Anda di halaman 1dari 23

STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. P
Umur : 44 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Malangbong
Pekerjaan : IRT
Pendidikan : SD
No. Medik : 7484xx
Tanggal Masuk : 2 Maret 2015
Tanggal Periksa : 4 Maret 2015

II. ANAMNESA
Dilakukan secara : Autoanamnesis pada tanggal 4 maret 2015 pukul 09.00 WIB di
bangsal cempaka RSUD dr. Slamet Garut.

A. Keluhan Utama
Lemah pada kedua tungkai

B. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD RSUD dr. Slamet dengan keluhan lemah pada kedua
tungkai sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit. Keluhan diawali dengan rasa nyeri
pada kedua tungkai yang dirasakan tiba-tiba saat pasien beristirahat. Kemudian pasien
mengaku kedua kaki terasa lemah secara tiba-tiba keesokan harinya. Dan semakin hari
kelemahan tersebut terasa memberat sehinggga membuat pasien tidak mampu bangun
dan berdiri untuk berjalan seperti biasanya.
Pasien menyangkal adanya keluhan Pingsan, kejang, demam, mual, muntah, dan
nyeri kepala. Pasien juga menyangkal adanya keluhan kesemutan dan baal pada
anggota gerak, gangguan menelan,bicara cadel dan wajah miring ke salah satu sisi.
Buang air besar dan buang air kecil lancar, tidak ada keluhan.
Pasien mengaku pasien sering dirawat di RS dengan keluhan yang sama, sejak
umur pasien kurang lebih 20 tahun,terakhir dirawat 3 bulan yang lalu .

1
C. Riwayat Penyakit Dahulu
Tidak ada riwayat penyakit khusus, hipertensi, diabetes mellitus, asma , jantung, paru
disangkal.

D. Riwayat Penyakit Keluarga


Orang tua pasien yaitu ibu memiliki yang sama dengan pasien.

E. Riwayat Alergi
Pasien tidak memiliki riwayat alergi terhadap makanan, minuman, obat-obatan, dan
lain-lain.

F. Sosial – Ekonomi
Pasien tinggal bersama suami dan satu orang anaknya. Pasien adalah seorang ibu
rumah tangga. Biaya kehidupan sehari – hari pasien ditanggung oleh suami pasien.
Pasien sehari makan 2 kali dengan menu seadanya dan tidak bervariasi.

III. PEMERIKSAAN FISIK


A. Keadaan umum
Keadaan umum : Sakit Sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan darah : 90/80 mmHg
Nadi : 84 x/menit reguler
Respirasi : 20x/menit
Suhu : 36,5°C
Turgor : Baik
Gizi : Baik
Kepala : Normocephal
Konjungtiva : Tidak anemis
Sklera : Tidak ikterik
Leher : KGB tidak teraba, JVP tidak meningkat
Thoraks : Simetris bilateral
Jantung : BJ I, BJ II reguler murni, Murmur (-), Gallop (-)
Paru : Vesikuler Ka = Ki ; Rhonki -/- ; Wheezing -/-

2
Abdomen : Datar, lembut, nyeri tekan (-), bising usus normal
Extremitas : Akral hangat, edema -/-, turgor baik

B. STATUS NEUROLOGI
Kesadaran : Compos Mentis, GCS : 15 ( E4M6V5 )
Sikap tubuh : Berbaring terlentang
Cara berjalan : Tidak dilakukan
Gerakan abnormal : Tidak ada

Kepala
Bentuk : Normocephal
Simetris : Simetris
Pulsasi a.Temporalis : Teraba
Nyeri tekan : Tidak ada

Leher
Sikap : Normal
Gerakan : Bebas tak terbatas
Vertebrae : Dalam batas normal
Nyeri tekan : Tidak ada
Pulsasi a. Carotis : Teraba

TANDA RANGSANG MENINGEAL


Kanan Kiri
Kaku kuduk : (-)
Laseque : (-) (-)
Kernig : (-) (-)
Brudzinsky I : (-) (-)
Brudzinsky II : (-) (-)

3
NERVI KRANIALIS
Kanan Kiri
N I ( Olfactorius )
Daya penghidu : Tidak dilakukan Tidak dilakukan

N II ( Optikus )
Kanan Kiri
Ketajaman penglihatan : Baik Baik
Pengenalan warna : Baik Baik
Lapang pandang : Sama dengan pemeriksa
Fundus : Tidak dilakukan

N III ( Occulomotoris )/ N IV ( Trochlearis )/ N VI ( Abducens )


Kanan Kiri
Ptosis :(-) (-)
Strabismus :(-) (-)
Nistagmus :(-) (-)
Exopthalmus :(-) (-)
Enopthalmus :(-) (-)
Gerakan bola mata :
Lateral :(+) (+)
Medial :(+) (+)
Atas lateral :(+) (+)
Atas medial :(+) (+)
Bawah lateral :(+) (+)
Bawah medial :(+) (+)
Atas :(+) (+)
Bawah :(+) (+)
Gaze :(+) (+)

