Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PRESENTASI KASUS

KEPANITERAAN KLINIK
INTEGRASI CLUSTER
DISPEPSIA
RSUD CILACAP

Disusun Oleh :
Andrew Kusuma Deny G4A021038

Pembimbing Puskesmas :
dr. Agung Wibowo

KEPANITERAAN INTEGRASI CLUSTER


JURUSAN KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
2023
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN PRESENTASI KASUS
STASE INTEGRASI CLUSTER
RSUD CILACAP
DISPEPSIA

Disusun untuk memenuhi sebagian syarat dari

Kepaniteraan Klinik

Stase Integrasi Cluster

Jurusan Kedokteran Umum

Fakultas Kedokteran

Universitas Jendral Soedirman

Disusun Oleh:

Andrew Kusuma Deny G4A021038

Telah diperiksa, disetujui dan disahkan:

Maret 2023

Preseptor Rumah Sakit

dr. Agung Wibowo

i
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN....................................................................................I
DAFTAR ISI..........................................................................................................II
DAFTAR TABEL................................................................................................III
KATA PENGANTAR.........................................................................................IV
I. STATUS PENDERITA..................................................................................5
A. PENDAHULUAN..............................................................................................5
B. IDENTITAS PENDERITA..................................................................................5
C. ANAMNESIS...................................................................................................5
D. PEMERIKSAAN FISIK......................................................................................7
E. USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG...........................................................10
F. RESUME.......................................................................................................10
G. TATALAKSANA............................................................................................11
H. PROGNOSIS..................................................................................................12
II. TINJAUAN PUSTAKA................................................................................13
III. KESIMPULAN.............................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................27

ii
DAFTAR TABEL

TABEL 2. 1 KLASIFIKASI ROMA III DISPEPSA FUNGSIONAL........................................22


TABEL 2. 2 KRITERIA DIAGNOSTIK ROMA III DISPEPSA FUNGSIONAL...........................22

iii
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa atas berkah dan rahmat-Nya

sehingga penulis masih diberi kesempatan untuk dapat menyelesaikan laporan

kasus dengan judul “Dyspepsia” ini. Terima kasih yang sebesar-besarnya juga

penulis haturkan kepada dr. Agung Wibowo selaku pembimbing penulis sehingga

laporan kasus ini dapat terselesaikan.

Demikian penulis sampaikan, mohon maaf apabila terdapat kesalahan baik

dalam penulisan laporan ini. Penulis berharap supaya laporan kasus ini dapat

bermanfaat bagi para dokter, dokter muda, ataupun para pembaca.

Purwokerto, Maret 2023

Penulis,

Andrew Kusuma Denny

G4A021038

iv
I. STATUS PENDERITA

A. Pendahuluan

Laporan ini disusun berdasarkan kasus yang diambil dari seorang laki-

laki berusia 54 tahun yang berobat di IGD rumah sakit cilacap pada tanggal

26 Maret 2023.

B. Identitas Penderita

Nama : Tn. AK

Usia : 54 tahun

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Status : Sudah Menikah

Pendidikan Terakhir : SMA

Pekerjaan : Karyawan swasta

Agama : Islam

Alamat : Cilacap

Suku : Jawa

Kewargangeraan : Indonesia

Tanggal Periksa : 26 Maret 2023

C. Anamnesis

1. Keluhan utama

Perut terasa tidak nyaman, begah

2. Keluhan tambahan

Mual , Muntah

3. Riwayat penyakit sekarang

5
Pasien datang dengan keluhan perut terasa tidak nyaman dan
begah. Keluhan dirasakan sejak 2 hari yang lalu. Pasien juga mengeluhkan
sempat muntah dan saat ini masih terasa mual. Pasien mengaku secara tiba-
tiba merasakan keluhannya. Pasien mengaku bila terlalu lelah sering
mengeluhkan hal yang serupa. Keluhannya saat ini dirasa mengganggu
aktivitas sehari-hari sehingga pasien memerlukan obat. Pasien sudah
minum obat dari klinik sebelumnya namun belum juga mereda. Pasien juga
mengaku sering telat makan. Keluhan lain seperti demam, batuk pilek,
diare disangkal. BAB dan BAK dalam batas normal.
Pasien mengaku tidak memiliki riwayat alergi obat sebelumnya,
riwayat alergi terhadap makanan juga disangkal. Riwayat makan - makanan
pedas, bersantan, kopi, asam disangkal. Pasien mengaku tidak
mempunyai riwayat sakit yang berat seperti DM, Jantung, Paru. Riwayat
alergi pada keluarga juga disangkal. Riwayat keluhan yang sama pada
keluarganya saat ini disangkal.
Pasien tinggal bersama kedua orang tua dan adiknya di rumah.
Pasien bekerja sebagai karyawan swasta. Pasien sehari-hari makan seperti
biasa dengan lauk pauk 2-3x sehari, namun tidak mesti kadang telat makan
hanya 1x sehari.
4. Riwayat penyakit dahulu

a. Riwayat sakit serupa : (+) bila lelah dan telat makan

b. Riwayat operasi : disangkal

c. Riwayat darah tinggi : disangkal

d. Riwayat kencing manis : disangkal

E Riwayat penyakit paru : disangkal

f. Riwayat penyakit jantung : disangkal

g. Riwayat stroke : disangkal

H Riwayat penyakit ginjal : disangkal

i. Riwayat alergi obat : disangkal

6
j. Riwayat alergi makanan : disangkal

k. Riwayat pengobatan lama : disangkal

5. Riwayat penyakit keluarga

a. Riwayat sakit serupa : disangkal

b. Riwayat darah tinggi : disangkal

c. Riwayat kencing manis : disangkal

d. Riwayat asma : disangkal

e. Riwayat penyakit jantung : disangkal

f. Riwayat stroke : disangkal

g. Riwayat penyakit ginjal : disangkal

h. Riwayat alergi obat : disangkal

i. Riwayat alergi makanan : disangkal

6. Riwayat Sosial Ekonomi

Pasien tinggal bersama kedua orang pasien dan adiknya. Pasien


bekerja sebagaikaryawan swasta. Pasien juga mengaku terkadang makan
tidak teratur. Pasien merupakan pasien BPJS non PBI.
D. Pemeriksaan Fisik

