Anda di halaman 1dari 42

Case Report Session

PERAWATAN LUKA OPERASI DAN PERAWATAN NIFAS PADA PASIEN SC

Oleh:

Fachrurrazi Al Ansori 1840312669

Intan Nabilah 1840312668

Preseptor:
dr. Andi Friadi, Sp.OG (K)

BAGIAN OBSTETRI & GINEKOLOGI

RSUP DR. M. DJAMIL PADANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

PADANG

2019

0
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT karena dengan nikmat dan
karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan Case Report Session yang
berjudul “Perawatan Luka Operasi dan Perawatan Nifas pada Pasien SC” sebagai
salah satu syarat dalam mengikuti kepaniteraan klinik di bagian Obstetri dan
Ginekologi RSUP Dr M Djamil Padang Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.

Penyusunan Case Report Session ini merupakan salah satu syarat dalam
mengikuti kepaniteraan klinik senior di bagian Obstetri dan Ginekologi RSUP Dr
M Djamil Padang Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. Terima kasih penulis
ucapkan kepada dr. Andi Friadi Sp.OG (K) sebagai preseptor dalam kepaniteraan
klinik senior ini beserta seluruh jajarannya dan semua pihak yang telah membantu
dalam penyusunan Case Report Session ini.

Penulis menyadari bahwa Case Report Session ini jauh dari sempurna,
maka dari itu sangat diperlukan saran dan kritik untuk kesempurnaan Case Report
Session ini. Penulis berharap agar Case Report Session ini bermanfaat dalam
meningkatkan pengetahuan terutama bagi penulis sendiri dan bagi teman-teman
dokter muda yang tengah menjalani kepaniteraan klinik. Akhir kata, semoga Case
Report Session ini bermanfaat bagi kita semua.

Padang, November 2019

Penulis

1
DAFTAR ISI
Halaman
Sampul Depan ………………………………………………………… 0
Kata Pengantar ……………………………………………………….. 1
Daftar Isi ……………………………………………………………… 2

BAB 1 PENDAHULUAN …………………………………………….. 3


1.1 Latar Belakang ………………………………………………. 3
1.2 Tujuan Penulisan ……………………………………………. 4
1.3 Metode Penulisan …………………………………………… 4
1.4 Manfaat Penulisan …………………………………………... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………… 5


2.1 Definisi ……………………………………………………… 5
2.2 Epidemiologi……....………………………………………… 5
2.3 Etiologi ………………………………….………………….. 5
2.4 Faktor risiko ………………………………………………… 8
2.5 Klasifikasi…………………………………………………… 8
2.6 Gejala klinis…………………………………………………. 9
2.7 Diagnosis …………………………………………………… 10
2.8 Penatalaksanaan……………………………………………. 17
2.9 Pencegahan………………………………………………….. 25
BAB 3 LAPORAN KASUS ………………………………………….. 27
BAB 4 DISKUSI………………………………………………………. 33
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………….... 34

