Anda di halaman 1dari 44

LAPORAN KASUS

LEPTOSPIROSIS

DISUSUN OLEH:
dr. Cynthia Devi Aristiana
dr. Ardea Ramadhanti Perdanakusuma

PENDAMPING:
dr. Satyaningtyas HT

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


RS PUSDIKKES TNI AD
2021
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUS

LEPTOSPIROSIS

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Program Internsip Dokter Indonesia Rumah Sakit
Pusdikkes TNI AD

Disusun oleh:

dr. Cynthia Devi Aristiana


dr. Ardea Ramadhanti Perdanakusuma

Pembimbing:

_________________________
dr. Satyaningtyas HT

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
limpahan rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini dengan
judul “Leptospirosis”. Laporan Kasus ini merupakan salah satu tugas dalam Program
Internsip Dokter Indonesia (PIDI).
Dalam menyelesaikan laporan kasus ini penulis mengucapkan rasa terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada dr.Satyaningtyas selaku dokter pendamping yang telah membantu
dalam proses pembuatan laporan kasus ini. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan
laporan kasus ini banyak terdapat kekurangan dan juga masih jauh dari kesempurnaan,
sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca.
Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi teman-teman dan semua pihak yang
berkepentingan bagi pengembangan ilmu kedokteran. Amin.

Jakarta, 13 Maret 2021

Penulis

iii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN.................................................................................................ii
KATA PENGANTAR.........................................................................................................iii
DAFTAR ISI......................................................................................................................iv
BAB I LAPORAN KASUS..................................................................................................1
1.1. IDENTITAS PASIEN......................................................................................................1
1.2. ANAMNESIS...................................................................................................................1
1.3. PEMERIKSAAN FISIK..................................................................................................2
1.4. HASIL PEMERIKSAAN PENUNJANG........................................................................4
1.5. RESUME..........................................................................................................................5
1.6. DIAGNOSIS KERJA.......................................................................................................5
1.7. DIAGNOSIS BANDING..................................................................................................5
1.8. PENATALAKSANAAN..................................................................................................5
1.9. PROGNOSIS...................................................................................................................6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................................7
2.1. DEFINISI.......................................................................................................................7
2.2. EPIDEMIOLOGI.............................................................................................................7
2.3. ETIOLOGI......................................................................................................................8
2.4. PENULARAN3,5..............................................................................................................9
2.5. PATOGENESIS2,3,4.........................................................................................................10
2.6. PATOLOGI1,7,9..............................................................................................................12
2.7. MANIFESTASI KLINIS3,4................................................................................................14
2.8 DIAGNOSIS..................................................................................................................20
2.9 DIAGNOSIS BANDING..................................................................................................25
2.10 KOMPLIKASI LEPTOSPIROSIS......................................................................................26
2.11 PENATALAKSANAAN..................................................................................................31
BAB III ANALISIS KASUS..............................................................................................37
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................38

iv
BAB I
LAPORAN KASUS

1.1. IDENTITAS PASIEN

1. Nama Pasien : Tn. A


2. Usia : 35 Tahun
3. Jenis Kelamin : Laki-laki
4. Alamat : Jakarta Timur
5. Tanggal Masuk: 24 Februari 2021

1.2. ANAMNESIS

Autoanamnesis
1. Keluhan Utama
Demam sejak 2 hari SMRS
2. Keluhan Tambahan
nyeri dan ngilu pada seluruh persendian badan, nyeri kepala, mual, muntah, BAB
cair,

3. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan demam tinggi dan mengiggil sejak 2 hari SMRS.
Demam dirasakan sepanjang hari. Terdapat nyeri sendi dan ngilu pada seluruh
badan sehingga badan terasa lemas. Pasien juga merasakan nyeri kepala, mual dan
muntah, muntah sebanyak 2 kali berisi makanan dan lendir berwarna kuning-
kecoklatan. BAB cair sejak kemarin sebanyak 3 x / hari, ampas (+), ampas (+),
lendir (-), darah (-). BAK normal tanpa keluhan. Tidak terdapat batuk, pilek, sesak
nafas, penurunan fungsi penghidu dan pengecap. Pasien juga mengaku tidak
terdapat mimisan, gusi berdarah atau BAK berwarna kemerahan.
Pasien mengaku rumahnya kebanjiran sejak 3 hari yang lalu. Pasien belum
berobat atau mengonsumsi obat apapun untuk mengatasi keluhannya.

1
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penyakit jantung (-), hepar (-), paru (-), stroke (-), hipertensi (-),
diabetes melitus (-), ginjal (-), alergi disangkal.

5. Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada anggota keluarga inti yang pernah mengalami keluhan yang sama
dengan pasien. Riwayat darah tinggi, penyakit jantung atau diabetes mellitus pada
keluarga tidak diketahui. Riwayat kontak erat dengan keluarga positif COVID-19
disangkal.

6. Riwayat Pengobatan
Pasien tidak mengonsumsi obat rutin

7. Riwayat Sosial dan Ekonomi


Pasien saat ini tinggal bersama dengan suami dan keluarga anaknya, pasien
bekerja sebagai pedagang di pasar. Pasien mengaku tidak merokok dan tidak
konsumsi alkohol.

1.3. PEMERIKSAAN FISIK


1. Pemeriksaan Umum
a. Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
b. Kesadaran : Kompos mentis
c. Tekanan Darah : 114/63 mmHg
d. Frekuensi Nadi : 98 x/menit
e. Frekuensi Napas : 20 x/menit
f. SpO2 : 99%
g. Suhu : 38,7

h. Berat Badan : 65 kg
i. Tinggi Badan : 172 cm
j. IMT : 26,04 kg/m2 (normal)

2
2. Status Generalis
a. Kepala : Normocephali; trauma -/- ; benjolan -/-
b. Mata : Konjungtiva anemis -/- ; konjungtiva suffusion +/+: sklera
ikterik minimal +/+ ;pupil bulat isokor dengan diameter
(3mm/3mm) ; refleks cahaya +/+, nyeri tekan retroorbital -/-
c. Telinga : Bentuk auricula normal +/+; liang telinga lapang +/+;
serumen -/-; sekret -/-.
d. Hidung : Bentuk normal; septum nasal di tengah; tidak ada sianosis;
tidak ada deviasi; edema konka -/-; mukosa tidak hiperemis;
sekret -/-.
e. Mulut : tidak ada sianosis; lidah tidak kotor; uvula ditengah; tonsil
T1–T1
f. Leher : Tidak teraba adanya pembesaran KGB, JVP normal
g. Toraks
1) Paru-paru
a. Inspeksi : Bentuk dada normal, pergerakan dinding dada simetris
kanan dan kiri, tidak terlihat massa, tidak terlihat jejas.
b. Palpasi : Fremitus kanan dan kiri simetris, tidak ada nyeri
tekan, tidak ada massa, tidak ada krepitasi.
c. Perkusi : Sonor/sonor
d. Auskultasi : Bunyi nafas dasar vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-
2) Jantung
a. Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
b. Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS 5 garis aksilla anterior
c. Auskultasi : Bunyi jantung I dan II regular, murmur (-), gallop (-

3)Abdomen

a. Inspeksi : Perut tampak datar, pelebaran vena (-).


b. Auskultasi : Bising usus (+) normal
c. Palpasi : Supel, hepar dan limpa tidak teraba, nyeri tekan (+) regio
epigastrium

3
d. Perkusi : Timpani, shifting dullness(-)

e. Kulit dan kelamin : rash (-), ptekie (-), kuning (-), pucat (-)

f. Ekstrimitas : Akral hangat, CRT <2 detik, edema pitting regio pedis -/-,
nyeri tekan m. gastrocnemius

1.4. HASIL PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Laboratorium (24/02/2020)

Nama Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan


Hematologi
 Hemoglobin 14,1 12-16 g/dl
 Leukosit 13.270 4500-10000 /ul
 Eritrosit 5,2 4,5-5,5 juta/mm3
 Trombosit 55.000 150.000-450.000 u/l
 Hematokrit 43 37-43 %
 Basofil 0 0-1 %
 Eosinofil 0 1-3 %
 Batang 3 2-5 %
 Segmen 78 50-70 %
 Limfosit 18 20-40 %
 Monosit 3 2-6 %
 NLR 3,85 <3,5

Imunologi
 S. Paratyhpi CH NEGATIF NEGATIF
 S. Paratyphi BH NEGATIF NEGATIF
 S. Typhi O NEGATIF NEGATIF
 S. Typhi H NEGATIF NEGATIF
 S. Paratyphi AH NEGATIF NEGATIF
 S. Paratyphi AO 1/60 NEGATIF
 S. Paratyphi BO NEGATIF NEGATIF
 S. Paratyphi CO NEGATIF NEGATIF

4
1.5. RESUME

Pasien dengan keluhan demam tinggi dan mengiggil sejak 2 hari SMRS.
Demam dirasakan sepanjang hari. Terdapat nyeri sendi dan ngilu pada seluruh
badan sehingga badan terasa lemas. Pasien juga merasakan nyeri kepala, mual dan
muntah, muntah sebanyak 2 kali berisi makanan dan lendir berwarna kuning-
kecoklatan. BAB cair sejak kemarin sebanyak 3 x / hari, ampas (+), ampas (+),
lendir (-), darah (-). BAK normal tanpa keluhan. Tidak terdapat batuk, pilek, sesak
nafas, penurunan fungsi penghidu dan pengecap, mimisan dan gusi berdarah.
Pasien mengaku rumahnya kebanjiran sejak 3 hari yang lalu. Pasien belum berobat
atau mengonsumsi obat apapun untuk mengatasi keluhannya.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 114/63, laju napas 20
x/menit suhu 38,7 dan SpO2 99%. Pada pemeriksaan status generalis ditemukan
konjungtiva suffusion +/+, nyeri tekan epigastrium dan nyeri tekan m.
gastrocnemius. Pada pemeriksaan penunjang, ditemukan leukositosis 13.270 u/l,
trombositopenia 55.000 u/l, dan Ratio NLR meningkat yaitu 3,85.

