Anda di halaman 1dari 37

APPENDISITIS

(Case Based Discussion)

Oleh

Ajeng Fitria Ningrum


Analia Refsi Yunita
Fistana Bella Valani
Kholifah Nawang Wulan
Nailul Azizah

Perceptor
dr. Rasyidah, Sp.Rad.

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN RADIOLOGI


RUMAH SAKIT UMUM ABDUL MOELOEK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
2019

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan atas kehadirat Allah SWT karena rahmat-Nya

penyusun diberikan kelancaran dalam menyelesaikan CBD ini. Ucapan terima

kasih yang sebesar-besarnya penyusun ucapkan kepada dokter pembimbing yang

telah memberikan kesempatan dan petunjuk demi penyelesaian CBD ini.

CBD ini disusun dalam rangka memenuhi persyaratan kepaniteraan klinik Bagian

Radiologi di Rumah Sakit Umum Abdul Moeloek yang dijalani penyusun.

Penyusun berharap CBD ini dapat memberi masukan khususnya kepada penyusun

sendiri dan juga rekan-rekan sejawat lainnya. Dalam penyusunan CBD ini tentu

saja masih terdapat kelemahan dan kekurangan, untuk itu penyusun berharap

masukan dan kritik yang membangun demi kesempurnaan CBD ini.

Bandar Lampung, Februari 2019

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Halaman
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.........................................................................................3

BAB II STATUS PASIEN


2.1 Identitas Pasien.........................................................................................6
2.2 Anamnesis................................................................................................6
2.3 Status Present...........................................................................................8
2.4 Laboratorium rutin..................................................................................11
2.5 Diagnosis Kerja......................................................................................12
2.6 Terapi......................................................................................................13
2.7 Rencana Lanjutan...................................................................................13
2.8 Prognosis................................................................................................13

BAB III TINJAUAN PUSTAKA


3.2. Appendisitis............................................................................................14
3.3. Appendikogram......................................................................................30

BAB IV ANALISIS KASUS

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Apendisitis adalah salah satu kasus bedah abdomen yang paling sering

terjadi di dunia. Apendiks merupakan saluran usus yang ujungnya buntu.

Usus ini besarnya kira-kira sejari kelingking, terhubung pada usus besar

yang letaknya berada di perut bagian kanan bawah. Seperti organ-organ

tubuh yang lain, appendiks atau usus buntu ini dapat mengalami kerusakan

ataupun ganguan serangan penyakit. Hal ini yang sering kali kita kenal

dengan nama apendisitis. Pada umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri,

namun yang paling sring ditemukan dan kuat dugaannya adalah akibat dari

sumbatan feses. Penyumbatan inilah yang kemudian menjadi media bagi

bakteri untuk berkembang.

Apendisitis menempati urutan keempat penyakit terbanyak di Indonesia setelah

dispepsia, gastritis, duodenitis, dan penyakit sistem cerna lain dengan jumlah

pasien rawat inap sebanyak 28.040 orang. Angka kejadian apendisitis secara

umum lebih tinggi di negara-negara industri dibandingkan negara berkembang.

Hal ini disebabkan oleh kurangnya asupan serat serta tingginya asupan gula dan

lemak yang dikonsumsi oleh penduduk di negara industri tersebut. Berbeda

dengan negara berkembang yang konsumsi seratnya masih cukup tinggi


sehingga angka kejadian apendisitis tidak setinggi di negara industri. Insiden

apendisitis pada laki-laksi dan perempuan umumnya sebanding, kecuali pada

umur 20-30 tahun sedikit lebih banyak pada laki-laki dibandingkan pada

perempuan dengan rasio 1,4 : 1. Insiden tertinggi terjadi pada umur ini.

Apendisitis yang tidak segera ditatalaksana akan menimbulkan komplikasi.

Salah satu komplikasi yang paling membahayakan adalah perforasi. Perforasi

apendisitis berhubungan dengan tingkat mortalitas yang tinggi. Pasien yang

mengalami apendisitis akut angka kematiannya hanya 1,5%, tetapi ketika telah

mengalami perforasi angka ini meningkat mencapai 20%-35%. Agar tidak

menimbulkan komplikasi maka perlu dilakukan diagnosis dini baik melalui

anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Salah satu modalitas

pemeriksaan penunjang berupan pemeriksaan laboratorium dan radiologi

berupa appendikogram, USG, CT-Scan, MRI.

Appendikogram merupakan suatu teknik pemeriksaan radiografi untuk

menilih apendik. Pemeriksaan ini juga menggunakan sebuah kontras media.

Biasanya pemeriksaan ini digunakan untuk pasien dengan indikasi

apendisitis. Namun detilnya adalah peradangan dan infeksi pada usus buntu.

