“PROLAPS UTERI”
Oleh :
Dimas Arrohmansyah 2118012031
Annisa Nur Oktaviani 2118012028
Dinda Aulia Khairani 2118012177
Wulan Yuniarti 2118012184
Agnes Bintang Kartika 2118012237
Nabila Salwa Raehana 2118012183
Wahyu Dewayanti 2118012171
KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU KEBIDANAN DAN PENYAKIT KANDUNGAN
RSUD DR. H. ABDUL MOELOEK PROVINSI LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya,
penulis dapat menyelesaikan tugas Manajemen Kasus yang berjudul “Prolaps
Uteri” dengan tepat waktu.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Rodiani, Sp.OG selaku konsulen
pembimbing. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang
telah membantu diselesaikannya makalah ini.
Penulis menyadari laporan ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran
dan kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR I
DAFTAR ISI II
BAB I STATUS PASIEN 1
1.1. Identitas Pasien...................................................................................................................
1.2. Keluhan Utama...................................................................................................................
1.3. Anamnesis...........................................................................................................................
1.4. Pemeriksaan Fisik...............................................................................................................
1.5. Diagnosis............................................................................................................................
1.6. Tatalaksana.........................................................................................................................
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5
2.1 Anatomi Pelvis....................................................................................................................
2.2 Prolaps Uteri.....................................................................................................................
2.2.1. Epidemiologi Prolaps Uteri...................................................................................
2.2.2. Klasifikasi Prolaps Uteri.......................................................................................
2.2.3. Etiologi dan Faktor Resiko Prolaps Uteri.............................................................
2.2.4. Patofisiologi Prolaps Uteri....................................................................................
2.2.5. Manifestasi Klinis Prolaps Uteri...........................................................................
2.2.6. Diagnosis Prolaps Uteri.........................................................................................
2.2.7. Diagnosis Banding Prolaps Uteri..........................................................................
2.2.8. Penatalaksanaan Prolaps Uteri..............................................................................
2.2.9. Komplikasi Prolaps Uteri......................................................................................
2.2.10.Pencegahan Prolaps Uteri......................................................................................
2.2.11.Edukasi Prolaps Uteri............................................................................................
2.2.12.Prognosis Prolaps Uteri.........................................................................................
BAB III ANALISIS KASUS 32
3.1. Anamnesis.........................................................................................................................
3.2. Pemeriksaan Fisik.............................................................................................................
3.3. Diagnosis..........................................................................................................................
3.4. Tatalaksana.......................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA 32
ii
iii
BAB I
STATUS PASIEN
1.3. Anamnesis
RPS:
Pasien datang ke IGD PONEK dengan keluhan nyeri pada massa berwarna
merah muda sebesar 2,5 x 3,5cm tanpa darah keluar dari vagina disertai
nyeri yang semakin memberat sejak 2 hari SMRS
Sejak 1 tahun yang lalu pasien mengatakan terdapat tonjolan masa
berukuran sebesar 2,5 x 3,5cm tanpa darah keluar dari vagina secara tiba-
tiba tanpa dirasa, namun karena pasien tidak mengeluhkan adanya nyeri
pada massa, pasien hanya membiarkan dan tidak membawa berobat ke
Rumah Sakit
Sejak 3 bulan ini pasien mengeluhkan nyeri yang memberat pada massa
ketika sedang melakukan aktivitas berat dan ketika mengeran saat buang air
besar. Pasien sempat berobat ke RSIA AMC Metro dan dilakukan pemasang
ring pada satu tahun yang lalu, namun saat sedang BAB pasien mengatakan
ring tersebut keluar bersamaan saat BAB tanpa dirasa sakit dan pasien tidak
berusaha datang untuk konsultasi ke fasilitas kesehatan mengenai hal
tersebut.
RPD:
Tidak ada
RPK:
Tidak ada
Riwayat Pribadi:
Pasien tidak pernah merokok, tidak minum-minuman beralkohol.
Riwayat Haid:
Pasien pertama kali haid di usia 15 tahun dengan siklus 28 hari, teratur.
Lama haid sekitar 7 hari, banyaknya haid ± 2-3× ganti pembalut dalam
sehari (± 40-60cc/ hari).
