Anda di halaman 1dari 53

PRESENTASI KASUS

HEPATOMA DAN TUMOR KOLOREKTAL

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Kepanitraan Klinik

Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan


Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Diajukan Kepada :

dr. Widhi Prassiddha Sunu, Sp.PD


Disusun Oleh :

Annis Asteria S. A.
20184010138

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM

RSUD KRT SETJONEGORO WONOSOBO

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

2018

1
LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS

HEPATOMA DAN TUMOR KOLOREKTAL

Telah dipresentasikan pada tanggal :

8 Desember 2018

Disusun Oleh :

Annis Asteria S. A.

20184010138

Disetujui Oleh :

Dosen Pembimbing Kepaniteraan Klinik

Bagian Ilmu Penyakit Dalam

RSUD KRT Setjonegoro Wonosobo

dr. Widhi Prassiddha Sunu, Sp.PD

2
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum. Wr. Wb

Alhamdulillah dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas


segala limpahan rahmat yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan
tugas presentasi kasus sebagai sebagian syarat kepaniteraan klinik program pendidikan
profesi di bagian Ilmu Penyakit Dalam dengan judul :

HEPATOMA DAN TUMOR KOLOREKTAL

Tugas ini dapat terselesaikan atas bantuan berbagai pihak, oleh karena itu
penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada :

1. dr. Widhi, Sp.PD selaku dokter pembimbing dan dokter spesialis Penyakit Dalam
RSUD KRT Setjonegoro Wonosobo
2. dr. H. Suprapto, Sp.PD selaku dokter spesialis Penyakit Dalam RSUD KRT
Setjonegoro Wonosobo
3. dr. Hj. Arlyn Yuanita, Sp.PD selaku dokter spesialis Penyakit Dalam RSUD KRT
Setjonegoro Wonosobo
4. Teman-teman koass serta tenaga kesehatan RSUD Wonosobo yang telah
membantu penulis dalam menyusun tugas ini.
Dalam menyusun tugas ini penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak
kekurangan. Penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan penyusunan
tugas ini dimasa yang akan datang. Semoga dapat menambah pengetahuan bagi penulis
khususnya dan pembaca pada umumnya.

Wassalamu’alaikum. Wr. Wb

Wonosobo, 8 Desember 2018

Penulis

3
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................................. 2


KATA PENGANTAR ...................................................................................................... 3
DAFTAR ISI .................................................................................................................... 4
BAB I................................................................................................................................ 5
A. Identitas Pasien 5
B. Anamnesis 5
C. Pemeriksaan Fisik 6
D. Pemeriksaan Penunjang 8
E. Diagnosis Kerja 11
F. Penatalaksanaan 11
G. Perkembangan Rawat Inap 12
BAB II ............................................................................................................................ 15
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................................. 15
A. Leptospirosis 15
B. Demam Tifoid 31
BAB III ........................................................................................................................... 46
PEMBAHASAN............................................................................................................. 46
KESIMPULAN .............................................................................................................. 49
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 50

4
BAB I
STATUS PASIEN

A. Identitas Pasien
No CM : 754264
Nama : Tn. M
Tanggal Lahir : 01 Juli 1953
Jenis Kelamin : Laki- laki
Alamat : Mojotengah, Wonosobo, Jawa Tengah
Agama : Islam
Status perkawinan : Menikah
Suku : Jawa
Pekerjaan : Buruh/Tani
Bangsal : Cempaka

B. Anamnesis
Keluhan Utama : nyeri perut

Riwayat Penyakit Sekarang

Riwayat Penyakit Dahulu


 Pasien mengaku tidak pernah mengalami keluhan serupa seperti ini
sebelumnya
 Penyakit Maag disangkal
 Penyakit DHF, tifoid disangkal
 Hipertensi, DM disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga


 Keluarga tidak memiliki penyakit serupa dengan pasien.
 Tidak ada anggota keluarga yang sedang sakit serupa dengan pasien

5
Riwayat Personal Sosial
 Riwayat merokok (-)
 Riwayat alkohol (-)
 Riwayat pekerjaan sebagai buruh bangunan
 Pola makan pasien : pasien makan 3x sehari, jika sedang kerja sering
membeli makanan di warung
 Rumah tidak berada disekitaran sawah dan peternakan
 Riwayat bepergian ke daerah sawah dalam sebulan disangkal
 Pasien mengatakan bahwa tanggal 1 Juli mengikuti kerja bakti di sekitar
Musholla
 Pasien sebelum sakit sedang mengerjakan proyek di sebuah sekolah

Review Anamnesis Sistem


 Sistem Cerebrospinal : Demam (+), Nyeri kepala (+)
 Sistem Cardiovaskuler : nyeri dada (-), berdebar (+)
 Sistem Respirasi : sesak nafas (+), batuk (-)
 Sistem Gastrointestinal : mual(+), muntah(+) bewarna merah kehitaman,
BAB bewarna kehitaman
 Sistem Urogenital : tidak ada kelainan
 Sistem Integumentum : tidak ada kelainan
 Sistem Muskuloskeletal : kedua kaki terasa lemas dan susah digerakkan

C. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Tanda Vital :
a. Nadi : 120 x / menit
b. Suhu : 37,6oC
c. RR : 24 x / menit
d. TD : 84/62 mmHg
e. SpO2 : 97%

6
Status Generalisata
a. Kepala
1) Bentuk : mesocephal, oedem wajah (-)
2) Mata : konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-),
oedem palpebra (-/-), exoftalmus (-/-)
3) Hidung : bentuk normal, tidak ada deformitas, tidak ada
Sekret dan epistaksis

4) Telinga : bentuk normal, simetris kanan dan kiri,sekret(-)


5) Mulut : sianosis (-), bibir kering (-)
b. Leher : JVP tidak meningkat, tidak ada pembesaran
kelenjar tiroid, tidak ada pembesaran kelenjar
getah bening
c. Thorax dan Pulmo
1) Inspeksi : dada simetris, tidak ada massa, tidak ada
deformitas, retraksi (-)
2) Palpasi : nyeri tekan (-)
3) Perkusi : sonor
4) Auskultasi : SDV (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
d. Cor
1) Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
2) Palpasi : ictus cordis teraba
3) Perkusi : batas jantung di SIC 5
4) Auskultasi : S1>S2 murni, irama regular, gallop (-), bising (-)
e. Abdomen
1) Inspeksi : tampak rata
2) Auskultasi : Bising Usus (+)
3) Palpasi : Defense muscular (-), nyeri tekan epigastrik (+),
hepar tidak teraba
4) Perkusi : Timpani, shifting dullness (-), Nyeri ketok CVA -/-
f. Ekstremitas : akral hangat + + oedem - -
+ + - -

7
D. Pemeriksaan Penunjang

15 Juli 2018 Darah Rutin


Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Interpretasi
Hemoglobin 12,4 13.2 – 17.3 L
Leukosit 17,8 3.8 - 10.6 H
Eosinofil 0,00 2.00 – 4.00 L
Basofil 0.30 0 – 1.00 N
Netrofil 87,80 50.00 – 70.00 H
Limfosit 5,10 25.00 – 40.00 L
Monosit 4,00 2.00 – 8.00 N
Hematokrit 34 40 – 52 L
Eritrosit 4,10 4.40 – 5.90 L
MCV 83 80 – 100 N
MCH 30 26 – 34 N
MCHC 37 32 – 36 H
Trombosit 7 150 – 400 LL
15 Juli 2018 Kimia klinik
Pemeriksaan Hasil Nilai normal Interpretasi
Ureum 203,1 <50 HH
Creatinin 4,52 0,60 – 1,10 H
SGOT 72,6 0 – 50 H
SGPT 50,0 0 – 50 N
16 Juli 2018 Kimia klinik
Pemeriksaan Hasil Nilai normal Interpretasi
GDS 63 70-150 L
Ureum 281,0 <50 HH
Creatinin 6,53 0,60 – 1,10 H
SGOT 83,0 0 – 50 H
SGPT 62,0 0 – 50 H
16 Juli 2018 Sero Imunologi

8
Pemeriksaan Hasil
Dengue
IgG Dengue Positif
IgM Dengue Negatif
Salmonella Rapid IgG Negatif
Salmonella Rapid IgM Positif
Widal
S.Typhi O Negatif
S.Typhi H Negatif
HbsAg Negatif
17 Juli 2018 Darah Rutin
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Interpretasi
Hemoglobin 11,0 13.2 – 17.3 L
Leukosit 31,2 3.8 - 10.6 HH
Eosinofil 0,00 2.00 – 4.00 L
Basofil 0.20 0 – 1.00 N
Netrofil 91,80 50.00 – 70.00 H
Limfosit 4,30 25.00 – 40.00 L
Monosit 4,00 2.00 – 8.00 N
Hematokrit 28 40 – 52 L
Eritrosit 3,60 4.40 – 5.90 L
MCV 78 80 – 100 L
MCH 30 26 – 34 N
MCHC 39 32 – 36 H
Trombosit 12 150 – 400 LL
17 Juli 2018 Kimia klinik dan lain-lain
Pemeriksaan Hasil Nilai normal Interpretasi
Ureum 323,0 <50 HH
Creatinin 7,36 0,60 – 1,10 HH
Gambaran darah tepi : Anemia normokromik normositik dengan netrofilia
absolut dan trombositopenia suspek e/c proses kronis bersamaan dengan

9
proses infeksi.
18 Juli 2018 Darah Rutin
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Interpretasi
Hemoglobin 10,5 13.2 – 17.3 L
Leukosit 30,4 3.8 - 10.6 HH
Eosinofil 0,00 2.00 – 4.00 L
Basofil 0.20 0 – 1.00 N
Netrofil 89,50 50.00 – 70.00 H
Limfosit 1,80 25.00 – 40.00 L
Monosit 3,90 2.00 – 8.00 N
Hematokrit 27 40 – 52 L
Eritrosit 3,6 4.40 – 5.90 L
MCV 83 80 – 100 N
MCH 30 26 – 34 N
MCHC 39 32 – 36 H
Trombosit 18 150 – 400 LL
18 Juli 2018 Kimia klinik
Pemeriksaan Hasil Nilai normal Interpretasi
GDS 123 70-150 N
Ureum 372,0 <50 HH
Creatinin 8,04 0,60 – 1,10 HH
Asam urat 11,5 2,0 – 7,0 H
18 Juli 2018 Sero Imunologi
Pemeriksaan Hasil
Anti HCV Negatif
18 Juli 2018 Urin Rutin dan Lain-lain
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Protein Urin ++ Negatif
Bilirubin Total 28,05
Bilirubin Direk 16,36 <0,3
Bilirubin Indirek 11,69