Media kontras merupakan senyawa-senyawa yang digunakan untuk

meningkatkan visibility struktur-struktur internal pada sebuah pencitraan

diagnostik. Media kontras dipakai pada pencitraan dengan menggunakan

sinar-x. Pada pemeriksaan sistem pencernaan memiliki prosedur khusus,

dimana setiap prosedurnya membutuhkan penggunaan sebuah kontras media

dan dikembangkan untuk memeberikan suatu tujuan tertentu. Kontras media


yang digunakan adalah media kontras negatif dan positif. Media kontras

positif pada pemeriksaan sistem pencernaan adalah barium sulfat sedangkan

kontras negatifnya adalah udara/gas. Pemasukan media kontras dengan cara

ditelan maupun dimasukkan melalui anus dengan bantuan kateter.

BAB II
STATUS PASIEN
2.1 Identitas Pasien

Nama : Tn. RA
Umur : 23 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Jl. Teuku Umar
Bangsa : Indonesia
Agama : Islam
No. MR : 580530

2.2 Anamnesis

Keluhan Utama
Nyeri perut kanan bawah sejak 3 hari SMRS.

Keluhan Tambahan
Demam, mual, muntah, nafsu makan menurun.

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang dengan keluhan nyeri perut kanan bawah sejak 3 hari SMRS.

Awalnya nyeri diraskan di ulu hati lalu berpindah ke perut kanan bawah.

Nyeri yang diraskan tajam seperi ditusuk jarum dan hilang timbul sepanjang

hari. Nyeri bertambah parah ketika pasien hendak bangun dari tempat tidur

atau batuk dan membaik keika pasien diam dna beristirahat. Pasien

meraskan nyeri dengan skala 3 dari 10. Pasien juga mengeluhkan adanya

demam, mual, muntah, dan penurunan nafsu makan. Demam dialami sejak 2

hari SMRS namun hilang timbul. Mual, muntah, dan penurunan nafsu

makan dirasakan bersamaan dengan timbulnya gejala. Keluhan nyeri saat

BAK, sulit BAK, dan gangguan pola BAB tidak ada.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien tidak pernah mengalami keluhan ini sebelumnya.

Riwayat Keluarga

Tidak ada anggota keluarga yang memiliki keluhan serupa. Hipertensi (-),

Diabetes mellitus (-).

Riwayat Personal

Pasien mengatakan pola makannya tidak teratur, merokok (-), alkohol (-),

obat-obatan (-).

2.3 Status Present


A. Status umum
1. Keadaan umum : Baik
2. Kesadaran : Compos mentis, GCS : 15, E: 4, V: 5, M: 6
3. Kulit : Akral hangat, turgor cukup, ikterik (-)

B. Pemeriksaan fisik
1. Tanda Vital
a. Tekanan darah :-
b. Pernafasan : 20 x/menit , reguler
c. Nadi : 80x/menit , reguler, isi cukup
d. Suhu : 36,20C axila

2. Kepala dan muka


a. Bentuk dan ukuran : Normocephal, simetris
b. Mata
 Konjungtiva : Anemis (-/-)
 Sklera : Ikterik (-/-)
 Reflek cahaya : (+/+)
 Pupil : isokor
 Palpebra : edema (-/-)
c. Telinga : Bentuk normal, liang lapang
d. Hidung : Deviasi septum (-), mukosa merah muda
e. Tenggorokan : Tonsil dalam batas normal
f. Mulut : Sianosis (-), pucat (-)
3. Leher
a. Kelenjar getah bening : Tidak terdapat pembesaran
b. Kelenjar tiroid : Dalam batas normal
c. JVP : 5-2 cmHg

4. Dada (thorax)
Paru-paru

Depan Belakang
Inspeksi Hemithoraks simetris kiri dan Hemithoraks simetris

kanan kiri dan kanan


Palpasi Fremitus taktil terasa pergerakan Fremitus taktil terasa

dinding thorax kanan dan kiri pergerakan dinding

seimbang. thorax kanan dan kiri

seimbang.

Perkusi Kiri Sonor Sonor

Kanan Sonor Sonor

Auskultasi Kiri Vesikuler Vesikuler

Kanan Vesikuler Vesikuler

Jantung

Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat

Palpasi : Iktus cordis teraba

Perkusi : Batas jantung dalam batas normal

Auskultasi : BJ I dan II normal reguler, murmur (-), gallop (-)

5. Perut (Abdomen)
a. Inspeksi : Datar, lesi (-)
b. Palpasi : Nyeri tekan titik McBurney (+), nyeri lepas

McBurney (-),
Rovsing Sign (-), Obturator sign (-), Psoas sign (-),

Defans muskular (-), organomegali (-)


c. Auskultasi : Bising usus (+) 8x/menit

6. Ekstremitas
a. Superior : Akral hangat, oedema (-/-), CRT <2s
b. Inferior : Akral hangat, oedema (-/-), CRT <2s

2.4 Laboratorium

a. Darah Rutin

No Jenis Pemeriksaaan Hasil Satuan Nilai Normal


1 Leukosit 9.500 /µL 4.800-10.800
2 Eritrosit 5,1 juta/ µL 4,7 – 6,1
3 Hemoglobin 15,7 g/dL 13 – 18
4 Hematokrit 44 % 42 – 52
5 MCV 86 Fl 79 – 99
6 MCH 31 Pg 27 – 31
7 MCHC 36 g/dL 30 – 35
8 Trombosit 212.000 /µL 150.000 – 450.000
9 Hitung Jenis
Basofil 0 % 0-1
Eosinofil 0 % 2-4
Batang 0 % 3-5
Segmen 55 % 50-70
Limfosit 15 % 25-40
Monosit 8 % 2-8
10 LED 8 mm/jam 0-10
b. Skor Alvarado

