Diajukan Kepada :
Annis Asteria S. A.
20184010138
2018
1
LEMBAR PENGESAHAN
PRESENTASI KASUS
8 Desember 2018
Disusun Oleh :
Annis Asteria S. A.
20184010138
Disetujui Oleh :
2
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum. Wr. Wb
Tugas ini dapat terselesaikan atas bantuan berbagai pihak, oleh karena itu
penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada :
1. dr. Widhi, Sp.PD selaku dokter pembimbing dan dokter spesialis Penyakit Dalam
RSUD KRT Setjonegoro Wonosobo
2. dr. H. Suprapto, Sp.PD selaku dokter spesialis Penyakit Dalam RSUD KRT
Setjonegoro Wonosobo
3. dr. Hj. Arlyn Yuanita, Sp.PD selaku dokter spesialis Penyakit Dalam RSUD KRT
Setjonegoro Wonosobo
4. Teman-teman koass serta tenaga kesehatan RSUD Wonosobo yang telah
membantu penulis dalam menyusun tugas ini.
Dalam menyusun tugas ini penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak
kekurangan. Penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan penyusunan
tugas ini dimasa yang akan datang. Semoga dapat menambah pengetahuan bagi penulis
khususnya dan pembaca pada umumnya.
Wassalamu’alaikum. Wr. Wb
Penulis
3
DAFTAR ISI
4
BAB I
STATUS PASIEN
A. Identitas Pasien
No CM : 754264
Nama : Tn. M
Tanggal Lahir : 01 Juli 1953
Jenis Kelamin : Laki- laki
Alamat : Mojotengah, Wonosobo, Jawa Tengah
Agama : Islam
Status perkawinan : Menikah
Suku : Jawa
Pekerjaan : Buruh/Tani
Bangsal : Cempaka
B. Anamnesis
Keluhan Utama : nyeri perut
5
Riwayat Personal Sosial
Riwayat merokok (-)
Riwayat alkohol (-)
Riwayat pekerjaan sebagai buruh bangunan
Pola makan pasien : pasien makan 3x sehari, jika sedang kerja sering
membeli makanan di warung
Rumah tidak berada disekitaran sawah dan peternakan
Riwayat bepergian ke daerah sawah dalam sebulan disangkal
Pasien mengatakan bahwa tanggal 1 Juli mengikuti kerja bakti di sekitar
Musholla
Pasien sebelum sakit sedang mengerjakan proyek di sebuah sekolah
C. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Tanda Vital :
a. Nadi : 120 x / menit
b. Suhu : 37,6oC
c. RR : 24 x / menit
d. TD : 84/62 mmHg
e. SpO2 : 97%
6
Status Generalisata
a. Kepala
1) Bentuk : mesocephal, oedem wajah (-)
2) Mata : konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-),
oedem palpebra (-/-), exoftalmus (-/-)
3) Hidung : bentuk normal, tidak ada deformitas, tidak ada
Sekret dan epistaksis
7
D. Pemeriksaan Penunjang
8
Pemeriksaan Hasil
Dengue
IgG Dengue Positif
IgM Dengue Negatif
Salmonella Rapid IgG Negatif
Salmonella Rapid IgM Positif
Widal
S.Typhi O Negatif
S.Typhi H Negatif
HbsAg Negatif
17 Juli 2018 Darah Rutin
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Interpretasi
Hemoglobin 11,0 13.2 – 17.3 L
Leukosit 31,2 3.8 - 10.6 HH
Eosinofil 0,00 2.00 – 4.00 L
Basofil 0.20 0 – 1.00 N
Netrofil 91,80 50.00 – 70.00 H
Limfosit 4,30 25.00 – 40.00 L
Monosit 4,00 2.00 – 8.00 N
Hematokrit 28 40 – 52 L
Eritrosit 3,60 4.40 – 5.90 L
MCV 78 80 – 100 L
MCH 30 26 – 34 N
MCHC 39 32 – 36 H
Trombosit 12 150 – 400 LL
17 Juli 2018 Kimia klinik dan lain-lain
Pemeriksaan Hasil Nilai normal Interpretasi
Ureum 323,0 <50 HH
Creatinin 7,36 0,60 – 1,10 HH
Gambaran darah tepi : Anemia normokromik normositik dengan netrofilia
absolut dan trombositopenia suspek e/c proses kronis bersamaan dengan
9
proses infeksi.
