Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN KASUS

DERMATITIS KONTAK ALERGI

Dokter Pembimbing :
dr. Chadidjah Rifai Latief, Sp. KK

Disusun Oleh :
Indri Erda Yahya
2017730059

KEPANITERAAN KLINIK
STASE ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN
RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA CEMPAKA PUTIH
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang senantiasa
melimpahkan kenikmatan kesehatan baik jasmani maupun rohani sehingga pada
kesempatan ini penulis dapat menyelesaikan penyusunan tugas laporan kasus
yang berjudul “Dermatitis Kontak Alergi”. Penulis mengharapkan saran dan
kritik yang dapat membangun dari berbagai pihak agar dikesempatan yang akan
datang penulis dapat membuatnya lebih baik lagi.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih sebesar – besarnya


kepada dr. Chadidjah Rifai Latief, Sp.KK selaku pembimbing serta berbagai
pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan laporan kasus
ini. Demikian tugas ini penulis buat sebagai tugas dari kepaniteraan Stase Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin serta untuk menambah pengetahuan bagi penulis dan
pembaca. Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat untuk kita semua.

Jakarta, September 2021

Indri Erda Yahya

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii
BAB I STATUS PASIEN........................................................................................1
I. IDENTITAS PASIEN................................................................................1
II. ANAMNESIS............................................................................................1
III. PEMERIKSAAN FISIK...........................................................................2
IV. RESUME...................................................................................................3
V. DIAGNOSIS..............................................................................................4
VI. PEMERIKSAAN ANJURAN...................................................................4
VII. TATALAKSANA.....................................................................................4
VIII. PROGNOSIS.............................................................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................5
I. DEFINISI..................................................................................................5
II. EPIDEMIOLOGI......................................................................................5
III. ETIOLOGI................................................................................................5
IV. PATOGENESIS........................................................................................6
V. MANIFESTASI KLINIS..........................................................................8
VI. DIAGNOSIS...........................................................................................10
VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG............................................................11
VIII. TATALAKSANA...................................................................................14
IX. KOMPLIKASI........................................................................................15
X. PROGNOSIS..........................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................16

ii
BAB I

STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. S

Jenis Kelamin : 79 tahun

Usia : Perempuan

Alamat : Jakarta

Pekerjaan : IRT

Status : Menikah

Tanggal Pemeriksaan : 9 September 2021

Jenis Anamnesis : Autoanamnesis


II. ANAMNESIS

Keluhan Utama

Terdapat luka merah kehitaman di paha kanan sejak 2 minggu yang lalu

Keluhan Tambahan

Tidak ada keluhan lain

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke poliklinik kulit dan kelamin RSIJ Cempaka Putih Jakarta
dengan keluhan luka merah dan kehitaman di paha kanan sejak 2 minggu yang lalu.
Awalnya hanya berupa garis-garis lecet kemerahan akibat tergores kuku, kemudian
diberikan minyak tawon dan luka menjadi sedikit kering, Pasien menganggap luka
yang semakin kering tersebut akan menjadi sembuh. Kemudian rutin diberikan
minyak tawon setiap malam hari, pada hari ke 10 luka berubah warna menjadi
kehitaman. Keluhan gatal disangkal, luka dirasakan nyeri jika disentuh.
1
Riwayat Penyakit Dahulu

Diabetes, Hipertensi dan Jantung disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga

Di keluarga tidak ada yang mengalami hal serupa seperti pasien

Riwayat Pengobatan

Sebelumnya belum pernah ke dokter

Riwayat Alergi

Ada alergi udang. Alergi obat-obatan dan cuaca disangkal

Riwayat Psikososial

Pasien tidak mengkonsumsi alcohol dan tidak merokok


III. PEMERIKSAAN FISIK
 Keadaan umum : Baik
 Kesadaran : Compos Mentis
 Tanda Vital
- Tekanan Darah : 130/70 mmHg
- Nadi : 83x/menit
- Suhu : 36,8°C
- Respirasi : 20x/menit
- SpO2 : 97%
- Tinggi Badan :152 cm
- Berat Badan :48 kg
- IMT :20,77 (normal)
 Status generalis
1. Kepala : Normocephal
- Mata : Konjungtiva anemis (-/-) sklera ikterik (-/-), refleks
pupil (+/+) pupil bulat isokor (+/+)
- Hidung : Normonasi, sekret (-/-), epistaksis (-/-), massa (-/-)
- Telinga : Normotia, serumen (-/-)