Riwayat Pernikahan:
Menikah 1x selama 50 tahun
Riwayat Kontrasepsi:
Tidak ada
Riwayat Ginekologi:
Tidak ada
Riwayat Obstetri:
Tahun UK Persalinan Penolong JK PB BB
Status Present
KU : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Compos Mentis
TD : 130/100 mmHg
2
RR : 22×/menit
HR : 79×/menit
Suhu : 36,9°C
SpO2 : 99%
Status Generalis
Kepala : Kesan dalam batas normal
Mata : Kesan dalam batas normal
Leher : Kesan dalam batas normal
Thorax : Kesan dalam batas normal
Ekstremitas : Kesan dalam batas normal
Genitalia : Tampak massa berwarna merah muda sebesar 2,5 x 3,5cm
tanpa darah keluar dari vagina disertai nyeri
1.5. Diagnosis
Dx: Prolaps uteri derajat IV, sistokel derajat IV, dan rektokel derajat IV
Dd:
1. Benda asing pada vagina : Prolaps Rektum, Massa Pelvis
2. Gangguan Pencernaan : Irritable Bowl Syndrom, Inersia Rektum,
Hemoroid
1.6. Tatalaksana
1. Terapi supportif
2. Latihan otot dasar panggul senam kegel
3. Modifikasi gaya hidup perbanyak konsumsi serat mengurangi
gangguan BAB
4. Pembedahan (Total Vaginal Histerektomi) diindikasikan pada pasien
ini, karena:
a. Pasien merasa terganggu dengan gejala yang dialami dan pernah
gagal dengan tindakan non operatif
b. Pasien sudah menopause
c. Prolaps derajat IV beresiko terjadi rekurensi
3
6. Kolpoperinoplasti atau kolpoperineorafi posterior rektokel derajat
IV
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Organ dalam pelvis dilindungi dan dikelilingi oleh tulang panggul tetapi
tulang hanya berperan sedikit sebagai organ penyokong. Tulang yang
membentuk pelindung organ dalam pelvis yaitu:
A. Dua buah ossae coxae yang membentuk dinding anterior dan lateral.
Panggul dibagi oleh apertura pelvis superior (pintu atas panggul) yang
dibentuk oleh promontorium sakralis di sebelah dorsal, linea iliopectinea di
sebelah lateral dan symphysis pubis di sebelah anterior. Apertura pelvis
superior dibagi menjadi:
a. Pelvis spurium (pelvis major) yaitu bagian atas apertura tersebut,
merupakan bagian bawah rongga abdomen. Pelvis spurium merupakan
bagian yang terdapat di depan vertebrae lumbalis sebagai batas dorsal,
fossa iliaca dengan M. iliacus berada di sebelah lateral dan dinding
abdomen bagian bawah di sebelah ventral. Pelvis spurium ini juga
merupakan bagian rongga perut. Fungsinya menahan alat-alat rongga
perut dan menahan uterus yang berisi fetus pada wanita hamil sejak
bulan ketiga (Schunke et. al, 2016).
6
Organ panggul terutama disokong oleh otot dasar panggul, dan ditunjang
oleh ligamentum. Karena manusia berdiri tegak lurus, maka dasar panggul
perlu mempunyai kekuatan untuk menahan semua beban yang diletakkan
padanya, khususnya isi rongga perut dan tekanan intraabdominal. Beban ini
ditahan oleh lapisan otot-otot dan fasia yang apabila mengalami tekanan dan
dorongan berlebihan atau terus-menerus dapat timbul prolapsus genitalis
(Schunke et. al, 2016).
Pintu bawah panggul terdiri atas diafragma pelvis, diafragma urogenital, dan
lapisan-lapisan otot yang berada diluar (penutup genitalia eksterna).
Diafragma pelvis merupakan penutup bagian bawah dari rongga perut, dan
terbentuk oleh muskulus levator ani dan muskulus koksigeus yang
menyerupai sebuah mangkok serta fasia endopelvik (Schunke et. al, 2016).
7
Gambar 3. Dasar Panggul
Bagian lateral dari otot tersebut disebut iliokoksigeus yang membentang dari
spina ischiadika dan arkus tendius yang menutup otot obturatorius interna
terus kebelakang dan berinsersi di pinggir lateral tulang koksigeus dan
sacrum bagian bawah. Otot levator ani kanan-kiri membentuk levator plate
yang kuat sekali dan terbentang dari titik penggabungannya di belakang
hiatus levator dan terus ke belakang dan berinsersi di tulang koksigeus,
8
central perineal body, dan pada ligament anokoksigeus (Schunke et. al,
2016).
Di bawah otot levator ani terdapat diafragma urogenital yang menutup hiatus
genitalis, dibentuk oleh aponeurosis muskulus transversus perinei profundus
dan muskulus transversus superfisialis berjalan antara arkus pubis kanan-
kiri. Di dalam sarung aponeurosis itu terdapat muskulus rhabdo sfingter
urethrae (Schunke et. al, 2016).