18 Juli 2018 Darah Rutin
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Interpretasi
Hemoglobin 10,5 13.2 – 17.3 L
Leukosit 30,4 3.8 - 10.6 HH
Eosinofil 0,00 2.00 – 4.00 L
Basofil 0.20 0 – 1.00 N
Netrofil 89,50 50.00 – 70.00 H
Limfosit 1,80 25.00 – 40.00 L
Monosit 3,90 2.00 – 8.00 N
Hematokrit 27 40 – 52 L
Eritrosit 3,6 4.40 – 5.90 L
MCV 83 80 – 100 N
MCH 30 26 – 34 N
MCHC 39 32 – 36 H
Trombosit 18 150 – 400 LL
18 Juli 2018 Kimia klinik
Pemeriksaan Hasil Nilai normal Interpretasi
GDS 123 70-150 N
Ureum 372,0 <50 HH
Creatinin 8,04 0,60 – 1,10 HH
Asam urat 11,5 2,0 – 7,0 H
18 Juli 2018 Sero Imunologi
Pemeriksaan Hasil
Anti HCV Negatif
18 Juli 2018 Urin Rutin dan Lain-lain
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Protein Urin ++ Negatif
Bilirubin Total 28,05
Bilirubin Direk 16,36 <0,3
Bilirubin Indirek 11,69
10
Urin Rutin
Makroskopis
Warna KNG KNG
Kejernihan AKRH Jernih
PH 6,5
Berat Jenis 1.015 1.003-1030
Kimia
Blood urin + Negatif
Bilirubin urin + Negatif
Urobilin Normal Normal
Keton - Negatif
Glukosa urin +++ Negatif
Protein urin ++ Negatif
Nitrit - Negatif
Leukosit esterase - Negatif
Sedimen
Eritrosit urin 2-3 0-1
Lekosit urin 2-3 1-5
Epitel 8-15 5-15
Kristal -
Silinder granula Positif Negatif
Silinder hyalin Negatif Negatif
EKG : -
E. Diagnosis Kerja
Hematemesis Melena
F. Penatalaksanaan
Infus RL 20 tpm
Inj. Omeprazole
11
Inj. Ondancentron
Sucralfat Syr
Gitas Plus
12
pada regio pedis sinistra,
terdapat hematom pada regio
femur anterior dextra dan sinistra
Edema - -
- -
Hari ke-4 Keluar darah dari lubang TD : 105/44 mmHg Leptopirosis Tx lanjut
hidung sebelah kiri sejak S: 36,6 oC Inf. Tutofusin : HES
Tifoid
17/7/18 tadi malam,pendarahan HR : 77x/menit 1:1 30 tpm
ARF
dari dalam mulut sudah RR: 26x/menit Inj. Farsix 3x1 amp.
06.00 WIB
mulai berkurang, BAB Kepala : kulit wajah tampak
Hepatitis Prorenal 3x2
sering(6x sejak tadi kuning, CA (+/+), SI (+/+), Pre-syok Ketosteril 3x1
malam) dan encer,tapi conjunctival suffusion +
sudah tidak hitam, BAK Hidung: tampak adanya
sedikit,merasa lemas, pendarahan dari lubang sebelah
kedua kaki masih terasa kiri
lemah Mulut: tampak adanya
pendarahan gusi, lidah kotor -
Leher : teraba adanya
pembesaran KGB dibagian
preaurikular,parotid dan
tonsillar, nyeri - , pada
pemeriksaan kaku kuduk terasa
adanya tahanan
Thorax : tampak kuning,
ptekie+(bertambah),sonor,
SDV(+/+), ST(-/-) , S1> S2,
gallop - , irama regular,
Abdomen :tampak kuning
,ptekie +, BU (+) meningkat, NT
(-), supel,hepatomegali dan
splenomegali - , timpani
Ekstremitas : akral
hangat,ikterik pada keempat
ekstremitas,gastrocnemius pain
+/+, terdapat bekas perlukaan
pada regio pedis sinistra,
terdapat hematom pada regio
femur anterior dextra dan sinistra
Edema - -
- -
Hari ke-5 BAB sudah tidak TD : 150/60 mmHg Leptospirosis Tx lanjut
cair,warna kehitaman S: 36,5 oC
Tifoid
18/7/18 berkurang, pendarahan HR :86x/menit
ARF fase oliguria
gusi berkurang, RR: 22x/menit
06.00 WIB
epistaksis +, kedua Kepala : kulit wajah tampak
tungkai bawah masih kuning, CA (+/+), SI (+/+),
terasa lemah conjunctival suffusion +
Hidung: tampak adanya
pendarahan dari lubang sebelah
kiri
Mulut: tampak adanya
13
pendarahan gusi yang sudah
berkurang, lidah kotor -
Leher : teraba adanya
pembesaran KGB dibagian
preaurikular, nyeri –
Thorax : tampak kuning,
ptekie+(bertambah), sonor,
SDV(+/+), ST(-/-) , S1> S2,
gallop - , irama regular,
Abdomen :tampak kuning
,ptekie + bertambah, BU (+)
meningkat, NT (-),
supel,hepatomegali dan
splenomegali - , hipertimpani
Ekstremitas : akral hangat,
ikterik pada keempat
ekstremitas, gastrocnemius pain -
/-, terdapat hematom pada regio
femur anterior dextra dan sinistra
Edema - -
- -
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Leptospirosis
1. Definisi
2. Epidemiologi
15
penyakit ini mencapai 22%, tetapi angka ini sangat dipengaruhi oleh fasilitas
kesehatan yang kurang memadai di negara endemik.3,4,5
16
tercemar. Berkemah dan bepergian ke daerah endemik juga menambahkan
resiko.7
3. Etiologi
17
luar dan lapisan peptidoglikan. Flagela ini disebut flagela periplasmik.
