Anda di halaman 1dari 38

LAPORAN KASUS

“Seorang Perempuan 49 tahun dengan Keluhan Perut Membesar”

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi salah satu syarat dalam menempuh
Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Ilmu Penyakit Dalam

di Rumah Sakit Umum Daerah Tugurejo

Disusun oleh :

Restu Marlia Rizky

H2A019015

Pembimbing :

dr. Setyoko, Sp.PD

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG

SEMARANG

2019

1
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Restu Marlia Rizky


NIM : H2A019015
Fakultas : Kedokteran Umum
Universitas : Universitas Muhammadiyah Semarang
Bidang Pendidikan : Ilmu Penyakit Dalam
Pembimbing : dr. Setyoko, Sp.PD

Telah diperiksa dan disahkan pada tanggal Oktober 2019

Pembimbing

dr. Setyoko, Sp.PD

2
DAFTAR MASALAH
No Masalah aktif Tanggal

1. Asites 15-10-2019
2. Sirosis Hepatis 15-10-2019

3
BAB I
STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Ny. S
Tanggal lahir : 07 Juli 1970
Umur : 49 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Wonosari Semarang
Pekerjaan : Pedagang
Agama : Islam
Bangsal : Dahlia 4
No. RM : 24-89-69
Tanggal Masuk RS :15 Oktober 2019
Tanggal Dikasuskan :15 Oktober 2019

B. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan di Bangsal Dahlia 4 RSUD Tugurejo Semarang
pada tanggal 15 Oktober 2019 secara autoanamnesis dan alloanamnesis
kepada keluarganya.
1. Keluhan Utama : Perut Membesar Sejak 3 Minggu
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Ny. S datang ke RSUD Tugurejo Semarang dengan Keluhan Perut
membesar sejak 3 minggu yang lalu. Perut membesar secara perlahan-
lahan. Pasien merasa semakin lama semakin menegang dan perut terasa
sebah. Keluhan perut membesar sangat mengganggu aktivitas pasien dalam
berjualan. Keluhan dirasa makin lama makin mengganggu dengan
bertambah besarnya perut pasien. Tiap bulannya selama 6 bulan ini pasien

4
rutin memeriksakan kondisinya ke dokter untuk dilakukan penyedotan
cairan pada perut pasien.
Pasien tidak merasakan nyeri perut, pasien merasa sesak seiring
bertambah besarnya perut pasien dan sudah berlangsung selama 3 hari ini.
Sesak yang dirasakan seperti tertekan dan mengganggu aktifitas pasien.
Sesak terasa membaik apabila pasien tidur dengan posisi setengah duduk.
Awalnya pasien tidak ingin memeriksakan kondisinya karena berpikir
perutnya akan mengecil dengan sendirinya, tetapi pasien merasa tidak
nyaman dengan bertambah besarnya perut pasien dan disertai sesak
sehingga pasien datang ke Rumah Sakit.
Pasien juga mengeluhkan nafsu makan menurun yang diikuti
penurunan berat badan + 15 kg dalam 6 bulan terakhir. Mual muntah (-),
demam (-). BAK normal tidak ada keluhan, BAB normal tidak ada
keluhan, tetapi 6 bulan yang lalu pasien mempunyai riwayat muntah darah
dan BAB berdarah. Pasien juga mempunyai Riwayat Gastritis dan rutin
konsumsi ranitidin, tidak ada riwayat Hepatitis B yang di buktikan pada
saat pemeriksaan Lab 6 bulan yang lalu. Pasien juga mengatakan pasien
mempunyai penyakit liver yang di buktikan dengan pemeriksaan USG
Abdomen 6 bulan yang lalu. Pasien mempunyai riwayat operasi hernia
umbilikus.
Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat sakit serupa : Diakui, sudah 5 kali
b. Riwayat hipertensi : Disangkal
c. Riwayat sakit jantung : Disangkal
d. Riwayat sakit ginjal : Disangkal
e. Riwayat DM : Disangkal
f. Riwayat asam urat : Disangkal
g. Riwayat kolesterol : Disangkal
h. Riwayat asma : Disangkal

5
i. Riwayat alergi obat dan makanan : Disangkal
j. Riwayat hepatitis B : Disangkal
k. Riwayat penyakit liver : Disangkal
l. Riwayat gastritis : Diakui
m. Riwayat rawat inap : Diakui, sudah 6 kali

3. Riwayat Penyakit Keluarga


a. Riwayat sakit serupa : Disangkal
b. Riwayat hipertensi : Disangkal
c. Riwayat penyakit jantung : Disangkal
d. Riwayat DM : Disangkal
e. Riwayat alergi : Disangkal
f. Riwayat asma : Disangkal
g. Riwayat sakit liver : Disangkal

4. Riwayat Pribadi
a. Riwayat makanan : Konsumsi makanan
pedas (-)
b. Riwayat minum alkohol : Disangkal
c. Riwayat olahraga : Disangkal

5. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien seorang Pedagang. Biaya pengobatan menggunakan BPJS.

B. ANAMNESIS SISTEMIK
1. Kepala : Pusing (-), sakit kepala (-)
2. Mata : Penglihatan kabur (-), pandangan ganda (-),
pandangan berputar (-), berkunang-kunang (-)

6
3. Hidung : Pilek (-), mimisan (-), tersumbat (-)
4. Telinga : Pendengaran berkurang (-), berdenging (-),
keluar cairan (-), darah (-).
5. Mulut : Sariawan (-), luka pada sudut bibir (-), gusi
berdarah(-).
6. Tenggorokan : Sakit menelan (-), suara serak (-), gatal (-).
7. Sistem respirasi : Batuk (-), sesak nafas (+)
8. Sistem kardiovaskuler : Sesak nafas saat beraktivitas (-), nyeri dada(-),
berdebar-debar (-), keringat dingin (-).
9. Sistem gastrointestinal : Diare (-), BAB darah (-), muntah darah (-),
nyeriperut (-)
10. Sistem muskulo skeletal: Nyeri otot (-), nyerisendi (-).
11. Sistem genitourinaria : Sering kencing (-), nyeri saat kencing (-),
disertai darah (-), berpasir (-), kencing nanah (-), sulit memulai
kencing (-), anyang- anyangan (-).
12. Ekstremitas :
1) Atas : Luka (-), gemetar (-), kesemutan(-), sakit sendi (-),
panas (-), berkeringat (-)
2) Bawah : Luka (-), gemetar (-), jari dingin (-), kesemutan di
kaki (-), sakit sendi (-)
13. Sistem neuropsikiatri : Kejang (-), gelisah (-), kesemutan (-),
mengigau (-), emosi tidak stabil (-)
14. Sistem Integumentum : Kulit kuning (-), pucat (-), gatal (-)

C. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 15 Oktober 2019 di Bangsal
Dahlia 4 RSUD Tugurejo Semarang:
1. Keadaan Umum : Tampak lemas

7
2. Kesadaran : Compos mentis
3. GCS : 15 (E4M3V5)
4. Vital sign :
 Tekanan darah : 107/78 mmHg
 Nadi : 90 x/menit
 Respiratory rate : 26x/menit
 Suhu : 37,3C (axiler)
5. Tinggi badan : 160 cm
6. Berat badan : 38 kg
7. Status Gizi : 16,8 Kg/m2 (Underweight)
Status Interna :

1. Kepala : Mesocephal, distribusi rambut merata, jejas (-).


2. Mata : Konjungtiva pucat (+/+), sklera ikterik (-/-), pupil isokor
diameter 3mm/3mm, reflek cahaya direk (+/+), reflek cahaya indirek (+/+)
3. Hidung : Deformitas (-), napas cuping hidung(-), sekret(-), epistaksis (-
/-)
4. Telinga : Discharge (-), darah (-/-), nyeritekan mastoid (-/-), gangguan
fungsi pendengaran (-/-).
5. Mulut : bibir kering (-), sianosis (-), lidahkotor (-)
6. Lidah : sariawan (-)
7. Kulit : hipopigmentasi(-), hiperpigmentasi (-)
8. Leher : pembesaran kelenjar getah bening (-), deviasi trakea (-),
peningkatan JVP (-), penggunaan otot bantu pernafasan
strenocleidomastoideus (-).
8. Thoraks
a. Jantung
 Inspeksi : ictus codis tak nampak

8
 Palpasi : ictus cordis tidak melebar, pulsus parasternal (-),
pulsus epigastrium (-), thrill (-), sternal lift (-).
 Perkusi
Atas jantung : ICS 2 linea parasternal sinistra
Pinggang jantung : ICS 3 linea sternalis sinistra
Kiri bawah jantung : ICS 5, 1 cm medial linea midclavikula
sinistra
Kanan bawah jantung : ICS 5 linea parasternalis dextra
 Auskultasi : BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)

b. Pulmo
PULMO DEXTRA SINISTRA

Depan
1. Inspeksi
Bentuk dada Datar Datar
Hemitorak Simetris Simetris

Warna Sama dengan kulit sekitar Sama dengan kulit sekitar


2. Palpasi
Nyeri tekan (-) (-)
Stem fremitus Normal Normal
3. Perkusi sonor seluruh lapang paru sonor seluruh lapang paru
4. Auskultasi
Suara dasar Vesikuler Vesikuler
Suara tambahan
 Wheezing - -
 Ronkikering - -
 Ronki basah halus - -

 Stridor
- -
9. Abdomen
a. Inspeksi :

9
 Bentuk : lebih besar daripada dinding dada
 Warna : Sama dengan kulit sekitar
 Venektasi : (-)
 Spider angioma : (-)
 Caput medusa : (-)
b. Auskultasi : Bising usus 30 x / menit
c. Perkusi : Timpani di regio epigastrium, umbilikal
Redup di regio hipocondriaca dextra sinistra, lumbal
dextra sinistra, inguinal dextra sinistra
Pekak sisi (+), Pekak Alih (+), shifting dullness (+)
d. Palpasi : Nyeri tekan epigastrium (+).
 Hepar : Sulit dinilai
 Lien : Sulit dinilai
 Ginjal : Sulit dinilai
 Lingkar Perut : 105 cm
10. Ekstremitas
Superior Inferior
Akral dingin (-/-) (-/-)
Udem (-/-) (-/-)
Sianosis (-/-) (-/-)
Capillary refill <2”/<2” <2”/<2”
Ulkus (-/-) (-/-)
Nyeri sendi (-/-) (-/-)
Terys nail (+/+) (-/-)
Tremor (-/-) (-/-)

10
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. DarahLengkap (15 Oktober 2019)
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
Leukosit H 16.04 10^3/ul 3.8 – 11
Eritrosit L 3.01 10^6/ul 3.8 – 5,2
Hemoglobin L 9.00 g/dL 11,7 – 15,5
Hematokrit L 26.80 % 35 – 47
MCV 89.00 FL 80 – 100
MCH 29.90 Pg 26 – 34
MCHC 33.60 g/dl 32 – 36
Trombosit 234 10^3/ul 150 – 440
RDW H 15.00 % 11.5 – 14.5
MPV 9.3
PLCR 17.8 %
Eosinofil absolute H 0.86 10^3/ul 0.045 – 0.44
Basofil absolute 0.03 10^3/ul 0 – 0.2
Neutrofil absolute H 13.20 10^3/ul 1.8 – 8
Limfosit absolute 1.13 10^3/ul 0.9 – 5.2
Monosit absolute 0.82 10^3/ul 0.16 – 1
Eosinofil H 5.40 % 2–4
Basofil 0.20 % 0–1
Neutrofil H 82.30 % 50 – 70
Limfosit L 7.00 % 25 – 40
Monosit 5.10 % 2– 8

2. Kimia Klinik (Serum) B (15 Oktober 2019)


Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
Glukosa Sewaktu 89 mg/dL <125
Ureum 47.0 mg/dL 10.0-50.0
Kreatinin H 1.65 mg/dL 0.60-0.90
Kalium 4.69 mmol/dL 3.5-5.0
Natrium L 131.6 mmol/dL 135-145
Chlorida 101.2 mmol/dL 95.0-105

