Anda di halaman 1dari 25

TUGAS ILMIAH KEPANITERAAN KLINIS FK UMS

CASE REPORT
HALAMAN JUDUL

GENERAL ANESTESI PADA PASIEN LAKI-LAKI 18 TAHUN


DENGAN OPEN REDUCTION INTERNAL FIXATION
FRAKTUR CLAVICULA DEKSTRA

PENYUSUN
Puspo Ari Wibowo; J510180052
Muhammad Nur Alamsyah; J510195032
Antung Khairina; J510195075

PEMBIMBING
dr. Suko Basuki, Sp. An

PRODI PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
NOVEMBER 2019
HALAMAN PENGESAHAN

Tugas Ilmiah Kepaniteraan Klinik FK UMS


CASE REPORT
Prodi Profesi Dokter Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Judul : General Anestesi pada Pasien Laki-Laki 15 Tahun dengan
Open Reduction Internal Fixation Fraktur Clavicula
Dekstra
Penyusun : Puspo Ari Wibowo, J510195052
Muhammad Nur Alamsyah, J510195032
Antung Khairina, J510195075
Pembimbing : dr. Suko Basuki, Sp.An

Ponorogo, 15 November 2019


Penyusun

Kelmpok 1

Menyetujui,
Pembimbing

dr. Suko Basuki, Sp.An

Mengetahui,
Kepala Program Studi Profesi Dokter
Fakultas Kedokteran UMS

dr. Iin Novita N. M., M.Sc., Sp. PD

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................................ i


HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................................ ii
DAFTAR ISI .....................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................... 1
BAB II STATUS PASIEN .......................................................................................... 3
BAB III TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 12
A. ORIF (Open Reduction Internal Fixation) ...................................... 12
B. General Anestesi .............................................................................. 13
BAB IV PEMBAHASAN .......................................................................................... 20
BAB V KESIMPULAN ............................................................................................ 21
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 22

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Fraktur didefinisikan sebagai suatu perpatahan pada kontinuitas struktur


tulang yang diakibatkan oleh trauma langsung atau tidak langsung. Patah tulang
juga dapat disebabkan karena penekanan yang berulang-ulang atau akibat
patologik tulang itu sendiri. Kebanyakan fraktur terjadi karena kegagalan tulang
menahan tekanan yang tiba-tiba dan berlebihan, yang dapat berupa pemukulan,
penghancuran, tekanan membengkok, memutar dan tarikan. Fraktur merupakan
masalah kesehatan yang menimbulkan kecacatan paling tinggi dari semua trauma
kecelakaan kendaraan bermotor (Apley & Year, 2005; Sjamsuhidayat, et al.,
2014).
Clavicula merupakan salah satu tulang yang sering mengalami fraktur
apabila terjadi cedera pada bahu karena letaknya yang superfisial. Fraktur
clavicula bisa disebabkan oleh benturan ataupun kompresi yang berkekuatan
rendah sampai yang berkekuatan tinggi, yang bisa menyebabkan terjadinya fraktur
tertutup ataupun multiple trauma. Jika kulit di atasnya masih utuh disebut fraktur
tertutup, sedangkan jika salah satu dari rongga tubuh tertembus disebut fraktur
terbuka (Trumble, et al., 2006; Clavicle, 2007).
Pada sebagian kasus fraktur tindakan yang biasa dilakukan adalah metode
konservatif atau operatif. Pada kasus fraktur clavicula metode konservatif
biasanya menggunakan ransel verban. Sedangkan untuk metode operatif yang
dilakukan berupa pemasangan Open Reduction Internal Fixation (ORIF). Metode
ini merupakan metode yang paling sering digunakan yaitu dengan melakukan
pembedahan dan pemasangan internal fiksasi berupa plate and screw atau intra
medullary nail (Sjamsuhidayat, et al., 2014).
ORIF (Open Reduction Internal Fixation) merupakan tindakan bedah yang
dilakukan dengan general anestesi, sehingga perlu kewaspadaan terhadap
komplikasi yang ditimbulkannya merupakan gabungan komplikasi tindakan bedah
dan anestesi. Adapun komplikasi yang terdapat pada teknik general anestesi
seperti mual, muntah, sakit tenggorokan, menggigil, dan butuh waktu dalam

1
2

pengembalian fungsi mental normal. Pada prinsipnya dalam penatalaksanaan


anestesi pada suatu operasi terdapat beberapa tahap yang harus dilaksanakan yaitu
pra anestesi yang terdiri dari persiapan mental dan fisik pasien, perencanaan
anestesi, menentukan prognosis dan persiapan pada hari operasi. Sedangkan tahap
penatalaksanaan anestesi terdiri dari premedikasi, masa anestesi dan
pemeliharaan, tahap pemulihan serta perawatan pasca anestesi (Mangku &
Senapathi, 2010).
BAB II
STATUS PASIEN