Temuan Poin Pasien


Perpindahan nyeri ke fossa iliaca dextra 1 1
Anoreksia 1 1
Mual atau muntah 1 1
Nyeri tekan: fossa iliaca dextra 2 2
Nyeri lepas: fossa iliaca dextra 1 0
Demam 1 1
Leukositosis ≥10x109/L 2 0
Shift to the left of neutrophils 1 0
Total 10 6

c. Urine Rutin : Tidak dilakukan

d. Faces Rutin : Tidak dilakukan


e. Radiologi

Apendicogram:
 Kontras mengisi ileus, caecum sampai kolon ascendens
 Lumen appendix tak terisi kontras
 Tak tampak indentasi caecum

Kesan:
Non filling appendix

Adanya appendicitis belum dapat disingkirkan

2.5 Diagnosis Kerja


Suspek appendisitis kronis

2.6 Terapi
 IVFD RL XX tetes per menit
 Ketorolac 3x30 mg iv

2.7 Rencana Lanjutan

Pemeriksaan USG abdomen

2.8 Prognosis
Qua ad vitam : dubia ad bonam
Qua ad sanationam : dubia ad bonam

Qua ad fungsionam : dubia ad bonam


BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Apendisitis

3.1.1 Anatomi dan Fisiologi Apendiks

Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira

10 cm (kisaran 3-15), dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di

bagian proksimal dan melebar di bagian distal. Namun demikian,

pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan

menyempit kearah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab

rendahnya insidens apendisitis pada usia itu (Soybel, 2001 dalam

Departemen Bedah UGM, 2010).

Secara histologi, struktur apendiks sama dengan usus besar. Kelenjar

submukosa dan mukosa dipisahkan dari lamina muskularis.

Diantaranya berjalan pembuluh darah dan kelenjar limfe. Bagian

paling luar apendiks ditutupi oleh lamina serosa yang berjalan

pembuluh darah besar yang berlanjut ke dalam mesoapendiks. Bila


letak apendiks retrosekal, maka tidak tertutup oleh peritoneum

viserale (Soybel, 2001 dalam Departemen Bedah UGM, 2010).

Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti

a.mesenterika superior dan a.apendikularis, sedangkan persarafan

simpatis berasal dari n.torakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral

pada apendisitis bermula di sekitar umbilikus (Sjamsuhidajat, De

Jong, 2004). Pendarahan apendiks berasal dari a.apendikularis yang

merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya

karena thrombosis pada infeksi, apendiks akan mengalami gangrene

(Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).

Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu normalnya

dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum.

Hambatan aliran lendir di muara apendiks tampaknya berperan pada

pathogenesis apendisitis. Imunoglobulin sekreator yang dihasilkan

oleh GALT (gut associated lymphoid tissue) yang terdapat di

sepanjang saluran cerna termasuk apendiks, ialah IgA.

Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi.

Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi

sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limfe di sini kecil sekali

jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh

tubuh (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).


Gambar 1. Apendiks (Indonesian Children, 2009)

3.1.2 Definisi dan Klasifikasi Apendisitis

Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis.

Apendisitis akut adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada

kuadran kanan bawah rongga abdomen, penyebab paling umum

untuk bedah abdomen darurat (Smeltzer, 2001 dalam Docstoc,

2010). Apendisitis adalah kondisi dimana infeksi terjadi di umbai

cacing. Dalam kasus ringan dapat sembuh tanpa perawatan, tetapi

banyak kasus memerlukan laparotomi dengan penyingkiran umbai

cacing yang terinfeksi. Bila tidak terawat, angka kematian cukup

tinggi dikarenakan oleh peritonitis dan syok ketika umbai cacing

yang terinfeksi hancur (Anonim, 2007 dalam Docstoc, 2010).


Berikut merupakan klasifikasi apendisitis :

Apendisitis akut, dibagi atas: Apendisitis akut fokalis atau

segmentalis, yaitu setelah sembuh akan timbul striktur lokal.

Apendisitis purulenta difusi yaitu sudah bertumpuk nanah (Docstoc,

2010).Sedangkan apendisitis kronis, dibagi atas: Apendisitis kronis

fokalis atau parsial, setelah sembuh akan timbul striktur lokal.

Apendisitis kronis obliteritiva yaitu apendiks miring, biasanya

ditemukan pada usia tua (Docstoc, 2010).

3.1.3 Etiologi

Apendisitis akut merupakan infeksi bakteria. Berbagai hal berperan

sebagai faktor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan

faktor yang diajukan sebagai faktor pencetus disamping hiperplasia

jaringan limfe, fekalit, tumor apendiks, dan cacing askaris dapat pula

menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat

menimbulkan apendisitis adalah erosi mukosa apendiks karena

parasit seperti E. histolytica (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).

Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan

makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya

apendisitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal, yang

berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan

meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya ini


akan mempermudah timbulnya apendisitis akut (Sjamsuhidajat, De

Jong, 2004).

3.1.4 Morfologi Apendisitis

Pada stadium paling dini, hanya sedikit eksudat neutrofil ditemukan

di seluruh mukosa, submukosa, dan muskularis propria. Pembuluh

subserosa mengalami bendungan dan sering terdapat infiltrat

neutrofilik perivaskular ringan. Reaksi peradangan mengubah serosa

yang normalnya berkilap menjadi membran yang merah, granular,

dan suram. Perubahan ini menandakan apendisitis akut dini bagi

dokter bedah. Kriteria histologik untuk diagnosis apendisitis akut

adalah infiltrasi neutrofilik muskularis propria. Biasanya neutrofil

dan ulserasi juga terdapat di dalam mukosa (Crawford, Kumar,

2007).

3.1.5 Patofisiologi

Apendisitis kemungkinan dimulai oleh obstruksi dari lumen yang

disebabkan oleh feses yang terlibat atau fekalit. Penjelasan ini sesuai

dengan pengamatan epidemiologi bahwa apendisitis berhubungan

dengan asupan serat dalam makanan yang rendah (Burkitt, Quick,

Reed, 2007). Pada stadium awal dari apendisitis, terlebih dahulu

terjadi inflamasi mukosa. Inflamasi ini kemudian berlanjut ke

submukosa dan melibatkan lapisan muskular dan serosa (peritoneal).

Cairan eksudat fibrinopurulenta terbentuk pada permukaan serosa

dan berlanjut ke beberapa permukaan peritoneal yang bersebelahan,


seperti usus atau dinding abdomen, menyebabkan peritonitis lokal

(Burkitt, Quick, Reed, 2007).

Dalam stadium ini mukosa glandular yang nekrosis terkelupas ke

dalam lumen, yang menjadi distensi dengan pus. Akhirnya, arteri

yang menyuplai apendiks menjadi bertrombosit dan apendiks yang

kurang suplai darah menjadi nekrosis atau gangren. Perforasi akan

segera terjadi dan menyebar ke rongga peritoneal. Jika perforasi

yang terjadi dibungkus oleh omentum, abses lokal akan terjadi

(Burkitt, Quick, Reed, 2007).

3.1.6 Gambaran Klinis

Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh

radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat,

disertai maupun tidak disertai rangsang peritoneum lokal. Gejala

klasik apendisitis ialah nyeri samar-samar dan tumpul yang

merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium di sekitar umbilikus.

Keluhan ini sering disertai mual dan kadang ada muntah. Umumnya

nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke

kanan bawah ke titik Mc. Burney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam

dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat.

Kadang tidak ada nyeri epigastrium, tetapi terdapat konstipasi

sehingga penderita merasa memerlukan obat pencahar. Tindakan itu

dianggap berbahaya karena bisa mempermudah terjadinya perforasi

(Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).


Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, karena letaknya

terlindung oleh sekum, tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu

jelas dan tidak tanda rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih ke arah

perut sisi kanan atau nyeri timbul pada saat berjalan karena kontraksi

m.psoas mayor yang menegang dari dorsal (Sjamsuhidajat, De Jong,

2004).

Apendiks yang terletak di rongga pelvis, bila meradang, dapat

menimbulkan gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau rektum

sehingga peristaltis meningkat, pengosongan rektum akan menjadi

lebih cepat dan berulang-ulang. Jika apendiks tadi menempel ke

kandung kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi kencing karena

rangsangan dindingnya (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).

Appendiks umumnya terletak di sekitar McBurney, namun perlu

diingat bahwa letak anatomis appendiks sebenarnya dapat pada

semua titik, 360o mengelilingi pangkal caecum. Appendisitis letak

retrocaecal dapat diketahui dari adanya nyeri di antara costa 12 dan

spina iliaca posterior superior. Appendicitis letak pelvis dapat

menyebabkan nyeri rektal. Secara teori, peradangan akut appendiks

dapat dicurigai dengan adanya nyeri pada pemeriksaan rektum

(rectal toucher). Namun pemeriksaan ini tidak spesifik untuk

appendicitis jika tanda-tanda appendicitis lain telah positif.


Secara klinis, dikenal beberapa manuver diagnostik :

Rovsing’s Sign
Penekanan pada abdomen kuadran kiri bawah akan menimbulkan

nyeri di abdomen kuadran kanan bawah. Hal ini disebabkan oleh

karena iritasi dari peritoneum. Disebut juga nyeri tekan kontralateral.

Sering positif pada appendicitis namun tidak spesifik.

Blumberg Sign
Manuver dikatakan positif apabila penderita merasakan nyeri di

kuadran kanan bawah saat pemeriksa menekan di abdomen kuadran

kiri bawah lalu melepaskannya. Disebut juga nyeri lepas

kontralateral.