10
Urin Rutin
Makroskopis
Warna KNG KNG
Kejernihan AKRH Jernih
PH 6,5
Berat Jenis 1.015 1.003-1030
Kimia
Blood urin + Negatif
Bilirubin urin + Negatif
Urobilin Normal Normal
Keton - Negatif
Glukosa urin +++ Negatif
Protein urin ++ Negatif
Nitrit - Negatif
Leukosit esterase - Negatif

Sedimen
Eritrosit urin 2-3 0-1
Lekosit urin 2-3 1-5
Epitel 8-15 5-15
Kristal -
Silinder granula Positif Negatif
Silinder hyalin Negatif Negatif

 Pemeriksaan penunjang Radiologi : -

 EKG : -

E. Diagnosis Kerja
 Hematemesis Melena

F. Penatalaksanaan
 Infus RL 20 tpm
 Inj. Omeprazole

11
 Inj. Ondancentron
 Sucralfat Syr
 Gitas Plus

G. Perkembangan Rawat Inap


Hari Subjective (S) Objective (O) Assesment (A) Plan (P)

BAB hitam, nyeri  TD : 100/70 mmHg  Hematemesis Tx Lanjut


perut,lemas,mual,muntah  S: 36,8 C o
Melena
Hari ke-2 darah 4x,demam - , BAK  HR : 100x/menit
dbn, kaki lemah dan  RR: 20x/menit
15/7/18
lemas  Kepala : CA (-/-), SI (+/+)
06.00 WIB  Leher : JVP dbn, Pemb.
KGB (-)
 Thorax : SDV(+/+), ST(-/-)
S1> S2 murni, irama regular,
 Abdomen : datar, BU (+),
NT epigastrk(+), supel, hepar
tidak teraba, timpani
 Ekstremitas : akral hangat,
kaki terasa lemes dan susah
digerakkan
Edema - -
- -
BAB hitam cair 7x,  TD : 100/60 mmHg  Leptospirosis  Inf. Tutofusin
mual, muntah warna  S: 38,1 oC  Inf. Triofusin
 ARF
Hari ke-3 kehitaman, sesak napas,  HR : 100x/menit  Inf. HES 6%
 Hematemesis
nyeri dada, batuk (-),  RR: 26x/menit  Inj. Ceftriaxon 2gr
16/7/18
nyeri otot dikaki dan Melena
 Kepala : kulit wajah tampak 1x1
06.00 WIB
terasa lemah, darah kuning, CA (-/-), SI (+/+),  Trombositopenia  Inj. MPS 3x 1/2
keluar dari mulut sejak conjunctival suffusion +  Inj. Norages 3x1
berat
semalam terus  Mulut: tampak adanya  Inj. Kalnex 500mg
menerus,BAK sedikit pendarahan gusi 3x1
 Leher : teraba adanya  Inj. Pantoprazole
pembesaran KGB dibagian 2x1
preaurikular,parotid dan  Inj.Viccilin Sx 2x1
tonsillar, nyeri + ORAL
 Thorax : tampak kuning,  Imunos 1x1
ptekie+, SDV(+/+), ST(-/-) S1>  Ulsicral Syr. 3X1
S2, terdapat gallop S4, irama  Ranitidine 1x1
iregular,  Rebamipide 3x1
 Abdomen :tampak kuning  Curcuma 3x2
,BU (+), NT (+) pada regio  Domperidone 3x1
umbilikus dan lumbalis sinistra,  Antaside 3x1
supel, timpani
 Ekstremitas : akral
hangat,ikterik pada keempat
ekstremitas,gastrocnemius pain
+/+, terdapat bekas perlukaan

12
pada regio pedis sinistra,
terdapat hematom pada regio
femur anterior dextra dan sinistra
Edema - -
- -
Hari ke-4 Keluar darah dari lubang  TD : 105/44 mmHg  Leptopirosis  Tx lanjut
hidung sebelah kiri sejak  S: 36,6 oC  Inf. Tutofusin : HES
 Tifoid
17/7/18 tadi malam,pendarahan  HR : 77x/menit 1:1 30 tpm
 ARF
dari dalam mulut sudah  RR: 26x/menit  Inj. Farsix 3x1 amp.
06.00 WIB
mulai berkurang, BAB  Kepala : kulit wajah tampak
 Hepatitis  Prorenal 3x2
sering(6x sejak tadi kuning, CA (+/+), SI (+/+),  Pre-syok  Ketosteril 3x1
malam) dan encer,tapi conjunctival suffusion +
sudah tidak hitam, BAK  Hidung: tampak adanya
sedikit,merasa lemas, pendarahan dari lubang sebelah
kedua kaki masih terasa kiri
lemah  Mulut: tampak adanya
pendarahan gusi, lidah kotor -
 Leher : teraba adanya
pembesaran KGB dibagian
preaurikular,parotid dan
tonsillar, nyeri - , pada
pemeriksaan kaku kuduk terasa
adanya tahanan
 Thorax : tampak kuning,
ptekie+(bertambah),sonor,
SDV(+/+), ST(-/-) , S1> S2,
gallop - , irama regular,
 Abdomen :tampak kuning
,ptekie +, BU (+) meningkat, NT
(-), supel,hepatomegali dan
splenomegali - , timpani
 Ekstremitas : akral
hangat,ikterik pada keempat
ekstremitas,gastrocnemius pain
+/+, terdapat bekas perlukaan
pada regio pedis sinistra,
terdapat hematom pada regio
femur anterior dextra dan sinistra
Edema - -
- -
Hari ke-5 BAB sudah tidak  TD : 150/60 mmHg  Leptospirosis  Tx lanjut
cair,warna kehitaman  S: 36,5 oC
 Tifoid
18/7/18 berkurang, pendarahan  HR :86x/menit
 ARF fase oliguria
gusi berkurang,  RR: 22x/menit
06.00 WIB
epistaksis +, kedua  Kepala : kulit wajah tampak
tungkai bawah masih kuning, CA (+/+), SI (+/+),
terasa lemah conjunctival suffusion +
 Hidung: tampak adanya
pendarahan dari lubang sebelah
kiri
 Mulut: tampak adanya

13
pendarahan gusi yang sudah
berkurang, lidah kotor -
 Leher : teraba adanya
pembesaran KGB dibagian
preaurikular, nyeri –
 Thorax : tampak kuning,
ptekie+(bertambah), sonor,
SDV(+/+), ST(-/-) , S1> S2,
gallop - , irama regular,
 Abdomen :tampak kuning
,ptekie + bertambah, BU (+)
meningkat, NT (-),
supel,hepatomegali dan
splenomegali - , hipertimpani
 Ekstremitas : akral hangat,
ikterik pada keempat
ekstremitas, gastrocnemius pain -
/-, terdapat hematom pada regio
femur anterior dextra dan sinistra
Edema - -
- -

14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Leptospirosis

1. Definisi

Leptospirosis adalah penyakit infeksi anthropo-zoonotik yang


disebabkan oleh suatu mikrorganisme Leptopsiro interogans. Penyakit ini
memiliki manifestasi klinis dari bentuk yang ringan dengan gejala sakit kepala
dan mialgia seperti influenza hingga bentuk berat dengan gejala ikterus,
disfungsi ginjal dan diathesis hemorrhagic. Penyakit ini pertama kali ditemukan
oleh Weil pada tahun 1886, oleh karena itu, bentuk berat penyakit ini dikenal
dengan Weil’s disease. Penyakit ini dikenal dengan berbagai nama seperti mud
fever, slime fever, swamp fever, autumnal fever, infektious jaundice, field fever,
cane cutter fever, canicola fever, nanukayami fever, 7-day fever dan lain-lain. 1,2

2. Epidemiologi

Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang tersebar di seluruh


dunia, disemua benua kecuali Antartika, namun terbanyak didapati didaerah
tropis. Penularan leptospirosis pada manusia ditularkan oleh hewan yang
terinfeksi kuman leptospira. Kuman leptospira mengenai sedikitnya 160 spesies
mamalia, seperti anjing, babi, lembu, kuda, kucing, marmut, dan sebagainya.
Binatang pengerat terutama tikus merupakan vektor yang paling banyak. Tikus
merupakan vektor utama dari L. icterohaemorrhagica penyebab leptospirosis
pada manusia. Dalam tubuh tikus kuman leptospira akan menetap dan
membentuk koloni serta berkembang biak di dalam epitel tubus ginjal tikus dan
secara terus dikeluarkan melalui urin saat berkemih.1,

Kejadian infeksi leptospirosis secara global diestimasikan 0,1-1/100.000


populasi pada iklim sedang dan 10-100/100.000 populasi pada iklim basah.
Insidensi penyakit lebih dari 100/100.000 populasi ditemukan selama wabah dan
pada grup yang beresiko tinggi. Secara global persentase kematian akibat

15
penyakit ini mencapai 22%, tetapi angka ini sangat dipengaruhi oleh fasilitas
kesehatan yang kurang memadai di negara endemik.3,4,5

Penyakit ini bersifat musiman, didaerah beriklim sedang masa puncak


insidensi dijumpai pada musim panas dan musim gugur karena temperatur
adalah faktor yang mempengaruhi kelangsungan hidup kuman leptospira,
sedangkan didaerah tropis insidensi tertinggi terjadi selama musim hujan. Pada
iklim sedang infeksi leptospira didapatkan terutama melalui paparan
rekreasional (mengendarai kano, berlayar, ski air) atau pekerjaan, atau hidup di
daerah kumuh. Di daerah tropik, paparan terutama melalui aktivitas pekerjaan
seperti bersawah. Infeksi jarang dari kontak langsung dengan darah, urin, atau
jaringan hewan terinfeksi International Leptospirosis Society menyatakan
Indonesia sebagai Negara dengan insidensi leptospirosis tinggi dan peringkat
ketiga dunia untuk mortalitas.1,2

Angka kematian akibat leptospirosis tergolong tinggi, mencapai 5-40%.