2
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Masa nifas atau perperium dimulai sejak 1 jam setelah plasenta lahir
sampai dengan enam minggu (42 hari) setelahnya. Pelayanan pascapersalinan
harus dilaksanakan pada masa itu untuk memenuhi kebutuhan ibu dan bayi,
berupa upaya pencegahan, deteksi dini dan pengobatan komplikasi dan penyakit
yang mungkin terjadi, serta penyelenggaraan pelayanan pemberian ASI, cara
menjarangkan kehamilan, imunisasi, dan nutrisi bagi ibu.1
Operasi Sectio Caesarea sebagai pilihan metode persalinan saat ini dari
pada 20 tahun lalu. Pada umumnya pasca operasi, timbul suatu masalah yaitu
perawatan dan penyembuhan luka. Perawatan luka dapat dilakukan baik di ruang
operasi maupun di ruang lain seperti di ruang bangsal perawatan atau di rumah
sendiri.
Luka atau Vulnera adalah terjadinya gangguan kontiunitas suatu jaringan,
sehingga terjadi pemisahan yang semula normal. Luka karena operasi Sesarea
merupakan luka jenis komplikatum, sebab luka yang melibatkan kulit dan
jaringan dibawahnya. Di samping itu merupakan luka jenis terbuka, sebab luka
yang ada hubungan antara luka dengan dunia luar dan merupakan luka sayat atau
Vulnus Scissum.
Perawatan luka pasca operasi sesarea bertujuan agar tidak terjadi infeksi,
sehingga seorang perawat atau bidan benar-benar berada pada kondisi steril siap
melakukan perawatan, dengan alur yang meliputi: cuci tangan sebelum dan
sesudah melakukan tindakan, memakai handscoon, menggunakan peralatan steril
untuk pasien dan menerapkan kondisi aseptik.
Periode pascapersalinan merupakan masa transisi yang kritis bagi ibu, bayi
dan keluarganya secara fisiologis, emosional dan sosial. Baik di negara maju
maupun berkembang, perhatian utama bagi ibu dan bayi lebih banyak tertuju pada
masa kehamilan dan persalinan, sementara keadaan risiko kesakitan dan kematian
ibu serta bayi lebih sering terjadi pada masa pascapersalinan. Keadaan ini
terutama disebabkan konsekuensi ekonomi, disamping ketidaktersediaan
pelayanan atau rendahnya peranan fasilitas kesehatan dalam menyediakan
3
pelayanan kesehatan yang cukup berkualitas. Rendahnya kualitas pelayanan
kesehatan juga menyebabkan rendahnya keberhasilan promosi kesehatan dan
deteksi dini serta penatalaksanaan yang adekuat terhadap masalah dan penyakit
yang timbul pada masa pascapersalinan.1

1.1 Batasan Masalah


Makalah ini memiliki batasan pembahasan yaitu perawatan luka operasi
dan perawatan nifas pada pasien SC.

1.2 Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan dokter
muda mengenai perawatan luka dan perawatan nifas pada pasien SC.

1.3 Metode Penulisan


Metode penulisan makalah ini adalah dengan mengambil referensi dari
berbagai literatur, serta menampilkan kasus mengenai perawatan luka dan
perawatan nifas pada pasien SC yang ditemukan saat kepaniteraan klinik.

4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perubahan Anatomi dan Fisiologi Masa Nifas


Masa nifas atau puerperium dimulai sejak 1 jam setelah lahirnya placenta
sampai dengan 6 minggu (42 hari) setelah itu.1
Tahapan yang terjadi pada masa nifas adalah sebagai berikut:2
1) Periode immediate postpartum: Masa segera setelah plasenta lahir sampai
dengan 24 jam. Pada masa ini sering terdapat banyak masalah, misalnya
perdarahan karena atonia uteri. Oleh karena itu, bidan dengan teratur harus
melakukan pemeriksaan kontraksi uterus, pengeluaran lokia, tekanan darah,
dan suhu.
2) Periode early postpartum (24 jam-1 minggu): Pada fase ini petugas kesehatan
memastikan involusi uteri dalam keadaan normal, tidak ada perdarahan, lokia
tidak berbau busuk, tidak demam, ibu cukup mendapatkan makanan dan
cairan, serta ibu dapat menyusui dengan baik.
3) Periode late postpartum (1 minggu-5 minggu): Pada periode ini petugas
kesehatan tetap melakukan perawatan dan pemeriksaan sehari-hari serta
konseling KB.

1. Perubahan Sistem Reproduksi


a. Uterus
Proses kembalinya uterus ke keadaan sebelum hamil setelah melahirkan
disebut involusi. Lokasi dari fundus uteri membantu untuk menentukan bahwa
involusi uterus berlangsung secara normal. Fundus dapat dipalpasi pada
pertengahan antara simfisis os pubis dan umbilikus. Dalam 12 jam, ukuran
fundus meningkat setinggi umbilikus atau di atas maupun di bawah
umbilikus.3
Pada hari kedua, fundus turun kira-kira 1 cm, atau 1 jari per harinya.
Biasanya fundus turun ke kavitas pelvis dalam 14 hari dan tidak dapat
dipalpasi pada abdomen. Proses normal ini akan lebih lambat ketika uterus
mengalami distended selama kehamilan dengan lebih dari satu janin, janin

5
yang besar, atau polihidramnion. Ketika proses involusi tidak berjalan seperti
semestinya, subinvolusi dapat terjadi. Subinvolusi dapat menyebabkan
terjadinya perdarahan postpartum.3

