Anda di halaman 1dari 41

Laporan Kasus

Peritonitis Generalisata e.c Perforasi Organ Viscus / Perforasi Gaster

Oleh:

dr. I Made Adi Surya Wijaya

Dokter Pembimbing:

dr. Ali Mansyur, Sp.B

RSUD GENTENG BANYUWANGI

Periode 2019-2020

i
KATA PENGATAR

Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
berbagai kemudahan kepada penulis untuk menyelesaikan untuk menyelesaikan
laporan kasus dengan judul “Peritonitis Generalisata e.c Perforasi Organ Viscus /
Perforasi Gaster”. Laporan kasus ini penulis susun sebagai salah satu tugas dalam
program dokter intership Indonesia. Dalam menyelesaikan laporan kasus ini, tentu
tak lepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu penulis menyampaikan ucapan
terima kasih kepada dr. Ali Mansyur, Sp.B selaku pembimbing Ilmu Bedah
Bagian Bedah Umum RSUD Genteng Banyuwangi.
Penulis sadar masih banyak kekurangan dalam penyusunan laporan kasus
ini sehingga masih jauh dari kata sempurna, walaupun demikian penulis berharap
laporan kasus ini bermanfaat bagi para pembacanya khususnya rekan rekan
sejawat dokter. Oleh sebab itu kritik dan saran sangat penulis harapkan agar
kedepannya laporan kasus ini bisa lebih sempurna.
Penulis memohon maaf sebesar-besarnya bila terdapat beberapa kesalahan
dalam laporan kasus ini. Atas perhatiannya penulis mengucapkan terimakasih.
Semoga laporan kasus ini bermanfaat bagi kita semua.

Banyuwangi, 12 Desember 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman Judul ................................................................................................ i

Kata Pengantar ............................................................................................... ii

Daftar Isi ......................................................................................................... iii

Bab I Laporan Kasus .................................................................................... 1

A. Identitas Pasien.............................................................................. 1

B. Anamnesis .................................................................................... 1

C. Pemeriksaan Fisik ......................................................................... 5

D. Rencana Pemeriksaan Penunjang ................................................. 7

E. Assesment .................................................................................... 10

Bab II Tinjauan Pustaka ................................................................................ 12

A. Definisi ......................................................................................... 12

B. Anatomi dan Fisiologi .................................................................. 12

C. Etiologi ......................................................................................... 17

D. Klasifikasi .................................................................................... 17

E. Faktor resiko ................................................................................ 19

F. Patofisiologi ................................................................................. 20

G. Manifestasi klinis ......................................................................... 22

H. Pemeriksaan Fisik ........................................................................ 26

I. Pemeriksaan Penunjang ............................................................... 28

J. Penatalaksanaan ........................................................................... 29

K. Komplikasi ................................................................................... 35

J. Prognosis ...................................................................................... 35

Daftar Pustaka ................................................................................................ 40

iii
BAB I

LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien

a. Nama : Tn. M
b. Usia : 26 tahun
c. Jenis kelamin : Laki-laki
d. Agama : Islam
e. Suku : Jawa
f. Alamat : Dsn Palurejo 2/11
g. Pekerjaan :-
h. Status : Menikah
i. Tanggal masuk RS :30/10/ 2019

B. Anamnesis

1. Keluhan Utama

Nyeri perut

2. Riwayat Penyakit Sekarang

± 7 hari yang lalu SMRS pasien mengeluh nyeri perut. Nyeri dirasakan di
bagian ulu hati, terasa lebih sakit setelah makan dan keluhan berkurang bila
minum obat. BAB dan BAK lancar, mual (-) muntah (-).
± 4 hari SMRS pasien masih mengeluh nyeri perut bagian ulu hati. nyeri
yang dirasa semakin bertamabah dari sebelumnya dan terus-menerus, keluhan
lebih ringan pada posisi tidur dengan lutut ditekuk, membaik dengan obat,
BAB dan BAK lancar, mual (-), muntah (-).
± 1 hari SMRS pasien merasa nyeri perut hebat, nyeri yang dirasa terus
menerus, nyeri mula-mula dirasakan didaerah ulu hati, kemudia nyeri menjalar
ke bagian perut kiri atas, dan terus menjalar ke seluruh perut. Perut terasa
keras, bila ditekan nyeri hebat, keluhan diperberat dengan bergerak, tidak
membaik dengan pemberian obat, pasien tidak dapat beristirahat karena

1
kesakitan, BAB dan BAK tidak lancar, mual (-), muntah (-), demam (-).
Kemudian pasien datang ke IGD RSUD Rsud Genteng Banyuwangi.

3. Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien tidak pernah mengalami sakit seperti ini


sebelumnya. Riwaat gastritis diakui selama ± 3tahun yang lalu sampai
sekarang

Riwayat hipertensi (-), Diabetes Mellitus (-), Maag (+).

4. Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada riwayat sakit serupa pada keluarga pasien.

5. Riwayat Obat-obatan

Pasien hanya mengkonsumsi obat lambung saja.

6. Riwayat Alergi

Makanan : (-)

Obat : (-)

7. Riwayat Sosial Ekonomi :


Pasien tidak bekerja. Pasien tinggal bersama dengana istrinya. Biaya
pengobatan menggunakan BPJS. Kesan ekonomi cukup.
Pasien sering mengkonsumsi alkohol dan rokok, hampir setiap hari
mengkonsumsinya, menurut istri pasien pasien sering menggunakan pil-pil
putih (istri pasien tidak tahu namanya dan pasien tidak mau menceritakan nama
pilnya), dan sering minum jamu-jamuan dipinggir jalan.

2
C. Pemeriksaan Fisik

I. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : tampak sangat kesakitan

Kesadaran : compos mentis

Tanda vital :

TD : 135/96 mmHg
Nadi : 82 x / menit (reguler, isi dan tegangan cukup)
RR : 22 x /menit (reguler)
T : 37°C (axiler)

1. Status Interna
Kepala : kesan mesocephal, Deformitas (-)

Mata : Corpus alienum (-/-), konjungtiva anemis (-/-),

edem palpebra (-/-), hematoma palpebra inferior (-/-)

peflek pupil direk (+/+), reflek pupil indirek (+/+)

pupil isokor (D: 3mm/3mm), raccoon eyes (-/-).

