Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
Pada Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unsyiah/RSUD dr. Zainoel Abidin
Banda Aceh
Disusun oleh:
Salwa Nabila
2007501010133
Pembimbing:
Dr.dr.Sulaiman Yusuf, Sp.A (K)
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt yang telah menciptakan manusia
dengan akal dan budi, kehidupan yang patut penulis syukuri, keluarga yang mencintai dan
teman-teman yang penuh semangat, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat
menyelesaikan tugas presentasi referat ini. Shalawat beriring salam penulis sampaikan
kepada nabi besar Muhammad Saw, atas semangat perjuangan dan panutan bagi ummatnya.
Tugas presentasi referat ini berjudul “Sindrom Dispepsia Pada Anak” diajukan
sebagai salah satu tugas dalam menjalani kepaniteraan klinik senior Universitas Syiah Kuala
BLUD RSUD dr. Zainoel Abidin – Banda Aceh. Penulis mengucapkan terimakasih dan
penghargaan yang setinggi tingginya kepada Dr. dr. Sulaiman Yusuf, Sp.A (K) yang telah
meluangkan waktunya untuk memberi arahan dan bimbingan dalam menyelesaikan tugas ini.
Dengan kerendahan hati, penulis menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari
kesempurnaan. Saran dan kritik dari dosen pembimbing dan teman-teman akan penulis terima
dengan tangan terbuka, semoga dapat menjadi bahan pembelajaran dan bekal di masa
mendatang.
Penulis
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................................2
DAFTAR ISI..............................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................................................6
2.1 Definisi........................................................................................................................6
2.2 Etiologi........................................................................................................................6
2.3 Patofisiologi.................................................................................................................7
2.4 Klasifikasi....................................................................................................................9
2.5 Manifestasi Klinis......................................................................................................12
2.6 Penegakan Diagnosis.................................................................................................13
2.7 Diagnosis Banding.....................................................................................................15
2.8 Tatalaksana................................................................................................................15
2.8.1. Tatalaksana Non Farmakologis..........................................................................16
2.8.2. Tatalaksana Farmakologis..................................................................................16
2.9 Prognosis...................................................................................................................19
BAB III KESIMPULAN..........................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................21
3
BAB I
PENDAHULUAN
Dispepsia berasal dari bahasa Yunani, yaitu dys- (buruk) dan –peptein (pencernaan).
Sindroma dispepsia adalah kumpulan beberapa gejala klinis yang terdiri dari rasa sakit perut
pada saluran cerna bagian atas, keluhan rasa panas di dada, perut kembung, cepat kenyang,
mual dan muntah.(1)(2) Keluhan dispepsia dapat disebabkan karena berbagai penyakit, salah
satunya penyakit pada saluran cerna yaitu gastritis yang sudah kronis. Gastritis kronis
merupakan peradangan permukaan mukosa lambung yang bersifat menahun dan lama. (3)
Gejala awal pada gastritis yang memicu sindrom dispepsia berkaitan dengan ketidakteraturan
pada pola makan dan jeda antara jadwal makan yang lama. Ketidakteraturan pola makan
sangat dipengaruhi oleh aktivitas dan kegiatan yang padat, keinginan untuk mempunyai
bentuk tubuh ideal, dan melemahnya pengawasan dalam mengatur pola makan.(3)
Dispepsia merupakan salah satu masalah kesehatan yang sering ditemui dalam
praktek dokter sehari-hari. Diperkirakan kasus dispepsia hampir 30% pada praktek umum dan
60% pada praktek gastroenterologist. Di Eropa dan Amerika Utara prevalensi dispepsia
mencapai 50%, sedangkan Amerika Serikat 32%, Scandinavia 14,5%, India 30,4%, dan
Singapura 8%. Di daerah Asia Pasifik dispepsia merupakan keluhan yang sering dijumpai,
dengan angka prevalensi sekitar 10%-20%. Di Indonesia, angka ini mencapai 58,1% pada
tahun 2010. Dispepsia merupakan kondisi umum ditemui pada anak-anak dimana 60-80%
kasus nyeri perut berulang pada anak termasuk remaja disebabkan oleh dispepsia. Beberapa
studi, perempuan diketahui memiliki kecenderungan mengalami dispepsia.(2)
Mayoritas pasien Asia dengan dispepsia yang belum diinvestigasi dan tanpa tanda
bahaya merupakan dispepsia fungsional. Berdasarkan hasil penelitian di negara-negara Asia
(Cina, Hong Kong, Indonesia, Korea, Malaysia, Singapura, Taiwan, Thailand, dan Vietnam)
didapatkan 43-79,5% pasien dengan dispepsia adalah dispepsia fungsional. Dari hasil
endoskopi yang dilakukan pada 550 pasien dispepsia dalam beberapa senter di Indonesia
pada Januari 2003 sampai April 2004, didapatkan 44,7 % kasus kelainan minimal pada
gastritis dan duodenitis; 6,5% kasus dengan ulkus gaster; dan normal pada 8,2% kasus.