Gambar 1 Involusi uterus pada masa nifas

Tabel 1 Involusi Uterus


Involusi Tinggi Fundus Uteri Berat Uterus
Bayi baru lahir Setinggi tali pusat 1000 gr
Uri lahir Dua jari dibawah pusat 750 gr
Satu minggu Pertengahan pusat- 500 gr
sympisis
Dua minggu Bertambah kecil 350 gr
Enam minggu Sebesar normal 50 gr
Delapan minggu 30 gr

Berat uterus sesaat setelah melahirkan, termasuk janin, plasenta, membran,


dan cairan amnion adalah sejumlah 1000 gram. Dalam 1 minggu, berat uterus
menurun hingga 500 gram, dan dalam 6 minggu, berat uterus menjadi 50
gram, yaitu berat uterus pada keadaan tidak hamil. Uterus pada seorang wanita
multipara biasanya lebih berat dan tidak ada akan pernah kembali ke proporsi
nulipara. Dalam 6 minggu setelah persalinan, uterus mulai menyusut hingga
50-100 gram. 3

6
b. Tempat Implantasi Plasenta
Terjadi kontraksi uterus yang meningkat setelah bayi keluar. Hal ini
menyebabkan iskemia pada lokasi perlekatan plasenta (plasenta site) sehingga
jaringan perlekatan antara plasenta dan dinding uterus mengalami nekrosis
dan lepas. Diameter rata-rata dari plasenta 18 cm, dengan cepat uterus
menurun diameternya menjadi 9 cm dari tempat melekatnya plasenta.
Plasental site, yang berukuran diameter 8-10 cm (3-4 inci), mengalami
penyembuhan melalui proses exfoliation (pelepasan jaringan yang mati).
Sesudah 2 minggu diameternya berkurang menjadi 3,5 cm. Biasanya jaringan
mengalami nekrosis dan lepas dalam waktu ± 6 minggu setelah melahirkan.3

Gambar 2 Involusi placental


c. Afterpains
Kontraksi uterus yang intermitten, dikenal dengan afterpains, yang
merupakan sumber ketidaknyamanan bagi banyak wanita setelah melahirkan.
Keadaan ini lebih akut terjadi pada multipara karena regangan berulang dari
muscle fibers hingga kehilangan tonus otot yang dapat mengakibatkan
kontraksi dan relaksasi berulang pada uterus.3
d. Lokia
Discharge vagina yang dikenal dengan lokia pada masa puerperium
berasal dari plasental site. Lokia rubra/kruenta (merah kecoklatan) merupakan
cairan bercampur darah segar, dengan partikel-partikel kecil dari sisa-sisa
penebalan dinding rahim (desidua) dan sisa-sisa trofoblas/penanaman plasenta
(selaput ketuban) serta mukus. Biasanya berbau amis dan keluar sampai hari
ke-3 atau ke-4 pascapersalinan.3Lokia sanguinoleta berwarna merah

7
kekuningan berisi darah dan lendir. Ini terjadi pada hari ke 3-7
pascapersalinan.3
Jumlah darah berkurang pada hari keempat, ketika leukosit keluar
menandakan terjadinya proses penyembuhan. Warnanya berubah dari merah
menjadi pink atau sedikit cokelat. Lokia ini dikenal dengan lokia serosa. Lokia
serosa terdiri dari eksudat serosa, eritrosit, leukosit, dan mucus serviks. Cairan
ini seromukopurulen dan berbau khas. 10-15% wanita akan mengeluarkan
lokia serosa selama 6 minggu pascapersalinan.3
Setelah minggu 5-6, sekresi lokia menghilang yang menunjukkan bahwa
proses penyembuhan endometrium sudah hampir sempurna. Lokia yang
sangat berbau tidak sedap apalagi bila disertai dengan gejala sistemik berupa
tanda tanda infeksi menandakan adanya endometritis. Terdapat Lokia alba :
cairan putih, setelah 2 minggu. Lokia purulenta : terjadi infeksi, keluar cairan
seperti nanah berbau busuk. Lokiostasis : lokia tidak lancar keluar.