Hidung : Nafas cuping hidung (-/-), deformitas (-), jejas (-),

rhinorea (-/-)

Telinga : jejas (-), othorea (-/-), battle sign (-/-)

Mulut : Lembab (+), sianosis (-), perdarahan (-)

Leher : Tiroid (Normal), Jejas (-), deviasi trakea (-),

deformitas (-), pembengkakan (-), JVP (Normal)

3
Thorax :

Paru

Paru depan Paru belakang


Inspeksi
Normochest, simetris, Normochest, simetris,
Statis
kelainan kulit (-/-), sudut kelainan kulit (-/-)
arcus costa dalam batas
normal, ICS dalam batas
normal
Pengembangan pernafasan Pengembangan pernapasan

Dinamis paru normal paru normal

Palpasi Simetris (N/N), Nyeri tekan Simetris (N/N), Nyeri


(-/-), ICS dalam batas tekan (-/-), ICS dalam
normal, taktil fremitus sulit batas normal, taktil
dinilai fremitus sulit dinilai

Perkusi
Sonor seluruh lapang paru Sonor seluruh lapang paru
Kanan Sonor seluruh lapang paru. Sonor seluruh lapang paru.
Kiri

Auskultasi Suara dasar vesicular, Ronki Suara dasar vesicular,


(-/-), Wheezing (-/-) Ronki (-/-),Wheezing (-/-)

4
Tampak anterior paru Tampak posterior paru

SD : vesikuler SD : vesikuler

ST : Ronki (-), wheezing (-) ST: Ronki (-), wheezing (-)

Jantung

Inspeksi : ictus cordis tidak tampak

Palpasi : ictus cordis teraba pada ICS V 1-2 cm ke arah medial


midclavikula sinistra, thrill (-), pulsus epigastrium (-),
pulsus parasternal (-), sternal lift (-)

Perkusi :

batas atas : ICS II linea parasternal sinistra

pinggang jantung : ICS III linea parasternal sinsitra

batas kanan bawah : ICS V linea sternalis dextra

kiri bawah : ICS V 1-2 cm ke arah medial midclavikula


sinistra

Konfigurasi jantung (dalam batas normal)

Auskultasi : regular, Suara jantung murni: SI,SII (normal) reguler.

Suara jantung tambahan gallop (-), murmur (-) SIII (-), SIV (-)

Abdomen

 Inspeksi : Permukaan datar, warna sama seperti kulit di


sekitar

5
 Auskultasi : Bising usus melemah

 Perkusi : Tidak dapat dinilai karena pasien mengeluh


kesakitan

 Palpasi : Nyeri tekan (+) disemua lapang abdomen,


divans muskuler (+)

Ekstremitas
Superior Inferior

Warna kulit Tampak pucat / Sama dengan


sama dengan sekitar / sama
sekitar dengan sekitar

Vulnus laserasi -/- -/-

Hematom -/- -/-

Deformitas -/- -/-

Oedem -/- -/-

Parestesi -/- -/-

Nyeri -/- -/-

Gerak aktif Bebas/bebas Bebas/bebas

Gerak pasif Bebas /bebas Bebas/bebas

Capillary Refill < 2 detik/< 2 detik < 2 detik/< 2 detik

Akral dingin -/- -/-

2. Status Lokalis
 Inspeksi : Permukaan datar, warna sama seperti kulit di
sekitar
 Auskultasi : Bising usus (melemah)

6
 Perkusi : Tidak dapat dinilai karena pasien mengeluh
kesakitan
 Palpasi : Nyeri tekan (+) disemua lapang abdomen,
divans muskuler (+)

II. PEMERIKSAAN PENUNJANG


a. Laboratorium
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan

Leukosit 11.000 ribu/ul 4,0-10,0

Eritrosit 3,83 juta/ul 4,5-5,5

Hb 11,9 g/dl 11-16

Hematokrit 36,6 % 35-45

Trombosit 276 10^3/ul 150-450


RDW 12,30 % 11.5-14.5

Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan

GDS 95 ml/dL <125

SGOT 18 U/L 0-30

SGPT 22 U/L 0-32

Ureum 59,0 mg/dL 10-50

Creatinin 1,9 mg/dL 0,70-1,10


HbsAg (-) Non Reaktif(-)

7
b. Foto BNO Abdomen

- Udara bebas di cavum peritonium


- Pneumoperotonium

8
3. USG Abdomen

Hasil:

Tampak cairan bebas dengan dinding intestine menebal

Suggestif Peritonitis

9
III. RESUME
± 7 hari yang lalu SMRS pasien mengeluh nyeri perut. Nyeri dirasakan di
bagian ulu hati, terasa lebih sakit setelah makan dan keluhan berkurang bila
minum obat. BAB dan BAK lancar, mual (-) muntah (-). ± 4 hari SMRS
pasien masih mengeluh nyeri perut bagian ulu hati. nyeri yang dirasa semakin
bertamabah dari sebelumnya dan terus-menerus, keluhan lebih ringan pada
posisi tidur dengan lutut ditekuk, membaik dengan obat, BAB dan BAK lancar,
mual (-), muntah (-). ± 1 hari SMRS pasien merasa nyeri perut hebat, nyeri
yang dirasa terus menerus, nyeri mula-mula dirasakan didaerah ulu hati,
kemudia nyeri menjalar ke bagian perut kiri atas, dan terus menjalar ke seluruh
perut. Perut terasa keras, bila ditekan nyeri hebat, keluhan diperberat dengan
bergerak, tidak membaik dengan pemberian obat, pasien tidak dapat
beristirahat karena kesakitan, BAB dan BAK tidak lancar, mual (-), muntah (-),
demam (-). Kemudian pasien datang ke IGD RSUD Genteng Banyuwangi.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan KU tampak kesakitan. TD 135/96
mmHg, nadi 82 x / menit (reguler, isi dan tegangan cukup), RR 22 x /menit
(reguler), suhu 37°C (axiler), IMT : 28,9 kg/m2.
Pada status lokalis didapatkan bisisng usus (-), perkusi tidak dapat dinilai
karena pasien sangat kesakitan, palpasi nyeri tekan (+) disemua lapang
abdomen, divans muskuler (+).
Pada pemeriksaan penunjang laboratorium didapatkan hasil leukosit
11.000, Pada pemeriksaan X-Foto BNO didapatkan hasil pneumoperitonium.

10
INITIAL PLAN
a. Ip Dx :
Diagnosis kerja : Peritonitis Generalisata e.c Perforasi
Organ Viscus / Perforasi Gaster

Diagnosa Banding :
Illeus Obstruksi
Appendisitis perforasi
b. Ip Tx:
- Infus RL 20 tpm
- Injeksi santagesik 2x1 ampul
- Injeksiantibiotik cefixime 2x1 ampul
- Pasang kateter foley
- Laparotomi segera

c. Ip Mx:
- Keadaan umum
- Tanda vital
d. Ip. Ex :
- Menjelaskan kepada keluarga dan pasien tentang penyakit
yang dialami pasien
- Menjelaskan kemungkinan perlunya tindakan operasi.
- Menjelaskan kemungkinana yang terjadi bila tidak segera
dilakukan oprasi

11
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Peritonitis adalah keadaan akut abdomen akibat peradangan

sebagian atau seluruh peritoneum parietale ataupun viserale pada rongga

abdomen. Peritonitis seringkali disebabkan dari infeksi yang berasal dari

organ-organ di cavum abdomen. Peritonieum adalah selaput tipis dan jernih

yang membungkus organ perut dan dinding perut sebelah dalam. Lokasi

peritonitis bisa terlokalisir atau difuse, riwayat akut atau kronik dan

patogenesis disebabkan oleh infeksi atau aseptik. Peritonitis merupakan suatu

kegawat daruratan yang biasanya disertai dengan bakterisemia atau sepsis.