Prevalensi infeksi H.Pylori pada pasien dispepsia yang menjalani pemeriksaan endoskopik di
berbagai rumah sakit pendidikan kedokteran di Indonesia (2003-2004) ditemukan sebesar
10.2%. Prevalensi yang cukup tinggi ditemui di Makasar tahun 2011 (55%), Solo tahun 2008
4
(51,8%), Yogyakarta (30.6%) dan Surabaya tahun 2013 (23,5%), serta prevalensi terendah di
Jakarta (8%).(9)
Sebuah penelitian menyatakan bahwa dispepsia erat kaitannya dengan kejadian
dispepsia "non-ulkus" atau "fungsional" (73%), esofagitis erosif (13,4%), tukak lambung
(8%) dan kanker lambung (0,4 %).(4)
Menurut American Academy of Pediatrics and North American Society for Pediatric
Gastroenterology, Hepatology and Nutrition, nyeri perut kronis digambarkan sebagai gejala
yang berlangsung, terus-menerus atau sebentar-sebentar, setidaknya selama dua bulan dan
dapat bersifat fungsional atau organik. etiologi; itu juga didefinisikan, nyeri berulang yang
membutuhkan minimal tiga episode nyeri dalam jangka waktu tiga bulan atau lebih. Sebuah
penelitian meta-analisis baru-baru yang mengumpulkan data dari sekitar 200.000 anak di
seluruh dunia memperkirakan prevalensi agregat global untuk gangguan ini pada 13,5% dari
populasi pediatrik global. Berdasarkan kriteria Roma IV, 24,7% bayi dan balita usia 0-3
tahun dan 25% anak dan remaja usia 4-18 tahun memenuhi kriteria berdasarkan gejala untuk
gangguan gastrointestinal fungsional.(5)
Dispepsia dibagi menjadi dua jenis yaitu dispepsia fungsional dan dispepsia organik.
Prevalensi Dispepsia fungsional telah diperkirakan berkisar dari <2% hingga 57% pada
populasi umum di seluruh dunia. Meskipun dispepsia fungsional jarang berakibat fatal, itu
adalah terkait dengan penurunan yang signifikan dalam kualitas kehidupan, memiliki dampak
negatif yang signifikan terhadap efisiensi kerja dan meningkatkan biaya medis untuk pasien
dan masyarakat. Sebagian besar penelitian menyatakan bahwa kejadian dispepsia fungsional
ini berhubungan dengan kebiasaan dan pola makan(6) Sedangkan untuk dispepsia organik
sendiri adalah kumpulan gejala klinis yang mengacu pada rasa tidak nyaman pada saluran
cerna bagian yang disebabkan oleh suatu kelainan organik yang diketahui pasti setelah pasien
menjalani endoskopi gastrointestinal bagian atas. Klasifikasi dari dispepsia organik adalah
tukak pada saluran cerna atas, gastritis, gastro-esophageal reflux disease (GERD), karsinoma,
pakreatitis, dispepsia dan sindrom malabsorbs, gangguan metabolisme, dispepsia akibat
infeksi bakteri Helicobakter Pylori (HP) dan keadaan klinis lainnya.(7)
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Dispepsia berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari dua kata yaitu “dys” yang
berarti buruk dan “peptei” yang berarti pencernaan. Jadi dispepsia berarti pencernaan yang
buruk. Adanya perubahan pada gaya hidup dan perubahan pada pola makan masih menjadi
salah satu penyebab tersering terjadinya gangguan pencernaan, termasuk dispepsia.(8)
Dispepsia merupakan istilah yang digunakan dalam suatu sindrom atau kumpulan
gejala atau keluhan yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di epigastrium, mual,
muntah, kembung, cepat kenyang, rasa penuh, sendawa, regurgitas, dan rasa panas yang
menjalar di dada. Keluhan ini tidak selalu ada pada setiap penderita. Setiap penderita
keluhannya dapat berganti atau bervariasi, baik dari segi jenis keluhan maupun kualitas
keluhan. Dispepsia bukanlah suatu penyakit, melainkan merupakan kumpulan gejala ataupun
keluhan yang harus dicari penyebabnya. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya
ketidakseimbangan proses metabolisme yang mengacu pada semua reaksi biokimia tubuh
termasuk kebutuhan akan nutrisi.(3)
2.2 Etiologi
Dispepsia adalah suatu penyakit dengan penyebab multifaktorial, artinya banyak faktor
yang saling berinteraksi sehingga dapat menimbulkan manifestasi klinis pada sindrom
dispepsia. Faktor yang dimaksudkan antara lain adalah faktor biologi/fisiologi, misalnya
terdapat inflamasi pada struktur organ saluran pencernaan, kelainan fungsinal atau mekanik,
adanya hipersensitivitas mukosa lambung dan lain-lain. Selain itu ada faktor psikologis yang
bisa saja berperan, antara lain apabila individu tersebut mengalami ansietas, depresi atau
gangguan somatisasi lainnya. Faktor sosial atau kebiasaan juga berpengaruh misalnya adanya
masalah pada hubungan antara teman, orang tua atau guru, pola makan yang tidak teratur
sehingga memicu timbulnya masalah lambung dan pencernaannya menjadi terganggu.