Infeksi ringan jarang terjadi fatal dan diperkirakan 90% termasuk dalam kategori
ini. Anak balita, orang lanjut usia dan penderita immunocompromised
mempunyai resiko tinggi terjadinya kematian. Penderita berusia di atas 50 tahun,
risiko kematian lebih besar, bisa mencapai 56 persen. Pada penderita yang sudah
mengalami kerusakan hati yang ditandai selaput mata berwarna kuning, risiko
kematiannya lebih tinggi lagi. Paparan terhadap pekerja diperkirakan terjadi
pada 30-50% kasus. Kelompok yang berisiko utama adalah para pekerja
pertanian, peternakan, penjual hewan, bidang agrikultur, rumah jagal, tukang
ledeng, buruh tambang batubara, militer, tukang susu, dan tukang jahit. Risiko
ini berlaku juga bagi yang mempunyai hobi melakukan aktivitas di danau atau
sungai, seperti berenang atau rafting.6

Meskipun penyakit ini sering terjadi pada para pekerja, ternyata


dilaporkan peningkatan sebagai penyakit saat rekreasi. Aktifitas yang beresiko
meliputi perjalanan rekreasi ke daerah tropis seperti berperahu kano, mendaki,
memancing, selancar air, berenang, ski air, berkendara roda dua melalui
genangan, dan kegiatan olahraga lain yang berhubungan dengan air yang

16
tercemar. Berkemah dan bepergian ke daerah endemik juga menambahkan
resiko.7

3. Etiologi

Gambar 1. Leptospira interrogans

Penyakit yang terdapat di semua negara dan terbanyak ditemukan di


negara beriklim tropis ini, disebabkan oleh Leptospira interrogans dengan
berbagai subgrup yang masing-masing terbagi lagi atas serotipe bisa terdapat
pada ginjal atau air kemih binatang piaraan seperti anjing, lembu, babi, kerbau
dan lain-lain, maupun binatang liar seperti tikus, musang, tupai dan sebagainya.
Manusia bisa terinfeksi jika terjadi kontak pada kulit atau selaput lendir yang
luka atau erosi dengan air, tanah, lumpur dan sebagainya yang telah terjemar
oleh air kemih binatang yang terinfeksi leptospira.8

Leptospira yang termasuk dalam ordo Spirochaeta. Leptospira


merupakan organisme fleksibel, tipis, berlilit padat, dengan panjang 5-15 μm,
disertai spiral halus yang lebarnya 0,1-0,2 μm. Salah satu ujung bakteri ini
seringkali bengkok dan membentuk kait. Leptospira memiliki ciri umum yang
membedakannya dengan bakteri lainnya. Sel bakteri ini dibungkus oleh
membran luar yang terdiri dari 3-5 lapis. Di bawah membran luar, terdapat
lapisan peptidoglikan yang fleksibel dan helikal, serta membran sitoplasma. Ciri
khas Spirochaeta ini adalah lokasi flagelnya, yang terletak diantara membran

17
luar dan lapisan peptidoglikan. Flagela ini disebut flagela periplasmik.
Leptospira memiliki dua flagel periplasmik, masing-masing berpangkal pada
setiap ujung sel. Kuman ini bergerak aktif, paling baik dilihat dengan
menggunakan mikroskop lapangan gelap.9

Menurut beberapa peneliti yang tersering menginfeksi manusia adalah


L.icterohaemorrhagiae, dengan reservoir tikus, L.canicola, dengan reservoirnya
anjing dan L. pomona dengan reservoirnya sapi dan babi.10

4. Patogenesis 11,12,13

Patogenesis leptospirosis belum dimengerti sepenuhnya. Kuman


leptospira masuk kedalam tubuh pejamu melalui luka iris atau luka abrasi pada
kulit, konjungtiva atau mukosa utuh yang melapisi mulut, faring, esofagus,
bronkus, alveolus dan dapat masuk melalui inhalasi droplet infeksius dan minum
air yang terkontaminasi. Meski jarang, pernah dilaporkan penetrasi kuman
leptospira melalui kulit utuh yang lama terendam air saat banjir.11

Infeksi melalui selaput lendir lambung, jarang terjadi, karena ada asam
lambung yang mematikan kuman leptospira. Kuman leptospira yang tidak
firulen gagal bermultiplikasi dan dimusnahkan oleh sistem kekebalan dari aliran
darah setelah satu atau dua hari infeksi. Organisme virulen mengalami
multiplikasi di darah dan jaringan, dan kuman leptospira dapat diisolasi dari
darah dan cairan serebrospinal pada hari keempat sampai sepuluh perjalanan
penyakit. 12

Kuman leptospira merusak dinding pembuluh darah kecil, sehingga


menimbulkan vaskulitis disertai kebocoran dan ekstravasasi sel. Patogenesis
kuman leptospira yang penting adalah perlekatannya pada permukaan sel dan
toksisitas selular. Lipopolysaccharide (LPS) pada kuman leptospira mempunyai
aktivitas endotoksin yang berbeda dengan endotoksin bakteri gram (-) dan
aktifitas lainnya yaitu stimulasi perlekatan netrofil pada sel endotel dan
trombosit, sehingga terjadi agregasi trombosit disertai trombositopenia.13

Organ utama yang terinfeksi kuman leptospira adalah ginjal dan hati. Di
dalam ginjal kuman leptospira bermigrasi ke interstitium, tubulus ginjal dan

18
lumen tubulus. Pada leptospirosis berat, vaskulitis akan menghambat sirkulasi
mikro dan meningkatkan permeabilitas kapiler, sehingga menyebabkan
kebocoran cairan dan hipovolemia. Hipovolemia akibat dehidrasi dan perubahan
permeabilitas kapiler salah satu penyebab gagal ginjal. 11,12

Ikterik disebabkan oleh kerusakan sel sel hati yang ringan, pelepasan
bilirubin darah dari jaringan yang mengalami hemolisis intravaskular, kolestasis
intrahepatik sampai berkurangya sekresi bilirubin.13

Gambar 2. Penularan dan manifestasi leptosirosis

Dalam perjalanan pada fase leptospiremia, leptospira melepaskan toksin


yang bertanggung jawab atas terjadinya keadaan patologi bagi beberapa organ.
Lesi yang muncul terjadi karena kerusakan pada lapisan endotel kapiler. Pada
leptospirosis terdapat perbadaan antaraderajat gangguan fungsi organ dengan
kerusakan secara histologik. Pada leptospirosis lesi histologi yang ringan
ditemukan pada ginjal dan hati pasien dengan kelainan fungsional yang nyata
dari organ tersebut. Perbedaan ini menunjukan bahwa kerusakan bukan berasal
dari struktur organ. Lesi inflamasi menunjukan edema dan infiltrasi dari sel
monosit, limfosit dan sel plasma. Pada kasus yang berat terjadi kerusakan
kapiler dengan perdarahan yang luas dan disfungsi hepatoseluler dengan retensi

19
bilier. Selain di ginjal, leptospira juga dapat bertahan pada otak dan mata.
Leptospira dapat masuk ke dalam cairan cerebrospinalis dalam fase spiremia.
Hal ini menyebabkan meningitis yang merupakan gangguan neurologi terbanyak
yang terjadi sebagai komplikasi leptospirosis. Organ-organ yang sering dikenai
leptospira adalah ginjal, hati, otot dan pembuluh darah. Kelainan spesifik pada
organ: 11,12,13

Ginjal: interstitial nefritis dengan infiltrasi sel mononuclear merupakan bentuk


lesi pada leptospirosis yang dapat terjadi tanpa gangguan fungsi ginjal. Gagal
ginjal terjadi akibat nekrosis tubular akut. Adanya peranan nefrotoksisn, reaksi
immunologis, iskemia, gagal ginjal, hemolisis dan invasi langsung mikro
organisme juga berperan menimbulkan kerusakan ginjal.

Hati: hati menunjukan nekrosis sentrilobuler fokal dengan infiltrasi sel limfosit
fokal dan proliferasi sel kupfer dengan kolestasis. Pada kasus-kasus yang
diotopsi, sebagian ditemukan leptospira dalam hepar. Biasanya organisme ini
terdapat diantara sel-sel parenkim.

Jantung: epikardium, endokardium dan miokardium dapat terlibat. Kelainan


miokardium dapat fokal atau difus berupa interstitial edema dengan infiltrasi sel
mononuclear dan plasma. Nekrosis berhubungan dengan infiltrasi neutrofil.
Dapat terjadi perdarahan fokal pada miokardium dan endikarditis.

Otot rangka: Pada otot rangka, terjadi perubahan-perubahan berupa fokal


nekrotis, vakuolisasi dan kehilangan striata. Nyari otot yang terjadi pada
leptospira disebabkan invasi langsung leptospira. Dapat juga ditemukan antigen
leptospira pada otot.

Pembuluh darah: Terjadi perubahan dalam pembuluh darah akibat terjadinya


vaskulitis yang akan menimbulkan perdarahan. Sering ditemukan perdarahan
atau petechie pada mukosa, permukaan serosa dan alat-alat viscera dan
perdarahan bawah kulit.

Susunan saraf pusat: Leptospira muda masuk ke dalam cairan cerebrospinal


(CSS) dan dikaitkan dengan terjdinya meningitis. Meningitis terjadi sewaktu

20
terbentuknya respon antibody, tidak p-ada saat masuk CSS. Diduga terjadinya
meningitis diperantarai oleh mekanisme immunologis. Terjadi penebalan
meningen dengan sedikit peningkatan sel mononuclear arakhnoid. Meningitis
yang terjadi adalah meningitis aseptic, biasanya paling sering disebabkan oleh L.
canicola.

Weil’s Desease. adalah leptospirosis berat yang ditandai dengan ikterus,


biasanya disertai perdarahan serta terdapatnya disfungsi ginjal. Weil’s disease
ini biasanya terdapat pada 1-6% kasus dengan leptospirosis. Penyebab Weil’s
disease adalah serotipe icterohaemorragica, pernah juga dilaporkan oleh serotipe
copenhageni dan bataviae. Gambaran klinis bervariasi berupa gangguan renal,
hepatik atau disfungsi vaskular.

5. Manifestasi Klinis 12,13

Masa inkubasi penyakit ini berkisar antara 2 – 26 hari, biasanya 7 - 13


hari dan rata-rata 10 hari.

Gambaran klinis pada Leptospirosis:

Sering : demam, menggigil, sakit kepala, meningismus, anoreksia, mialgia, conjuctival


suffusion, mual, muntah, nyeri abdomen, ikterus, hepatomegali, ruam kulit, fotophobi

Jarang : pneumonitis, hemoptoe, delirium, perdarahan, diare, edema, splenomegali,


atralgia, gagal ginjal, peroferal neuritis, pancreatitis, parotitis, epididimitis,
hematemesis, asites, miokarditis

Leptospirosis mempunyai 2 fase penyakit yang khas ( bifasik ) yaitu fase


leptospiremia/septikemia dan fase imun.