1.6. DIAGNOSIS KERJA


Leptospitosis

1.7. DIAGNOSIS BANDING


1. Demam Dengue
2. Chikungunya fever
3. Demam Tifoid
4. Covid

1.8. PENATALAKSANAAN
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
(pemeriksaan darah lengkap), pasien diedukasi dan disarankan untuk dirujuk ke RS
lain karena kamar rawat inap RS Pusdikkes TNI AD sedang penuh dan pasien
membutuhkan perawatan inap untuk observasi dan penatalaksaan penyakitnya.

5
1. Medikamentosa
Tata laksana IGD:
 IVFD RL 30 tpm 500 cc
 Injeksi Neurobion 1 ampul
 Injeksi Norages 1 ampul
 Inj. Ranitidin 1 ampul
 Inj. Ondansentrom 1 ampul
 Rujuk ke Rumah Sakit lain karena ruang rawat inap sedang full

1.9. PROGNOSIS
Ad Vitam : dubia ad bonam
Ad Fungsionam : dubia ad bonam
Ad Sanactionam : dubia ad bo

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI
Leptospirosis adalah penyakit infeksi akut yang dapat menyerang manusia maupun
hewan yang disebabkan kuman leptospira patogen dan digolongkan sebagai zoonosis. Penyakit
ini dikenal dengan berbagai nama seperti mud fever, slime fever, swamp fever, autumnal fever,
infektious jaundice, field fever, cane cutter fever, canicola fever, nanukayami fever, 7-day fever
dan lain-lain. 3

2.2. EPIDEMIOLOGI
Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang tersebar di seluruh dunia, disemua
benua kecuali Antartika, namun terbanyak didapati didaerah tropis. Penularan leptospirosis pada
manusia ditularkan oleh hewan yang terinfeksi kuman leptospira. Kuman leptospira mengenai
sedikitnya 160 spesies mamalia, seperti anjing, babi, lembu, kuda, kucing, marmut, dan
sebagainya. Binatang pengerat terutama tikus merupakan vektor yang paling banyak. Tikus
merupakan vektor utama dari L. icterohaemorrhagica penyebab leptospirosis pada manusia.
Dalam tubuh tikus kuman leptospira akan menetap dan membentuk koloni serta berkembang
biak di dalam epitel tubus ginjal tikus dan secara terus dikeluarkan melalui urin saat berkemih.

Penyakit ini bersifat musiman, didaerah beriklim sedang masa puncak insidens dijumpai
pada musim panas dan musim gugur karena temperatur adalah faktor yang mempengaruhi
kelangsungan hidup kuman leptospira, sedangkan didaerah tropis insidens tertinggi terjadi
selama musim hujan.
International Leptospirosis Society menyatakan Indonesia sebagai Negara dengan
insidens leptospirosis tinggi dan peringkat ketiga dunia untuk mortalitas.
Di Indonesia leptospirosis ditemukan di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI
Yogyakarta, Lampung, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Kalimantan Timur,
dan Kalimantan Barat. Pada Kejadian Banjir Besar Di Jakarta tahun 2002, dilaporkan lebih dari
100 kasus leptospirosis dengan 20 kematian. Epidemi leptospirosis dapat terjadi akibat terpapar
oleh genangan /luapan air (banjir) yang terkontaminasi oleh urin hewan yang terinfeksi.

7
2.3. ETIOLOGI
Leptospirosis disebabkan oleh genus leptospira, famili treponemataceae, suatu
mikroorganisme spirocheata. Secara sederhana, genus leptospira terdiri atas dua spesies yaitu
L.interrogans yang patogen dan L. biflexa yang hidup bebas (non patogen atau saprofit). Spesies
L.interrogans dibagi menjadi beberapa serogrup dan serogrup ini dibagi menjadi banyak serovar
menurut komposisi antigennya.
Saat ini telah ditemukan lebih dari 250 serovar yang tergabung dalam 23. Beberapa
serovar L.interrogans yang dapat menginfeksi manusia di antaranya adalah L.
Icterohaemorrhagiae, L.manhao L. Javanica, L. bufonis, L. copenhageni, dan lain-lain. Serovar
yang paling sering menginfeksi manusia ialah L. icterohaemorrhagiae dengan reservoir tikus, L.
canicola dengan reservoir anjing, L. pomona dengan reservoir sapi dan babi. 2,3
Menurut West Indian med. j. vol.54 no.1 Mona Jan. 2005. Serogrup leptospira yang sering menyebabkan
leptospirosis adalah:

Tabel 1. Serogrup leptospira24

8
Kuman leptospira bersifat aquatic micro-organism dan slow-growing anaerobes,
bentuknya berpilin seperti spiral, tipis, organisme yang dapat bergerak cepat dengan kait di
ujungnya dan 2 flagella periplasmik yang dapat menembus ke jaringan. Panjangnya 6-20 µm dan
lebar 0,1 µm ( lihat gambar 1). Kuman ini sangat halus tapi dapat dilihat dengan mikroskop
lapangan gelap dan pewarnaan perak. 3,4

Kuman leptospira dapat hidup di air tawar selama lebih kurang 1 bulan. Tetapi dalam air
laut, selokan dan air kemih yang tidak diencerkan akan cepat mati. Kuman leptospira hidup dan
berkembang biak di tubuh hewan. Semua hewan bisa terjangkiti. Paling banyak tikus dan hewan
pengerat lainnya, selain hewan ternak. Hewan piaraan, dan hewan liar pun dapat terjangkit. 2

Gambar 1. Leptospira

2.4. PENULARAN3,5
Penularan leptospirosis dapat secara langsung dan tidak langsung. Penularan langsung
dapat terjadi melalui darah, urin, atau cairan tubuh lain yang mengandung kuman leptospira
masuk ke dalam tubuh pejamu; dari hewan ke manusia merupakan penyakit akibat pekerjaan;
dan dari manusia ke manusia meskipun jarang Penularan tidak langsung terjadi melalui kontak
dengan genangan air, sungai, danau, selokan saluran air dan lumpur yang telah tercemar urin
binatang yang terinfeksi leptospira. Infeksi tersebut terjadi jika terdapat luka / erosi pada kulit
atau selaput lendir. Terpapar lama pada genangan air yang terkontaminasi terhadap kulit yang
utuh juga dapat menularkan leptospira.

Oleh karena leptospira diekskresi melalui urin dan dapat bertahan hidup berbulan-bulan ,
maka air memegang peranan penting sebagai alat transmisi.

9
Kelompok pekerjaan yang beresiko tinggi terinfeksi leptospirosis antara lain pekerja-
pekerja di sawah, pertanian, perkebunan, peternakan, pekerja tambang, tentara, pembersih
selokan, parit/saluran air, pekerja di perindustrian perikanan, atau mereka yang selalu kontak
dengan air seni binatang seperti dokter hewan, mantri hewan, penjagal hewan atau para pekerja
laboratorium.

2.5. PATOGENESIS2,3,4
Patogenesis leptospirosis belum dimengerti sepenuhnya. Kuman leptospira masuk
kedalam tubuh pejamu melalui luka iris atau luka abrasi pada kulit, konjungtiva atau mukosa
utuh yang melapisi mulut, faring, esofagus, bronkus, alveolus dan dapat masuk melalui inhalasi
droplet infeksius dan minum air yang terkontaminasi. Meski jarang, pernah dilaporkan penetrasi
kuman leptospira melalui kulit utuh yang lama terendam air saat banjir.
Infeksi melalui selaput lendir lambung, jarang terjadi, karena ada asam lambung yang
mematikan kuman leptospira. Kuman leptospira yang tidak firulen gagal bermultiplikasi dan
dimusnahkan oleh sistem kekebalan dari aliran darah setelah satu atau dua hari infeksi.
Organisme virulen mengalami multiplikasi di darah dan jaringan, dan kuman leptospira dapat
diisolasi dari darah dan cairan serebrospinal pada hari keempat sampai sepuluh perjalanan
penyakit.
Kuman leptospira merusak dinding pembuluh darah kecil, sehingga menimbulkan
vaskulitis disertai kebocoran dan ekstravasasi sel. Patogenesis kuman leptospira yang penting
adalah perlekatannya pada permukaan sel dan toksisitas selular. Lipopolysaccharide (LPS) pada
kuman leptospira mempunyai aktivitas endotoksin yang berbeda dengan endotoksin bakteri gram
(-) dan aktifitas lainnya yaitu stimulasi perlekatan netrofil pada sel endotel dan trombosit,
sehingga terjadi agregasi trombosit disertai trombositopenia.
Organ utama yang terinfeksi kuman leptospira adalah ginjal dan hati. Di dalam ginjal
kuman leptospira bermigrasi ke interstitium, tubulus ginjal dan lumen tubulus. Pada leptospirosis
berat, vaskulitis akan menghambat sirkulasi mikro dan meningkatkan permeabilitas kapiler,
sehingga menyebabkan kebocoran cairan dan hipovolemia. Hipovolemia akibat dehidrasi dan
perubahan permeabilitas kapiler salah satu penyebab gagal ginjal.