Uterus
9
depannya setinggi simfisis pubis dan bagian belakang setinggi artikulasio
sakrokoksigea. Jaringan ikat di parametrium, dan ligamentum-ligamentum
membentuk suatu sistem penunjang uterus sehingga uterus terfiksasi relatif
cukup baik. Ligamentum-ligamentum tersebut yaitu:
10
dalamnya ditemukan urat saraf, saluran-saluran limfe, arteria dan vena
ovarika. Sebagai alat penunjang ligamentum ini tidak banyak artinya
(Schunke et. al, 2016).
11
(sistokel), kompartemen tengah yang berisi prolaps uterus atau vagina (uterus
atau vagina), atau kompartemen posterior yang berisi loop usus kecil
(enterokel) atau rektum (rektokel) (Ilsup Yoon; Nishant Gupta, 2022).
Prolaps uteri adalah herniasi uterus dari lokasi anatomi alaminya ke dalam
saluran vagina, melalui selaput dara, atau melalui introitus vagina. Hal ini
disebabkan oleh melemahnya struktur pendukung sekitarnya. Prolaps uteri
adalah salah satu dari beberapa kondisi yang diklasifikasikan dalam istilah
prolaps organ panggul yang lebih luas. Dalam keadaan anatomis, rahim
terletak di kompartemen apikal organ panggul. Rahim dan vagina
ditangguhkan dari sakrum dan dinding samping panggul lateral melalui
kompleks ligamen uterosakral dan kardinal. Melemahnya ligamen ini
memungkinkan prolaps rahim ke dalam ruang vagina. Meskipun prolaps uteri
tidak mengancam jiwa, hal itu dapat menyebabkan disfungsi seksual, citra
tubuh yang buruk, dan kualitas hidup yang lebih rendah karena berhubungan
dengan inkontinensia usus atau kandung kemih (Chen & Thompson, 2022)
12
pasien menunjukkan frekuensi prolaps uteri sebesar 14,2%. Rerata
usia dilakukannya bedah untuk prolaps organ uteri adalah 54,6
tahun. Perbedaan frekuensi berdasar ras diperkirakan berhubungan
dengan komponen genetik. Prolaps uteri paling sering terjadi pada
multipara (sekitar >50%) dan wanita menopause. Prolaps terkadang
terjadi pada wanita nullipara atau wanita muda (sekitar 2% untuk
prolaps 1 simtomatik) dan jarang terjadi pada neonatus (Erwaninto,
2015).
Salah satu baku emas untuk menentukan stadium prolaps adalah Pelvic
Organ Prolapse Quantification (POPQ) yang mengukur hiatus
genitalia, korpus 2 perineal, dan panjang vagina total. Hiatus genitalia
diukur dari pertengahan meatus uretra eksternal hingga posterior garis
tengah himen. Badan perineal diukur dari batas posterior hiatus genital
hingga pembukaan mid anal. Panjang vagina total adalah kedalaman
terbesar dari vagina dalam cm saat apeks vagina direduksi hingga
posisi normal. Semua pengukuran kecuali panjang vagina total diukur
saat pasien mengejan (Erwinanto, 2015).
13
Tabel 1. Definisi dan Batasan Kuantifikasi
14
hilangnya elastisitas struktur pelvis
d. Peningkatan tekanan intra abdominal, contohnya obesitas,
penyakit paru kronik, asma
e. Varian anatomi tertentu seperti wanita dengan diameter
transversal pintu atas panggul yang lebar atau pintu atas panggul
dengan orientasi vertikal yang kurang, serta uterus yang
retrograde (Erwinanto, 2015).
15
1. Multiparitas
Persalinan yang sering merupakan faktor risiko terbanyak.
Sampai saat ini belum ada penjelasan mengenai apakah karena
kehamilan atau nifas itu sendiri yang menjadi faktor risiko dari
prolapsus uteri. Persalinan pervaginam merupakan faktor risiko
yang paling sering dikutip. Banyak penelitian statistik jelas
menunjukkan bahwa persalinan pervaginam ini meningkatkan
kecenderungan seorang wanita untuk mengalami Pelvic Organ
Prolapse (POP). Sebagai contoh dalam Dukungan Pelvic Organ
Study (POSST), peningkatan paritas dikaitkan dengan
peningkatan risiko prolapsus. Studi Kohort Keluarga Berencana
Oxford dari 17.000 wanita, menunjukkan bahwa dibandingkan
dengan wanita nullipara, mereka dengan dua kali persalinan
mengalami peningkatan risiko delapan kali lipat di rumah sakit
untuk POP (Chen & Thompson, 2022).