Ketidakteraturan ini berhubungan dengan waktu makan, seperti berada dalam kondisi terlalu
lapar namun kadang-kadang terlalu kenyang. Selain itu kondisi faktor lainnya yang memicu
produksi asam lambung berlebihan, diantaranya beberapa zat kimia, seperti alcohol,
umumnya obat penahan nyeri, asam cuka, makanan dan minuman yang bersifat asam,
makanan yang pedas serta bumbu yang merangsang.(8)
6
2.3 Patofisiologi
Patofisiologi dispepsia hingga kini masih belum sepenuhnya jelas dan penelitian-
penelitian masih terus dilakukan terhadap faktor-faktor yang dicurigai memiliki peranan
bermakna, seperti Abnormalitas fungsi motorik lambung (khususnya keterlambatan
pengosongan lambung, hipomotilitas antrum, hubungan antara volume lambung saat puasa
yang rendah dengan pengosongan lambung yang lebih cepat, serta gastric compliance yang
lebih rendah), infeksi Helicobacter pylori dan faktor-faktor psikososial, khususnya terkait
dengan gangguan cemas dan depresi. (8)
a) Sekresi lambung
Peningkatan sensitivitas mukosa lambung dapat terjadi akibat pola
makan yang tidak teratur. Pola makan yang tidak teratur akan membuat
lambung sulit untuk beradaptasi dalam pengeluaran sekresi asam lambung.
Jika hal ini berlangsung dalam waktu yang lama, produksi asam lambung akan
berlebihan sehingga dapat mengiritasi dinding mukosa pada lambung(8)(9)
b) Dismotilitas Gastrointestinal
Berbagai studi melaporkan bahwa pada dispepsia fungsional terjadi
perlambatan pengosongan lambung, adanya hipomotilitas antrum (sampai
50% kasus), gangguan akomodasi lambung saat makan, dan hipersensitivitas
gaster. Salah satu dari keadaan ini dapat ditemukan pada setengah atau dua
pertiga kasus dispepsia fungsional. Perlambatan pengosongan lambung terjadi
pada 25-80% kasus dispepsia fungsional dengan keluhan seperti mual,
muntah, dan rasa penuh di ulu hati. (8)(9)
Kelainan motilitas dapat disebabkan karena adanya : (a) penurunan
motilitas lambung distal (hipomotilitas antral) dan keterlambatan pengosongan
lambung; (b) Gangguan penurunan tonus lambung (gangguan akomodasi
lambung) sebagai respons terhadap makanan yang dapat menyebabkan
penurunan kemampuan perut untuk mengembang dan memungkinkan
konsumsi makanan besar.(10)
c) Abnormalitas sensorik viseral
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa pasien dengan
dispepsia fungsional secara signifikan lebih sensitif terhadap distensi lambung
(oleh balon intragastrik) dibandingkan dengan individu yang sehat. Selain itu,
pasien dengan dispepsia fungsional telah mengurangi respon motorik
7
duodenum dan lebih sensitif terhadap infus asam intraduodenal. Menariknya,
hipersensitivitas terhadap distensi mekanis ditemukan berkorelasi dengan
gejala nyeri, sendawa dan penurunan berat badan, sedangkan asam
intraduodenal lebih berkorelasi dengan mual. Mirip dengan temuan motilitas
lambung abnormal yang dilaporkan, temuan kelainan sensorik lambung dan
duodenum hanya ditemukan pada sebagian pasien dengan dispepsia fungsional
dan oleh karena itu tidak dapat dianggap sebagai temuan universal.