Psoas Sign
Pasien berbaring pada sisi kiri, tangan pemeriksa memegang lutut

pasien dan tangan kiri menstabilkan pinggulnya. Kemudian tungkai

kanan pasien digerakkan ke arah anteroposterior. Nyeri pada

manuver ini menunjukkan appendiks mengalami peradangan kontak

dengan otot psoas yang meregang saat dilakukan manuver.

Obturator Sign
Pasien terlentang, tangan kanan pemeriksa berpegangan pada telapak

kaki kanan pasien sedangkan tangan kiri di sendi lututnya. Kemudian

pemeriksa memposisikan sendi lutut pasien dalam posisi fleksi dan

articulatio coxae dalam posisi endorotasi kemudian eksorotasi. Tes

ini positif bila pasien merasakan nyeri di hipogastrium saat

eksorotasi. Nyeri pada manuver ini menunjukkan adanya perforasi

apendiks, abses lokal, iritasi m.obturatorius oleh appendiks dengan

letak retrocaecal, atau adanya hernia obturatoria.

3.1.7 Diagnosis

Pada anamnesis penderita akan mengeluhkan nyeri atau sakit perut.

Ini terjadi karena hiperperistaltik untuk mengatasi obstruksi dan

terjadi pada seluruh saluran cerna, sehingga nyeri viseral dirasakan

pada seluruh perut. Muntah atau rangsangan viseral akibat aktivasi

n.vagus. Obstipasi karena penderita takut untuk mengejan. Panas

akibat infeksi akut jika timbul komplikasi. Gejala lain adalah demam

yang tidak terlalu tinggi, antara 37,5 -38,5 C. Tetapi jika suhu lebih

tinggi, diduga sudah terjadi perforasi (Departemen Bedah UGM,

2010).

Pada pemeriksaan fisik yaitu pada inspeksi, penderita berjalan


membungkuk sambil memegangi perutnya yang sakit, kembung bila

terjadi perforasi, dan penonjolan perut bagian kanan bawah terlihat

pada apendikuler abses (Departemen Bedah UGM, 2010).

Pada palpasi, abdomen biasanya tampak datar atau sedikit kembung.

Palpasi dinding abdomen dengan ringan dan hati-hati dengan sedikit

tekanan, dimulai dari tempat yang jauh dari lokasi nyeri.

Pada perkusi akan terdapat nyeri ketok. Auskultasi akan terdapat

peristaltik normal, peristaltik tidak ada pada illeus paralitik karena

peritonitis generalisata akibat apendisitis perforata. Auskultasi tidak

banyak membantu dalam menegakkan diagnosis apendisitis, tetapi

kalau sudah terjadi peritonitis maka tidak terdengar bunyi peristaltik

usus. Pada pemeriksaan colok dubur (Rectal Toucher) akan terdapat

nyeri pada jam 9-12 (Departemen Bedah UGM, 2010).

Tabel 1. Skor Alvarado

Temuan Skor
Perpindahan nyeri ke fossa iliaca dextra 1
Anoreksia 1
Mual atau muntah 1
Nyeri tekan: fossa iliaca dextra 2
Nyeri lepas: fossa iliaca dextra 0
Demam 1
Leukositosis ≥10x109/L 0
Shift to the left of neutrophils 0
Total 6

Pasien dengan skor awal ≤ 4 sangat tidak mungkin menderita


apendisitis dan tidak memerlukan perawatan di rumah sakit kecuali

gejalanya memburuk (Burkitt, Quick, Reed, 2007).

3.1.8 Pemeriksaan Penunjang

Pada pemeriksaan laboratorium darah, biasanya didapati peningkatan

jumlah leukosit (sel darah putih). Urinalisa diperlukan untuk

menyingkirkan penyakit lainnya berupa peradangan saluran kemih.

Pada pasien wanita, pemeriksaan dokter kebidanan dan kandungan

diperlukan untuk menyingkirkan diagnosis kelainan peradangan

saluran telur/kista indung telur kanan atau KET (kehamilan diluar

kandungan) (Sanyoto, 2007).

Pemeriksaan radiologi berupa foto barium usus buntu

(Appendicogram) dapat membantu melihat terjadinya sumbatan atau

adanya kotoran (skibala) didalam lumen usus buntu. Pemeriksaan

USG (Ultrasonografi) dan CT scan bisa membantu dakam

menegakkan adanya peradangan akut usus buntu atau penyakit

lainnya di daerah rongga panggul (Sanyoto, 2007).

Namun dari semua pemeriksaan pembantu ini, yang menentukan

diagnosis apendisitis akut adalah pemeriksaan secara klinis.

Pemeriksaan CT scan hanya dipakai bila didapat keraguan dalam

menegakkan diagnosis. Pada anak-anak dan orang tua penegakan

diagnosis apendisitis lebih sulit dan dokter bedah biasanya lebih


agresif dalam bertindak (Sanyoto, 2007).