Pupil :
Ukuran pupil : Ø 3 mm Ø 3 mm
Bentuk pupil : Bulat Bulat
Isokor/anisokor : Isokor

4
Posisi : ditengah ditengah
Reflek cahaya langsung :(+) (+)
Reflek cahaya tidak langsung : ( + ) (+)
Reflek akomodasi/konvergensi: ( + ) (+)

N V ( Trigeminus )
Kanan Kiri
Menggigit : Baik
Membuka mulut : Simetris
Sensibilitas atas :(+) (+)
Tengah :(+) (+)
Bawah :(+) (+)
Reflek masseter :(+) (+)
Reflek zigomatikus :(+) (+)
Reflek kornea : Tidak dilakukan
Reflek bersin : Tidak dilakukan

N VII ( Facialis )
Pasif
Kerutan kulit dahi : Simetris
Kedipan mata : Simetris
Lipatan nasolabial : Simetris
Sudut mulut : Simetris
Aktif
Mengerutkan dahi : Simetris
Mengerutkan alis : Simetris
Menutup mata : Simetris
Meringis : Simetris
Mengembungkan pipi : Simetris
Gerakan bersiul : Baik
Daya pengecapan lidah 2/3 depan: Tidak dilakukan
Hiperlakrimasi : Tidak ada
Lidah kering : Tidak ada

5
N VIII ( Vestibulocochlearis )
Kanan Kiri
Mendengarkan suara gesekan jari tangan :(+) (+)
Mendengar detik jam arloji :(+) (+)
Test rinne : Tidak dilakukan
Test weber : Tidak dilakukan
Test swabach : Tidak dilakukan

N IX ( Glossopharyngeus )
Arcus pharynx : Simetris, tidak hiperemis
Posisi uvula : Di tengah
Daya pengecapan lidah 1/3 belakang : Tidak dilakukan
Reflek muntah : Tidak dilakukan

N X ( Vagus )
Denyut nadi : Teraba, Reguler
Arcus pharynx : Simetris
Bersuara : Baik
Menelan : Tidak ada gangguan.

N XI ( Accesorius )
Memalingkan kepala : Normal
Sikap bahu : Simetris
Mengangkat bahu : Simetris

N XII ( Hipoglossus )
Menjulurkan lidah : Tidak ada deviasi
Kekuatan lidah : Simetris
Atrofi lidah : Tidak ada
Artikulasi : Baik
Tremor lidah : Tidak ada

6
MOTORIK
Gerakan : Bebas Bebas
Terbatas Terbatas

Kekuatan : 4 4
3 3

Tonus : Normotonus Normotonus


Normotonus Normotonus

Bentuk : Eutrofi Eutrofi


Eutrofi Eutrofi

REFLEK FISIOLOGI
Reflek tendon Kanan Kiri
Reflek bicep :(+) (+)
Reflek tricep :(+) (+)
Reflek brachioradialis :(+) (+)
Reflek patella :(+) (+)
Reflek achilles :(+) (+)
Reflek periosteum : Tidak dilakukan
Reflek permukaan
Dinding perut : Tidak dilakukan
Cremaster : Tidak dilakukan
Spincter ani : Tidak dilakukan

REFLEK PATOLOGIS
Kanan Kiri
Hoffman tromer :(-) (-)
Babinski :(-) (-)
Chaddok :(-) (-)
Oppenheim :(-) (-)
Gordon :(-) (-)
Schafer :(-) (-)

7
Klonus paha :(-) (-)
Klonus kaki :(-) (-)

SENSIBILITAS
Kanan Kiri
Eksteroseptif
Nyeri :(+) (+)
Suhu : Tidak dilakukan
Taktil :(+) (+)
Propioseptif
Posisi :(+) (+)
Vibrasi : Tidak dilakukan
Tekanan dalam : ( + ) (+)

KOORDINASI DAN KESEIMBANGAN


Test romberg : Tidak dilakukan
Test tandem : Tidak dilakukan
Test fukuda : Tidak dilakukan
Disdiadokokenesis : Tidak dilakukan
Rebound phenomen : Tidak dilakukan
Dismetri : Tidak dilakukan
Test tunjuk hidung : Tidak dilakukan
Test telunjuk-telunjuk : Tidak dilakukan
Test tumit lutut : Tidak dilakukan

FUNGSI OTONOM
Miksi
Inkontinentia : Tidak ada kelainan
Retensi : Tidak ada kelainan
Anuria : Tidak ada kelainan

Defekasi
Inkontinentia : Tidak ada kelainan
Retensi : Tidak ada kelainan

8
FUNGSI LUHUR
Fungsi bahasa : Baik
Fungsi orientasi : Baik
Fungsi memori : Baik
Fungsi emosi : Baik
Fungsi kognisi : Baik