A. Identitas Pasien
Nama : Sdr. W
Jenis Kelamin : Laki-laki
Masuk Tgl : 6 November 2019
Umur : 15 tahun
Pekerjaan : Lain-lain
Agama : Islam
Alamat : Dkh krajan 01/03 Caluk 01/03 Slahung
Dokter Anestesi : dr. Suko Basuki, Sp.An
Dokter Operator : dr. Farhat, Sp. OT

B. Anamnesis
1. A (Alergy)
Tidak ada alergi terhadap obat-obatan, makanan, dan asma.
2. M (Medication)
Tidak sedang menjalani pengobatan.
3. P (Past Medical History)
Riwayat DM (-), hipertensi (-), sakit yang sama dan riwayat operasi (-).
4. L (Last Meal)
Pasien puasa 8 jam.
5. E (Elicit History)
Seorang pasien laki-laki usia 15 tahun datang ke Flamboyan RSUD
Harjono S. Ponorogo kiriman dari IGD dengan keluhan nyeri bahu kanan
dan sulit untuk digerakkan setelah terbentur ke tembok saat didorong
temannya dengan posisi tangan kanan menahan badan. Oleh dokter jaga
dilakukan pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang berupa
pemeriksaan laboratorium dan foto polos thorax PA, kemudian pasien
disarankan mondok untuk dilakukan operasi.

3
4

C. Keluhan Utama: bahu kanan terasa nyeri dan sulit digerakkan.

D. Riwayat Penyakit Sekarang


Seorang pasien laki-laki usia 15 tahun datang ke RSUD Harjono S.
Ponorogo dengan keluhan nyeri bahu kanan dan sulit untuk digerakkan setelah
terbentur ke tembok saat didorong temannya dengan posisi tangan kanan
menahan badan.

E. Anamnesis Sistemik
1. Neuro : Sensasi nyeri baik, gemetaran (-), sulit tidur (-)
2. Kardio : Nyeri dada (-), dada berdebar-debar (-)
3. Pulmo : Sesak napas (-), batuk lama (-)
4. Abdomen : Diare (-), kembung (-), konstipasi (-), nyeri perut (-),
mual (-), muntah (-)
5. Urologi : BAK (+), BAB (+), panas (-)
6. Muskulus : Nyeri (-)
7. THT : Telinga berdenging (-), hidung tersumbat (-),
nyeri menelan (-)
8. Mata : Anemis (-), ikterik (-)

F. Riwayat Penyakit Dahulu


1. Riwayat penyakit yang sama : disangkal
2. Riwayat Alergi : disangkal
3. Riwayat Asma : disangkal
4. Riwayat Rawat Inap sebelumnya : disangkal
5. Riwayat Hipertensi : disangkal
6. Riwayat Diabetes : disangkal
7. Riwayat penyakit jantung : disangkal

G. Riwayat Penyakit Keluarga


1. Riwayat penyakit serupa : disangkal
5

2. Riwayat Asma : disangkal


3. Riwayat Alergi : disangkal
4. Riwayat Hipertensi : disangkal
5. Riwayat Diabetes : disangkal
6. Riwayat penyakit jantung : disangkal

H. Riwayat Operasi dan Anastesi


Disangkal.

I. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalis
a. Keadaan Umum : Cukup
b. Kesadaran : Compos Mentis
c. Vital Sign :
1) Tekanan darah : 110/70 mmHg
2) Frekuensi Nafas : 20x/menit
3) Frekuensi Nadi : 63x/menit
4) Suhu : 36,9o C
5) SpO2 : 99%
d. Kepala : Normocephal, konjungtiva pucat (-), sklera
ikterik (-), dispnea (-), pernapasan cuping
hidung (-), mulut bersih, sakit gigi (-).
e. Leher : Retraksi supra sterna (-), deviasi trakea (-),
peningkatan JVP (-), pembesaran kelenjar limfe (-).
f. Thorak
1) Paru
Inspeksi : Simetris, ketertinggalan gerak paru (-), retraksi
intercostae (-).
Palpasi : Fremitus dinding dada simetris, krepitasi (-).
Perkusi : Sonor.
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), wheezing (-/-),
6