3. Kimia Klinik (Serum) B (15 Oktober 2019)


Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
Albumin L 2.4 g/dL 3.2-5.2

11
4. USG Abdomen (16 Oktober 2016)

Tampak bayangan cairan dalam jumlah besar pada cavum abdomen

12
E. DAFTAR ABNORMALITAS

Anamnesis PemeriksaanFisik Pemeriksaan Penunjang

1. Perut membesar 13. RR : 26x/menit 21. Leukosit H 16.4


2. Perut terasa sebah 14. Status gizi 16,8 22. Eritrosit L 3.01
3. Sesak nafas 15. Konjungtiva pucat 23. Hemoglobin L 9.00
4. Nafsu makan 16. Inspeksi abdomen 24. Hematokrit L 26.80
menurun besar 25. RDW H 15.00
5. Penurunan berat 17. Perkusi: pekak sisi, 26. Eosinofil Absolute H
badan pekak alih, shifting 0.86
6. Riwayat penyedotan dullness (+) 27. Netrofil Absolute H
cairan perut 18. Nyeri tekan 13.20
7. Riwayat muntah epigastrium 28. Eosinofil H 5.40
darah 19. Lingkar perut 105 29. Neutrofil H 82.30
8. Riwayat bab darah cm 30. Limfosit L 7.00
9. Riwayat gastritis 20. Terys nail (+) 31. Creatinin H 1.65
10. Riwayat penyakit 32. Natrium L 131.6
liver 33. Albumin L 2.4
11. Riwayat sakit serupa 34. Tampak bayangan
12. Riwayat rawat inap cairan dalam jumlah
besar pada cavum
abdomen

13
F. ANALISIS MASALAH
1. Ascites :1, 2, 3, 6, 11, 13, 16, 17, 18, 19, 21, 22, 23, 24, 26, 27,
28, 29, 30, 33, 34
2. Sirosis Hepatis :1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 10, 11, 12, 14, 15, 16, 20, 21, 31,
32, 33, 34

G. RENCANA PEMECAHAN MASALAH


1. Ascites
Assesment:
a. Etiologi
 Penyakit hati
b. Faktor risiko
 Hipoalbumin
c. Komplikasi
 Sesak Nafas
 Efusi Pleura
Initial Plan
a. Diagnosis
 Pemeriksaan USG Abdomen
 Gambaran Makroskopis cairan asites
 Gradien nilai albumin serum
 Biakan kuman
 Pemeriksaan sitologi
b. Terapi
Non Medikamentosa
 Tirah Baring
 Diet rendah garam
Medikamentosa

14
 O2 3 liter
 Infus Aminoleban 12 tpm
 Injeksi Omeprazole 40 mg IV
 Spirolakton 100 mg
c. Monitoring
KU, TTV, Asites, albumin, urin
d. Edukasi
 Kurangi konsumsi garam
 Istirahat cukup
 Menjelaskan prognosis penyakit pasien

2. Sirosis Hepatis
Assesment:
a. Etiologi
 Malnutrisi protein
b. Faktor risiko
 Usia >30 tahun
 Konsumsi obat-obatan
c. Komplikasi
 Varises esofagus (perdarahan)
 Ensefalopati hepatikum
 Kanker hati
Initial Plan
a. Diagnosis
 Pemeriksaan bilirubin, endoskopi, serologi hepatitis, Radiologi,
USG Abdomen
b. Terapi
 Tirah baring

15
 Diet rendah garam
 Diuretik spironolaktan 100 mg
c. Monitoring :
 KU, TTV, hepar, urin
d. Edukasi :
 Penyakit sirosis hepatis tidah bisa sembuh, hanya bisa dicegak
perburukan kerusakannya
 Tirah baring
 Ikuti saran dan anjuran dokter

H. PROGRESS NOTE
Tanggal S O A P

16 Mei 2019 Pasien mengatakan masih KU :tampak lemas Asites Monitor KU dan TTV
sesak sedikit Kes : CM Sirosis Hepatis Anjurkan pasien relaks
TD: 120/75 mmHg dan nafas dalam
N :80x/menit O2 3 liter
RR : 22 x /menit Spironolaktan 100 mg 1
Pungsi Asites: cairan dd 1
+ 13.500 cc Transfusi albumin 20%
100cc

17 Mei 2019 Masien mengatakan sudah KU :tampakbaik Asites Acc Pulang


tidak sesak Kes : CM Sirosis Hepatis
TD: 107/57 mmHg
N : 89 x/menit
RR : 22 x /menit

16
17
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
ASITES
A. Definisi
Asites adalah penimbunan cairan secara abnormal di rongga peritoneum.
Asites dapat disebabkan oleh banyak penyakit. Istilah "asites" berasal dari istilah
Yunani "Askos" yang berarti kantung. Asites merupakan manifestasi yang sangat
umum dari sirosis dekompensata.
Pada dasarnya penimbunan cairan di rongga peritoneum dapat terjadi melalui
2 mekaisme dasar yaitu transudasi dan eksudasi:1
 Asites eksudatif memiliki kandungan protein tinggi dan terjadi pada
peradangan (biasanya infektif, misalnya TB) atau proses keganasan
 Asites transudatif terjadi pada sirosis akibat hipertensi portal dan perubahan
bersihan (clearance) natrium ginjal. Konstriksi perikardium dan sindrom
nefrotik juga bisa menyebabkan asites transudatif.
Asites yang ada hubungannya dengan sirosis hati dan hipertensi porta
adalah salah satu contoh penimbunan cairan di rongga peritoneum yang
terjadi melalui mekanisme transudasi. Asites jenis ini paling sering dijumpai
di Indonesia. Asites merupakan tanda prognosis yang kurang baik pada
beberapa penyakit. Asites juga menyebabkan pengelolaan penyakit dasarnya
menjadi semakin kompleks. Infeksi pada cairan asites akan lebih memperberat
perjalanan penyakit dasarnya oleh karena itu asites harus dikelola dengan
baik.1
Menurut International Ascites Club, asites diklasifikasikan sebagai
kelas 1, 2 dan 3 berdasarkan keparahannya.