DIAGNOSA KERJA
Periodik paralisis e.c hipokalemia

PEMERIKSAAN PENUNJANG/USULAN PEMERIKSAAN


1. Laboratorium : Darah lengkap : Hb, Ht, leukosit, trombosit, eritrosit
Kimia : Ureum, kreatinin, kolesterol, trigliserida, gula darah
Elektrolit : Na, K, Cl
2. EKG
3. Foto rontgen thoraks

2 Maret 2015
Darah Rutin
Hemoglobin 11,7 gr/dL 13.0 - 15.0
Hematokrit 33% 40 – 52
Lekosit 14.650 /mm3 3.800 - 10.500
Trombosit 394.000 /mm3 150.000 - 440.000
Eritrosit 4.34 juta /mm3 3.5 juta - 6.5 juta

Kimia Klinik
AST (SGOT) 22 U/L s/d 31
ALT (SGPT) 7 U/L s/d 31
Ureum 41 mg/dL 15 – 50
Kreatinin 1,4 mg/dL 0.5 – 0.9

Elektrolit
Natrium (Na) 142 mEq/L 135 – 145

9
Kalium (K) 2.1 mEq/L 3.6 – 5.5
Klorida (Cl) 112 mEq/L 98 – 108
Kalsium (Ca bebas) 4.64 mEq/L 4.7 – 5.2

RESUME
Pasien datang ke IGD RSUD dr. Slamet dengan keluhan lemah pada kedua tungkai sejak 4
hari sebelum masuk rumah sakit. Keluhan diawali dengan rasa nyeri pada kedua tungkai yang
dirasakan tiba-tiba saat pasien beristirahat. Kemudian pasien mengaku kedua kaki terasa
lemah secara tiba-tiba keesokan harinya. Dan semakin hari kelemahan tersebut terasa
memberat sehinggga membuat pasien tidak mampu bangun dan berdiri untuk berjalan seperti
biasanya.
Pasien mengaku pasien sering dirawat di RS dengan keluhan yang sama, sejak umur pasien
kurang lebih 20 tahun,terakhir dirawat 3 bulan yang lalu .
Salah satu anggota keluarga pasien yaitu ibu memiliki yang sama dengan pasien.

Pemeriksaan fisik :
Keadaan umum : Sakit Sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 90/80 mmHg
Nadi : 84 x/menit reguler
Respirasi : 20x/menit
Suhu : 36,5°C

Motorik : atas 4/4 bawah 3/3

DIAGNOSA
Periodik paralisis e.c hipokalemia

TERAPI
 IVFD RL 20 tts / menit
 Koreksi KCL 25 mEq/ kolf. 12 jam
 Cefotaxime 2 x 1gr (IV)
 Mecobalamin 2 x 1 (IV)
 Ketorolac 2 x 1 (IV)

10
 KSR 3 X 1 Tablet (PO)

PROGNOSIS
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : ad bonam
Quo ad sanationam : ad bonam

FOLLOW UP
Tanggal 5 Januari 2015
 Keluhan : nyeri kaki berkurang, sudah dapat di angkat sedikit-sedikit
 Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 90 / 60 mmHg
Nadi : 80 x/menit reguler
Respirasi : 20 x/menit
Suhu : 36.5 oC
Pulmo : VBS ka = ki Rh -/- Wh -/-
Cor : BJ I dan BJ II reguler G – M -
 Pemeriksaan neurologis
Rangsang meningeal
Kaku kuduk (-)
Nervus Kranialis
Mata : Isokhor
RCL (+/+) RCTL (+/+)
GBM : Baik kesegala arah
NVII : Baik
NXII : Baik
Motorik : 5 5
4 4

Sensorik :
+ +
+ +

11
Refleks Fisiologis
BTR : +/+
Brachioradialis : +/+
KPR : +/+
APR : +/+
Refleks Patologis : -/-
Fungsi luhur : Baik
Fungsi Vegetatif : Baik

 Diagnosa
Periodik paralisis e.c Hipokalemia
 Terapi
- IVFD RL 20 tts / menit
- Koreksi KCL 25 mEq/ kolf. 12 jam
- Cefotaxime 2 x 1gr (IV)
- Mecobalamin 2 x 500 mcg (IV)
- Ketorolac 2 x 1 (IV)
- KSR 3 X 1 Tablet (PO)
- Cek ulang elektrolit

FOLLOW UP
Tanggal 6 Januari 2015
 Keluhan : nyeri kaki berkurang, sudah dapat di angkat sedikit-sedikit
 Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 90 / 60 mmHg
Nadi : 80 x/menit reguler
Respirasi : 20 x/menit
Suhu : 36.5 oC
Pulmo : VBS ka = ki Rh -/- Wh -/-
Cor : BJ I dan BJ II reguler G – M –