10
Ikterik disebabkan oleh kerusakan sel sel hati yang ringan, pelepasan bilirubin darah dari
jaringan yang mengalami hemolisis intravaskular, kolestasis intrahepatik sampai berkurangya
sekresi bilirubin.

Gambar 2. Penularan dan manifestasi leptosirosis20

Dapat juga leptospira masuk kedalam tubuh melalui kulit atau selaput lendir, memasuki
akiran darah dan berkembang, lalu menyebar secara luas ke jaringan tubuh. Kemudian terjadi
respon immunologi baik secara selular maupun humoral sehingga infeksi ini dapat ditekan dan
terbentuk antibody spesifik. Walaupun demikian beberapa organism ini masih bertahan pada
daerah yang terisolasi secara immunologi seperti di dalam ginjal dimana bagian mikro organism
akan mencapai convoluted tubulus. Bertahan disana dan dilepaskan melaliu urin. Leptospira
dapat dijumpai dalam urin sekitar 8 hari sampai beberapa minggu setelah infeksi dan sampai
berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun kemudian. Leptospira dapat dihilangkan dengan
fagositosis dan mekanisme humoral. Kuman ini dengan cepat lenyap dari darah setelah
terbentuknya agglutinin. Setelah fase leptospiremia 4-7 hari, mikro organism hanya dapat
ditemukan dalam jaringan ginjal dan okuler. Leptospiuria berlangsung 1-4 minggu.
Tiga mekanisme yang terlibat pada pathogenese leptospirosis : invasi bakteri langsung,
faktor inflamasi non spesifik, dan reaksi immunologi.

11
Masuk melalui luka di kulit, konjungtiva,
Selaput mukosa

Multiplikasi kuman dan menyebar melalui aliran darah

Kerusakan endotel pembuluh darah kecil :
ekstravasasi Sel dan perdarahan


Perubahan patologi di organ/jaringan
- Ginjal : nefritis interstitial sampai nekrosis tubulus, perdarahan.
- Hati : gambaran non spesifik sampai nekrosis sentrilobular disertai
hipertrofi dan hiperplasia sel Kupffer.
- Paru : inflamasi interstitial sampai perdarahan paru
- Otot lurik : nekrosis fokal
- Jantung : petekie, endokarditis akut, miokarditis toksik
- Mata : dilatasi pembuluh darah, uveitis, iritis, iridosiklitis.

2.6. PATOLOGI1,7,9
Dalam perjalanan pada fase leptospiremia, leptospira melepaskan toksin yang
menyebabkan terjadinya keadaan patologi bagi beberapa organ. Lesi yang muncul terjadi karena
kerusakan pada lapisan endotel kapiler. Pada leptospirosis terdapat perbadaan antaraderajat
gangguan fungsi organ dengan kerusakan secara histologik. Pada leptospirosis lesi histology
yang ringan ditemukan pada ginjal dan hati pasien dengan kelainan fungsional yang nyata dari
organ tersebut. Perbedaan ini menunjukan bahwa kerusakan bukan berasal dari struktur organ.
Lesi inflamasi menunjukan edema dan infiltrasi dari sel monosit, limfosit dan sel plasma. Pada
kasus yang berat terjadi kerusakan kapiler dengan perdarahan yang luas dan disfungsi
hepatoseluler dengan retensi bilier. Selain di ginjal, leptospira juga dapat bertahan pada otak dan
mata. Leptospira dapat masuk ke dalam cairan cerebrospinalis dalam fase spiremia. Hal ini

12
menyebabkan meningitis yang merupakan gangguan neurologi terbanyak yang terjadi sebagai
komplikasi leptospirosis. Organ-organ yang sering dikenai leptospira adalah ginjal, hati, otot
dan pembuluh darah.
Kelainan spesifik pada organ:
Ginjal: interstitial nefritis dengan infiltrasi sel mononuclear merupakan bentuk lesi pada
leptospirosis yang dapat terjadi tanpa gangguan fungsi ginjal. Gagal ginjal terjadi akibat nekrosis
tubular akut. Adanya peranan nefrotoksisn, reaksi immunologis, iskemia, gagal ginjal, hemolisis
dan invasi langsung mikro organism juga berperan menimbulkan kerusakan ginjal.
Hati: hati menunjukan nekrosis sentrilobuler fokal dengan infiltrasi sel limfosit fokal dan
proliferasi sel kupfer dengan kolestasis. Pada kasus-kasus yang diotopsi, sebagian ditemukan
leptospira dalam hepar. Biasanya organisme ini terdapat diantara sel-sel parenkim.
Jantung: epikardium, endokardium dan miokardium dapat terlibat. Kelainan miokardium dapat
fokal atau difus berupa interstitial edema dengan infiltrasi sel mononuclear dan plasma. Nekrosis
berhubungan dengan infiltrasi neutrofil. Dapat terjadi perdarahan fokal pada miokardium dan
endikarditis.
Otot rangka: Pada otot rangka, terjadi perubahan-perubahan berupa fokal nekrotis, vakuolisasi
dan kehilangan striata. Nyari otot yang terjadi pada leptospira disebabkan invasi langsung
leptospira. Dapat juga ditemukan antigen leptospira pada otot.
Pembuluh darah: Terjadi perubahan dalam pembuluh darah akibat terjadinya vaskulitis yang
akan menimbulkan perdarahan. Sering ditemukan perdarahan atau petechie pada mukosa,
permukaan serosa dan alat-alat viscera dan perdarahan bawah kulit.
Susunan saraf pusat: Leptospira muda masuk ke dalam cairan cerebrospinal (CSS) dan
dikaitkan dengan terjdinya meningitis. Meningitis terjadi sewaktu terbentuknya respon antibody,
tidak p-ada saat masuk CSS. Diduga terjadinya meningitis diperantarai oleh mekanisme
immunologis. Terjadi penebalan meningen dengan sedikit peningkatan sel mononuclear
arakhnoid. Meningitis yang terjadi adalah meningitis aseptic, biasanya paling sering disebabkan
oleh L. canicola.
Weil Disease. Weil disease adalah leptospirosis berat yang ditandai dengan ikterus, biasanya
disertai perdarahan, anemia, azotemia, gangguan kesadaran dan demam tipe kontinua. Penyakit
Weil ini biasanya terdapat pada 1-6% kasus dengan leptospirosis. Penyebab Weil disease adalah

13
serotype icterohaemorragica pernah juga dilaporkan oleh serotype copenhageni dan bataviae.
Gambaran klinis bervariasi berupa gangguan renal, hepatic atau disfungsi vascular.

2.7. MANIFESTASI KLINIS3,4


Masa inkubasi penyakit ini berkisar antara 2 – 26 hari, biasanya 7 - 13 hari dan rata-
rata 10 hari.
Gambaran klinis pada Leptospirosis:
Sering : demam, menggigil, sakit kepala, meningismus, anoreksia, mialgia, conjuctival
suffusion, mual, muntah, nyeri abdomen, ikterus, hepatomegali, ruam kulit, fotophobi
Jarang : pneumonitis, hemoptoe, delirium, perdarahan, diare, edema, splenomegali,
atralgia, gagal ginjal, peroferal neuritis, pancreatitis, parotitis, epididimytis, hematemesis,
asites, miokarditis

Leptospirosis mempunyai 2 fase penyakit yang khas ( bifasik ) yaitu fase


leptospiremia/septikemia dan fase imun.
 Fase Leptospiremia / fase septikemia (4-7 hari)
Fase leptospiremia adalah fase ditemukannya leptospira dalam darah dan css,
berlangsung secara tiba-tiba dengan gejala awal sakit kepala biasanya di frontal, rasa
sakit pada otot yang hebat terutama pada paha, betis dan pingang disertai nyeri tekan
pada otot tersebut. Mialgia dapat di ikuti dengan hiperestesi kulit, demam tinggi yang
disertai mengigil, juga didapati mual dengan atau tanpa muntah disertai mencret,
bahkan pada sekitar 25% kasus disertai penurunan kesadaran. Pada pemeriksaan
keadaan sakit berat, bradikardi relatif, dan ikterus (50%). Pada hari ke 3-4 dapat di
jumpai adanya conjungtivitis dan fotophobia. Pada kulit dapat dijumpai rash yang
berbentuk macular, makulopapular atau urtikaria. Kadang-kadang dijumpai
splenomegali, hepatomegali, serta limfadenopati. Fase ini berlangsung 4-7 hari. Jika
cepat di tangani pasien akan membaik, suhu akan kembali normal, penyembuhan
organ-organ yang terlibat dan fungsinya kembali normal 3-6 minggu setelah onset.
Pada keadaan sakit yang lebih berat demam turun setelah 7 hari diikuti oleh bebas
demam selama 1-3 hari, setelah itu terjadi demam kembali. Keadaan ini disebut fase
kedua atau fase imun.