18
Tabel 1. Klasifikasi asites

Grade 1 (mild) Tidak terdeteksi secara klinis, didiagnosis dengan USG


Grade 2 (moderate) Dapat dideteksi dengan pemeriksaan fisik, distensi abdomen
masih proporsional
Grade 3 (severe) Distensi perut terlihat

B. Patofisiologi

Meskipun manifestasi asites sudah dapat dikenali dengan baik, patogenesis asites
tetap tidak sepenuhnya dipahami dan masih terus berkembang.

Ada beberapa teori yang menerangkan patofisiologi asites transudasi. Teori-teori


itu misalnya under-filling, overflowdan periferal vasodilation. Menurut teori
underfilling asites dimulai dari volume cairan plasma yang menurun akibat hipertensi
porta dan hipoalbuminemia. Hipertensi porta akan meningkatkan tekanan hidrostatik
venosa ditambah hipoalbuminemia akan menyebabkan transudasi, sehingga volume
cairan intravaskular menurun, ginjal akan bereaksi dengan melakukan reabsorpsi air
dan garam melalui mekanisme neurohormonal. Sindrom hepatorenal terjadi bila
volume cairan intravaskular sangat menurun. Teori ini tidak sesuai dengan hasil
penelitian selanjutnya yang menunjukkan bahwa pada pasien sirosis hati terjadi
vasodilatasi perifer, vasodilatasi splanchnic bed, peningkatan volume cairan
intravaskular dan curah jantung.

19
Gambar 1. Patogenesis pembentukan asites berdasarkan teori “underfilling”

Teori overflow mengatakan bahwa asites dimulai dari ekspansi cairan plasma
akibat reabsorpsi air oleh ginjal. Gangguan fungsi itu terjadi akibat peningkatan
aktivitas hormon anti-diuretik (ADH) dan penurunan aktivitas hormon natriuretik
karena penurunan fungsi hati. Teori overfilling tidak dapat menerangkan kelanjutan

20
asites menjadi sindrom hepatorenal. Teori ini juga gagal menerangkan gangguan
neurohormonal yang terjadi pada sirosis hati dan asites.

Gambar 2. Patogenesis pembentukan asites berdasarkan teori “overflow”

Evolusi dari kedua teori itu adalah teori vasodilatasi perifer. Menurut teori ini,
faktor patogenesis pembentukam asites yang amat penting adalah hipertensi porta
yang sering disebut sebagai faktor lokal dan gangguan fungsi ginjal yang sering
disebut faktor sistemik.

Akibat vasokonstriksi dan fibrotisasi sinusoid terjadi peningkatan resistensi


sistem porta dan terjadi hipertensi porta. Peningkatan resistensi vena porta diimbangi
dengan vasodilatasi splanchnic bed oleh vasodilator endogen. Peningkatan resistensi

21
sitem porta yang diikuti oleh peningkatan aliran darah akibat vasodilatasi splanchnic
bed menyebabkan hipertensi porta menjadi menetap. Hipertensi porta akan
meningkatkan tekanan transudasi terutama di sinusoid dan selanjutnya kapiler usus.
Transudat akan terkumpul di rongga peritoneum. Vasodilator endogen yang dicurigai
berperan antara lain: glukagon, nitric oxide (NO), calcitonine gene related peptide
(CGRP), endotelin, faktor natriuretik atrial (ANF), polipeptida vasoaktif intestinal
(VIP), substansi P, progtaglandin, enkefalin, dan tumor necrosis factor (TNF).

Vasodilator endogen pada saatnya akan memengaruhi sirkulasi arterial


sistemik. Terdapat peningkatan vasodilatasi perifer sehingga terjadi proses
underfilling relatif. Tubuh akan bereaksi dengan meningkatkan aktivitas sistem saraf
parasimpatik, sistem renin-angiotensin-aldosteron dan arginin vasopresin. Akibat
selanjutnya adalah peningkatan reabsorpsi air dan garam oleh ginjal dan peningkatan
indeks jantung.

22
Gambar 3. Patogenesis abnormalitas fungsi ginjal dan pembentukan asites
berdasarkan teori vasodilatasi perifer.

23
Sebuah teori yang saat ini berlaku, muncul setelah teori "overflow" dan "underfill".
Sebuah gambaran singkat dari pandangan ini meliputi:

1. Cedera terus-menerus pada hati karena faktor eksogen, misalnya alkohol


kronis atau virus atau steatohepatitis non-alkohol (NASH)
2. Disposisi genetik
3. Proses inflamasi yang terus-menerus, nekrosis dan deposisi
kolagen/regenerasi, semua bergabung untuk membentuk menjadikan hepar
yang sebelumnya mempunyai resistensi rendah menjadi resistensi tinggi,
misalnya spektrum fibrosis dengan disfungsi otot polos pembuluh darah

Proses-proses ini dapat menyebabkan peningkatan tekanan vena porta, yaitu,


hipertensi portal. Vena porta biasanya mempunyai panjang 8 cm dan berdiameter <13
mm. Vena porta dibentuk oleh gabungan vena limpa dan vena mesenterika superior.
Vena mesenterika inferior memasuki salah satu dari pembuluh ini, atau bisa juga pada
pertemuannya, cukup bervariasi. Hipertensi portal didefinisikan pada tekanan 6
mmHg atau lebih. Pembentukan asites biasanya terjadi pada 8 mmHg atau lebih.
Untuk lengkapnya, diketahui bahwa dekompensasi klinis lebih lanjut dalam
pembentukan varises (10 mmHg), peningkatan risiko perdarahan varises (12 mmHg)
dan risiko perdarahan varises berulang (20 mmHg). Urutan klinis ini menandakan
morbiditas dan mortalitas yang signifikan dan dapat terjalin dengan komplikasi lebih
jauh, yaitu ensefalopati hepatik (hepatic encephalopathy/HE), peritonitis bakterialis
spontan (spontaneous bacterial peritonitis/SBP), hepato-hydrothorax (HHT), dan
sindrom hepatorenal (HRS).