12
 Pemeriksaan neurologis
Rangsang meningeal
Kaku kuduk (-)
Nervus Kranialis
Mata : Isokhor
RCL (+/+) RCTL (+/+)
GBM : Baik kesegala arah
NVII : Baik
NXII : Baik
Motorik : 5 5
4 4

Sensorik :
+ +
+ +

Refleks Fisiologis
BTR : +/+
Brachioradialis : +/+
KPR : +/+
APR : +/+
Refleks Patologis : -/-
Fungsi luhur : Baik
Fungsi Vegetatif : Baik

 Diagnosa
Periodik paralisis e.c Hipokalemia
 Terapi
- IVFD RL 20 tts / menit
- Koreksi KCL 25 mEq/ kolf. 12 jam
- Cefotaxime 2 x 1gr (IV)
- Mecobalamin 2 x 500 mcg (IV)
- KSR 3 X 1 Tablet (PO)
- Cek ulang elektrolit (tunggu hasil)

13
PERTANYAAN KASUS

1. Bagaimana penegakan diagnosis pada pasien ini ?

Diagnosis tersebut ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan


pemeriksaan penunjang.

Pada anamnesa :
Pasien datang ke IGD RSUD dr. Slamet dengan keluhan lemah pada kedua tungkai sejak
4 hari sebelum masuk rumah sakit. Keluhan diawali dengan rasa nyeri pada kedua
tungkai yang dirasakan tiba-tiba saat pasien beristirahat. Kemudian pasien mengaku
kedua kaki terasa lemah secara tiba-tiba keesokan harinya. Dan semakin hari kelemahan
tersebut terasa memberat sehinggga membuat pasien tidak mampu bangun dan berdiri
untuk berjalan seperti biasanya.
Pasien mengaku pasien sering dirawat di RS dengan keluhan yang sama, sejak umur
pasien kurang lebih 20 tahun,terakhir dirawat 3 bulan yang lalu .
Salah satu anggota keluarga pasien yaitu ibu memiliki yang sama dengan pasien.

Pemeriksaan fisik
Keadaan umum : Sakit Sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 90/80 mmHg
Nadi : 84 x/menit reguler
Respirasi : 20x/menit
Suhu : 36,5°C

Motorik : atas 4/4 bawah 3/3

Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan laboratorium darah


Kreatinin 1,4 mg/dL (0.5 – 0.9)

Leukosit 14.650 /mm3 (3.800 - 10.500)

Kalium (K) 2.1 mEq/L (3.6 – 5.5)

Klorida (Cl) 112 mEq/L (98 – 108)


14
PEMBAHASAN KASUS
Pendahuluan

Hipokalemik periodik paralisis adalah kelainan yang ditandai dengan kadar kalium
(kalium) yang rendah (kurang dari 3.5 mmol/L) pada saat serangan, disertai riwayat episode
kelemahan sampai kelumpuhan otot skeletal. Hipokalemia dapat terjadi karena adanya faktor
pencetus tertentu, misalnya makanan dengan kadar karbohidrat tinggi, istirahat sesudah
latihan fisik, perjalanan jauh, pemberian obat, operasi, menstruasi, konsumsi alkohol dan
lain-lain. Kadar insulin juga dapat mempengaruhi kelainan ini pada banyak penderita, karena
insulin akan meningkatkan aliran kalium ke dalam sel.
Pada saat serangan akan terjadi pergerakan kalium dari cairan ekstra selular masuk ke
dalam sel, sehingga pada pemeriksaan kalium darah terjadi hipokalemia. Kadar kalium
biasanya dalam batas normal diluar serangan. Pencetus untuk setiap individu berbeda, juga
tidak ada korelasi antara besarnya penurunan kadar kadar kalium serum dengan beratnya
paralisis (kelemahan) otot skeletal. Penderita dapat mengalami serangan hanya sekali, tetapi
dapat juga serangan berkali-kali (berulang) dengan interval waktu serangan juga bervariasi.
Kelemahan biasanya terjadi pada otot kaki dan tangan, tetapi kadangkadang dapat mengenai
otot mata, otot pernafasan dan otot untuk menelan, di mana kedua keadaan terakhir ini dapat
berakibat fatal.
Angka kejadian adalah sekitar 1 diantara 100.000 orang, pria lebih sering dari wanita
dan biasanya lebih berat. Usia terjadinya serangan pertama bervariasi dari 1–20 tahun,
frekuensi serangan terbanyak di usia 15–35 tahun dan kemudian menurun dengan
peningkatan usia. Hipokalemik periodik paralisis biasanya terjadi karena kelainan genetik
otosomal dominan. Hal lain yang dapat menyebabkan terjadinya hipokalemik periodik
paralisis adalah tirotoksikosis (thyrotoxic periodic paralysis), hiperinsulin.