2
- Mulut : Mukosa bibir lembab (+), sianosis (-)
2. Thoraks
- Inspeksi : Dinding dada simetris kiri & kanan, retraksi dinding
dada (-/-), otot bantu napas (-)
- Palpasi : Vokal fremitus simetris
- Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru.
- Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronki (-/-), wheezing (-/-)
- Jantung : BJ I & II reguler, murmur (-), gallop (-)
3. Abdomen
- Inspeksi : Perut tampak datar, tidak ada massa, peradangan (-)
- Auskultasi : Bising usus (+) normal
- Perkusi : Timpani pada seluruh kuadran abdomen
- Palpasi : Nyeri tekan (-)
4. Ekstremitas
- Atas : Akral hangat (+/+), edema (-/-), CRT <2 detik
- Bawah : Akral hangat (+/+), edema (-/-), CRT <2 detik

 Status Dermatologikus
Regio : femoris anterior dextra
Efloresensi :
Terdapat lesi krusta hiperpigmentasi dan eritematosa
Ukuran : plakat
Bentuk : tidak teratur
Batas : difus
Lokasi : regional
Penyebaran : solitar

3
IV. RESUME
 Ny. S, 79 tahun datang dengan keluhan krusta hiperpigmentasi dan terdapat
eritematosa di femoris anterior dextra sejak 2 minggu yang lalu.
 Krusta timbul setelah diberikan minyak tawon dan terdapat nyeri jika
disentuh. .
 Pada status dermatologikus regio femoris anterior dextra terdapat lesi krusta
hiperpigmentasi dan eritematosa
Ukuran : plakat
Bentuk : tidak teratur
Batas : difus
Lokasi : regional
Penyebaran : solitar

V. DIAGNOSIS

Diagnosis kerja
- Dermatitis Kontak Alergi e.c minyak tawon + Infeksi sekunder

Diagnosis Banding
- Dermatitis Kontak Iritan
- Dermatitis Atopi
VI. PEMERIKSAAN ANJURAN
- Uji tempel/patch test
4
VII. TATALAKSANA
Medikamentosa
a. Topikal
Kompres dengan NaCl 0,9%
b. Sistemik
- Prednisone 1 x 30 mg/hari
- Loratadin 1 x 10 mg/hari

Non medikamentosa

 Hindari kontak berulang dengan allergen penyebab

 Jangan menggaruk area yang gatal

VIII. PROGNOSIS
- Quo ad vitam : Bonam
- Quo ad sanationam : Bonam
- Quo ad fungtionam : Bonam

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. DEFINISI
Dermatitis Kontak Alergi (DKA) adalah dermatitis yang diperantarai reaksi
hipersensitivitas tipe 4, disebabkan oleh pajanan kulit dengan alergen di luar tubuh.1

II. EPIDEMIOLOGI
Bila dibandingkan dengan DKI, jumlah pasien DKA lebih sedikit, karena
hanya mengenai orang-orang dengan keadaan kulit hipersensitif. Diperkirakan jumlah
DKA maupun DKI makin bertambah seiring dengan bertambahnya jumlah produk
yang mengandung bahan kimia yang dipakai di masyarakat. Dahulu diperkirakan
kejadian DKI akibat kerja sebanyak 80% dan DKA 20% tetapi data baru di Inggris
dan Amerika Serikat menunjukkan bahwa dermatitis kontak alergi akibat kerja cukup
tinggi berkisar 50-60%. Sedangkan penelitian lainnya menemukan bahwa DKA bukan
akibat kerja 3x lebih sering dibandingkan dengan DKA akibat kerja.2