Dengan demikian dalam hipertensi portal, aliran balik dan stasis zat vasodilator,
misalnya nitric oxide, mulai menumpuk. Hal ini menyebabkan vasodilatasi splanknik
dengan akibat hipoperfusi (meskipun sebenarnya keadaan euvolemik atau
hipervolemi) dari sistem ginjal. Sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAAS)
diaktifkan sehingga menyebabkan retensi cairan agresif. Singkatnya, renin disekresi

24
dari aparat juxtaglomerular ginjal (JGA) di sekitar nefron proksimal dalam
menanggapi perubahan tekanan pembuluh darah, perubahan natrium serum, dan dari
aktivasi sistem saraf simpatik. Ini pada gilirannya akan mengubah angiotensinogen
(dibuat di hati) menjadi angiotensin I yang kemudian diubah menjadi angiotensin II
oleh angiotensin converting enzyme (ACE) di paru-paru. Angiotensin II memiliki
beberapa fungsi penting yang mendorong retensi cairan, termasuk stimulasi rasa haus,
pelepasan aldosteron dari zona glomerulosa korteks adrenal, dan sekresi vasopresin
dari hipofisis posterior. Volume darah yang berlebihan ini akhirnya bocor dari
pembuluh mesenterika. Mekanisme yang terakhir ini terjadi karena peningkatan
hidrostatik dan permeabilitas dinding pembuluh darah, dan secara bersamaan
menurunnya tekanan onkotik (osmotik) cairan dalam bentuk hipoalbuminemia
absolut atau relatif. Ketiga parameter tersebut, seperti yang dijelaskan dalam hukum
Starling, membanjiri kapasitas reabsorpsi dari permukaan peritoneal dan sistem
limfatik.

Normalnya, rongga peritoneal memiliki tekanan 5-10 mmHg, mengandung sekitar


25-50 ml cairan serosa. Cairan ini membuat lapisan dengan resistensi rendah di mana
usus dapat bergerak melewati satu sama lain dan selanjutnya menghidrasi permukaan
serosa untuk menjaga kelenturan dan integritas usus. Penyerapan maksimum cairan
dari peritoneum adalah sekitar 850 ml/hari dalam pengaturan optimal. Absorpsi ini
memberikan teori di mana dialisis peritoneal beroperasi. Hal ini dapat diamati bahwa
perubahan dalam sifat-sifat dari sistem limfatik atau permukaan peritoneal, baik oleh
proses inflamasi, infeksi atau fibrotik dapat mengubah reabsorpsi optimal. Dengan
demikian, disregulasi terus-menerus parameter ini dapat menyebabkan retensi cairan
asites yang lebih lanjut.

Pada tahap akhir sirosis, akumulasi air akan lebih berat dan banyak daripada
retensi natrium dan menyebabkan hiponatremia dilusional. Hal ini menjelaskan

25
mengapa pasien sirosis dengan asites menunjukkan retensi sodium urin, peningkatan
natrium tubuh, dan hiponatremia dilusional.

Teori lain mengatakan proses awal dalam pembentukan asites pada pasien sirosis
adalah hipertensi sinusoidal. Pada pasien sirosis, ini merupakan konsekuensi dari
distorsi arsitektur hati dan peningkatan tonus vaskular hepar. Penurunan
bioavailabilitas hepar terhadap nitric oxide (NO), dan peningkatan produksi
vasokonstriktor (misalnya angiotensin, endothelin, cysteinyl-leukotrien, dan
tromboksan) berperan meningkatkan tonus vaskular hati. Portal hipertensi akibat
peningkatan tekanan sinusoidal, mengaktifkan mekanisme vasodilatasi. Mekanisme
ini, sebagian besar dimediasi oleh overproduksi NO, menyebabkan vasodilatasi
splanchnic dan arteriolar perifer. Pada tahap lanjut dari sirosis, vasodilatasi arteriol
menyebabkan underfilling ruang vaskular arteri sistemik. Hal ini, melalui penurunan
volume darah efektif menyebabkan penurunan tekanan arteri. Akibatnya, terjadi
aktivasi baroreceptor yang mengaktifkan sistem renin-angiotensin-aldosteron
(RAAS), sistem saraf simpatik dan pelepasan ADH untuk mengembalikan
homeostasis darah normal. Ini menyebabkan retensi natrium dan air lebih lanjut. Di
sisi lain, vasodilatasi splanchnic meningkatkan produksi getah bening splanchnic
melebihi kapasitas sistem transportasi getah bening dan menyebabkan kebocoran
cairan getah bening ke dalam rongga peritoneal.

26
Gambar 4. Patofisiologi asites dan sindrom hepatorenal

Beberapa faktor yang turut terlibat dalam patogenesis asites pada sirosis hati:

1. Hipertensi porta
Sirosis menyebabkan perubahan struktural utama dalam hati dan ini
menyebabkan gangguan sirkulasi intrahepatik. Pembentukan nodul dan
sintesis kolagen progresif mengubah pembuluh darah hati yang normal dan
meningkatkan resistensi portal aliran darah. Pengendapan kolagen dalam

