Anda di halaman 1dari 22

Referat

Sindrom Dispepsia Pada Anak

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
Pada Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unsyiah/RSUD dr. Zainoel Abidin
Banda Aceh

Disusun oleh:

Salwa Nabila
2007501010133

Pembimbing:
Dr.dr.Sulaiman Yusuf, Sp.A (K)

BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
RSUD Dr. ZAINOEL ABIDIN
BANDA ACEH
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt yang telah menciptakan manusia
dengan akal dan budi, kehidupan yang patut penulis syukuri, keluarga yang mencintai dan
teman-teman yang penuh semangat, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat
menyelesaikan tugas presentasi referat ini. Shalawat beriring salam penulis sampaikan
kepada nabi besar Muhammad Saw, atas semangat perjuangan dan panutan bagi ummatnya.

Tugas presentasi referat ini berjudul “Sindrom Dispepsia Pada Anak” diajukan
sebagai salah satu tugas dalam menjalani kepaniteraan klinik senior Universitas Syiah Kuala
BLUD RSUD dr. Zainoel Abidin – Banda Aceh. Penulis mengucapkan terimakasih dan
penghargaan yang setinggi tingginya kepada Dr. dr. Sulaiman Yusuf, Sp.A (K) yang telah
meluangkan waktunya untuk memberi arahan dan bimbingan dalam menyelesaikan tugas ini.

Dengan kerendahan hati, penulis menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari
kesempurnaan. Saran dan kritik dari dosen pembimbing dan teman-teman akan penulis terima
dengan tangan terbuka, semoga dapat menjadi bahan pembelajaran dan bekal di masa
mendatang.

Banda Aceh, 31 Oktober 2021

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................2
DAFTAR ISI..............................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................................................6
2.1 Definisi........................................................................................................................6
2.2 Etiologi........................................................................................................................6
2.3 Patofisiologi.................................................................................................................7
2.4 Klasifikasi....................................................................................................................9
2.5 Manifestasi Klinis......................................................................................................12
2.6 Penegakan Diagnosis.................................................................................................13
2.7 Diagnosis Banding.....................................................................................................15
2.8 Tatalaksana................................................................................................................15
2.8.1. Tatalaksana Non Farmakologis..........................................................................16
2.8.2. Tatalaksana Farmakologis..................................................................................16
2.9 Prognosis...................................................................................................................19
BAB III KESIMPULAN..........................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................21

3
BAB I
PENDAHULUAN

Dispepsia berasal dari bahasa Yunani, yaitu dys- (buruk) dan –peptein (pencernaan).
Sindroma dispepsia adalah kumpulan beberapa gejala klinis yang terdiri dari rasa sakit perut
pada saluran cerna bagian atas, keluhan rasa panas di dada, perut kembung, cepat kenyang,
mual dan muntah.(1)(2) Keluhan dispepsia dapat disebabkan karena berbagai penyakit, salah
satunya penyakit pada saluran cerna yaitu gastritis yang sudah kronis. Gastritis kronis
merupakan peradangan permukaan mukosa lambung yang bersifat menahun dan lama. (3)
Gejala awal pada gastritis yang memicu sindrom dispepsia berkaitan dengan ketidakteraturan
pada pola makan dan jeda antara jadwal makan yang lama. Ketidakteraturan pola makan
sangat dipengaruhi oleh aktivitas dan kegiatan yang padat, keinginan untuk mempunyai
bentuk tubuh ideal, dan melemahnya pengawasan dalam mengatur pola makan.(3)
Dispepsia merupakan salah satu masalah kesehatan yang sering ditemui dalam
praktek dokter sehari-hari. Diperkirakan kasus dispepsia hampir 30% pada praktek umum dan
60% pada praktek gastroenterologist. Di Eropa dan Amerika Utara prevalensi dispepsia
mencapai 50%, sedangkan Amerika Serikat 32%, Scandinavia 14,5%, India 30,4%, dan
Singapura 8%. Di daerah Asia Pasifik dispepsia merupakan keluhan yang sering dijumpai,
dengan angka prevalensi sekitar 10%-20%. Di Indonesia, angka ini mencapai 58,1% pada
tahun 2010. Dispepsia merupakan kondisi umum ditemui pada anak-anak dimana 60-80%
kasus nyeri perut berulang pada anak termasuk remaja disebabkan oleh dispepsia. Beberapa
studi, perempuan diketahui memiliki kecenderungan mengalami dispepsia.(2)
Mayoritas pasien Asia dengan dispepsia yang belum diinvestigasi dan tanpa tanda
bahaya merupakan dispepsia fungsional. Berdasarkan hasil penelitian di negara-negara Asia
(Cina, Hong Kong, Indonesia, Korea, Malaysia, Singapura, Taiwan, Thailand, dan Vietnam)
didapatkan 43-79,5% pasien dengan dispepsia adalah dispepsia fungsional. Dari hasil
endoskopi yang dilakukan pada 550 pasien dispepsia dalam beberapa senter di Indonesia
pada Januari 2003 sampai April 2004, didapatkan 44,7 % kasus kelainan minimal pada
gastritis dan duodenitis; 6,5% kasus dengan ulkus gaster; dan normal pada 8,2% kasus.
Prevalensi infeksi H.Pylori pada pasien dispepsia yang menjalani pemeriksaan endoskopik di
berbagai rumah sakit pendidikan kedokteran di Indonesia (2003-2004) ditemukan sebesar
10.2%. Prevalensi yang cukup tinggi ditemui di Makasar tahun 2011 (55%), Solo tahun 2008