III. ETIOLOGI

Penyebab DKA ialah bahan kimia sederhana dengan berat molekul rendah (<1000
datlon), disebut sebagai hapten, bersifat lipofilik, sangat reaktif, dan dapat menembus
stratum korneum sehingga mencapai sel epidermis bagian dalam. Berbagai faktor
berpengaruh terhadap kejadian DKA, misalnya potensi sensitisasi allergen, dosis per

6
unit area, luas daerah yang terkena, lama pajanan, oklusi, suhu dan kelembaban
lingkungan, vehikulum dan pH. Juga faktor individu, misalnya keadaan kulit pada
lokasi kontak (keadaan stratum korenum, ketebalan epidermis), status imun (misalnya
sedang mengalami sakit, atau terpajan sinar matahari secara intens). 2 Faktor
predisposisi dermatitis kontak alergi meliputi beberapa faktor antara lain genetik, usia,
jenis kelamin, pekerjaan, dan penyakit penyerta lainnya seperti sebagai dermatitis
kontak iritan (ICD), atopik, dermatitis, dan urtikaria kronis. Namun, faktor utama
yang mempengaruhi terjadinya penyakit ini adalah paparan alergen itu sendiri. Jika
pasien tidak pernah terpapar alergen, penyakit tidak mungkin terjadi, bahkan jika
mereka memiliki faktor genetik. Jadi, paparan terhadap alergen yang dicurigai juga
penting untuk mengkonfirmasi diagnosis.4
 Metal (18% - 30%)
- Nikel
- Kobalt
- Chromium
 Bahan Pengawet
- Formaldehyde and Formaldehyde Releasers
- Nonreleasers of Formaldehyd
 Wewangian
Alergen wewangian ditemukan di banyak kosmetik, parfum, sediaan farmasi, pasta
gigi, dan obat kumur, serta dalam aroma dan perasa untuk makanan dan minuman.
Alergen wewangian dapat dimasukkan dalam produk perawatan kulit tanpa diberi
label sebagai wewangian jika tidak digunakan terutama sebagai wewangian tetapi
sebagai penetralisir aroma yang tidak diinginkan dalam barang dagangan.

 Antibiotik Topikal
- Neomisin
- Basitrasin
 Para-Phenyledediamine : cat rambut permanen
 Karet
 Steroid Topikal

IV. PATOGENESIS
Mekanisme terjadinya kelainan kulit pada DKA mengikuti respon imun yang
diperantarai oleh sel (cell-mediated immune respons) atau reaksi imunologik tipe IV,
7
atau reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Reaksi ini terjadi melalui 2 fase, yaitu fase
sensitisasi dan fase elisiasi. Hanya individu yang telah mengalami sensitisasi yang
mengalami DKA.
 Fase sensitisasi
Hapten yang masuk kedalam epidermis melewati stratum korneum akan
ditangkap oleh sel Langerhans dengan cara pinositosis. Dan diproses secara
kimiawi oleh enzim lisosom atau sitosol serta dikonjugasikan pada molekul HLA-
DR untuk menjadi antigen lengkap. Pada awalnya sel Langerhans dalam keadaan
istirahat dan hanya berfungsi sebagai makrofag dengan sedikit kemampuan
menstimulasi sel T. akan tetapi setelah keratinosist terpajan oleh hapten yang juga
mempunyai sifat iritan, keratinosit akan melepaskan sitokin (IL-1) yang akan
mengaktifkan sel Langerhans dan mmapu menstimulasi sel T. aktivasi tersebut
akan mengubah fenotipe sel Langerhans dan meningkatkan sekresi sitokin tertentu
misalnya (IL-1) serta ekspresi molekul permukaan sel termasuk MHC kelas I dan
II, ICAM-1, LF-3 dan B7. Sitokin proinflamasi lain yang dilepaskan oleh
keratinosit yaitu TNFα yang dapat mengaktifasi sel T, makrofag, dan granuloasit,
menginduksi perubahan molekul adesi sel dan pelepasan sitokin serta
meningkatkan MHC kelas I dan II. TNFα menekan produksi E-chaderin yang
mengikat sel Langerhans pada epidermis, juga menginduksi aktivasi gelatinosit
sehingga memperlancar sel Langerhans melewati membrane basalis bermigrasi ke
kelenjar getah bening setempat melalui saluran limfe. Didalam kelenjar limfe, sel
Langerhans mempresentasikan kompleks antigen HLA-DR kepada sel T penolong
spesifik, yaitu sel T yang mengekspresikan molekul CD4 yang dapat mengenali
HLA-DR yang dipresentasikan oleh sel Langerhans, dan kompleks reseptor sel-T-
CD3 yang mengenali antigen yang telah diproses. Sel Langerhans mensekresi IL-1
yang menstimulusi sel T untuk mensekresi IL-2 dan mengekspresi reseptor IL-2
(IL-2R). sitokin ini akan menstimulasi proliferasi dan diferensiasi sel T spesifik,
sehingga menjadi lebih banyak dan berubah menjadi sel T memori (Sel T
teraktivasi) yang akan meninggalkan kelenjar getah bening dan beredar keseluruh
tubuh. Pada saat individu telah tersensitisasi. fase ini berlangsung rata-rata selama
2-3 minggu. 2