ronkhi (-/-).
2) Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak.
Palpasi : Ictus cordis tidak kuat angkat.
Perkusi : Redup.
Auskultasi : Bunyi jantung I & II murni reguler, murmur (-),
gallop (-).
g. Abdomen
Inspeksi : Bentuk abdomen sejajar dengan dada, darm contour (-),
darm steifung (-), vulnus excoriatum (+).
Auskultasi : Peristaltik usus (+) normal, bising usus (-).
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-).
Perkusi : Timpani.
h. Ekstremitas : Hangat, kering, merah udema (-), nyeri (-).
2. Status Lokalis
Regio Clavicula Dekstra
a. Look : deformitas (+), bengkak (+), kulit utuh, cedera tertutup,
perdarahan (-).
b. Feel : nyeri tekan (+), krepitasi (+), cedera pembuluh darah (-).
c. Movement : passive movement (ROM terbatas)
J. Pemeriksaan penunjang
1. Laboratorium
Tabel 1 Hasil Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Satuan

Darah Rutin
Hemoglobin 14,9 14,0-17,5 g/dL
Hematokrit 46,2 40-52 %
Leukosit 10.51 4,5 – 12,5 10^3/uL
Trombosit 229 140 – 392 10^3/uL
Eritrosit 5,29 4,5 – 5,9 10^6/uL
MCV 87,3 82,0 – 92,0 fL
MCH 28,2 28 – 33 Pg
7

MCHC 32,3 32,0 – 37,0 g/dL


Neutrofil 77,0 50,0-70,0 %
Limfosit 15,1 25,0 – 40,0 %
Monosit 5,3 3,0 – 9,0 %
Eosinofil 2,4 0,5 – 5,0 %
Basofil 0,2 0,0 – 1,0 %
Gula Darah
GDS 94 70 – 150 mg/dL
Ginjal
Creatinin 1,05 < 1,.0 mg/dL
Ureum 30 10 – 50 mg/dL
Imuno-Serologi
HbsAg Non Reaktif Non Reaktif
HIV Negative Non Reaktif
2. Rontgent Thorax

Kesan: Cor dalam batas normal dan pulmo tak tampak kelainan.
Tampak diskontinuitas tulang clavicula dekstra 1/3 tengah.

K. DIAGNOSIS
Closed fracture 1/3 tengah os. clavicula dextra.

L. TERAPI
ORIF (Open Reduction Internal Fixation)
8

M. KONSUL ANASTESI
Seorang pasien laki-laki usia 15 tahun dengan fraktur tertutup tulang
clavicula kanan yang akan dilakukan tindakan ORIF (Open Reduction
Internal Fixation) clavicula pada tanggal 7 November 2019. Hasil
pemeriksaan laboratorium, foto rontgen thorax, dan vital sign terlampir.
Kegawatan Bedah : (-)
Derajat ASA :I
Rencana tindakan anastesi : General Anestesi

N. LAPORAN ANESTESI
Nama : Sdr. W
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 15 tahun
Diagnosa pra operasi : Fraktur clavicula
Diagnosa pasca operasi : ORIF clavicula
Jenis operasi : Ortopedi
1. Rencana Anestesi
a. Persiapan Operasi
1) Persetujuan operasi tertulis (+)
2) Puasa ≥ 6 jam
b. Jenis Anestesi : General Anestesi
c. Teknik Anestesi : Inhalasi dengan face mask
d. Premedikasi : Fentanyl 100 mcg iv
e. Induksi : Propofol 100 mg iv
f. Maintenance : O2, N2O, Halothane 2%
g. Cairan : Kristaloid (Tutofusin) 500 ml
h. Monitoring :Tanda vital selama operasi tiap 5 menit,
kedalaman anestesi, cairan, dan perdarahan.
i. Perawatan pasca anestesi di ruang pulih sadar (recovery room).
j. Transfusi sebelumnya : Tidak pernah transfusi darah
9

2. Tindakan Anestesi
Di ruang persiapan:
a. Cek persetujuan operasi dan identitas pasien
b. Pakaian pasien diganti pakaian operasi
c. Pemeriksaan keadaan umum dan tanda-tanda vital
d. Lama puasa ≥ 6 jam
e. Cek obat dan peralatan anestesi
f. Posisi telentang (supine)
3. Teknik Anestesi
a. Pasien dalam posisi telentang (supine).
b. Cek infuse pasien, mesin anestesi serta sistem sirkuitnya, dan gas
inhalasi atau agent anestesi yang akan digunakan.
c. O2, N2O dan agent sudah disiapkan (dibuka).
d. Menyiapkan stetoskop, face mask no. 3 (ukuran dewasa).
e. Setelah obat premedikasi dan induksi masuk, pastikan pasien sudah
dalam keadaan tidur, pasang sungkup muka ukuran 3 (dewasa) dan
diberikan pemeliharaan anestesi dengan halothane 2.%.
f. Mengawasi pola napas pasien, bila tampak tanda-tanda hipoventilasi
berikan napas bantuan intermiten secara sinkron sesuai dengan irama
napas pasien, pantau denyut nadi dan tekanan darah.
g. Memastikan kondisi pasien stabil dengan vital sign dalam batas
normal.
h. Setelah operasi selesai, hentikan aliran gas/obat anestesi inhalasi dan
berikan oksigen saja selama 2-5 menit.
4. Pemantauan Selama Anestesi
a. Mulai anestesi : 09.30
b. Mulai operasi : 09.45
c. Selesai operasi : 10.30
d. Selesai anestesi : 10.35
e. Durasi operasi : 1 jam.
5. Post Operasi
10