Leptospira memiliki dua flagel periplasmik, masing-masing berpangkal pada
setiap ujung sel. Kuman ini bergerak aktif, paling baik dilihat dengan
menggunakan mikroskop lapangan gelap.9
4. Patogenesis 11,12,13
Infeksi melalui selaput lendir lambung, jarang terjadi, karena ada asam
lambung yang mematikan kuman leptospira. Kuman leptospira yang tidak
firulen gagal bermultiplikasi dan dimusnahkan oleh sistem kekebalan dari aliran
darah setelah satu atau dua hari infeksi. Organisme virulen mengalami
multiplikasi di darah dan jaringan, dan kuman leptospira dapat diisolasi dari
darah dan cairan serebrospinal pada hari keempat sampai sepuluh perjalanan
penyakit. 12
Organ utama yang terinfeksi kuman leptospira adalah ginjal dan hati. Di
dalam ginjal kuman leptospira bermigrasi ke interstitium, tubulus ginjal dan
18
lumen tubulus. Pada leptospirosis berat, vaskulitis akan menghambat sirkulasi
mikro dan meningkatkan permeabilitas kapiler, sehingga menyebabkan
kebocoran cairan dan hipovolemia. Hipovolemia akibat dehidrasi dan perubahan
permeabilitas kapiler salah satu penyebab gagal ginjal. 11,12
Ikterik disebabkan oleh kerusakan sel sel hati yang ringan, pelepasan
bilirubin darah dari jaringan yang mengalami hemolisis intravaskular, kolestasis
intrahepatik sampai berkurangya sekresi bilirubin.13
19
bilier. Selain di ginjal, leptospira juga dapat bertahan pada otak dan mata.
Leptospira dapat masuk ke dalam cairan cerebrospinalis dalam fase spiremia.
Hal ini menyebabkan meningitis yang merupakan gangguan neurologi terbanyak
yang terjadi sebagai komplikasi leptospirosis. Organ-organ yang sering dikenai
leptospira adalah ginjal, hati, otot dan pembuluh darah. Kelainan spesifik pada
organ: 11,12,13
Hati: hati menunjukan nekrosis sentrilobuler fokal dengan infiltrasi sel limfosit
fokal dan proliferasi sel kupfer dengan kolestasis. Pada kasus-kasus yang
diotopsi, sebagian ditemukan leptospira dalam hepar. Biasanya organisme ini
terdapat diantara sel-sel parenkim.
20
terbentuknya respon antibody, tidak p-ada saat masuk CSS. Diduga terjadinya
meningitis diperantarai oleh mekanisme immunologis. Terjadi penebalan
meningen dengan sedikit peningkatan sel mononuclear arakhnoid. Meningitis
yang terjadi adalah meningitis aseptic, biasanya paling sering disebabkan oleh L.
canicola.
21
25% kasus disertai penurunan kesadaran. Pada pemeriksaan keadaan sakit
berat, bradikardi relatif, dan ikterus (50%). Pada hari ke 3-4 dapat di jumpai
adanya conjungtivitis dan fotophobia. Pada kulit dapat dijumpai rash yang
berbentuk macular, makulopapular atau urtikaria. Kadang-kadang dijumpai
splenomegali, hepatomegali, serta limfadenopati. Fase ini berlangsung 4-7
hari. Jika cepat di tangani pasien akan membaik, suhu akan kembali normal,
penyembuhan organ-organ yang terlibat dan fungsinya kembali normal 3-6
minggu setelah onset. Pada keadaan sakit yang lebih berat demam turun
setelah 7 hari diikuti oleh bebas demam selama 1-3 hari, setelah itu terjadi
demam kembali. Keadaan ini disebut fase kedua atau fase imun.
22
Icteris disease merupakan keadaan di mana leptospira dapat diisolasi dari
darah selama 24-48 jam setelah warna kekuningan timbul. Gejala yang
ditemukan adalah nyeri perut disertai diare atau konstipasi ( ditemukan pada
30 % kasus ), hepatosplenomegali,mual, muntah dan anoreksia. Uveitis
ditemukan pada 2-10 % kasus, dapat ditemukan pada fase awal atau fase
lanjut dari penyakit. Gejala iritis, iridosiklitis dan khorioretinitis ( komplikasi
lambat yang dapat menetap selama beberapa tahun ) dapat muncul pada
minggu ketiga namun dapat pula muncul beberapa bulan setelah awal
penyakit.
6. Diagnosis
Myalgia
23
- Riwayat terpajan dengan lingkungan yang terkontaminasi
leptospira
Ikterus
Iritasi meningeal
Sesak napas
Aritmia jantung
Rash di kulit
24
3. Kasus confirm
Kasus confirm pada leptospirosis adalah suatu kasus suspect atau
probable dengan salah satu di bawah ini:
Isolasi kuman leptospira dari spesimen klinik
Selain itu, juga terdapat kriteria Faine (2012) yang dapat digunakan sebagai dasar
untuk menegakkan diagnosis leptospirosis:
25
Berdasarkan kriteria Faine yang dimodifikasi, diagnosis presumtif
leptospirosis dapat ditegakkan jika: (i) Skor bagian A atau bagian A + bagian B
= 26 atau lebih; atau (ii) Skor bagian A + bagian B + bagian C = 25 atau lebih.
Skor antara 20 dan 25 menunjukkan kemungkinan diagnosis leptospirosis tetapi
belum terkonfirmasi.
7. Pemeriksaan Penunjang
26
Trombositopenia ringan.
LED meninggi.