4
(51,8%), Yogyakarta (30.6%) dan Surabaya tahun 2013 (23,5%), serta prevalensi terendah di
Jakarta (8%).(9)
Sebuah penelitian menyatakan bahwa dispepsia erat kaitannya dengan kejadian
dispepsia "non-ulkus" atau "fungsional" (73%), esofagitis erosif (13,4%), tukak lambung
(8%) dan kanker lambung (0,4 %).(4)
Menurut American Academy of Pediatrics and North American Society for Pediatric
Gastroenterology, Hepatology and Nutrition, nyeri perut kronis digambarkan sebagai gejala
yang berlangsung, terus-menerus atau sebentar-sebentar, setidaknya selama dua bulan dan
dapat bersifat fungsional atau organik. etiologi; itu juga didefinisikan, nyeri berulang yang
membutuhkan minimal tiga episode nyeri dalam jangka waktu tiga bulan atau lebih. Sebuah
penelitian meta-analisis baru-baru yang mengumpulkan data dari sekitar 200.000 anak di
seluruh dunia memperkirakan prevalensi agregat global untuk gangguan ini pada 13,5% dari
populasi pediatrik global. Berdasarkan kriteria Roma IV, 24,7% bayi dan balita usia 0-3
tahun dan 25% anak dan remaja usia 4-18 tahun memenuhi kriteria berdasarkan gejala untuk
gangguan gastrointestinal fungsional.(5)
Dispepsia dibagi menjadi dua jenis yaitu dispepsia fungsional dan dispepsia organik.
Prevalensi Dispepsia fungsional telah diperkirakan berkisar dari <2% hingga 57% pada
populasi umum di seluruh dunia. Meskipun dispepsia fungsional jarang berakibat fatal, itu
adalah terkait dengan penurunan yang signifikan dalam kualitas kehidupan, memiliki dampak
negatif yang signifikan terhadap efisiensi kerja dan meningkatkan biaya medis untuk pasien
dan masyarakat. Sebagian besar penelitian menyatakan bahwa kejadian dispepsia fungsional
ini berhubungan dengan kebiasaan dan pola makan(6) Sedangkan untuk dispepsia organik
sendiri adalah kumpulan gejala klinis yang mengacu pada rasa tidak nyaman pada saluran
cerna bagian yang disebabkan oleh suatu kelainan organik yang diketahui pasti setelah pasien
menjalani endoskopi gastrointestinal bagian atas. Klasifikasi dari dispepsia organik adalah
tukak pada saluran cerna atas, gastritis, gastro-esophageal reflux disease (GERD), karsinoma,
pakreatitis, dispepsia dan sindrom malabsorbs, gangguan metabolisme, dispepsia akibat
infeksi bakteri Helicobakter Pylori (HP) dan keadaan klinis lainnya.(7)

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Dispepsia berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari dua kata yaitu “dys” yang
berarti buruk dan “peptei” yang berarti pencernaan. Jadi dispepsia berarti pencernaan yang
buruk. Adanya perubahan pada gaya hidup dan perubahan pada pola makan masih menjadi
salah satu penyebab tersering terjadinya gangguan pencernaan, termasuk dispepsia.(8)
Dispepsia merupakan istilah yang digunakan dalam suatu sindrom atau kumpulan
gejala atau keluhan yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di epigastrium, mual,
muntah, kembung, cepat kenyang, rasa penuh, sendawa, regurgitas, dan rasa panas yang
menjalar di dada. Keluhan ini tidak selalu ada pada setiap penderita. Setiap penderita
keluhannya dapat berganti atau bervariasi, baik dari segi jenis keluhan maupun kualitas
keluhan. Dispepsia bukanlah suatu penyakit, melainkan merupakan kumpulan gejala ataupun
keluhan yang harus dicari penyebabnya. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya
ketidakseimbangan proses metabolisme yang mengacu pada semua reaksi biokimia tubuh
termasuk kebutuhan akan nutrisi.(3)

2.2 Etiologi
Dispepsia adalah suatu penyakit dengan penyebab multifaktorial, artinya banyak faktor
yang saling berinteraksi sehingga dapat menimbulkan manifestasi klinis pada sindrom
dispepsia. Faktor yang dimaksudkan antara lain adalah faktor biologi/fisiologi, misalnya
terdapat inflamasi pada struktur organ saluran pencernaan, kelainan fungsinal atau mekanik,
adanya hipersensitivitas mukosa lambung dan lain-lain. Selain itu ada faktor psikologis yang
bisa saja berperan, antara lain apabila individu tersebut mengalami ansietas, depresi atau
gangguan somatisasi lainnya. Faktor sosial atau kebiasaan juga berpengaruh misalnya adanya
masalah pada hubungan antara teman, orang tua atau guru, pola makan yang tidak teratur
sehingga memicu timbulnya masalah lambung dan pencernaannya menjadi terganggu.
Ketidakteraturan ini berhubungan dengan waktu makan, seperti berada dalam kondisi terlalu
lapar namun kadang-kadang terlalu kenyang. Selain itu kondisi faktor lainnya yang memicu
produksi asam lambung berlebihan, diantaranya beberapa zat kimia, seperti alcohol,
umumnya obat penahan nyeri, asam cuka, makanan dan minuman yang bersifat asam,
makanan yang pedas serta bumbu yang merangsang.(8)

6
2.3 Patofisiologi
Patofisiologi dispepsia hingga kini masih belum sepenuhnya jelas dan penelitian-
penelitian masih terus dilakukan terhadap faktor-faktor yang dicurigai memiliki peranan
bermakna, seperti Abnormalitas fungsi motorik lambung (khususnya keterlambatan
pengosongan lambung, hipomotilitas antrum, hubungan antara volume lambung saat puasa
yang rendah dengan pengosongan lambung yang lebih cepat, serta gastric compliance yang
lebih rendah), infeksi Helicobacter pylori dan faktor-faktor psikososial, khususnya terkait
dengan gangguan cemas dan depresi. (8)

a) Sekresi lambung
Peningkatan sensitivitas mukosa lambung dapat terjadi akibat pola
makan yang tidak teratur. Pola makan yang tidak teratur akan membuat
lambung sulit untuk beradaptasi dalam pengeluaran sekresi asam lambung.
Jika hal ini berlangsung dalam waktu yang lama, produksi asam lambung akan
berlebihan sehingga dapat mengiritasi dinding mukosa pada lambung(8)(9)
b) Dismotilitas Gastrointestinal
Berbagai studi melaporkan bahwa pada dispepsia fungsional terjadi
perlambatan pengosongan lambung, adanya hipomotilitas antrum (sampai
50% kasus), gangguan akomodasi lambung saat makan, dan hipersensitivitas
gaster. Salah satu dari keadaan ini dapat ditemukan pada setengah atau dua
pertiga kasus dispepsia fungsional. Perlambatan pengosongan lambung terjadi
pada 25-80% kasus dispepsia fungsional dengan keluhan seperti mual,
muntah, dan rasa penuh di ulu hati. (8)(9)
Kelainan motilitas dapat disebabkan karena adanya : (a) penurunan
motilitas lambung distal (hipomotilitas antral) dan keterlambatan pengosongan
lambung; (b) Gangguan penurunan tonus lambung (gangguan akomodasi
lambung) sebagai respons terhadap makanan yang dapat menyebabkan
penurunan kemampuan perut untuk mengembang dan memungkinkan
konsumsi makanan besar.(10)
c) Abnormalitas sensorik viseral
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa pasien dengan
dispepsia fungsional secara signifikan lebih sensitif terhadap distensi lambung
(oleh balon intragastrik) dibandingkan dengan individu yang sehat. Selain itu,
pasien dengan dispepsia fungsional telah mengurangi respon motorik