1. Keadaan umum/kesadaran:

Tampak sakit sedang/Compos mentis

2. Status gizi:

a. BB: 65 kg

b. TB: 170 cm

c. IMT 22,5 (Ideal)

7
3. Tanda vital

 Tekanan darah: 139/85 mmHg

 Nadi: 105x/menit

 Suhu: 36c

 Spo2: 100%

4. Kepala: mesosepal

5. Rambut: Warna hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut

6. Mata: refleks pupil (+/+), konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),

injeksi konjungtiva (-/-), edema palpebra (-/-)

7. Telinga: simetris, sekret (-/-)

8. Hidung: Nafas cuping hidung (-/-), epistaksis (-/-), sekret (-/-)

9. Tenggorokan: uvula tidak deviasi, tonsil tenang T1/T1, tonsil dan faring

tidak hiperemis

10. Mulut: mukosa basah, bibir tidak sianosis, lidah kotor

11. Leher: trakea simetris, tidak ada pembesaran KGBB

12. Thorax: simetris, barel chest (-), pigeon chest (-)

13. Jantung:

 Inspeksi: ictus cordis tidak tampak kuat angkat

 Palpasi: tidak kuat angkat

 Perkusi: ictus cordis di SIC 4 parasternal sinistra, batas jantung

normal

 Auskultasi: SI-SII Regular, gallop/S3 (-), murmur (-)

14. Paru

 Inspeksi: tidak ada retraksi dinding dada

8
 Palpasi: fremitus dextra et sinistra simetris

 Perkusi: sonor di semua lapang paru

 Auskultasi: suara dasar vesikular (+), ronki (-), wheezing (-)

15. Abdomen

 Inspeksi: datar, tidak cembung

 Auskultasi: BU(+) Normal 12x/menit

 Perkusi: timpani semua regio abdomen

 Palpasi: nyeri tekan pada regio epigastric, tidak teraba perbesaran

hepar maupun lien, ren dextra et sinistra tidak teraba.

16. Genitalia

Tidak dilakukan

17. Anorektal

Tidak dilakukan

18. Kulit

Sianosis(-), ikterik (-)

19. Ekstremitas

CRT < 2 detik, akral hangat, ptekie (-)

9
E. Usulan Pemeriksaan Penunjang

Untuk menegakkan diagnosis dyspepsia sebenarnya tidak memerlukan

pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mengetahui

penyebab bila ada penyakit yang mendasari. Pemeriksaan penunjang yang

dapat dilakukan adalah:

1. Laboratorium yang meliputi;

a. Darah lengkap

b. Urin lengkap

2. Endoskopi

3. Pemeriksaan fungsi jantung yang meliputi EKG dan ekokardioghraph

untuk mengevaluasi adanya kelainan jantung

4. USG Abdomen

F. Resume

1. Anamnesis

1. Keluhan Utama : Begah

2. Onset : 2 hari sebelum datang ke igd

3. Kronologi : tiba-tiba setelah pasien pulang bekerja.

4. Kualitas : Perut begah terasa tidak nyaman seperti

ada rasa ingin muntah, mual. hal tersebut cukup mengganggu

aktivitas sehari-hari hingga pekerjaan pasien, dengan intensitas

yang cenderung menetap dan terus menerus berskala nyeri 7/10.

5. Kuantitas : 2-3x/ hari, hampir setiap hari

6. Faktor memperberat : kelelahan dan telat makan

10
7. Faktor memperingan : istirahat dan minum obat

8. Keluhan Penyerta : mual , muntah

9. RPD : Pasien sering mengeluhkan hal

yang sama bila kelelahan dan telat makan

2. Pemeriksaan Fisik

1. Tanda vital

 Tekanan darah: 139/85 mmHg

 Nadi: 105x/menit

 Suhu: 36c

 Spo2: 100%

3. Pemeriksaan Penunjang

 Rontgen thorax dbn

G. Diagnosis

1. Diagnosis Klinis

 Dyspepsia Fungsional

2. Diagnosis Banding

 Gasritis Akut

 Gastritis Kronis

 BPPV

H. Tatalaksana

1. Medikamentosa

a. Rehidrasi Cairan : IVFD RL 20 tpm


b. PPI : Inj. Pantoprazole 1 vial
c. Multivitamin : Inj. NB 5000 1 amp

11
2. Non medikamentosa

 Bed rest

 Diet lunak

3. KIE (Komunikasi, informasi, dan edukasi)

a. Menjelaskan kepada pasien bahwa penyakit yang diderita kemungkinan


timbul karena pasien kelelahan dan telat makan
b. Menjelaskan kepada pasien dan keluarga untuk menjaga pola makan
yang teratur 2-3x sehari
c. Menjelaskan kepada pasien untuk isitirahat yang cukup
d. Menjelaskan kepada pasien untuk minum obat secara teratur
e. Menjelaskan kepada pasien untuk menghindari konsumsi makanan pedas
untuk sementara waktu karena dapat menimbulkan iritasi atau asam
lambung naik
I. Prognosis