Setelah operasi selesai face mask yang dipasang di pasien dilepas


karena pasien akan dipindahkan ke ruang pemulihan atau recovery room.
Pasien masih sadar dan ada refleks setelah operasi. Pantau tanda-tanda
vital pasien per 5 menit. Pasien diperbolehkan pindah ruang (keluar dari
recovery room) bila Alderete Score ≥ 8.
6. Instruksi Pasca Anestesi
Pasien dirawat di ruang pindah dalam posisi supine. Observasi post
operasi dengan dilakukan pemantauan secara ketat meliputi vital sign
(tekanan darah, nadi, suhu dan respirasi). Oksigen dapat tetap diberikan 2-
3 liter/menit jika diperlukan menggunakan nasal canul. Setelah pemulihan
pasca anestesi pasien dirawat di bangsal sesuai dengan bagian operator.
Setelah pasien sadar, pasien dipindahkan ke bangsal Teratai 2.
a. Kontrol vital sign, bila tekanan darah turun <100 mmHg, infus
dipercepat. Bila muntah, diberikan granisentron. Bila kesakitan,
diberikan analgesik seperti ketorolac 1 ampul. Bila nyeri bertambah,
konsultasi ke bagian anestesi.
b. Lain-lain
1) Analgetik dan antibiotik sesuai dengan terapi bedah orthopedi
2) Puasa sampai dengan flatus
3) Post operasi, cek Hb, bila < 10mg/dL dilakukan transfusi darah
sampai Hb ≥ 10
4) Kontrol balance cairan: infus RL 20 tpm.
5) Monitor vital sign
6) Bila tidak ada mual, tidak ada muntah, bising usus (+), boleh
diberi makan dan minum secara bertahap.
7. Aldrete Score
Pasien dapat keluar dari RR apabila sudah mencapai skor Aldrete ≥8
(delapan). Dari hasil Aldrete score di dapatkan:
Tabel 2 Hasil Aldrete Score

Aldrete Score Point Nilai Pada Pasien


Aktivitas 4 ekstermitas 2 √
11

2 ekstremitas 1
- 0
Respirasi Spontan + batuk 2 √
Nafas kurang 1
- 0
Sirkulasi Beda <20% 2 √
20-50% 1
>50% 0
Kesadaran Sadar penuh 2 √
Ketika dipanggil 1
- 0
Kulit Kemerahan 2 √
Pucat 1
Sianosis 0
Total 10
Dengan skor 10 ini, pasien telah dapat dipindahkan dari ruang
recovery ke bangsal Teratai 2 RSUD Karanganyar sebelum dapat pulang
ke rumah. Pasien keluar ruang recovery dengan keadaan umum baik dan
sadar, tanpa menggunakan alat bantu pernapasan, dan vital sign dalam
keadaan normal.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. ORIF (Open Reduction Internal Fixation)


1. Definisi
Open Reduction Internal Fixation adalah suatu tindakan
pembedahan pada fraktur tertutup dengan tujuan mengembalikan posisi
tulang pada keadaan fisiologis untuk penyambungan kembali dari tulang
tersebut (Nugroho, et al., 2015).
2. Indikasi operasi
a. Fraktur yang tidak bisa sembuh atau bahaya avasculer necrosis tinggi
b. Fraktur yang tidak bisa direposisi tertutup
c. Fraktur yang dapat direposisi tetapi sulit dipertahankan
d. Fraktur yang berdasarkan pengalaman memberi hasil yang lebih baik
dengan operasi
e. Excisional Arthroplasty
3. Kontra indikasi operasi
a. Perdarahan yang banyak
b. Patah tulang terbuka
c. Patah tulang pada anak-anak kurang dari 6 tahun
d. Patah tulang di sertai dengan bone lose
4. Komplikasi operasi
a. Dini :
1) Cedera pembuluh darah dan saraf: vena dan arteri subclavia
serta pleksus brachialis.
2) Kompartemen syndrome
b. Lambat :
1) Infeksi
2) Nekrosis
3) Malunion
4) Delayed union