14
 Fase Imun (minggu ke-2)
Fase ini disebut fase immune atau leptospiruric sebab antibodi dapat terdeteksi
dalam sirkulasi atau mikroorganisme dapat diisolasi dari urin, namun tidak dapat
ditemukan dalam darah atau cairan serebrospinalis. Fase ini muncul sebagai
konsekuensi dari respon imun tubuh terhadap infeksi dan berakhir dalam waktu 30 hari
atau lebih.
Gejala yang muncul lebih bervariasi dibandingkan dengan gejala pada fase
pertama. Berbagai gejala tersebut biasanya berlangsung selama beberapa hari, namun
ditemukan juga beberapa kasus dengan gejala penyakit bertahan sampai beberapa
minggu. Demam dan mialgia pada fase yang ke-2 ini tidak begitu menonjol seperti
pada fase pertama. Sekitar 77% pasien dilaporkan mengalami nyeri kepala hebat yang
nyaris tidak dapat dikonrol dengan preparat analgesik. Nyeri kepala ini seringkali
merupakan tanda awal dari meningitis.
Anicteric disesasemerupakan gejala klinik paling utama yang menandai fase imun
anicteric Gejala dan keluhan meningeal ditemukan pada sekitar 50 % pasien. Namun,
cairan cerebrospinalis yang pleiositosis ditemukan pada sebagian besar pasien. Gejala
meningeal umumnya menghilang dalam beberapa hari atau dapat pula menetap sampai
beberapa minggu. Meningitis aseptik ini lebih banyak dialami oleh kasus anak-anak
dibandingkan dengan kasus dewasa

Icteris disease merupakan keadaan di mana leptospira dapat diisolasi dari darah
selama 24-48 jam setelah warna kekuningan timbul. Gejala yang ditemukan adalah
nyeri perut disertai diare atau konstipasi ( ditemukan pada 30 % kasus ),
hepatosplenomegali,mual, muntah dan anoreksia. Uveitis ditemukan pada 2-10 %
kasus, dapat ditemukan pada fase awal atau fase lanjut dari penyakit. Gejala iritis,
iridosiklitis dan khorioretinitis ( komplikasi lambat yang dapat menetap selama
beberapa tahun ) dapat muncul pada minggu ketiga namun dapat pula muncul beberapa
bulan setelah awal penyakit.

Komplikasi mata yang paling sering ditemukan adalah hemoragia


subconjunctival, bahkan leptospira dapat ditemukan dalam cairan aquaeous. Keluhan

15
dan gejala gangguan ginjal seperti azotemia, piuria, hematuria, proteinuria dan oliguria
ditemukan pada 50 % kasus. Manifestasi paru ditemukan pada 20-70 % kasus. Selain
itu, limfadenopati, bercak kemerahan dan nyeri otot juga dapat ditemukan.
 Fase Penyembuhan / Fase reconvalesence (minggu ke 2-4)
Demam dan nyeri otot masih bisa dijumpai yang kemudian berangsur-angsur hilang.

1. Leptospirosis anikterik 1,10


- 90% dari seluruh kasus leptospirosis di masyarakat.
- Perjalanan penyakit leptospirosis anikterik maupun ikterik umumnya bifasik
karena mempunyai 2 fase, yaitu : 3
a. Fase leptospiremia/fase septikemia
- Organisme bakteri dapat diisolasi dari kultur darah, cairan serebrospinal dan
sebagian besar jaringan tubuh.
- Selama fase ini terjadi sekitar 4-7 hari, penderita mengalami gejala nonspesifik
seperti flu dengan beberapa variasinya.
- Karakteristik manifestasi klinis : demam, menggigil kedinginan, lemah dan nyeri
terutama tulang rusuk, punggung dan perut.
- Gejala lain : sakit tenggorokan, batuk, nyeri dada, muntah darah, ruam, sakit
kepala regio frontal, fotofobia, gangguan mental, dan gejala lain dari meningitis.

b. Fase imun atau leptospirurik


- sirkulasi antibodi dapat dideteksi dengan isolasi kuman dari urine dan mungkin
tidak dapat didapatkan lagi pada darah atau cairan serebrospinalis.
- Fase ini terjadi karena akibat respon pertahanan tubuh terhadap infeksi dan
terjadi pada 0-30 hari atau lebih.
- Gangguan dapat timbul tergantung manifestasi pada organ tubuh yang timbul
seperti gangguan pada selaput otak, hati, mata atau ginjal.3

- Manifestasi klinik terpenting leptospirosis anikterik : meningitis aseptik yang


tidak spesifik sehingga sering tidak terdiagnosis.

16
- Pasien leptospirosis anikterik jarang diberi obat, karena keluhannya ringan, gejala
klinik akan hilang dalam kurun waktu 2 sampai 3 minggu.
- Merupakan penyebab utama fever of unknown origin di beberapa negara Asia
seperti Thailand dan Malaysia.
- Adanya conjunctival suffusion dan nyeri tekan di daerah betis, limfadenopati,
splenomegali, hepatomegali dan ruam makulopapular dapat ditemukan meskipun
jarang.
- Kelainan mata berupa uveitis dan iridosiklitis dapat dijumpai pada pasien
leptospirosis anikterik maupun ikterik.

2. Leptospirosis ikterik 1,10


- Demam dapat persisten dan fase imun menjadi tidak jelas atau nampak tumpang
tindih dengan fase septikemia.
- Keberadaan fase imun dipengaruhi oleh jenis serovar dan jumlah kuman
leptospira yang menginfeksi, status imunologi, status gizi pasien dan kecepatan
memperoleh terapi yang tepat.
- Pasien tidak mengalami kerusakan hepatoselular, bilirubin meningkat, kadar
enzim transaminase serum hanya sedikit meningkat, fungsi hati kembali normal
setelah pasien sembuh.
- Leptospirosis sering menyebabkan gagal ginjal akut, ikterik dan manifestasi
perdarahan, yang merupakan gambaran klinik khas penyakit Weil.
- Azotemia, oliguria atau anuria umumnya terjadi dalam minggu kedua tetapi dapat
ditemukan pada hari ketiga perjalanan penyakit.
- Pada leptospirosis berat, abnormalitas pencitraan paru sering dijumpai meskipun
pada pemeriksaan fisik belum ditemukan kelainan.
- Pencitraan yang paling sering ditemukan adalah patchy alveolar pattern yang
berhubungan dengan perdarahan alveoli yang menyebar sampai efusi pleura.
Kelainan pencitraan paru umumnya ditemukan pada lobus perifer paru bagian
bawah.

17
- Komplikasi berat seperti miokarditis hemoragik, kegagalan fungsi beberapa
organ, perdarahan masif dan Adult Respiratory Distress Syndromes (ARDS)
merupakan penyebab utama kematian yang hampir semuanya terjadi pada pasien-
pasien dengan leptospirosis ikterik.
- Penyebab kematian leptospirosis berat : koma uremia, syok septikemia, gagal
kardiorespirasi dan syok hemoragik.
- Faktor-faktor prognostik yang berhubungan dengan kematian pada pasien
leptospirosis hádala oliguria terutama oliguria renal, hiperkalemia, hipotensi,
ronkhi basah paru, sesak nafas, leukositosis (leukosit > 12.900/mm 3), kelainan
Elektrokardiografi (EKG) menunjukkan repolarisasi, infiltrat pada foto pencitraan
paru.
- Kelainan paru pada leptospirosis berkisar antara 20-70% pada umumnya ringan
berupa batuk, nyeri dada, hemoptisis, meskipun dapat juga terjadi Adult
Respiratory Distress Síndromes (ARDS) dan fatal.
- Manifestasi klinik sistem kardiovaskular pada leptospirosis dapat berupa
miokarditis, gagal jantung kongestif, gangguan irama jantung.

