Anda di halaman 1dari 41

MANAJEMEN KASUS

“PROLAPS UTERI”

Oleh :
Dimas Arrohmansyah 2118012031
Annisa Nur Oktaviani 2118012028
Dinda Aulia Khairani 2118012177
Wulan Yuniarti 2118012184
Agnes Bintang Kartika 2118012237
Nabila Salwa Raehana 2118012183
Wahyu Dewayanti 2118012171

Pembimbing: dr. Rodiani, Sp.OG

KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU KEBIDANAN DAN PENYAKIT KANDUNGAN
RSUD DR. H. ABDUL MOELOEK PROVINSI LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya,
penulis dapat menyelesaikan tugas Manajemen Kasus yang berjudul “Prolaps
Uteri” dengan tepat waktu.

Manajemen Kasus merupakan salah satu kegiatan terstruktur dalam metode


pembelajaran yang dilakukan pada tahap kepaniteraan klinik Bagian Obstetri dan
Ginekologi. Selain itu, Manajemen Kasus ini bertujuan menambah wawasan
mengenai prolaps uteri pada kehamilan bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Rodiani, Sp.OG selaku konsulen
pembimbing. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang
telah membantu diselesaikannya makalah ini.

Penulis menyadari laporan ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran
dan kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Bandarlampung, 1 Desember 2022

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR I
DAFTAR ISI II
BAB I STATUS PASIEN 1
1.1. Identitas Pasien...................................................................................................................
1.2. Keluhan Utama...................................................................................................................
1.3. Anamnesis...........................................................................................................................
1.4. Pemeriksaan Fisik...............................................................................................................
1.5. Diagnosis............................................................................................................................
1.6. Tatalaksana.........................................................................................................................
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5
2.1 Anatomi Pelvis....................................................................................................................
2.2 Prolaps Uteri.....................................................................................................................
2.2.1. Epidemiologi Prolaps Uteri...................................................................................
2.2.2. Klasifikasi Prolaps Uteri.......................................................................................
2.2.3. Etiologi dan Faktor Resiko Prolaps Uteri.............................................................
2.2.4. Patofisiologi Prolaps Uteri....................................................................................
2.2.5. Manifestasi Klinis Prolaps Uteri...........................................................................
2.2.6. Diagnosis Prolaps Uteri.........................................................................................
2.2.7. Diagnosis Banding Prolaps Uteri..........................................................................
2.2.8. Penatalaksanaan Prolaps Uteri..............................................................................
2.2.9. Komplikasi Prolaps Uteri......................................................................................
2.2.10.Pencegahan Prolaps Uteri......................................................................................
2.2.11.Edukasi Prolaps Uteri............................................................................................
2.2.12.Prognosis Prolaps Uteri.........................................................................................
BAB III ANALISIS KASUS 32
3.1. Anamnesis.........................................................................................................................
3.2. Pemeriksaan Fisik.............................................................................................................
3.3. Diagnosis..........................................................................................................................
3.4. Tatalaksana.......................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA 32

ii
iii
BAB I
STATUS PASIEN

1.1. Identitas Pasien


Nama : Ny. T
Usia : 73 tahun
Pernikahan : Sudah menikah
Alamat : Bandar Lampung
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Pendidikan :-

1.2. Keluhan Utama


Pasien mengeluhkan nyeri pada benjolan di kemaluan

1.3. Anamnesis
RPS:
Pasien datang ke IGD PONEK dengan keluhan nyeri pada massa berwarna
merah muda sebesar 2,5 x 3,5cm tanpa darah keluar dari vagina disertai
nyeri yang semakin memberat sejak 2 hari SMRS
Sejak 1 tahun yang lalu pasien mengatakan terdapat tonjolan masa
berukuran sebesar 2,5 x 3,5cm tanpa darah keluar dari vagina secara tiba-
tiba tanpa dirasa, namun karena pasien tidak mengeluhkan adanya nyeri
pada massa, pasien hanya membiarkan dan tidak membawa berobat ke
Rumah Sakit
Sejak 3 bulan ini pasien mengeluhkan nyeri yang memberat pada massa
ketika sedang melakukan aktivitas berat dan ketika mengeran saat buang air
besar. Pasien sempat berobat ke RSIA AMC Metro dan dilakukan pemasang
ring pada satu tahun yang lalu, namun saat sedang BAB pasien mengatakan
ring tersebut keluar bersamaan saat BAB tanpa dirasa sakit dan pasien tidak
berusaha datang untuk konsultasi ke fasilitas kesehatan mengenai hal
tersebut.
RPD:
Tidak ada

RPK:
Tidak ada

Riwayat Pribadi:
Pasien tidak pernah merokok, tidak minum-minuman beralkohol.

Riwayat Haid:
Pasien pertama kali haid di usia 15 tahun dengan siklus 28 hari, teratur.
Lama haid sekitar 7 hari, banyaknya haid ± 2-3× ganti pembalut dalam
sehari (± 40-60cc/ hari).

Riwayat Pernikahan:
Menikah 1x selama 50 tahun

Riwayat Kontrasepsi:
Tidak ada

Riwayat Ginekologi:
Tidak ada

Riwayat Obstetri:
Tahun UK Persalinan Penolong JK PB BB

1976 Aterm Spontan Dukun L  

1980 Aterm Pervaginam Dukun L

1985 34 minggu Kuretase Dokter -

1992 Aterm Pervaginam Dukun L

1.4. Pemeriksaan Fisik

Status Present
KU : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Compos Mentis
TD : 130/100 mmHg

2
RR : 22×/menit
HR : 79×/menit
Suhu : 36,9°C
SpO2 : 99%

Status Generalis
Kepala : Kesan dalam batas normal
Mata : Kesan dalam batas normal
Leher : Kesan dalam batas normal
Thorax : Kesan dalam batas normal
Ekstremitas : Kesan dalam batas normal
Genitalia : Tampak massa berwarna merah muda sebesar 2,5 x 3,5cm
tanpa darah keluar dari vagina disertai nyeri
1.5. Diagnosis

Dx: Prolaps uteri derajat IV, sistokel derajat IV, dan rektokel derajat IV
Dd:
1. Benda asing pada vagina : Prolaps Rektum, Massa Pelvis
2. Gangguan Pencernaan : Irritable Bowl Syndrom, Inersia Rektum,
Hemoroid

1.6. Tatalaksana

1. Terapi supportif
2. Latihan otot dasar panggul  senam kegel
3. Modifikasi gaya hidup  perbanyak konsumsi serat  mengurangi
gangguan BAB
4. Pembedahan (Total Vaginal Histerektomi) diindikasikan pada pasien
ini, karena:
a. Pasien merasa terganggu dengan gejala yang dialami dan pernah
gagal dengan tindakan non operatif
b. Pasien sudah menopause
c. Prolaps derajat IV  beresiko terjadi rekurensi

5. Kolporafia anterio  Sistokel derajat IV

3
6. Kolpoperinoplasti atau kolpoperineorafi posterior  rektokel derajat
IV

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Pelvis

Organ dalam pelvis dilindungi dan dikelilingi oleh tulang panggul tetapi
tulang hanya berperan sedikit sebagai organ penyokong. Tulang yang
membentuk pelindung organ dalam pelvis yaitu:

A. Dua buah ossae coxae yang membentuk dinding anterior dan lateral.

B. Os. sacrum dan Os. coccygis (bagian dari columna vertebralis)


membentuk dinding dorsal pelvis (Schunke et. al, 2016).