 Fase Leptospiremia / fase septikemia (4-7 hari)


Fase leptospiremia adalah fase ditemukannya leptospira dalam darah dan
cairan serebrospinal, berlangsung secara tiba-tiba dengan gejala awal sakit
kepala biasanya di frontal, rasa sakit pada otot yang hebat terutama pada paha,
betis dan pingang disertai nyeri tekan pada otot tersebut. Mialgia dapat di
ikuti dengan hiperestesi kulit, demam tinggi yang disertai mengigil, juga
didapati mual dengan atau tanpa muntah disertai mencret, bahkan pada sekitar

21
25% kasus disertai penurunan kesadaran. Pada pemeriksaan keadaan sakit
berat, bradikardi relatif, dan ikterus (50%). Pada hari ke 3-4 dapat di jumpai
adanya conjungtivitis dan fotophobia. Pada kulit dapat dijumpai rash yang
berbentuk macular, makulopapular atau urtikaria. Kadang-kadang dijumpai
splenomegali, hepatomegali, serta limfadenopati. Fase ini berlangsung 4-7
hari. Jika cepat di tangani pasien akan membaik, suhu akan kembali normal,
penyembuhan organ-organ yang terlibat dan fungsinya kembali normal 3-6
minggu setelah onset. Pada keadaan sakit yang lebih berat demam turun
setelah 7 hari diikuti oleh bebas demam selama 1-3 hari, setelah itu terjadi
demam kembali. Keadaan ini disebut fase kedua atau fase imun.

 Fase Imun (minggu ke-2)


Fase ini disebut fase immune atau leptospiruric sebab antibodi dapat
terdeteksi dalam sirkulasi atau mikroorganisme dapat diisolasi dari urin,
namun tidak dapat ditemukan dalam darah atau cairan serebrospinalis. Fase
ini muncul sebagai konsekuensi dari respon imun tubuh terhadap infeksi dan
berakhir dalam waktu 30 hari atau lebih.

Gejala yang muncul lebih bervariasi dibandingkan dengan gejala pada


fase pertama. Berbagai gejala tersebut biasanya berlangsung selama beberapa
hari, namun ditemukan juga beberapa kasus dengan gejala penyakit bertahan
sampai beberapa minggu. Demam dan mialgia pada fase yang ke-2 ini tidak
begitu menonjol seperti pada fase pertama. Sekitar 77% pasien dilaporkan
mengalami nyeri kepala hebat yang nyaris tidak dapat dikonrol dengan
preparat analgesik. Nyeri kepala ini seringkali merupakan tanda awal dari
meningitis.

Anicteric disesase ( meningitis aseptik ) merupakan gejala klinik paling


utama yang menandai fase imun anicteric. Gejala dan keluhan meningeal
ditemukan pada sekitar 50 % pasien. Namun, cairan cerebrospinalis yang
pleiositosis ditemukan pada sebagian besar pasien. Gejala meningeal
umumnya menghilang dalam beberapa hari atau dapat pula menetap sampai
beberapa minggu. Meningitis aseptik ini lebih banyak dialami oleh kasus
anak-anak dibandingkan dengan kasus dewasa

22
Icteris disease merupakan keadaan di mana leptospira dapat diisolasi dari
darah selama 24-48 jam setelah warna kekuningan timbul. Gejala yang
ditemukan adalah nyeri perut disertai diare atau konstipasi ( ditemukan pada
30 % kasus ), hepatosplenomegali,mual, muntah dan anoreksia. Uveitis
ditemukan pada 2-10 % kasus, dapat ditemukan pada fase awal atau fase
lanjut dari penyakit. Gejala iritis, iridosiklitis dan khorioretinitis ( komplikasi
lambat yang dapat menetap selama beberapa tahun ) dapat muncul pada
minggu ketiga namun dapat pula muncul beberapa bulan setelah awal
penyakit.

Komplikasi mata yang paling sering ditemukan adalah hemoragia


subconjunctival, bahkan leptospira dapat ditemukan dalam cairan aquaeous.
Keluhan dan gejala gangguan ginjal seperti azotemia, piuria, hematuria,
proteinuria dan oliguria ditemukan pada 50 % kasus. Manifestasi paru
ditemukan pada 20-70 % kasus. Selain itu, limfadenopati, bercak kemerahan
dan nyeri otot juga dapat ditemukan.

 Fase Penyembuhan / Fase reconvalesence (minggu ke 2-4)


Demam dan nyeri otot masih bisa dijumpai yang kemudian berangsur-angsur hilang

6. Diagnosis

Mengingat variasi manifestasi klinis leptospirosis, keterbatasan metode


uji diagnostik yang tersedia, dan perlunya deteksi kasus leptospirosis secara dini
serta pengobatan secepatnya, maka diperlukan suatu kriteria diagnosis
leptospsirosis yang tepat. Berikut adalah kriteria diagnosis menurut WHO
SEARO 2009 : 15
1. Kasus suspect
- Demam akut (≥38,5ºC) dengan atau tanpa :
 Nyeri kepala hebat

 Myalgia

 Kelemahan dan/ atau

 Conjunctival suffusion, dan

23
- Riwayat terpajan dengan lingkungan yang terkontaminasi
leptospira

2. Kasus probable (pada tingkat pelayanan kesehatan primer)


Kasus suspect dengan minimal 2 gejala di bawah ini:
 Nyeri betis

 Batuk dengan atau tanpa batuk darah

 Ikterus

 Manifestasi perdarahan (ptekie, mimisan, gusi berdarah,melena)

 Iritasi meningeal

 Anuria/ oliguria dan/ atau proteinuria

 Sesak napas

 Aritmia jantung

 Rash di kulit

Kasus probable (pada tingkat pelayanan kesehatan sekunder dan


tersier)

Berdasarkan ketersediaan fasilitas laboratorium, kasus probable


leptospirosis adalah kasus suspect dengan IgM rapid test positif.
Dengan atau tanpa:
 Temuan serologik yang mendukung (contoh : titer MAT ≥200 pada
suatu sampel)
Dengan atau tanpa:
Ditemukan minimal 3 dari di bawah ini:
 Temuan pada urin : proteinuria, piuria(pus), hematuria

 Neutrofilia relatif (>80%) dengan limfopenia

 Trombosit < 100.000/mm³

 Peningkatan bilirubin > 2 mg% ; gangguan fungsi hati (SGPT,


serum amilase,lipase, CPK)

24
3. Kasus confirm
Kasus confirm pada leptospirosis adalah suatu kasus suspect atau
probable dengan salah satu di bawah ini:
 Isolasi kuman leptospira dari spesimen klinik

 Hasil PCR (+)

 Serokonversi dari negatif ke positif atau peningkatan 4 kali pada


titer MAT

 Titer MAT = 400 atau lebih pada sampel tunggal

Apabila kapasitas laboratorium tidak tersedia:


Hasil positif dengan 2 tes rapid diagnostik dapat
dipertimbangkan sebagai kasus confirm.

Selain itu, juga terdapat kriteria Faine (2012) yang dapat digunakan sebagai dasar
untuk menegakkan diagnosis leptospirosis:

Tabel 1. Kriteri Faine (2012)

25
Berdasarkan kriteria Faine yang dimodifikasi, diagnosis presumtif
leptospirosis dapat ditegakkan jika: (i) Skor bagian A atau bagian A + bagian B
= 26 atau lebih; atau (ii) Skor bagian A + bagian B + bagian C = 25 atau lebih.
Skor antara 20 dan 25 menunjukkan kemungkinan diagnosis leptospirosis tetapi
belum terkonfirmasi.

7. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan laboratorium umum6


i. Pemeriksaan darah
 Pemeriksaan darah rutin : leukositosis.
 Hitung jenis leukosit : peningkatan netrofil.

26
 Trombositopenia ringan.
 LED meninggi.
 Pada kasus berat ditemui anemia hipokrom mikrositik akibat
perdarahan yang biasa terjadi pada stadium lanjut perjalanan
penyakit.
ii. Pemeriksaan fungsi hati
o Jika tidak ada gejala ikterik  fungsi hati normal.
o Gangguan fungsi hati : SGOT, SGPT dapat meningkat.
o Kerusakan jaringan otot  kreatinin fosfokinase meningkat 
peningkatan terjadi pada fase-fase awal perjalanan penyakit, rata-
rata-rata mencapai 5 kali nilai normal.
b. Pemeriksaan laboratorium khusus15,16,17
Pemeriksaan Laboratorium diperlukan untuk memastikan diagnosa
leptospirosis, terdiri dari pemeriksaan secara langsung untuk mendeteksi
keberadaan kuman leptospira atau antigennya (kultur, mikroskopik,
inokulasi hewan, immunostaining, reaksi polimerase berantai), dan
pemeriksaan secara tidak langsung melalui pemeriksaan antibodi terhadap
kuman leptospira (MAT, ELISA, tes penyaring). Pemeriksaan yang spesifik
adalah pemeriksaan bakteriologis dan serologis. Pemeriksaan bakteriologis
dilakukan dengan bahan biakan/kultur leptospira dengan medium kultur
Stuart, Fletcher, dan Korthof. Diagnosa pasti dapat ditegakkan jika dalam
waktu 2-4 minggu terdapat leptospira dalam kultur.
Gold standard pemeriksaan serologi adalah MAT (Mikroskopik
Aglutination Test), suatu pemeriksaan aglutinasi secara mikroskopik untuk
mendeteksi titer antibodi aglutinasi dan dapat mengidentifikasi jenis serovar.
Pemeriksaan serologis ini dilakukan pada fase ke-2 (hari ke 6-12). Dugaan
diagnosis leptospirosis didapatkan jika titer antibodi > 1:100 dengan gejala
klinis yang mendukung.

IgM ELISA merupakan tes yang berguna untuk mendiagnosis secara


dini, tes akan positif pada hari ke-2 sakit ketika manifestasi klinis mungkin
tidak khas. Tes ini sangat sensitif dan efektif (93%). Tes penyaring yang

27
sering dilakukan di Indonesia adalah Lepto Dipstik asay, Lepto Tek Dri Dot
dan LeptoTek Lateral Flow.