Tabel 2: Perbedaan gambaran klinik leptospirosis anikterik dan ikterik :

Sindroma, Fase Gambaran klinik Spesimen laboratorium


Leptospirosis anikterik *
Fase leptospiremia (3-7 Demam tinggi, nyeri kepala, Darah, cairan
hari) mialgia, nyeri perut, mual, serebrospinal
muntah, conjunctival
suffusion.
Fase imun (3-30 hari) Demam ringan, nyeri kepala, urin
muntah, meningitis aseptik
Leptospirosis ikterik
Fase leptospiremia dan Demam, nyeri kepala, Darah, cairan
fase imun (sering menjadi mialgia, ikterik, gagal ginjal, serebrospinal (minggu I)
satu atau tumpang tindih) hipotensi, manifestasi Urin (minggu II)
perdarahan, pneumonitis

18
hemoragik, leukositosis.
* antara fase leptospiremia dengan fase imun terdapat periode asimtomatik (1-3 hari)

Tabel 3. Patofisiologi leptospirosis25

2.8 DIAGNOSIS
I. ANAMNESIS1,8,9
Pada anamnesis identitas pasien, keluhan yang dirasakan dan data epidemiologis
penderita harus jelas karena berhubungan dengan lingkungan pasien. Identitas pasien
ditanyakan : nama, umur, jenis kelamin, tempat tinggal, jenis pekerjaan, dan jangan lupa

19
menanyakan hewan peliharaan maupun hewan liar di lingkungannya, karena berhubungan
dengan leptospirosis.
Biasa yang mudah terjangkit pada usia produktif, karena kelompok ini lebih banyak aktif
di lapangan. Tempat tinggal; dari alamat dapat diketahui apakah tempat tinggal termasuk
wilayah padat penduduk, banyak pejamu reservoar, lingkungan yang sering tergenang air
maupun lingkungan kumuh.
Kemungkinan infeksi leptospirosis cukup besar pada musim pengujan lebih-lebih dengan
adanya banjir. Keluhan-keluhan khas yang dapat ditemukan, yaitu : demam mendadak,
keadaan umum lemah tidak berdaya, mual, muntah, nafsu makan menurun dan merasa mata
makin lama bertambah kuning dan sakit otot hebat terutama daerah betis dan paha.

II. PEMERIKSAAN FISIK1,8,9


- Gejala klinik menonjol : ikterik, demam, mialgia, nyeri sendi serta conjungtival
suffusion.
- Gejala klinik yang paling sering ditemukan : conjungtival suffusion dan mialgia.
- Conjungtival suffusion bermanifestasi bilateral di palpebra pada hari ke-3
selambatnya hari ke-7 terasa sakit dan sering disertai perdarahan konjungtiva
unilateral ataupun bilateral yang disertai fotofobia dan injeksi faring, faring
terlihat merah dan bercak-bercak.
- Mialgia dapat sangat hebat, pemijatan otot betis akan menimbulkan nyeri hebat
dan hiperestesi kulit.
- Kelainan fisik lain : hepatomegali, splenomegali, kaku kuduk, rangsang
meningeal, hipotensi, ronkhi paru dan adanya diatesis hemoragik.
- Perdarahan sering ditemukan pada leptospirosis ikterik dan manifestasi dapat
terlihat sebagai petekiae, purpura, perdarahan konjungtiva dan ruam kulit.
- Ruam kulit dapat berwujud eritema, makula, makulopapula ataupun urtikaria
generalisata maupun setempat pada badan, tulang kering atau tempat lain.

20
Gambar 3. Conjungtiva suffision dan ikterik pada sklera23

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG1


1. Pemeriksaan laboratorium umum
a. Pemeriksaan darah
- Pemeriksaan darah rutin : leukositosis normal atau menurun.
- Hitung jenis leukosit : peningkatan netrofil.
- Trombositopenia ringan.
- LED meningkat.
- Pada kasus berat ditemui anemia hipokrom mikrositik akibat perdarahan yang biasa
terjadi pada stadium lanjut perjalanan penyakit.
b. Pemeriksaan fungsi hati
- Jika tidak ada gejala ikterik  fungsi hati normal.
- Gangguan fungsi hati : SGOT, SGPT dapat meningkat.
- Kerusakan jaringan otot  kreatinin fosfokinase meningkat 
peningkatan terjadi pada fase-fase awal perjalanan penyakit, rata-rata
mencapai 5 kali nilai normal.

2. Pemeriksaan laboratorium khusus9,10,11


Pemeriksaan Laboratorium diperlukan untuk memastikan diagnosa leptospirosis,
terdiri dari pemeriksaan secara langsung untuk mendeteksi keberadaan kuman leptospira atau
antigennya (kultur, mikroskopik, inokulasi hewan, immunostaining, reaksi polimerase berantai),
dan pemeriksaan secara tidak langsung melalui pemeriksaan antibodi terhadap kuman leptospira
(MAT, ELISA, tes penyaring).

21
Pemeriksaan yang spesifik adalah pemeriksaan bakteriologis dan serologis. Pemeriksaan
bakteriologis dilakukan dengan bahan biakan/kultur leptospira dengan medium kultur Stuart,
Fletcher, dan Korthof. Diagnosa pasti dapat ditegakkan jika dalam waktu 2-4 minggu terdapat
leptospira dalam kultur.

Gold standard pemeriksaan serologi adalah MAT (Mikroskopik Aglutination Test),


suatu pemeriksaan aglutinasi secara mikroskopik untuk mendeteksi titer antibodi aglutinasi dan
dapat mengidentifikasi jenis serovar. Pemeriksaan serologis ini dilakukan pada fase ke-2 (hari
ke 6-12). Dugaan diagnosis leptospirosis didapatkan jika titer antibodi > 1:100 dengan gejala
klinis yang mendukung.

Ig M ELISA merupakan tes yang berguna untuk mendiagnosis secara dini, tes akan
positif pada hari ke-2 sakit ketika manifestasi klinis mungkin tidak khas. Tes ini sangat sensitif
dan efektif (93%). Tes penyaring yang sering dilakukan di Indonesia adalah Lepto Dipstik asay,
Lepto Tek Dri Dot dan LeptoTek Lateral Flow.

Komplikasi di hati ditandai dengan peninggian transaminase dan bilirubin. Pada 50%
kasus didapat peninggian Creatinin Fosfokinase (CPK) pada fase awal sampai mencapai 5x
normal. Hal ini tidak terjadi pada hepatitis viral. Jadi jika terdapat peninggian transaminase dan
CPK, maka diagnosis leptospirosis lebih mungkin daripada hepatitis viral.

Pada pemeriksaan urine didapatkan perubahan sedimen urine (leukosituria, eritrosit


meningkat dan adanya torak hialin atau granuler). Pada leptospirosis ringan bisa terdapat
proteinuria dan pada leptospirosis berat dapat terjadi azotemia.

Pemeriksaan langsung darah atau urine dengan mikroskop lapangan gelap sering gagal
dan menyebabkan misdiagnosis, sehingga lebih baik tidak digunakan. Pada Leptospirosis yang
sudah mengenai otak, maka pemeriksaan CSS didapatkan peningkatan sel-sel PMN ( pada awal )
tapi kemudian digantikan oleh sel-sel monosit, protein pada CSS normal atau meningkat,
sedangkan glukosanya normal.

22
IV. KRITERIA DIAGNOSIS2,3
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis berupa riwayat pekerjaan pasien, apakah
termasuk kelompok orang dengan resiko tinggi seperti pekerja-pekerja di sawah, pertanian,
perkebunan, peternakan, pekerja tambang, tentara, pembersih selokan, dan gejala klinis berupa
demam yang muncul mendadak, nyeri kepala terutama dibagian frontal, nyeri otot, mata merah /
fotophobia, mual atau muntah, dan lain-lain. Pada pemeriksaan fisik ditemukan demam,
bradikardi, nyeri tekan otot , hepatomegali dan lain-lain. Pada pemeriksaan laboratorium darah
rutin didapat leukositosis, normal, atau sedikit menurun disertai gambaran neutrofilia dan LED
yang meninggi. Pada urin dijumpai proteinuria, leukositouria, dan sdimen sel torak. Bila terdapat
hepatomegali maka bilirubin darah dan transaminase meningkat. BUN, ureum, dan kreatinin bisa
meningkat bila terdapat komplikasi pada ginjal. Diagnosa pasti dengan isolasi leptospira dari
cairan tubuh dan serologis.

Diagnosis leptospirosis dapat ditegakkan atas dasar pemeriksaan klinis dan laboratorium.
dapat dibagi dalam 3 klasifikasi, yaitu :
 Suspek
 bila ada gejala klinis tapi tanpa dukungan tes laboratorium.
 Probable
 bila gejala klinis sesuai leptospirosis dan hasil tes serologi penyaring yaitu
dipstick, lateral flow, atau dri dot positif.
 Definitif
 bila hasil pemeriksaan laboratorium secara langsung positif, atau gejala klinis
sesuai dengan leptospirosis dan hasil MAT / ELISA serial menunjukkan adanya
serokonversi atau peningkatan titer 4 kali atau lebih

23
Table 4 : Approach to diagnosis of leptospirosis13

24
2.9 DIAGNOSIS BANDING

25
Leptospirosis anikterik dapat di diagnosis banding dengan influenza, demam berdarah
dengue, malaria, pielonefritis, meningitis aseptik viral, keracunan makanan/bahan kimia, demam
tifoid, demam enterik.
Leptospirosis ikterik dapat di diagnosis banding dengan malaria falcifarum berat,
hepatitis virus, demam tifoid dengan komplikasi berat, haemorrhagic fevers with renal failure,
demam berdarah virus lain dengan komplikasi.