7
duodenum dan lebih sensitif terhadap infus asam intraduodenal. Menariknya,
hipersensitivitas terhadap distensi mekanis ditemukan berkorelasi dengan
gejala nyeri, sendawa dan penurunan berat badan, sedangkan asam
intraduodenal lebih berkorelasi dengan mual. Mirip dengan temuan motilitas
lambung abnormal yang dilaporkan, temuan kelainan sensorik lambung dan
duodenum hanya ditemukan pada sebagian pasien dengan dispepsia fungsional
dan oleh karena itu tidak dapat dianggap sebagai temuan universal.
Selanjutnya, mekanisme patofisiologi yang mendasari hipersensitivitas viseral
tidak sepenuhnya dipahami, terutama yang berkaitan dengan kepentingan
relatif dan kontribusi faktor fisiologis gastrointestinal internal (misalnya,
lambung dan duodenum), perifer eksternal (misalnya, disfungsi vagal), dan
sistem saraf pusat. (CNS) pemrosesan informasi sensorik gastroinstestinal
yang akan datang. (8)(9)(10)
d) Infeksi Helicobacter pylori
Peran infeksi Helicobacter pylori pada dispepsia fungsional belum
sepenuhnya dimengerti dan diterima. Kekerapan infeksi H.pylori terdapat
sekitar 50% pada dispepsia fungsional dan tidak berbeda pada kelompok orang
sehat. Mulai terdapat kecenderungan untuk melakukan eradikasi H.pylori pada
dispepsia fungsional dengan H.pylori positif yang gagal dengan pengobatan
konservatif baku.(8)(9)
e) Faktor psikologis
Tidak ada profil psikologis atau kepribadian yang unik yang ditemukan
pada pasien dengan dispepsia fungsional. Namun, studi epidemiologi telah
menunjukkan bahwa kecemasan, neurotisisme, somatisasi, dan depresi lebih
sering terjadi pada pasien dengan dispepsia fungsional dibandingkan dengan
kontrol yang sehat. Gejala perilaku perhatian dan perubahan dalam perilaku
penyakit dan gaya koping juga telah diamati. Selain itu, beberapa penelitian
telah menunjukkan kemungkinan hubungan antara faktor psikologis dan
perubahan fisiologi usus. Studi lain, termasuk beberapa dari kelompok kami di
UNC, telah menyarankan bahwa gejala GI atas fungsional mungkin memiliki
hubungan yang lebih besar dengan faktor psikologis dibandingkan dengan
kelainan pada fisiologi GI. Contohnya adalah gejala esofagus fungsional
dengan kecemasan dan mual dengan depresi dan kecemasan. (8)(9)(10)

8
2.4 Klasifikasi
Klasifikasi dispepsia secara umum terbagi menjadi dua yaitu dispepsia fungsional dan
dispepsia organik.(7)
a) Dispepsia fungsional
Dispepsia fungsional adalah sindrom gangguan gastrointestinal (GI) yang
ditandai dengan gejala seperti sakit perut, rasa terbakar di epigastrium, rasa penuh
setelah makan atau perit terasa cepat kenyang, mual, muntah yang menunjukkan
perubahan sensitivitas syaraf di sekeliling abdomen dan kontraksi otot yang tidak
terkoordinasi di dalam perut. Penyebab ini secara umum tidak sama walaupun
beberapa kasus berhubungan dengan stress, kecemasan, infeksi, obat-obatan dan ada
beberapa berhubungan dengan IBS (irritable bowel syndrome)
Dispepsia fungsional terbagi atas tiga jenis yaitu :(6)
 Dispepsia tipe seperti ulkus (dyspepsia tipe like ulcer), dimana gejala
dominan adalah nyeri epigastrium.
 Dispepsia tipe seperti dismotilitas (dysmotility like), dimana gejala dominan
adalah keluhan kembung, mual, muntah, rasa penuh dan cepat kenyang.
 Dispepsia tipe non spesifik, dimana pada tipe ini tidak ada gejala dominan.

Dispepsia fungsional juga disebut dispepsia non organic atau dispepsia non ulkus,
dimana dispepsia ini dapat ditegakkan bila tidak terdapat kelainan pada saluran pencernaan
setelah dilakukan pemeriksaan endoskopi.

Kriteria Rome III menetapkan dispepsia fungsional dibagi menjadi 2 kelompok yaitu :(11)
 Postprandial distress syndrome
Gejala yang dirasakan pada tahap ini yaitu : (1) Rasa penuh setelah makan
yang mengganggu, terjadi setelah makan dengan porsi biasa, sedikitnya terjadi
beberapa kali seminggu. (2) Perasaan cepat kenyang yang membuat tidak mampu
menghabiskan porsi makan biasa, sedikitnya terjadi beberapa kali seminggu. Kriteria
penunjang sindrom dispepsia jenis ini adalah adanya rasa kembung di daerah perut
bagian atas atau mual setelah makan atau bersendawa yang berlebihan dan dapat
timbul bersamaan dengan sindrom nyeri epigastrum. (11)
 Epigastric pain syndrome
Gejala yang dirasakan pada tahap ini yaitu : (1) Nyeri atau rasa terbakar yang
terlokalisasi di daerah epigastrum dengan tingkat keparahan moderat/sedang, paling

9
sedikit terjadi sekali dalam seminggu. (2) Nyeri timbul berulang. (3) Tidak menjalar
atau terlokalisai di daerah perut atau dada selain daerah perut bagian atas/epigastrum.
(4) Tidak berkurang dengan BAB atau buang angin. (5) Gejala-gejala yang ada tidak
memenuhi kriteria diagnosis kelainan kandung empedu dan sfinger oddi. (11)

b) Dispepsia organik
Dispepsia organik adalah kumpulan gejala klinis yang mengacu pada rasa
tidak nyaman pada saluran cerna bagian yang disebabkan oleh suatu kelainan organik
yang diketahui pasti setelah pasien menjalani endoskopi gastrointestinal bagian atas
muncul dikarenakan suatu penyebab kelainan pada saluran pencernaan setelah
dilakukan pemeriksaan endoskopi. Klasifikasi dari dispepsia organik adalah tukak
pada saluran cerna atas, gastritis, gastro-esophageal reflux disease (GERD),
karsinoma, pakreatitis, dispepsia dan sindrom malabsorbs, gangguan metabolisme,
dispepsia akibat infeksi bakteri Helicobakter Pylori (HP).(7)(9)