Ad vitam : ad bonam

Ad Fungsionam : ad bonam

Ad sanationam : ad bonam

12
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Dispepsia merupakan istilah yang digambarkan sebagai suatu kumpulan


gejala atau sindrom yang meliputi nyeri atau rasa tidak nyaman di ulu hati,
kembung, mual, muntah, sendawa, terasa cepat kenyang, perut terasa penuh atau
begah (Ristianingsih, 2017).
B. Klasifikasi Dyspepsia

Menurut Kriteria Roma III dispepsia fungsional dibagi menjadi 2


klasifikasi, yakni postprandial distres syndrome dan epigastric pain syndrome.
Postprandial distres syndrome mewakili kelompok dengan perasaan “begah”
setelah makan dan perasaan cepat kenyang sedangkan epigastric pain syndrome
merupakan rasa nyeri yang lebih konstan dirasakan dan tidak begitu terkait
dengan makan seperti halnya postprandial distress syndrome.

Klasifikasi dispepsia fungsional seperti disajikan pada table 2.1 dibawah ini :

Tabel 2.1. Klasifikasi Dispepsia Fungsional menurut Roma III

Dispepsia Fungsional

Postprandial Distres Syndrome

Kriteria diagnostik terpenuhi bila 2 poin di bawah ini seluruhnya terpenuhi:

1. Rasa penuh setelah makan yang mengganggu, terjadi setelah makan dengan
porsi biasa, sedikitnya terjadi beberapa kali seminggu
2. Perasaan cepat kenyang yang membuat tidak mampu menghabiskan porsi
makan biasa, sedikitnya terjadi beberapa kali seminggu
Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan
terakhir, dengan awal mula gejala timbul sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis.

Kriteria penunjang

13
1. Adanya rasa kembung di daerah perut bagian atas atau mual setelah makan
atau bersendawa yang berlebihan
2. Dapat timbul bersamaan dengan sindrom nyeri epigastrium.

Epigastric Pain Syndrome

Kriteria diagnostik terpenuhi bila 5 poin di bawah ini seluruhnya terpenuhi:

1. Nyeri atau rasa terbakar yang terlokalisasi di daerah epigastrium dengan


tingkat keparahan moderat/sedang, paling sedikit terjadi sekali dalam
seminggu
2. Nyeri timbul berulang
3. Tidak menjalar atau terlokalisasi di daerah perut atau dada selain daerah perut
bagian atas/epigastrium
4. Tidak berkurang dengan BAB atau buang angin
5. Gejala-gejala yang ada tidak memenuhi kriteria diagnosis kelainan kandung
empedu dan sfingter Oddi
Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan
terakhir, dengan awal mula gejala timbul sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis.

Kriteria penunjang

1. Nyeri epigastrium dapat berupa rasa terbakar, namun tanpa menjalar ke daerah
retrosternal
2. Nyeri umumnya ditimbulkan atau berkurang dengan makan, namun mungkin
timbul saat puasa
3. Dapat timbul bersamaan dengan sindrom distres setelah makan.
(Diambil dari Appendix B: Roma III. 2010)
C. Epidemiologi
Dispepsia merupakan masalah umum yang sering ditemukan pada klinik
pengobatan. Ketika pasien selama pengobatan mempunyai gejala tanpa penyebab
yang jelas sering didiagnosa non-ulcer dispepsia. Beberapa laporan menyebutkan
presentase dispepsia karena kelainan organik sekitar 25%-33% dan 67%-75%
tanpa penyebab yang jelas. Di seluruh dunia mempunyai prevalensi sekitar 10%-
40%. Hal itu menunjukan bahwa diagnosis dan evaluasi harus segera dilakukan.

14
Keterlambatan diagnosis akan menyebabkan pasien dalam penderitaan dan
peningkatan biaya pemeliharaan kesehatan (Randall et al., 2014).

Prevalensi dispepsia fungsional bervariasi mulai 7%-45% di seluruh dunia


dan semua penelitian epidemiologi selalu mengacu pada klasifikasi kriteria
Roma III. Menurut studi berbasiskan populasi pada tahun 2007, ditemukan
peningkatan prevalensi dispepsia fungsional dari 1,9% pada tahun 1988 menjadi
3,3% pada tahun 2003. Sedangkan pada tahun 2010, dispepsia fungsional
dilaporkan memiliki tingkat prevalensi tinggi, yakni 5% dari seluruh kunjungan
ke sarana layanan kesehatan primer (Lee et al., 2014).

Beberapa penelitian yang dilakukan dalam beberapa populasi hasilnya


menunjukkan perbandingan wanita lebih banyak menderita dispepsia fungsional
daripada laki-laki yaitu 1,4 : 1 di Hongkong, 1,12 : 1,04 di Korea, 1,35 : 1,15 di
Malaysia dan 1,16 : 1,01 di Singapura. Sedangkan pada ulkus peptikum
perbandingan laki-laki dan wanita 2 : 1. Insiden ulkus meningkat pada usia
pertengahan (Pulanic, 2011). Namun, suatu penelitian di Jepang menunjukkan
perbandingan prevalensi lebih besar pada laki-laki daripada wanita yaitu 2:1
(Kumar et al., 2012).