Selanjutnya, mekanisme patofisiologi yang mendasari hipersensitivitas viseral
tidak sepenuhnya dipahami, terutama yang berkaitan dengan kepentingan
relatif dan kontribusi faktor fisiologis gastrointestinal internal (misalnya,
lambung dan duodenum), perifer eksternal (misalnya, disfungsi vagal), dan
sistem saraf pusat. (CNS) pemrosesan informasi sensorik gastroinstestinal
yang akan datang. (8)(9)(10)
d) Infeksi Helicobacter pylori
Peran infeksi Helicobacter pylori pada dispepsia fungsional belum
sepenuhnya dimengerti dan diterima. Kekerapan infeksi H.pylori terdapat
sekitar 50% pada dispepsia fungsional dan tidak berbeda pada kelompok orang
sehat. Mulai terdapat kecenderungan untuk melakukan eradikasi H.pylori pada
dispepsia fungsional dengan H.pylori positif yang gagal dengan pengobatan
konservatif baku.(8)(9)
e) Faktor psikologis
Tidak ada profil psikologis atau kepribadian yang unik yang ditemukan
pada pasien dengan dispepsia fungsional. Namun, studi epidemiologi telah
menunjukkan bahwa kecemasan, neurotisisme, somatisasi, dan depresi lebih
sering terjadi pada pasien dengan dispepsia fungsional dibandingkan dengan
kontrol yang sehat. Gejala perilaku perhatian dan perubahan dalam perilaku
penyakit dan gaya koping juga telah diamati. Selain itu, beberapa penelitian
telah menunjukkan kemungkinan hubungan antara faktor psikologis dan
perubahan fisiologi usus. Studi lain, termasuk beberapa dari kelompok kami di
UNC, telah menyarankan bahwa gejala GI atas fungsional mungkin memiliki
hubungan yang lebih besar dengan faktor psikologis dibandingkan dengan
kelainan pada fisiologi GI. Contohnya adalah gejala esofagus fungsional
dengan kecemasan dan mual dengan depresi dan kecemasan. (8)(9)(10)
8
2.4 Klasifikasi
Klasifikasi dispepsia secara umum terbagi menjadi dua yaitu dispepsia fungsional dan
dispepsia organik.(7)
a) Dispepsia fungsional
Dispepsia fungsional adalah sindrom gangguan gastrointestinal (GI) yang
ditandai dengan gejala seperti sakit perut, rasa terbakar di epigastrium, rasa penuh
setelah makan atau perit terasa cepat kenyang, mual, muntah yang menunjukkan
perubahan sensitivitas syaraf di sekeliling abdomen dan kontraksi otot yang tidak
terkoordinasi di dalam perut. Penyebab ini secara umum tidak sama walaupun
beberapa kasus berhubungan dengan stress, kecemasan, infeksi, obat-obatan dan ada
beberapa berhubungan dengan IBS (irritable bowel syndrome)
Dispepsia fungsional terbagi atas tiga jenis yaitu :(6)
Dispepsia tipe seperti ulkus (dyspepsia tipe like ulcer), dimana gejala
dominan adalah nyeri epigastrium.
Dispepsia tipe seperti dismotilitas (dysmotility like), dimana gejala dominan
adalah keluhan kembung, mual, muntah, rasa penuh dan cepat kenyang.
Dispepsia tipe non spesifik, dimana pada tipe ini tidak ada gejala dominan.
Dispepsia fungsional juga disebut dispepsia non organic atau dispepsia non ulkus,
dimana dispepsia ini dapat ditegakkan bila tidak terdapat kelainan pada saluran pencernaan
setelah dilakukan pemeriksaan endoskopi.
Kriteria Rome III menetapkan dispepsia fungsional dibagi menjadi 2 kelompok yaitu :(11)
Postprandial distress syndrome
Gejala yang dirasakan pada tahap ini yaitu : (1) Rasa penuh setelah makan
yang mengganggu, terjadi setelah makan dengan porsi biasa, sedikitnya terjadi
beberapa kali seminggu. (2) Perasaan cepat kenyang yang membuat tidak mampu
menghabiskan porsi makan biasa, sedikitnya terjadi beberapa kali seminggu. Kriteria
penunjang sindrom dispepsia jenis ini adalah adanya rasa kembung di daerah perut
bagian atas atau mual setelah makan atau bersendawa yang berlebihan dan dapat
timbul bersamaan dengan sindrom nyeri epigastrum. (11)
Epigastric pain syndrome
Gejala yang dirasakan pada tahap ini yaitu : (1) Nyeri atau rasa terbakar yang
terlokalisasi di daerah epigastrum dengan tingkat keparahan moderat/sedang, paling
9
sedikit terjadi sekali dalam seminggu. (2) Nyeri timbul berulang. (3) Tidak menjalar
atau terlokalisai di daerah perut atau dada selain daerah perut bagian atas/epigastrum.