Definisi

Paralisis periodik hipokalemik (PPH) adalah kelainan yang ditandai kelemahan otot akut
karena hipokalemia yang terjadi secara episodik. Sebagian besar PPH merupakan PPH
primer atau familial. PPH sekunder bersifat sporadik dan biasanya berhubungan dengan
penyakit tertentu atau keracunan.

Periodik paralisis hipokalemi merupakan kelainan pada membran sel yang sekarang ini
dikenal sebagai salah satu kelompok kelainan penyakit chanellopathies pada otot skeletal.
Kelainan ini dikarakteristikkan dengan terjadinya suatu episodik kelemahan tiba-tiba yang
diakibatkan gangguan pada kadar kalium serum. Periodik paralisis ini dapat terjadi pada
suatu keadaan hiperkalemia atau hipokalemia (Browmn et al., 2011).

Paralisis hipokalemi merupakan penyebab dari acute flacid paralisis dimana terjadi
kelemahan otot yang ringan sampai berat hingga mengancam jiwa seperti cardiac aritmia dan
kelumpuhan otot pernapasan. Beberapa hal yang mendasari terjadinya hipokalemi paralisis
antaralain tirotoksikosis, renal tubular acidosis, Gitelman Syndrome, keracunan barium,
pemakaian obat golongan diuretik dan diare, namun dari beberapa kasus sulit untuk
diidentifikasi penyebabnya. (Kalita et al., 2010)

15
Etiologi

Berdasarkan etiologinya paralisis hipokalemi dibagi menjadi 2 yaitu idiopatik periodik


paralisis hipokalemi disertai tirotoksikosis dan secondary periodik paralisis hipokalemi tanpa
tirotoksikosis (Wi et al., 2012). Selain itu faktor genetik juga mempengaruhi terjadinya
paralisis hipokalemi, terdapat 2 bentuk dari hipokalemic periodik paralysis yaitu familial
hipokalemi dan sporadik hipokalemi. Familial hipokalemi diturunkan secara autosomal
dominan, kebanyakan kasus dinegara Barat dan sebaliknya di Asia kasus terbanyak adalah
sporadik hipokalemi yang disebabkan oleh tirotoksikosis hipokalemi (Robinson et al., 2010).

Insidensi

Insidensinya yaitu 1 dari 100.000 periodik paralisis hipokalemi banyak terjadi pada pria
daripada wanita dengan rasio 3-4 : 1. Usia terjadinya serangan pertama bervariasi dari 1-20
tahun, frekuensi serangan terbanyak di usia 15-35 tahun dan kemudian menurun dengan
peningkatan usia (Lin et al., 2004).

Patofisiologi

Paralisis periodik hipokalemik familial (PPHF) terjadi karena adanya redistribusi kalium
ekstraselular ke dalam cairan intraselular secara akut tanpa dei sit kalium tubuh total.
Kelemahan otot terjadi karena kegagalan otot rangka dalam menjaga potensial istirahat
(resting potensial) akibat adanya mutasi gen CACNL1A3, SCN4A, dan KCNE3,yakni gen
yang mengontrol gerbang kanal ion (voltagegated ion channel) natrium, kalsium, dan kalium
pada membran sel otot.

Kadar kalium plasma adalah hasil keseimbangan antara asupan kalium dari luar, ekskresi
kalium, dan distribusi kalium di ruang intra- dan ekstraselular. Sekitar 98% kalium total
tubuh berada di ruang intraselular, terutama di sel otot rangka. Secara fisiologis, kadar kalium
intrasel dipertahankan dalam rentang nilai 120-140 mEq/L melalui kerja enzim Na+ - K+-
ATPase. Kanal ion di membran sel otot berfungsi sebagai pori tempat keluar-masuknya ion
dari/ke sel otot. Dalam keadaan depolarisasi, gerbang kanal ion akan menutup dan bersifat
impermeabel terhadap ion Na+ dan K+, sedangkan dalam keadaan repolarisasi (istirahat),
gerbang kanal ion akan membuka, memungkinkan keluar-masuknya ion natrium dan kalium
serta menjaganya dalam keadaan seimbang. Mutasi gen yang mengontrol kanal ion ini akan
menyebabkan influks K+ berlebihan ke dalam sel otot rangka dan turunnya inl uks kalsium
ke dalam sel otot rangka sehingga sel otot tidak dapat tereksitasi secara elektrik,
menimbulkan kelemahan sampai paralisis. Mekanisme peningkatan influks kalium ke dalam
sel pada mutasi gen ini belum jelas dipahami. Sampai saat ini, 30 mutasi telah teridentifikasi
pada gen yang mengontrol kanal ion. Tes DNA dapat mendeteksi beberapa mutasi;
laboratorium komersial hanya dapat mengidentii kasi 2 atau 3 mutasi tersering pada PPHF
sehingga tes DNA negatif tidak dapat menyingkirkan
diagnosis.

