KEPANITERAAN KLINIK
INTEGRASI CLUSTER
DISPEPSIA
RSUD CILACAP
Disusun Oleh :
Andrew Kusuma Deny G4A021038
Pembimbing Puskesmas :
dr. Agung Wibowo
Kepaniteraan Klinik
Fakultas Kedokteran
Disusun Oleh:
Maret 2023
i
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN....................................................................................I
DAFTAR ISI..........................................................................................................II
DAFTAR TABEL................................................................................................III
KATA PENGANTAR.........................................................................................IV
I. STATUS PENDERITA..................................................................................5
A. PENDAHULUAN..............................................................................................5
B. IDENTITAS PENDERITA..................................................................................5
C. ANAMNESIS...................................................................................................5
D. PEMERIKSAAN FISIK......................................................................................7
E. USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG...........................................................10
F. RESUME.......................................................................................................10
G. TATALAKSANA............................................................................................11
H. PROGNOSIS..................................................................................................12
II. TINJAUAN PUSTAKA................................................................................13
III. KESIMPULAN.............................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................27
ii
DAFTAR TABEL
iii
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa atas berkah dan rahmat-Nya
kasus dengan judul “Dyspepsia” ini. Terima kasih yang sebesar-besarnya juga
penulis haturkan kepada dr. Agung Wibowo selaku pembimbing penulis sehingga
dalam penulisan laporan ini. Penulis berharap supaya laporan kasus ini dapat
Penulis,
G4A021038
iv
I. STATUS PENDERITA
A. Pendahuluan
Laporan ini disusun berdasarkan kasus yang diambil dari seorang laki-
laki berusia 54 tahun yang berobat di IGD rumah sakit cilacap pada tanggal
26 Maret 2023.
B. Identitas Penderita
Nama : Tn. AK
Usia : 54 tahun
Agama : Islam
Alamat : Cilacap
Suku : Jawa
Kewargangeraan : Indonesia
C. Anamnesis
1. Keluhan utama
2. Keluhan tambahan
Mual , Muntah
5
Pasien datang dengan keluhan perut terasa tidak nyaman dan
begah. Keluhan dirasakan sejak 2 hari yang lalu. Pasien juga mengeluhkan
sempat muntah dan saat ini masih terasa mual. Pasien mengaku secara tiba-
tiba merasakan keluhannya. Pasien mengaku bila terlalu lelah sering
mengeluhkan hal yang serupa. Keluhannya saat ini dirasa mengganggu
aktivitas sehari-hari sehingga pasien memerlukan obat. Pasien sudah
minum obat dari klinik sebelumnya namun belum juga mereda. Pasien juga
mengaku sering telat makan. Keluhan lain seperti demam, batuk pilek,
diare disangkal. BAB dan BAK dalam batas normal.
Pasien mengaku tidak memiliki riwayat alergi obat sebelumnya,
riwayat alergi terhadap makanan juga disangkal. Riwayat makan - makanan
pedas, bersantan, kopi, asam disangkal. Pasien mengaku tidak
mempunyai riwayat sakit yang berat seperti DM, Jantung, Paru. Riwayat
alergi pada keluarga juga disangkal. Riwayat keluhan yang sama pada
keluarganya saat ini disangkal.
Pasien tinggal bersama kedua orang tua dan adiknya di rumah.
Pasien bekerja sebagai karyawan swasta. Pasien sehari-hari makan seperti
biasa dengan lauk pauk 2-3x sehari, namun tidak mesti kadang telat makan
hanya 1x sehari.