Berikut adalah klasifikasi dari dispepsia organik :(1)


 Tukak Pada Saluran Cerna Atas
Tukak dapat ditemukan pada saluran cerna bagian atas yaitu pada mukosa,
submukosa dan lapisan muskularis, pada distal esophagus, lambung dan duodenum.
Keluhan yang sering terjadi adalah nyeri epigastrum. Nyeri yang dirasakan yaitu nyeri
tajam dan menyayat atau tertekan, penuh atau terasa perih seperti orang lapar. Nyeri
epigastrum terjadi 30 menit sesudah makan dan dapat menjalar ke punggung. Nyeri
dapat berkurang atau hilang sementara sesudah makan atau setelah minum antasida.
Gejala lain seperti mual, muntah, kembung, bersendawa dan kurang nafsu makan. (1)
 Gastritis
Gastritis adalah peradangan/inflamasi pada lapisan mukosa dan submukosa
lambung. Penyebabnya oleh makanan atau obat-obatan yang mengiritasi mukosa
lambung dan adanya pengeluaran asam lambung yang berlebihan. Gejala yang timbul
seperti mual, muntah, nyeri epigastrum, nafsu makan menurun dan kadang terjadi
perdarahan.(1)
 Gastro-Esophageal Reflux Disease (GERD)
Gastro-Esophageal Reflux Disease (GERD) adalah kelainan yang
menyebabkan cairan lambung mengalami refluks (mengalir balik) ke kerongkongan
dan menimbulkan gejala khas berupa rasa panas terbakar di dada (hearthburn), kadang

10
disertai rasa nyeri serta gejala lain seperti rasa panas dan pahit di lidah, serta kesulitan
menelan. Belum ada tes standar untuk mendiagnosa GERD, kejadiannya diperkirakan
dari gejala-gejala penyakit lain atau dari ditemukannya radang pada esofagus seperti
esofagitis(12)
 Karsinoma
Karsinoma pada saluran pencernaan (esofagus, lambung, pankreas, kolon)
sering menimbulkan dispepsia. Keluhan utama yaitu rasa nyeri di perut, bertambah
dengan nafsu makan turun, timbul anoreksia yang menyebabkan berat badan turun(1)
 Pankreatitis
Gambaran yang khas dari pankreatitis akut ialah rasa nyeri hebat di
epigastrum. Nyeri timbul mendadak dan terus menerus, seperti ditusuk-tusuk dan
terbakar. Rasa nyeri dimulai dari epigastrum kemudian menjalar ke punggung.
Perasaan nyeri menjalar ke seluruh perut dan terasa tegang beberapa jam kemudian.
Perut yang tegang menyebabkan mual dan kadang-kadang muntah. Rasa nyeri di
perut bagian atas juga terjadi pada penderita pankreatitis kronik. Nyeri yang timbul
seperti ditusuk-tusuk, menjalar ke punggung, mual dan muntah hilang dan timbul.
Pada pankreatitis kronik tidak ada keluhan rasa pedih, melainkan disertai tanda-tanda
diabetes melitus. (1)
 Dispepsia pada Sindrom Malabsorbs
Malabsorpsi adalah suatu keadaan terdapatnya gangguan proses absorbsi dan
digesti secara normal pada satu atau lebih zat gizi. Penderita ini mengalami keluhan
rasa nyeri perut, nausea, anoreksia, sering flatus, kembung dan timbulnya diare
berlendir. (1)
 Gangguan Metabolisme
Diabetes Mellitus (DM) dapat menyebabkan gastroparesis yang hebat
sehingga muncul keluhan rasa penuh setelah makan, cepat kenyang, mual dan
muntah. Definisi gastroparesis yaitu ketidakmampuan lambung untuk mengosongkan
ruangan. Ini terjadi bila makanan berbentuk padat tertahan di lambung. Gangguan
metabolik lain seperti hipertiroid yang menimbulkan nyeri perut dan vomitus. (1)
 Infeksi bakteri Helicobacter pylori
Penemuan bakteri ini dilakukan oleh dua dokter peraih Nobel dari Australia,
Barry Marshall dan Robin Warre yang menemukan adanya bakteri yang bisa hidup
dalam lambung manusia. Penemuan ini mengubah cara pandang ahli dalam

11
mengobati penyakit lambung. Penemuan ini membuktikan bahwa infeksi yang
disebabkan oleh Helicobacter pylori pada lambung dapat menyebabkan peradangan
mukosa lambung yang disebut gastritis. Proses ini berlanjut sampai terjadi ulkus atau
tukak bahkan dapat menjadi kanker. (1)

2.5 Manifestasi Klinis


Sindroma dispepsia adalah kumpulan gejala klinis rasa tidak nyaman pada perut.
Gejala-gejala tersebut antara lain nyeri epigastrium dan rasa terbakar (60-70%), rasa
kembung setelah makan (80%), cepat kenyang (60-70%), distensi di regio epigastrium (80%),
mual (60%), dan muntah (40%).(13) Berikut akan dijelaskan beberapa gejala klinis yang paling
sering muncul pada anak, yaitu : (1)
a. Nyeri Perut
Perkembangan nyeri perut fungsional kemungkinan multifaktorial.
Tampaknya ada sensitisasi pada kisaran sensasi fisiologis normal, yang
mengakibatkan hiperalgesia viseral. Misalnya, sensasi seperti kembung atau gangguan
pencernaan dapat menghasilkan rasa sakit di luar apa yang biasanya dialami oleh
individu tersebut. Dalam beberapa kasus, peristiwa sensitisasi awal, seperti infeksi,
alergi, perubahan mikrobioma usus, atau gangguan motilitas terjadi terlebih dahulu
dan kemudian berkembang menjadi hipersensitivitas. Faktor psikososial seperti stres
atau komorbiditas kecemasan dan depresi juga terkait dengan perkembangan
hipersensitivitas. (1)(14)
Beberapa penelitian menemukan perbedaan pada mukosa lambung atau usus
pada anak yang didiagnosis dengan nyeri perut fungsional jika dibandingkan dengan
mereka yang tidak mengalami nyeri. Sebagai contoh, beberapa penelitian kecil telah
mengidentifikasi peradangan atau eosinofilia pada anak-anak dengan nyeri perut
fungsional. Tidak jelas apakah atau bagaimana temuan ini terkait, atau apakah bagian
dari nyeri perut fungsional mungkin memiliki penyakit yang mendasarinya, atau jika
hipersensitivitas menghasilkan ketidaknyamanan lebih dari apa yang biasanya
dihasilkan oleh proses yang mendasarinya.(1)(14)
b. Muntah
Muntah adalah proses refleks yang sangat terkoordinasi yang mungkin
didahului dengan peningkatan air liur dan dimulai dengan muntah yang tidak
disengaja. Turunnya diafragma dan konstriksi otot-otot perut dengan relaksasi
lambung secara aktif memaksa isi lambung Kembali naik ke kerongkongan. Proses ini