Kalium
Kalium memiliki fungsi mempertahankan membran potensial elektrik dalam tubuh dan
menghantarkan aliran saraf di otot.
Kalium mempunyai peranan yang dominan dalam hal eksitabilitas sel, terutama sel otot jantung, saraf, dan
ototlurik. Kalium mempunyai peran vital di tingkat sel dan merupakan ion utama intrasel. Ion ini akan

16
masuk ke dalam sel dengan cara transport aktif, yang memerlukan energi. Fungsi kalium
akan nampak jelas bila fungsi tersebut terutama berhubungan dengan aktivitas otot jantung, otot
lurik, dan ginjal. Eksitabilitas sel sebanding denganrasio kadar kalium di dalam dan di luar sel.
Berarti bahwa setiap perubahan dari rasio ini akan mempengaruhi fungsi dari sel.

Kadar kalium normal intrasel adalah 135 - 150 mEq/L dan ekstrasel adalah 3,5 - 5,5 mEq/L.
Perbedaan kadar yang sangat besar ini dapat bertahan, tergantung pada metabolisme sel. Dengan
demikian situasi di dalam sel adalah elektronegatif dan terdapat membrane potensial istirahat kurang
lebih sebesar -90 mvolt.

Manifestasi Klinis

Durasi dan frekuensi serangan paralisis pada PPHF sangat bervariasi, mulai dari beberapa
kali setahun sampai dengan hampir setiap hari, sedangkan durasi serangan mulai dari
beberapa jam sampai beberapa hari. Kelemahan atau paralisis otot pada PPHF biasanya
timbul pada kadar kalium plasma <2,5 mEq/L. Manifestasi PPHF antara lain berupa
kelemahan atau paralisis episodik yang intermiten pada tungkai, kemudian menjalar ke
lengan. Serangan muncul setelah tidur/istirahat dan jarang timbul saat, tetapi dapat dicetuskan
oleh, latihan fisik. Ciri khas paralisis pada PPHF adalah kekuatan otot secara berangsur
membaik pascakoreksi kalium.

Otot yang sering terkena adalah otot bahu dan pinggul; dapat juga mengenai otot lengan, kaki,
dan mata. Otot diafragma dan otot jantung jarang terkena; pernah juga dilaporkan kasus yang
mengenai otot menelan dan otot pernapasan.

Kelainan elektrokardiograi (EKG) yang dapat timbul pada PPHF berupa pendataran
gelombang T, supresi segmen ST, munculnya gelombang U, sampai dengan aritmia berupa i
brilasi ventrikel, takikardia supraventrikular, dan blok jantung.

Pendekatan Diagnosis

Diagnosis ditegakkan apabila timbul kelemahan otot disertai kadar kalium plasma
yang rendah (<3,0 mEq/L) dan kelemahan otot membaik setelah pemberian kalium.

Riwayat PPHF dalam keluarga dapat menyokong diagnosis, tetapi ketiadaan riwayat keluarga
juga tidak menyingkirkan diagnosis. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan ialah
EKG, elektromiograi (EMG), dan biopsi otot. Biopsi otot menunjukkan hasil normal saat di
luar serangan, tetapi saat serangan, dapat ditemukan miopati vakuolar, yaitu vakuola
retikulum endoplasma otot berdilatasi dengan sitoplasma sel otot penuh terisi glikogen, dan
ukuran serat otot bervariasi.

Pemeriksaan kadar kalium urin saat serangan sangat penting untuk membedakan PPHF
dengan paralisis hipokalemik karena sebab lain, yaitu hilangnya kalium melalui urin.
Ekskresi kalium yang rendah dan tidak ada kelainan asam basa merupakan pertanda PPHF.
Sebaliknya, pasien dengan ekskresi kalium meningkat disertai kelainan asam basa darah
mengarah ke diagnosis non-PPHF.

Pemeriksaan transtubular potassium concentration gradient (TPCG) atau transtubular K+


concentration ([K+]) gradient (TTKG) digunakan untuk membedakan penyebab PPH,

17
apakah akibat kehilangan kalium melalui urin atau karena proses perpindahan kalium ke
ruang intraselular (chanellopathy).

Pemeriksaan TTKG dilakukan saat terjadi serangan. Dalam kondisi normal, ginjal akan
merespons hipokalemia dengan cara menurunkan ekskresi kalium untuk menjaga
homeostasis. Jika dalam keadaan kalium plasma rendah, tetapi dijumpai ekskresi kalium urin
yang tinggi (lebih dari 20 mmol/L),

Jika TTKG >3, PPH diakibatkan oleh kehilangan kalium melalui ginjal. Namun, jika TTKG
<2, PPH terjadi karena proses perpindahan kalium ke ruang intraselular.