Tabel 6. Diagnosis banding leptospirosis21

2.10 KOMPLIKASI LEPTOSPIROSIS


26
I. Gagal Ginjal Akut14,15,16

Keterlibatan ginjal pada gagal ginjal akut sangat bervariasi dari insufisiensi ginjal ringan
sampai gagal ginjal akut (GGA) yang fatal. Gagal ginjal akut pada leptospirosis disebut sindroma
pseudohepatorenal. Selama periode demam ditemukan albuminuria, piuria, hematuria, disusul
dengan adanya azotemia, bilirubinuria, urobilinuria. Manifestasi klinik gagal ginjal akut pada
leptospirosis ada 2 tipe yaitu gagal ginjal akut ologuri dan gagal ginjal akut non-oliguri dengan
tipe katabolic, dimana produksi ureum lebih tinggi dari 60mg%/24jam. Disebut gagal ginjal
oliguri bila produksi urin <500ml/24jam, dan disebut anuri bila produksi urin <100ml/24jam.
Prognosis gagal ginjal akut non oliguri lebuh baik disbanding gagal ginjal non-ologuri. 27

Gambar 4. Ginjal yang terinfeksi leptospira24

Terjadinya gagal ginjal aku pada leptospirosis melalui 3 mekanisme:


1. Invasi atau nefrotoksik langsung dari leptospira

Invasi leptospira menyebabkan kerusakan tubulus dan glomerulus sebagai efek langsung dari
migrasi leptospira yang menyebar hematogen ke kapiler peritubuler menuju jaringan interstitium
tubulus dan lumen tubulus. Kerusakan jaringan tidak jelas apakah hanya efek migrasi atau efek
endotoksin leptospira.
2. Reaksi immunologi

27
Reaksi immunologi berlangsung cepat, adanya kompleks immune dalam sirkulasi dan
endapan komplemen dan adanya electron dance bodies pada glomerulus membuktikan adanya
proses immune cmplexs glomerulonephritis, dan terjadi tubule interstitial nefritis (TIN).
3. Reaksi non spesifik terhadap infeksi seperti infeksi yang lain

Iskemia ginjal
 Hipovolemia dan hipotensi akibat adanya:
- Intake cairan yang kurang
- Meningkatnya evaporasi oleh karena demam
- Pelepasan kinin, histamine, serotonin, prostaglandin semua ini akan menyebabkan
peningkatan permeabilitas kapiler sehingga terjadi kebocoran albumin dan cairan
ekstravaskuler.
- Pelepasan sitokin akibat kerusakan endotel yang menyebabkan permeabilitas sel dan
vaskuler meningkat.
- Hipovolemia dan hemokonsentrasi akan merangsang RAA dan menyebabkan
vasokonstriksi.
- Hiperfibrinogenemia akibat kerusakan endotel kapiler (DIC) menyebabkan viskositas
darah meningkat.

Iskemia ginjal, glomerulonefritis dan TIN, invasi kuman menyebabkan terjadinya


nekrosis (GGA) sehingga terjadi pelepasan mediator inflamasi (TNF-α, IL-1, PAF, PDGF-β,
TXA2, LTC4, TGF-β) dan terekspresinya leucocyte adhesion molecules yang akan meregulasi
fungsi leukosit sebagai respon adanya renal injury.
Bentuk gagal ginjal akut pada leptospirosis:
a. Gagal ginjal akut oliguria

Temasuk disini adalah produksi urine <600ml/24jam dan penderita sudah dalam keadaan
hidrasi yang baik, kadar kreatinin darah >2gr%. Terjadi kira-kira pada 54% penderita
leptospirosis, dan mempunyai mortalitas yang tinggi serta prognosis yang kurang baik. Faktor-
faktor yang meramalkan prognosis kurang baik adalah:
- Adanya oliguri atau anurinyang berlangsung lama
- BUN selalu meningkat >60mg%/24jam

28
- Ratio ureum urine : ureum darah, tidak meingkat

b. Gagal ginjal akut non-ologuri

Terdapat 50% dari leptospirosis, produksi urine >600ml/24jam, mortalitas lebih rendah
dibandingkan GGA oliguri. GGA oliguri mempunyai prognosis yang kurang baik, dengan
mortalitas 50-90%.

Histopatologi dengan pemeriksaan mikroskop electron:


1. pada GGA oliguri, Nampak adanya gambaran obstruksi tubulus, nekrosis tubulus dan
endapan komplemen pada membrane basalis glomerulus, dan infiltrasi sel radang pada
jaringan interstitialis.
2. Pada GGA non-oliguri, Nampak edema pada tubulus dan jaringan interstitium tanpa
adanya nekrosis. Duktus kolektiferus pars medularis resisten terhadap vasopressin,
sehingga tidak mampu memekatkan urin dan terjadi poliuria.

Perubahan abnormal elektrolit dan hormone pada GGA leptospirosis:


1. Hipokalemia, terjadi oleh karena peningkatan ”fractional urinary excretion” (Fe) kalium
yang diikuti FeNa. Hal ini oleh karena sekresi K + meningkat dan adanya gangguan
reabsorbsi Natrium oleh tubulus proximal. Fe K+ dan FeNa berkorelasi dengan beratnya
GGA.
2. Hormon kortisol dan aldosteron meningkat dan akan meningkatkan eksresi kalium lewat
urine. Sehingga makin menambah hipokalemia, sehingga perlu penambahan kalium.
3. CD3, CD4 menurun, Limfosit B meningkat, bersifat reversible.

II. Perdarahan Paru18

Kelainan paru berupa hemorrhagic pneumonitis, patogenesisnya tidak jelas diduga akibat
dari endotoksin langsung yang kemudian menyebabkan kersakan kapiler. Hemoptisis terjadi
pada awal septicemia. Perdarahan terjadi pada leura, alveoli, trakheobronkhial, kelainan berupa:
kongesti septum paru, perdarahan alveoli yang multifocal, infiltrasi sel mononuclear. Manifestasi
klinis: batuk, blood tinged sputum sampai terjadi hemoptisis masif sehingga menyebabkan
asfiksia. 13,20

29
III. Liver Failure20

Terjadinya ikterik pada hari ke 4-6, dapat juga terjadi pada hari ke-2 atau ke-9. Pada hati
terjadi nekrosis sentrolobuler dengan proliferasi sel Kupfer. Terjadi ikterik pada leptospirosis
disebabkan oleh beberapa hal antara lain:
1. Kerusakan sel hati.
2. Gangguan fungsi ginjal, yang akan menurunkan sekresi bilirubin, sehingga meningkatkan
kadar bilirubin darah.
3. Terjadinya perdarahan pada jaringan dan hemolisis intravaskuler akan meningkatkan
kadar bilirubin.
4. Proliferasi sel Kupfer sehingga terjadi kolestatik intrahepatik.

Kerusakan parenkim hati disebabkan antara lain: penurunan hepatic flow dan toksinyang
dilepas leptospira. Gambaran histopatologi tidak spesifik pada leptospirosis, karena disosiasi sel
hati, proliferasi histiositik dan perubahan peri porta terlihat juga pada penyakit infeksi yang
parah. 13,20

IV. Perdarahan gastrointestinal

Perdarahan terjadi akibat adanya lesi endotel kapiler. 1,13

V. Shock20

Infeksi akan menyebabkan terjadinya perubahan homeostasis tubuh yang mempunyai peran
pada timbulnya kerusakan jaringan, perubahan ini adalah hipovolemia, hiperviskositas koagulasi.
Hipovolemia terjadi akibat intake cairan yang kurang, meningkatnya permeabilitas kapiler oleh
efek dari bahan-bahan mediator yang dilepaskan sebagai respon adanya infeksi. Koagulasi
intravaskuler, sifatnya minor, terjadi peningkatan LPS yang akan mempengaruhi keadaan pada
mikrosirkulasi sehingga terjadi stasis kapiler dan anoxia jaringan. Hiperviskositas, akibat dari
peleasan bahan-bahan mediator terjadi permeabilitas kapiler meningkat, keadaan ini
menyebabkan hipoperfisi jaringan sehingga menyokong terjadinya disfungsi organ. 1,13

VI. Miokarditis

30
Komplikasi pada kardiovaskuler pada leptospirosis dapat berupa gangguan sistem konduksi,
miokarditis, perikarditis, endokarditis, dan arteritis koroner. Manifestasi klinis miokarditis sangat
bervariasi dari tanpa keluhan sampai bentuk yang berat berupa gagal jantung kongesif yang fatal.
Keadaan ini diduga sehubungan dengan kerentanan secara genetic yang berbeda-beda pada
setiap penderita. 13,18
Manifestasi klinik miokarditis jarang didapatkan pada saat puncak infeksi karena akan
tertutup oleh manifestasi penyakit infeksi sistemik dan batu jelas saat fase pemulihan. Sebagian
akan berlanjur menjadi bentuk kardiomiopati kongesif / dilated. Juga akan menjadi penyebab
aritmia, gangguan konduksi atau payah jantung yang secara structural dianggap normal. 13,20