2. Makrosomia
Makrosomia, kala dua memanjang akibat peregangan otot-otot
jalan lahir yang terlalu lama bisa menjadi faktor risiko yang dapat
menyebabkan POP. Selain itu beberapa ahli ginekologi
menganggap trauma jalan lahir akibat episiotomi, laserasi sfingter
anal, penggunaan forceps, stimulasi oksitosin berulang, riwayat
operasi pelvis terutama histerektomi juga dapat meningkatkan
resiko terjadinya POP dikemudian hari walaupun hal ini masih
menjadi pertimbangan. Asites dan tumor-tumor di daerah pelvis
akan mempermudah terjadinya prolapsus genitalia. Bila prolapsus
uteri dijumpai pada nullipara, faktor penyebab biasanya
disebabkan oleh adanya kelainan bawaan berupa kelemahan
jaringan penunjang uterus. Faktor risiko yang disebutkan di atas
tidak secara pasti dapat dibuktikan. Hal yang masih menjadi
kontroversial adalah penanganan kelahiran menggunakan forceps
untuk mempersingkat kala kedua dan episiotomy (Chen &
Thompson, 2022).
16
Beberapa ahli menyatakan penggunaan forceps dan episiotomy
tidak dianjurkan karena terbukti kurang bermanfaat dan
berpotensi untuk membahayakan ibu dan janin. Pertama,
penggunaan forceps dapat menyebabkan cedera panggul dengan
laserasi sfingter anal. Kedua, Forcep tidak terbukti dalam
memperpendek kala dua. Karena alasan inilah, pengguanaan
forceps tidak dianjurkan. Demikian juga, episiotomi tidak terbukti
bermanfaat tetapi dapat menyebabkan laserasi sfingter anal,
inkontinensia urin, konstipasi postpartum, dan nyeri postpartum.
Namun hal ini masih mejadi hal yang dipertanyakan karena
belum ada panjelasan jelas mengenai hal tersebut (Chen &
Thompson, 2022).
3. Umur
Usia lanjut juga merupakan faktor risiko prolapsus uteri. Pada
wanita yang telah menopause, di samping akibat kurangnya
hormon estrogen (hipoestrogenism) yang dihasilkan oleh
ovarium serta karena faktor umur menyebabkan otot-otot dasar
panggul seperti diafragma pelvis, diafragma urogenital dan
ligamentum serta fasia akan mengalami atrofi dan melemah,
serta terjadi atrofi vagina. Keadaan ini akan menyebabkan otot-
otot dan fascia tidak dapat melaksanakan fungsinya dengan
baik sebagai alat penyokong organ sehingga menyebabkan
terjadinya prolapsus genitalia (Chen & Thompson, 2022).
4. Ras
Telah dibuktikan dalam beberapa penelitian bahwa wanita
berkulit hitam, dan wanita Asia menunjukkan risiko terendah,
sedangkan wanita Hispanik tampaknya memiliki risiko
tertinggi. Meskipun perbedaan dalam komponen kolagen telah
dibuktikan antara ras, namun perbedaan tulang panggul dalam
setiap ras mungkin juga berperan. Misalnya, perempuan kulit
hitam, umumnya arcus pubis < 90 derajat dan umumnya bentuk
17
panggulnya adalah android atau antropoid. Bentuk panggul ini
mengurangi resiko untuk terjadinya prolapsus uteri
dibandingkan dengan ras barat dimana rata-rata bentuk
panggulnya ginekoid (Chen & Thompson, 2022).
18
bahkan menghilang. Sistokel yang sering menyertai prolaps
menyebabkan gejala-gejala polimiksi mula-mula ringan pada siang
hari, lama kelamaan bila prolaps lebih berat gejalanya juga timbul
pada malam hari. Adanya perasaan kandung kemih tidak dapat
dikosongkan secara tuntas, tidak dapat menahan kencing bila batuk
(stress incontinence) dan kadang dapat terjadi pula retensio urinae.
Retrokel dapat menyebabkan gangguan defekasi. Prolapsus uteri
derajat III dapat menyebabkan gejala gangguan bila berjalan dan
bekerja. Gesekan porsio uteri pada celana menimbulkan luka dan
dekubitus pada porsio uteri (Chen & Thompson, 2022).
Selain gejala yang dilaporkan oleh pasien, pemeriksaan panggul
sangat penting untuk diagnosis prolaps uteri karena visualisasi
langsung dari segmen yang mengalami prolaps. Pemeriksaan panggul
harus dilakukan saat pasien beristirahat dan selama manuver Valsava.