4. Riwayat penyakit dahulu
6
j. Riwayat alergi makanan : disangkal
1. Keadaan umum/kesadaran:
2. Status gizi:
a. BB: 65 kg
b. TB: 170 cm
7
3. Tanda vital
Nadi: 105x/menit
Suhu: 36c
Spo2: 100%
4. Kepala: mesosepal
6. Mata: refleks pupil (+/+), konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
9. Tenggorokan: uvula tidak deviasi, tonsil tenang T1/T1, tonsil dan faring
tidak hiperemis
13. Jantung:
normal
14. Paru
8
Palpasi: fremitus dextra et sinistra simetris
15. Abdomen
16. Genitalia
Tidak dilakukan
17. Anorektal
Tidak dilakukan
18. Kulit
19. Ekstremitas
9
E. Usulan Pemeriksaan Penunjang
a. Darah lengkap
b. Urin lengkap
2. Endoskopi
4. USG Abdomen
F. Resume
1. Anamnesis
10
7. Faktor memperingan : istirahat dan minum obat
2. Pemeriksaan Fisik
1. Tanda vital
Nadi: 105x/menit
Suhu: 36c
Spo2: 100%
3. Pemeriksaan Penunjang
G. Diagnosis
1. Diagnosis Klinis
Dyspepsia Fungsional
2. Diagnosis Banding
Gasritis Akut
Gastritis Kronis
BPPV
H. Tatalaksana
1. Medikamentosa
11
2. Non medikamentosa
Bed rest
Diet lunak
Ad vitam : ad bonam
Ad Fungsionam : ad bonam
Ad sanationam : ad bonam
12
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Klasifikasi dispepsia fungsional seperti disajikan pada table 2.1 dibawah ini :
Dispepsia Fungsional
1. Rasa penuh setelah makan yang mengganggu, terjadi setelah makan dengan
porsi biasa, sedikitnya terjadi beberapa kali seminggu
2. Perasaan cepat kenyang yang membuat tidak mampu menghabiskan porsi
makan biasa, sedikitnya terjadi beberapa kali seminggu
Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan
terakhir, dengan awal mula gejala timbul sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis.
Kriteria penunjang
13
1. Adanya rasa kembung di daerah perut bagian atas atau mual setelah makan
atau bersendawa yang berlebihan
2. Dapat timbul bersamaan dengan sindrom nyeri epigastrium.
Kriteria penunjang
1. Nyeri epigastrium dapat berupa rasa terbakar, namun tanpa menjalar ke daerah
retrosternal
2. Nyeri umumnya ditimbulkan atau berkurang dengan makan, namun mungkin
timbul saat puasa
3. Dapat timbul bersamaan dengan sindrom distres setelah makan.
(Diambil dari Appendix B: Roma III. 2010)
C. Epidemiologi
Dispepsia merupakan masalah umum yang sering ditemukan pada klinik
pengobatan. Ketika pasien selama pengobatan mempunyai gejala tanpa penyebab
yang jelas sering didiagnosa non-ulcer dispepsia. Beberapa laporan menyebutkan
presentase dispepsia karena kelainan organik sekitar 25%-33% dan 67%-75%
tanpa penyebab yang jelas. Di seluruh dunia mempunyai prevalensi sekitar 10%-
40%. Hal itu menunjukan bahwa diagnosis dan evaluasi harus segera dilakukan.
14
Keterlambatan diagnosis akan menyebabkan pasien dalam penderitaan dan
peningkatan biaya pemeliharaan kesehatan (Randall et al., 2014).
22,8% pada umur 45-54 tahun, 23,7% pada umur 55-64 tahun, dan 24,4% pada
umur di atas 65 tahun (Brun & Kuo, 2010). Menurut penelitian yang dilakukan
oleh di FKUI-RSCM ditemukan bahwa rentang umur kunjungan pasien ke
Poliklinik Penyakit Dalam adalah 15 sampai 70 tahun. Variabel demografik
seperti tingkat sosial atau derajat urbanisasi tidak mempengaruhi prevalensi
dispepsia . Berdasarkan data dari berbagai rumah sakit di Indonesia frekwensi
dispepsia fungsional sekitar 60%-70% dari seluruh pasien yang masuk ke Bagian
Gastroenterology-hepatology (Cahyanto et al., 2014).
15
Menurut Fithriyana (2018) Dispepsia disebabkan karena makan yang tidak
teratur sehingga memicu timbulnya masalah lambung dan pencernaannya menjadi
terganggu. Ketidakteraturan ini berhubungan dengan waktu makan, seperti berada
dalam kondisi terlalu lapar namun kadang-kadang terlalu kenyang. Selain itu
kondisi faktor lainnya yang memicu produksi asam lambung berlebihan,
diantaranya beberapa zat kimia, seperti alcohol, umumnya obat penahan nyeri,
asam cuka, makanan dan minuman yang bersifat asam, makanan yang pedas serta
bumbu yang merangsang.