Gambar 1. Anatomi Panggul

Panggul dibagi oleh apertura pelvis superior (pintu atas panggul) yang
dibentuk oleh promontorium sakralis di sebelah dorsal, linea iliopectinea di
sebelah lateral dan symphysis pubis di sebelah anterior. Apertura pelvis
superior dibagi menjadi:
a. Pelvis spurium (pelvis major) yaitu bagian atas apertura tersebut,
merupakan bagian bawah rongga abdomen. Pelvis spurium merupakan
bagian yang terdapat di depan vertebrae lumbalis sebagai batas dorsal,
fossa iliaca dengan M. iliacus berada di sebelah lateral dan dinding
abdomen bagian bawah di sebelah ventral. Pelvis spurium ini juga
merupakan bagian rongga perut. Fungsinya menahan alat-alat rongga
perut dan menahan uterus yang berisi fetus pada wanita hamil sejak
bulan ketiga (Schunke et. al, 2016).

b. Pelvis verum (pelvis minor), yaitu rongga di bawah apertura pelvis


superior tersebut. Pelvis verum mempunyai pintu masuk panggul
(apertura pelvis superior) dan pintu keluar (pelvis inferior) yang
berupa 2 buah segitiga yang bersekutu pada alasnya (yakni garis yang
menghubungkan kedua tuber ischiadica). Segitiga bagian dorsal
trigonum anale dibentuk oleh kedua ligamentum sacrotuberosa dan
puncaknya terletak pada os coccygis. Segitiga bagian ventral trigonum
urogenitale dibentuk oleh ramus inferior ossis pubis dan ramus inferior
ossis ischii sebelah kiri dan kanan, dan puncaknya terletak pada
symphysis ossium pubis (yang diperkuat oleh ligamentum arcuatum
pubis). Cavum pelvis (rongga panggul) terletak di antara pintu masuk
dan pintu keluar panggul, berupa saluran pendek yang melengkung
dengan bagian cekung ke depan (Schunke et. al, 2016).

Gambar 2. Pembagian Pelvic

6
Organ panggul terutama disokong oleh otot dasar panggul, dan ditunjang
oleh ligamentum. Karena manusia berdiri tegak lurus, maka dasar panggul
perlu mempunyai kekuatan untuk menahan semua beban yang diletakkan
padanya, khususnya isi rongga perut dan tekanan intraabdominal. Beban ini
ditahan oleh lapisan otot-otot dan fasia yang apabila mengalami tekanan dan
dorongan berlebihan atau terus-menerus dapat timbul prolapsus genitalis
(Schunke et. al, 2016).

Membrana perineal (terdiri dari diafragma urogenital dan otot-otot yang


membentuk badan perineal dan sfingter uretra). Otot yang aktif sebagai
penggantung ini dengan syaraf-syarafnya penting untuk mempertahankan
posisi organ pelvis dan merupakan penyangga yang aktif. Dengan kata lain,
penyangga beban dilakukan oleh otot-otot pelvis. Di sisi lain jaringan ikat
(fasia) berfungsi untuk mempertahankan dan menstabilkan organ pelvis
(Schunke et. al, 2016).

Pintu bawah panggul terdiri atas diafragma pelvis, diafragma urogenital, dan
lapisan-lapisan otot yang berada diluar (penutup genitalia eksterna).
Diafragma pelvis merupakan penutup bagian bawah dari rongga perut, dan
terbentuk oleh muskulus levator ani dan muskulus koksigeus yang
menyerupai sebuah mangkok serta fasia endopelvik (Schunke et. al, 2016).

7
Gambar 3. Dasar Panggul

Muskulus levator ani terbagi menjadi iliokoksigeus, pubokoksigeus, dan


puborektalis, walaupun jauh subdivisinya disebut pubouretralis, dan
pubovaginalis dimana serabut-serabut levator ani berinsersi dalam fasia yang
menutupi uretra. Otot pubokoksigeus berjalan dari permukaan dalam tulang
pubis bagian anterior dan median membentang ke belakang menuju bagian
belakang rectum, setelah mengelilingi rectum dan vagina kembali ke tulang
pubis di sisi lain (Schunke et. al, 2016).

Gambar 4. Otot dan Ligament Pelvic

Bagian lateral dari otot tersebut disebut iliokoksigeus yang membentang dari
spina ischiadika dan arkus tendius yang menutup otot obturatorius interna
terus kebelakang dan berinsersi di pinggir lateral tulang koksigeus dan
sacrum bagian bawah. Otot levator ani kanan-kiri membentuk levator plate
yang kuat sekali dan terbentang dari titik penggabungannya di belakang
hiatus levator dan terus ke belakang dan berinsersi di tulang koksigeus,

8
central perineal body, dan pada ligament anokoksigeus (Schunke et. al,
2016).

Di bawah otot levator ani terdapat diafragma urogenital yang menutup hiatus
genitalis, dibentuk oleh aponeurosis muskulus transversus perinei profundus
dan muskulus transversus superfisialis berjalan antara arkus pubis kanan-
kiri. Di dalam sarung aponeurosis itu terdapat muskulus rhabdo sfingter
urethrae (Schunke et. al, 2016).

Lapisan paling luar (distal) dibentuk oleh muskulus bulbokavernosus yang


melingkari genital eksterna, muskulus perinei transversus superfisialis,
muskulus iskhiokavernosus dan muskulus sfingter ani eksternus (Schunke et.
al, 2016).

Fungsi otot-otot tersebut diatas adalah sebagai berikut:


● Muskulus levator ani berfungsi mengerutkan lumen rectum, vagina,
uretra dengan cara menariknya ke arah dinding tulang pubis sehingga
organ-organ pelvis di atasnya tidak dapat turun (prolaps),
mengimbangkan tekanan intraabdominal dan tekanan atmosfer
sehingga ligament-ligament tidak perlu bekerja mempertahankan letak
organ-organ pelvic di atasnya, sebagai sandaran uterus, vagina bagian
atas, rectum dan kantung kemih. Bila otot levator rusak atau
mengalami defek maka ligament seperti ligament kardinale, sakro
uterine mempunyai kerja yang berat (Schunke et. al, 2016).
● Diafragma urgenital berfungsi memberi bantuan pada otot levator ani
menahan organ-organ pelvis.
● Muskulus sfingter ani eksternus diperkuat oleh muskulus levator ani
menutup anus.
● Muskulus bulbokavernosus mengecilkan introitus vagina di samping
memperkuat fungsi muskulus sfingter vesisae internus yang terdiri atas
otot polos (Schunke et. al, 2016).

Uterus

Uterus berada di rongga panggul dalam ateversiofleksio sehingga bagian

9
depannya setinggi simfisis pubis dan bagian belakang setinggi artikulasio
sakrokoksigea. Jaringan ikat di parametrium, dan ligamentum-ligamentum
membentuk suatu sistem penunjang uterus sehingga uterus terfiksasi relatif
cukup baik. Ligamentum-ligamentum tersebut yaitu:

● Ligamentum kardinale sinistrum dan dekstrum (Mackenrodt)


merupakan ligamentum yang terpenting untuk mencegah agar uterus
tidak turun. Ligamentum ini terdiri atas jaringan ikat tebal, dan
berjalan dari serviks dan puncak vagina ke arah lateral ke dinding
pelvis. Didalamnya ditemukan banyak pembuluh darah, antara lain
vena dan arteri uterina (Schunke et. al, 2016).
● Ligamentum sakrouterinum sinistrum dan dekstrum, yakni
ligamentum yang juga menahan uterus supaya tidak banyak bergerak,
berjalan, melengkung dari bagian belakang serviks kiri dan kanan
melalui dinding rektum ke arah os sakrum kiri dan kanan (Schunke et.
al, 2016).
● Ligamentum rotundum sinistrum dan dekstrum, yakni ligamentum
yang menahan uterus dalam antefleksi, dan berjalan dari sudut fundus
uteri kiri dan kanan ke daerah inguinal kiri dan kanan (Schunke et. al,
2016).
● Ligamentum puboservikale sinistrum dan dekstrum, berjalan dari os
pubis melalui kandung kencing, dan seterusnya sebagai ligamentum
vesikouterinum sinistrum dan dekstrum ke serviks (Schunke et. al,
2016).
● Ligamentum latum sinistrum dan dekstrum, yakni ligamentum yang
berjalan dari uterus ke arah lateral, dan tidak banyak mengandung
jaringan ikat. Ligamentum ini adalah bagian peritoneum viserale yang
meliputi uterus dan kedua tuba, dan berbentuk lipatan. Di bagian
lateral dan belakang ligamentum ini ditemukan indung telur (ovarium
sinistrum dan dekstrum). Untuk memfiksasi uterus ligamentum ini
tidak banyak artinya (Schunke et. al, 2016).
● Ligamentum infundibulopelvikum, yakni ligamentum yang menahan
tuba Falopii, berjalan dari arah infundibulum ke dinding pelvis. Di

10
dalamnya ditemukan urat saraf, saluran-saluran limfe, arteria dan vena
ovarika. Sebagai alat penunjang ligamentum ini tidak banyak artinya
(Schunke et. al, 2016).