Pada kasus berat ditemui anemia hipokrom mikrositik akibat
perdarahan yang biasa terjadi pada stadium lanjut perjalanan
penyakit.
ii. Pemeriksaan fungsi hati
o Jika tidak ada gejala ikterik fungsi hati normal.
o Gangguan fungsi hati : SGOT, SGPT dapat meningkat.
o Kerusakan jaringan otot kreatinin fosfokinase meningkat
peningkatan terjadi pada fase-fase awal perjalanan penyakit, rata-
rata-rata mencapai 5 kali nilai normal.
b. Pemeriksaan laboratorium khusus15,16,17
Pemeriksaan Laboratorium diperlukan untuk memastikan diagnosa
leptospirosis, terdiri dari pemeriksaan secara langsung untuk mendeteksi
keberadaan kuman leptospira atau antigennya (kultur, mikroskopik,
inokulasi hewan, immunostaining, reaksi polimerase berantai), dan
pemeriksaan secara tidak langsung melalui pemeriksaan antibodi terhadap
kuman leptospira (MAT, ELISA, tes penyaring). Pemeriksaan yang spesifik
adalah pemeriksaan bakteriologis dan serologis. Pemeriksaan bakteriologis
dilakukan dengan bahan biakan/kultur leptospira dengan medium kultur
Stuart, Fletcher, dan Korthof. Diagnosa pasti dapat ditegakkan jika dalam
waktu 2-4 minggu terdapat leptospira dalam kultur.
Gold standard pemeriksaan serologi adalah MAT (Mikroskopik
Aglutination Test), suatu pemeriksaan aglutinasi secara mikroskopik untuk
mendeteksi titer antibodi aglutinasi dan dapat mengidentifikasi jenis serovar.
Pemeriksaan serologis ini dilakukan pada fase ke-2 (hari ke 6-12). Dugaan
diagnosis leptospirosis didapatkan jika titer antibodi > 1:100 dengan gejala
klinis yang mendukung.
27
sering dilakukan di Indonesia adalah Lepto Dipstik asay, Lepto Tek Dri Dot
dan LeptoTek Lateral Flow.
8. Diagnosis Banding
9. Komplikasi18,19,20
28
b. Pendarahan Paru
c. Gagal Hepar
d. Pendarahan Gastrintestinal
e. Syok
f. Encelopati
g. Miokarditis
10. Penatalaksanaan14
29
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam manajemen kasus leptospirosis
adalah segera merujuk dan retapi suportif penderita leptospirosis bila adanya
indikasi pada disfungsi organ ginjal, hepar, paru, terjadi perdarahan dan
gangguan saraf.
11. Pencegahan
30
tersebut terhindar dari komplikasi yang nantinya dapat menyebabkan
kematian.11
Prinsip kerja dari pencegahan primer adalah mengendalikan agar tidak
terjadi kontak leptospira dengan manusia, yang meliputi:11,21
Pencegahan hubungan dengan air atau tanah yang
terkontaminasi
Melindungi sanitasi air minum penduduk
Pemberian vaksin
Pencegahan dengan antibiotik kemoprofilaksis
Pengendalian hospes perantara leptospira
Pokok- pokok cara pengendalian leptospirosis juga memperhatikan hasil
studi faktor risiko terjadinya leptospirosis, antara lain usia, jenis kelamin,
higiene perorangan seperti kebiasaan mandi, riwayat ada luka, keadaan
lingkungan yang tidak bersih, disamping pekerjaan, sosial ekonomi, populasi
tikus, dan lain-lain. Perlu diperhatikan bahwa leptospirosis lebih sering terjadi
pada laki-laki dewasa, mungkin disebabkan oleh paparan pekerjaan dan kegiatan
sehari-hari.11,21
Pencegahan sekunder leptospirosis berupa pengobatan terhadap pasien
yang didiagnosis menderita leptospirosis. Salah satu hal yang menguntungkan
dalam pengobatan ini ialah pengobatan kausal tidak tergantung pada subgrup
maupun serotipe leptospira. Untuk pengobatan Leptospirosis ringan (mild
illness/ suspect case) dapat menggunakan Doxycycline (kapsul) 100 mg 2x/ hari
selama 7 hari; atau Amoxicillin atau Ampicillin (kapsul) 2 gr/ hari selama 7 hari.