12
13

5) Non union
6) Kekakuan sendi paha dan kontraktur
c. Mortalitas
Hampir tidak ada

B. General Anestesi
General anestesi atau anestesi umum adalah tindakan menghilangkan
rasa nyeri/sakit secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih
kembali (reversibel). Komponen trias anestesi yang ideal terdiri dari
analgesia, hipnotik, dan relaksasi otot (Latief, et al., 2009). Obat anestesi
yang masuk ke pembuluh darah atau sirkulasi kemudian menyebar ke
jaringan. Yang pertama terpengaruh oleh obat anestesi ialah jaringan kaya
akan pembuluh darah seperti otak, sehingga kesadaran menurun atau hilang,
hilangnya rasa sakit, dan sebagainya (Soenarjo & Jatmiko, 2013).
1. Stadium Anestesi
Tanda-tanda klinis anestesia umum (Soenarjo & Jatmiko, 2013):
a. Stadium I: analgesia dari mulainya induksi anestesi hingga hilangnya
kesadaran.
b. Stadium II: excitement, dari hilangnya kesadaran hingga mulainya
respirasi teratur, mungkin terdapat batuk, kegelisahan atau muntah.
c. Stadium III: dari mulai respirasi teratur hingga berhentinya respirasi.
Dibagi 4 plane:
1) Plane 1: dari timbulnya pernafasan teratur hingga berhentinya
pergerakan bola mata.
2) Plane 2: dari tidak adanya pergerakan bola mata hingga
mulainya paralisis interkostal.
3) Plane 3: dari mulainya paralisis interkostal hingga total paralisis
interkostal.
4) Plane 4: dari kelumpuhan interkostal hingga paralisis diafragma.
d. Stadium IV: overdosis, dari timbulnya paralysis diafragma hingga
cardiac arrest.
14

2. Persiapan Pra Anestesi


Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American Society
Anesthesiology):
a. ASA I: Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa
kelainan faali, biokimiawi, dan psikiatris. Angka mortalitas 2%.
b. ASA II: Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan
sedang sebagai akibat kelainan bedah atau proses patofisiologis.
Angka mortalitas 16%.
c. ASA III: Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas
harian terbatas. Angka mortalitas 38%.
d. ASA IV: Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam
jiwa, tidak selalu sembuh dengan operasi. Misal : insufisiensi fungsi
organ, angina menetap. Angka mortalitas 68%.
e. ASA V: Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan operasi
hampir tak ada harapan. Tidak diharapkan hidup dalam 24 jam tanpa
operasi / dengan operasi. Angka mortalitas 98%.
Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) terdiri dari
kegawatan otak, jantung, paru, ibu dan anak.
3. Premedikasi Anestesi
Premedikasi anestesi adalah pemberian obat-obatan 1-2 jam sebelum
induksi anestesi. Premedikasi diberikan berdasar atas keadaan psikis dan
fisiologis pasien yang ditetapkan setelah dilakukan kunjungan prabedah
(Soenarjo & Jatmiko, 2013).
4. Obat-obatan Premedikasi:
a. Benzodiazepin
Efek yang dihasilkan antara lain ansiolisis, sedasi, dan
amnesia. Contoh dari obat golongan benzodiazepin adalah diazepam,
lorazepam, midazolam. Untuk menghilangkan efek sedasi berat
dapat diberikan antagonis reseptor benzodiazepin yaitu flumazenil
(Soenarjo & Jatmiko, 2013).
15