Prevalensi dispepsia fungsional berdasarkan kriteria umur ditemukan


meningkat secara signifikan yaitu : 7,7% pada umur 15-17 tahun, 17,6% pada
umur 18-24 tahun, 18,3% pada umur 25-34 tahun, 19,7% pada umur 35-44 tahun,

22,8% pada umur 45-54 tahun, 23,7% pada umur 55-64 tahun, dan 24,4% pada
umur di atas 65 tahun (Brun & Kuo, 2010). Menurut penelitian yang dilakukan
oleh di FKUI-RSCM ditemukan bahwa rentang umur kunjungan pasien ke
Poliklinik Penyakit Dalam adalah 15 sampai 70 tahun. Variabel demografik
seperti tingkat sosial atau derajat urbanisasi tidak mempengaruhi prevalensi
dispepsia . Berdasarkan data dari berbagai rumah sakit di Indonesia frekwensi
dispepsia fungsional sekitar 60%-70% dari seluruh pasien yang masuk ke Bagian
Gastroenterology-hepatology (Cahyanto et al., 2014).

D. Etiologi dan Patofisiologi

15
Menurut Fithriyana (2018) Dispepsia disebabkan karena makan yang tidak
teratur sehingga memicu timbulnya masalah lambung dan pencernaannya menjadi
terganggu. Ketidakteraturan ini berhubungan dengan waktu makan, seperti berada
dalam kondisi terlalu lapar namun kadang-kadang terlalu kenyang. Selain itu
kondisi faktor lainnya yang memicu produksi asam lambung berlebihan,
diantaranya beberapa zat kimia, seperti alcohol, umumnya obat penahan nyeri,
asam cuka, makanan dan minuman yang bersifat asam, makanan yang pedas serta
bumbu yang merangsang.
Mekanisme patofisiologi timbulnya dispepsia fungsional atau ulkus
peptikium masih belum seluruhnya dapat diterangkan secara pasti. Hal ini
menunjukan bahwa dispepsia fungsional merupakan sekelompok gangguan yang
heterogen, namun sudah terdapat banyak bukti dari hasil penelitian para ahli yang
dapat dijadikan pegangan. Beberapa studi menghubungkan mekanisme
patofisiologi dispepsia fungsional dengan terjadinya infeksi H. Pylori,
ketidaknormalan motilitas, gangguan sensori visceral, faktor psikososial, dan
perubahan-perubahan fisiologi tubuh yang meliputi gangguan pada sistem saraf
otonom vegetatif, sistem neuroendokrin, serta sistem imun tubuh. Sedangkan
Patofisiologi ulkus peptikum diperkirakan akibat ketidak seimbangan antara
tekanan agresif (HCL dan pepsin) yang menyebabkan ulserasi dan tekanan defensif
yang melindungi lambung ( barier mukosa lambung, barier mukus lambung, sekresi
HCO3) (Yehuda, 2010).
Patofisiologi dispepsia fungsional dapat diterangkan melalui beberapa teori
dibawah ini (Yehuda, 2010) :
1. Infeksi H. Pylori

Peranan infeksi H. Pylori dengan timbulnya dispepsia fungsional


sampai saat ini masih terus diselidiki dan menjadi perdebatan dikalangan para
ahli Gastrohepatologi. Studi populasi yang besar telah menunjukan
peningkatan insiden infeksi H. Pylori pada pasien dengan dispepsia fungsional.
Beberapa ahli berpendapat H. Pylori akan menginfeksi lambung jika lambung
dalam keadaan kosong pada jangka waktu yang cukup lama. Infeksi H.
Pylori menyebabkan penebalan otot dinding lambung yang selanjutnya
meningkatkan massa otot sehingga kontraksi otot bertambah dan pengosongan

16
lambung akan semakin cepat. Pengosongan lambung yang cepat akan
membuat lambung kosong lebih lama dari biasanya dan H. Pylori akan
semakin menginfeksi lambung tersebut, dan bisa sebagai predictor timbulnya
ulkus peptikum.

2. Ketidaknormalan Motilitas
Dengan studi Scintigraphic Nuclear dibuktikan lebih dari 50% pasien
dispepsia fungsional mempunyai keterlambatan pengosongan makanan dalam
lambung. Demikian pula pada studi Monometrik didapatkan gangguan
motilitas antrum postprandial. Penelitian terakhir menunjukan bahwa fundus
lambung yang “kaku” bertanggung jawab terhadap sindrom dispepsia. Pada
keadaan normal seharusnya fundus lambung relaksasi, baik saat mencerna
makanan maupun bila terjadi distensi duodenum. Pengosongan makanan
bertahap dari corpus lambung menuju ke bagian fundus lambung dan
duodenum diatur oleh refleks vagal. Pada beberapa pasien dispepsia
fungsional, refleks ini tidak berfungsi dengan baik sehingga pengisian bagian
antrum terlalu cepat. Bila berlangsung lama bisa sebagai predictor ulkus
peptikum (Gene, 2012).

3. Gangguan Sensori Visceral


Lebih 50% pasien dispepsia fungsional menunjukan sensitifitas
terhadap distensi lambung atau intestinum, oleh karena itu mungkin akibat :
makanan yang sedikit mengiritasi seperti makanan pedas, distensi udara,
gangguan kontraksi lambung intestinum atau distensi dini bagian antrum
postprandial dapat menginduksi nyeri pada bagian ini.

4. Faktor Psikososial
Faktor psikis dan stresor seperti depresi, cemas, dan stres ternyata
memang dapat menimbulkan peningkatan hormon kortisol yang berakibat
kepada gangguan keseimbangan sistem saluran cerna, sehingga terlihat bahwa
pada hormon kortisol yang tinggi ternyata memberikan manifestasi klinik
dispepsia yang lebih berat. Jadi semakin tinggi nilai kortisol akan
menyebabkan semakin beratnya klinis dispepsia. Begitu juga dengan
perubahan gaya hidup seperti kurang olahraga, merokok, dan gangguan tidur

17
juga memiliki efek terhadap peningkatan asam lambung dan perubahan
aktivitas otot dinding lambung yang meningkatkan kemungkinan terjadinya
dyspepsia (Micut, 2012).