 Fase elisitasi
8
Fase kedua (elisitasi) hipersensitivitas tipe lambat terjadi pada pajanan
ulang allergen (hapten) yang sama atau serupa (pada reaksisilang). Seperti pada
fase sensitisasi hapten akan ditangkap oleh sel Langerhans dan diproses secara
kimiawi menjadi antigen, diikat oleh HLA-DR kemudian diekspresikan
dipermukaan sel. Selanjutnya kompleks HLA-DR-antigen akan dipresentasikan
kepada sel-T yang telah tersensitisasi (sel T memori) baik dikulit mupun dikelenjar
limfe sehingga terjadi proses aktivasi. Dikulit proses aktivasi lebih kompleks
dengan hadir nya berbagai sel lain. Sel Langerhans mensekresi IL-1 yang
merangsang sel-T untuk memproduksi IL-2 dan mengekspresi IL-2R, yang akan
menyebabkan proliferasi dan ekspansi populasi sel-T dikulit. Sel-T teraktivasi juga
akan mengeluarkan IFN-γ yang akan mengaktifkan keratinosit untuk mnegekspresi
ICAM-1 memungkinkan keratinosit untuk berinteraksi dengan sel-T dan leukosit
lain yang mengekspresikan molekul LFA-1. Sedangkan HLA-DR memungkinkan
presentasi antigen kepada sel tersebut. Keratinosit menghasilkan juga sejumlah
sitokin antara lain IL-1, IL-6, TNF-α dan GMCSF, semuanya dapat mengaktifkan
sel mas dan makrofag. Sel mast yang berada didekat pembuluh darah dermis akan
melepaskan antara lain histamine, berbagai jenis faktor kemotaktik, PGE2 dan
PGD2, dan leukotriene B4 (LTB4). Eikosanoid baik yang berasal dari sel mas
(prostaglandin) maupun dari keratinosit atau leukosit akan menyebabkan dilatasi
vaksular dan meningkatkan permeabilitas sehingga molekul tersebut seperti
komplemen dan kinin mudah berdifusi kedalam dermis dna epidermis. selain itu,
faktor kemotaktik dan eikosanoid akan menarik neutrofil, monosit dan sel darah
lain dari dalam pembuluh darah masuk kedalam dermis. Rentetan kejadian tersebut
akan menimbulkan respons klinik DKA. Fase ini umumnya berlangsung antara 24-
48 jam.2
V. MANIFESTASI KLINIS

 Kriteria
9
- Riwayat terpajan dengan bahan alergen.

- Terjadi reaksi berupa dermatitis, setelah pajanan ulang dengan alergen


tersangka yang sama. Bila pajanan dihentikan maka lesi akan membaik.
- Gambaran klinisnya polimorfik, sangat bervariasi bergantung stadiumnya:
1) Akut: eritema, edema, dan vesikel.
2) Subakut: eritema, eksudatif (madidans), krusta.
3) Kronik: likenifikasi, fisura, skuama
- Lesi dapat juga non-eksematosa, misalnya: purpurik, likenoid, pigmented,
dan limfomatoid.