Sedangkan untuk Leptospirosis berat (severe case/ probable case) dapat
menggunakan Injeksi Penicillin G 2 juta unit IV / 6 jam selama 7 hari; Injeksi
Ceftrioxine 1 gr IV/ hari selama 7 hari.11,21
B. Demam Tifoid
1. Definisi
Demam tifoid adalah penyakit sistemik yang ditandai dengan demam dan
nyeri pada abdomen yang disebabkan oleh penyebaran Salmonella typhi atau
31
Salmonella paratyphi. Pada awalnya penyakit ini disebut demam tifoid karena
memiliki gejala klinis yang sama dengan typhus. Namun pada awal tahun
1800an, demam tifoid secara jelas didefinisikan sebagai kelainan patologis
berupa suatu penyakit yang berbeda (unik) dikarenakan dasar penegakan
penyakit yang berhubungan dengan pembesaran Plak Peyeri dan nodus
limfatikus mesenterik. Pada tahun 1869, berdasarkan tempat infeksi, istilah
demam enterik diajukan sebagai istilah alternatif untuk membedakan demam
tifoid dari tifus. Namun pada saat ini kedua istilah tersebut sering bertukar
tempat.22
2. Epidemiologi
32
Gambar 3. Distribusi global daerah endemik dari Salmonella Enteric serotipe Typhi,
1990-2002.25
Insidens demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya
berhubungan dengan sanitasi lingkungan; di daerah rural 157 kasus per 10.000
penduduk, sedangkan di daerah urban ditemukan 760-810 kasus per 10.000
penduduk. Perbedaan insidensi di perkotaan berhubungan erat dengan
penyediaan air bersih secara merata yang belum memadai, serta sanitasi
lingkungan terutama cara pembuangan sampah yang kurang memenuhi syarat
kesehatan ligkungan.26
3. Etiologi
33
Gambar 4. Struktur antigenik Salmonellae. 28
4. Patogenesis
34
difagosit oleh sel-sel fagosit terutama makrofag. Kuman dapat hidup dan
berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak Peyeri
ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika.29
35
Di dalam hati, kuman masuk ke kantung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu diekskresikan kembali ke dalam lumen usus secara
intermiten. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi
ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali,
oleh karena makrofag telah teraktivasi sebelumnya maka saat fagositosis kuman
Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi (IL-1, IL-6, IL-8,
TNF-β, INF, GM-CSF, dsb.) yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi
inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut,
instabilitas vaskuler, gangguan mental, dan koagulasi.29
Di dalam plak Peyeri, makrofag yang telah hiperaktif menimbulkan
reaksi hiperplasia jaringan dan menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat.
Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah di sekitar
plak Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi
sel-sel mononuklear di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat
berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus dan dapat mengakibatkan
perforasi usus.29
5. Manifestasi Klinis
36
pucat, makulopapul 1-4 cm lebar dan jumlahnya kurang dari 5; dan akan
menghilang dalam 2-5 hari. Hal ini disebabkan karena terjadi emboli oleh
bakteri di dermis.29 Pada minggu kedua, gejala klinis menjadi semakin
berkembang jelas, berupa demam, bradikardia relatif dimana setiap peningkatan
1o C tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali per menit, kemudian
didapatkan pula lidah yang berselaput (kotor ditengah, tepi dan ujung lidah
merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali, meteroismus, gangguan
mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis.29 Beberapa
penderita dapat menjadi karier asimptomatik dan memiliki potensi untuk
menyebarkan kuman untuk jangka waktu yang tidak terbatas
6. Diagnosis
37
b. Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan
bakteri Salmonella Typhi dalam biakan dari darah, urine, feses dan sumsum
tulang. Bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang
pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan
feses.30 Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil
negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada
beberapa faktor, seperti : (1) Telah mendapat terapi antibiotik. Bila pasien
sebelum dilakukan kultur darah telah mendapat antibiotik, pertumbuhan
kuman dalam media biakan terhambat dan hasil mungkin negatif; (2) Jumlah
darah yang diambil terlalu sedikit (diperlukan kurang lebih 10 cc darah). Bila
darah yang dibiak terlalu sedikit hasil biakan bisa negatif; (3) Riwayat
vaksinasi. Vaksinasi di masa lampau menimbulkan antibodi dalam darah
pasien. Antibodi ini dapat menekan bakteremia sehingga biakan darah dapat
negatif; dan (4) Waktu pengambilan darah yang dilakukan setelah minggu
pertama, pada saat aglutinin semakin meningkat. 28,30
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat
pengambilan pada perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan
darah positif 70-90% dari penderita pada minggu pertama sakit dan positif
10-50% pada akhir minggu ketiga.30,33 Sensitivitasnya akan menurun pada
sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai
dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai.33,34
Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-
15%) hingga minggu ketiga (75%) dan turun secara perlahan. Biakan urine
positif setelah minggu pertama. Biakan sumsum tulang merupakan metode
yang mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada
80-95% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan
menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini terutama bermanfaat untuk
penderita yang sudah pernah mendapatkan terapi atau dengan kultur darah
negatif sebelumnya.33,34 Namun prosedur ini sangat invasif sehingga tidak
dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan
kultur pada spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan
38
hasil yang cukup baik akan tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya
risiko aspirasi terutama pada anak. 31,33
c. Uji serologis
1) Uji Widal
Dasar reaksi uji Widal adalah reaksi aglutinasi antara antigen
kuman Salmonella Typhi dengan antibodi (aglutinin). Aglutinin yang
spesifik terhadap Salmonella Typhi terdapat dalam serum penderita
demam tifoid, orang yang pernah tertular Salmonella Typhi, dan orang
yang pernah mendapatkan vaksin demam tifoid. Antigen yang
digunakan pada uji Widal adalah suspensi Salmonella Typhi yang
sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan uji Widal adalah
untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita yang
diduga menderita demam tifoid.29
Dari ketiga aglutinin (aglutinin O, H, dan Vi), hanya aglutinin
O dan H yang ditentukan titernya untuk diagnosis. Secara umum,
aglutinin O mulai muncul pada hari ke 6-8 dan aglutinin H mulai
muncul pada hari ke 10-12 dihitung sejak hari timbulnya demam.