Akut peritonitis sering menular dan sering dikaitkan dengan perforasi viskus

(secondary peritonitis). Apabila tidak ditemukan sumber infeksi pada

intraabdominal, peritonitis dikategorikan sebagai primary peritonitis (Fauci et

al, 2008).

B. Anatomi dan Fisiologi

Dinding perut mengandung struktur muskulo-aponeurosis yang

kompleks. Di bagian belakang, struktur ini melekat pada tulang belakang, di

sebelah atas pada iga, dan di bagian bawah pada tulang panggul. Dinding

perut ini terdiri atas beberapa lapis, yaitu dari luar ke dalam, lapis kulit yang

terdiri dari kutis dan subkutis; lemak subkutan dan fasia superfisial (fasia

Scarpa); kemudian ketiga otot dinding perut, m. oblikus abdominis eksternus,

m. oblikus abdominis internus, dan m. tranversus abdominis; dan akhirnya

12
lapis preperitoneal, dan peritoneum. Otot di bagian depan terdiri atas

sepasang otot rektus abdominis dengan fasianya yang di garis tengah

dipisahkan oleh linea alba (Syamsuhidayat dan Wim de Jong, 2004).

Dinding perut membentuk rongga perut yang melindungi isi

rongga perut. Perdarahan dinding perut berasal dari beberapa arah. Dari

kranikaudal diperoleh pendarahan dari cabang aa. interkostales VI s/d XII

dan a. epigastrika superior. Dari kaudal, a. iliaka sirkumfleksa superfisialis, a.

pudenda eksterna, dan a. epigastrica inferior. Kekayaan vaskularisasi ini

memungkinkan sayatan perut horizontal maupun vertikal tanpa menimbulkan

gangguan pendarahan. Persarafan dinding perut dilayani secara segmental

oleh n. torakalis VI s/d XII dan n. lumbalis I (Syamsuhidayat dan Wim de

Jong, 2004).

Rongga perut (cavitas abdominalis) dibatasi oleh membran serosa

yang tipis mengkilap yang juga melipat untuk meliputi organ-organ di dalam

rongga abdominal. Lapisan membran yang membatasi dinding abdomen

dinamakan peritoneum parietale, sedangkan bagian yang meliputi organ

dinamakan peritoneum viscerale. Di sekitar dan sekeliling organ ada lapisan

ganda peritoneum yang membatasi dan menyangga organ, menjaganya agar

tetap berada di tempatnya, serta membawa pembuluh darah, pembuluh limfe,

dan saraf. Bagian-bagian peritoneum sekitar masing-masing organ diberi

nama-nama khusus (Schwartz et al, 1989).

Mesenterium ialah bangunan peritoneal yang berlapis ganda,

bentuknya seperti kipas, pangkalnya melekat pada dinding belakang perut

dan ujungnya yang mengembang melekat pada usus halus. Di antara dua

13
lapisan membran yang membentuk mesenterium terdapat pembuluh darah,

saraf dan bangunan lainnya yang memasok usus. Bagian mesenterium di

sekitar usus besar dinamakan mesokolon. Lapisan ganda peritoneum yang

berisi lemak, menggantung seperti celemek di sebelah atas depan usus

bernama olentum majus. Bangunan ini memanjang dari tepi lambung sebelah

bawah ke dalam bagian pelvik abdomen dan kemudian melipat kembali dan

melekat pada colon tranversum. Ada juga membran yang lebih kecil bernama

omentum minus yang terentang antara lambung dan liver (Schwartz et al,

1989).

Gambar 2.1 Ligamen dan Mesentrik dari Peritonium

Pada rongga peritoneum dewasa sehat terdapat ±100cc cairan

peritoneal yang mengandung protein 3g/dl. Sebagian besar berupa albumin.

Jumlah sel normal adalah 33/mm3 yang terdiri dari 45% makrofag, 45% sel T,

8% sisanya terdiri dari NK, sel B, eosinofil, dan sel mast serta sekretnya

terutama prostasiklin dan PGE2. Bila terjadi peradangan jumlah PMN dapat

meningkat sampai >3000/mm3 (Marshall, 2003).

14
Dalam keadaan normal, 1/3 cairan dalam peritoneum di drainase

melalui limfe diafragma sedang sisanya melalui peritoneum parietalis (Evans,

2001).

Relaksasi diafragma menimbulkan tekanan negatif sehingga cairan

dan partikel termasuk bakteri akan tersedot ke stomata yaitu celah di mesothel

diafragma yang berhubungan dengan lakuna limfe untuk bergerak ke limfe

substernal. Kontraksi diafragma menutup stomata dan mendorong limfe ke

mediastinum (Hau, 2003).

Oleh karena itu, sangat penting menjamin berlangsungnya

pernapasan spontan yang baik agar clearance bakteri peritoneum dapat

berlangsung (Evans, 2001).

Dalam keadaan normal, peritoneum dapat mengadakan fibrinolisis

dan mencegah terjadinya perlekatan. Peritoneum menangani infeksi dengan 3

cara:

1. Absorbsi cepat bakteri melalui stomata diafragma

Pompa diafragma akan menarik cairan dan partikel termasuk bakteri

kearah stomata. Oleh karena itu bila terdapat infeksi di peritoneum bagian

bawah, bakteri yang turut dalam aliran dapat bersarang di bagian atas dan

dapat menimbulkan sindroma Fitz-Hugh-Curtis, yaitu nyeri perut atas

yang disebabkan perihepatitis yang menyertai infeksi tuba falopii (Evans,

2001).

Peritonitis menyebabkan pergeseran cepat cairan intravaskuler dan

interstisial ke rongga peritoneum, sehingga dapat terjadi hipovolemia.

15
Empedu, asam lambung, dan enzim pankreas memperbesar pergeseran

cairan ini (Heemken, 1997).

2. Penghancuran bakteri oleh sel imun

Bakteri atau produknya akan mengaktivasi sel mesothel, netrofil,

makrofag, sel mast, dan limfosit untuk menimbulkan reaksi inflamasi

(Iwagaki, 1997).