- Gejala subyektif berupa rasa gatal.

- Pada DKA lokalisata, lesi berbatas tegas dan berbentuk sesuai dengan
bahan penyebab.

- Pada DKA sistemik, lesi dapat tersebar luas/generalisata.

- Dapat berhubungan dengan pekerjaan/lingkungan pekerjaan


- Bila berhubungan dengan pekerjaan, memenuhi 4 dari 7 kriteria Mathias
yaitu:
o Manifestasi klinis sesuai dengan dermatitis kontak
o Pada lingkungan kerja terdapat bahan yang dicurigai dapat menjadi
iritan atau alergen
o Distribusi anatomi sesuai dengan area terpajan
o Terdapat hubungan temporal antara waktu terpajan dan timbulnya
manifestasi klinis
o Penyebab lain telah disingkirkan
o Kelainan kulit membaik pada saat tidak bekerja/libur/cuti
o Tes tempel atau tes provokasi dapat mengidentifikasi penyebab.3

 Predileksi1

10
VI. DIAGNOSIS
Setiap pasien yang datang dengan gejala dermatitis harus dianggap mungkin
menderita DKA. Selain itu, seseorang harus mempertimbangkan alergi kontak pada
pasien dengan jenis dermatitis lain (misalnya, atopik) yang persisten meskipun terapi
standar yang tepat, serta pada pasien dengan eritroderma. Dijelaskan oleh Marks dan
DeLeo:

 DKA tidak selalu bilateral meskipun pajanan antigen bilateral (misalnya alergi
sepatu atau sarung tangan).
 Bahkan ketika paparan alergen seragam (misalnya, alergi kontak terhadap bahan
krim yang dioleskan ke seluruh wajah), manifestasi eksim sangat sering tidak
merata.
 DKA dapat dan memang mempengaruhi telapak tangan dan telapak kaki.
Langkah pertama dalam diagnosis DKA adalah anamnesis riwayat paparan medis dan
agen. Anamnesis harus dimulai dengan diskusi tentang penyakit saat ini, dengan fokus pada
tempat, onset dan agen topikal yang digunakan untuk mengatasi masalah tersebut (termasuk
obat bebas dan resep). Riwayat penyakit kulit, atopi, dan kesehatan umum harus diselidiki
secara rutin dan diikuti dengan rincian penggunaan produk perawatan pribadi (sabun, sampo,
conditioner, deodoran, lotion, krim, obat-obatan, produk penataan rambut, dll.) dan investigasi
kegemaran atau hobi pasien. Pekerjaan pasien harus dipastikan juga, dan jika tampak
berkontribusi, atau ada potensi pajanan alergi, maka riwayat pekerjaan yang menyeluruh harus
dicermati. Pekerjaan yang membutuhkan sering mencuci tangan, penggunaan sarung tangan,
atau paparan bahan kimia harus menjadi tersangka utama. Pemeriksaan fisis sangat penting
karena dengan melihat lokasi dan pola kelainan kulit sering kali dapat diketahui penyebabnya.

11
Peemriksaan hendaknya dilakukan di tempat yang cukup terang, pada seluruh permukaan kulit
untuk melihat kemungkinan kelainan kulit lain ini karena sebab endogen. 1

Salah satu tes yang digunakan untuk mengkonfirmasi diagnosis adalah uji tempel.
Tes dilakukan oleh melampirkan chamber/patch yang telah diberikan zat tersebut ke
kulit pasien yang dicurigai. Hasil positif dari tes untuk setidaknya satu alergen
mengkonfirmasi diagnosis.4

VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG


 Uji tempel (patch test)
Tempat melakukan uji tempel biasanya di punggung. Untuk melakukan uji
tempel diperlukan antigen, biasanya antigen standar, misalnya Allergen Patch Test
Kit dan T.R.U.E test, keduanya buatan Amerika Serikat. Adakalanya tes dilakukan
dengan antigen bukan standar, dapat berupa bahan kimia murni atau lebih sering
bahan campuran yang berasal dari rumah, atau lingkungan kerja. Mungkin ada
bahan yang sebagian bersifat iritan kuat, walaupun jarang memberikan efek iritan
secara sistemik. Apabila bahan tidak standart maka harus dilakukan dengan
pengenceran. Bahan yang dipakai secara rutin, misalnya kosmetik, pelembap, bila
dipakai untuk uji tempel dapat langsung digunakan. Sebagai bahan pengencer dapat
digunakan vaselin dan minyak mineral. Apabila benda padat, misalnya pakaian,
sepatu, atau sarung tangan yang dicurigai menjadi penyebab alergi, maka uji
tempel dilakukna dengan potongan kecil bahan tersebut. Hasil positif dengan
alergen bukan standar, perlu dilakukan dengan kontrol (5-10 orang) untuk
menyingkirkan kemungkinan iritan. 2
12
Berbagai hal yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan uji tempel:
- Dermatitis yang harus sudah tenang (Sembuh). Bila masih dalam keadaan akut
atau berat dapat terjadi reaksi positif palsu, dapat juga menyebabkan yang
sedang dialami semakin buruk.
- Tes dilakukan sekurang-kurangnya satu minggu setelah pemakaian
kortikosteroid sistemik dihentikan, sebab dapat memberikan reaksi positif
palsu. Pemberian kortikosteroid topikal di punggung harus di hentikan
sekurang-kurangnya 1 minggu sebelum tes dilaksanakan. Luka bakar sinar
matahari (sun burn) yang terjadi 1-2 minggu sebelum tes dilakukan juga dapat
memberikan hasil negatif palsu. Sedangkan antihistamin sistemik tidak
mempengaruhi hasil tes, kecuali diduga karen aurtikaria kontak.
- Uji tempel dibuka setelah 48 jam (2 hari penempelan), kemudian dibaca.
Pembacaan kedua dilakukan pada hari ke 3 sampai ke 7.
- Pasien dilarang melakukan aktivitas yang menyebabkan uji tempel menjadi
longgar atau terlepas karena dapat memberikan hasil positif palsu. Pasien juga
dilarang mandi sekurang-kurangnya dalam waktu 48 jam dan menjaga agar
punggung selalu kering sampai pembacaan terakhir selesai.
Setelah 48 jam, uji tempel dilepas. Pembaaan pertama dilakukan 15-30
menit setelah dilepas, agar efek tekanan menghilang atau minimal. Hasilnya
kemudian dicatat sebagai berikut:2
+1: reaksi lemah (non-vaskular); eritema, infiltrate, papul (+)
+2: reaksi kuat: edema, atau vesikel (++)
+3: reaksi sangat kuat (ekstrim): bula/ulkus (+++)
±: meragukan
IR: iritan: seperti terbakar, pustul, atau purpura (IR)
- : reaksi negative (-)
NT: tidak dites (NT= not tested)

Pembacaan kedua dilakukan pada 72 jam setelah aplikasi. Pembacaan kedua


ini penting untuk membantu membedakan antara respon alergik atau iritan. Hasil
positif lambat dapat terjadi setelah 96 jam bahkan sampai 1 minggu setelah aplikasi.
Respons alergik biasanya menjadi lebih jelas antara pembacaan kesatu dan kedua,

13
(reaksi tipe crescendo) sedangkan respon iritan cenderung menurun (reaksi tipe
decrescendo). 2
Bila ditemukan respons positif terhadap suatu alergen, perlu ditentukan
relevansinya dengan keadaan klinik, riwayat penyakit, dan sumber antigen di
lingkungan pasien . Mungkin respons positif tersebut berhubungan denga penyakit
yang sekarang atau penyakit masa lalu yang pernah dialami. Positif palsu dapat terjadi
antara lain bila konsentrasi terlalu tinggi, atau bahan tersebut bersifat iritan bila dalam
keadaan tertutup (oklusi). Efek pinggir uji tempel (edge effect), umumnya karena
iritasi, secara klinis tampak bagian tepi menunjukkan reaksi lebih kuat, sedang
dibagian tengah reaksi ringan atau sama sekali tidak ada kelainan. lni disebabkan
karena meningkatnya konsentrasi iritasi cairan di bagian pinggir. Sebab lain oleh
karena efek tekanan, dapat terjadi bila uji tempel dilakukan dengan menggunakan
bahan padat. Reaksi negatif palsu dapat terjadi misalnya apabila konsentrasi yang
digunakan terlalu rendah, vehikulum tidak tepat, bahan uji tempel tidak melekat
dengan baik , atau menjadi longgar akibat pergerakan, kurang cukup waktu
penghentian pemakaian kortikosteroid sistemik atau pemakaian kortikosteroid topikal
berpotensi kuat dalam jangka waktu lama pada daerah yang akan dilakukan uji
tempel.2