(4) Tidak berkurang dengan BAB atau buang angin. (5) Gejala-gejala yang ada tidak
memenuhi kriteria diagnosis kelainan kandung empedu dan sfinger oddi. (11)
b) Dispepsia organik
Dispepsia organik adalah kumpulan gejala klinis yang mengacu pada rasa
tidak nyaman pada saluran cerna bagian yang disebabkan oleh suatu kelainan organik
yang diketahui pasti setelah pasien menjalani endoskopi gastrointestinal bagian atas
muncul dikarenakan suatu penyebab kelainan pada saluran pencernaan setelah
dilakukan pemeriksaan endoskopi. Klasifikasi dari dispepsia organik adalah tukak
pada saluran cerna atas, gastritis, gastro-esophageal reflux disease (GERD),
karsinoma, pakreatitis, dispepsia dan sindrom malabsorbs, gangguan metabolisme,
dispepsia akibat infeksi bakteri Helicobakter Pylori (HP).(7)(9)
10
disertai rasa nyeri serta gejala lain seperti rasa panas dan pahit di lidah, serta kesulitan
menelan. Belum ada tes standar untuk mendiagnosa GERD, kejadiannya diperkirakan
dari gejala-gejala penyakit lain atau dari ditemukannya radang pada esofagus seperti
esofagitis(12)
Karsinoma
Karsinoma pada saluran pencernaan (esofagus, lambung, pankreas, kolon)
sering menimbulkan dispepsia. Keluhan utama yaitu rasa nyeri di perut, bertambah
dengan nafsu makan turun, timbul anoreksia yang menyebabkan berat badan turun(1)
Pankreatitis
Gambaran yang khas dari pankreatitis akut ialah rasa nyeri hebat di
epigastrum. Nyeri timbul mendadak dan terus menerus, seperti ditusuk-tusuk dan
terbakar. Rasa nyeri dimulai dari epigastrum kemudian menjalar ke punggung.
Perasaan nyeri menjalar ke seluruh perut dan terasa tegang beberapa jam kemudian.
Perut yang tegang menyebabkan mual dan kadang-kadang muntah. Rasa nyeri di
perut bagian atas juga terjadi pada penderita pankreatitis kronik. Nyeri yang timbul
seperti ditusuk-tusuk, menjalar ke punggung, mual dan muntah hilang dan timbul.
Pada pankreatitis kronik tidak ada keluhan rasa pedih, melainkan disertai tanda-tanda
diabetes melitus. (1)
Dispepsia pada Sindrom Malabsorbs
Malabsorpsi adalah suatu keadaan terdapatnya gangguan proses absorbsi dan
digesti secara normal pada satu atau lebih zat gizi. Penderita ini mengalami keluhan
rasa nyeri perut, nausea, anoreksia, sering flatus, kembung dan timbulnya diare
berlendir. (1)
Gangguan Metabolisme
Diabetes Mellitus (DM) dapat menyebabkan gastroparesis yang hebat
sehingga muncul keluhan rasa penuh setelah makan, cepat kenyang, mual dan
muntah. Definisi gastroparesis yaitu ketidakmampuan lambung untuk mengosongkan
ruangan. Ini terjadi bila makanan berbentuk padat tertahan di lambung. Gangguan
metabolik lain seperti hipertiroid yang menimbulkan nyeri perut dan vomitus. (1)
Infeksi bakteri Helicobacter pylori
Penemuan bakteri ini dilakukan oleh dua dokter peraih Nobel dari Australia,
Barry Marshall dan Robin Warre yang menemukan adanya bakteri yang bisa hidup
dalam lambung manusia. Penemuan ini mengubah cara pandang ahli dalam
11
mengobati penyakit lambung. Penemuan ini membuktikan bahwa infeksi yang
disebabkan oleh Helicobacter pylori pada lambung dapat menyebabkan peradangan
mukosa lambung yang disebut gastritis. Proses ini berlanjut sampai terjadi ulkus atau
tukak bahkan dapat menjadi kanker. (1)
12
dikoordinasikan di pusat muntah medula, yang dipengaruhi langsung oleh persarafan
aferen dan tidak langsung oleh zona pemicu kemoreseptor dan pusat yang lebih tinggi
pusat sistem saraf (SSP). Muntah yang disebabkan oleh obstruksi saluran GI mungkin
diperantarai oleh saraf aferen viseral usus yang merangsang pusat muntah.(1)
Gejala "flag red" seperti demam, memburuk secara tiba-tiba, usia muda, nyeri yang