5. Gangguan Keseimbangan Neuroendokrin


Gangguan sekresi pada lambung dapat terjadi karena gangguan jalur
endokrin melalui poros hipotalamus – pituitary – adrenal ( HPA axis). Pada
keadaan ini terjadi peningkatan kortisol dari korteks adrenal akibat rangsangan
dari korteks serebri diteruskan ke hipofisis anterior sehingga terjadi
pengeluaran hormone kortikotropin. Peningkatan kortisol ini akan merangsang
produksi asam lambung (Gene, 2012).

6. Gangguan Keseimbangan Sistem Saraf Otonom Vegetatif


Pada keadaan ini konflik emosi yang timbul diteruskan melalui korteks
serebri ke sistem limbik kemudian ke hipotalamus dan akhirnya ke sistem saraf
otonom vegetatif. Sistem saraf otonom terdiri dari dua subsistem yaitu sistem
saraf simpatis dan sistem saraf parasimpatis. Konflik emosi akan
meningkatkan pelepasan neurotransmitter acetylcholine oleh Sistem saraf
simpatis yang mengakibatkan peningkatan peristaltik dan sekresi asam
lambung. Sedangkan sistem saraf parasimpatis hampir 75% dari seluruh
serabut sarafnya didominasi oleh nervus vagus (saraf kranial X). saraf dari
parasimpatik meninggalkan sistem saraf pusat melalui nervus vagus menuju
organ yang dipersarafi secara langsung yaitu : mempersarafi lambung dengan
cara merangsang sekresi asetilkolin, gastrin, dan histamine yang akhirnya
memunculkan keluhan dispepsia bila terjadi difungsi persarafan vagal.
Disfungsi nervus vagal akan menimbulkan kegagalan relaksasi bagian
proksimal lambung sewaktu menerima makanan, sehingga menimbulkan
gangguan akomodasi lambung dan rasa cepat kenyang. Serat-serat saraf
simpatis maupun parasimpatis juga mensekresikan neurotransmiter sinaps
yaitu asetilkolin atau norepinefrin. Kedua neurotransmitter tersebut akan
mengaktivasi atau menginhibisi presinap maupun postsinap saraf simpatik dan

18
parasimpatik sehingga menimbulkan efek eksitasi pada beberapa organ tetapi
menimbulkan efek inhibisi pada organ lainnya salah satunya adalah organ
lambung. Terjadinya ketidakseimbangan eksitasi maupun inhibisi pada kedua
neurotransmitter menyebabkan perubahan-perubahan aktivitas pada organ
lambung yang dipersarafinya baik peningkatan maupun penurunan aktivitas,
sehingga bisa memunculkan keluhan dispepsia (New & Siever, 2008).

7. Perubahan Dalam Sistem Imun


Faktor psikis dan stresor akan mempengaruhi sistem imun dengan
menerima berbagai input, termasuk input dari stresor yang mempengaruhi
neuron bagian Medial Paraventriculer Hypothalamus melalui pengaktifan
sistem endokrin hypothalamus-pituitary axis (HPA), bila terjadi stres yang
berulang atau kronis, maka akan terjadi disregulasi dari sistem endokrin
hypothalamus-pituitary axis (HPA ) melalui kegagalan dari mekanisme umpan
balik negative. Faktor psikis dan stres juga mempengaruhi sistem imun
melalui mengaktivasi sistem noradrenergik di otak, tepatnya di locus cereleus
yang menyebabkan peningkatan pelepasan ketekolamin dari sistem saraf
otonom. Selain itu akibat pelepasan neuropeptida dan adanya reseptor
neuropeptida pada limfosit B dan Limfosit T, dan terjadi ketidakcocokan
neuropeptida dan reseptornya akan menyebabkan stres dan dapat
mempengaruhi kualitas sistem imun seseorang, yang pada akhirnya akan
muncul keluhan-keluhan psikosomatik salah satunya pada organ lambung
dengan manifestasi klinis berupa keluhan dispepsia. Bila keluhan somatik ini
berlangsung lama, bisa juga sebagai prediktor timbulnya dispepsia organik
berupa ulkus peptikum atau duodenum (Gene, 2012).

E. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis pada sindrom dispepsia antara lain rasa nyeri atau
ketidaknyamanan di perut, rasa penuh di perut setelah makan, kembung, rasa
kenyang lebih awal, mual, muntah, atau bersendawa. Pada dispepsia organik,
kecenderungkan keluhan tersebut menentap, disertai rasa kesakitan dan jarang
memiliki riwayat psikiatri sebelumnya. Sedangkan pada dispepsia fungsional

19
terdapat dua pola yang telah ditentukan adalah: a) postprandial distres syndrome,
dan b) epigastric pain syndrome (Abdullah dan Gunawan, 2012).
Kriteria Roma III menjelaskan dua pola dispepsia yang berbeda tergantung
pada apakah gejala tersebut terutama berkaitan dengan asupan makanan dan atau
berkaitan dengan ketidakmampuan untuk menyelesaikan makan (postprandial
distres syndrome) atau lebih didominasi oleh rasa sakit (epigastric pain syndrome)
(Abdullah dan Gunawan, 2012).
Sementara pola ini dikembangkan lebih berdasarkan kepada pendapat ahli
daripada bukti klinis, beberapa data yang mendukung relevansi klinis untuk
perbedaan ini mulai muncul dengan satu penelitian misalnya, menunjukkan bahwa
kecemasan berhubungan dengan postprandial distres syndrome tetapi tidak
berhubungan dengan epigastric pain syndrome dan yang lain menunjukkan bahwa
genetik berhubungan dengan epigastric pain syndrome dan tidak berhubungan
dengan postprandial distres syndrome (Abdullah dan Gunawan, 2012).
F. Diagnosis
Keluhan utama yang menjadi kunci untuk mendiagnosis dispepsia adalah
adanya nyeri dan atau rasa tidak nyaman pada perut bagian atas. Apabila ditemukan
adanya kelainan organik atau struktural organ lambung, perlu dipikirkan
kemungkinan diagnosis dispepsia organik, sedangkan bila tidak ditemukan kelainan
organik apa pun, dipikirkan kecurigaan ke arah dispepsia fungsional. Penting diingat
bahwa dispepsia fungsional merupakan diagnosis by exclusion, sehingga idealnya
terlebih dahulu harus benar-benar dipastikan tidak ada kelainan yang bersifat organik
pada pemeriksaan endoskopi (Abdullah dan Gunawan, 2012). Roma III memberikan
kriteria diagnostik untuk dispepsia fungsional seperti table 2.2 berikut:

Tabel 2.2. Kriteria Diagnostik Roma III untuk Dispepsia

Fungsional Dispepsia Fungsional

Memenuhi salah satu gejala atau lebih dari:


 Rasa penuh setelah makan yang mengganggu.
 Rasa cepat kenyang.
 Nyeri epigastrium.
 Rasa terbakar di epigastrium. dan

20
 Tidak ada bukti kelainan struktural (termasuk hasil endoskopi saluran
cerna bagian atas) yang mungkin dapat menjelaskan timbulnya gejala.
Kriteria terpenuhi selama minimal 3 bulan, dengan onset gejala minimal 6 bulan
sebelum diagnosis.

(Diterjemahkan dari Chang, 2006).


G. Diagnosis Banding
Gambaran klinis dispepsia terkadang tumpang tindih dengan penyakit saluran
cerna lain ataupun penyakit non-saluran cerna. Penyakit saluran cerna lain: „
Saluran cerna atas (GERD, functional heartburn, mual idiopatik) „
Saluran cerna bawah (irritable bowel syndrome)
Penyakit non-saluran cerna: „
Penyakit jantung seperti: iskemia, atrial fibrilasi „
Sindrom nyeri somatik (fibromialgia, chronic fatigue syndrome, interstitial
cystitis/ bladder pain syndrome, dan overactive bladder).
H. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan dispepsia awal terdiri dari pengkajian riwayat penyakit untuk


mengetahui semua gejala dispepsia sangat penting untuk mengetahui apa masalah
utama dari pasien. Hal ini penting karena penatalaksanaan dispepsia bertujuan untuk
mengendalikan gejala daripada pengobatan permanen penyakitnya. Pemeriksaan fisik
yang lengkap untuk menyingkirkan adanya gangguan struktural seperti pemeriksaan
endoskopi sangatlah diperlukan. Langkah selanjutnya adalah menentukan tujuan dari
terapi. Langkah ini harus memperhatikan tujuan dasar dilakukannya pengobatan yaitu
tidak hanya mencegah kematian, tetapi juga menolong kehidupan. Tujuan terapi pada
pasien dispepsia fungsional adalah bagaimana pasien mampu mengelola kekhawatiran
terhadap penyakitnya dan mampu meningkatkan kualitas kesehatannya (Loyd &
McClelan, 2011). Dalam Ilmu Kesehatan Jiwa atau Ilmu p sikiatri terdapat
subspesialisasi Consultation Liaison Psychiatry (CLP) yang mempunyai peranan
menjembatani Bagian Psikiatri dengan Bagian Spesialisasi lainnya atau sebaliknya.
CLP bertujuan memberikan pelayanan yang holistik, tidak hanya kesembuhan
penyakit secara fisik namun juga meliputi kesehatan mental serta kualitas hidup pasien
(Musana dkk, 2006). Secara umum pengobatan gangguan dispepsia fungsional dengan

21
pendekatan CLP dibagi menjadi 3 golongan besar, yaitu : somatoterapi, psikoterapi,
manipulasi lingkungan dan sosioterapi. Pembagian tersebut hanyalah merupakan
bentuk karya ilmu yang dipergunakan untuk mempermudah pemikiran. Manusia
sebagai makhluk Bio-Psiko-Sosial- Spiritual yang tidak dapat terpisahkan menuntut
ketiga golongan penatalaksanaan tersebut untuk dilakukan secara bersamaan dan
komprehensif (Loyd dan McClelan, 2011).

1. Consultation Liaison Psychiatry (CLP)

Merupakan subspesialis dari psikiatri yang berperan sebagai penghubung


yang memungkinkan kerja sama antara psikiater dengan spesialis medis lain. Dalam
CLP seorang psikiater berperan sebagai penyalur keahlian psikiatri dengan disiplin
ilmu lainnya yaitu : Ilmu Penyakit Dalam untuk membantu penanganan
komorbiditas psikologik, psikiatrik, dan psikofisiologik pada pasien yang
mengalami keluhan dispepsia. Jadi CLP meliputi pelajaran, pelatihan, pengajaran
komorbiditas medik (Aksis III) dan Psikiatrik (Aksis I dan II). Seorang psikiater
Consultation Liaison harus mempunyai tehnik komunikasi yang baik, ilmu
pengetahuan yang luas dalam hal interaksi antara obat psikotropik dan medis
lainnya (Loyd dan McClelan, 2011).