b. Analgetik Opioid
Obat analgetik opioid dapat mengatasi rasa nyeri pre operasi,
memiliki efek sedasi, dan efeknya lebih baik apabila diberikan secara
intravena. Efek samping yang dapat muncul meliputi depresi
ventilasi dan mual muntah. Contoh dari obat ini adalah morfin,
petidin, fentanil (Soenarjo & Jatmiko, 2013).
c. Antikolinergik
Obat ini dapat digunakan untuk menghambat sekresi kelenjar,
mencegah dan mengobati bradikardi, dan mampu menimbulkan efek
sedasi dan amnesia apabila digunakan bersamaan dengan morfin.
Efek samping yang bisa muncul dari pemberian antikolinergik yaitu
toksisitas SSP, takikardi, midriasis dan siklopegik, hiperpireksia,
rasa kering pada mukosa. Contoh obat antikolinergik adalah atropin,
glikopironeum, hyosin (Soenarjo & Jatmiko, 2013).
5. Obat-obat Anestesi:
a. Obat anestesi inhalasi
1) N2O
Agen anestesi yang lemah apabila digunakan sebagai obat
tunggal. Dapat digunakan untuk mengatasi nyeri saat
pembedahan. Sifat dari N2O yaitu tidak berwarna, tidak iritatif,
bau agak manis, tidak mudah terbakar, tidak bereaksi dengan
sodalime, dan tidak bereaksi dengan logam. Obat ini
mempengaruhi sistem saraf pusat dengan meningkatkan tekanan
intrakranial dan meningkatkan kebutuhan oksigen di otak. Pada
kardiovaskuler dapat merangsang sistem saraf simpatis sehingga
mendepresi kontraktilitas otot jantung. Pada sistem respirasi
mengakibatkan peningkatan laju nafas dan menurunkan volume
tidal, sedangkan pada efek pada ginjal dan hepar dapat
menurunkan aliran darah ke organ tersebut. Penggunaan dalam
anestesi umumnya dipakai dalam kombinasi N2O : O2 adalah
16

sebagai berikut 60% : 40% ; 70% : 30% atau 50% : 50%


(Soenarjo & Jatmiko, 2013).
2) Isofluran
Agen anestesi inhalasi yang sifatnya tidak berwarna,
berbau tajam, dan menimbulkan iritasi jalan nafas apabila
digunakan pada konsentrasi tinggi, tidak mudah terbakar, tidak
terpengaruh cahaya, dan tidak merusak logam. MAC isofluran
adalah 1,2. Dosis induksi isofluran adalah 0,5% dan dapat
dinaikkan hingga 3%, dosis pemeliharan adalah 1-2,5%. Efek
obat muncul 7-10 menit setelah isofluran diberikan, Waktu yang
dibutuhkan untuk memulihkan kesadaran yaitu 7-11 menit
setelah isofluran dihentikan (Soenarjo & Jatmiko, 2013).
Pada kardiovaskuler dapat menimbulkan efek depresi
ringan pada jantung, menurunkan tekanan darah, dan dilatasi
arteri koronaria. Pada sistem respirasi menimbulkan iritasi jalan
nafas, dapat berfungsi sebagai agen bronkodilator, dan dapat
menyebabkan depresi nafas. Pada sistem saraf dapat terjadi
peningkatan tekanan intrakranial dan meningkatkan aliran darah
ke otak. Obat ini juga dapat memberikan efek relaksasi otot
rangka, dan pada ginjal dapat menurunkan aliran darah ke ginjal,
menurunkan GFR, dan menurunkan produksi urin (Soenarjo &
Jatmiko, 2013).
3) Sevofluran
Sevofluran merupakan cairan yang jernih, tidak berwarna,
bau enak, tidak iritatif, tidak korosif, tidak mudah terbakar, tidak
eksplosif, dan stabil apabila terkana cahaya. MAC pada
sevofluran adalah 1,7. Dosis induksi sevofluran yaitu 4-8% dan
waktu yang diperlukan untuk memulihkan kesadaran yaitu 7-15
menit setelah pemberian sevofluran dihentikan (Soenarjo &
Jatmiko, 2013).
17

Pada sistem saraf pusat obat ini dapat meningkatkan aliran


darah ke otak dan meningkatkan tekanan intrakranial. Pada
kardiovaskuler dapat menimbulkan depresi ringan kontraksi otot
jantung dan penurunan tekanan vaskuler sistemik. Pada sistem
respirasi dapat mengakibatkan depresi pernafasan dan
bronkospasme. Sevofluran juga memiliki efek sebagai pelumpuh
otot (Soenarjo & Jatmiko, 2013).
b. Obat anestesi intravena
1) Midazolam
Midazolam merupakan obat golongan bezodiazepine short
acting yang memiliki efek sedatif-hipnotik. Midazolam
merupakan obat golongan benzodiazepin yang paling banyak
digunakan karena tidak menimbulkan rasa nyeri di tempat
suntikan. Dibandingkan dengan diazepam, midazolam memiliki
onset yang cepat, durasi singkat, dan efeknya 3x lebih kuat
dibandingkan diazepam. Sediaan midazolam berupa ampul
5ml/5mg dan 3 ml/15 mg. Dosis untuk menimbulkan efek sedasi
dan anxiolitik yaitu 0,1 mg/kgBB IV (Soenarjo & Jatmiko,
2013).
2) Propofol
Propofol memiliki kecepatan onset yang sama dengan
barbiturat intravena lainnya, namun pemulihannya lebih cepat dan
pasien dapat diambulasi lebih cepat setelah anestesi umum. Selain
itu, biasanya pasien merasa lebih baik setelah postoperasi karena
propofol mengurangi mual dan muntah postoperasi. Propofol
digunakan baik sebagai induksi maupun mempertahankan
anestesi dan merupakan agen pilihan untuk operasi bagi pasien
rawat jalan. Obat ini juga efektif dalam menghasilkan sedasi
berkepanjangan pada pasien dalam keadaan kritis. Penggunaan
propofol sebagai sedasi pada anak kecil yang sakit berat (kritis)
dapat memicu timbulnya asidosis berat dalam keadaan terdapat
18