● Ligamentum ovarii propium sinistrum dan dektrum, yakni ligamentum


yang menahan tuba Falopii, berjalan dari sudut kiri dan kanan

belakang fundus uteri ke ovarium (Schunke et. al, 2016).

Gambar 5. Organ-Organ dalam panggul

Ligamentum-ligamentum dan jaringan-jaringan di parametrium tidak


semuanya berfungsi sebagai penunjang uterus. Terdapat ligamentum-
ligamentum yang mudah sekali dikendurkan sehingga alat-alat genital
mudah berganti posisi. Ligamentum latum sebenarnya hanya satu lipatan
peritoneum yang menutupi uterus dan kedua tuba, dan terdiri atas
mesosalpink, mesovariun, dan mesometrium. Di lipatan tersebut ditemukan
jaringan ikat yang letaknya disebut intraligamenter (di dalam ruangan
ligamentum latum). Ruangan tersebut berhubungan pula dengan ruangan
retroperitoneal yang terdapat di atas otot-otot dasar panggul dan di daerah
ginjal (Schunke et. al, 2016).
2.2 Prolaps Uteri

Prolaps dasar panggul adalah herniasi organ panggul melalui perineum.


Bergantung pada organ panggul yang terlibat, prolaps panggul selanjutnya
dikategorikan ke dalam kompartemen anterior yang berisi kandung kemih

11
(sistokel), kompartemen tengah yang berisi prolaps uterus atau vagina (uterus
atau vagina), atau kompartemen posterior yang berisi loop usus kecil
(enterokel) atau rektum (rektokel) (Ilsup Yoon; Nishant Gupta, 2022).

Prolaps uteri adalah herniasi uterus dari lokasi anatomi alaminya ke dalam
saluran vagina, melalui selaput dara, atau melalui introitus vagina. Hal ini
disebabkan oleh melemahnya struktur pendukung sekitarnya. Prolaps uteri
adalah salah satu dari beberapa kondisi yang diklasifikasikan dalam istilah
prolaps organ panggul yang lebih luas. Dalam keadaan anatomis, rahim
terletak di kompartemen apikal organ panggul. Rahim dan vagina
ditangguhkan dari sakrum dan dinding samping panggul lateral melalui
kompleks ligamen uterosakral dan kardinal. Melemahnya ligamen ini
memungkinkan prolaps rahim ke dalam ruang vagina. Meskipun prolaps uteri
tidak mengancam jiwa, hal itu dapat menyebabkan disfungsi seksual, citra
tubuh yang buruk, dan kualitas hidup yang lebih rendah karena berhubungan
dengan inkontinensia usus atau kandung kemih (Chen & Thompson, 2022)

Gambar 7. Normal Uterus dan prolaps Uterus.

2.2.1. Epidemiologi Prolaps Uteri

Defek jaringan penyokong pelvis relatif sering dan meningkat


seiring usia dan paritas. Di Amerika Serikat, studi dari 16.000

12
pasien menunjukkan frekuensi prolaps uteri sebesar 14,2%. Rerata
usia dilakukannya bedah untuk prolaps organ uteri adalah 54,6
tahun. Perbedaan frekuensi berdasar ras diperkirakan berhubungan
dengan komponen genetik. Prolaps uteri paling sering terjadi pada
multipara (sekitar >50%) dan wanita menopause. Prolaps terkadang
terjadi pada wanita nullipara atau wanita muda (sekitar 2% untuk
prolaps 1 simtomatik) dan jarang terjadi pada neonatus (Erwaninto,
2015).

2.2.2. Klasifikasi Prolaps Uteri

Salah satu baku emas untuk menentukan stadium prolaps adalah Pelvic
Organ Prolapse Quantification (POPQ) yang mengukur hiatus
genitalia, korpus 2 perineal, dan panjang vagina total. Hiatus genitalia
diukur dari pertengahan meatus uretra eksternal hingga posterior garis
tengah himen. Badan perineal diukur dari batas posterior hiatus genital
hingga pembukaan mid anal. Panjang vagina total adalah kedalaman
terbesar dari vagina dalam cm saat apeks vagina direduksi hingga
posisi normal. Semua pengukuran kecuali panjang vagina total diukur
saat pasien mengejan (Erwinanto, 2015).

Sistem pembagian stadium prolaps organ pelvik menurut ICS:

a. Stadium 0: titik Aa, Ap, Ba, dan Bp semuanya -3 cm dan titik


yang lain (C,D) ≤-(X-2) cm
b. Stadium I : kriteria stadium 0 tidak dipenuhi dan ujung prolaps
yang terendah <-1cm
c. Stadium II : ujung terendah prolaps ≥ -1 cm, namun ≤ +1 cm
d. Stadium III : ujung terendah prolaps >+1 cm, namun <+(X-2)
cm
e. Stadium IV : ujung terendah prolaps ≥ + (X-2) cm *) X =
panjang total vagina dalam cm pada stadium 0, III, dan IV
(Erwinanto, 2015).

13
Tabel 1. Definisi dan Batasan Kuantifikasi

2.2.3. Etiologi dan Faktor Resiko Prolaps Uteri

Faktor risiko prolaps uteri sama dengan prolaps organ panggul


lainnya. Studi Asosiasi Keluarga Berencana Oxford menemukan
bahwa prolaps organ panggul menjadi lebih mungkin dengan
kelahiran berturut-turut. Wanita dengan BMI >25 lebih mungkin
mengalami prolaps uteri dibandingkan wanita dengan BMI dalam
kisaran normal. Usia lanjut telah terbukti berkorelasi nyata dengan
tingkat prolaps. Faktor risiko tambahan termasuk gangguan jaringan
ikat seperti sindrom Marfan dan sindrom Danlos Ehler (Chen &
Thompson, 2022). Kondisi yang berhubungan dengan prolaps uteri
antara lain:

a. Trauma obstetrik (meningkat dengan multiparitas, ukuran janin


lahir per vaginam) akibat peregangan dan kelemahan jaringan
penyokong pelvis
b. Kelemahan kongenital dari jaringan penyokong pelvis
(berhubungan dengan spina bifida pada neonatus)
c. Penurunan kadar estrogen (contohnya menopause) berakibat

14
hilangnya elastisitas struktur pelvis
d. Peningkatan tekanan intra abdominal, contohnya obesitas,
penyakit paru kronik, asma
e. Varian anatomi tertentu seperti wanita dengan diameter
transversal pintu atas panggul yang lebar atau pintu atas panggul
dengan orientasi vertikal yang kurang, serta uterus yang
retrograde (Erwinanto, 2015).