Komplikasi di hati ditandai dengan peninggian transaminase dan


bilirubin. Pada 50% kasus didapat peninggian Creatinin Fosfokinase (CPK)
pada fase awal sampai mencapai 5x normal. Hal ini tidak terjadi pada
hepatitis viral. Jadi jika terdapat peninggian transaminase dan CPK, maka
diagnosis leptospirosis lebih mungkin daripada hepatitis viral.

Pada pemeriksaan urine didapatkan perubahan sedimen urine


(leukosituria, eritrosit meningkat dan adanya torak hialin atau granuler).
Pada leptospirosis ringan bisa terdapat proteinuria dan pada leptospirosis
berat dapat terjadi azotemia.

Pemeriksaan langsung darah atau urine dengan mikroskop lapangan


gelap sering gagal dan menyebabkan misdiagnosis, sehingga lebih baik tidak
digunakan. Pada Leptospirosis yang sudah mengenai otak, maka
pemeriksaan CSS didapatkan peningkatan sel-sel PMN ( pada awal ) tapi
kemudian digantikan oleh sel-sel monosit, protein pada CSS normal atau
meningkat, sedangkan glukosanya normal.

8. Diagnosis Banding

Leptospirosis anikterik dapat di diagnosis banding dengan influenza,


demam berdarah dengue, malaria, pielonefritis, meningitis aseptik viral,
keracunan makanan/bahan kimia, demam tifoid, demam enterik.11

Leptospirosis ikterik dapat di diagnosis banding dengan malaria


falcifarum berat, hepatitis virus, demam tifoid dengan komplikasi berat,
haemorrhagic fevers with renal failure, demam berdarah virus lain dengan
komplikasi.11

9. Komplikasi18,19,20

a. Gagal Ginjal Akut

28
b. Pendarahan Paru
c. Gagal Hepar
d. Pendarahan Gastrintestinal
e. Syok
f. Encelopati
g. Miokarditis

10. Penatalaksanaan14

Leptospirosis terjadi secara sporadik, pada umumnya bersifat self-limited


disease dan sulit dikonfirmasi pada awal infeksi. Pengobatan harus dimulai
segera pada fase awal penyakit. Secara teori, Leptospira sp. adalah
mikroorganisme yang sensitif terhadap antibiotik.

Tabel 2. Manajemen kasus dan kemoprofilaksis leptospirosis berdasarkan Kriteria


Diagnosis WHO SEARO 2009

29
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam manajemen kasus leptospirosis
adalah segera merujuk dan retapi suportif penderita leptospirosis bila adanya
indikasi pada disfungsi organ ginjal, hepar, paru, terjadi perdarahan dan
gangguan saraf.

11. Pencegahan

Pengendalian leptospirosis di masyarakat sangat terkait dengan hasil


studi faktor-faktor risiko terjadinya leptospirosis. Oleh karena itu pengendalian
leptospirosis terdiri dari pencegahan primer dan pencegahan sekunder.
Pencegahan primer adalah bagaimana agar orang sehat sebagai sasaran bisa
terhindar dari leptospirosis, sehingga kegiatannya bersifat promotif, termasuk
disini proteksi spesifik dengan cara vaksinasi. Sedangkan pencegahan sekunder
yang sasarannya adalah orang yang sudah sakit leptospirosis, dicegah agar orang

30
tersebut terhindar dari komplikasi yang nantinya dapat menyebabkan
kematian.11
Prinsip kerja dari pencegahan primer adalah mengendalikan agar tidak
terjadi kontak leptospira dengan manusia, yang meliputi:11,21
 Pencegahan hubungan dengan air atau tanah yang
terkontaminasi
 Melindungi sanitasi air minum penduduk
 Pemberian vaksin
 Pencegahan dengan antibiotik kemoprofilaksis
 Pengendalian hospes perantara leptospira
Pokok- pokok cara pengendalian leptospirosis juga memperhatikan hasil
studi faktor risiko terjadinya leptospirosis, antara lain usia, jenis kelamin,
higiene perorangan seperti kebiasaan mandi, riwayat ada luka, keadaan
lingkungan yang tidak bersih, disamping pekerjaan, sosial ekonomi, populasi
tikus, dan lain-lain. Perlu diperhatikan bahwa leptospirosis lebih sering terjadi
pada laki-laki dewasa, mungkin disebabkan oleh paparan pekerjaan dan kegiatan
sehari-hari.11,21
Pencegahan sekunder leptospirosis berupa pengobatan terhadap pasien
yang didiagnosis menderita leptospirosis. Salah satu hal yang menguntungkan
dalam pengobatan ini ialah pengobatan kausal tidak tergantung pada subgrup
maupun serotipe leptospira. Untuk pengobatan Leptospirosis ringan (mild
illness/ suspect case) dapat menggunakan Doxycycline (kapsul) 100 mg 2x/ hari
selama 7 hari; atau Amoxicillin atau Ampicillin (kapsul) 2 gr/ hari selama 7 hari.
Sedangkan untuk Leptospirosis berat (severe case/ probable case) dapat
menggunakan Injeksi Penicillin G 2 juta unit IV / 6 jam selama 7 hari; Injeksi
Ceftrioxine 1 gr IV/ hari selama 7 hari.11,21

B. Demam Tifoid

1. Definisi

Demam tifoid adalah penyakit sistemik yang ditandai dengan demam dan
nyeri pada abdomen yang disebabkan oleh penyebaran Salmonella typhi atau

31
Salmonella paratyphi. Pada awalnya penyakit ini disebut demam tifoid karena
memiliki gejala klinis yang sama dengan typhus. Namun pada awal tahun
1800an, demam tifoid secara jelas didefinisikan sebagai kelainan patologis
berupa suatu penyakit yang berbeda (unik) dikarenakan dasar penegakan
penyakit yang berhubungan dengan pembesaran Plak Peyeri dan nodus
limfatikus mesenterik. Pada tahun 1869, berdasarkan tempat infeksi, istilah
demam enterik diajukan sebagai istilah alternatif untuk membedakan demam
tifoid dari tifus. Namun pada saat ini kedua istilah tersebut sering bertukar
tempat.22

2. Epidemiologi

Demam tifoid merupakan salah satu penyakit infeksi sistemik yang


menjadi masalah dunia. Tidak hanya di negara-negara tropis, namun di negara-
negara subtropis pun prevalensi demam tifoid cukup tinggi, terlebih di negara
berkembang. WHO mencatat pada tahun 2003 lebih dari 17 juta kasus demam
tifoid terjadi di seluruh dunia, dengan angka kematian mencapai 600.000, dan
90% dari angka kematian tersebut terdapat di negara-negara Asia.22
Surveilans Departemen Kesehatan RI mencatat frekuensi kejadian
demam tifoid di Indonesia pada tahun 1994 meningkat hingga 15,4 per 10.000
penduduk. Dari survey berbagai rumah sakit di Indonesia tahun 1981 sampai
dengan 1986 memperlihatkan peningkatan jumlah penderita sekitar 35,8%, yaitu
dari 19.596 menjadi 26.606 kasus.23
WHO mencatat Indonesia sebagai salah satu negara endemik untuk
demam tifoid. Di Indonesia, terdapat rata-rata 900.000 kasus demam tifoid
dengan angka kematian lebih dari 20.000 setiap tahunnya.22 Berdasarkan Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, angka prevalensi demam tifoid secara
nasional adalah 1,6%.24

32
Gambar 3. Distribusi global daerah endemik dari Salmonella Enteric serotipe Typhi,
1990-2002.25
Insidens demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya
berhubungan dengan sanitasi lingkungan; di daerah rural 157 kasus per 10.000
penduduk, sedangkan di daerah urban ditemukan 760-810 kasus per 10.000
penduduk. Perbedaan insidensi di perkotaan berhubungan erat dengan
penyediaan air bersih secara merata yang belum memadai, serta sanitasi
lingkungan terutama cara pembuangan sampah yang kurang memenuhi syarat
kesehatan ligkungan.26

3. Etiologi

Penyebab demam tifoid adalah bakteri dari Genus Salmonella.


Salmonella memiliki dua spesies yaitu Salmonella enterica dan Salmonella
bongori. Salmonella enterica terbagi dalam enam. Salmonella Typhi dan
Salmonella Paratyphi adalah bakteri penyebab demam tifoid. Bakteri ini
berbentuk batang, Gram-negatif, tidak membentuk spora, motil, berkapsul dan
mempunyai flagela. Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa minggu di alam
bebas seperti di dalam air, es, sampah dan debu. Bakteri ini dapat mati dengan
pemanasan (suhu 66o C) selama 15 – 20 menit, pasteurisasi, pendidihan dan
klorinasi.27,28

33
Gambar 4. Struktur antigenik Salmonellae. 28

Salmonella Typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu : 29


1. Antigen O (antigen somatik), terletak pada lapisan luar tubuh kuman. Bagian ini
mempunyai struktur lipopolisakarida atau disebut juga endotoksin. Antigen ini tahan
terhadap panas dan alkohol tetapi tidak tahan terhadap formaldehid.
2. Antigen H (antigen flagela), terletak pada flagela, fimbriae atau pili dari kuman.
Antigen ini mempunyai struktur protein dan tahan terhadap formaldehid tetapi tidak
tahan terhadap panas dan alkohol.
3. Antigen Vi, terletak pada kapsul (envelope) kuman yang dapat melindungi kuman
terhadap fagositosis.

Ketiga macam antigen tersebut di atas di dalam tubuh penderita akan


menimbulkan pula pembentukan 3 macam antibodi yang disebut aglutinin.