12
dikoordinasikan di pusat muntah medula, yang dipengaruhi langsung oleh persarafan
aferen dan tidak langsung oleh zona pemicu kemoreseptor dan pusat yang lebih tinggi
pusat sistem saraf (SSP). Muntah yang disebabkan oleh obstruksi saluran GI mungkin
diperantarai oleh saraf aferen viseral usus yang merangsang pusat muntah.(1)

Gejala "flag red" seperti demam, memburuk secara tiba-tiba, usia muda, nyeri yang
menyebabkan bangun dari tidur, tinja berdarah, anemia, dan penurunan berat badan atau
gagal tumbuh. Tanda-tanda perut akut atau pembedahan harus segera dilakukan pemeriksaan;
ini mungkin berupa nyeri yang tiba-tiba, tidak adanya bising usus, penjagaan, nyeri tekan
yang timbul kembali, dan pasien yang tidak bergerak dalam keadaan tertekan yang jelas.(14)

2.6 Penegakan Diagnosis


Penegakan diagnosis pada sindrom dispepsia yaitu dimulai dengan anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Untuk penegakan arah diagnosis kita juga bisa menggunakan kriteria
Roma. Dimana saat ini kriteria Roma IV diperkenalkan sejak tahun 2016 sebagai pembaruan
dari kriteria Roma III.(6)(15) Kriteria diagnostik Roma IV untuk nyeri perut fungsional harus
dipenuhi setidaknya 2 bulan sebelum diagnosis, harus dipenuhi setidaknya 4 kali per bulan,
dan mencakup semua hal berikut: nyeri perut episodik atau terus menerus yang tidak terjadi
semata-mata selama peristiwa fisiologis seperti makan dan menstruasi; kriteria yang tidak
memadai untuk gangguan gastrointestinal fungsional lainnya termasuk sindrom iritasi usus
besar, dispepsia fungsional, atau migrain perut; dan setelah evaluasi yang tepat, nyeri perut
tidak dapat sepenuhnya dijelaskan oleh kondisi medis lain. Kegiatan ini meninjau evaluasi,
diagnosis, dan pengobatan nyeri perut fungsional dan membahas pentingnya pendekatan tim
interprofesional untuk manajemennya.(14)
Untuk mengetahui penyebab dari dispepsia dapat ditegakkan atas dasar pemeriksaan
Endoskopi. Pemeriksaan endoskopi gastrointestinal memungkinkan untuk melihat bagian
dalam traktus gastrointestinal. Pemeriksaan ini dapat menggunakan alat endoskopi yang kaku
(rigid) maupun yang fleksibel. Endoskopi yang fleksibel ada sejak sekitar tahun 1960-an dan
ditandai sebagai lahirnya endoskopi modern. Dengan adanya endoskopi fleksibel ini
menungkinkan untuk mendapatkan gambaran lebih jauh dibandingkan dengan yang kaku.
Pada tahun 1970-an diameter alat endoskopi yang kecil memungkinkan untuk melakukan
pemeriksaan endoskopi pada anak. (16)
Pemeriksaan endoskopi pada anak memerlukan keahlian tersendiri karena anak adalah
bukan miniatur orang dewasa. Saluran gastrointestinal anak lebih kecil, dan dibutuhkan
perhatian lebih pada persiapan dan sedasi yang dilakukan. Insiden beberapa kelainan
13
gastrointestinal pada anak berbeda dibandingkan dewasa, selain itu indikasi dilakukannya
endoskopi dan kolonoskopi juga berbeda. Pemeriksaan esophagoduodenoskopi dan
kolonoskopi memerlukan persiapan sebelum pemeriksaan esophagoduodenoskopi, pasien
setidaknya puasa dalam 6 jam. Sedangkan untuk pemeriksaan kolonoskopi diperlukan
persiapan untuk membersihkan usus agar tidak didapatkan kotoran saat pemeriksaan
dilakukan. Pasien sebaiknya masuk rumah sakit sehari sebelumnya.(16)
Menurut NAPSGHAN (North American Pediatric Society of Gastroenterology
Hepatology and Nutrition), indikasi untuk dilakukan pemeriksaan esophagoduodenoskopi
adalah disfagia, odinofagia, nyeri perut yang sangat menganggu dan ditandai dengan tanda-
tanda penyakit organik, penyakit gastroesophageal refl uks kronis dan termasuk untuk
skrining adanya Barret's esophagus, terminum bahan korosif, anemia yang tidak dapat
dijelaskan, dan sebagainya. Dengan pemeriksaan esophagoduodenoskopi, pada esophagus
dapat melihat adanya esophagitis yang ditandai dengan granularitas pada mukosa, juga dapat
pula dilihat adanya robekan pada mukosa (Mallory Weiss) akibat muntah yang sering. Pada
gaster dapat ditemukan adanya gastritis, adanya ulkus, infeksi Helicobacter pylori dapat pula
dilihat dengan adanya perubahan noduler pada mukosa gaster terutama pada daerah antrum.
Endoskopi dan biopsi merupakan pemeriksaan yang sangat berguna dalam melakukan
diagnosis dan tatalaksana penyakit Infl ammatory bowel disease yaitu Ulcerative colitis dan
penyakit Crohn.(16)
Hasil pemeriksaan endoskopi saluran cerna atas yang sering ditemukan dari kasus
dispepsia yaitu gastritis, dispepsia fungsional, gastritis erosif, dan duodenitis. (16) Lokasi
kelainan dispepsia sering ditemukan pada lambung diikuti duodenum. Hasil pemeriksaan
endoskopi dapat ditemukan normal walaupun terdapat gejala dispepsia. Hal ini dinamakan
dengan istilah dispepsia fungsional. Pemeriksaan lain untuk menegakkan diagnosis dispepsia
dapat berupa tes darah, pemeriksaan nafas, pemeriksaan feses, ultrasonografi abdomen dan
pemeriksaan pencitraan (X-ray atau CT scan).(1)
Tes untuk H pylori mencakup metode invasif dan non-invasif. Setiap metode
memiliki kelebihan dan keterbatasan. Pemilihan tes atau kombinasi tes tergantung pada
banyak faktor seperti konteks klinis, biaya pengujian, ketersediaan, dan sensitivitas dan
spesifisitasnya. Pemeriksaan baku emas untuk konfirmasi H.pylori adalah
esophagogastroduodenoscopy (EGD) dengan pemeriksaan histopatologi dari biopsi.(16)(17)
Metode pengujian lebih lanjut seperti pewarnaan imunohistokimia, uji urease cepat, kultur
bakteri dan, PCR meningkatkan hasil diagnostik EGD. EGD juga menawarkan keuntungan