Semakin tinggi titer aglutininnya, semakin besar pula kemungkinan
didiagnosis sebagai penderita demam tifoid. Pada infeksi yang aktif,
titer aglutinin akan meningkat pada pemeriksaan ulang yang dilakukan
pada selang waktu minimal 5 hari. Peningkatan titer aglutinin empat
kali lipat selama 2 sampai 3 minggu memastikan diagnosis demam
tifoid.35
Interpretasi hasil uji Widal adalah sebagai berikut :
a. Titer aglutinin O yang tinggi ( > 160) menunjukkan adanya infeksi
akut.
b. Titer aglutinin H yang tinggi ( > 160) menunjukkan sudah pernah
mendapat imunisasi atau pernah menderita infeksi.
c. Titer aglutinin yang tinggi terhadap antigen Vi terdapat pada carrier.
39
terhadap antigen O9 LPS, antibodi IgG terhadap antigen flagela d
(Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi Salmonella Typhi.
Chaicumpa dkk mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95%
pada sampel darah, 73% pada sampel feses, dan 40% pada
sampel sumsum tulang.22,31
3) Pemeriksaan Dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan
di Belanda dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik
terhadap antigen LPS Salmonella Typhi dengan menggunakan
membran nitroselulosa yang mengandung antigen Salmonella
Typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human
immobilized sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini
menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak
memerlukan alat yang laboratorium yang lengkap. 36,37
Penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan
sensitivitas uji ini sebesar 69.8% bila dibandingkan dengan kultur
sumsum tulang dan 86.5% bila dibandingkan dengan kultur darah
dengan spesifisitas sebesar 88.9% dan nilai prediksi positif
sebesar 94.6%.20 Penelitian lain oleh Ismail dkk (2002) terhadap
30 penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini
sebesar 90% dan spesifisitas sebesar 96 bnnnnnnnnnncvbbv
%.38
4) Uji Tubex®
Tubex® merupakan alat diagnostik demam tifoid yang
diproduksi oleh IDL Biotech, Broma, Sweden.39 Tes ini sangat cepat,
hanya membutuhkan waktu 5-10 menit, sederhana dan akurat. Tes ini
mendeteksi serum antibodi IgM terhadap antigen O9 LPS yang sangat
spesifik terhadap bakteri Salmonella Typhi. Pada orang yang sehat
normalnya tidak memiliki IgM anti-O9 LPS.39,40
40
Tes Tubex® merupakan tes yang subjektif dan semikuantitatif
dengan cara membandingkan warna yang terbentuk pada reaksi
dengan Tubex® color scale yang tersedia. Range dari color scale
adalah dari nilai 0 (warna paling merah) hingga nilai 10 (warna paling
biru).39
Cara membaca hasil tes Tubex® adalah sebagai berikut
menurut IDL Biotech 2008: 29,39
1. Nilai < 2 menunjukan nilai negatif (tidak ada indikasi
demam tifoid).
2. Nilai 3 menunjukkan inconclusive score dan memerlukan
pemeriksaan ulang.
3. Nilai 4-5 menunjukan positif lemah.
4. Nilai > 6 menunjukan nilai positif (indikasi kuat demam
tifoid).
Nilai Tubex® yang menunjukan nilai positif disertai dengan
tanda dan gejala klinis yang sesuai dengan gejala demam tifoid,
merupakan indikasi demam tifoid yang sangat kuat.29
7. Komplikasi
41
antibiotik spektrum luas untu periotinits polimikrobial. Manifestasi neurologikal
dapat ditemukan pada 2 -40% berupa, meningitis, guillain-barre syndrome,
neuritits dan gejala neuropsikiatrik.38
8. Penatalaksanaan
42
dosis besar dalam 7 hari sebagai terapi demam typhoid DCS, menyebabkan
keterlambatan resolusi dan meningkatkan angka karier fecal. Oleh karena itu,
terapi demam typhoid DCS dengan menggunakan ciprofloxacin dosis besar
diberikan dalam waktu 14 hari.28,33,38
43
kemoterapi, dan diperlukan kolesistektomi untuk mengakhiri keadaan karier
pada kasus tersebut.28,33,38
44
Tabel 4. Antibiotik untuk Pengobatan Demam Tifoid Tahun 2010 (
KONSENSUS KONAS PETRI - BALI )
45
BAB III
PEMBAHASAN
46
didaptkan adanya proteinuria +2, hematuria, dan glukosuria. Berdasarkan data pasien
diatas, pasien sudah masuk kedalam kasus Probable untuk Leptospirosis, bahkan pasien
sudah masuk kedalam kriteria Weil’s disease dimana terdapat ikterus, disfungsi ginjal
serta pendarahan pada pasien ini.