CLP didasarkan pada enam prinsip dalam penanganan dispepsia fungsional


(Loyd dan McClelan, 2011). :

 Hubungan kerja yang erat antara psikiater dan internist. Hubungan ini
menjadi lebih penting dari pada permintaan konsultasi tertulis dan bentuk
dasar dari laporan pribadi antara dokter selama proses konsultasi.
 Keterlibatan psikiater sejak awal perjalanan terapi pasien, terutama setelah
dilakukan pemeriksaan endoskopi dan tidak ditemukan adanya suatu
kelainan structural.
 Keterlibatan dalam seluruh team medis pada terapi pasien
dispepsia.melalui kerjasama yang erat dengan tenaga kesehatan sosial dan
keperawatan, psikiater dapat memperluas perannya termasuk pengawasan
terhadap orang yang terlibat dalam perjalanan diagnosis dan perawatan
dari pasien dispepsia

22
 Komitmen untuk mengikuti perjalanan dari pasien dispepsia. Konsultasi
yang sederhana tidak cukup. Setelah saran untuk terapi diberikan, CLP
harus mengikuti seluruh perjalanan di rumah sakit, bahkan setelah
pemutusan hubungan dilakukan.
 Pemahaman terhadap konflik utama intrapsikis dan intrakeluarga.
Hubungan psikoterapi antara pasien dan psikiater dapat
mempertimbangkan keuntungan bagi pasien dan keluarga.

Perhatian terhadap fungsi dari “medical ombudsman.” Psikiater liaison dapat


menolong penerimaan terhadap teknologi dan badan pelayanan kesehatan mutakhir

2. Farmakologi
Terapi dispepsia fungsional perlu dibedakan untuk subtipe nyeri atau distres
postprandial. Pada tipe nyeri epigastrium, lini pertama terapi bertujuan menekan
asam lambung (H2-blocker, PPI). Pada tipe distres postprandial, lini pertama dengan
prokinetik, seperti metoklopramid/domperidon (antagonis dopamin), acotiamide
(inhibitor asetilkolinesterase), cisapride (antagonis serotonin tipe 3 /5HT3),
tegaserod (agonis 5HT4), buspiron (agonis 5HT1a). Bila lini pertama gagal, PPI
dapat digunakan untuk tipe distres postprandial dan prokinetik untuk tipe nyeri.
Kombinasi obat penekan asam lambung dan prokinetik bermanfaat pada beberapa
pasien. Tidak ada terapi yang efektif untuk semua pasien; berbagai terapi dapat
digunakan secara berurutan ataupun kombinasi. Pada kasus yang tidak berespons
terhadap obat-obat tersebut, digunakan antidepresan. Antidepresan trisiklik
(amitriptilin 50 mg/hari, nortriptilin 10 mg/ hari, imipramin 50 mg/hari) selama 8-12
minggu cukup efektif untuk terapi dispepsia fungsional, SSRI atau SNRI tidak lebih
efektif dari plasebo (Lu et al., 2016).
3. Psikoterapi
Penanganan selanjutnya sebagai bagian dari CLP adalah psikoterapi, ada
beberapa langkah yang bisa ditempuh. Pertama, terangkan pasien, yakinkan bahwa
tidak terdapat gangguan organik pada diri pasien, bila perlu lakukan pemeriksaan
fisik yang teliti disertai tes laboratorium. Beri kesempatan pasien untuk bertanya
dan terangkan mekanisme fisiologi serta keterangan tentang gejala-gejala. Kedua,
beri penjelasan kepada pasien bahwa keluhannya dapat dimengerti dan gejala

23
tersebut juga dijumpai pada orang lain yang pernah berobat. Bantu pasien mengenali
permasalahannya dan arahkan ke pola yang lebih sehat yang akan bermanfaat.
Beritahu bahwa gejala tersebut timbul karena kecemasan dan ketegangan psikis
namun dapat diobati setelah beberapa waktu. Terapi cognitive-Behavior terbukti
efektif pada pasien dengan dispepsia fungsional. Terapi ini membantu pasien secara
sadar mengenali gejala nyeri pada daerah episgastrium dan keluhan cepat kenyang,
mengubah cara berpikir mengenai ide- ide penyebab nyeri dengan pola pikir yang
lebih realitas, memberikan tehnik relaksasi dan melakukan pengalihan perhatian
(Soo dkk, 2004).
1. Penanganan Secara Manipulasi Lingkungan dan Sosioterapi
Terapi selanjutnya dalam penanganan dispepsia fungsional sebagai
bagian dari CLP adalah manipulasi lingkungan dan sosioterapi. Pada terapi ini
akan melibatkan orang-orang terdekat yang berpengaruh kepada pasien seperti
pasangan, keluarga dan kerabat untuk membantu mewujudkan pola therapeutic
community (Soo dkk, 2004).

2. Kepribadian
Kepribadian berasal dari kata latin yaitu persona yang berarti sebuah
topeng yang biasa digunakan dalam sebuah petunjukan drama atau teaterikal,
yang digunakan para aktor romawi kuno dalam menjalankan perannya. Namun
seiring berjalannya waktu, kepribadian adalah pola sifat yang relatif permanen
dan mempunyai karakteristik yang unik yang secara konsisten mempengaruhi
perilakunya (Feist & Feist, 2009).

Larsen dan Buss mendefinisikan kepribadian adalah seperangkat sifat-


sifat psikologikal dan mekanisme di dalam diri individu yang diatur yang relatif
menetap dan dapat mempengaruhi interaksi individu dengan yang lain serta
untuk beradaptasi dengan lingkungan baik intrafisik, fisik, dan lingkungan
sosial. Trait digambarkan sebagai karakteristik yang mendiskripskan kebiasaan
dimana setiap orang berbeda dengan yang lain (Larsen & Buss, 2002)
Penelitian lainnya, mendefinisikan kepribadian sebagai jumlah total dari cara
seseorang untuk bereaksi dan berinteraksi dengan orang lain.