14
evaluasi komplikasi jangka panjang yang terkait dengan H.pylori walaupun harga nya cukup
mahal.(17)
Metode non-invasif yang populer untuk tes H.Pylori antara lain tes napas urea (Urea
Breath Tes) atau UBT, tes antigen tinja H. pylori (Stool Antigen Test) atau SAT, dan tes
serologis. Diantara ketiga metode non-invasif tersebut, UBT adalah pengujian yang paling
akurat. UBT berguna baik untuk diagnosis awal H. pylori (strategi uji dan pengobatan) dan
juga dalam evaluasi status pasca pengobatan. Sedangkan SAT adalah pengujian yang paling
murah namun sedikit kurang akurat dibandingkan UBT. SAT juga mengharuskan pemeriksa
untuk mengumpulkan tinja yang mungkin kurang disukai oleg pasien. Tes Serologi IgG
H.Pylori juga tidak direkomendasikan karena tingkat prevelensi dibawah 30% yang
memungkinkan terbatasnya keakuratan dari diagnosis H.Pylori. Selain itu, IgG H.Pylori
bertahan untuk waktu yang tidak terbatas sehingga terdapat kesulitan untuk membedakan
infeksi masa lalu dari saat ini. Namun, untuk pengujian serologis H. pylori ini berguna
apabila prevelensi dari epidemiologi H.Pylori tersebut tinggi di suatu populasi.(17)

2.7 Diagnosis Banding


Diagnosis banding dispepsia meliputi gangguan pada asam lambung seperti penyakit
refluks gastroesofageal (GERD) dan penyakit ulkus peptikum, atau pada kondisi peradangan
lambung seperti gastritis Helicobacter pylori atau anti-inflamasi nonsteroid obat (NSAID)
terkait erosi atau gastropati; dan pada kondisi yang jarang seperti kanker atau tumor
misalnya, tumor lambung, kerongkongan atau pancreas.(10)
Diagnosis banding dari gejala nyeri perut antara lain : pielonefritis, hidronefrosis,
kolik ginjal, pneumonia pada lobus bawah, penyakit radang panggul, porfiria, angioedema,
endokarditis, migrain perut, demam mediterania familial, pelecehan seksual atau fisik, lupus
eritematosus sistemik, krisis sel sabit, peradangan diskus vertebral, abses psoas, osteomielitis
panggul atau myositis atau karena obat-obatan.(1)
Diagnosis dari gejala muntah dari dispepsia ini bisa mengarah ke beberapa penyakit,
antara lain: Kesalahan metabolisme bawaan, efek dari Obat-obatan seperti eritromisin,
kemoterapi, obat anti inflamasi nonsteroid, adanya peningkatan tekanan intracranial, Tumor
otak, Infeksi saluran kemih, Labirinitis, Insufisiensi adrenal, Kehamilan, Psikogenik, Migrain
perut, Racun, Penyakit ginjal.(1)

2.8 Tatalaksana
Penatalaksanaan dispesia mecakup tatalaksana non faramkologis dan tatalaksana
farmakologis.
15
2.8.1. Tatalaksana Non Farmakologis
Tatalaksana non farmakologis pada sindrom dispepsia adalah dengan
modifikasi gaya hidup seperti pengaturan pola makan dan pembatasan
konsumsi makanan atau pengaturan diet, antara lain sebagai berikut : (11)(12)
 Membatasi konsumsi makanan yang dapat menyebabkan terjadinya dispepsia
seperti mengkonsumsi makanan pedas, makanan asam, minuman kafein dan
alcohol
 Mengurangi kebiasaan merokok
 Menurunkan berat badan pada pasien overweight/obesitas
 Makan dalam porsi kecil tetapi sering frekuensinya dan dianjurkan untuk
makan 5-6 kali dalam sehari
 Menghindari penggunaan atau konsumsi anti nyeri seperti aspirin dan ibu
profen. Gunakan anti nyeri lain yang lebih aman bagi lambung seperti
parasetamol
 Mengontrol stres dan rasa cemas
 Meninggikan kepala saat tidur dan menghindari makan dalam jumlah besar
menjelang tidur.

2.8.2. Tatalaksana Farmakologis


Untuk pasien anak yang beranjak besar dan remaja, farmakoterapi yang
digunakan dikelompokkan sebagai berikut : (12)
 Proton pump inhibitors (PPI)
PPI menghambat sekresi asam dengan berikatan secara ireversibel dan
menghambat pompa hydrogen potassium ATPase yang terletak di permukaan
luminal membran sel parietal. Golongan obat PPI antara lain omeprazole,
lansoprazol, rabeprazole, pantoprazole, esomeprazole dan dexlansoprazole.
Omeprazole, esomeprazole, lansoprazole dan dexlansoprazole merupakan PPI
yang paling banyak diteliti penggunaannya pada anak. Dosis omeprazole
efektif untuk anak 0.3-3.5 mg/kg/hr (maksimal 80 mg/hr), lansoprazole 0.73-
1.6 mg/kg/hr (maksimal 30 mg/hr). Dimulai dengan dosis tunggal dan dapat
ditingkatkan menjadi dua kali sehari. Berikan 2 sampai 4 minggu untuk rasa
panas pada perut derajat sedang sampai berat, 4 sampai 8 minggu bila terdapat
bukti esofagitis. Bila esofagitis bersifat erosif (berat) pemberian PPI dapat
dilanjutkan selama 3 sampai 6 bulan diikuti oleh pemeriksaan endoskopi untuk