Selain itu pasien ini juga didiagnosis menderita demam tifoid. Diagnosis demam
tifoid ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan
penunjang yang dilakukan. Berdasarkan anamnesis, pasien mengeluh demam yang
sudah berlangsung 8 hari yang lalu saat pasien masuk ke rumah sakit, selain itu juga
terdapat nyeri kepala hebat, mual, muntah bewarna hitam, BAB hitam, diare, nyeri
perut, dan merasa lemas. Pasien juga mengalami epistaksis serta pendarahan gusi saat
dirawat dirumah sakit. Keluhan-keluhan diatas merupakan tanda dan gejala yang dapat
ditemukan pada penyakit demam tifoid, meskipun keluhan-keluhan tersebut juga dapat
ditemukan pada penyakit lainnya. Pada pemeriksaan fisik, tidak ditemukan adanya
kelainan yang biasanya ditemukan ada demam tifoid, seperti bradikardi relatif,
hepatomegali dan splenomegali, serta lidah tifoid, karena memang kelainan-kelainan
tersebut tidak harus selalu ada pada pasien dengan demam tifoid. Tetapi ditemukan
adanya rose spots yang biasanya juga dapat ditemukan pada pasien dengan demam
tifoid. Pada pemeriksaan penunjang, diagnosis demam tifoid ditegakkan berdasarkan
hasil pemeriksaan Salmonella Rapid IgM yang menunjukkan hasil positif meskipun
pada pemeriksaan widal, baik titer S.Tyhpi O maupun S.Tyhpi H menunjukkan hasil
negatif. Berdasarkan data pasien diatas, diagnosis demam tifoid sudah dapat ditegakkan.
47
Organ utama yang terinfeksi kuman leptospira adalah ginjal dan hati. Di dalam
ginjal kuman leptospira bermigrasi ke interstitium, tubulus ginjal dan lumen tubulus.
Semua bentuk leptospirosis dapat menyebabkan disfungsi ginjal. Gambaran mulai dari
yang ringan berupa proteinuria ringan dan abnormalitas sedimen urin hingga berat
berupa cedera ginjal akut. Yang sering ditemukan adalah gagal ginjal non-oliguria
dengan hipokalemia ringan (41-45% kasus). Anuria total dengan hiperkalemia
merupakan tanda prognostik buruk. Pada pasien penyakit Weil yang berhasil bertahan,
fungsi ginjal akan kembali normal. Faktor utama penyebab cedera ginjal akut pada
leptospirosis adalah nefrotoksisitas langsung dari leptospira dan respons imun yang
diinduksi toksin. Adanya leptospira di jaringan ginjal akan memicu proses nefritis
interstisial dan nekrosis tubular akut. Pada leptospirosis berat akan dijumpai perubahan
status hemodinamik seperti sepsis. Akibat vasodilatasi sistemik, kadar aldosteron dan
hormon antidiuretik akan meningkat, sehingga terjadi vasokonstriksi ginjal dan
penurunan diuresis. Bilirubin yang tinggi juga menurunkan filtrasi glomerulus dan
kemampuan pemekatan urin. Inilah yang menjelaskan mengpa pada pasien ini terjadi
Acute Renal Failure akibat Leptospirosis yang dideritanya.
48
KESIMPULAN
demam tifoid dengan komplikasi Acute Renal Failure, trombositopenia berat serta
hepatitis.
49
DAFTAR PUSTAKA
1. Aru W, Bambang, Idrus A, Marcellus, Siti S, ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM; 2007.
P.1845-8.
2. Hauser, Kasper et al, 2015, Harrison’s Principles of Internal Medicine 16
editions, Mc Graw Hill. New York. Page 988-90.
3. A.E. Forbes, W.J. Zochowski, S.W. Dubrey, dkk, 2012. Leptospirosis and
Weil’s disease in the UK. Leptospira Reference Unit (LRU), Department of
Microbiology, County Hospital
4. Ann Florence B Victoriano1, Lee D Smythe, Nina Gloriani-Barzaga, dkk.
Leptospirosis in the Asia Pacific region. Department of Medical Microbiology,
University of the Philippines. BMC Infectious Diseases. 2009, 9:147
5. A. T. Slack, M. L. Symonds, M. F. Dohnt, L. D. Smythe, dkk. The epidemiology
of leptospirosis and the emergence of Leptospira borgpetersenii serovar
Arborea in Queensland, Australia, 1998–2004. Centre for Public Health
Sciences, Queensland Health Scientific Services : Mei 2006
6. Zein, Umar. Leptospirosis. Dalam buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid III edisi
IV. Jakarta : pusat penerbitan Departemen ilmu penyakit dalam FKUI. 2006. Hal
1823-5.
7. Departemen Kesehatan, 2003. Pedoman Tatalaksana Kasus dan Pemeriksaan
Laboratorium Leptospirosis di Rumah Sakit, Leptospira. Hlm. 8-15. Bagian
Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan : Jakarta.
8. Mansjoer, Arif dkk. 2005. Kapita Selekta Kedokteran Edisi ketiga Jilid 1
Cetakan
9. Issazadeh, K.H., Amirmozaffari, N., Mehrabian, S. & Oryan, H. (2009)
Assessment of Distribution Leptospira Spp. In Surface Waters of Guilan
Province. In:World Journal of Zoology 4 (2),pp. 79-84.
10. Tjokronegoro, Arjatmo dan Hendra Utama. 1996. Pemeriksaan Hematologi
Sederhana. FKUI: Jakarta.
11. Speelman, Peter. (2005). “Leptospirosis”, Harrison’s Principles of Internal
Medicine, 16th ed, vol I. McGraw Hill : USA. Pg.988-991.