27
ruang Disse dapat menyempitkan sinusoid dan mengurangi distensibilitas
mereka mengakibatkan obstruksi mekanik lebih lanjut pada aliran darah.
Hal ini juga menjadi jelas bahwa selain perlawanan pasif ini, terdapat
juga komponen aktif perlawanan dalam bentuk sel stellata hati yang sering
ditemukan di sekitar sinusoid dalam nodul regeneratif dan venula dalam septa
fibrosa. Dalam kondisi yang berhubungan dengan cedera hati kronis, sel-sel
stellata berkembang biak dan mengalami transformasi yang ditandai oleh
perkembangan sifat kontraktil yang mirip dengan sel-sel otot polos pembuluh
darah. Sementara sel stellata menjadi reseptor untuk zat vasokonstriktor
seperti endotelin, ADH, angiotensin II dan tromboksan A2, sel stellata juga
mampu mensintesis endotelin dan meningkatkan kontraksi seluler. Oleh
karena itu, mekanisme baik pasif dan aktif berperan dalam peningkatan
resistensi vaskular pada sirosis.
Hipertensi portal juga menginduksi perubahan besar dalam sirkulasi
splanknik termasuk vasodilatasi arteriol. Peningkatan volume darah ini
meningkatkan tekanan dalam sirkulasi portal. Oleh karena itu aliran masuk ke
hati tetap tinggi bahkan meningkat, ditandai dengan adanya sirkulasi
kolateral. Hal ini juga menegakkan bahwa vasodilatasi arteriol dapat
mempengaruhi peningkatan filtrasi cairan. Hipertensi portal kronis berefek
pada peningkatan yang lebih besar dalam tekanan kapiler usus dan aliran
getah bening daripada kenaikan akut pada tekanan portadalam jumlah yang
sama. Hal ini disebabkan hilangnya mekanisme autoregulasi normal
mikrosirkulasi splanknikus.
Beberapa bukti menunjukkan bahwa hipertensi portal penting dalam
patogenesis asites. Pertama, tekanan portal yang lebih besar dari 12 mmHg
diperlukan untuk pengembangan asites, dan tekanan yang lebih tinggi
berbanding terbalik dengan ekskresi natrium urin. Kedua, pasien dengan
perdarahan varises esofagus yang diobati dengan shunts portasystemic
memiliki kemungkinan lebih rendah mengembangkan ascites dibandingkan

28
pasien yang diobati dengan teknik penghilangan varises seperti sclerotherapy.
Ketiga, penurunan tekanan portal yang oleh end-to-side atau side-to-
sideshunt portacaval adalah cara yang efektif untuk mengurangi ascites
refrakter meskipun morbiditas dan mortalitas tinggi. Terakhir, terdapat
perbaikan pada kelainan fungsiginjal dan pengurangan volume ascites pada
pasien dengan Transjugular intrahepatic portosystemic shunt (TIPS) in situ.
2. Hipoalbuminemia
Hipoalbuminemia terjadi karena menurunnya sintesis yang dihasilkan
oleh sel-sel hati yang terganggu. Hipoalbuminemia menyebabkan
menurunnya tekanan osmotik koloid. Kombinasi antara tekanan hidrostatik
yang meningkat dengan tekanan osmotik yang menurun dalam jaringan
pembuluh darah intestinal menyebabkan terjadinya transudasi cairan dari
ruang intravaskular ke ruang interstisial sesuai dengan hukum gaya Starling
(ruang peritoneum dalam kasus asites).
3. Meningkatnya pembentukan dan aliran limfe hati
Hipertensi porta kemudian meningkatkan pembentukan limfe hepatik,
yang “menyeka” dari hati ke dalam rongga peritoneum. Mekanisme ini dapat
turut menyebabkan tingginya kandungan protein dalam cairan asites,
sehingga meningkatkan tekanan osmotik koloid dalam cairan rongga
peritoneum dan memicu terjadinya transudasi cairan dari rongga
intravaskular ke ruang peritoneum.
4. Retensi natrium dan gangguan ekskresi air
Salah satu peristiwa penting dalam patogenesis disfungsi ginjal dan
retensi natrium pada sirosis adalah berkembangnya vasodilatasi sistemik,
yang menyebabkan penurunan volume darah arteri efektif dan sirkulasi
hiperdinamik. Mekanisme yang bertanggung jawab atas perubahan fungsi
vaskular tidak diketahui tetapi mungkin melibatkan peningkatan sintesis nitrit
oksida vaskular, prostasiklin, serta perubahan konsentrasi plasma glukagon,
substansi P, atau gen kalsitonin terkait peptide.

29
Namun, perubahan hemodinamik bervariasi dengan postur, dan studi
telah menunjukkan perubahan yang nyata dalam sekresi peptida natriuretik
atrium dengan postur tubuh, serta perubahan sistemik hemodinamik. Selain
itu, data menunjukkan penurunan volume arterial efektif pada sirosis telah
diperdebatkan. Hal ini telah disepakati bahwa bagaimanapun dalam kondisi
terlentang dan pada hewan percobaan, terdapat peningkatan curah jantung
dan vasodilatasi.
Perkembangan vasokonstriksi renal pada sirosis adalah sebagian
respon homeostatis yang melibatkan peningkatan aktivitas simpatik ginjal
dan aktivasi sistem renin-angiotensin untuk menjaga tekanan darah selama
vasodilatasi sistemik. Penurunan aliran darah ginjal menurunkan laju filtrasi
glomerulus sehingga pengiriman dan ekskresi fraksional natrium. Sirosis
dikaitkan dengan peningkatan reabsorpsi natrium baik pada tubulus
proksimal dan tubulus distal. Peningkatan reabsorpsi natrium di tubulus distal
adalah karena peningkatan konsentrasi aldosteron di sirkulasi. Namun,
beberapa pasien dengan asites memiliki konsentrasi aldosteron plasma
normal, yang mengarah ke saran bahwa reabsorpsi natrium di tubulus distal
mungkin berhubungan dengan sensitivitas ginjal yang meningkat tehadap
aldosteron atau mekanisme lain yang tidak diketahui.
Pada sirosis terkompensasi, retensi natrium dapat terjadi pada tidak
adanya vasodilatasi dan hipovolemia efektif. Hipertensi portal sinusoidal
dapat mengurangi aliran darah ginjal bahkan tanpa adanya perubahan
hemodinamik dalam sirkulasi sistemik, menunjukkan adanya hepatorenal
reflex. Demikian pula, selain vasodilatasi sistemik, keparahan penyakit hati
dan tekanan portal juga berkontribusi terhadap abnormalitas penanganan
natrium dalam sirosis.