3.1.9 Diagnosis Banding

Pada keadaan tertentu, beberapa penyakit perlu dipertimbangkan

sebagai diagnosis banding, seperti:

• Gastroenteritis

Pada gastroenteritis, mual, muntah, dan diare mendahului rasa sakit.

Sakit perut lebih ringan dan tidak berbatas tegas. Hiperperistaltis

sering ditemukan. Panas dan leukositosis kurang menonjol

dibandingkan dengan apendisitis akut.

• Demam Dengue

Dapat dimulai dengan sakit perut mirip peritonitis. Di sini

didapatkan hasil tes positif untuk Rumpel Leede, trombositopenia,

dan hematokrit meningkat.

• Kelainan ovulasi

Folikel ovarium yang pecah (ovulasi) mungkin memberikan nyeri

perut kanan bawah pada pertengahan siklus menstruasi.

• Infeksi panggul

Salpingitis akut kanan sering dikacaukan dengan apendisitis akut.

Suhu biasanya lebih tinggi daripada apendisitis dan nyeri perut

bagian bawah perut lebih difus.

• Kehamilan ektopik

Hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan keluhan yang tidak

menentu. Jika ada ruptur tuba atau abortus kehamilan di luar rahim
dengan pendarahan, akan timbul nyeri yang mendadak difus di

daerah pelvis dan mungkin terjadi syok hipovolemik.

• Kista ovarium terpuntir

Timbul nyeri mendadak dengan intensitas yang tinggi dan teraba

massa dalam rongga pelvis pada pemeriksaan perut, colok vaginal,

atau colok rektal.

• Endometriosis ovarium eksterna

Endometrium di luar rahim akan memberikan keluhan nyeri di

tempat endometriosis berada, dan darah menstruasi terkumpul di

tempat itu karena tidak ada jalan keluar.

• Urolitiasis pielum/ ureter kanan

Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut menjalar ke inguinal

kanan merupakan gambaran yang khas. Eritrosituria sering

ditemukan.

• Penyakit saluran cerna lainnya

Penyakit lain yang perlu diperhatikan adalah peradangan di perut,

seperti divertikulitis Meckel, perforasi tukak duodenum atau

lambung, kolesistitis akut, pankreatitis, divertikulitis kolon, obstruksi

usus awal, perforasi kolon, demam tifoid abdominalis, karsinoid, dan

mukokel apendiks (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).

3.1.10 Pengobatan

Pengobatan tunggal yang terbaik untuk usus buntu yang sudah

meradang/apendisitis akut adalah dengan jalan membuang


penyebabnya (operasi appendektomi). Pasien biasanya telah

dipersiapkan dengan puasa antara 4 sampai 6 jam sebelum operasi

dan dilakukan pemasangan cairan infus agar tidak terjadi dehidrasi.

Pembiusan akan dilakukan oleh dokter ahli anastesi dengan

pembiusan umum atau spinal/lumbal. Pada umumnya, teknik

konvensional operasi pengangkatan usus buntu dengan cara irisan

pada kulit perut kanan bawah di atas daerah apendiks (Sanyoto,

2007).

Perbaikan keadaan umum dengan infus, pemberian antibiotik untuk

kuman gram negatif dan positif serta kuman anaerob, dan

pemasangan pipa nasogastrik perlu dilakukan sebelum pembedahan

(Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).

Alternatif lain operasi pengangkatan usus buntu yaitu dengan cara

bedah laparoskopi. Operasi ini dilakukan dengan bantuan video

camera yang dimasukkan ke dalam rongga perut sehingga jelas dapat

melihat dan melakukan appendektomi dan juga dapat memeriksa

organ-organ di dalam perut lebih lengkap selain apendiks.

Keuntungan bedah laparoskopi ini selain yang disebut diatas, yaitu

luka operasi lebih kecil, biasanya antara satu dan setengah sentimeter

sehingga secara kosmetik lebih baik (Sanyoto, 2007).

3.1.11 Komplikasi
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik

berupa perforasi bebas maupun perforasi pada apendiks yang telah

mengalami perdindingan sehingga berupa massa yang terdiri atas

kumpulan apendiks, sekum, dan letak usus halus (Sjamsuhidajat, De

Jong, 2004). Komplikasi usus buntu juga dapat meliputi infeksi luka,

perlengketan, obstruksi usus, abses abdomen/pelvis, dan jarang

sekali dapat menimbulkan kematian (Craig, 2011).

Selain itu, terdapat komplikasi akibat tidakan operatif. Kebanyakan

komplikasi yang mengikuti apendisektomi adalah komplikasi

prosedur intra-abdomen dan ditemukan di tempat-tempat yang

sesuai, seperti: infeksi luka, abses residual, sumbatan usus akut, ileus

paralitik, fistula tinja eksternal, fistula tinja internal, dan perdarahan

dari mesenterium apendiks (Bailey, 1992).