menyebabkan bangun dari tidur, tinja berdarah, anemia, dan penurunan berat badan atau
gagal tumbuh. Tanda-tanda perut akut atau pembedahan harus segera dilakukan pemeriksaan;
ini mungkin berupa nyeri yang tiba-tiba, tidak adanya bising usus, penjagaan, nyeri tekan
yang timbul kembali, dan pasien yang tidak bergerak dalam keadaan tertekan yang jelas.(14)
14
evaluasi komplikasi jangka panjang yang terkait dengan H.pylori walaupun harga nya cukup
mahal.(17)
Metode non-invasif yang populer untuk tes H.Pylori antara lain tes napas urea (Urea
Breath Tes) atau UBT, tes antigen tinja H. pylori (Stool Antigen Test) atau SAT, dan tes
serologis. Diantara ketiga metode non-invasif tersebut, UBT adalah pengujian yang paling
akurat. UBT berguna baik untuk diagnosis awal H. pylori (strategi uji dan pengobatan) dan
juga dalam evaluasi status pasca pengobatan. Sedangkan SAT adalah pengujian yang paling
murah namun sedikit kurang akurat dibandingkan UBT. SAT juga mengharuskan pemeriksa
untuk mengumpulkan tinja yang mungkin kurang disukai oleg pasien. Tes Serologi IgG
H.Pylori juga tidak direkomendasikan karena tingkat prevelensi dibawah 30% yang
memungkinkan terbatasnya keakuratan dari diagnosis H.Pylori. Selain itu, IgG H.Pylori
bertahan untuk waktu yang tidak terbatas sehingga terdapat kesulitan untuk membedakan
infeksi masa lalu dari saat ini. Namun, untuk pengujian serologis H. pylori ini berguna
apabila prevelensi dari epidemiologi H.Pylori tersebut tinggi di suatu populasi.(17)
2.8 Tatalaksana
Penatalaksanaan dispesia mecakup tatalaksana non faramkologis dan tatalaksana
farmakologis.
15
2.8.1. Tatalaksana Non Farmakologis
Tatalaksana non farmakologis pada sindrom dispepsia adalah dengan
modifikasi gaya hidup seperti pengaturan pola makan dan pembatasan
konsumsi makanan atau pengaturan diet, antara lain sebagai berikut : (11)(12)
Membatasi konsumsi makanan yang dapat menyebabkan terjadinya dispepsia
seperti mengkonsumsi makanan pedas, makanan asam, minuman kafein dan
alcohol
Mengurangi kebiasaan merokok
Menurunkan berat badan pada pasien overweight/obesitas
Makan dalam porsi kecil tetapi sering frekuensinya dan dianjurkan untuk
makan 5-6 kali dalam sehari
Menghindari penggunaan atau konsumsi anti nyeri seperti aspirin dan ibu
profen. Gunakan anti nyeri lain yang lebih aman bagi lambung seperti
parasetamol
Mengontrol stres dan rasa cemas
Meninggikan kepala saat tidur dan menghindari makan dalam jumlah besar
menjelang tidur.
16
memantau penyembuhan. Penggunaan PPI jangka panjang dapat
meningkatkan risiko infeksi usus terutama Clostridium difficile, kelainan
metabolik dan nutrisi. Oleh karena itu pasien dengan PPI harus dipantau untuk
mendeteksi kelainan tersebut. Pengobatan dapat dihentikan setelah 6 bulan
dengan menurunkan dosis bertahap dan dapat diberikan secara periodik
setelahnya tergantung gejala.(12)
Antagonis reseptor histamin tipe 2 (H2RA)
Antagonis reseptor histamin tipe 2 (H2RA) menghambat sekresi asam
dengan menghambat reseptor histamine H2 pada sel parietal. Simetidin,
ranitidine, famotidine dan nizatidin merupakan obat golongan H2RA.8 Puncak
onset kerja H2RA adalah 2.5 jam dengan lama kerja 4 sampai 10 jam sehingga
tidak cocok untuk penggunaan jangka panjang. Penggunaan H2RA jangka
panjang meningkatkan risiko infeksi usus terutama oleh C. difficile dan
community-acquired pneumonia.(12)
Antasid
Antasid sesuai untuk mengatasi keluhan rasa nyeri ulu hati jangka
pendek pada anak besar, remaja atau dewasa dengan gejala jarang (kurang dari
1 kali seminggu). Antasid dapat mengatasi rasa nyeri pada ulu hati dalam
waktu 5 menit tetapi dengan masa kerja yang pendek yaitu 30-60 menit.