Etiologi prolaps uteri bersifat multifaktorial. Secara hipotesis


penyebab utamanya adalah persalinan pervaginam dengan bayi aterm.
Keadaan ini akibat terjadinya kerusakan pada fasia penyangga dan
inervasi syaraf otot dasar panggul. Faktor lain seperti lemahnya
kualitas jaringan ikat, penyakit neurologik, keadaan penyakit menahun
yang menyebabkan meningkatnnya tekanan intra abdominal (seperti
penyakit paru-paru obstruktif kronis, komstipasi menahun) atau
obesitas, asites, tumor pelvis, faktor genetik, faktor anatomi,
biokimiawi dan metabolisme jaringan penunjang, menopause,
defisiensi estrogen, dan riwayat pembedahan mempermudah
terjadinya prolapsus genitalis (Chen & Thompson, 2022).

Gambar 9. Klasifikasi Baden-Walker

Faktor risiko dari terjadinya prolapsus uteri antara lain:

15
1. Multiparitas
Persalinan yang sering merupakan faktor risiko terbanyak.
Sampai saat ini belum ada penjelasan mengenai apakah karena
kehamilan atau nifas itu sendiri yang menjadi faktor risiko dari
prolapsus uteri. Persalinan pervaginam merupakan faktor risiko
yang paling sering dikutip. Banyak penelitian statistik jelas
menunjukkan bahwa persalinan pervaginam ini meningkatkan
kecenderungan seorang wanita untuk mengalami Pelvic Organ
Prolapse (POP). Sebagai contoh dalam Dukungan Pelvic Organ
Study (POSST), peningkatan paritas dikaitkan dengan
peningkatan risiko prolapsus. Studi Kohort Keluarga Berencana
Oxford dari 17.000 wanita, menunjukkan bahwa dibandingkan
dengan wanita nullipara, mereka dengan dua kali persalinan
mengalami peningkatan risiko delapan kali lipat di rumah sakit
untuk POP (Chen & Thompson, 2022).

2. Makrosomia
Makrosomia, kala dua memanjang akibat peregangan otot-otot
jalan lahir yang terlalu lama bisa menjadi faktor risiko yang dapat
menyebabkan POP. Selain itu beberapa ahli ginekologi
menganggap trauma jalan lahir akibat episiotomi, laserasi sfingter
anal, penggunaan forceps, stimulasi oksitosin berulang, riwayat
operasi pelvis terutama histerektomi juga dapat meningkatkan
resiko terjadinya POP dikemudian hari walaupun hal ini masih
menjadi pertimbangan. Asites dan tumor-tumor di daerah pelvis
akan mempermudah terjadinya prolapsus genitalia. Bila prolapsus
uteri dijumpai pada nullipara, faktor penyebab biasanya
disebabkan oleh adanya kelainan bawaan berupa kelemahan
jaringan penunjang uterus. Faktor risiko yang disebutkan di atas
tidak secara pasti dapat dibuktikan. Hal yang masih menjadi
kontroversial adalah penanganan kelahiran menggunakan forceps
untuk mempersingkat kala kedua dan episiotomy (Chen &
Thompson, 2022).

16
Beberapa ahli menyatakan penggunaan forceps dan episiotomy
tidak dianjurkan karena terbukti kurang bermanfaat dan
berpotensi untuk membahayakan ibu dan janin. Pertama,
penggunaan forceps dapat menyebabkan cedera panggul dengan
laserasi sfingter anal. Kedua, Forcep tidak terbukti dalam
memperpendek kala dua. Karena alasan inilah, pengguanaan
forceps tidak dianjurkan. Demikian juga, episiotomi tidak terbukti
bermanfaat tetapi dapat menyebabkan laserasi sfingter anal,
inkontinensia urin, konstipasi postpartum, dan nyeri postpartum.
Namun hal ini masih mejadi hal yang dipertanyakan karena
belum ada panjelasan jelas mengenai hal tersebut (Chen &
Thompson, 2022).

3. Umur
Usia lanjut juga merupakan faktor risiko prolapsus uteri. Pada
wanita yang telah menopause, di samping akibat kurangnya
hormon estrogen (hipoestrogenism) yang dihasilkan oleh
ovarium serta karena faktor umur menyebabkan otot-otot dasar
panggul seperti diafragma pelvis, diafragma urogenital dan
ligamentum serta fasia akan mengalami atrofi dan melemah,
serta terjadi atrofi vagina. Keadaan ini akan menyebabkan otot-
otot dan fascia tidak dapat melaksanakan fungsinya dengan
baik sebagai alat penyokong organ sehingga menyebabkan
terjadinya prolapsus genitalia (Chen & Thompson, 2022).

4. Ras
Telah dibuktikan dalam beberapa penelitian bahwa wanita
berkulit hitam, dan wanita Asia menunjukkan risiko terendah,
sedangkan wanita Hispanik tampaknya memiliki risiko
tertinggi. Meskipun perbedaan dalam komponen kolagen telah
dibuktikan antara ras, namun perbedaan tulang panggul dalam
setiap ras mungkin juga berperan. Misalnya, perempuan kulit
hitam, umumnya arcus pubis < 90 derajat dan umumnya bentuk

17
panggulnya adalah android atau antropoid. Bentuk panggul ini
mengurangi resiko untuk terjadinya prolapsus uteri
dibandingkan dengan ras barat dimana rata-rata bentuk
panggulnya ginekoid (Chen & Thompson, 2022).

5. Peningkatan Tekanan Intraabdominal


Peningkatan tekanan intra-abdominal yang berlangssung lama
diyakini mempunyai peranan dalam patogenesis prolapsus uteri,
contohnya obesitas, konstipasi yang lama, sering mengangkat
berat, batuk kronis, dan berulang (Chen & Thompson, 2022).

2.2.4. Patofisiologi Prolaps Uteri

Prolaps uteri diakibatkan oleh kelemahan jaringan penyokong pelvis,


meliputi otot, ligamen, dan fasia. Pada dewasa, kondisi ini biasanya
disebabkan oleh trauma obstetri dan laserasi selama persalinan. Proses
persalinan per vaginam menyebabkan peregangan pada dasar pelvis,
dan hal ini merupakan penyebab paling signifikan dari prolaps uteri.
Selain itu, seiring proses penuaan, terdapat penurunan kadar estrogen
sehingga jaringan 3 pelvis kehilangan elastisitas dan kekuatannya.
Rendahnya kadar kolagen berperan penting dalam prolaps uteri,
ditunjukkan oleh peningkatan risiko pada pasien dengan sindrom
Marfan dan sindrom EhlersDanlos. Pada neonatus, prolaps uteri
disebabkan oleh kelemahan otot atau defek persarafan pelvis secara
kongenital (Erwinanto, 2015).

2.2.5. Manifestasi Klinis Prolaps Uteri

Gejala klinik sangat berbeda dan bersifat individual. Ada penderita


dengan prolaps cukup berat tidak menunjukan keluhan apa pun.
Sebaliknya, ada yang dengan prolaps ringan, tetapi keluhannya
banyak (Chen & Thompson, 2022).
Keluhan yang dijumpai pada umumnya adalah perasaan mengganjal di
vagina atau adanya yang menonjol di genitalia eksterna, rasa sakit di
panggul atau pinggang dan bila pasien berbaring keluhan berkurang,

18
bahkan menghilang. Sistokel yang sering menyertai prolaps
menyebabkan gejala-gejala polimiksi mula-mula ringan pada siang
hari, lama kelamaan bila prolaps lebih berat gejalanya juga timbul
pada malam hari. Adanya perasaan kandung kemih tidak dapat
dikosongkan secara tuntas, tidak dapat menahan kencing bila batuk
(stress incontinence) dan kadang dapat terjadi pula retensio urinae.
Retrokel dapat menyebabkan gangguan defekasi. Prolapsus uteri
derajat III dapat menyebabkan gejala gangguan bila berjalan dan
bekerja. Gesekan porsio uteri pada celana menimbulkan luka dan
dekubitus pada porsio uteri (Chen & Thompson, 2022).
Selain gejala yang dilaporkan oleh pasien, pemeriksaan panggul
sangat penting untuk diagnosis prolaps uteri karena visualisasi
langsung dari segmen yang mengalami prolaps. Pemeriksaan panggul
harus dilakukan saat pasien beristirahat dan selama manuver Valsava.
Visualisasi segmen prolaps sehubungan dengan selaput dara atau
introitus digunakan untuk tujuan pementasan (lihat di bawah untuk
metode pementasan POP-Q) (Chen & Thompson, 2022).
Ada banyak sistem stadium yang telah digunakan untuk klasifikasi
prolaps organ panggul. Namun, banyak sistem bergantung pada
reliabilitas interobserver, membutuhkan banyak pengukuran, dan
membuat kesepakatan dalam tahap di antara penguji yang berbeda
menjadi sulit (Chen & Thompson, 2022).