 Komplikasi Uji Tempel


Uji tempel dianggap sebagai prosedur diagnostik yang aman dan efek yang
tidak diinginkan jarang ditemui. Efek samping yang paling umum diharapkan,
seperti gatal di tempat reaksi tes positif, dan iritasi atau pruritus dari aplikasi
plester. Efek yang kurang umum dijelaskan termasuk perubahan pigmentasi pasca
inflamasi, infeksi, jaringan parut, reaksi uji tempel persisten, dan, jarang,
14
anafilaksis. Hipopigmentasi pasca inflamasi atau hiperpigmentasi dapat terjadi,
dengan hiperpigmentasi lebih mungkin terjadi pada orang yang berpigmen gelap,
biasanya memudar seiring waktu dan penggunaan kortikosteroid topikal. Paparan
sinar matahari atau sinar ultraviolet buatan segera setelah pelepasan uji tempel,
terutama pada bahan pewangi, dapat menyebabkan hiperpigmentasi pada situs uji
tempel dalam kaitannya dengan fotosensitifitas terkait alergen. Infeksi biasanya
terjadi impetiginisasi ringan dari situs uji tempel dengan Staphylococcus aureus,
meskipun infeksi lain dapat terjadi.1
Jaringan parut kemungkinan besar terjadi ketika pasien mengalami reaksi
bulosa. Reaksi uji tempel yang bertahan lebih dari 1 bulan (>30 hari) dianggap
sebagai reaksi uji tempel yang persisten; ini paling sering terjadi dari garam emas
pada pasien yang peka terhadap emas. Juga, reaksi uji tempel positif pada pasien
yang memiliki psoriasis aktif atau lichen planus dapat mereproduksi penyakit kulit
ini di lokasi uji tempel (sebagai fenomena Koebner), selama minggu-minggu
setelah pengujian tempel. Anafilaksis adalah efek samping yang sangat jarang dari
uji tempel yang dapat terjadi dengan alergen yang diketahui menyebabkan reaksi
hipersensitivitas tipe I (segera), seperti basitrasin, neomisin, amonium persulfat
(paling sering dilaporkan), lateks, formaldehida, dan penisilin.1

VIII. TATALAKSANA
Yang perlu diperhatikan adalah upaya pencegahan pajanan ulang dengan
alergen penyebab. Umumnya kelainan kulit akan mereda dalam beberapa hari.
Kortikosteroid dapat diberikan dalam jangka pendek untuk mengatasi DKA akut yang
ditandai dengan eritema, edema, vesikel atau bula serta eksudatif (madidans), misalnya
prednisone 30 mg/hari jangka pendek (3 hari).2 Pada kasus yang berat dan kronis, atau
tidak respons dengan steroid bisa diberikan inhibitor kalsineurin atau fototerapi BB/NB
UVB, atau obat imunosupresif sistemik misalnya azatioprin atau siklosporin. Bila ada
superinfeksi oleh bakteri: antibiotika topikal/sistemik.3
 Topikal:
Pelembab setelah bekerja. disarankan pelembab yang kaya kandungan lipid
misalnya vaselin (petrolatum). Sesuai dengan gambaran klinis.

15
- Basah (madidans): beri kompres terbuka (2-3 lapis kain kasa) dengan larutan
NaCl 0,9%

- Kering: beri krim kortikosteroid potensi sedang sampai tinggi, misalnya


mometason furoat, flutikason propionat, klobetasol butirat.