Antasid bekerja dengan menetralisir pH lambung sehingga mengurangi
paparan mukosa esofagus terhadap asam lambung selama episode refluks.
Antasid mengandung kombinasi magnesium, aluminium hidroksida dan
kalsium karbonat. Penggunaan antasid pada bayi dapat menyebabkan
meningkatnya kadar aluminium plasma sehingga menyebabkan osteopenia,
anemia mikrositik, dan neurotoksisitas sehingga penggunaannya hanya
terbatas pada anak besar dan remaja.(12)
Surface agents
Surface agents bekerja dengan menciptakan pertahanan yang
menghalangi cedera pada mukosa yang diakibatkan oleh asam lambung.
Hanya dua yang telah dievaluasi sebagai terapi pada pasien GERD yaitu
sodium alginate dan sukralfat. Sukralfat (aluminium sucrose sulfat)
memberikan kesembuhan mukosa dan melindungi kerusakan selanjutnya
akibat asam lambung.(12)
17
Tata laksana dispepsia dimulai dengan usaha untuk identifikasi patofisiologi dan
faktor penyebabnya. Terapi dispepsia sudah dapat dimulai berdasarkan sindroma klinis yang
dominan apabila belum dilakukan pemeriksaan lanjutan. Pada dispepsia yang belum
diinvestigasi, strategi tatalaksana optimal pada fase ini adalah memberikan terapi empirik
selama 1-4 minggu sebelum hasil investigasi awal, yaitu pemeriksaan adanya Helicobacter
pylori . Untuk daerah atau etnis tertentu dan pada pasien dengan faktor risiko tinggi,
pemeriksaan Hp harus dilakukan lebih awal. Obat yang dipergunakan dapat berupa antasida,
antisekresi asam lambung (PPI misalnya omeprazole, rabeprazole dan lansoprazole dan/atau
H2-Receptor Antagonist [H2RA]), prokinetik, dan sitoprotektor (misalnya rebamipide), di
mana pilihan ditentukan berdasarkan dominasi keluhan dan riwayat pengobatan pasien
sebelumnya. (9)
Penelitian prospektif oleh Syam AF, dkk tahun 2010 menunjukkan bahwa terapi
eradikasi Hp dengan triple therapy (rabeprazole, amoksisilin, dan klaritromisin) selama 7 hari
lebih baik dari terapi selama 5 hari.(9)
Pasien-pasien dispepsia dengan tanda bahaya tidak diberikan terapi empirik,
melainkan harus dilakukan investigasi terlebih dahulu dengan endoskopi dengan atau tanpa
pemeriksaan histopatologi sebelum ditangani sebagai dispepsia fungsional. Apabila
ditemukan lesi mukosa (mucosal damage) sesuai hasil endoskopi, terapi dilakukan
berdasarkan kelainan yang ditemukan. Kelainan yang termasuk ke dalam kelompok dispepsia
organik antara lain gastritis, gastritis hemoragik, duodenitis, ulkus gaster, ulkus duodenum,
atau proses keganasan. Apabila setelah investigasi dilakukan tidak ditemukan kerusakan
mukosa, terapi dapat diberikan sesuai dengan gangguan fungsional yang ada.(9)
Pada pasien bayi dan anak kecil, farmakoterapi untuk menekan asam lambung
mempunyai sedikit peranan pada bayi karena tidak cukup valuable untuk menatalaksana bayi
dibawah usia 1 tahun dengan GERD tanpa komplikasi. Bila farmakoterapi menjadi pilihan
terapi maka penggunaan PPI lebih direkomendasikan dibandingkan dengan antagonis
reseptor histamine tipe 2 (H2RA). Bayi dan anak muda memetabolisme PPI lebih cepat
dibandingkan dewasa sehingga membutuhkan dosis yang lebih tinggi, dan diberikan 30 menit
sebelum makan.(12)
Apabila ditemukan lesi mukosa (mucosal damage) sesuai hasil endoskopi, terapi
dilakukan berdasarkan kelainan yang ditemukan. Kelainan yang termasuk ke dalam
kelompok dispepsia organik antara lain gastritis, gastritis hemoragik, duodenitis, ulkus gaster,
ulkus duodenum, atau proses keganasan. Pada ulkus peptikum (ulkus gaster dan/ atau ulkus
18
duodenum), obat yang diberikan antara lain kombinasi PPI, misal rabeprazole 2x20 mg/
lanzoprazole 2x30 mg dengan mukoprotektor, misalnya rebamipide 3x100 mg.(9)
2.9 Prognosis
Dispepsia yang segera tertangani dengan baik dan mendapatkan pemeriksaan yang
tepat, komprehensif dan akurat akan membantu pasien untuk mendapatkan prognosis yang