VII. Enchepalophaty

Didapatkan gejala meningitis atau meningoenchepalitis, nyeri kepala, pada cairan


cerebrospinalis (LCS) didapatkan pleositosis, santokrom, hitung sel leukosit 10-100/mm 3, sel
terbanyak sel leukosit neutrofil atau sel mononuclear, glukosa dapat normal atau rendah, protein
meningkat (dapat mencapai 100mg%). Kadang-kadang didapatkan tanda-tanda menngismus
tanpa ada kelainan LCS, sindroma Gullian Barre. Pada pemeriksaan patologi didapatkan:
infiltrasi leukosit pada selaput otak dan LCS yang pleositosis. Setiap serotip leptospira yang
patologis mungkin dapat menyebabkan meningitis aseptic, paling sering Conikola,
Icterohaemorrhagiae dan Pamoma.12,20

2.11 PENATALAKSANAAN

31
A . PENCEGAHAN 2,6,7
Pencegahan penularan kuman leptospira dapat dilakukan melalui tiga jalur intervensi
yang meliputi intervensi sumber infeksi, intervensi pada jalur penularan dan intervensi pada
penjamu manusia.
Kuman leptospira mampu bertahan hidup bulanan di air dan tanah, dan mati oleh
desinfektans seperti lisol. Maka upaya ”Lisolisasi” upaya "lisolisasi" seluruh permukaan lantai ,
dinding, dan bagian rumah yang diperkirakan tercemar air kotor banjir yang mungkin sudah
berkuman leptospira, dianggap cara mudah dan murah mencegah "mewabah"-nya leptospirosis.
Selain sanitasi sekitar rumah dan lingkungan, higiene perorangannya dilakukan dengan
menjaga tangan selalu bersih. Selain terkena air kotor, tangan tercemar kuman dari hewan
piaraan yang sudah terjangkit penyakit dari tikus atau hewan liar. Hindari berkontak dengan
kencing hewan piaraan.
Biasakan memakai pelindung, seperti sarung tangan karet sewaktu berkontak dengan air
kotor, pakaian pelindung kulit, beralas kaki, memakiai sepatu bot, terutama jika kulit ada luka,
borok, atau eksim. Biasakan membasuh tangan sehabis menangani hewan, ternak, atau
membersihkan gudang, dapur, dan tempat-tempat kotor.
Hewan piaraan yang terserang leptospirosis langsung diobati , dan yang masih sehat
diberi vaksinasi. Vaksinasi leptospirosis disarankan untuk manusia yang memiliki risiko tinggi
terjangkit, dan pemberiannya harus diulang setiap tahun. Tikus rumah perlu dibasmi sampai ke
sarang-sarangnya. Begitu juga jika ada hewan pengerat lain. Jangan lupa bagi yang aktivitas
hariannya di peternakan, atau yang bergiat di ranch. Kuda, babi, sapi, bisa terjangkit
leptospirosis, selain tupai, dan hewan liar lainnya yang mungkin singgah ke peternakan dan
pemukiman, atau ketika kita sedang berburu, berkemah, dan berolahraga di danau atau sungai.
Selain itu penyediaan air minum juga harus terjaga baik dan diklorinasi.
Ternak Babi merupakan hewan yang mampu bertahan dari infeksi akut yang dapat
mengeluarkan bakteri leptospira dalam jumlah besar dalam jangka waktu lama, bisa sampai
setahun. Hewan babi merupakan sumber penularan leptospirosis, disebut sebagai Swine herd’s
disease. Oleh karena itu, peternak babi diimbau agar mengandangkan ternaknya dan jauh dari
sumber air. Saluran buangan ternak hendaknya diarahkan ke tempat khusus sehingga tidak
mencemari lingkungan.

32
B. TERAPI KURATIF2,3,4,17
Terapi pilihan (DOC) untuk leptospirosis sedang dan berat adalah Penicillin G, dosis
dewasa 4 x 1,5 juta unit /i.m, biasanya diberikan 2 x 2,4 unit/i.m, selama 7 hari.

Indikasi Regimen
1. Treatment  
  a. Leptospirosis ringan Doksisiklin 2 x 100 mg/oral atau
    Ampisillin 4 x 500-750 mg/oral atau
    Amoxicillin 4 x 500 mg/oral
     
  b.Leptospirosis sedang/ berat Penicillin G 1,5 juta unit/6jam i.m atau
    Ampicillin 1 g/6jam i.v atau
    Amoxicillin 1 g/6jam i.v atau
    Eritromycin 4 x 500 mg i.v
     
2. Kemoprofilaksis Doksisiklin 200 mg/oral/minggu
     

• Terapi untuk leptospirosis ringan


Pada bentuk yang sangat ringan bahkan oleh penderita seperti sakit flu biasa. Pada
golongan ini tidak perlu dirawat. Demam merupakan gejala dan tanda yang menyebabkan
penderita mencari pengobatan. Ikterus kalaupun ada masih belum tampak nyata. Sehingga
penatalaksanaan cukup secara konservatif.15
Penatalaksanaan konservatif
 Pemberian antipiretik, terutama apabila demamnya melebihi 38°C
 Pemberian cairan dan nutrisi yang adekuat.
Kalori diberikan dengan mempertimbangkan keseimbangan nitrogen, dianjurkan
sekitar 2000-3000 kalori tergantung berat badan penderita. Karbohidrat dalam jumlah
cukup untuk mencegah terjadinya ketosis. Protein diberikan 0,2 – 0,5 gram/kgBB/hari
yang cukup mengandung asam amino essensial.

33
 Pemberian antibiotik-antikuman leptospira.
paling tepat diberikan pada fase leptospiremia yaitu diperkirakan pada minggu pertama
setelah infeksi. Pemberian penicilin setelah hari ke tujuh atau setelah terjadi ikterus
tidak efektif. Penicillin diberikan dalam dosis 2-8 juta unit, bahkan pada kasus yang
berat atau sesudah hari ke-4 dapat diberikan sampai 12 juta unit (sheena A Waitkins,
1997). Lama pemberian penisilin bervariasi, bahkan ada yang memberikan selama 10
hari.
 Terapi suportif supaya tidak jatuh ke kondisi yang lebih berat. Pengawasan terhadap
fungsi ginjal sangat perlu.

Terapi untuk leptospirosis berat16

 Antipiretik
 Nutrisi dan cairan.
Pemberian nutrisi perlu diperhatikan karena nafsu makan penderita biasanya menurun
maka intake menjadi kurang. Harus diberikan nutrisi yang seimbang dengan kebutuhan
kalori dan keadaan fungsi hati dan ginjal yang berkurang. Diberikan protein essensial
dalam jumlah cukup. Karena kemungkinan sudah terjadi hiperkalemia maka masukan
kalium dibatasi sampai hanya 40mEq/hari. Kadar Na tidak boleh terlalu tinggi. Pada
fase oligurik maksimal 0,5gram/hari. Pada fase ologurik pemberian cairan harus
dibatasi. Hindari pemberian cairan yang terlalu banyak atau cairan yang justru
membebani kerja hati maupun ginjal. Infus ringer laktat misalnya, justru akan
membebani kerja hati yang sudah terganggu. Pemberian cairan yang berlebihan akan
menambah beban ginjal. Untuk dapat memberikan cairan dalam jumlah yang cukup
atau tidak berlebihan secara sederhana dapat dikerjakan monitoring / balance cairan
secara cermat.
Pada penderita yang muntah hebat atau tidak mau makan diberikan makan secara
parenteral. Sekarang tersedia cairan infus yang praktis dan cukup kandungan nutrisinya.
 Pemberian antibiotik
◦ Pada kasus yang berat atau sesudah hari ke-4 dapat diberikan sampai 12 juta unit
(sheena A Waitkins, 1997). Lama pemberian penisilin bervariasi, bahkan ada

34
yang memberikan selama 10 hari. Penelitian terakhir : AB gol. fluoroquinolone
dan beta laktam (sefalosporin, ceftriaxone) > baik dibanding antibiotik
konvensional tersebut di atas, meskipun masih perlu dibuktikan keunggulannya
secara in vivo.
 Penanganan kegagalan ginjal.
Gagak ginjal mendadak adalah salah sati komplikasi berat dari leptospirosis. Kelainan
ada ginjal berupa akut tubular nekrosis (ATN). Terjadinya ATN dapat diketahui dengan
melihat ratio osmolaritas urine dan plasma (normal bila ratio <1). Juga dengan melihat
perbandingankreatinin urine dan plasma, ”renal failire index” dll.
 Pengobatan terhadap infeksi sekunder.
Penderita leptospirosis sangat rentan terhadap terjadinya beberapa infeksi
sekunderakibat dari penyakitnya sendiri atau akibat tindakan medik, antara lain:
bronkopneumonia, infeksi saluran kencing, peritonitis (komplikasi dialisis peritoneal),
dan sepsis. Dilaporkan kelainan paru pada leptospirosis terdapat pada 20-70% kasus
(Kevins O Neal, 1991). Pengelolaan sangat tergantung dari jenis komplikasi yang
terjadi. Pada penderita leptospirosis, sepsis / syok septik mempunyai angka kematian
yang tinggi.
 Penanganan khusus
1. Hiperkalemia  diberikan kalsium glukonas 1 gram atau glukosa insulin (10-20
U regular insulin dalam infus dextrose 40%)
Merupakan keadaan yang harus segera ditangani karena menyebabkan cardiac
arrest.
2. Asidosis metabolik  diberikan natrium bikarbonas dengan dosis (0,3 x KgBB
x defisit HCO3 plasma dalam mEq/L)
3. Hipertensi  diberikan antihipertensi
4. Gagal jantung  pembatasan cairan, digitalis dan diuretik
5. Kejang
Dapat terjadi karena hiponatremia, hipokalsemia, hipertensi ensefalopati dan
uremia. Penting untuk menangani kausa ptimernya, mempertahankan oksigenasi
/ sirkulasi darah ke otak, dan pemberian obat anti konvulsi.
6. Perdarahan  transfusi