30
C. Manifestasi Klinis

Pasien biasanya menyadari peningkatan lingkar perut yang sering disertai


dengan perkembangan edema perifer. Perkembangan asites biasanya perlahan, dan
cukup mengejutkan bahwa beberapa pasien menunggu begitu lama hingga perutnya
begitu buncit sebelum mencari perhatian medis. Pasien biasanya memiliki setidaknya
1-2 L cairan di perut sebelum mereka sadar bahwa ada peningkatan. Jika cairan asites
sangat besar, fungsi pernafasan akan terganggu, dan pasien akan mengeluh sesak
napas. Hidrothoraks hepatik juga dapat terjadi dalam proses ini, memberikan
kontribusi untuk gejala pernafasan. Pasien dengan asites masif sering kurang gizi,
terjadi pengecilan otot, kelelahan yang berlebihan dan kelemahan.

D. Diagnosis

Asites lanjut amat mudah dikenali. Suatu tanda asites adalah meningkatnya lingkar
abdomen. Penimbunan cairan yang sangat nyata dapat menyebabkan napas pendek
karena diafragma meningkat. Pada inspeksi akan tampak perut membuncit seperti
perut katak, umbilikus seolah bergerak ke arah kaudal mendekati simpisis os pubis.
Dapat terlihat gelombang cairan. Sering dijumpai hernia umbilikalis akibat tekanan
intraabdomen yang meningkat. Pada perkusi, pekak samping meningkat dan terjadi
shifting dullness. Asites yang masih sedikit belum menunjukkan tanda-tanda fisis
yang nyata. Diperlukan cara pemeriksaan khusus misalnya dengan pudle sign untuk
menemukan asites. Pemeriksaan penunjang yang dapat memberikan informasi untuk
mendeteksi asites adalah ultrasonografi. Untuk menegakkan diagnosis asites,
ultrasonografi mempunyai ketelitian yang tinggi.

Parasentesis diagnostik sebaiknya dilakukan pada setiap pasien asites baru.


Pemeriksaan cairan asites dapat memberikan informasi yang amat penting untuk
pengelolaan selanjutnya, misalnya:

31
1. Gambaran makroskopik
Cairan asites hemoragik, sering dihubungkan dengan keganasan. Warna
kemerahan dapat juga dijumpai pada asites karena sirosis hati akibat ruptur
kapiler peritoneum. Chillous ascites merupakan tanda ruptur pembuluh limfe,
sehingga cairan limfe tumpah ke peritoneum
2. Gradien nilai albumin serum dan asites (serum ascites-to-albumine
gradient/SAAG). Pemeriksaan ini sangat penting untuk membedakan asites
yang ada hubungannya dengan hipertensi porta atau asites eksudat. Disepakati
bahwa gradien dikatakan tinggi bila nilainya > 1,1 gram/dL. Kurang dari nilai
itu disebut rendah. Gradien tinggi terdapat pada asites transudasi dan
berhubungan dengan hipertensi porta sedangkan nilai gradien rendah lebih
sering terdapat pada asites eksudat. Sensitivitas tes ini adalah sebesar 97%.
Konsentrasi protein asites kadang-kadang dapat menunjukkan asal asites,
misalnya: protein asites < 3 gram/dl lebih sering terdapat pada asites transudat
sedangkan konsentrasi protein > 3 gram/dl sering dihubungkan dengan asites
eksudat. Pemeriksaan ini terbukti tidak akurat karena nilai akurasinya hanya
kira-kira 40%.
3. Hitung sel
Peningkatan jumlah sel leukosit menunjukkan proses inflamasi. Untuk
menilai asal infeksi lebih tepat diunakan hitung jenis sel. Sel PMN yang
meningkat lebih dari 250/mm3 menunjukkan peritonitis bakteri spontan,
sedangkan peningkatan MN lebih sering terjadi pada peritonitis tuberkulosa
atau karsinomatosis.
4. Biakan kuman
Biakan kuman sebaiknya dilakukan pada setiap pasien asites yang dicurigai
terinfeksi. Asites yang terinfeksi akibat perforasi usus akan menghasilkan
kuman polimikroba sedangkan peritonitis bakteri spontan monomikroba.
Metode pengambilan sampel untuk biakan kuman asites sebaiknya disamakan

32
dengan sampel untuk biakan kuman dari darah yaitu bed side innoculation
blood culture bottle
5. Pemeriksaan sitologi
Pada kasus-kasus karsinomatosis peritoneum, pemeriksaan sitologi asites
dengan cara yang baik memberikan hasil true positive hampir 100%. Sampel
untuk pemeriksaan sitologi harus cukup banyak (kira-kira 200 ml) untuk
meningkatkan sensitivitas. Harus diingat banyak tumor penghasil asites tidak
melalui mekanisme karsinomatosis peritoneum sehingga tidak dapat
dipastikan melalui pemeriksaan sitologi asites. Tumor-tumor itu misalnya:
karsinoma hepatoselular masif, tumor hati metastasis, limfoma yang menekan
aliran limfe.
E. Penatalaksanaan
Pengobatan asites transudat sebaiknya dilakukan secara komprehensif,
meliputi:
 Tirah baring
Tirah baring dapat memperbaiki efektifitas diuretika, pada pasien asites
transudat yang berhubungan dengan hipertensi porta. Perbaikan efek diuretika
tersebut berhubungan dengan perbaikan aliran darah ginjal dan filtrasi
glomerulus akibat tirah baring. Tirah baring akan menyebabkan aktivitas
simpatis dan sistem renin-angiotensin-aldosteron menurun. Yang dimaksud
dengan tirah baring disini bukan istirahat total di tempat tidur sepanjang hari,
tetapi tidur terlentang, kaki sedikit diangkat, selama beberapa jam setelah
minum obat diuretika.
 Diet
Pasien dengan asites yang sedikit biasanya dapat dikelola dengan diet
pembatasan sodium saja. Kebanyakan diet rata-rata di Amerika Serikat
mengandung 6-8 g sodium per hari, dan jika pasien makan di restoran atau
gerai makanan cepat saji, jumlah sodium dalam diet mereka dapat melebihi

