengan memberikan edukasi seperti menerangkan pentingnya menjaga
kebersihan perseorangan dan lingkungan tempat tinggal, menganjurkan agar
menjaga daerah lesi tetap kering, bila berkeringat keringkan dengan handuk dan
mengganti pakaian yang lembab, menyarankan untuk menggunakan pakaian yang
terbuat dari bahan yang dapat menyerap keringat, tidak ketat, dan untuk
mengganti pakaian setiap hari.
Pada pasien ini penatalaksanaan dilakukan dengan memberikan obat
secara topikal dan sistemik. Obat topikal yang diberikan adalah ketokonazole krim
2 % dioleskan pada area yang terinfeksi 2 kali sehari, setelah area dibersihkan dan
dikeringkan. Pada teori yang telah dikemukakan bahwa bila menggunakan terapi
topikal, pengobatan dilanjutkan hingga 1 minggu setelah lesi sembuh.
Griseofulvin tablet 500 mg juga diberikan satu kali sehari. Griseofulvin digunakan
sebagai pilihan utama untuk pengobatan tinea korporis efektif terhadap infeksi
yang disebabkan oleh Trichophyton tonsurans dan Microsporum spp. Obat ini
telah digunakan secara luas untuk mengatasi tinea di berbagai bagian tubuh.
Selain itu, pemberian obat sistemik untuk mengurangi gatal yang dialami pasien
terutama pada malam hari juga diberikan obat antihistamin yaitu Cetirizine tablet
10 mg satu kali sehari. Dimana obat antihistamin H1 generasi kedua ini lebih
aman dan memiliki efek sedatif lebih minimal dibandingkan generasi pertama
dimana obat-obat tersebut menembus sawar darah otak dan berikatan dengan
reseptor H1 pada sistem saraf pusat dan mengganggu efek neurotransmiter
histamin. Pada penelitian GA2LEN terbaru, direkomendasikan untuk tidak
menggunakan antihistamin generasi pertama dalam jangka waktu yang lama baik
pada dewasa maupun anak-anak. Hal ini juga disampaikan oleh WHO dalam
pedoman penatalaksanaan rhinitis alergi dan dampak dari asma (ARIA).
Prognosis dari tinea korporis yang diderita pasien pada umumnya baik bila
jika diagnosis dan penanganannya tepat, tapi penyakit ini dapat kambuh jika tidak
dapat keadaan kering. Mortalitas tidak ada kaitannya dengan tinea korporis. Tapi
pruritus yang dialami pada penderita tinea korporis dapat menyebabkan
likenifikasi, infeksi bakterial sekunder, dan iritasi serta dermatitis kontak alergi
yang disebabkan oleh pengobatan topikal.

19
BAB V
KESIMPULAN

Tinea korporis adalah infeksi dermatofita superfisial yang ditandai oleh


baik lesi inflamasi maupun non inflamasi pada glabrous skin (kulit yang tidak
berambut) seperti muka, leher, badan, lengan, tungkai dan gluteal. Angka kejadian
yang tinggi didapatkan pada daerah tropis, terjadi pada hampir semua usia dan
umumnya pada pekerjaan yang berhubungan dengan hewan. Dapat menular
melalui kontak langsung dan tidak langsung.

Gejala yang khas adanya central healing, dengan bagian tepi terliat
meninggi dan biasanya lebih aktif. Rasa gatal juga dirasakan bertambah saat
penderita berkeringat. Beberapa kasus memerlukan pemerksaan menggunakan
lampu wood atau dengan sediaan langsung dengan KOH 10-20% untuk
menegakkan diagnosis, karena ada beberapa penyakit kulit yang dapat
mengaburkan tinea korporis. Pengobatan dapat diberikan melalui topikal dan
sistemik, tergantung lokalisir dari lesi yang ditimbulkan. Pencegahan dilakukan
mulai dari gaya berbusana, kebersihan penderita dan juga gaya hidup penderita.
Prognosis tinea korporis dipengaruhi oleh bentuk klinik dan penyebab
penyakitnya, umumnya tinea korporis dapat hilang dengan sempurna dan dengan
prognosa baik dengan pengobatan yang adekuat.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Abbas AK, Mohammed ZA, Mahmoud IS. Superficial Fungal Infections.


Mustansiriya Medical Journal. 2012;11(1):75-7.
2. Budimulja U. Mikosis. In: Djuanda A, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. 6th ed. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2013. p. 94.
3. Schieke SM, Garg A. Superficial Fungal Infection. In: Goldsmith LA, Katz
SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K, editors. Fitzpatrick's
Dermatology in General Medicine. 8th ed. New York: McGraw Hill Medical;
2012. p. 2277-97.
4. James WD, Elston DM, Berger TG. Disease Resulting from Fungi and
Yeasts. Andrews' Diseases of The Skin Clinical Dermatology. 7th ed. USA:
Elsevier Inc.; 2011. p. 287-93.
5. Wood GS, Reizner G. Papulosquamous and Eczematous Dermatoses. In:
Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP, editors. Dermatology. 2nd ed. USA:
Mosby Elsevier; 2008. p. 1140-3.
6. Wolff K, Johnson RA. Fungal Infections of The Skin and Hair. Fitzpatrick's
Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology. 6th ed. New York:
McGraw Hill Medical; 2009. p. 703.
7. Sjamjoe, Emmy et al. Penyakit Kulit Yang Umum di Indonesia, Sebuah
Panduan Bergambar. Medical Multimedia Indonesia: Departemen Ilmu
Kesehatan Kulit dan Kelamin, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2013. p.30
8. Sahoo AK, Mahajan R. Management of Tinea Corporis, Tinea Cruris, and
Tinea Pedis: A Comprehensive Review. Indian Dermatology Online Journal.
2016;7(2):77-86.
9. Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C. Mycology. Rook's Textbook of
Dermatology. 8th ed: Wiley-Blackwell; 2010. p. 36.3.
10. Yossela T. Diagnosis and Treatment of Tinea Cruris. J Majority. 2015;4.
11. Gohary E. Topical Antifungal Treatments for Tinea Cruris and Tinea
Corporis. National Center for Biotechnology Information, US National
Library of Medicine. 2014.

21

Anda mungkin juga menyukai