3.1.12 Prognosis

Kebanyakan pasien setelah operasi appendektomi sembuh spontan

tanpa penyulit, namun komplikasi dapat terjadi apabila pengobatan

tertunda atau telah terjadi peritonitis/peradangan di dalam rongga

perut. Cepat dan lambatnya penyembuhan setelah operasi usus buntu

tergantung dari usia pasien, kondisi, keadaan umum pasien, penyakit

penyerta misalnya diabetes mellitus, komplikasi dan keadaan lainya

yang biasanya sembuh antara 10 sampai 28 hari (Sanyoto, 2007).


Alasan adanya kemungkinan ancaman jiwa dikarenakan peritonitis

di dalam rongga perut ini menyebabkan operasi usus buntu

akut/emergensi perlu dilakukan secepatnya. Kematian pasien dan

komplikasi hebat jarang terjadi karena usus buntu akut. Namun hal

ini bisa terjadi bila peritonitis dibiarkan dan tidak diobati secara

benar (Sanyoto, 2007).

3.2 Appendicogram

3.2.1 Definisi

Appendicogram merupakan pemeriksaan berupa foto barium usus

buntu yang dapat membantu melihat terjadinya sumbatan atau

adanya kotoran (skibala) di dalam lumen usus buntu (Sanyoto,

2007).

3.2.2 Teknik Pemeriksaan

Indikasi dilakukannya pemeriksaan appendicogram adalah

apendisitis kronis atau akut. Sedangkan kontraindikasi dilakukan

pemeriksaan appendicogram adalah pasien dengan kehamilan

trimester I atau pasien yang dicurigai adanya perforasi.

Persiapan Bahan:

− Larutan Barium Sulfat (± 250 gram) + 120-200 cc air.


Persiapan Pasien:

− Sehari sebelum pemeriksaan pasien diberi BaSO4 dilarutkan

dalam air masak dan diminta untuk diminum pada jam 24.00

WIB setelah itu puasa.

− Pasien di panggil masuk ke ruang pemeriksaan dalam keadaan

puasa.

− Pasien diminta untuk membuka pakaian.

− Pasien diberi baju RS untuk dipakai.

Prosedur:

− Pasien naik ke atas meja pemeriksaan.

− Kaset ditempatkan di bawah meja pemeriksaan.

−Meminta pasien agar kooperatif dan menuruti perintah radiografer

sehingga pemeriksaan berjalan dengan baik.

−Sesudah pasien difoto, pasien diminta mengganti pakaian dan

diminta untuk datang keesokan harinya untuk dilakukan foto

kembali selama 3 hari berturut-turut.

3.2.3 Gambaran Radiologis

Appendicogram dengan non-filling apendiks (negatif

appendicogram) merupakan apendisitis akut. Appendicogram dengan

partial filling (parsial appendicogram) diduga sebagai apendisitis dan

appendicogram dengan kontras yang mengisi apendiks secara total

(positif appendicogram) merupakan apendiks yang normal (Sibuea,


1996).

Appendicogram sangat berguna dalam diagnosis apendisitis akut,

karena merupakan pemeriksaan yang sederhana dan dapat

memperlihatkan visualisasi dari apendiks dengan derajat akurasi

yang tinggi (Sibuea, 1996).

Gambar 2.Gambaran pemeriksaan appendicogram


BAB IV
ANALISIS KASUS

1. Apakah diagnosis pasien sudah tepat?


Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan hasil skor

Alvarado antara lain:

Temuan Poin Pasien


Perpindahan nyeri ke fossa iliaca dextra 1 1
Anoreksia 1 1
Mual atau muntah 1 1
Nyeri tekan: fossa iliaca dextra 2 2
Nyeri lepas: fossa iliaca dextra 1 0
Demam 1 1
Leukositosis ≥10x109/L 2 0
Shift to the left of neutrophils 1 0
Total 10 5

Total Alvarado score pasien yaitu 6 berarti diagnosis apendisitis masih

“possible” soleh karena itu membutuhkan observasi dan pemeriksaan

penunjang lebih lanjut. Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan

appendicogram dengan hasil sebagai berikut:

Apendikogram:
 Kontras mengisi ileus, caecum sampai kolon ascendens
 Lumen appendix tak terisi kontras
 Tak tampak indentasi caecum

Kesan:

Non filling appendix

Adanya appendicitis belum dapat disingkirkan

Karena diagnosis appendicitis belum dapat disingkirkan maka diagnosis

kerja pada pasien sudah tepat yaitu suspek appendicitis.

2. Apakah pemeriksaan penunjang pada kasus ini sudah tepat?


Pemeriksaan penunjang pada kasus ini kurang tepat. Pemeriksaan

appendicogram sudah tidak digunakan lagi di negara lain, baik Amerika

Serikat, Inggris, Eropa, maupun Australia. Kriteria yang dikeluarkan

American College of Radiology mengkategorikan appendicogram dengan

rating 2: usually not appropriate. Rekomendasi serupa juga dikeluarkan

oleh European Association of Endosscopic Surgery (EAES) yang tidak lagi

menyarankan penggunaan pemeriksaan ini dan menyarankan penggunaan

ultrasonografi sebagai diagnosis lini pertama dan CT Scan dengan kontras

atau MRI, terutama pada pasien obesitas. Pemeriksaan ini memiliki banyak

keterbatasan yang mempengaruhi akurasinya, seperti kesulitan untuk

mendiagnosa apendisitis distal, tingkat nonvisualisasi yang tinggi (23%)

pada orang normal/ Hasil positif pada appendicogram juga bukan

merupakan hasil yang spesifik pada apendisitis dan bisa ditemukan pada

kondisi lain. Selain itu adanya efek samping yaitu reaksi alergi terhadap
barium, obstruksi traktus gastrointestinal, inflamasi jaringan sekitar kolon,

dan perforasi kolon.