Mekanisme patofisiologi timbulnya dispepsia fungsional atau ulkus
peptikium masih belum seluruhnya dapat diterangkan secara pasti. Hal ini
menunjukan bahwa dispepsia fungsional merupakan sekelompok gangguan yang
heterogen, namun sudah terdapat banyak bukti dari hasil penelitian para ahli yang
dapat dijadikan pegangan. Beberapa studi menghubungkan mekanisme
patofisiologi dispepsia fungsional dengan terjadinya infeksi H. Pylori,
ketidaknormalan motilitas, gangguan sensori visceral, faktor psikososial, dan
perubahan-perubahan fisiologi tubuh yang meliputi gangguan pada sistem saraf
otonom vegetatif, sistem neuroendokrin, serta sistem imun tubuh. Sedangkan
Patofisiologi ulkus peptikum diperkirakan akibat ketidak seimbangan antara
tekanan agresif (HCL dan pepsin) yang menyebabkan ulserasi dan tekanan defensif
yang melindungi lambung ( barier mukosa lambung, barier mukus lambung, sekresi
HCO3) (Yehuda, 2010).
Patofisiologi dispepsia fungsional dapat diterangkan melalui beberapa teori
dibawah ini (Yehuda, 2010) :
1. Infeksi H. Pylori
16
lambung akan semakin cepat. Pengosongan lambung yang cepat akan
membuat lambung kosong lebih lama dari biasanya dan H. Pylori akan
semakin menginfeksi lambung tersebut, dan bisa sebagai predictor timbulnya
ulkus peptikum.
2. Ketidaknormalan Motilitas
Dengan studi Scintigraphic Nuclear dibuktikan lebih dari 50% pasien
dispepsia fungsional mempunyai keterlambatan pengosongan makanan dalam
lambung. Demikian pula pada studi Monometrik didapatkan gangguan
motilitas antrum postprandial. Penelitian terakhir menunjukan bahwa fundus
lambung yang “kaku” bertanggung jawab terhadap sindrom dispepsia. Pada
keadaan normal seharusnya fundus lambung relaksasi, baik saat mencerna
makanan maupun bila terjadi distensi duodenum. Pengosongan makanan
bertahap dari corpus lambung menuju ke bagian fundus lambung dan
duodenum diatur oleh refleks vagal. Pada beberapa pasien dispepsia
fungsional, refleks ini tidak berfungsi dengan baik sehingga pengisian bagian
antrum terlalu cepat. Bila berlangsung lama bisa sebagai predictor ulkus
peptikum (Gene, 2012).
4. Faktor Psikososial
Faktor psikis dan stresor seperti depresi, cemas, dan stres ternyata
memang dapat menimbulkan peningkatan hormon kortisol yang berakibat
kepada gangguan keseimbangan sistem saluran cerna, sehingga terlihat bahwa
pada hormon kortisol yang tinggi ternyata memberikan manifestasi klinik
dispepsia yang lebih berat. Jadi semakin tinggi nilai kortisol akan
menyebabkan semakin beratnya klinis dispepsia. Begitu juga dengan
perubahan gaya hidup seperti kurang olahraga, merokok, dan gangguan tidur
17
juga memiliki efek terhadap peningkatan asam lambung dan perubahan
aktivitas otot dinding lambung yang meningkatkan kemungkinan terjadinya
dyspepsia (Micut, 2012).
18
parasimpatik sehingga menimbulkan efek eksitasi pada beberapa organ tetapi
menimbulkan efek inhibisi pada organ lainnya salah satunya adalah organ
lambung. Terjadinya ketidakseimbangan eksitasi maupun inhibisi pada kedua
neurotransmitter menyebabkan perubahan-perubahan aktivitas pada organ
lambung yang dipersarafinya baik peningkatan maupun penurunan aktivitas,
sehingga bisa memunculkan keluhan dispepsia (New & Siever, 2008).
E. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada sindrom dispepsia antara lain rasa nyeri atau
ketidaknyamanan di perut, rasa penuh di perut setelah makan, kembung, rasa
kenyang lebih awal, mual, muntah, atau bersendawa. Pada dispepsia organik,
kecenderungkan keluhan tersebut menentap, disertai rasa kesakitan dan jarang
memiliki riwayat psikiatri sebelumnya. Sedangkan pada dispepsia fungsional
19
terdapat dua pola yang telah ditentukan adalah: a) postprandial distres syndrome,
dan b) epigastric pain syndrome (Abdullah dan Gunawan, 2012).