Visualisasi segmen prolaps sehubungan dengan selaput dara atau
introitus digunakan untuk tujuan pementasan (lihat di bawah untuk
metode pementasan POP-Q) (Chen & Thompson, 2022).
Ada banyak sistem stadium yang telah digunakan untuk klasifikasi
prolaps organ panggul. Namun, banyak sistem bergantung pada
reliabilitas interobserver, membutuhkan banyak pengukuran, dan
membuat kesepakatan dalam tahap di antara penguji yang berbeda
menjadi sulit (Chen & Thompson, 2022).
A. Anamnesis
- Terasa benjolan
19
- Duh tubuh atau keluar darah dari vagina (Chen &
Thompson, 2022).
- Inkontinensia Urin
- Urgensi
- Inkontinensia alvi
- Dispareunia
B. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan pelvis lengkap, termasuk
pemeriksaan rektovaginal untuk menilai tonus sfingter. Alat yang
digunakan adalah spekulum Sims atau spekulum standar tanpa
bilah anterior.Penemuan fisik dapat lebih diperjelas dengan
meminta pasien meneran atau berdiri dan berjalan sebelum
pemeriksaan. Hasil pemeriksaan fisik pada posisi pasien berdiri
dan kandung kemih kosong dibandingkan dengan posisi supinasi
20
dan kandung kemih penuh dapat berbeda 1–2 derajat prolaps.
Prolaps uteri ringan dapat dideteksi hanya 3 jika pasien meneran
pada pemeriksaan bimanual. Evaluasi status estrogen semua
pasien. Tanda-tanda menurunnya estrogen :
C. Pemeriksaan Penunjang
Modalitas utama untuk diagnosis kondisi ini adalah anamnesis
yang diberikan oleh pasien yang dikombinasikan dengan temuan
pemeriksaan panggul, seperti yang disebutkan di atas. Namun,
segmen yang prolaps dapat dilihat pada berbagai modalitas
pencitraan seperti ultrasonografi, CT, dan MRI dan dapat
berfungsi untuk memastikan diagnosis (Chen & Thompson,
2022).
Pemeriksaan laboratorium ditujukan untuk mengidentifikasi
komplikasi yang serius (infeksi, obstruksi saluran kemih,
perdarahan, strangulasi), dan tidak diperlukan untuk kasus
tanpa komplikasi. Urinalisis dapat dilakukan untuk mengetahui
infeksi saluran kemih. Kultur getah serviks diindikasikan untuk
kasus yang disertai ulserasi atau discharge purulen. Pap smear
atau biopsi mungkin diperlukan bila diduga terdapat keganasan.
Jika terdapat gejala atau tanda obstruksi saluran kemih,
21
pemeriksaan BUN dan kadar kreatinin serum dilakukan untuk
menilai fungsi ginjal (Erwinanto, 2015).
USG pelvis dapat berguna untuk memastikan prolaps ketika
anamnesis dan pemeriksaan fisik meragukan.USG juga dapat
mengeksklusi hidronefrosis. MRI dapat digunakan untuk
menentukan derajat prolaps namun tidak rutin dilakukan
(Erwinanto, 2015).
a. Terapi Medis
Pasien prolaps uteri ringan tidak memerlukan terapi, karena
umumnya asimtomatik. Akan tetapi, bila gejala muncul, pilihan
terapi konservatif lebih banyak dipilih. Sementara itu, pasien
dengan prognosis operasi buruk atau sangat tidak disarankan untuk
operasi, dapat melakukan pengobatan simtomatik saja (Erwinano,
2015).
b. Terapi Konservatif
Pengobatan cara ini tidak terlalu memuaskan tetapi cukup
membantu. Cara ini dilakukan pada prolapsus ringan tanpa
keluhan, atau penderita yang masih menginginkan anak lagi, atau
penderita menolak untuk dioperasi, atau kondisinya tidak
mengizinkan untuk dioperasi (Erwinanto, 2015).
1. Latihan-latihan otot dasar panggul
Latihan ini sangat berguna pada prolapsus ringan, terutama
yang terjadi pada pasca persalinan yang belum lewat 6 bulan.
Tujuannya untuk menguatkan otot-otot dasar panggul dan otot-
22
otot yang mempengaruhi miksi. Latihan ini dilakukan selama
beberapa bulan. Caranya ialah penderita disuruh
menguncupkan anus dan jaringan dasar panggul seperti
biasanya setelah selesai BAB, atau penderita disuruh
membayangkan seolah-oleh sedang miksi dan tiba-tiba
menahannya. Latihan ini menjadi lebih efektif dengan
menggunakan perineometer menurut Kegel. Alat ini terdiri atas
obrturator yang dimasukkan ke dalam vagina, dan yang dengan
suatu pipa dihubungkan dengan suatu manometer. Dengan
demikian, kontraksi 5 otot-otot dasar panggul dapat diukur
(Erwinanto, 2015).