16
memantau penyembuhan. Penggunaan PPI jangka panjang dapat
meningkatkan risiko infeksi usus terutama Clostridium difficile, kelainan
metabolik dan nutrisi. Oleh karena itu pasien dengan PPI harus dipantau untuk
mendeteksi kelainan tersebut. Pengobatan dapat dihentikan setelah 6 bulan
dengan menurunkan dosis bertahap dan dapat diberikan secara periodik
setelahnya tergantung gejala.(12)
 Antagonis reseptor histamin tipe 2 (H2RA)
Antagonis reseptor histamin tipe 2 (H2RA) menghambat sekresi asam
dengan menghambat reseptor histamine H2 pada sel parietal. Simetidin,
ranitidine, famotidine dan nizatidin merupakan obat golongan H2RA.8 Puncak
onset kerja H2RA adalah 2.5 jam dengan lama kerja 4 sampai 10 jam sehingga
tidak cocok untuk penggunaan jangka panjang. Penggunaan H2RA jangka
panjang meningkatkan risiko infeksi usus terutama oleh C. difficile dan
community-acquired pneumonia.(12)
 Antasid
Antasid sesuai untuk mengatasi keluhan rasa nyeri ulu hati jangka
pendek pada anak besar, remaja atau dewasa dengan gejala jarang (kurang dari
1 kali seminggu). Antasid dapat mengatasi rasa nyeri pada ulu hati dalam
waktu 5 menit tetapi dengan masa kerja yang pendek yaitu 30-60 menit.
Antasid bekerja dengan menetralisir pH lambung sehingga mengurangi
paparan mukosa esofagus terhadap asam lambung selama episode refluks.
Antasid mengandung kombinasi magnesium, aluminium hidroksida dan
kalsium karbonat. Penggunaan antasid pada bayi dapat menyebabkan
meningkatnya kadar aluminium plasma sehingga menyebabkan osteopenia,
anemia mikrositik, dan neurotoksisitas sehingga penggunaannya hanya
terbatas pada anak besar dan remaja.(12)
 Surface agents
Surface agents bekerja dengan menciptakan pertahanan yang
menghalangi cedera pada mukosa yang diakibatkan oleh asam lambung.
Hanya dua yang telah dievaluasi sebagai terapi pada pasien GERD yaitu
sodium alginate dan sukralfat. Sukralfat (aluminium sucrose sulfat)
memberikan kesembuhan mukosa dan melindungi kerusakan selanjutnya
akibat asam lambung.(12)

17
Tata laksana dispepsia dimulai dengan usaha untuk identifikasi patofisiologi dan
faktor penyebabnya. Terapi dispepsia sudah dapat dimulai berdasarkan sindroma klinis yang
dominan apabila belum dilakukan pemeriksaan lanjutan. Pada dispepsia yang belum
diinvestigasi, strategi tatalaksana optimal pada fase ini adalah memberikan terapi empirik
selama 1-4 minggu sebelum hasil investigasi awal, yaitu pemeriksaan adanya Helicobacter
pylori . Untuk daerah atau etnis tertentu dan pada pasien dengan faktor risiko tinggi,
pemeriksaan Hp harus dilakukan lebih awal. Obat yang dipergunakan dapat berupa antasida,
antisekresi asam lambung (PPI misalnya omeprazole, rabeprazole dan lansoprazole dan/atau
H2-Receptor Antagonist [H2RA]), prokinetik, dan sitoprotektor (misalnya rebamipide), di
mana pilihan ditentukan berdasarkan dominasi keluhan dan riwayat pengobatan pasien
sebelumnya. (9)
Penelitian prospektif oleh Syam AF, dkk tahun 2010 menunjukkan bahwa terapi
eradikasi Hp dengan triple therapy (rabeprazole, amoksisilin, dan klaritromisin) selama 7 hari
lebih baik dari terapi selama 5 hari.(9)
Pasien-pasien dispepsia dengan tanda bahaya tidak diberikan terapi empirik,
melainkan harus dilakukan investigasi terlebih dahulu dengan endoskopi dengan atau tanpa
pemeriksaan histopatologi sebelum ditangani sebagai dispepsia fungsional. Apabila
ditemukan lesi mukosa (mucosal damage) sesuai hasil endoskopi, terapi dilakukan
berdasarkan kelainan yang ditemukan. Kelainan yang termasuk ke dalam kelompok dispepsia
organik antara lain gastritis, gastritis hemoragik, duodenitis, ulkus gaster, ulkus duodenum,
atau proses keganasan. Apabila setelah investigasi dilakukan tidak ditemukan kerusakan
mukosa, terapi dapat diberikan sesuai dengan gangguan fungsional yang ada.(9)
Pada pasien bayi dan anak kecil, farmakoterapi untuk menekan asam lambung
mempunyai sedikit peranan pada bayi karena tidak cukup valuable untuk menatalaksana bayi
dibawah usia 1 tahun dengan GERD tanpa komplikasi. Bila farmakoterapi menjadi pilihan
terapi maka penggunaan PPI lebih direkomendasikan dibandingkan dengan antagonis
reseptor histamine tipe 2 (H2RA). Bayi dan anak muda memetabolisme PPI lebih cepat
dibandingkan dewasa sehingga membutuhkan dosis yang lebih tinggi, dan diberikan 30 menit
sebelum makan.(12)
Apabila ditemukan lesi mukosa (mucosal damage) sesuai hasil endoskopi, terapi
dilakukan berdasarkan kelainan yang ditemukan. Kelainan yang termasuk ke dalam
kelompok dispepsia organik antara lain gastritis, gastritis hemoragik, duodenitis, ulkus gaster,
ulkus duodenum, atau proses keganasan. Pada ulkus peptikum (ulkus gaster dan/ atau ulkus

18
duodenum), obat yang diberikan antara lain kombinasi PPI, misal rabeprazole 2x20 mg/
lanzoprazole 2x30 mg dengan mukoprotektor, misalnya rebamipide 3x100 mg.(9)

2.9 Prognosis
Dispepsia yang segera tertangani dengan baik dan mendapatkan pemeriksaan yang
tepat, komprehensif dan akurat akan membantu pasien untuk mendapatkan prognosis yang
baik bila didukung oleh pasien yang juga melaksanakan terapi yang sesuai baik itu terapi non
farmakologi atau terapi farmakoterapi yang dianjurkan. Sebagian besar anak dan remaja
dengan dispepsia tidak memiliki penyakit yang serius dan akan mengalami perbaikan dari
waktu ke waktu.(18)