3. Bagaimanakah prinsip pemeriksaan radiologi khusus appendicogram?

Indikasi dan kontraindikasi appendicogram?

 Prinsip pemeriksaan appendicogram adalah BaSO4 (barium sulfat) yang

diencerkan dengan air menjadi suspensi barium dimasukkan secara oral

maupun melalui anus. Hasil dari pemeriksaan ini dapat menggambarkan

anatomi fisiologis dari apendiks dan kelainan pada apendiks berupa

sumbatan pada pangkal apendiks. Hasil pemeriksaan apendikografi

dibagi menjadi tiga, yakni:


1. Filling atau positif appendicogram: keseluruhan lumen apendiks terisi

penuh oleh barium sulfat. Gambaran ini menandakan bahwa tidak ada

obstruksi pada pangkal apendiks sehingga suspensi barium sulfat yang

diminum oleh pasien dapat mengisi lumen apendiks hingga penuh.


2. Partial Filling: suspensi barium sulfat hanya mengisi sebagian lumen

apendiks dan tidak merata.


3. Non-Filling atau negatif appendicogram: barium sulfat tidak dapat

mengisi lumen apendiks. Ada beberapa kemungkinan penyebab dari

gambaran negatif appendicogram yakni adanya obstruksi pada

pangkal apendiks (dapat berupa inflamasi) yang mengindikasikan

apendisitis atau suspensi barium sulfat belum mencapai apendiks

karena perhitungan waktu yang tidak tepat (false negative

appendicogram).

 Indikasi pemeriksaan appendicogram:


1. Apendisitis akut
2. Apendisitis kronis
 Kontraindikasi pemeriksaan appendicogram:
1. Hamil
2. Perforasi appendix
3. Gagal ginjal

3. Bagaimanakah gambaran-gambaran radiologis khas appendicogram pada

penyakit appendisitis?

a. Filling atau positif appendicogram: keseluruhan lumen apendiks terisi

penuh oleh barium sulfat. Gambaran ini menandakan bahwa tidak ada

obstruksi pada pangkal apendiks sehingga suspensi barium sulfat yang

diminum oleh pasien dapat mengisi lumen apendiks hingga penuh

Pengisian penuh kontras, tampak apendiks normal

b. Partial filling: suspensi barium sulfat hanya mengisi sebagian lumen

apendiks dan tidak merata.


Partial Filling pada apendiks bagian proksimal

c. Non Filling atau negatif appendicogram: barium sulfat tidak dapat

mengisi lumen apendiks. Ada beberapa kemungkinan penyebab dari

gambaran negatif appendicogram yakni adanya obstruksi pada pangkal

apendiks (dapat berupa inflamasi) yang mengindikasikan apendisitis atau

suspensi barium sulfat belum mencapai apendiks karena perhitungan

waktu yang tidak tepat (false negative appendicogram).

Non Filling apendiks dengan penekanan massa pada ileum distal


DAFTAR PUSTAKA

Bailey, H., 1992. Apendisitis Akut. Dalam: Dudley, H.A.F., ed. Ilmu Bedah Gawat

Darurat.Edisi11.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 441-452.

Burkitt, H.G., Quick, C.R.G., and Reed, J.B., 2007. Appendicitis. In: Essential

Surgery Problems, Diagnosis, & Management. Fourth Edition. London: Elsevier,

389-398.

Crawford, J dan Kumar, V., 2007. Rongga Mulut dan Saluran Gastrointestinal.

In:Buku Ajar Patologi. Edisi 7. Jakarta: EGC, 660-661.

Docstoc. 2010. Askep Apendisitis. Available from:

http://www.docstoc.com/docs/22262076/askep-apendisitis [Accessed 02 Januari

2019]

Sibuea, W.H., 1996. Kegunaan Apendikogram Barium per Oral dalam

Menegakkan Diagnosis Apendisitis Akut. Available from:


http://perpustakaan.litbang.depkes.go.id/otomasi/index.php?

p=showdetail&id=1409 [Accessed 2 April 2011] {abstrak}.

Sjamsuhidajat, R., De Jong, W., 2004. Buku-Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2.

Jakarta:EGC, 639-645.

Small, V., 2008. Surgical Emergencies. In: Dolan, Brian and Holt, Lynda, ed.

Accident & Emergency Theory into Practice. Second Edition. London: Elsevier,

477-478.

Anda mungkin juga menyukai