infeksi pernapasan dan kemungkinan adanya sekuele neurologi


(Latief, et al., 2009).
Pemberian propofol (2mg/kg) intravena menginduksi
anestesi secara cepat. Rasa nyeri kadang-kadang terjadi di tempat
suntikan, tetapi jarang disertai plebitis atau trombosis. Anestesi
dapat dipertahankan dengan infus propofol yang
berkesinambungan dengan opiat, N2O dan/atau anestetik inhalasi
lain (Latief, et al., 2009)
Propofol dapat menyebabkan turunnya tekanan darah yang
cukup berarti selama induksi anestesi karena menurunnya
resitensi arteri perifer dan venodilatasi. Tekanan sistemik kembali
normal dengan intubasi trakea (Latief, et al., 2009).
Efek samping propofol pada sistem pernafasan adanya
depresi pernafasan, apnea, bronkospasme, dan laringospasme.
Pada sistem kardiovaskuler berupa hipotensi, aritmia, takikardi,
bradikardi, hipertensi. Pada susunan saraf pusat adanya sakit
kepala, pusing, euforia, kebingungan. Pada daerah penyuntikan
dapat terjadi nyeri sehingga saat pemberian dapat dicampurkan
lidokain (20-50 mg) (Latief, et al., 2009).
3) Ketamin
Ketamin juga memberikan efek katalepsi, analgesik kuat,
amnesia, dan sedasi ringan. Pada sistem saraf pusat
menyebabkan peningkatan aliran darah ke otak sehingga dapat
meningkatkan tekanan intrakranial. Pada kardiovaskuler dapat
meningkatkan tekanan darah, meningkatkan laju jantung, dan
meningkatkan curah jantung. Pada sistem respirasi dapat
menurunkan respiratory rate dan dapat menyebabkan apnoe
apabila diberikan bersama narkotik. Tetapi obat ini memiliki
efek bronkodilator sehingga aman digunakan pada pasien yang
memiliki riwayat asma. Efek samping yang bisa muncul adalah
nausea, vomitus, dan delirium sehingga perlu pengawasan yang
19

ketat. Sediaan ketamin berupa flacon 10cc dengan 50mg/cc atau


100 mg/cc. Dosis yang digunakan untuk induksi 0,5-2 mg/kgBB
IV dan obat akan bekerja setelah 10-60 detik (Soenarjo &
Jatmiko, 2013).
4) Fentanil
Fentanil memiliki efek analgetik kuat yang bekerja pada
thalamus dan hipothalamus. Dosis yang dapat diberikan yaitu 2-
8µg/kgBB dan obat akan bekerja 30 detik setelah fentanil
disuntikkan. Efek samping yang dapat muncul adalah depresi
respirasi serta dapat menyebabkan kekakuan pada otot rangka
(Soenarjo & Jatmiko, 2013).
6. Face Mask
Merupakan teknik general anestesi menggunakan sungkup muka
dengan nafas spontan. Indikasi untuk menggunakan teknik general
anestesi dengan face mask yaitu:
a. Untuk tindakan yang singkat (0,5 jam ± 1 jam) tanpa membuka
rongga perut.
b. Keadaan umum pasien cukup baik (status fisik ASA I atau ASA II).
c. Lambung harus kosong.
7. Terapi Cairan
Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus
mendekati jumlah dan komposisi cairan yang hilang. Kebutuhan cairan
pada dewasa untuk operasi :
a. Ringan = 4 ml/kgBB/jam.
b. Sedang = 6 ml/kgBB/jam
c. Berat = 8 ml/kgBB/jam.
Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan kurang
dari 10 % EBV maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid. Apabila
perdarahan lebih dari 10 % maka dapat dipertimbangkan pemberian
plasma / koloid / dekstran.
BAB IV
PEMBAHASAN