Penderita sindroma dispepsia selama bertahun-tahun yang tidak ditangani dengan baik
dapat memicu adanya komplikasi yang tidak ringan seperti perdarahan saluran pencernaan
bagian atas, kanker lambung, ulkus peptikum, dan lain-lain.(9)

19
BAB III
KESIMPULAN

Dispepsia merupakan istilah yang digunakan dalam suatu sindrom atau kumpulan
gejala atau keluhan yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di epigastrium, mual,
muntah, kembung, cepat kenyang, rasa penuh, sendawa, regurgitas, dan rasa panas yang
menjalar di dada. Dispepsia dibagi menjadi dua jenis yaitu dispepsia fungsional dan dispepsia
organik. Dispepsia fungsional terbagi atas 3 yaitu dispepsia tipe ulcer, tipe dimotiliti dan non
spesifik. Sedangkan klasifikasi dari dispepsia organik adalah tukak pada saluran cerna atas,
gastritis, gastro-esophageal reflux disease (GERD), karsinoma, pakreatitis, dispepsia dan
sindrom malabsorbs, gangguan metabolisme, dispepsia akibat infeksi bakteri Helicobakter
Pylori (HP).
Dispepsia pada anak umumnya disebabkan karena pola dan kebiasaan makan yang
tidak teratur sehingga memicu timbulnya masalah lambung dan pencernaannya menjadi
terganggu. Ketidakteraturan ini berhubungan dengan waktu makan, seperti berada dalam
kondisi terlalu lapar namun kadang-kadang terlalu kenyang. Namun mekanisme terjadinya
dispepsia pada anak juga dapat ditimbulkan karena adanya sekresi asam lambung yang
berlebihan, kelainan dismotilitas gastrointestinal, infeksi Helicobacter pylori dan faktor
psikologis lainnya seperti cemas, depresi dan lain-lain.
Penegakan diagnosis pada sindrom dispepsia ini dapat dilakukan dengan cara
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang seperti dilakukannya endoskopi
untuk mengetahui penyebab pasti dari sindrom dispepsia. Tatalaksana pada sindrom
dispepsia dilakukan dengan cara pengaturan diet yang cukup baik dengan memerhatikan gizi
dan pola atau waktu makannya dan pengobatan medis lainnya untuk mengurangi gejala yang
ada dan mengobati atau mengatasi penyebabnya agar mengurangi kekambuhan gejala dan
komplikasi lainnya.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. RM K, Emerson N. Nelson Textbook of Pediatrics. 2011.

2. Arsyad RP, Irmaini, Hidayaturrami. Hubungan Sindroma Dispepsia dengan Prestasi


Belajar pada Siswa Kelas XI SMAN 4 Banda Aceh. JIMK Biomedis. 2018;4(1):36–42.

3. Nugroho R, Safri, Nurchayati S. Gambaran Karakteristik Pasien Dengan Sindrom


Dispepsia Di Puskesmas Rumbai. JOM FKp. 2018;5(2):823–30.

4. Benbassat J. Sharing With Patients the Uncertainties Regarding the Management of


Dyspepsia. Front Med. 2021;8(September):8–11.

5. Spatuzzo M, Chiaretti A, Capossela L, Covino M, Gatto A, Ferrara P. Abdominal pain


in children: The role of possible psychosocial disorders. Eur Rev Med Pharmacol Sci.
2021;25(4):1967–73.

6. Wei Z, Yang X, Xing X, Dong L, Wang J, Qin B. Risk factors associated with
functional dyspepsia in Chinese children: a cross-sectional study. BMC Gastroenterol
[Internet]. 2021;21(1):1–8. Available from: https://doi.org/10.1186/s12876-021-01800-
x

7. Wei Z, Yang Q, Yang Q, Yang J, Tantai X, Xing X, et al. Rome III, Rome IV, and
Potential Asia Symptom Criteria for Functional Dyspepsia Do Not Reliably
Distinguish Functional From Organic Disease. Clin Transl Gastroenterol.
2020;11(12):e00278.

8. Fithriyana R. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Dispepsia Pada


Pasien Di Willayah Kerja Puskesmas Bangkinang Kota. PREPOTIF JKM [Internet].
2018;2(2):2018.

9. Marcellus Simadibrata K, Dadang Makmun, Murdani Abdullah, Ari Fahrial Syam,


Achmad Fauzi, Kaka Renaldi, Hasan Maulahela APU. Konsensus Nasional
Penatalaksanaan Dispepsia dan Infeksi Helicobacter pylori. 2014.

10. Kim SE. Functional dyspepsia. Helicobacter pylori. 2016;207–18.


21
11. Arimbi A. Hubungan Antara Tingkat Kecemasan Dengan Tingkat Dispepsia
Menjelang Ujian Nasional Pada Siswa Kelas IX Di SMP Negeri 1 Banyudono
Boyolali Tahun 2012. FK Univ Muhammadiyah Surakarta. 2012;66:37–9.

12. Putra H, Jurnalis YD, Sayoeti Y. Tatalaksana Medikamentosa pada Penyakit Saluran
Cerna. Jurnal Kesehatan Andalas. 2019;8(2):407.

13. Madisch A, Andresen V, Enck P, Labenz J, Frieling T, Schemann M. The diagnosis


and treatment of functional dyspepsia. Dtsch Arztebl Int. 2018;115(13):222–32.

14. McClellan N, Ahlawat R. Functional Abdominal Pain in Children. In StatPearls


Publishing; 2021. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK537298/

15. Colombo JM, Deacy AD, Schurman J V., Friesen CA. Heartburn in children and
adolescents in the presence of functional dyspepsia and/or irritable bowel syndrome
correlates with the presence of sleep disturbances, anxiety, and depression. Medicine
(Baltimore). 2021;100(13):e25426.

16. Athiyyah AF. Peran prosedur endoskopik dalam mendiagnosis gangguan pencernaan
pada anak. 2010;

17. Senthilkumar S, Leila M. Urea Breath Test. In StatPearls Publishing; 2021. Available
from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK542286/

18. Hyams JS, Davis P, Sylvester FA, Zeiter DK, Justinich CJ, Lerer T. Dyspepsia in
children and adolescents: A prospective study. Journal Pediatric Gastroenterol Nutr.
2000;30(4):413–8.

22

Anda mungkin juga menyukai