Pendekatan pasien hipokalemia dan paralisis dapat dilihat pada gambar 1. Ekskresi kalium
urin yang rendah dan asam basa normal mengarah ke PPHF, TPP (thyrotoxic periodic
paralysis), SPP (sporadic periodic paralysis), atau intoksikasi barium. Pada peningkatan
ekskresi kalium urin yang disertai kelainan asam basa, perlu dilihat jenis kelainan asam basa
yang terjadi. Jika asidosis metabolik, perlu diukur ekskresi NH4+ di urin. Asidosis metabolik
dengan peningkatan ekskresi NH4+ dapat dijumpai pada penggunaan toluen dan diare berat,
sedangkan asidosis metabolik dengan ekskresi NH4+ rendah dijumpai pada renal tubular
acidosis (RTA). Jika kelainan asam basa yang terjadi adalah alkalosis metabolik, dilakukan
pengukuran tekanan darah. Jika tekanan darah normal, kelainan yang mendasari adalah
sindrom Bartter, sindrom Gitelman, efek diuretik, dan vomitus. Jika tekanan darah tinggi,
dipikirkan hipokalemia karena kelebihan mineralokortikoid.

18
Pencetus

Serangan PPH dapat ditimbulkan oleh asupan tinggi karbohidrat, insulin, stres emosional,
pemakaian obat tertentu (seperti amfoterisin-B, adrenalin, relaksan otot, beta-bloker,
tranquilizer, analgesik, antihistamin, antiasma puf aerosol, dan obat anestesi lokal. Diet
tinggi karbohidrat dijumpai pada makanan atau minuman manis, seperti permen, kue, soft
drinks, dan jus buah. Makanan tinggi karbohidrat dapat diproses dengan cepat oleh tubuh,
menyebabkan peningkatan cepat kadar gula darah. Insulin akan memasukkan glukosa darah
ke dalam sel bersamaan dengan masuknya kalium sehingga menyebabkan turunnya kadar
kalium plasma. Pencetus lainnya adalah aktivitas fisik, tidur, dan cuaca dingin atau panas.

19
PERTANYAAN KASUS

2. Bagaimana penatalaksaan pada pasien ini ?


 IVFD RL 20 tts / menit

 Koreksi KCL 25 mEq/ kolf. 12 jam


Efek samping : menyebabkan mual dan muntah (gejala yang berat dapat merupakan
tanda obstruksi) sehingga rendahnya kepatuhan pengobatan merupakan kendala utama
efektifitas obat; jika memungkinkan penggunaan diuretik hemat kalium;lebih dianjurkan
(lihat juga diatas). Efek samping yang lain berupa ulserasi pada oesophagus dan usus
kecil. Efek samping yang jarang terjadi skin rash

 Cefotaxime 2 x 1gr (IV)


Indikasi : infeksi bakteri gram positif pada saluran nafas bawah, saluran kemih,
ginekologi, kulit, tulang, dan rawan sendi, bakterimia dan septikemia

 Mecobalamin 2 x 1 (IV)
Indikasi : neuropati perifer
Efek samping : mual, penurunan nafsu makan, diare dan gejala lain karena pengaruh
gangguan gastrointestinal, kemerahan pada kulit, dan sakit kepala

 Ketorolac 2 x 1 (IV)
Indikasi : penatalaksaan nyeri akut sedang s.d berat dalam jangka pendek (< 5 hari)
Efek samping : mual, muntah, diare, dispepsia, konstipasi, pusing, sakit kepala, ulkus
peptik, pendarahan, perforasi, ruam kulit, gangguan fungsi ginjal dan hati, nyeri
abdomen, konvusi ringan, vertigo, udem, insomnia, trombositopenia, bronkospasme,
anafilaksis.

 KSR 3 X 1 Tablet (PO)


Indikasi : pencegahan hipokalemia spesifik
Efek samping : mual, muntah, sakit pinggang, dan diare

20
PEMBAHASAN KASUS
Penatalaksanaan

Terapi PPHF biasanya simtomatik, bertujuan menghilangkan gejala kelemahan otot yang
disebabkan hipokalemia. Terapi PPHF mencakup pemberian kalium oral, modifikasi diet dan
gaya hidup untuk menghindari pencetus, serta farmakoterapi.

Di beberapa literatur, disarankan pemberian kalium oral dengan dosis 0,25 mEq/kg
seharusnya diberikan setiap 30 menit sampai kelemahan improves. Kalium klorida (KCl)
adalah preparat pilihan untuk sediaan oral. Suplementasi kalium harus diberikan hati-hati
karena hiperkalemia akan timbul saat proses redistribusi trans-selular kalium berhenti.
Kalium Klorida IV 0,05-0,1 mEq/kgBB dalam manitol 5% bolus lebih baik sebagai lanjutan
infus

Pada kasus paralisis hipokalemik berat atau dengan manifestasi perubahan EKG, harus
diberikan kalium intravena (IV) 0,5 mEq/kg selama 1 jam, infus kontinu, dengan pemantauan
ketat. Pasien yang memiliki penyakit jantung atau dalam terapi digoksin juga harus diberi
terapi kalium IV dengan dosis lebih besar (1 mEq/kg berat badan) karena memiliki risiko
aritmia lebih tinggi. IV 0,05-0,1 mEq/kgBB

Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam pemberian kalium ialah kadar kalium plasma,
gejala klinis, fungsi ginjal, dan toleransi pasien. Suplementasi kalium dibatasi jika fungsi
ginjal terganggu. Pemberian oral lebih aman karena risiko hiperkalemia lebih kecil.