2.2.6. Diagnosis Prolaps Uteri

A. Anamnesis

1. Gejala Vagina (semua kompartemen)

- Terasa benjolan

- Rasa tertarik di perineum

- Tekanan pada panggul

- Rasa tidak nyaman

19
- Duh tubuh atau keluar darah dari vagina (Chen &
Thompson, 2022).

2. Gejala Berkemih (kompartemen anterior)

- Sulit memulai berkemih

- Berkemih tidak lampias

- Inkontinensia Urin

- Urgensi

- ISK berulang (Chen & Thompson, 2022).

3. Gejala BAB (kompartemen posterior)

- Benjolan pada liang vagina saat mengedan

- BAB tidak lampias

- Inkontinensia alvi

- Perlunya penekanan pada perineum atau vagina


posterior untuk membantu BAB (Chen & Thompson,
2022).
4. Gejala Seksual (semua kompartemen)

- Menurunnya sensasi vagina

- Dispareunia

- Menghindari hubungan seksual

B. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan pelvis lengkap, termasuk
pemeriksaan rektovaginal untuk menilai tonus sfingter. Alat yang
digunakan adalah spekulum Sims atau spekulum standar tanpa
bilah anterior.Penemuan fisik dapat lebih diperjelas dengan
meminta pasien meneran atau berdiri dan berjalan sebelum
pemeriksaan. Hasil pemeriksaan fisik pada posisi pasien berdiri
dan kandung kemih kosong dibandingkan dengan posisi supinasi

20
dan kandung kemih penuh dapat berbeda 1–2 derajat prolaps.
Prolaps uteri ringan dapat dideteksi hanya 3 jika pasien meneran
pada pemeriksaan bimanual. Evaluasi status estrogen semua
pasien. Tanda-tanda menurunnya estrogen :

a. Berkurangnya rugae mukosa vagina


b. Sekresi berkurang
c. Kulit perineum tipis
d. Perineum mudah robek

Pemeriksaan fisik juga harus dapat menyingkirkan adanya kondisi


serius yang mungkin berhubungan dengan prolaps uteri, seperti
infeksi, strangulasi dengan iskemia uteri, obstruksi saluran kemih
dengan gagal ginjal, dan perdarahan. Jika terdapat obstruksi
saluran kemih, terdapat nyeri suprapubik atau kandung kemih
timpani. Jika terdapat infeksi, 3 dapat ditemukan discharge
serviks purulen (Erwinanto, 2015).

C. Pemeriksaan Penunjang
Modalitas utama untuk diagnosis kondisi ini adalah anamnesis
yang diberikan oleh pasien yang dikombinasikan dengan temuan
pemeriksaan panggul, seperti yang disebutkan di atas. Namun,
segmen yang prolaps dapat dilihat pada berbagai modalitas
pencitraan seperti ultrasonografi, CT, dan MRI dan dapat
berfungsi untuk memastikan diagnosis (Chen & Thompson,
2022).
Pemeriksaan laboratorium ditujukan untuk mengidentifikasi
komplikasi yang serius (infeksi, obstruksi saluran kemih,
perdarahan, strangulasi), dan tidak diperlukan untuk kasus
tanpa komplikasi. Urinalisis dapat dilakukan untuk mengetahui
infeksi saluran kemih. Kultur getah serviks diindikasikan untuk
kasus yang disertai ulserasi atau discharge purulen. Pap smear
atau biopsi mungkin diperlukan bila diduga terdapat keganasan.
Jika terdapat gejala atau tanda obstruksi saluran kemih,

21
pemeriksaan BUN dan kadar kreatinin serum dilakukan untuk
menilai fungsi ginjal (Erwinanto, 2015).
USG pelvis dapat berguna untuk memastikan prolaps ketika
anamnesis dan pemeriksaan fisik meragukan.USG juga dapat
mengeksklusi hidronefrosis. MRI dapat digunakan untuk
menentukan derajat prolaps namun tidak rutin dilakukan
(Erwinanto, 2015).

2.2.7. Diagnosis Banding Prolaps Uteri

Prolaps uteri paling sering didiagnosis selama pemeriksaan fisik


setelah diskusi dengan pasien mengenai riwayat penyakit. Diagnosis
lain yang mungkin termasuk prolaps uretra, sistokel, enterokel,
rektokel, abses, dan massa yang berasal dari ginekologi
(Chen&Thompson, 2022).

2.2.8. Penatalaksanaan Prolaps Uteri

a. Terapi Medis
Pasien prolaps uteri ringan tidak memerlukan terapi, karena
umumnya asimtomatik. Akan tetapi, bila gejala muncul, pilihan
terapi konservatif lebih banyak dipilih. Sementara itu, pasien
dengan prognosis operasi buruk atau sangat tidak disarankan untuk
operasi, dapat melakukan pengobatan simtomatik saja (Erwinano,
2015).
b. Terapi Konservatif
Pengobatan cara ini tidak terlalu memuaskan tetapi cukup
membantu. Cara ini dilakukan pada prolapsus ringan tanpa
keluhan, atau penderita yang masih menginginkan anak lagi, atau
penderita menolak untuk dioperasi, atau kondisinya tidak
mengizinkan untuk dioperasi (Erwinanto, 2015).
1. Latihan-latihan otot dasar panggul
Latihan ini sangat berguna pada prolapsus ringan, terutama
yang terjadi pada pasca persalinan yang belum lewat 6 bulan.
Tujuannya untuk menguatkan otot-otot dasar panggul dan otot-

22
otot yang mempengaruhi miksi. Latihan ini dilakukan selama
beberapa bulan. Caranya ialah penderita disuruh
menguncupkan anus dan jaringan dasar panggul seperti
biasanya setelah selesai BAB, atau penderita disuruh
membayangkan seolah-oleh sedang miksi dan tiba-tiba
menahannya. Latihan ini menjadi lebih efektif dengan
menggunakan perineometer menurut Kegel. Alat ini terdiri atas
obrturator yang dimasukkan ke dalam vagina, dan yang dengan
suatu pipa dihubungkan dengan suatu manometer. Dengan
demikian, kontraksi 5 otot-otot dasar panggul dapat diukur
(Erwinanto, 2015).