Selain melepas mediator inflamasi ia dapat mengadakan degranulasi

zat vasoaktif yang mengandung histamin dan prostaglandin. Histamin dan

prostaglandin yang dilepas sel mast dan makrofag menyebabkan

vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh peritoneum sehingga

menimbulkan eksudasi cairan kaya komplemen, immunoglobulin, faktor

pembekuan, dan fibrin (Marshall, 2003).

Sudah diketahui bahwa untuk penyembuhan jaringan diperlukan

respon mediator pro-inflamasi di daerah sakit sampai terjadi kesembuhan

dimana mulai timbul mediator anti-inflamasi yang menghentikan proses

pro-inflamasi. Keadaan ini menunjukkan adanya keseimbangan fungsi

antara respon pro- dan anti-inflamasi. Tetapi pada keadaan tertentu dapat

terjadi ketidakseimbangan dimana salah satu yaitu: pro-inflamasi atau anti-

inflamasi atau bahkan keduanya sekaligus meningkat hebat diluar

kebutuhan penderita. Dalam keadaan ini kedua mediator yang

bertentangan dapat menimbulkan kerusakan organ hebat sehingga terjadi

kegagalan organ (Marshall, 2003).

16
3. Lokalisasi infeksi sebagai abses

Pada peningkatan permeabilitas venula terjadi eksudasi cairan kaya

protein yang mengandung fibrinogen. Sel rusak mengeluarkan

tromboplastin yang mengubah protrombin menjadi trombin dan fibrinogen

menjadi fibrin. Fibrin akan menangkap bakteri dan memprosesnya hingga

terbentuk abses. Hal ini dimaksud untuk menghentikan penyebaran bakteri

dalam peritoneum dan mencegah masuknya ke sistemik. Dalam keadaan

normal fibrin dapat dihancurkan antifibrinolitik, tetapi pada inflamasi

mekanisme ini tak berfungsi (Evans, 2001).

C. Etiologi

Penyebab yang paling serius dari peritonitis adalah terjadinya suatu

hubungan (viskus) ke dalam rongga peritoneal dari organ-organ intra-

abdominal (esofagus, lambung, duodenum, intestinal, colon, rektum, kandung

empedu, apendiks, dan saluran kemih), yang dapat disebabkan oleh trauma,

darah yang menginfeksi peritoneal, benda asing, obstruksi dari usus yang

mengalami strangulasi, pankreatitis, PID (Pelvic Inflammatory Disease) dan

bencana vaskular (trombosis dari mesenterium/emboli) (Brian,2011).

Peradangan peritoneum merupakan komplikasi berbahaya yang

sering terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya

apendisitis, salpingitis), ruptur saluran cerna, atau dari luka tembus abdomen.

Organisme yang sering menginfeksi adalah organisme yang hidup dalam

kolon pada kasus ruptur apendiks, sedangkan stafilokokus dan stretokokus

sering masuk dari luar (Brian,2011).

17
D. Klasifikasi

Infeksi peritoneal dapat diklasifikasikan sebagai bentuk:

 Peritonitis primer (Spontaneus)

Disebabkan oleh invasi hematogen dari organ peritoneal yang

langsung dari rongga peritoneum. Penyebab paling sering dari peritonitis

primer adalah spontaneous bacterial peritonitis (SBP) akibat penyakit

hepar kronis. Kira-kira 10-30% pasien dengan sirosis hepatis dengan

ascites akan berkembang menjadi peritonitis bakterial.

 Peritonitis sekunder

Penyebab peritonitis sekunder paling sering adalah perforasi

appendisitis, perforasi gaster dan penyakit ulkus duodenale, perforasi

kolon (paling sering kolon sigmoid) akibat divertikulitis, volvulus, kanker

serta strangulasi usus halus (Brian,2011).

Tabel 1. Penyebab Peritonitis Sekunder

Regio Asal Penyebab


 Boerhaave syndrome Malignancy
Esophagus  Trauma (mostly penetrating)
 Iatrogenic
 Peptic ulcer perforation
 Malignancy (eg, adenocarcinoma, lymphoma,
Stomach gastrointestinal stromal tumor)
 Trauma (mostly penetrating)
 Iatrogenic
 Peptic ulcer perforation
Duodenum  Trauma (blunt and penetrating)
 Iatrogenic
 Cholecystitis
 Stone perforation from gallbladder (ie,
gallstone ileus) or common duct
Biliary tract
 Malignancy
 Choledochal cyst (rare)
 Trauma (mostly penetrating)

18
 Iatrogenic
 Pancreatitis (eg, alcohol, drugs, gallstones)
Pancreas  Trauma (blunt and penetrating)
Iatrogenic
 Ischemic bowel
 Incarcerated hernia (internal and external)
 Closed loop obstruction
Small
 Crohn disease
bowel
 Malignancy (rare)
 Meckel diverticulum
 Trauma (mostly penetrating)
 Ischemic bowel
 Diverticulitis
 Malignancy
Large
 Ulcerative colitis and Crohn disease
bowel and
 Appendicitis
appendix
 Colonic volvulus
 Trauma (mostly penetrating)
 Iatrogenic
 Pelvic inflammatory disease (eg, salpingo-
Uterus, oophoritis, tubo-ovarian abscess, ovarian
salpinx, and cyst)
ovaries  Malignancy (rare)
 Trauma (uncommon)

 Peritonitis tertier

Peritonitis yang mendapat terapi tidak adekuat, superinfeksi

kuman, dan akibat tindakan operasi sebelumnya. Sedangkan infeksi intra

abdomen biasanya dibagi menjadi generalized (peritonitis)

dan localized (abses intra abdomen).

E. Faktor Resiko

Faktor-faktor berikut dapat meningkatkan resiko kejadian

peritonitis, yaitu:

- Penyakit hati dengan ascites

- Kerusakan ginjal

19
- Compromised immune system

- Pelvic inflammatory disease

- Appendisitis

- Ulkus gaster

- Infeksi kandung empedu

- Colitis ulseratif/chron’s disease

- Trauma

- CAPD (Continous Ambulatory Peritonial Dyalisis)

- Pankreatitis

F. Patofisiologi

Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri

adalah keluarnya eksudat fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk

di antara perlekatan fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan

permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Perlekatan biasanya

menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita

fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan obstuksi usus (Fauci et al, 2008).

Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler

dan membran mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara

cepat dan agresif, maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai

mediator, seperti misalnya interleukin, dapat memulai respon

hiperinflamatorius, sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya dari

kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi

dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga

20
ikut menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung, tapi ini

segera gagal begitu terjadi hipovolemia (Fauci et al, 2008).