33
jumlah ini. Oleh karena itu, seringkali sangat sulit untuk mendapatkan pasien
untuk mengubah kebiasaan makan mereka untuk menelan <2 g natrium per
hari, yang merupakan jumlah yang disarankan. Seringkali, rekomendasi
sederhana adalah dengan mengonsumsi makanan segar, menghindari makanan
kalengan atau olahan, yang biasanya diawetkan dengan sodium.
Diet rendam garam ringan sampai sedang dapat membantu diuresis.
Konsumsi garam (NaCl) perhari sebaiknya dibatasi hingga 40-60 mEq/hari.
Hiponatremia ringan sampai sedang bukan merupakan kontraindikasi untuk
memberikan diet rendah garam, mengingat hiponatremia pada pasien asites
transudat bersifat relatif. Jumlah total Na dalam tubuh sebenarnya di atas
normal. Biasanya diet rendah garam yang mengandung NaCl kurang dari 40
mEq/hari tidak diperlukan. Konsentrasi NaCl yang amat rendah justru dapat
mengganggu fungsi ginjal.
 Diuretika
Pada pasien dengan jumlah asites sedang, terapi diuretik biasanya
diperlukan. Secara tradisional, spironolactone 200 mg/hari sebagai dosis
tunggal dimulai, dan furosemide dapat ditambahkan pada 40-80 mg/hari,
terutama pada pasien yang memiliki edema perifer. Pada pasien yang belum
pernah menerima diuretik sebelumnya, kegagalan dosis yang disebutkan di
atas menunjukkan bahwa mereka tidak mematuhi diet rendah sodium. Jika
kepatuhan dikonfirmasi dan cairan asites tidak berkurang, spironolactone
dapat ditingkatkan menjadi 400-600 mg/hari dan furosemide meningkat
menjadi 120-160 mg/hari.
Diuretika yang dianjurkan adalah diuretika yang bekerja sebagai
antialdosteron, misalnya spironolakton. Diuretika ini merupakan diuretika
hemat kalium, bekerja di tubulus distal dan menahan reabsorpsi Na.
Sebenarnya potensi natriuretik diuretika distal lebih rendah daripada diuretika
loop bila etiologi peningkatan air dan garam tidak berhubungan dengan

34
hiperaldosteronisme. Efektivitas obat ini lebih bergantung pada
konsentrasinya di plasma, semakin tinggi semakin efektif.
Diuretika loop sering dibutuhkan sebagai kombinasi. Diuretika ini sebenarnya
lebih berpotensi daripada diuretika distal. Pada sirosis hati, karena mekanisme
utama reabsorpsi air dan natrium adalah hiperaldosteronisme, diuretika loop
menjadi kurang efektif.
Target yang sebaiknya dicapai dengan terapi tirah baring, diet rendah
garam dan terapi diuretika adalah peningkatan diuresis sehingga berat badan
turun 400-800 gram/hari. Pasien yang disertai edema perifer penurunan berat
badan dapat sampai 1500 gram/hari. Sebagian besar pasien berhasil baik
dengan terapi kombinasi tirah baring, diet rendah garam dan diuretika
kombinasi. Setelah cairan asites dapat dimobilisasi, dosis diuretika dapat
disesuaikan. Biasanya diet rendah garam dan spironolakton masih tetap
diperlukan untuk mempertahankan diuresis dan natriuresis sehingga asites
tidak terbentuk lagi.
Komplikasi diuretika pada pasien sirosis hati harus diwaspadai.
Komplikasi itu misalnya: gagal ginjal fungsional, gangguan elektrolit,
gangguan keseimbangan asam-basa, dan ensefalopati hepatikum.
Spironolakton dapat menyebabkan libido menurun, ginekomastia pada laki-
laki, dan gangguan menstruasi pada perempuan.
 Terapi parasentesis dan TIPS
Jika asites masih ada dengan dosis diuretika di atas, dan pasien sudah
mematuhi diet rendah sodium, maka mereka didefinisikan sebagai asites
refrakter, dan modalitas pengobatan alternatif termasuk parasentesis berulang
bervolume besar, atau prosedur TIPS (Transjugular intrahepatic
portosystemic shunt) harus dipertimbangkan. Studi terbaru menunjukkan
bahwa TIPS tidak meningkatkan kelangsungan hidup pada pasien ini.

35
Sayangnya, TIPS sering dikaitkan dengan peningkatan frekuensi ensefalopati
dan harus dipertimbangkan secara hati-hati pada setiap kasus.
Parasentesis sebenarnya merupakan cara pengobatan asites yang tergolong
kuno. Pada mulanya karena berbagai komplikasi, parasentesis asites tidak lagi
disukai. Beberapa tahun terakhir ini parasentesis kembali dianjurkan karena
mempunyai banyak keuntungan dibandingkan terapi konvensional bila
dikerjakan dengan baik. Untuk setiap liter cairan asites yang dikeluarkan
sebaiknya diikuti dengan substitusi albumin parenteral sebanyak 6-8 gram.
Setelah parasentesis sebaiknya terapi konvensional tetap diberikan.

Gambar 4. Penatalaksanaan asites

F. Prognosis

Prognosis pada pasien sirosis dengan asites buruk, dan beberapa studi telah
menunjukkan bahwa <50% dari pasien bertahan hidup 2 tahun setelah timbulnya

36
asites. Dengan demikian, harus ada pertimbangan untuk transplantasi hati pada pasien
dengan timbulnya asites.

37
DAFTAR PUSTAKA

Nurdjanah S. Sirosis hati. In Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, K. MS, Setiati S, editors.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. p. 443-6.

Wilson LM, Lester LB. Hati, saluran empedu, dan pankreas. In Wijaya C, editor.
Patofisiologi konsep klinis proses proses penyakit. Jakarta: ECG; 1994. p. 426-63.

Guyton AC, Hall JE. The liver as an organ. In Textbook of medical physiology. 11th
ed.: Elsevier; 2006. p. 859-64.

Amiruddin R. Fisiologi dan biokimia hati. In Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, K. MS,
Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006.
p. 415-9.

38

Anda mungkin juga menyukai