2. Penatalaksanaan dengan pessarium


Pengobatan dengan pessarium sebenarnya hanya bersifat
paliatif, yaitu menahan uterus di tempatnya selama dipakai.
Oleh karena itu, jika pessarium diangkat, timbul prolapsus lagi.
Ada berbagai macam bentuk dan ukuran pessarium. Prinsip
pemakaian pessarium adalah bahwa alat tersebut mengadakan
tekanan pada dinding vagina bagian atas, sehingga bagian dari
vagina tersebut berserta uterus tidak dapat turun dan melewati
vagina bagian bawah. Jika pessarium terlalu kecil atau dasar
panggul terlalu lemah, pessarium dapat jatuh dan prolapsus
uteri akan timbul lagi. Pessarium yang paling baik untuk
prolapsus genitalis ialah pessarium cincin, terbuat dari plastik.
Jika dasar panggul terlalu lemah dapat digunakan pessarium
Napier. Pessarium ini terdiri atas suatu gagang (stem) dengan
ujung atas suatu mangkok (cup) dengan beberapa lubang, dan
di ujung bawah 4 tali. Mangkok ditempatkan di bwah serviks
dan tali-tali dihubungkan dengan sabuk pinggang untuk
memberi sokongan kepada pessarium. Sebagai pedoman untuk
mencari ukuran yang cocok, diukur dengan jari jarak antara
forniks vagina dengan pinggir atas intraoitus vagina. Ukuran
tersebut dikurangi dengan 1 cm untuk mendapatkan diameter

23
dari pessarium yang dipakai. Pessarium diberi zat pelicin dan
dimasukkan miring sedikit ke dalam vagina. Setelah bagian
atas masuk ke dalam vagina, bagian tersebut ditempatkan ke
forniks vagina posterior. Untuk mengetahui setelah dipasang,
apakah ukuran pessarium cocok atau tidak, penderita disuruh
mengejan atau batuk. Jika pessarium tidak keluar, penderita
disuruh jalan-jalan, apabila ia tidak merasa nyeri, pessarium
dapat dipakai terus.

Pasien yang menggunakan pessarium harus mempunyai vagina


yang well-esterogenized. Pasien postmenopause sebaiknya
diberikan terapi sulih hormon, atau sebagai alternatif, dapat
digunakan esterogen topikal intravaginal, 4–6 minggu sebelum
pemasangan pessarium, sehingga saat pemasangan pessarium
pasien dapat merasa nyaman, meningkatkan komplians, serta
pemakaian dapat lebih lama. Terapi sulih esterogen dapat
membantu mengurangi kelemahan otot dan jaringan
penghubung lainnya yang menyokong uterus. Esterogen juga
dapat memperlambat terjadinya prolaps lebih lanjut, dan dapat
mencegah terjadinya iritasi pada serviks, kandung kemih, dan
rektum (tergantung bagian mana yang prolaps dahulu), juga
esterogen dapat membantu proses penyembuhan pada wanita
yang menjalani proses operasi prolaps vagina. Ada beberapa
efek samping pemakaian esterogen, antara lain meningkatkan
risiko pembekuan darah, penyakit empedu, dan kanker
payudara. Pemakaiannya pun harus dengan pengawasan dokter
(Erwinanto, 2015).

Indikasi penggunaan pessarium adalah :

a. Kehamilan
b. Bila penderita belum siap untuk dilakukan operasi
c. Sebagai terapi tes, menyatakan bahwa operasi harus
dilakukan

24
d. Penderita menolak untuk dioperasi, lebih memilih terapi
konservatif
e. Untuk menghilangkan gejala simptom yang ada, sambil
menunggu waktu operasi dapat dilakukan (Erwinanto,
2015).

Kontraindikasi terhadap pemakaian pessarium ialah :

a. Radang pelvis akut atau subakut


b. Karsinoma (Erwinanto, 2015).

Komplikasi penggunaan pessarium ada beberapa, antara lain :

a. Penyakit inflamasi akut pelvis


b. Nyeri setelah insersi
c. Rekuren vaginitis
d. Fistula vesikovaginal (Erwinanto, 2015).

3. Terapi Operatif

Prolaps uteri biasanya disertai dengan prolaps vagina. Maka,


jika dilakukan pembedahan untuk prolapsus uteri, prolapsus
vagina perlu ditangani pula. Ada kemungkinan terdapat
prolapsus vagina yang membutuhkan pembedahan, padahal
tidak ada prolaps uteri, atau sebaliknya. Indikasi untuk
melakukan operasi pada prolaps vagina ialah adanya keluhan
(Erwinanto, 2015).

Terapi pembedahan pada jenis-jenis prolapsus vagina:


1. Sistokel
Operasi yang lazim dilakukan ialah kolporafi anterior.
Setelah diadakan sayatan dan dinding vagina depan
dilepaskan dari kandung kencing dan urethta, kandung
kencing didorong ke atas, dan fasia puboservikalis sebelah
kiri dan sebelah kanan dijahit digaris tengah. Sesudah
dinding vagina yang berlebihan dibuang, dinding vagina
yang terbuka ditutup kembali. Kolporafi anterior dilakukan

25
pula pada urethrokel (Erwinanto, 2015).

2. Rektokel
Operasi disini adalah kolpoperinoplastik. Mukosa dinding
belakang vagina disayat dan dibuang berbentuk segitiga
dengan dasarnya batas antara vagina dan perineum, dan
dengan ujungnya pada batas atas retrokel. Sekarang fasia
rektovaginalis dijahit di garis tengah, dan kemudian m.
levator ani kiri dan kanan didekatkan di garis tengah. Luka
pada dinding vagina dijahit, demikian pula otot-otot
perineum yang superfisial. Kanan dan kiri dihubungkan di
garis tengah, dan akhirnya luka pada kulit perineum dijahit
(Erwinanto, 2015).

3. Enterokel
Sayatan pada dinding belakang vagina diteruskan ke atas
sampai ke serviks uteri. Setelah hernia enterokel yang
terdiri atas peritoneum dilepaskan dari dinding vagina,
peritoneum ditutup dengan jahitan setinggi mungkin.
Sisanya dibuang dan di bawah jahitan itu ligamentum
sakrouterinum kiri dan kanan serta fasia endopelvik dijahit
ke garis tengah (Erwinanto, 2015).

4. Prolapsus uteri
Indikasi untuk melakukan operasi pada prolapsus uteri
tergantung dari beberapa faktor, seperti umur penderita,
keinginannya untuk masih mendapatkan anak atau untuk
mempertahankan uterus, tingkat prolapsus, dan adanya
keluhan (Erwinanto, 2015).

Macam-macam operasi :
1. Ventrofikasasi
Pada golongan wanita yangmasih muda dan masih ingin
mempunyai anak, dilakukan operasi untuk membuat

26
uterus ventrofiksasi dengan cara memendekkan
ligamentum rotundum atau mengikat ligamentum
rotundum ke dinding perut atau dengan 4 cara operasi
Purandare (Erwinanto, 2015).

2. Operasi Manchester
Pada operasi ini biasanya dilakukan amputasi serviks uteri,
dan penjahitan ligamentum kardinale yang telah dipotong,
di muka serviks; dilakukan pula kolporafia anterior dan
kolpoperioplastik. Amputasi serviks dilakukan untuk
memperpendek serviks yang memanjang (elongasi colli).
Tindakan ini dapat menyebabkan infertilitas, abortus,
partus prematur, dan distosia servikalis pada persalinan.
Bagian yang terpenting dari operasi Menchester adalah
penjahitan ligamentum kardinale di depan serviks karena
dengan tindakan ini ligamentum kardinale diperpendek,
sehingga uterus akan terletak dalam posisi anteversifleksi,
dan turunnya uterus dapat dicegah (Erwinanto, 2015).

3. Histerektomi vaginal
Operasi ini tepat untuk dilakukan pada prolaps uteri
tingkat lanjut, dan pada wanita menopause.
Keuntungannya adalah pada saat yang sama dapat
dilakukan operasi vagina lainnya (seperti anterior dan
posterior kolporafi dan perbaikan enterokel), tanpa
memerlukan insisi di tempat lain maupun reposisi pasien.
Saat pelaksanaan operasi, harus diperhatikan dalam
menutup cul-de-sac dengan menggunakan kuldoplasti
McCall dan merekatkan fasia endopelvik dan ligamen
uterosakral pada rongga vagina sehingga dapat
memberikan suport tambahan. Setelah uterus diangkat,
puncak vagina digantungkan pada ligamentum
sakrouterina kanan kiri, atas pada ligamentum infundibulo

27
pelvikum, kemudian operasi akan dilanjutkan dengan
kolporafi anterior dan kolpoperineorafi untuk mencegah
prolaps vagina di kemudian hari (Erwinanto, 2015).