Kriteria Roma III menjelaskan dua pola dispepsia yang berbeda tergantung
pada apakah gejala tersebut terutama berkaitan dengan asupan makanan dan atau
berkaitan dengan ketidakmampuan untuk menyelesaikan makan (postprandial
distres syndrome) atau lebih didominasi oleh rasa sakit (epigastric pain syndrome)
(Abdullah dan Gunawan, 2012).
Sementara pola ini dikembangkan lebih berdasarkan kepada pendapat ahli
daripada bukti klinis, beberapa data yang mendukung relevansi klinis untuk
perbedaan ini mulai muncul dengan satu penelitian misalnya, menunjukkan bahwa
kecemasan berhubungan dengan postprandial distres syndrome tetapi tidak
berhubungan dengan epigastric pain syndrome dan yang lain menunjukkan bahwa
genetik berhubungan dengan epigastric pain syndrome dan tidak berhubungan
dengan postprandial distres syndrome (Abdullah dan Gunawan, 2012).
F. Diagnosis
Keluhan utama yang menjadi kunci untuk mendiagnosis dispepsia adalah
adanya nyeri dan atau rasa tidak nyaman pada perut bagian atas. Apabila ditemukan
adanya kelainan organik atau struktural organ lambung, perlu dipikirkan
kemungkinan diagnosis dispepsia organik, sedangkan bila tidak ditemukan kelainan
organik apa pun, dipikirkan kecurigaan ke arah dispepsia fungsional. Penting diingat
bahwa dispepsia fungsional merupakan diagnosis by exclusion, sehingga idealnya
terlebih dahulu harus benar-benar dipastikan tidak ada kelainan yang bersifat organik
pada pemeriksaan endoskopi (Abdullah dan Gunawan, 2012). Roma III memberikan
kriteria diagnostik untuk dispepsia fungsional seperti table 2.2 berikut:
20
Tidak ada bukti kelainan struktural (termasuk hasil endoskopi saluran
cerna bagian atas) yang mungkin dapat menjelaskan timbulnya gejala.
Kriteria terpenuhi selama minimal 3 bulan, dengan onset gejala minimal 6 bulan
sebelum diagnosis.
21
pendekatan CLP dibagi menjadi 3 golongan besar, yaitu : somatoterapi, psikoterapi,
manipulasi lingkungan dan sosioterapi. Pembagian tersebut hanyalah merupakan
bentuk karya ilmu yang dipergunakan untuk mempermudah pemikiran. Manusia
sebagai makhluk Bio-Psiko-Sosial- Spiritual yang tidak dapat terpisahkan menuntut
ketiga golongan penatalaksanaan tersebut untuk dilakukan secara bersamaan dan
komprehensif (Loyd dan McClelan, 2011).
Hubungan kerja yang erat antara psikiater dan internist. Hubungan ini
menjadi lebih penting dari pada permintaan konsultasi tertulis dan bentuk
dasar dari laporan pribadi antara dokter selama proses konsultasi.
Keterlibatan psikiater sejak awal perjalanan terapi pasien, terutama setelah
dilakukan pemeriksaan endoskopi dan tidak ditemukan adanya suatu
kelainan structural.
Keterlibatan dalam seluruh team medis pada terapi pasien
dispepsia.melalui kerjasama yang erat dengan tenaga kesehatan sosial dan
keperawatan, psikiater dapat memperluas perannya termasuk pengawasan
terhadap orang yang terlibat dalam perjalanan diagnosis dan perawatan
dari pasien dispepsia
22
Komitmen untuk mengikuti perjalanan dari pasien dispepsia. Konsultasi
yang sederhana tidak cukup. Setelah saran untuk terapi diberikan, CLP
harus mengikuti seluruh perjalanan di rumah sakit, bahkan setelah
pemutusan hubungan dilakukan.
Pemahaman terhadap konflik utama intrapsikis dan intrakeluarga.
Hubungan psikoterapi antara pasien dan psikiater dapat
mempertimbangkan keuntungan bagi pasien dan keluarga.
2. Farmakologi
Terapi dispepsia fungsional perlu dibedakan untuk subtipe nyeri atau distres
postprandial. Pada tipe nyeri epigastrium, lini pertama terapi bertujuan menekan
asam lambung (H2-blocker, PPI). Pada tipe distres postprandial, lini pertama dengan
prokinetik, seperti metoklopramid/domperidon (antagonis dopamin), acotiamide
(inhibitor asetilkolinesterase), cisapride (antagonis serotonin tipe 3 /5HT3),
tegaserod (agonis 5HT4), buspiron (agonis 5HT1a). Bila lini pertama gagal, PPI
dapat digunakan untuk tipe distres postprandial dan prokinetik untuk tipe nyeri.