50
12. Dit Jen PPM & PL RSPI Prof. DR. Sulianti Saroso. (2003). Pedoman
Tatalaksana Kasus dan Pemeriksaan Laboratorium Leptospirosis di Rumah
Sakit. Departemen Kesehatan RI : Jakarta.
13. Dharmojono, Drh. Leptospirosis, Waspadailah Akibatnya!. Pustaka Populer
Obor : Jakarta. 2002.
14. World Health Organization (Regional Office for South-East Asia). Informal
Expert Consultation on Surveillance, Diagnosis, and Risk Reduction of
Leptospirosis [internet]. 2009. Available from:
http://www.searo.who.int/entity/emerging_diseases/topics/Communicable
_Diseases_Surveillance_and_response_SEA-CD-217.pdf
15. Widarso, Yatim.F, 2000. Leptospirosis dan Ancamannya, Majalah Kesehatan
No. 15 Tahun 2000. Departemen Kesahatan, Jakarta.
16. Iskandar Z; Nelwan RHH; Suhendro, dkk. Leptospirosis Gambaran Klinis di
RSUPNCM, 2002.
17. Riyanto B, Gasem MH, Pujianto B, Smits H. Leptospira sevoars in patients with
severe leptospirosis admitted to hospitals of Semarang. Buku Abstrak Konas
VIII PETRI, Malang, Juli 2002.
18. Sion ML et al. Acute renal failure caused by leptospirosis and hantavirus
infection in an urban hospital. European Journal of Internal Medicine 13. 2002.
264-8
19. Daher EF, Noguera CB. Evaluation of penicillin therapy in patients with
leptospirosis and acute ranal failure. Rev Inst Med trop. S Paulo.
2000.42(6):327-32
20. Drunl W. Nutritional support in patients ARF. In; Acute Renal Failure;
(Brenners & Rector’s) ed WB Saunders. 2001: 465-83
21. World Health Organization/ International Leptospirosis Society. Human
Leptospirosis guidance for diagnosis, surveillance and control. Geneva :
WHO.2003.109
22. [WHO] Background document : The diagnosis, treatment and prevention of
typhoid fever. World Health Organization; 2003: 17-18.
51
23. Kawano RL, Leano SA, Agdamag DM. Comparison of Serological Test Kits for
Diagnosis of Typhoid Fever in the Philippines. J Clin Microbiol. Jan 2007;
45(1): 246–247.
24. [DEPKES] Riset Kesehatan Dasar 2007. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2008.
25. Keddy KH, Sooka A, Letsoalo ME, Hoyland G, Chaignat CL, Morrissey AB, et
al. Bull. World Health Organisation. 2011 Sep 1;89(9):640-7.
26. Septiawan IK, Herawati S, Sutirtayasa IW. Examination of The Immunoglobulin
M Anti Salmonella in Diagnosis of Typhoid Fever. E-Jurnal Medika Udayana
2.6; 2013: 1080-1090.
27. Kidgell C, Reichard U, Wain J, Linz B, Torpdahl M, Dougan G, et al.
Salmonella Typhi, the causative agent of typhoid fever. Infect Genet Evol. 2002
Oct;2(1):39-45.
28. Widodo D. Demam Tifoid. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jilid III.
Jakarta : Interna Publishing. 2009:2797-2800.
29. Parry M, Hien TT, Dougan G, White NJ, Farrar JJ. A Review of Typhoid Fever.
New England Journal of Medicine. 2002; 347:1770-1782.
30. Tumbelaka AR. Tata laksana terkini demam tifoid pada anak. Simposium
Infeksi – Pediatri Tropik dan Gawat Darurat pada Anak. IDAI Cabang Jawa
Timur. Malang : IDAI Jawa Timur, 2005:37-50.
31. Hoffman SL. Typhoid Fever. Dalam : Strickland GT, Ed. Hunter’s Textbook of
Pediatrics, edisi 7. Philadelphia : WB Saunders, 1991:344-358.
32. Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam :
Soegijanto S, Ed. Ilmu Penyakit Anak : Diagnosa dan Penatalaksanaan, Edisi 1.
Jakarta : Salemba Medika, 2002:1-43.
33. [WHO] Diagnosis of typhoid fever. Dalam : Background document : The
diagnosis, treatment and prevention of typhoid fever. World Health
Organization, 2003;7-18.
34. Parry CM. Typhoid fever. N Engl J Med 2002; 347(22): 1770-82.
35. [DEPKES]. Pedoman Pengendalian Demam Tifoid. Departemen Kesehatan
Republik Indonesia. Mei 2006
52
36. Olga. Tubex®, Cepat dan Akurat Diagnosis Demam Tifoid. J. Med. Kedokteran
Indonesia. 2012; XXXVIII (08).
37. Kasper DL, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, Loscalzo J.
Salmonellosis. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 19th edition. United
States : Mc Graw Hill. 2015:1049-1052.
38. KONAS PETRI Bali 2010. Konsensus Penatalaksanaan Demam Tifoid. Bali.
2010.
39. A review article of Rapid Detection of Typhoid fever.
IDL Botech, 2008. www.idl.se.
40. Harahap, NH. Demam Tifoid. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
2011. repository.usu.ac.id/bitstream/4/Chapter %20II.pdf.
53