4. Kolpokleisis (Operasi Neugebauer-Le Fort)


Pada waku obat-obatan serta pemberian anestesi dan
perawatan pra/pasca operasi belum baik untuk wanita tua
yang secara seksual tidak aktif, dapat dilakukan operasi
sederhana dengan men jahitkan dinding vagina depan
dengan dinding belakang, sehingga lumen vagina tertutup
dan uterus letaknya di atas vagina. Akan tetapi, operasi ini
tidak memperbaiki sistokel dan rektokelnya sehingga
dapat menimbulkan inkontinensia urine. Obstipasi serta
keluhan prolaps lainnya juga tidak hilang (Erwinanto,
2015).

2.2.9. Komplikasi Prolaps Uteri

Komplikasi yang dapat menyertai prolaps uteri adalah :


a. Kreatinisasi mukosa vagina dan portio uteri.
Prosidensia uteri disertai dengan keluarnya dinding vagina
(inversio) sehingga menyebabkan mukosa vagina dan serviks uteri
menjadi tebal serta berkerut, dan berwarna keputih-putihan
(Chen&Thompson, 2022).

b. Dekubitus.
Jika serviks uteri terus keluar dari vagina, ujungnya bergeser
dengan paha dan pakaian dalam hal itu dapat menyebabkan luka
dan radang, dan lambat laun timbul ulkus dekubitus. Dalam
keadaan demikian, perlu dipikirkan kemungkinan karsinoma,
lebih-lebih pada penderita berusia lanjut (Chen&Thompson, 2022).

28
c. Hipertrofi serviks uteri dan elangasio kolli.
Jika serviks uteri turun ke dalam vagina sedangkan jaringan
penahan dan penyokong uterus masih kuat, karena tarikan ke
bawah di bagian uterus yang turun serta pembendungan pembuluh
darah, serviks uteri mengalami hipertrofi dan menjadi panjang
pula. Hal yang terakhir ini dinamakan elongasio kolli
(Chen&Thompson, 2022).

d. Kemandulan
Pada prolaps uteri, serviks uteri turun sampai dekat pada
introitusvagina atau sama sekali ke luar dari vagina sehingga tidak
akan mudah terjadi kehamilan (Chen&Thompson, 2022).

e. Gangguan miksi dan stress inkontinensia.


Pada sistokel berat, miksi kadang-kadang terhalang sehingga
kandung kencing tidak dapat dikosongkan sepenuhnya. Turunnya
uterus bisa juga menyempitkan ureter sehingga bisa menyebabkan
hidroureter dan hidronefrosis. Adanya sistokel dapat pula
mengubah bentuk sudut antara kandung kencing dan uretra
sehingga dapat menyebabkan stress inkontinensia
(Chen&Thompson, 2022).

f. Infeksi Saluran Kemih


Adanya retensi air kencing akan mudah menimbulkan infeksi.
Sistitis yang terjadi dapat meluas ke atas dan dapat menyebabkan
pielitis dan pielonefritis yang akhirnya keadaan tersebut dapat
menyebabkan gagal ginjal (Chen&Thompson, 2022).

g. Kesulitan pada waktu persalinan


Jika wanita dengan prolapsus uteri hamil maka pada waktu
persalinan dapat menimbulkan kesulitan saat pembukaaan sehingga
kemajuan persalinan jadi terhalang (Chen&Thompson, 2022).

29
2.2.10. Pencegahan Prolaps Uteri
Pemendekan waktu persalinan, terutama kala pengeluaran dan kalau
perlu dilakukan elektif (seperti ekstraksi forceps dengan kelapa
sudah di dasar panggul), membuat episiotomi, memperbaiki dan
mereparasi luka atau kerusakan jalan lahir dengan baik, memimpin
persalinan dengan baik agar dihindarkan penderita meneran
sebelum pembukaan lengkap betul, menghindari paksaan dalam
pengeluaran plasenta (perasat Crede), mengawasi involusi uterus
pasca persalinan tetap baik dan cepat, serta mencegah atau
mengobati hal-hal yang dapat meningkatkan tekanan intraabdominal
seperti batuk-batuk yang kronik, merokok, mengangkat benda-
benda berat. Pada wanita sebaiknya melakukan senam Kegel
sebelum dan setelah melahirkan. Selain itu usia produktif
dianjurkan agar penderita jangan terlalu banyak punya anak atau
sering melahirkan. Untuk wanita dengan IMT diatas normal,
sebaiknya menurunkan berat badan dengan olahraga, serta diet yang
tinggi serat (Erwinanto, 2015).

2.2.11. Edukasi Prolaps Uteri

Setelah diagnosis, pasien harus diedukasi oleh dokter bahwa prolaps


uteri adalah kondisi umum. Selain itu, mengedukasi pasien tentang
gejala sisa yang potensial dan perawatan yang tersedia akan
memungkinkan mereka mengetahui apa yang diharapkan dan
menjadikan mereka pasien yang aktif dalam perawatan dirinya sendiri
(Chen&Thompson, 2022).

2.2.12. Prognosis Prolaps Uteri

Bila prolaps uteri tidak ditatalaksana, maka secara bertahap akan


memberat. Prognosis akan baik pada pasien usia muda, dalam
kondisi kesehatan optimal (tidak disertai penyakit lainnya), dan

30
IMT dalam batas normal. Prognosis buruk pada pasien usia tua,
kondisi kesehatan buruk, mempunyai gangguan sistem respirasi
(asma, PPOK), serta IMT diatas batas normal. Rekurensi 3 prolaps
uteri setelah tindakan operasi sebanyak 16% (Erwinanto, 2015).

31
BAB III
ANALISIS KASUS

3.1. Anamnesis
Diagnosis pada pasien ini ditegakkan atas dasar anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis diketahui bahwa pasien
Ny. T, 73 tahun datang dengan keluhan keluar sesuatu dari kemaluannya
disertai nyeri di kemaluannya yang memberat sejak 2 hari SMRS. Pasien
merasakan adanya benjolan di kemaluan sejak 2 tahun yang lalu, pernah
dipasangkan ring 1 tahun yang lalu, tetapi ring lepas saat pasien BAB.
Kemudian, pasien datang ke RSAM karena merasakan semakin nyeri di
kemaluannya sejak 2 hari SMRS. Sebelumnya, 2 tahun yang lalu benjolan
tersebut hilang timbul, timbul terutama saat batuk, BAB, beraktivitas,
berjalan dan berdiri, masuk kembali dengan sendirinya saat berbaring.
Namun, sejak 3 bulan yang lalu benjolan keluar seluruhnya dan tidak dapat
masuk kembali. Gejala lain yang sesuai antara lain nyeri perut dan nyeri di
punggung bawah. BAB & BAK dalam batas normal, nyeri saat BAK
disangkal.