4. Patogenesis

Masuknya kuman Salmonella Typhi dan Salmonella Paratyphi ke dalam


tubuh manusia terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi
kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke
dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respon imunitas humoral
mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel usus
dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan

34
difagosit oleh sel-sel fagosit terutama makrofag. Kuman dapat hidup dan
berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak Peyeri
ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika.29

Gambar 5. Mekanisme infeksi Salmonella Typhi .30

Selanjutnya melalui duktus torasikus, kuman yang terdapat di dalam


makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia
pertama yang asimptomatik) kemudian menyebar ke seluruh organ
retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Dengan periode waktu yang
bervariasi antara 1-3 minggu, kuman bermultiplikasi di organ-organ ini
kemudian meninggalkan makrofag dan kemudian berkembang biak di luar
makrofag dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan
bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda dan gejala penyakit infeksi
sistemik.29

35
Di dalam hati, kuman masuk ke kantung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu diekskresikan kembali ke dalam lumen usus secara
intermiten. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi
ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali,
oleh karena makrofag telah teraktivasi sebelumnya maka saat fagositosis kuman
Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi (IL-1, IL-6, IL-8,
TNF-β, INF, GM-CSF, dsb.) yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi
inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut,
instabilitas vaskuler, gangguan mental, dan koagulasi.29
Di dalam plak Peyeri, makrofag yang telah hiperaktif menimbulkan
reaksi hiperplasia jaringan dan menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat.
Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah di sekitar
plak Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi
sel-sel mononuklear di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat
berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus dan dapat mengakibatkan
perforasi usus.29

5. Manifestasi Klinis

Pengetahuan tentang gambaran klinis demam tifoid sangatlah penting


untuk membantu mendeteksi secara dini. Masa tunas demam tifoid berlangsung
antara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan
sampai berat, dari asimptomatik hingga gambaran penyakit yang khas disertai
komplikasi hingga kematian.29
Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat.
Pada minggu pertama, ditemukan keluhan dan gejala serupa dengan penyakit
infeksi akut umumnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia,
mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, dan
epistaksis.28 Karakteristik demamnya adalah demam yang meningkat secara
perlahan-lahan berpola seperti anak tangga dengan suhu makin tinggi dari hari
ke hari, lebih rendah pada pagi hari dan tinggi terutama pada sore hingga malam
hari. Pada akhir minggu pertama, demam akan bertahan pada suhu 39-40°C.
Pasien akan menunjukkan gejala rose spots, yang warnanya seperti salmon,

36
pucat, makulopapul 1-4 cm lebar dan jumlahnya kurang dari 5; dan akan
menghilang dalam 2-5 hari. Hal ini disebabkan karena terjadi emboli oleh
bakteri di dermis.29 Pada minggu kedua, gejala klinis menjadi semakin
berkembang jelas, berupa demam, bradikardia relatif dimana setiap peningkatan
1o C tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali per menit, kemudian
didapatkan pula lidah yang berselaput (kotor ditengah, tepi dan ujung lidah
merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali, meteroismus, gangguan
mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis.29 Beberapa
penderita dapat menjadi karier asimptomatik dan memiliki potensi untuk
menyebarkan kuman untuk jangka waktu yang tidak terbatas

6. Diagnosis

Penegakan diagnosis demam tifoid didasarkan pada manifestasi klinis


yang diperkuat oleh pemeriksaan laboratorium penunjang. Sampai saat ini masih
dilakukan berbagai penelitian yang menggunakan berbagai metode diagnostik
untuk mendapatkan metode terbaik dalam usaha penatalaksanaan penderita
demam tifoid secara menyeluruh. Pemeriksaan laboratorium untuk membantu
menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu : (1)
pemeriksaan darah tepi; (2) pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan
kuman; (3) uji serologis; dan (4) pemeriksaan kuman secara molekuler.30

a. Pemeriksaan darah tepi


Pada penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah
leukosit normal, bisa menurun atau meningkat, mungkin didapatkan
trombositopenia dan hitung jenis biasanya normal atau sedikit bergeser ke
kiri, mungkin didapatkan aneosinofilia dan limfositosis.31 Penelitian oleh
beberapa ilmuwan mendapatkan bahwa hitung jumlah dan jenis leukosit
serta laju endap darah tidak mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas dan
nilai ramal yang cukup tinggi untuk dipakai dalam membedakan antara
penderita demam tifoid atau bukan, akan tetapi adanya leukopenia dan
limfositosis menjadi dugaan kuat diagnosis demam tifoid.32

37
b. Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan
bakteri Salmonella Typhi dalam biakan dari darah, urine, feses dan sumsum
tulang. Bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang
pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan
feses.30 Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil
negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada
beberapa faktor, seperti : (1) Telah mendapat terapi antibiotik. Bila pasien
sebelum dilakukan kultur darah telah mendapat antibiotik, pertumbuhan
kuman dalam media biakan terhambat dan hasil mungkin negatif; (2) Jumlah
darah yang diambil terlalu sedikit (diperlukan kurang lebih 10 cc darah). Bila
darah yang dibiak terlalu sedikit hasil biakan bisa negatif; (3) Riwayat
vaksinasi. Vaksinasi di masa lampau menimbulkan antibodi dalam darah
pasien. Antibodi ini dapat menekan bakteremia sehingga biakan darah dapat
negatif; dan (4) Waktu pengambilan darah yang dilakukan setelah minggu
pertama, pada saat aglutinin semakin meningkat. 28,30
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat
pengambilan pada perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan
darah positif 70-90% dari penderita pada minggu pertama sakit dan positif
10-50% pada akhir minggu ketiga.30,33 Sensitivitasnya akan menurun pada
sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai
dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai.33,34
Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-
15%) hingga minggu ketiga (75%) dan turun secara perlahan. Biakan urine
positif setelah minggu pertama. Biakan sumsum tulang merupakan metode
yang mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada
80-95% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan
menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini terutama bermanfaat untuk
penderita yang sudah pernah mendapatkan terapi atau dengan kultur darah
negatif sebelumnya.33,34 Namun prosedur ini sangat invasif sehingga tidak
dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan
kultur pada spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan

38
hasil yang cukup baik akan tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya
risiko aspirasi terutama pada anak. 31,33
c. Uji serologis
1) Uji Widal
Dasar reaksi uji Widal adalah reaksi aglutinasi antara antigen
kuman Salmonella Typhi dengan antibodi (aglutinin). Aglutinin yang
spesifik terhadap Salmonella Typhi terdapat dalam serum penderita
demam tifoid, orang yang pernah tertular Salmonella Typhi, dan orang
yang pernah mendapatkan vaksin demam tifoid. Antigen yang
digunakan pada uji Widal adalah suspensi Salmonella Typhi yang
sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan uji Widal adalah
untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita yang
diduga menderita demam tifoid.29
Dari ketiga aglutinin (aglutinin O, H, dan Vi), hanya aglutinin
O dan H yang ditentukan titernya untuk diagnosis. Secara umum,
aglutinin O mulai muncul pada hari ke 6-8 dan aglutinin H mulai
muncul pada hari ke 10-12 dihitung sejak hari timbulnya demam.
Semakin tinggi titer aglutininnya, semakin besar pula kemungkinan
didiagnosis sebagai penderita demam tifoid. Pada infeksi yang aktif,
titer aglutinin akan meningkat pada pemeriksaan ulang yang dilakukan
pada selang waktu minimal 5 hari. Peningkatan titer aglutinin empat
kali lipat selama 2 sampai 3 minggu memastikan diagnosis demam
tifoid.35
Interpretasi hasil uji Widal adalah sebagai berikut :
a. Titer aglutinin O yang tinggi ( > 160) menunjukkan adanya infeksi
akut.
b. Titer aglutinin H yang tinggi ( > 160) menunjukkan sudah pernah
mendapat imunisasi atau pernah menderita infeksi.
c. Titer aglutinin yang tinggi terhadap antigen Vi terdapat pada carrier.

2) Uji Enzym Linked Immunosorbent Assay (ELISA)


Prinsip dasar uji ELISA adalah reaksi antigen-antibodi.
Uji ini sering dipakai untuk melacak antibodi IgG, IgM dan IgA

39
terhadap antigen O9 LPS, antibodi IgG terhadap antigen flagela d
(Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi Salmonella Typhi.
Chaicumpa dkk mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95%
pada sampel darah, 73% pada sampel feses, dan 40% pada
sampel sumsum tulang.22,31

3) Pemeriksaan Dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan
di Belanda dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik
terhadap antigen LPS Salmonella Typhi dengan menggunakan
membran nitroselulosa yang mengandung antigen Salmonella
Typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human
immobilized sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini
menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak
memerlukan alat yang laboratorium yang lengkap. 36,37
Penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan
sensitivitas uji ini sebesar 69.8% bila dibandingkan dengan kultur
sumsum tulang dan 86.5% bila dibandingkan dengan kultur darah
dengan spesifisitas sebesar 88.9% dan nilai prediksi positif
sebesar 94.6%.20 Penelitian lain oleh Ismail dkk (2002) terhadap
30 penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini
sebesar 90% dan spesifisitas sebesar 96 bnnnnnnnnnncvbbv
%.38

4) Uji Tubex®
Tubex® merupakan alat diagnostik demam tifoid yang
diproduksi oleh IDL Biotech, Broma, Sweden.39 Tes ini sangat cepat,
hanya membutuhkan waktu 5-10 menit, sederhana dan akurat. Tes ini
mendeteksi serum antibodi IgM terhadap antigen O9 LPS yang sangat
spesifik terhadap bakteri Salmonella Typhi. Pada orang yang sehat
normalnya tidak memiliki IgM anti-O9 LPS.39,40

40
Tes Tubex® merupakan tes yang subjektif dan semikuantitatif
dengan cara membandingkan warna yang terbentuk pada reaksi
dengan Tubex® color scale yang tersedia. Range dari color scale
adalah dari nilai 0 (warna paling merah) hingga nilai 10 (warna paling
biru).39
Cara membaca hasil tes Tubex® adalah sebagai berikut
menurut IDL Biotech 2008: 29,39
1. Nilai < 2 menunjukan nilai negatif (tidak ada indikasi
demam tifoid).
2. Nilai 3 menunjukkan inconclusive score dan memerlukan
pemeriksaan ulang.
3. Nilai 4-5 menunjukan positif lemah.
4. Nilai > 6 menunjukan nilai positif (indikasi kuat demam
tifoid).
Nilai Tubex® yang menunjukan nilai positif disertai dengan
tanda dan gejala klinis yang sesuai dengan gejala demam tifoid,
merupakan indikasi demam tifoid yang sangat kuat.29

5) Identifikasi kuman secara molekuler


Metode lain untuk identifikasi bakteri Salmonella Typhi yang
akurat adalah mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri
Salmonella Typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat
atau amplifikasi DNA.