23
dari pessarium yang dipakai. Pessarium diberi zat pelicin dan
dimasukkan miring sedikit ke dalam vagina. Setelah bagian
atas masuk ke dalam vagina, bagian tersebut ditempatkan ke
forniks vagina posterior. Untuk mengetahui setelah dipasang,
apakah ukuran pessarium cocok atau tidak, penderita disuruh
mengejan atau batuk. Jika pessarium tidak keluar, penderita
disuruh jalan-jalan, apabila ia tidak merasa nyeri, pessarium
dapat dipakai terus.
a. Kehamilan
b. Bila penderita belum siap untuk dilakukan operasi
c. Sebagai terapi tes, menyatakan bahwa operasi harus
dilakukan
24
d. Penderita menolak untuk dioperasi, lebih memilih terapi
konservatif
e. Untuk menghilangkan gejala simptom yang ada, sambil
menunggu waktu operasi dapat dilakukan (Erwinanto,
2015).
3. Terapi Operatif
25
pula pada urethrokel (Erwinanto, 2015).
2. Rektokel
Operasi disini adalah kolpoperinoplastik. Mukosa dinding
belakang vagina disayat dan dibuang berbentuk segitiga
dengan dasarnya batas antara vagina dan perineum, dan
dengan ujungnya pada batas atas retrokel. Sekarang fasia
rektovaginalis dijahit di garis tengah, dan kemudian m.
levator ani kiri dan kanan didekatkan di garis tengah. Luka
pada dinding vagina dijahit, demikian pula otot-otot
perineum yang superfisial. Kanan dan kiri dihubungkan di
garis tengah, dan akhirnya luka pada kulit perineum dijahit
(Erwinanto, 2015).
3. Enterokel
Sayatan pada dinding belakang vagina diteruskan ke atas
sampai ke serviks uteri. Setelah hernia enterokel yang
terdiri atas peritoneum dilepaskan dari dinding vagina,
peritoneum ditutup dengan jahitan setinggi mungkin.
Sisanya dibuang dan di bawah jahitan itu ligamentum
sakrouterinum kiri dan kanan serta fasia endopelvik dijahit
ke garis tengah (Erwinanto, 2015).
4. Prolapsus uteri
Indikasi untuk melakukan operasi pada prolapsus uteri
tergantung dari beberapa faktor, seperti umur penderita,
keinginannya untuk masih mendapatkan anak atau untuk
mempertahankan uterus, tingkat prolapsus, dan adanya
keluhan (Erwinanto, 2015).
Macam-macam operasi :
1. Ventrofikasasi
Pada golongan wanita yangmasih muda dan masih ingin
mempunyai anak, dilakukan operasi untuk membuat
26
uterus ventrofiksasi dengan cara memendekkan
ligamentum rotundum atau mengikat ligamentum
rotundum ke dinding perut atau dengan 4 cara operasi
Purandare (Erwinanto, 2015).
2. Operasi Manchester
Pada operasi ini biasanya dilakukan amputasi serviks uteri,
dan penjahitan ligamentum kardinale yang telah dipotong,
di muka serviks; dilakukan pula kolporafia anterior dan
kolpoperioplastik. Amputasi serviks dilakukan untuk
memperpendek serviks yang memanjang (elongasi colli).
Tindakan ini dapat menyebabkan infertilitas, abortus,
partus prematur, dan distosia servikalis pada persalinan.
Bagian yang terpenting dari operasi Menchester adalah
penjahitan ligamentum kardinale di depan serviks karena
dengan tindakan ini ligamentum kardinale diperpendek,
sehingga uterus akan terletak dalam posisi anteversifleksi,
dan turunnya uterus dapat dicegah (Erwinanto, 2015).
3. Histerektomi vaginal
Operasi ini tepat untuk dilakukan pada prolaps uteri
tingkat lanjut, dan pada wanita menopause.
Keuntungannya adalah pada saat yang sama dapat
dilakukan operasi vagina lainnya (seperti anterior dan
posterior kolporafi dan perbaikan enterokel), tanpa
memerlukan insisi di tempat lain maupun reposisi pasien.