Organ-organ didalam kavum peritoneum termasuk

dinding abdomen mengalami oedema. Oedema disebabkan oleh permeabilitas

pembuluh darah kapiler organ-organ tersebut meninggi. Pengumpulan cairan

didalam rongga peritoneum dan lumen-lumen usus serta oedema seluruh

organ intra peritoneal dan oedema dinding abdomen termasuk jaringan

retroperitoneal menyebabkan hipovolemia. Hipovolemia bertambah

dengan adanya kenaikan suhu, masukan yang tidak ada, serta muntah.

Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut

meningkatkan tekanan intra abdomen, membuat usaha pernapasan penuh

menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi (Fauci et al, 2008).

Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada

permukaan peritoneum atau bila infeksi menyebar, dapat timbul

peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis umum,

aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus

kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang

kedalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan

oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang

meregang dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan

mengakibatkan obstruksi usus (Fauci et al, 2008).

Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus

dapat menimbulkan ileus karena adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka

terjadi peningkatan peristaltik usus sebagai usaha untuk mengatasi hambatan.

21
Ileus ini dapat berupa ileus sederhana yaitu obstruksi usus yang tidak disertai

terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat total atau parsial, pada ileus

stangulasi obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi

iskemia yang akan berakhir dengan nekrosis atau ganggren dan akhirnya

terjadi perforasi usus dan karena penyebaran bakteri pada rongga abdomen

sehingga dapat terjadi peritonitis (Fauci et al, 2008).

Perforasi tukak peptik khas ditandai oleh perangsangan

peritoneum yang mulai di epigastrium dan meluas keseluruh peritonium

akibat peritonitis generalisata. Perforasi lambung dan duodenum

bagian depan menyebabkan peritonitis akut. Penderita yang

mengalami perforasi ini tampak kesakitan hebat seperti ditikam di perut.

Nyeri ini timbul mendadak terutama dirasakan di daerah epigastrium karena

rangsangan peritonium oleh asam lambung, empedu dan atau enzim pankreas.

Kemudian menyebar keseluruh perut menimbulkan nyeri seluruh perut pada

awal perforasi, belum ada infeksi bakteria, kadang fase ini disebut fase

peritonitis kimia, adanya nyeri di bahu menunjukkan rangsangan

peritoneum berupa pengenceran zat asam garam yang merangsang, ini

akan mengurangi keluhan untuk sementara sampai kemudian

terjadi peritonitis bakteria (Fauci et al, 2008).

G. Manifestasi Klinis

Gejala dan tanda biasanya berhubungan dengan proses penyebaran

di dalam rongga abdomen. Beratnya gejala berhubungan dengan beberapa

faktor yaitu: lamanya penyakit, perluasan dari kontaminasi kavum peritoneum

22
dan kemampuan tubuh untuk melawan, usia serta tingkat kesehatan penderita

secara umum (Cole et al,1970).

Manifestasi klinis dapat dibagi menjadi: (1) tanda abdomen yang

berasal dari awal peradangan dan (2) manifestasi dari infeksi sistemik.

Penemuan lokal meliputi nyeri abdomen, nyeri tekan, kekakuan dari dinding

abdomen, distensi, adanya udara bebas pada kavum peritoneum dan

menurunnya bising usus yang merupakan tanda iritasi dari peritoneum

parietalis dan menyebabkan ileus. Penemuan sistemik meliputi demam,

menggigil, takikardi, berkeringat, takipneu, gelisah, dehidrasi, oliguria,

disorientasi dan pada akhirnya dapat menjadi syok (Doherty, 2006).

1. Gejala

 Nyeri abdomen

Nyeri abdomen merupakan gejala yang hampir selalu ada

pada peritonitis. Nyeri biasanya datang dengan onset yang tiba-tiba,

hebat dan pada penderita dengan perforasi nyerinya didapatkan pada

seluruh bagian abdomen (Doherty, 2006).

Nyeri perut yang terjadi merupakan nyeri somatik. Nyeri

somatik terjadi karena rangsangan pada bagian yang dipersarafi oleh

saraf tepi, misalnya rangsangan pada peritoneum parietalis, dan luka

pada dinding perut. Nyeri yang timbul dapat lokal, dan dapat pula

merata pada seluruh perut tergantung luasnya rangsangan pada

peritonium. Karena rangsangan tersebut berlangsung terus pada

peritoneum, rasa nyeri dirasakan terus-menerus (Doherty, 2006).

23
Seiring dengan berjalannya penyakit, nyeri dirasakan terus-

menerus, tidak ada henti-hentinya, rasa seperti terbakar dan timbul

dengan berbagai gerakan. Nyeri biasanya lebih terasa pada daerah

dimana terjadi peradangan peritoneum. Menurunnya intensitas dan

penyebaran dari nyeri menandakan adanya lokalisasi dari proses

peradangan, ketika intensitasnya bertambah meningkat diserta dengan

perluasan daerah nyeri menandakan penyebaran dari peritonitis

(Schwartz et al, 1989).

Gesekan antara visera yang meradang akan menimbulkan

rangsangan peritoneum dan menyebabkan nyeri. Peradangannya

sendiri maupun gesekan antara kedua peritoneum dapat menyebabkan

perubahan intensitas nyeri. Setiap gerakan penderita, baik berupa

gerak tubuh maupun gerak nafas yang dalam atau batuk, juga akan

menambah rasa nyeri sehingga penderita gawat perut yang disertai

rangsangan peritoneum berusaha untuk tidak bergerak, bernapas

dangkal, dan menahan batuk (Doherty, 2006).

 Anoreksia, mual, muntah dan demam

Pada penderita juga sering didapatkan anoreksia, mual dan

dapat diikuti dengan muntah. Penderita biasanya juga mengeluh haus

dan badan terasa seperti demam sering diikuti dengan menggigil yang

hilang timbul. Meningkatnya suhu tubuh biasanya sekitar 38OC

sampai 40OC (Schwartz et al, 1989).

 Facies Hipocrates

24
Pada peritonitis berat dapat ditemukan fascies Hipocrates.

Gejala ini termasuk ekspresi yang tampak gelisah, pandangan kosong,

mata cowong, kedua telinga menjadi dingin, dan muka yang tampak

pucat (Cole et al,1970).

Penderita dengan peritonitis lanjut dengan fascies

Hipocrates biasanya berada pada stadium preterminal. Hal ini ditandai

dengan posisi mereka berbaring dengan lutut di fleksikan dan

respirasi interkosta yang terbatas karena setiap gerakan dapat

menyebabkan nyeri pada abdomen (Schwartz et al, 1989).

Tanda ini merupakan patognomonis untuk peritonitis berat

dengan tingkat kematian yang tinggi, akan tetapi dengan mengetahui

lebih awal diagnosis dan perawatan yang lebih baik, angka kematian

dapat lebih banyak berkurang (Cole et al,1970).