7. Komplikasi

Demam typhoid dapat menjadi penyakit yang semakin berat dan


mengancam nyawa, terggantung dari faktor inang ( terapi imunosupresi, terapi
antasida, riwayat vaksinasi), virulensi dari bakteri dan pemilihan terapi
antibiotik. Pendarahan gastrointestinal *10-20%) dan perforasi intestinal (1-3%),
hal ini biasa terjadi minggu ke-3 dan minggu ke-4. Pendarahan gastrointestinal
dan perforasi intestinal terjadi akibat hiperplasia, ulsersi dan nekrosis dari plak
peyeri ileocecal. Keuda komplikasi ini dapat mengancam nyawa dan
membutuhkan resusistasi cairan segera dan intervensi bedah dengan pemberian

41
antibiotik spektrum luas untu periotinits polimikrobial. Manifestasi neurologikal
dapat ditemukan pada 2 -40% berupa, meningitis, guillain-barre syndrome,
neuritits dan gejala neuropsikiatrik.38

Komplikasi lain yang dapat terjadi berupa disseminated intravascular


coagulation, hematophagotic syndrome, pankreatitis, hepatitis, miokarditis,
orkitis, glomerulonefritis, pieloneftitis, pneumonia berat, arthritis, osteomielitis.
Namun komplikasi ini sudah jarnag terjadi akibat pemberian antibiotik yang
tepat.38

Gambar 6 . Perforasi ileum akibat infeksi S. typhi

8. Penatalaksanaan

Pemberian terapi antibiotik yang tepat dan cepat, mencegah komplikasi


demam tifoid yang berat dan mengurangi kasus fatal menjadi < 1%. Terapi
antibiotik inisial bergantung terhadap kerentanan dari S. Typhi dan S. Paratyphi
pada tiap tiap area. Terapi demam tifoid yang paling efektif adalah agen
fluorokuinolon, dengan angka kesembuhan 98% dan angka relaps dan karier
fecal <2%. Pemberian terapi singkat degan ofloxacin memiliki angka
kesuksesan yang sama dengan pemberian agen kuinolon terhadap salmonela
yang sensitif. Di Asia, penggunaan luas agen fluorokuinolon secara bebas,
menyebabkan kenaikan angka kejadian DCS ( decreased ciprofloxacin
susceptibility). Oleh karena itu penggunaan agen fluorokuinolon sebainya
dibatasi dan tidak menjadi terapi empiris. Pasien yang terinfeksi dengan
golongan S.typhi DCS sebaiknya diterapi menggunakan ceftriaxone,
azithromycin atau ciprofloksasin dalam dosis besar. Penggunaan fluorokuinolon

42
dosis besar dalam 7 hari sebagai terapi demam typhoid DCS, menyebabkan
keterlambatan resolusi dan meningkatkan angka karier fecal. Oleh karena itu,
terapi demam typhoid DCS dengan menggunakan ciprofloxacin dosis besar
diberikan dalam waktu 14 hari.28,33,38

Ceftriaxone, cefotaxime dan cefixime oral merupakan terapi efektif


untuk demam tifoid MDR ( multi drug resistant), termasuk DCS dan salmonella
yang resisten dengan fluorokuinolon. Agen ini menurunkan panas dalam waktu
± 1 minggu, dengan angka kegagalan 5-10%, angka karier fekal <3% dan angka
relaps 3-6%. Pemberian azithromycin oral, menurunkan demam dalam 4-6 hari,
dengan angka relaps dan karier fekal <3%. Pada demam tifoid DCS, pemberian
azithromycin berhubungan dengan angka kegagalan terapi yang rendah, dan
durasi hospitalisasi yang pendek dibandingkan pemberian fluorokuinolon.
Sefalosporin generasi satu, generasi generasi kedua dan aminoglikosida tidak
efektif pada terapi demam tifoid.28,38

Pada pasien dengan demam tifoid tanpa komplikasi, dapat diterapi di


rumah dengan antibiotik oral dan antipiretik. Pasien dengan muntah menetap,
diare menetap atau distensi abdomen sebaiknya dirawat di rumah sakit dan
diberikan terapi suportif (tirah baring dan dukungan nutrisi )disertai pemberian
antibiotik parenteral sefalosporin generasi ketiga atau fluorokuinolon,
tergantung dari tingkat sensitif bakteri. Terapi sebaiknya diberikan selama 10
hari atau selama 5 hari setelah resolusi demam.28,33,38
Pada 1-5% pasein yang menderita karies Salmonella kronis dapat
diterapi dengan pemberian antibiotik oral yang tepat selama 4 sampai 6 minggu.
Terapi menggunakan amoxicillin oral, TMP-SMX, ciprofloxacin atau
norfloxacin efektif dalam mengeradikasi karier kronis ( 80% efektif).
Siprofloksasin 750 mg, 2 kali sehari selama 28 hari terbukti efektif. Bila tidak
ada siprofloksasin dan galur tersebut peka, 2 tablet ko-trimoksaszol 2 kali sehari
selama 3 bulan , atau 100 mg/kg/hari amoksisilin dikombinasi dengan
probenesid 30 mg/kg/hari, keduanya diberikan selama 3 bulan juga efektif.
Karier dengan batu empedu hanya memperlihatkan respons sementara terhadap

43
kemoterapi, dan diperlukan kolesistektomi untuk mengakhiri keadaan karier
pada kasus tersebut.28,33,38

Tabel 3. Terapi antibiotik untuk demam tifoid

44
Tabel 4. Antibiotik untuk Pengobatan Demam Tifoid Tahun 2010 (
KONSENSUS KONAS PETRI - BALI )

45
BAB III

PEMBAHASAN

Leptospirosis dan demam tifoid merupakan penyakit infeksi bakteri dimana


keduanya memiliki manifetasi demam yang sama, yaitu demam lebih dari 7 hari.
Leptospirosis disebabkan oleh infeksi Leptospira sedangkan demam tifoid disebabkan
oleh serotipe S.typhi dan S. Paratyhpi. Kedua penyakit ini dapat terjadi secara
bersamaan pada pasien-pasien yang memiliki risiko untuk kedua penyakit ini.

Pada pasien ini, diagnosis Leptospirosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,


pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang yang dilakukan. Berdasarkan
anamnesis, pasien mengeluh demam yang sudah berlangsung 8 hari yang lalu saat
pasien masuk ke rumah sakit, selain itu juga terdapat nyeri kepala hebat, mual, muntah
bewarna hitam, BAB hitam,merasa lemas, sesak napas, nyeri dan kelemahan pada
kedua ekstremitas bawah.. Pasien juga mengalami epistaksis serta pendarahan gusi saat
dirawat dirumah sakit. Keluhan-keluhan diatas merupakan tanda dan gejala yang dapat
ditemukan pada penyakit leptospirosis, meskipun keluhan-keluhan tersebut juga dapat
ditemukan pada penyakit lainnya. Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya ikterus,
baik pada sklera,badan serta ekstremitas, ptekie,epistaksis, pendarahan gusi, hematom
pada bagian-bagian tubuh pasien, oliguria, . Pada pemeriksaan kaku kuduk, terasa
adanya tahanan yang menandakan adanya iritasi meningeal. Selain itu juga ditemukan
tanda khas yang dapat ditemukan pada pasien dengan leptospirosis, yaitu gastrocnemius
pain dan conjucntival suffusion. Untuk mendukung diagnosis dari Leptospirosis,
dibutuhkan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan darah, urin, serologi bahkan
kultur kuman leptospirosis. Tetapi karena keterbatasan alat, media dan tenaga,
pemeriksaan penunjang didapat dari pemeriksaan darah dan urin. Pada pemeriksaan
darah, didapatkan kadar hemoglobin, trombosit, limfosit dan hematokrit serta
peningkatan dari leukosit dan netrrofil. Pada nilai fungsi hati dan ginjal, terdapat
peningkatan dari SGOT, SGPT, ureum dan kreatinin. Bahkan pasien sudah masuk
dalam keadaan Acute Renal Failure. Pada pemeriksaan bilirubin, didapatkan adanya
peningkatan dari bilirubin total, direk maupun indirek. Pada pemeriksaan urin,

46
didaptkan adanya proteinuria +2, hematuria, dan glukosuria. Berdasarkan data pasien
diatas, pasien sudah masuk kedalam kasus Probable untuk Leptospirosis, bahkan pasien
sudah masuk kedalam kriteria Weil’s disease dimana terdapat ikterus, disfungsi ginjal
serta pendarahan pada pasien ini.

Selain itu pasien ini juga didiagnosis menderita demam tifoid. Diagnosis demam
tifoid ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan
penunjang yang dilakukan. Berdasarkan anamnesis, pasien mengeluh demam yang
sudah berlangsung 8 hari yang lalu saat pasien masuk ke rumah sakit, selain itu juga
terdapat nyeri kepala hebat, mual, muntah bewarna hitam, BAB hitam, diare, nyeri
perut, dan merasa lemas. Pasien juga mengalami epistaksis serta pendarahan gusi saat
dirawat dirumah sakit. Keluhan-keluhan diatas merupakan tanda dan gejala yang dapat
ditemukan pada penyakit demam tifoid, meskipun keluhan-keluhan tersebut juga dapat
ditemukan pada penyakit lainnya. Pada pemeriksaan fisik, tidak ditemukan adanya
kelainan yang biasanya ditemukan ada demam tifoid, seperti bradikardi relatif,
hepatomegali dan splenomegali, serta lidah tifoid, karena memang kelainan-kelainan
tersebut tidak harus selalu ada pada pasien dengan demam tifoid. Tetapi ditemukan
adanya rose spots yang biasanya juga dapat ditemukan pada pasien dengan demam
tifoid. Pada pemeriksaan penunjang, diagnosis demam tifoid ditegakkan berdasarkan
hasil pemeriksaan Salmonella Rapid IgM yang menunjukkan hasil positif meskipun
pada pemeriksaan widal, baik titer S.Tyhpi O maupun S.Tyhpi H menunjukkan hasil
negatif. Berdasarkan data pasien diatas, diagnosis demam tifoid sudah dapat ditegakkan.

Kuman leptospira merusak dinding pembuluh darah kecil, sehingga


menimbulkan vaskulitis disertai kebocoran dan ekstravasasi sel. Patogenesis kuman
leptospira yang penting adalah perlekatannya pada permukaan sel dan toksisitas selular.
Lipopolysaccharide (LPS) pada kuman leptospira mempunyai aktivitas endotoksin yang
berbeda dengan endotoksin bakteri gram (-) dan aktifitas lainnya yaitu stimulasi
perlekatan netrofil pada sel endotel dan trombosit, sehingga terjadi agregasi trombosit
disertai trombositopenia.13 Inilah yang menjelaskan mengapa pada pasien ini terdapat
berbagai manifestasi pendarahan, seperti melena, hematemesis, epistaksis, ptekie,
hematom, serta pendarahan gusi.