Saat pelaksanaan operasi, harus diperhatikan dalam
menutup cul-de-sac dengan menggunakan kuldoplasti
McCall dan merekatkan fasia endopelvik dan ligamen
uterosakral pada rongga vagina sehingga dapat
memberikan suport tambahan. Setelah uterus diangkat,
puncak vagina digantungkan pada ligamentum
sakrouterina kanan kiri, atas pada ligamentum infundibulo
27
pelvikum, kemudian operasi akan dilanjutkan dengan
kolporafi anterior dan kolpoperineorafi untuk mencegah
prolaps vagina di kemudian hari (Erwinanto, 2015).
b. Dekubitus.
Jika serviks uteri terus keluar dari vagina, ujungnya bergeser
dengan paha dan pakaian dalam hal itu dapat menyebabkan luka
dan radang, dan lambat laun timbul ulkus dekubitus. Dalam
keadaan demikian, perlu dipikirkan kemungkinan karsinoma,
lebih-lebih pada penderita berusia lanjut (Chen&Thompson, 2022).
28
c. Hipertrofi serviks uteri dan elangasio kolli.
Jika serviks uteri turun ke dalam vagina sedangkan jaringan
penahan dan penyokong uterus masih kuat, karena tarikan ke
bawah di bagian uterus yang turun serta pembendungan pembuluh
darah, serviks uteri mengalami hipertrofi dan menjadi panjang
pula. Hal yang terakhir ini dinamakan elongasio kolli
(Chen&Thompson, 2022).
d. Kemandulan
Pada prolaps uteri, serviks uteri turun sampai dekat pada
introitusvagina atau sama sekali ke luar dari vagina sehingga tidak
akan mudah terjadi kehamilan (Chen&Thompson, 2022).
29
2.2.10. Pencegahan Prolaps Uteri
Pemendekan waktu persalinan, terutama kala pengeluaran dan kalau
perlu dilakukan elektif (seperti ekstraksi forceps dengan kelapa
sudah di dasar panggul), membuat episiotomi, memperbaiki dan
mereparasi luka atau kerusakan jalan lahir dengan baik, memimpin
persalinan dengan baik agar dihindarkan penderita meneran
sebelum pembukaan lengkap betul, menghindari paksaan dalam
pengeluaran plasenta (perasat Crede), mengawasi involusi uterus
pasca persalinan tetap baik dan cepat, serta mencegah atau
mengobati hal-hal yang dapat meningkatkan tekanan intraabdominal
seperti batuk-batuk yang kronik, merokok, mengangkat benda-
benda berat. Pada wanita sebaiknya melakukan senam Kegel
sebelum dan setelah melahirkan. Selain itu usia produktif
dianjurkan agar penderita jangan terlalu banyak punya anak atau
sering melahirkan. Untuk wanita dengan IMT diatas normal,
sebaiknya menurunkan berat badan dengan olahraga, serta diet yang
tinggi serat (Erwinanto, 2015).
30
IMT dalam batas normal. Prognosis buruk pada pasien usia tua,
kondisi kesehatan buruk, mempunyai gangguan sistem respirasi
(asma, PPOK), serta IMT diatas batas normal. Rekurensi 3 prolaps
uteri setelah tindakan operasi sebanyak 16% (Erwinanto, 2015).
31
BAB III
ANALISIS KASUS
3.1. Anamnesis
Diagnosis pada pasien ini ditegakkan atas dasar anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis diketahui bahwa pasien
Ny. T, 73 tahun datang dengan keluhan keluar sesuatu dari kemaluannya
disertai nyeri di kemaluannya yang memberat sejak 2 hari SMRS. Pasien
merasakan adanya benjolan di kemaluan sejak 2 tahun yang lalu, pernah
dipasangkan ring 1 tahun yang lalu, tetapi ring lepas saat pasien BAB.
Kemudian, pasien datang ke RSAM karena merasakan semakin nyeri di
kemaluannya sejak 2 hari SMRS. Sebelumnya, 2 tahun yang lalu benjolan
tersebut hilang timbul, timbul terutama saat batuk, BAB, beraktivitas,
berjalan dan berdiri, masuk kembali dengan sendirinya saat berbaring.
Namun, sejak 3 bulan yang lalu benjolan keluar seluruhnya dan tidak dapat
masuk kembali. Gejala lain yang sesuai antara lain nyeri perut dan nyeri di
punggung bawah. BAB & BAK dalam batas normal, nyeri saat BAK
disangkal.