Pemberian asetazolamid, inhibitor anhidrase karbonat, dengan dosis 125-250 mg 2-3 kali
terbukti cukup efektif mengatasi serangan, mengurangi frekuensi serangan, dan mengurangi
derajat keparahan. Mekanisme kerja asetazolamid sampai saat ini masih belum jelas, tetapi
penelitian terakhir mengungkap bahwa obat ini bekerja dengan menstimulasi langsung
calcium activated K channels sehingga kelemahan otot berkurang.

Spironolakton, dengan dosis 100-200 mg/hari terbukti efektif. Sebuah penelitian acak
terkontrol pada tahun 2000 menunjukkan bahwa diklorfenamid dosis 50-200 mg/hari
terbukti efektif menurunkan serangan dibandingkan plasebo. Triamteren bermanfaat karena
dapat meningkatkan ekskresi natrium dan menahan kalium di tubulus ginjal. Di beberapa
negara, ef ervescent kalium sitrat adalah sediaan yang paling efektif dan ditoleransi dengan
baik oleh saluran cerna.

Terapi gen sebagai terapi definitif untuk PPHF saat ini belum ada.

Alat yang dapat dipakai untuk pemantauan mandiri adalah Cardy Potassium Ion
Meter,sebuah alat pengukur kadar kalium saliva. Kadar kalium saliva mencerminkan kadar
kalium plasma. Pemantauan mandiri ini bermanfaat untuk deteksi perpindahan (shift) kalium,
identii kasi faktor pencetus, penyesuaian gaya hidup atau diet, penyesuaian dosis kalium,
dan dapat mengurangi risiko timbulnya kelemahan otot.

21
PERTANYAAN KASUS

3. Bagaimana prognosis pada pasien ini ?


Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : ad bonam
Quo ad sanationam : ad bonam

PEMBAHASAN KASUS

Paralisis periodik hipokalemik familial biasanya berespons baik terhadap terapi. Terapi dapat
mencegah kelemahan otot lebih lanjut. Serangan terus-menerus dapat menyebabkan
kelemahan otot permanen, tetapi jarang dijumpai. Komplikasi akut meliputi aritmia jantung,
kesulitan bernapas, bicara, dan menelan, serta kelemahan otot progresif. Komplikasi
hipokalemia kronis berupa kerusakan ginjal, batu ginjal, nefritis interstisial, dan kista ginjal.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Ahlawat SK, Sachdev A. Classic diseases revisited: hypokalaemic paralysis. Postgrad


Med J 1999;75:193-7.
2. Anonim. Hipokalemic periodic paralisys. Available from
http://emedicine.medscape.com/article/1171678-overview diakses tanggal 7 maret 2015.
3. Moxley RT, Tawil R, Thornton CA. Channelopathies: myotonic disorders and periodic
paralysis. Dalam: Swaiman KF, Ashwal S, penyunting. Pediatric Neurology. Edisi ke-3.
St Louis: Mosby;1999.h.1299-1310.
4. Nand B, Vohra SK. Hypokalemic periodic paralysis: an usual cause. Diunduh dari :
http://www.turner-white.com/pdf/hp_jan03_unusual.pdf. Diakses tanggal 7 Januari 2006.
5. Pardede S, Fahriani Reni. Paralisis periodik hipokalemik familial. 2012. Available from
http://www.kalbemed.com/Portals/6/198_CMEParalisis%20Periodik%20Hipokalemik%20Familia
l.pdf diakses tanggal 7 maret 2015.
6. Phakdeekitcharoen B, Ruangraksa C, Radinahamed P. Hypokalaemia and paralysis in the
Thai population. Nephrol Dial Transplant 2004 19:20 13-8.
7. Price S A, Wilson L M. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi VI. Jilid II
Penerbit Buku Kedokteran Jakarta; EGC, 2004.
8. Scott, M.G., Heusel, J.W., Leig, V.A., Anderson, O.S., 2001, Electrolytes and Blood
Gases. In Burtis CA, Ashwood ER. 5th eds. Tietz Fundamentals of Clinical Chemistry.
Philadelphia: WB Saunders 494-517.
9. Sudoyo A. W, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata K. M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid I, Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2006
10. Touru, O., Keita, K., 1999, Hypokalaemic periodic paralysis associated with
Hypophosphatemia in Patient with Hyperinsulinemia. American journal of Medical
Sciences, 69: 318 (1) (abstract)

23

Anda mungkin juga menyukai