Kombinasi obat penekan asam lambung dan prokinetik bermanfaat pada beberapa
pasien. Tidak ada terapi yang efektif untuk semua pasien; berbagai terapi dapat
digunakan secara berurutan ataupun kombinasi. Pada kasus yang tidak berespons
terhadap obat-obat tersebut, digunakan antidepresan. Antidepresan trisiklik
(amitriptilin 50 mg/hari, nortriptilin 10 mg/ hari, imipramin 50 mg/hari) selama 8-12
minggu cukup efektif untuk terapi dispepsia fungsional, SSRI atau SNRI tidak lebih
efektif dari plasebo (Lu et al., 2016).
3. Psikoterapi
Penanganan selanjutnya sebagai bagian dari CLP adalah psikoterapi, ada
beberapa langkah yang bisa ditempuh. Pertama, terangkan pasien, yakinkan bahwa
tidak terdapat gangguan organik pada diri pasien, bila perlu lakukan pemeriksaan
fisik yang teliti disertai tes laboratorium. Beri kesempatan pasien untuk bertanya
dan terangkan mekanisme fisiologi serta keterangan tentang gejala-gejala. Kedua,
beri penjelasan kepada pasien bahwa keluhannya dapat dimengerti dan gejala
23
tersebut juga dijumpai pada orang lain yang pernah berobat. Bantu pasien mengenali
permasalahannya dan arahkan ke pola yang lebih sehat yang akan bermanfaat.
Beritahu bahwa gejala tersebut timbul karena kecemasan dan ketegangan psikis
namun dapat diobati setelah beberapa waktu. Terapi cognitive-Behavior terbukti
efektif pada pasien dengan dispepsia fungsional. Terapi ini membantu pasien secara
sadar mengenali gejala nyeri pada daerah episgastrium dan keluhan cepat kenyang,
mengubah cara berpikir mengenai ide- ide penyebab nyeri dengan pola pikir yang
lebih realitas, memberikan tehnik relaksasi dan melakukan pengalihan perhatian
(Soo dkk, 2004).
1. Penanganan Secara Manipulasi Lingkungan dan Sosioterapi
Terapi selanjutnya dalam penanganan dispepsia fungsional sebagai
bagian dari CLP adalah manipulasi lingkungan dan sosioterapi. Pada terapi ini
akan melibatkan orang-orang terdekat yang berpengaruh kepada pasien seperti
pasangan, keluarga dan kerabat untuk membantu mewujudkan pola therapeutic
community (Soo dkk, 2004).
2. Kepribadian
Kepribadian berasal dari kata latin yaitu persona yang berarti sebuah
topeng yang biasa digunakan dalam sebuah petunjukan drama atau teaterikal,
yang digunakan para aktor romawi kuno dalam menjalankan perannya. Namun
seiring berjalannya waktu, kepribadian adalah pola sifat yang relatif permanen
dan mempunyai karakteristik yang unik yang secara konsisten mempengaruhi
perilakunya (Feist & Feist, 2009).
I. Prognosis
24
Sebagian besar penderita dispepsia fungsional kronis dan kambuhan, dengan
periode asimptomatik diikuti episode relaps. Berdasarkan studi populasi pasien
dispepsia fungsional, 15-20% mengalami gejala persisten, 50% mengalami perbaikan
gejala, dan 30-35% mengalami gejala fluktuatif. Pada studi di Cina, prognosis
dispepsia fungsional mungkin dipengaruhi beberapa hal; kurang tidur dan status
pernikahan buruk memiliki prognosis negatif, sedangkan personalitas ekstrovert
memiliki prognosis positif. Meskipun dispepsia fungsional berlangsung kronis dan
mempengaruhi kualitas hidup, tetapi tak terbukti menurunkan harapan hidup
(Basandra dan Bajaj, 2014).
25
III. KESIMPULAN
Dispepsia banyak dialami dan mengganggu kualitas hidup penderita. Klasifikasi
berdasarkan ada tidaknya lesi organik dari pemeriksaan fisik dan penunjang
(laboratorium, endoskopi). Harus dipertimbangkan kemungkinan penyebab non-
gastrointestinal termasuk iskemi jantung. Direkomendasikan menghindari faktor risiko
26
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah M, Jeffri G. Dispepsia. CDK-197. 2012; 39:647-51
Andre, Y., Machmud, R., Murni, A, W., 2013. Hubungan Pola Makan dengan Kejadian
Depresi pada Penderita Dispepsia Fungsional. Indones J Med. 2(2): 73-5.