35
Merupakan komplikasi penting pada leptospirosis, dan sering mnakutkan.
Manifestasi perdarahan dapat dari ringan sampai berat. Perdarahan kadang0-
kadang terjadi pada waktu mengerjakan dialisis peritoneal. Untuk
menyampingkan enyebab lain perlu dilakukan pemeriksaan faal koagulasi
secara lengkap. Perdarahan terjadi akibat timbunan bahan-bahan toksik dan
akibat trpmbositopati.
7. Gagal ginjal akut  hidrasi cairan dan elektrolit, dopamin, diuretik, dialisis.17

PROGNOSIS

Jika tidak ada icterus, penyakit jarang fatal. Pada kasus dengan icterus, angka kematian 5% pada
umur dibawah 30 tahun, dan pada usia lanjut mencapai 30-40%.

KESIMPULAN

Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh kuman leptospira.
Manusia dapat terinfeksi melalui kontak dengan leptospira secara insidental. Gejala klinis sering
tidak khas sehingga terlambat terdiagnosis.

36
Gejala klinis yang timbul mulai dari ringan sampai berat bahkan kematian, bila terlambat
mendapat pengobatan. Diagnosis dini yang tepat dan penatalaksanaan yang cepat akan mencegah
perjalanan penyakit menjadi berat. Pencegahan dini terhadap mereka yang beresiko tinggi
terekspos diharapkan dapat melindungi mereka dari serangan leptospirosis.1

BAB III
ANALISIS KASUS

Pada kasus ini, berdasarkan anamnesis didapatkan pasien laki-laki usia 35 tahun datang
dengan keluhan demam tinggi dan mengiggil sejak 2 hari SMRS. Demam dirasakan sepanjang
hari. Terdapat nyeri sendi dan ngilu pada seluruh badan sehingga badan terasa lemas. Pasien juga

37
merasakan nyeri kepala, mual dan muntah, muntah sebanyak 2 kali berisi makanan dan lendir
berwarna kuning-kecoklatan. BAB cair sejak kemarin sebanyak 3 x / hari, ampas (+), ampas (+),
lendir (-), darah (-). BAK normal tanpa keluhan. Tidak terdapat batuk, pilek, sesak nafas,
penurunan fungsi penghidu dan pengecap. Pasien juga mengaku tidak terdapat mimisan, gusi
berdarah atau BAK berwarna kemerahan. Pasien mengaku rumahnya kebanjiran sejak 3 hari
yang lalu. Pasien belum berobat atau mengonsumsi obat apapun untuk mengatasi keluhannya.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 114/63 mmHg, laju napas 20 x/menit
suhu 38,7 C dan SpO2 99%. Pada pemeriksaan status generalis ditemukan konjungtiva suffusion
+/+, nyeri tekan epigastrium dan nyeri tekan m. gastrocnemius. Pada pemeriksaan penunjang,
ditemukan leukositosis 13.270 u/l, trombositopenia 55.000 u/l, dan Ratio NLR meningkat yaitu
3,85.
Berdasarkan temuan anamnesis dan pemeriksaan fisik, pasien didiagnosis Leptospirosis.
Saat di IGD, pasien diberikan terapi berupa infus RL 30 tpm 500 cc, Injeksi Neurobion 1 ampul,
Injeksi Norages 1 ampul, Injeksi Ranitidin 1 ampul dan injeksi Ondansentrom 1 ampul. Pasien
di indikasikan untuk rawat inap namun kamar rawat inap RS Pusdikkes TNI AD sedang full
sehingga pasien diedukasi dan disarankan untuk di rujuk ke RS lain.
Berdasarkan temuan anamnesis dan pemeriksaan fisik, pasien didiagnosis Leptospirosis.
Berdasarkan onset gejala yang timbul, yaitu 2 hari SMRS kemungkinan pasien sedang dalam
fase septikemia. Kemungkinan infeksi leptospirosis cukup besar pada musim pengujan lebih-
lebih dengan adanya banjir. Keluhan-keluhan khas yang dapat ditemukan, yaitu : demam
mendadak, keadaan umum lemah tidak berdaya, mual, muntah, nafsu makan menurun dan
merasa mata makin lama bertambah kuning dan sakit otot hebat terutama daerah betis dan paha.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan manifestasi klinis yang khas yaitu konjungtiva suffusion +/+
dan nyeri tekan m. gastrocnemius. Pada pemeriksaan penunjang, ditemukan leukositosis 13.270
u/l, trombositopenia 55.000 u/l, dan neutrofilia pada hitung jenis leukosit.
DAFTAR PUSTAKA

1. Zein Umar. (2006). “Leptospirosis”, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III, edisi 4.
FKUI : Jakarta. Hal.1845 - 1848.
2. Speelman, Peter. (2005). “Leptospirosis”, Harrison’s Principles of Internal Medicine,
16th ed, vol I. McGraw Hill : USA. Pg.988-991.

38
3. Dit Jen PPM & PL RSPI Prof. DR. Sulianti Saroso. (2003). Pedoman Tatalaksana Kasus
dan Pemeriksaan Laboratorium Leptospirosis di Rumah Sakit. Departemen Kesehatan RI
: Jakarta.
4. Dharmojono, Drh. Leptospirosis, Waspadailah Akibatnya!. Pustaka Populer Obor :
Jakarta. 2002.
5. Departemen Kesehatan, 2003. Pedoman Tatalaksana Kasus dan Pemeriksaan
Laboratorium Leptospirosis di Rumah Sakit, Leptospira. Hlm. 8-15. Bagian
Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan : Jakarta.
6. Lestariningsih. 2002. Gagal Ginjal Akut Pada Leptospirosis — Kumpulan Makalah Sim-
posium Leptospirosis. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang.
7. World Health Organization/ International Leptospirosis Society. Human Leptospirosis
guidance for diagnosis, surveillance and control. Geneva : WHO.2003.109
8. Setyawan Budiharta, 2002. Epidemiologi Leptospirosis. Seminar Nasional Bahaya Dan
Ancman Leptospirosis, Yogyakarta, 3 Juni 2002.
9. Widarso, Yatim.F, 2000. Leptospirosis dan Ancamannya, Majalah Kesehatan No. 15
Tahun 2000. Departemen Kesahatan, Jakarta.
10. Iskandar Z; Nelwan RHH; Suhendro, dkk. Leptospirosis Gambaran Klinis di RSUPNCM,
2002.
11. Riyanto B, Gasem MH, Pujianto B, Smits H. Leptospira sevoars in patients with severe
leptospirosis admitted to hospitals of Semarang. Buku Abstrak Konas VIII PETRI,
Malang, Juli 2002.
12. Gasem MH, Redhono D, Suharti C. Anicteric leptospirosis can be misdiagnosed as
dengue infection. Buku Abstrak Konas VIII PETRI, Malang, 2002
13. Niwattayakul K, Homvijitkul J, Khow O, Sitprija V. Leptospirosis in northeastern
Thailand: hypotention and complications. Southeast Asean J Trop Med Public Health
2002; 33: 155-60
14. Sion ML et al. Acute renal failure caused by leptospirosis and hantavirus infection in an
urban hospital. European Journal of Internal Medicine 13. 2002. 264-8
15. Daher EF, Noguera CB. Evaluation of penicillin therapy in patients with leptospirosis and
acute ranal failure. Rev Inst Med trop. S Paulo. 2000.42(6):327-32

39
16. Drunl W. Nutritional support in patients ARF. In; Acute Renal Failure; (Brenners &
Rector’s) ed WB Saunders. 2001: 465-83
17. Budiriyanto, M. Hussein Gasem, Bambang Pujianto, Henk L Smits : Serovars of
Leptospirosis in patients with severe leptospirosis admitted to the hospitals of Semarang.
Konas PETRI, 2002.
18. Grenn-Mckenzie J, Shoff WH. Leptospirosis in humans. Sept, 13, 2006.
http://www.emedicine.com/ped/topic/1298.htm

40

Anda mungkin juga menyukai