Diagnosis dari pasien ini bisa ditegakan dengan anamnesis dan hasil
pemeriksaan penunjang untuk mengetahui keadaan umum pasien dan memastikan
apakah operasi tersebut dapat dilakukan. Status fisik pada pasien ini dimasukkan
ke dalam ASA II (pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai dengan sedang
akibat kelainan bedah atau proses patofisiologis, angka mortalitas 16%). Pada
pasien ini dilakukan teknik anestesi general anestesi berdasarkan pertimbangan
bahwa pasien akan menjalani operasi ORIF clavicula.
Pada pasien ini diberikan obat premedikasi berupa injeksi granisetron,
midazolam, dan fentanil. Granisetron biasa digunakan sebagai anti emetik dan
untuk mencegah terjadinya mual atau muntah. Granisetron juga dapat digunakan
untuk mengurangi kejadian menggigil pascaanestesi. Kelebihan granisetron bila
dibandingkan dengan obat golongan antagonis reseptor serotonin lain seperti
ondansetron adalah mula kerja cepat dan durasi lebih lama, serta efek samping
relatif lebih sedikit. Midazolam memiliki efek sedatif-hipnotik, banyak digunakan
karena tidak menimbulkan rasa nyeri di tempat suntikan. Dibandingkan dengan
diazepam, midazolam memiliki onset yang cepat, durasi singkat, dan efeknya 3x
lebih kuat dibandingkan diazepam. Sedangkan fentanil memiliki efek analgetik
kuat dan obat akan bekerja 30 detik setelah disuntikkan.
Induksi menggunakan propofol yang memiliki onset cepat, namun
pemulihannya lebih cepat dan pasien dapat diambulasi lebih cepat setelah anestesi
umum. Selain itu menimbulkan efek mual muntah minimal. Setelah pasien
diinduksi, monitor tekanan darah setiap 5 menit sekali untuk mengetahui
penurunan tekanan darah yang bermakna. Hipotensi terjadi bila penurunan teknan
darah sebesar 20-30%.
Setelah operasi selesai pasien segera dipindahkan ke ruang pemulihan atau
recovery room. Pasien masih sadar dan ada refleks setelah operasi. Pantau tanda-
tanda vital pasien per 5 menit. Pasien diperbolehkan pindah ruang (keluar dari
recovery room) bila Aldrete Score ≥8.

20
BAB V
KESIMPULAN

Seorang laki-laki usia 15 tahun faktur clavicula dekstra dilakukan operasi


ORIF (Open Reduction Internal Fixation) pada tanggal 6 November 2019.
Tindakan anestesi yang dilakukan adalah general anestesi. Evaluasi pre operasi
pada pasien dalam batas normal. Tidak ditemukan kelainan lain yang menjadi
kontraindikasi dilakukannya general anestesi.
Berdasarkan klasifikasi status fisik pasien pra-anestesi menurut
American Society of Anesthesiologist, pasien digolongkan dalam ASA I. Di ruang
pemulihan (recovery room) vital sign pasien dalam batas normal dan nilai Aldrete
Score yang didapat adalah 10 sehingga pasien dapat dipindahkan dari ruang
pemulihan (RR) ke bangsal.

21
DAFTAR PUSTAKA

Apley, A. G. & Year, L. S., 2005. Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley.
7th ed. Jakarta: Widya Medika.

Clavicle, H. B., 2007. Fractures and Dislocations. [Online]


Available at: http://www.emedicine.com [Diakses tanggal 15 Juni 2019].

Latief, S. A., Suryadi, K. A. & Dachlan, M. R., 2009. Petunjuk Praktis


Anestesiologi. 2nd ed. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Mangku, G. & Senapathi, T. G. A., 2010. Buku Ajar Ilmu Anestestesia dan
Reanimasi. Jakarta: Indeks.

Nugroho, W., Calcarina, F. & Sudadi, 2015. Blok Pleksus Brakhialis


Infraklavicula Vertikal Pada Close Fraktur 1/3 Tengah Humerus. Jurnal
Komplikasi Anestesi, 2(3), pp. 35-43.

Sjamsuhidayat, R., Karnadiharja, W., Prasetyono, T. O. H. & Rudiman, R., 2014.


Buku Ajar Ilmu Bedah. 3rd ed. Jakarta: EGC.

Soenarjo & Jatmiko, H., 2013. Anestesiologi. 2nd ed. Semarang: Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran UNDIP/ RSUP
dr.Kariadi.

Trumble, T. E., Budoff, J. E. & Cornwall, R., 2006. Hand, Elbow, and Shoulder:
Core Knowledge in Orthopaedics. 1th ed. Philadelphia: Mosby Elsevier.

22

Anda mungkin juga menyukai