 Syok

Pada beberapa kasus berat, syok dapat terjadi oleh karena

dua faktor. Pertama akibat perpindahan cairan intravaskuler ke kavum

peritoneum atau ke lumen dari intestinal. Yang kedua dikarenakan

terjadinya sepsis generalisata (Cole et al,1970).

Yang utama dari septisemia pada peritonitis generalisata

melibatkan kuman gram negatif dimana dapat menyebabkan

terjadinya tahap yang menyerupai syok. Mekanisme dari fenomena ini

belum jelas, akan tetapi dari penelitian diketahui bahwa efek dari

endotoksin pada binatang dapat memperlihatkan sindrom atau gejala-

25
gejala yang mirip seperti gambaran yang terlihat pada manusia (Cole

et al,1970).

2. Tanda

 Tanda Vital

Tanda vital sangat berguna untuk menilai derajat keparahan

atau komplikasi yang timbul pada peritonitis. Pada keadaan asidosis

metabolik dapat dilihat dari frekuensi pernapasan yang lebih cepat

daripada normal sebagai mekanisme kompensasi untuk

mengembalikan ke keadaan normal. Takikardi, berkurangnya volume

nadi perifer dan tekanan nadi yang menyempit dapat menandakan

adanya syok hipovolemik. Hal-hal seperti ini harus segera diketahui

dan pemeriksaan yang lebih lengkap harus dilakukan dengan bagian

tertentu mendapat perhatian khusus untuk mencegah keadaan yang

lebih buruk (Schwartz et al, 1989).

H. Pemeriksaan Fisik

 Inspeksi

Tanda paling nyata pada penderita dengan peritonitis adalah

adanya distensi dari abdomen. Akan tetapi, tidak adanya tanda distensi

abdomen tidak menyingkirkan diagnosis peritonitis, terutama jika

penderita diperiksa pada awal dari perjalanan penyakit, karena dalam 2-3

hari baru terdapat tanda-tanda distensi abdomen. Hal ini terjadi akibat

penumpukan dari cairan eksudat tapi kebanyakan distensi abdomen

terjadi akibat ileus paralitik (Cole et al,1970).

 Auskultasi

26
Auskultasi dilakukan untuk menilai apakah terjadi penurunan suara

bising usus. Pasien dengan peritonitis umum, bising usus akan melemah

atau menghilang sama sekali, hal ini disebabkan karena peritoneal yang

lumpuh sehingga menyebabkan usus ikut lumpuh/tidak bergerak (ileus

paralitik). Sedangkan pada peritonitis lokal bising usus dapat terdengar

normal (Cole et al,1970).

 Perkusi

Nyeri ketok menunjukkan adanya iritasi pada peritoneum, adanya

udara bebas atau cairan bebas juga dapat ditentukan dengan perkusi

melalui pemeriksaan pekak hati dan shifting dullnes. Hilangnya pekak

hepar dan perkusi abdomen hipertimpani merupakan tanda dari adanya

perforasi intestinal, hal ini menandakan adanya udara bebas dalam cavum

peritoneum yang berasal dari intestinal yang mengalami perforasi.

Biasanya ini merupakan tanda awal dari peritonitis (Cole et al,1970).

Jika terjadi pneumoperitoneum karena ruptur dari organ berongga,

udara akan menumpuk di bagian kanan abdomen di bawah diafragma,

sehingga akan ditemukan pekak hepar yang menghilang (Schwartz et al,

1989).

 Palpasi

Palpasi adalah bagian yang terpenting dari pemeriksaan abdomen

pada kondisi ini. Kaidah dasar dari pemeriksaan ini adalah dengan palpasi

daerah yang kurang terdapat nyeri tekan sebelum berpindah pada daerah

yang dicurigai terdapat nyeri tekan. Penemuan yang paling penting adalah

adanya nyeri tekan yang menetap lebih dari satu titik. Pada stadium lanjut

27
nyeri tekan akan menjadi lebih luas dan biasanya didapatkan spasme otot

abdomen secara involunter. Nyeri tekan lepas timbul akibat iritasi dari

peritoneum oleh suatu proses inflamasi. Nyeri tekan dan defans muscular

(rigidity) menunjukkan adanya proses inflamasi yang mengenai

peritoneum parietale (nyeri somatik). Defans yang murni adalah proses

refleks otot akan dirasakan pada inspirasi dan ekspirasi berupa reaksi

konstraksi otot terhadap rangsangan tekanan. Proses ini dapat terlokalisir

pada appendisitis dengan perforasi lokal, atau dapat menjadi menyebar

seperti pada pankreatitis berat. Nyeri tekan lepas dapat hanya terlokalisir

pada daerah tersebut atau menjalar ke titik peradangan yang maksimal

(Cole et al,1970).

Pada peradangan di peritoneum parietalis, otot dinding perut

melakukan spasme secara involunter sebagai mekanisme pertahanan.

Pada peritonitis, reflek spasme otot menjadi sangat berat seperti papan

(Schwartz et al, 1989).

I. Pemeriksaan Penunjang

1. Laboratorium

Evaluasi laboratorium hanya dilakukan jika adanya hubungan

antara riwayat penyakit dengan pemeriksaan fisik. Tes yang paling

sederhana dilakukan adalah termasuk hitung sel darah dan urinalisis. Pada

kasus peritonitis hitung sel darah putih biasanya lebih dari 20.000/mm3,

kecuali pada penderita yang sangat tua atau seseorang yang sebelumnya

terdapat infeksi dan tubuh tidak dapat mengerahkan mekanisme

pertahanannya (Cole et al,1970).

28
Pada perhitungan diferensial menunjukkan pergeseran ke kiri dan

didominasi oleh polimorfonuklear yang memberikan bukti adanya

peradangan, meskipun jumlah leukosit tidak menunjukkan peningkatan

yang nyata (Schwartz et al, 1989).

Analisa gas darah, serum elektrolit, faal pembekuan darah serta tes

fungsi hepar dan ginjal dapat dilakukan (Doherty, 2006).

2. Radiologi

Pemeriksaan radiologi pada kebanyakan kasus peritonitis hanya

mencakup foto thorak PA dan lateral serta foto polos abdomen. Pada foto

thorak dapat memperlihatkan proses pengisian udara di lobus inferior

yang menunjukkan proses intraabdomen. Dengan menggunakan foto

polos thorak difragma dapat terlihat terangkat pada satu sisi atau

keduanya akibat adanya udara bebas dalam kavum peritoneum daripada

dengan menggunakan foto polos abdomen (Cole et al,1970).