- Bila dermatitis berjalan kronis dapat diberikan klobetasol propionate interiten.3

 Sistemik:

- Jika pengobatan topikal tidak mencukupi, obat sistemik diperlukan.


Kortikosteroid sistemik memiliki efek yang diketahui pada uji tempel.
Pemberian prednison oral dalam dosis lebih dari 20 mg dapat mencegah reaksi
alergi, menghasilkan negatif palsu.

- Imunosupresan hemat kortikosteroid seperti azathioprine, methotrexate,


cyclosporin, dan mycophenolate mofetil adalah pilihan lini kedua lainnya.

- Retinoid juga efektif untuk eksim tangan kronis dari berbagai etiologi.
Alitretinoin, yang memberikan efek imunomodulasi dan anti-inflamasi, telah
terbukti aman dan efektif untuk eksim tangan kronis yang resisten terhadap
pengobatan topikal. Acitretin juga efektif untuk eksim tangan hiperkeratotik.5

 Edukasi:

- Edukasi mengenai prognosis, informasi mengenai penyakit, serta perjalanan


penyakit yang akan lama walaupun dalam terapi dan sudah modifikasi
lingkungan pekerjaan, perawatan kulit.

- Edukasi mengenai penggunaan alat pelindung diri yang sesuai dengan jenis
pekerjaan, bila dermatitis berhubungan dengan kerja.

- Edukasi mengenai perawatan kulit sehari-hari dan penghindaran terhadap


alergen berdasarkan hasil uji tempel.3

16
IX. KOMPLIKASI

- Infeksi sekunder (penatalaksanaan sesuai dengan lesi, pemilihan jenis antibiotik


sesuai kebijakan masing-masing rumah sakit).

- Hipopigmentasi maupun hiperpigmentasi paska inflamasi.3

X. PROGNOSIS
Umumnya prognosis baik sejauh dapat menghindari bahan penyebab.
Prognosis kurang baik dan menjadi kronis jika bersamaan dengan dermatitis oleh
faktor endogen (dermatitis atopik, dermatitis numularis, atau psoriasis) atau sulit
menghindari alergen penyebab, misalnya berhubungan dengan pekerjaan tertentu atau
yang terdapat dilingkungan pasien.2 Meskipun begitu, Holness dkk menemukan bahwa
rasa sakit, gatal, malu, gangguan kerja, dan kesulitan tidur adalah efek paling
signifikan dalam kualitas hidup populasi uji tempel mereka. Demikian pula, Woo dkk
melaporkan bahwa pasien dengan diagnosis akhir DKA memiliki rata-rata kualitas
hidup dasar yang sama dengan pasien yang mengalami kerontokan rambut dan
psoriasis.1

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Turrentine JE, Sheehan MP, Cruz PD. Allergic Contact Dermatitis. In : Kang S, Amaga
IM, Bruckner AL, Enk AH, Margolis DJ, McMichael AJ, Orringer JS. Fitzpatrick’s
Dermatology. 9 th ed. New York : McGraw Hill Companies; 2019. p.395-413
2. Sularsito SA, Soebaryo RW. Dermatitis Kontak. In : Menaldi SLSW, Bramono K,
Indriatmi W, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 7 th ed. Jakarta: Badan Penerbit
FKUI; 2016. p.161-65
3. Widaty S, Soebano H, Nilasari H, Listiawan MY, Siswati AS, Triwahyudi D, dkk.
Dermatitis Kontak Alergi. Dalam Panduan Praktis Klinis Bagi Dokter Spesialis Kulit dan
Kelamin di Indonesia. Jakarta: PERDOSKI.2017. p.202-4
4. Anggraini DM, Sutedja E, Acchadiyani. Etiology of Allergic Contact Dermatitis based on
Patch Test. Althea Medical Journal. 2017.4(4). p.541-5
5. Harlim A. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin “Penyakit Alergi Kulit”. FK
UKI. 2016. p.43-50

18

Anda mungkin juga menyukai