47
Organ utama yang terinfeksi kuman leptospira adalah ginjal dan hati. Di dalam
ginjal kuman leptospira bermigrasi ke interstitium, tubulus ginjal dan lumen tubulus.
Semua bentuk leptospirosis dapat menyebabkan disfungsi ginjal. Gambaran mulai dari
yang ringan berupa proteinuria ringan dan abnormalitas sedimen urin hingga berat
berupa cedera ginjal akut. Yang sering ditemukan adalah gagal ginjal non-oliguria
dengan hipokalemia ringan (41-45% kasus). Anuria total dengan hiperkalemia
merupakan tanda prognostik buruk. Pada pasien penyakit Weil yang berhasil bertahan,
fungsi ginjal akan kembali normal. Faktor utama penyebab cedera ginjal akut pada
leptospirosis adalah nefrotoksisitas langsung dari leptospira dan respons imun yang
diinduksi toksin. Adanya leptospira di jaringan ginjal akan memicu proses nefritis
interstisial dan nekrosis tubular akut. Pada leptospirosis berat akan dijumpai perubahan
status hemodinamik seperti sepsis. Akibat vasodilatasi sistemik, kadar aldosteron dan
hormon antidiuretik akan meningkat, sehingga terjadi vasokonstriksi ginjal dan
penurunan diuresis. Bilirubin yang tinggi juga menurunkan filtrasi glomerulus dan
kemampuan pemekatan urin. Inilah yang menjelaskan mengpa pada pasien ini terjadi
Acute Renal Failure akibat Leptospirosis yang dideritanya.

Pasien ini mendapatkan antibiotik Ceftriaxon dan Viccilin Sx untuk kuman


Leptopspira dan S.Thypi. Ceftriaxon sendiri merupakan obat pilihan pada kasus
probable Leptospirosis setelah Penisilin G, tetapi karena Penisilin G diberikan secra IM
di bagian bokong, sedangkan pada pasien ini terjadi trombositopenia, dikhawatirkan
dapat terjadi hematom nantinya, sehingga Ceftriaxon menjadi obat pilihan untuk kasus
ini. Selain itu ceftriaxon juga sangat sensitif terhadap kuman tifoid. Ceftriaxon sendiri
menjadi terapi empiris pilihan pada kasus demam tifoid. Sehingga pemberian
Ceftriaxon sangatlah cocok pada kasus ini. Pemberian Viccilin Sx pada kasus ini
berguna untuk antibiotik broad-spectrum serta sebagai profilaksis, karena kandungan
kombinasi antara ampisilin dan sulbactam sangat bagus untuk kuman infeksi baik gram
positif maupun negatif.

48
KESIMPULAN

Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang

yang dilakukan, diagnosis mengarah pada Leptospirosis yang berkomorbid dengan

demam tifoid dengan komplikasi Acute Renal Failure, trombositopenia berat serta

hepatitis.

49
DAFTAR PUSTAKA

1. Aru W, Bambang, Idrus A, Marcellus, Siti S, ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM; 2007.
P.1845-8.
2. Hauser, Kasper et al, 2015, Harrison’s Principles of Internal Medicine 16
editions, Mc Graw Hill. New York. Page 988-90.
3. A.E. Forbes, W.J. Zochowski, S.W. Dubrey, dkk, 2012. Leptospirosis and
Weil’s disease in the UK. Leptospira Reference Unit (LRU), Department of
Microbiology, County Hospital
4. Ann Florence B Victoriano1, Lee D Smythe, Nina Gloriani-Barzaga, dkk.
Leptospirosis in the Asia Pacific region. Department of Medical Microbiology,
University of the Philippines. BMC Infectious Diseases. 2009, 9:147
5. A. T. Slack, M. L. Symonds, M. F. Dohnt, L. D. Smythe, dkk. The epidemiology
of leptospirosis and the emergence of Leptospira borgpetersenii serovar
Arborea in Queensland, Australia, 1998–2004. Centre for Public Health
Sciences, Queensland Health Scientific Services : Mei 2006
6. Zein, Umar. Leptospirosis. Dalam buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid III edisi
IV. Jakarta : pusat penerbitan Departemen ilmu penyakit dalam FKUI. 2006. Hal
1823-5.
7. Departemen Kesehatan, 2003. Pedoman Tatalaksana Kasus dan Pemeriksaan
Laboratorium Leptospirosis di Rumah Sakit, Leptospira. Hlm. 8-15. Bagian
Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan : Jakarta.
8. Mansjoer, Arif dkk. 2005. Kapita Selekta Kedokteran Edisi ketiga Jilid 1
Cetakan
9. Issazadeh, K.H., Amirmozaffari, N., Mehrabian, S. & Oryan, H. (2009)
Assessment of Distribution Leptospira Spp. In Surface Waters of Guilan
Province. In:World Journal of Zoology 4 (2),pp. 79-84.
10. Tjokronegoro, Arjatmo dan Hendra Utama. 1996. Pemeriksaan Hematologi
Sederhana. FKUI: Jakarta.
11. Speelman, Peter. (2005). “Leptospirosis”, Harrison’s Principles of Internal
Medicine, 16th ed, vol I. McGraw Hill : USA. Pg.988-991.

50
12. Dit Jen PPM & PL RSPI Prof. DR. Sulianti Saroso. (2003). Pedoman
Tatalaksana Kasus dan Pemeriksaan Laboratorium Leptospirosis di Rumah
Sakit. Departemen Kesehatan RI : Jakarta.
13. Dharmojono, Drh. Leptospirosis, Waspadailah Akibatnya!. Pustaka Populer
Obor : Jakarta. 2002.
14. World Health Organization (Regional Office for South-East Asia). Informal
Expert Consultation on Surveillance, Diagnosis, and Risk Reduction of
Leptospirosis [internet]. 2009. Available from:
http://www.searo.who.int/entity/emerging_diseases/topics/Communicable
_Diseases_Surveillance_and_response_SEA-CD-217.pdf
15. Widarso, Yatim.F, 2000. Leptospirosis dan Ancamannya, Majalah Kesehatan
No. 15 Tahun 2000. Departemen Kesahatan, Jakarta.
16. Iskandar Z; Nelwan RHH; Suhendro, dkk. Leptospirosis Gambaran Klinis di
RSUPNCM, 2002.
17. Riyanto B, Gasem MH, Pujianto B, Smits H. Leptospira sevoars in patients with
severe leptospirosis admitted to hospitals of Semarang. Buku Abstrak Konas
VIII PETRI, Malang, Juli 2002.
18. Sion ML et al. Acute renal failure caused by leptospirosis and hantavirus
infection in an urban hospital. European Journal of Internal Medicine 13. 2002.
264-8
19. Daher EF, Noguera CB. Evaluation of penicillin therapy in patients with
leptospirosis and acute ranal failure. Rev Inst Med trop. S Paulo.
2000.42(6):327-32
20. Drunl W. Nutritional support in patients ARF. In; Acute Renal Failure;
(Brenners & Rector’s) ed WB Saunders. 2001: 465-83
21. World Health Organization/ International Leptospirosis Society. Human
Leptospirosis guidance for diagnosis, surveillance and control. Geneva :
WHO.2003.109
22. [WHO] Background document : The diagnosis, treatment and prevention of
typhoid fever. World Health Organization; 2003: 17-18.

51
23. Kawano RL, Leano SA, Agdamag DM. Comparison of Serological Test Kits for
Diagnosis of Typhoid Fever in the Philippines. J Clin Microbiol. Jan 2007;
45(1): 246–247.
24. [DEPKES] Riset Kesehatan Dasar 2007. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2008.
25. Keddy KH, Sooka A, Letsoalo ME, Hoyland G, Chaignat CL, Morrissey AB, et
al. Bull. World Health Organisation. 2011 Sep 1;89(9):640-7.
26. Septiawan IK, Herawati S, Sutirtayasa IW. Examination of The Immunoglobulin
M Anti Salmonella in Diagnosis of Typhoid Fever. E-Jurnal Medika Udayana
2.6; 2013: 1080-1090.
27. Kidgell C, Reichard U, Wain J, Linz B, Torpdahl M, Dougan G, et al.
Salmonella Typhi, the causative agent of typhoid fever. Infect Genet Evol. 2002
Oct;2(1):39-45.
28. Widodo D. Demam Tifoid. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jilid III.
Jakarta : Interna Publishing. 2009:2797-2800.
29. Parry M, Hien TT, Dougan G, White NJ, Farrar JJ. A Review of Typhoid Fever.
New England Journal of Medicine. 2002; 347:1770-1782.
30. Tumbelaka AR. Tata laksana terkini demam tifoid pada anak. Simposium
Infeksi – Pediatri Tropik dan Gawat Darurat pada Anak. IDAI Cabang Jawa
Timur. Malang : IDAI Jawa Timur, 2005:37-50.
31. Hoffman SL. Typhoid Fever. Dalam : Strickland GT, Ed. Hunter’s Textbook of
Pediatrics, edisi 7. Philadelphia : WB Saunders, 1991:344-358.
32. Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam :
Soegijanto S, Ed. Ilmu Penyakit Anak : Diagnosa dan Penatalaksanaan, Edisi 1.
Jakarta : Salemba Medika, 2002:1-43.
33. [WHO] Diagnosis of typhoid fever. Dalam : Background document : The
diagnosis, treatment and prevention of typhoid fever. World Health
Organization, 2003;7-18.
34. Parry CM. Typhoid fever. N Engl J Med 2002; 347(22): 1770-82.
35. [DEPKES]. Pedoman Pengendalian Demam Tifoid. Departemen Kesehatan
Republik Indonesia. Mei 2006

52
36. Olga. Tubex®, Cepat dan Akurat Diagnosis Demam Tifoid. J. Med. Kedokteran
Indonesia. 2012; XXXVIII (08).
37. Kasper DL, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, Loscalzo J.
Salmonellosis. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 19th edition. United
States : Mc Graw Hill. 2015:1049-1052.
38. KONAS PETRI Bali 2010. Konsensus Penatalaksanaan Demam Tifoid. Bali.
2010.
39. A review article of Rapid Detection of Typhoid fever.
IDL Botech, 2008. www.idl.se.
40. Harahap, NH. Demam Tifoid. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
2011. repository.usu.ac.id/bitstream/4/Chapter %20II.pdf.

53

Anda mungkin juga menyukai