Appendix B: Rome III Diagnostic criteria for functional gastrointestinal disorders. Am J
Gastroenterol. 2010;105:798–801.
Basandra S, Bajaj D. Epidemiology of dyspepsia and irritable bowel syndrome in
medical students of Northern India. Journal of Clinical and Diagnostic
Research 2014; 8(12):13-6.
Brun R & Kuo B. 2010. Functional Dyspepsia. Journal of Therapeutic Advances in
Gatroenterology. 3(3): 145-64.Rani AA, Jacobus A. Buku Ajar
Gastroenterologi. Jakarta Pusat: Interna Publishing; 2011
Cahyanto ME, Ratnasari N, Siswanto A (2014). Symptoms of depression and quality of
life in functional dyspepsia patients. J Med Sci, 46 (2): 88-93.
Feist, Jess dan Gregory J. Feist. 2010. Teori Kepribadian. (Theories of Personality).
Jakarta: Salemba Humanika.
Fithriyana, R. (2018). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian
Dispepsia Pada Pasien Di Wilayah Kerja Puskesmas Bangkinang
Kota. PREPOTIF Jurnal Kesehatan Masyarakat, 2(2), 43–54.
Gene, N. Borderline personality disorder : an evaluation of its connection to the brain
and clinical issues. London: Traumatic Stres Service Clinical Treatment
Centre Maudsley Hospital. 2012.
Kumar, A., Patel, J., Sawant, P., 2012. Epidemiology of Functional Dyspepsia. J Assoc
Physicians Ind. 60(9): 9-13.
Larsen, R., J. & Buss, M., D. 2002. Personality Psychology: Domains of Knowledge
about Human Nature. New York: McGraw-Hill.
Lee SW, Lien HC, Lee TY, Yang SS, Yeh HZ, Chang CS, 2014. Etiologi of dyspepsia
among a Chinese population : One hospital-based study. Open Journal of
Gastroenterology
Loyd, R. A. & McClelan, D. A. 2011. Update on the Evaluation and Management of
Functional Dispepsia. American Academy of Family Physicians. Texas
A&M Health
Lu Y CM, Huang Z, Tang C. Antidepressants in the treatment of functional dyspepsia:
A systematic review and meta-analysis. PLoS ONE 2016;11(6):e0157798
Micut, R., Tanasescu, M,D., 2012. A Review of the Psychoemocjonal Functionsl
Dyspepsia. Revista Medicala Romana 59(4):278-286.
27
New, A. S. & Siever, L. J. The Neurobiology and Genetics of Borderline Personality
Disorder. London: Traumatic Stres Service Clinical Treatment Centre
Maudsley
Randall, C.W., Zaga-Galante, J., Vergara-Suarez, A. 2014. Non-Ulcer Dispepsia: A
Review of the Pathophysiology, Evaluation, and Current Management
Strategies, Availablle on http://dx.doi.org/10.4172/2165-8048.S1-002 -
Diakses 15 Mei 2019.
Ristianingsih, R. 2017. Analisis Asuhan Keperawatan Dengan Pemenuhan Kebutuhan
Dasar Nutrisi: Ketidakseimbangan Nutrisi Kurang Dari Kebutuhan Tubuh
Pada Kasus Dispepsia Di Ruang Mawar Rsud Prof Dr. Margono Soekarjo
Purwokerto. Universitas Muhammaddiyah Gombong. Jawa Tengah.
Schellack N, Schellack G, Sandt N, Masuku B. Gastric pain. S Afr Fam Pract. 2015;
57(4):13-9.
Science Center College of Medicine, Bryan, Texas, Availlable from.www.aafp.org/afp -
Diakses 15 Mei 2018.
Soo, S., Forman, D., Delaney, B.C., Moayyedi, P. A Sistematic Review of
Psychological Therapies for Nonulcer Dispepsia. Am J Gastroenterol.
2004;99:1817- 22.
Yehuda,R. 2010. Functional Dyspepsia.Chapel Hill:UNC Center for Functional GI and
Motility Disorder
28