Dari anamnesis, ditemukan pasien berusia lanjut, keadaan gizi lebih (IMT
27.34), menopause, multipara dengan seluruhnya persalinan per vaginam,
kebiasaan mengangkat benda berat (menimba air). Maka, etiologi yang
dipikirkan pada pasien antara lain trauma obstetrik, penurunan kadar
estrogen, dan peningkatan tekanan intraabdomen. Secara epidemiologis
>50% prolaps uteri terjadi pada multipara dan menopause. Proses
persalinan pervaginam berulang menyebabkan trauma obsterik dan
peregangan pada dasar pelvis sehingga memicu kelemahan pada jaringan
penyokong pelvis. Hal tersebut merupakan penyebab paling signifikan dari
prolapsus uteri (Cunningham et al., 2014). Seiring proses penuaan dan
menopause, terdapat penurunan kadar estrogen sehingga jaringan pelvis
kehilangan elastisitas dan kekuatannya. Kebiasaan mengangkat benda
berat pada pasien menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen
sehingga menambah penekanan pada dasar pelvis dan memperberat
prolaps organ di dalamnya (Cunningham et al., 2014).
33
POPQ dilakukan untuk menilai derajat prolaps. Didapatkan hasil Aa +6,
Ba +6, C +7, gh 4, pb 3, tvl -8, Ap +6, Bp +6, dan D -6, sondase tertahan
dan sisa urin 0 cc. Dapat disimpulkan bahwa ujung terdepan prolaps
anterior atau nilai Ba (+6) sama dengan panjang vagina total (8 cm)
dikurangi 2 cm, sehingga POPQ dapat digolongkan sebagai stadium
IV/procidentia. Tidak adanya sisa urin menunjukkan tidak adanya
obstruksi saluran kemih pada pasien. Jadi pada pasien ini dapat ditegakkan
diagnosis prolaps uteri derajat IV dengan nama lain procidentia, sistokel
derajat IV, dan rektokel derajat IV (Kate dkk., 2015).
3.4. Tatalaksana
Rencana terapi pada pasien ini sudah tepat yaitu dilakukan operasi total
vaginal histerektomi (TVH), kolporafia anterior, dan kolpoperinoplastik
karena pasien sudah tidak menginginkan kehalian, sudah menopause, dan
pasien merasa gejala yang dirasakan saat ini sangat mengganggu (Lazarou,
2015). Pasien juga sebelumnya sudah dilakukan tatalaksana non operatif
dengan pesarium 1 tahun yang lalu, namun mengalami rekurensi sehingga
diputuskan untuk histerektomi total.
Edukasi sangat penting pada pasien ini. Pada pasien perlu diberikan
edukasi mengenai pengendalian faktor risiko, yaitu mengurangi kebiasaan
angkat berat (memompa air), menurukan berat badan dan mengontrol
penyakit yang dapat meningkatkan tekanan intraabdomen. Pengendalian
terhadap faktor risiko ini sangat membantu untuk menurunkan tekanan
intraabdomen yang dianggap sebagai salah satu etiologi terjadinya
prolapsus organ pelvis pada pasien ini (Prawirohardjo, 2016).
Prognosis pada pasien ini, prognosis quo ad vitam adalah bonam karena
prolaps uteri tidak mengancam nyawa. Untuk prognosis quo ad functionam
adalah malam, karena pasien akan dilakukan histerektomi total. Dan
prognosis quo ad sanactionam adalah bonam, karena pasien akan
dilakukan total vaginal histerektomi, kolporafi anterior, dan
kolpoperineorafi posterior (Prawirohardjo, 2016)
34
35
DAFTAR PUSTAKA
Ambler DR, Bieber EJ, & Diamond MP. 2012. Sexual function in elderly
women: a review of current literature. Reviews in Obstetrics and
Gynecology. 5(1): 16-27
Kate MD, Yuko MD, Ellen, Craig, Clifford, Qualls, et al. 2015. Sexual
Function and Pessary Management Among Women Using a Pessary
of Pelvic Floor Disorders. J Sex Med. 12: 2339-2349
Khalilullah SA, Masnawati, Saputra RW, dan Hayati M. 2011. Prolapsus Uteri
pada Rumah Sakit Umum DR.Zainoel Abidin Banda Aceh, Indonesia
selama 2007 sampai 2010. Banda Aceh: Departemen Obsgyn FK
Univ Syiahkuala.
Putri, Sarasmartha AA & Budiana ING. 2020. Profil Kasus Penderita Prolapsus
Uteri di Poliklinik Obstetri dan Ginekologi RSUP Sanglah Denpasar
Periode 2015-Maret 2016. Med Udayana. 9.
Situmorang LP. 2018. Hubungan jumlah paritas dengan kejadian prolapsus uteri
di rumah sakit umum pusat haji adam malik tahun 2016-2018
[Internet]. Universitas Sumatera Utara.
33