3.2. Pemeriksaan Fisik


Pada pemeriksaaan fisik didapatkan kesan gizi lebih, dengan IMT 27,34
sedangkan status generalis dalam batas normal, termasuk tak terdapat nyeri
tekan suprapubik. Pada status ginekologis ditemukan tampak massa uterus
keluar seluruhnya dari introitus vagina, berbentuk bulat, warna merah
muda, discharge (-), erosif (+). Teraba massa ukuran 3cm x 4cm x 2cm,
konsistensi kenyal, nyeri tekan (-). Pada vaginal touche massa dapat
dimasukkan seluruhnya ke dalam introitus vagina dan dapat keluar
kembali dengan manuver valsava.
3.3. Diagnosis
Adanya keluhan peranakan turun pada pasien ini dipikirkan sebagai
prolaps organ pelvis. Gejala lain yang mendukung adalah nyeri pada
punggung bawah, nyeri perut yang diperkirakan karena peregangan
ligamen dan otot dalam pelvis akibat tarikan oleh organ yang prolaps
(Ambler DR dkk, 2012). Organ yang prolaps melalui vagina bisa
merupakan uretra, vesika urinaria, uterus, atau rektum. Pada pemeriksaan
fisik, secara inspeksi terlihat massa yang membonjol keluar dari introitus
vagina, berbentuk bulat, berwarna merah muda dan terdapat erosif pada
permukaannya. Massa berbentuk bulat tersebut merupakan uterus yang
keluar melalui introitus vagina. Keluhan perdarahan dan flek-flek dari
kemaluan diduga berasal dari erosif pada permukaan massa uterus. Dengan
manuver valsava, massa tersebut dapat keluar kembali melalui introitus
vagina setelah dicoba dimasukkan seluruhnya, menunjukkan bahwa
peningkatan tekanan intraabdominal berperan dalam menyebabkan prolaps
(Giarenis & Robinson, 2014).

Dari anamnesis, ditemukan pasien berusia lanjut, keadaan gizi lebih (IMT
27.34), menopause, multipara dengan seluruhnya persalinan per vaginam,
kebiasaan mengangkat benda berat (menimba air). Maka, etiologi yang
dipikirkan pada pasien antara lain trauma obstetrik, penurunan kadar
estrogen, dan peningkatan tekanan intraabdomen. Secara epidemiologis
>50% prolaps uteri terjadi pada multipara dan menopause. Proses
persalinan pervaginam berulang menyebabkan trauma obsterik dan
peregangan pada dasar pelvis sehingga memicu kelemahan pada jaringan
penyokong pelvis. Hal tersebut merupakan penyebab paling signifikan dari
prolapsus uteri (Cunningham et al., 2014). Seiring proses penuaan dan
menopause, terdapat penurunan kadar estrogen sehingga jaringan pelvis
kehilangan elastisitas dan kekuatannya. Kebiasaan mengangkat benda
berat pada pasien menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen
sehingga menambah penekanan pada dasar pelvis dan memperberat
prolaps organ di dalamnya (Cunningham et al., 2014).

33
POPQ dilakukan untuk menilai derajat prolaps. Didapatkan hasil Aa +6,
Ba +6, C +7, gh 4, pb 3, tvl -8, Ap +6, Bp +6, dan D -6, sondase tertahan
dan sisa urin 0 cc. Dapat disimpulkan bahwa ujung terdepan prolaps
anterior atau nilai Ba (+6) sama dengan panjang vagina total (8 cm)
dikurangi 2 cm, sehingga POPQ dapat digolongkan sebagai stadium
IV/procidentia. Tidak adanya sisa urin menunjukkan tidak adanya
obstruksi saluran kemih pada pasien. Jadi pada pasien ini dapat ditegakkan
diagnosis prolaps uteri derajat IV dengan nama lain procidentia, sistokel
derajat IV, dan rektokel derajat IV (Kate dkk., 2015).

3.4. Tatalaksana
Rencana terapi pada pasien ini sudah tepat yaitu dilakukan operasi total
vaginal histerektomi (TVH), kolporafia anterior, dan kolpoperinoplastik
karena pasien sudah tidak menginginkan kehalian, sudah menopause, dan
pasien merasa gejala yang dirasakan saat ini sangat mengganggu (Lazarou,
2015). Pasien juga sebelumnya sudah dilakukan tatalaksana non operatif
dengan pesarium 1 tahun yang lalu, namun mengalami rekurensi sehingga
diputuskan untuk histerektomi total.

Edukasi sangat penting pada pasien ini. Pada pasien perlu diberikan
edukasi mengenai pengendalian faktor risiko, yaitu mengurangi kebiasaan
angkat berat (memompa air), menurukan berat badan dan mengontrol
penyakit yang dapat meningkatkan tekanan intraabdomen. Pengendalian
terhadap faktor risiko ini sangat membantu untuk menurunkan tekanan
intraabdomen yang dianggap sebagai salah satu etiologi terjadinya
prolapsus organ pelvis pada pasien ini (Prawirohardjo, 2016).

Prognosis pada pasien ini, prognosis quo ad vitam adalah bonam karena
prolaps uteri tidak mengancam nyawa. Untuk prognosis quo ad functionam
adalah malam, karena pasien akan dilakukan histerektomi total. Dan
prognosis quo ad sanactionam adalah bonam, karena pasien akan
dilakukan total vaginal histerektomi, kolporafi anterior, dan
kolpoperineorafi posterior (Prawirohardjo, 2016)

34
35
DAFTAR PUSTAKA

Ambler DR, Bieber EJ, & Diamond MP. 2012. Sexual function in elderly
women: a review of current literature. Reviews in Obstetrics and
Gynecology. 5(1): 16-27

Barsoom RS, Dyne PL. Uterine Prolapse in Emergency Medicine [internet].


Medscape Article. 2013. [cite on december 24, 2017]. Available
from: http://emedicine.medscape.com/article/797295-
overview#showall.

Chen CJ, Thompson H. 2022. Uterine Prolapse. In: StatPearls [Internet].


Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK564429/

Cunningham FG, et al. Kelainan saluran reproduksi. Dalam : Obstetri Williams


vol 2 ed 23. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Erwinanto, 2015, Prolaps Uteri, Medica Hospitalia, vol 3 (2) : 138-142.

George L. Uterine Prolapse [internet]. Medscape Article. 2013. [cite on


December 24, 2017]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/264231-overview#showall

Giarenis I & Robinson D. 2014. Prevention and Management of Pelvic Organ


Prolapse. F1000Prime Reports. 6:77

Kate MD, Yuko MD, Ellen, Craig, Clifford, Qualls, et al. 2015. Sexual
Function and Pessary Management Among Women Using a Pessary
of Pelvic Floor Disorders. J Sex Med. 12: 2339-2349
Khalilullah SA, Masnawati, Saputra RW, dan Hayati M. 2011. Prolapsus Uteri
pada Rumah Sakit Umum DR.Zainoel Abidin Banda Aceh, Indonesia
selama 2007 sampai 2010. Banda Aceh: Departemen Obsgyn FK
Univ Syiahkuala.

Lazarou G. 2015. Pelvic organ prolapse. Available at:


http://emedicine.medscape.com/article/276259-overview

Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, Himpunan Uroginekologi


Indonesia. 2013. Panduan Penatalaksanaan Prolaps Organ Panggul.
Hlm. 1-19

Prawirohardjo S. 2016. Buku Ilmu Kebidanan. Edisi 4. Jakarta: PT Bina


Pustaka

Putri, Sarasmartha AA & Budiana ING. 2020. Profil Kasus Penderita Prolapsus
Uteri di Poliklinik Obstetri dan Ginekologi RSUP Sanglah Denpasar
Periode 2015-Maret 2016. Med Udayana. 9.

Saimin J, Hafizah I, Indriyani N, Ashaeryanto, Wicaksono S. 2020. Uterine


Prolapse in Postmenopausal Women in the Coastal Areas. Indones J
Obstet Gynecol. 8(4):203–6.

Schunke, Michael and Schulte, Erik and Schumacher, Udo. 2016.


Prometheus Atlas Anatomi Manusia Organ Dalam. EGC, Jakarta.

Situmorang LP. 2018. Hubungan jumlah paritas dengan kejadian prolapsus uteri
di rumah sakit umum pusat haji adam malik tahun 2016-2018
[Internet]. Universitas Sumatera Utara.

Yoon I, Gupta N. 2022. Pelvic Prolapse Imaging. In: StatPearls [Internet].


Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK551513/

33

Anda mungkin juga menyukai