I. Prognosis

24
Sebagian besar penderita dispepsia fungsional kronis dan kambuhan, dengan
periode asimptomatik diikuti episode relaps. Berdasarkan studi populasi pasien
dispepsia fungsional, 15-20% mengalami gejala persisten, 50% mengalami perbaikan
gejala, dan 30-35% mengalami gejala fluktuatif. Pada studi di Cina, prognosis
dispepsia fungsional mungkin dipengaruhi beberapa hal; kurang tidur dan status
pernikahan buruk memiliki prognosis negatif, sedangkan personalitas ekstrovert
memiliki prognosis positif. Meskipun dispepsia fungsional berlangsung kronis dan
mempengaruhi kualitas hidup, tetapi tak terbukti menurunkan harapan hidup
(Basandra dan Bajaj, 2014).

25
III. KESIMPULAN
Dispepsia banyak dialami dan mengganggu kualitas hidup penderita. Klasifikasi
berdasarkan ada tidaknya lesi organik dari pemeriksaan fisik dan penunjang
(laboratorium, endoskopi). Harus dipertimbangkan kemungkinan penyebab non-
gastrointestinal termasuk iskemi jantung. Direkomendasikan menghindari faktor risiko

pencetus dan terapi farmakologis.

26
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah M, Jeffri G. Dispepsia. CDK-197. 2012; 39:647-51
Andre, Y., Machmud, R., Murni, A, W., 2013. Hubungan Pola Makan dengan Kejadian
Depresi pada Penderita Dispepsia Fungsional. Indones J Med. 2(2): 73-5.
Appendix B: Rome III Diagnostic criteria for functional gastrointestinal disorders. Am J
Gastroenterol. 2010;105:798–801.
Basandra S, Bajaj D. Epidemiology of dyspepsia and irritable bowel syndrome in
medical students of Northern India. Journal of Clinical and Diagnostic
Research 2014; 8(12):13-6.
Brun R & Kuo B. 2010. Functional Dyspepsia. Journal of Therapeutic Advances in
Gatroenterology. 3(3): 145-64.Rani AA, Jacobus A. Buku Ajar
Gastroenterologi. Jakarta Pusat: Interna Publishing; 2011
Cahyanto ME, Ratnasari N, Siswanto A (2014). Symptoms of depression and quality of
life in functional dyspepsia patients. J Med Sci, 46 (2): 88-93.
Feist, Jess dan Gregory J. Feist. 2010. Teori Kepribadian. (Theories of Personality).
Jakarta: Salemba Humanika.
Fithriyana, R. (2018). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian
Dispepsia Pada Pasien Di Wilayah Kerja Puskesmas Bangkinang
Kota. PREPOTIF Jurnal Kesehatan Masyarakat, 2(2), 43–54.
Gene, N. Borderline personality disorder : an evaluation of its connection to the brain
and clinical issues. London: Traumatic Stres Service Clinical Treatment
Centre Maudsley Hospital. 2012.
Kumar, A., Patel, J., Sawant, P., 2012. Epidemiology of Functional Dyspepsia. J Assoc
Physicians Ind. 60(9): 9-13.
Larsen, R., J. & Buss, M., D. 2002. Personality Psychology: Domains of Knowledge
about Human Nature. New York: McGraw-Hill.
Lee SW, Lien HC, Lee TY, Yang SS, Yeh HZ, Chang CS, 2014. Etiologi of dyspepsia
among a Chinese population : One hospital-based study. Open Journal of
Gastroenterology
Loyd, R. A. & McClelan, D. A. 2011. Update on the Evaluation and Management of
Functional Dispepsia. American Academy of Family Physicians. Texas
A&M Health
Lu Y CM, Huang Z, Tang C. Antidepressants in the treatment of functional dyspepsia:
A systematic review and meta-analysis. PLoS ONE 2016;11(6):e0157798
Micut, R., Tanasescu, M,D., 2012. A Review of the Psychoemocjonal Functionsl
Dyspepsia. Revista Medicala Romana 59(4):278-286.

27
New, A. S. & Siever, L. J. The Neurobiology and Genetics of Borderline Personality
Disorder. London: Traumatic Stres Service Clinical Treatment Centre
Maudsley
Randall, C.W., Zaga-Galante, J., Vergara-Suarez, A. 2014. Non-Ulcer Dispepsia: A
Review of the Pathophysiology, Evaluation, and Current Management
Strategies, Availablle on http://dx.doi.org/10.4172/2165-8048.S1-002 -
Diakses 15 Mei 2019.
Ristianingsih, R. 2017. Analisis Asuhan Keperawatan Dengan Pemenuhan Kebutuhan
Dasar Nutrisi: Ketidakseimbangan Nutrisi Kurang Dari Kebutuhan Tubuh
Pada Kasus Dispepsia Di Ruang Mawar Rsud Prof Dr. Margono Soekarjo
Purwokerto. Universitas Muhammaddiyah Gombong. Jawa Tengah.
Schellack N, Schellack G, Sandt N, Masuku B. Gastric pain. S Afr Fam Pract. 2015;
57(4):13-9.
Science Center College of Medicine, Bryan, Texas, Availlable from.www.aafp.org/afp -
Diakses 15 Mei 2018.
Soo, S., Forman, D., Delaney, B.C., Moayyedi, P. A Sistematic Review of
Psychological Therapies for Nonulcer Dispepsia. Am J Gastroenterol.
2004;99:1817- 22.
Yehuda,R. 2010. Functional Dyspepsia.Chapel Hill:UNC Center for Functional GI and
Motility Disorder

28

Anda mungkin juga menyukai