Ileus merupakan penemuan yang tidak khas pada peritonitis, usus

halus dan usus besar mengalami dilatasi, udara bebas dapat terlihat pada

kasus perforasi. Foto polos abdomen paling tidak dilakukan dengan dua

posisi, yaitu posisi berdiri/tegak lurus atau lateral dekubitus atau

keduanya. Foto harus dilihat ada tidaknya udara bebas. Gas harus

dievaluasi dengan memperhatikan pola, lokasi dan jumlah udara di usus

besar dan usus halus (Cole et al,1970).

J. Penatalaksanaan

29
Tatalaksana utama pada peritonitis antara lain pemberian cairan

dan elektrolit, kontrol operatif terhadap sepsis dan pemberian antibiotik

sistemik (Doherty, 2006).

1. Penanganan Preoperatif

 Resusitasi Cairan

Peradangan yang menyeluruh pada membran peritoneum

menyebabkan perpindahan cairan ekstraseluler ke dalam kavum

peritoneum dan ruang interstisial (Schwartz et al, 1989).

Pengembalian volume dalam jumlah yang cukup besar

melalui intravaskuler sangat diperlukan untuk menjaga produksi urin

tetap baik dan status hemodinamik tubuh. Jika terdapat anemia dan

terdapat penurunan dari hematokrit dapat diberikan transfusi PRC

(Packed Red Cells) atau WB (Whole Blood). Larutan kristaloid dan

koloid harus diberikan untuk mengganti cairan yang hilang (Doherty,

2006).

Secara teori, cairan koloid lebih efektif untuk mengatasi

kehilangan cairan intravaskuler, tapi cairan ini lebih mahal.

Sedangkan cairan kristaloid lebih murah, mudah didapat tetapi

membutuhkan jumlah yang lebih besar karena kemudian akan

dikeluarkan lewat ginjal (Schwartz et al, 1989). Suplemen kalium

sebaiknya tidak diberikan hingga perfusi dari jaringan dan ginjal telah

adekuat dan urin telah diproduksi (Doherty, 2006).

 Antibiotik

30
Bakteri penyebab tersering dari peritonitis dapat dibedakan

menjadi bakteri aerob yaitu E.Coli, golongan Enterobacteriaceae dan

Streptococcus, sedangkan bakteri anaerob yang tersering adalah

Bacteriodes spp, Clostridium, Peptostreptococci. Antibiotik berperan

penting dalam terapi peritonitis, pemberian antibiotik secara empiris

harus dapat melawan kuman aerob atau anaerob yang menginfeksi

peritoneum (Schwartz et al, 1989).

Pemberian antibiotik secara empiris dilakukan sebelum

didapatkan hasil kultur dan dapat diubah sesuai dengan hasil kultur

dan uji sensitivitas jika masih terdapat tanda infeksi. Jika penderita

baik secara klinis yang ditandai dengan penurunan demam dan

menurunnya hitung sel darah putih, perubahan antibiotik harus

dilakukan dengan hati-hati meskipun sudah didapatkan hasil dari uji

sensitivitas (Cole et al, 1970).

Efek pemberian antibiotik pada peritonitis tergantung

kondisi-kondisi seperti: (1) besar kecilnya kontaminasi bakteri, (2)

penyebab dari peritonitis trauma atau non trauma, (3) ada tidaknya

kuman oportunistik seperti kandida. Agar terapi menjadi lebih efektif,

terapi antibiotik harus diberikan lebih dulu, selama dan setelah

operasi (Schwartz et al, 1989).

Pemberian clindamycin atau metronidazole yang

dikombinasi dengan aminoglikosida sama baiknya jika memberikan

cephalosporin generasi kedua (Schwartz et al, 1989).

31
Antibiotik awal yang digunakan cephalosporin generasi

ketiga untuk gram negatif, metronidazole dan clindamycin untuk

organisme anaerob (Doherty, 2006).

Daya cakupan dari mikroorganisme aerob dan anerob lebih

penting daripada pemilihan terapi tunggal atau kombinasi. Pemberian

dosis antibiotika awal yang kurang adekuat berperan dalam kegagalan

terapi. Penggunaan aminoglikosida harus diberikan dengan hati-hati,

karena gangguan ginjal merupakan salah satu gambaran klinis dari

peritonitis dan penurunan pH intraperitoneum dapat mengganggu

aktivitas obat dalam sel. Pemberian antibiotik diberikan sampai

penderita tidak didapatkan demam, dengan hitung sel darah putih

yang normal (Doherty, 2006).

 Oksigen dan Ventilator

Pemberian oksigen pada hipoksemia ringan yang timbul

pada peritonitis cukup diperlukan, karena pada peritonitis terjadi

peningkatan dari metabolisme tubuh akibat adanya infeksi, adanya

gangguan pada ventilasi paru-paru. Ventilator dapat diberikan jika

terdapat kondisi-kondisi seperti: (1) ketidakmampuan untuk menjaga

ventilasi alveolar yang dapat ditandai dengan meningkatnya PaCO2

50 mmHg atau lebih tinggi lagi, (2) hipoksemia yang ditandai dengan

PaO2 kurang dari 55 mmHg, (3) adanya napas yang cepat dan dangkal

(Schwartz et al, 1989).

 Intubasi, Pemasangan Kateter Urin dan Monitoring Hemodinamik

32
Pemasangan nasogastric tube dilakukan untuk dekompresi

dari abdomen, mencegah muntah, aspirasi dan yang lebih penting

mengurangi jumlah udara pada usus. Pemasangan kateter untuk

mengetahui fungsi dari kandung kemih dan pengeluaran urin. Tanda

vital (temperatur, tekanan darah, nadi dan respiration rate) dicatat

paling tidak tiap 4 jam. Evaluasi biokimia preoperatif termasuk serum

elektrolit, kreatinin, glukosa darah, bilirubin, alkali fosfatase dan

urinalisis (Schwartz et al, 1989).

2. Penanganan Operatif

Terapi primer dari peritonitis adalah tindakan operasi. Operasi

biasanya dilakukan untuk mengontrol sumber dari kontaminasi

peritoneum. Tindakan ini berupa penutupan perforasi usus, reseksi usus

dengan anastomosis primer atau dengan exteriorasi. Prosedur operasi

yang spesifik tergantung dari apa yang didapatkan selama operasi

berlangsung, serta membuang bahan-bahan dari kavum peritoneum

seperti fibrin, feses, cairan empedu, darah, mukus lambung dan membuat

irigasi untuk mengurangi ukuran dan jumlah dari bakteri virulen

(Schwartz et al, 1989).