baik bila didukung oleh pasien yang juga melaksanakan terapi yang sesuai baik itu terapi non
farmakologi atau terapi farmakoterapi yang dianjurkan. Sebagian besar anak dan remaja
dengan dispepsia tidak memiliki penyakit yang serius dan akan mengalami perbaikan dari
waktu ke waktu.(18)
Penderita sindroma dispepsia selama bertahun-tahun yang tidak ditangani dengan baik
dapat memicu adanya komplikasi yang tidak ringan seperti perdarahan saluran pencernaan
bagian atas, kanker lambung, ulkus peptikum, dan lain-lain.(9)
19
BAB III
KESIMPULAN
Dispepsia merupakan istilah yang digunakan dalam suatu sindrom atau kumpulan
gejala atau keluhan yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di epigastrium, mual,
muntah, kembung, cepat kenyang, rasa penuh, sendawa, regurgitas, dan rasa panas yang
menjalar di dada. Dispepsia dibagi menjadi dua jenis yaitu dispepsia fungsional dan dispepsia
organik. Dispepsia fungsional terbagi atas 3 yaitu dispepsia tipe ulcer, tipe dimotiliti dan non
spesifik. Sedangkan klasifikasi dari dispepsia organik adalah tukak pada saluran cerna atas,
gastritis, gastro-esophageal reflux disease (GERD), karsinoma, pakreatitis, dispepsia dan
sindrom malabsorbs, gangguan metabolisme, dispepsia akibat infeksi bakteri Helicobakter
Pylori (HP).
Dispepsia pada anak umumnya disebabkan karena pola dan kebiasaan makan yang
tidak teratur sehingga memicu timbulnya masalah lambung dan pencernaannya menjadi
terganggu. Ketidakteraturan ini berhubungan dengan waktu makan, seperti berada dalam
kondisi terlalu lapar namun kadang-kadang terlalu kenyang. Namun mekanisme terjadinya
dispepsia pada anak juga dapat ditimbulkan karena adanya sekresi asam lambung yang
berlebihan, kelainan dismotilitas gastrointestinal, infeksi Helicobacter pylori dan faktor
psikologis lainnya seperti cemas, depresi dan lain-lain.
Penegakan diagnosis pada sindrom dispepsia ini dapat dilakukan dengan cara
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang seperti dilakukannya endoskopi
untuk mengetahui penyebab pasti dari sindrom dispepsia. Tatalaksana pada sindrom
dispepsia dilakukan dengan cara pengaturan diet yang cukup baik dengan memerhatikan gizi
dan pola atau waktu makannya dan pengobatan medis lainnya untuk mengurangi gejala yang
ada dan mengobati atau mengatasi penyebabnya agar mengurangi kekambuhan gejala dan
komplikasi lainnya.
20
DAFTAR PUSTAKA
6. Wei Z, Yang X, Xing X, Dong L, Wang J, Qin B. Risk factors associated with
functional dyspepsia in Chinese children: a cross-sectional study. BMC Gastroenterol
[Internet]. 2021;21(1):1–8. Available from: https://doi.org/10.1186/s12876-021-01800-
x
7. Wei Z, Yang Q, Yang Q, Yang J, Tantai X, Xing X, et al. Rome III, Rome IV, and
Potential Asia Symptom Criteria for Functional Dyspepsia Do Not Reliably
Distinguish Functional From Organic Disease. Clin Transl Gastroenterol.
2020;11(12):e00278.
12. Putra H, Jurnalis YD, Sayoeti Y. Tatalaksana Medikamentosa pada Penyakit Saluran
Cerna. Jurnal Kesehatan Andalas. 2019;8(2):407.
15. Colombo JM, Deacy AD, Schurman J V., Friesen CA. Heartburn in children and
adolescents in the presence of functional dyspepsia and/or irritable bowel syndrome
correlates with the presence of sleep disturbances, anxiety, and depression. Medicine
(Baltimore). 2021;100(13):e25426.
16. Athiyyah AF. Peran prosedur endoskopik dalam mendiagnosis gangguan pencernaan
pada anak. 2010;
17. Senthilkumar S, Leila M. Urea Breath Test. In StatPearls Publishing; 2021. Available
from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK542286/
18. Hyams JS, Davis P, Sylvester FA, Zeiter DK, Justinich CJ, Lerer T. Dyspepsia in
children and adolescents: A prospective study. Journal Pediatric Gastroenterol Nutr.
2000;30(4):413–8.
22