 Kontrol Sepsis

Tujuan dari penanganan operatif pada peritonitis adalah

untuk menghilangkan semua material-material yang terinfeksi,

mengkoreksi penyebab utama peritonitis dan mencegah komplikasi

lanjut. Kecuali pada peritonitis yang terlokalisasi, insisi midline

merupakan teknik operasi yang terbaik. Jika didapatkan jaringan yang

33
terkontaminasi dan menjadi fibrotik atau nekrosis, jaringan tersebut

harus dibuang. Radikal debridement yang rutin dari seluruh

permukaan peritoneum dan organ dalam tidak meningkatkan tingkat

bertahan hidup. Penyakit primer lalu diobati, dan mungkin

memerlukan tindakan reseksi (ruptur appendiks atau kandung

empedu), perbaikan (ulkus perforata) atau drainase (pankreatitis akut).

Pemeriksaan kultur cairan dan jaringan yang terinfeksi baik aerob

maupun anaerob segera dilakukan setelah memasuki kavum

peritoneum (Doherty, 2006).

 Peritoneal Lavage

Pada peritonitis difus, lavage dengan cairan kristaloid

isotonik (>3 liter) dapat menghilangkan material-material seperti

darah, gumpalan fibrin, serta bakteri. Penambahan antiseptik atau

antibiotik pada cairan irigasi tidak berguna bahkan berbahaya karena

dapat memicu adhesi (misal: tetrasiklin, povidone-iodine). Antibiotik

yang diberikan cecara parenteral akan mencapai level bakterisidal

pada cairan peritoneum dan tidak ada efek tambahan pada pemberian

bersama lavage. Terlebih lagi, lavage dengan menggunakan

aminoglikosida dapat menyebabkan depresi napas dan komplikasi

anestesi karena kelompok obat ini menghambat kerja dari

neuromuscular junction. Setelah dilakukan lavage, semua cairan di

kavum peritoneum harus diaspirasi karena dapat menghambat

mekanisme pertahanan lokal dengan melarutkan benda asing dan

34
membuang permukaan dimana fagosit menghancurkan bakteri

(Doherty, 2006).

 Peritonial Drainage

Penggunaan drain sangat penting untuk abses intra

abdominal dan peritonitis lokal dengan cairan yang cukup banyak.

Drainase dari kavum peritoneal bebas tidak efektif dan tidak sering

dilakukan, karena drainase yang terpasang merupakan penghubung

dengan udara luar yang dapat menyebabkan kontaminasi. Drainase

profilaksis pada peritonitis difus tidak dapat mencegah pembentukan

abses, bahkan dapat memicu terbentuknya abses atau fistula. Drainase

berguna pada infeksi fokal residual atau pada kontaminasi lanjutan.

Drainase diindikasikan untuk peradangan massa terlokalisasi atau

kavitas yang tidak dapat direseksi (Doherty, 2006).

3. Penanganan Postoperatif

Monitor intensif, bantuan ventilator, mutlak dilakukan pada pasien

yang tidak stabil. Tujuan utama adalah untuk mencapai stabilitas

hemodinamik untuk perfusi organ-organ vital, dan mungkin dibutuhkan

agen inotropik disamping pemberian cairan. Antibiotik diberikan selama

10-14 hari, bergantung pada keparahan peritonitis. Respon klinis yang

baik ditandai dengan produksi urin yang normal, penurunan demam dan

leukositosis, ileus menurun, dan keadaan umum membaik. Tingkat

kesembuhan bervariasi tergantung pada durasi dan keparahan peritonitis.

Pelepasan kateter (arterial, CVP, urin, nasogastric) lebih awal dapat

menurunkan resiko infeksi sekunder (Doherty, 2006).

35
K. Komplikasi

Komplikasi post operatif sering terjadi dan umumnya dibagi

menjadi komplikasi lokal dan sistemik. Infeksi pada luka dalam, abses

residual dan sepsis intraperitoneal, pembentukan fistula biasanya muncul

pada akhir minggu pertama post operasi. Demam tinggi yang persisten,

oedema generalisata, peningkatan distensi abdomen, apatis yang

berkepanjangan merupakan indikator adanya infeksi abdomen residual. Hal

ini membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut misalnya CT-Scan abdomen.

Sepsis yang tidak terkontrol dapat menyebabkan kegagalan organ yang

multipel yaitu organ respirasi, ginjal, hepar, perdarahan, dan sistem imun

(Doherty, 2006).

L. Prognosis

Tingkat mortalitas dari peritonitis generalisata adalah sekitar 40%.

Faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya tingkat mortalitas antara lain

tipe penyakit primer dan durasinya, keterlibatan kegagalan organ multipel

sebelum pengobatan, serta usia dan kondisi kesehatan awal pasien. Tingkat

mortalitas sekitar 10% pada pasien dengan ulkus perforata atau appendisitis,

pada usia muda, pada pasien dengan sedikit kontaminasi bakteri, dan pada

pasien yang terdiagnosis lebih awal (Doherty, 2006).

36
DAFTAR PUSTAKA

1. Brian, J. 2011, Peritonitis and Abdominal Sepsis. Diakses pada 6 Juni

2012. http://emedicine.medscape.com/article/180234-

overview#aw2aab6b2b4aa

2. Cole et al. 1970. Cole and Zollinger Textbook of Surgery 9th Edition.

Appelton-Century Corp, Hal 784-795.

3. Doherty, Gerard. 2006. Peritoneal Cavity in Current Surgical Diagnosis &

Treatment 12ed. USA: The McGraw-Hill Companies, Inc.

4. Evans, HL. 2001. Tertiary Peritonitis (Recurrent Diffuse or Localized

Disease) is not An Independent Predictor of Mortality in Surgical

Patients with Intra Abdominal Infection. Surgical Infection

(Larchmt); 2(4): 255-63.

5. Fauci et al, 2008, Harrison’s Principal Of Internal Medicine Volume 1,

McGraw Hill, Peritonitis halaman 808-810, 1916-1917.

6. Hau, T. 2003. Peritoneal Defense Mechanisms. Turk J Med Sci; 33: 131-4.

7. Heemken, R. 1997. Peritonitis: Pathophydiology and Local Defense

Mechanisms. Hepatogastroenterology; Jul-Aug; 44(16): 927-36.

8. Iwagaki, H. 1997. Clinical Value of Cytokine Antagonists in Infectious

Complications. Res CommunMol Pathol Pharmacol; Apr: 96(1): 25-

34.

9. Marshall, JC. 2003. Intensive Care Management of Intra Abdominal

Infection. Critical Care Medicine; 31(8): 2228-37.

10. Syamsuhidayat, Wim de Jong, 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Buku

Kedokteran EGC: Jakarta.

37
11. Schwartz et al. 1989. Priciple of Surgery 5th Edition. Singapore: Mc.Graw-

Hill, Hal 1459-1467.

38

Anda mungkin juga menyukai