e. Serviks

Gambar 3 Serviks nulipara dan multipara


Serviks bengangsur-angsur melunak selama masa puerperium. Seminggu
setelah persalinan, serviks memendek dan konsistensinya menjadi lebih padat.
Serviks tidak pernah kembali ke keadaan awal meskipun telah mengalami
penyembuhan karena akan meninggalkan dilatasi dari 10 cm menjadi 2-3 cm.
f. Vulva dan Vagina
Segera setelah melahirkan dinding vagina tampak edema, memar serta
rugae atau lipatan-lipatan halus tidak ada lagi. Vagina dan vulva tampak

8
meregang selama persalinan. Pada minggu ketiga, vagina akan mengecil dan
timbul rugae (lipatan-lipatan atau kerutan-kerutan) kembali.

g. Perineum
Pada daerah perineum akan tampak goresan akibat regangan pada saat
melahirkan. Biasanya setelah melahirkan, perineum menjadi agak bengkak/
edema/ memar dan mungkin ada luka jahitan bekas robekan atau episiotomi.
Bila dilakukan episiotomi, proses penyembuhan luka episiotomi sama seperti
luka operasi lain.
h. Payudara
Payudara disiapkan untuk proses laktasi selama kehamilan. Payudara
dapat membengkak karena sistem vaskularisasi dan limfatik disekitar
payudara dan mengakibatkan perasaan tegang dan sakit. ASI tidak dihasilkan
hingga 3-4 hari pertama setelah melahirkan. Colostrum disekresikan dalam
beberapa hari pertama setelah melahirkan.4

2. Perubahan pada Sistem Kardiovaskuler


Sistem kardiovaskular akan kembali pada keadaan sebelum kehamilan
dalam kurun waktu 2 minggu pascapersalinan.4
Tabel 2 Perubahan pada sistem Kardiovaskuler selama masa nifas

Cardiovascular Early Puerperium Late Puerperium


Heart Rate Fall – 14% by 48 h Normal by 2 weeks
Stroke Volume Rise over 48 h Normal by 2 weeks
Cardiac Output Remains elevated and then Normal by 24 weeks
falls over 48 h
Blood Pressure Rises over 4 days Normal by 6 weeks
Plasma Volume Initial increase and then fall Progressive decline
in first week

3. Perubahan pada Sistem Urinarius


Ginjal kembali ke keadaan normal dalam waktu 2-3 bulan setelah
persalinan. Dilatasi dari renal pelvis, calyx, dan ureter berakhir pada minggu
keenam dan kedelapan untuk sebagian besar wanita meskipun itu dapat
berlanjut sampai 16 minggu untuk beberapa wanita.3

9
4. Perubahan pada Sistem Gastrointestinal
Segera setelah melahirkan, sistem pencernaan menjadi sangat aktif. Ibu
akan segera merasa haus dan lapar karena kehilangan energi selama
persalinan. Motilitas dari gastrointestinal yang menurun terjadi karena nyeri
pada perineum dan mobilisasi cairan, sehingga mengakibatkan terjadinya
konstipasi.3

5. Perubahan pada Sistem Muskuloskeletal


a. Otot dan Sendi
Selama beberapa hari pertama, kadar hormon relaksasi berangsur-angsur
berkurang, ligamen dan kartilago dari pelvis kembali pada posisi sebelum
kehamilan. Perubahan ini dapat menyebabkan banyak wanita mengalami
kelemahan dan nyeri otot, terutama pada bahu, leher, dan lengan. Jaringan
penopang dasar panggul yang teregang saat ibu melahirkan akan kembali ke
tonus semula setelah enam bulan.3
b. Dinding Abdomen
Selama hamil, dinding abdomen meregang untuk menyediakan tempat
pertumbuhan janin, tonus otot juga menurun. Hal ini akan kembali ke keadaan
sebelum hamil dalam beberapa minggu, kecuali stria mungkin membutuhkan
waktu lebih lama. Pemulihan dapat dilakukan dengan latihan. 3

6. Perubahan pada Sistem Endokrin


Sistem endrokrin mengalami perubahan secara tiba-tiba selama kala IV
persalinan dan mengikuti lahirnya plasenta. Setelah pengeluaran plasenta,
kadar hormon plasenta dan hormon-hormon lainnya mengalami perubahan.3
Estrogen merupakan hormon wanita utama dan merupakan hormon utama
selama masa kehamilan. Selama hamil, sumber utama estrogen adalah
plasenta dan juga janin. Setelah kelahiran bayi, sumber estrogen menurun
sangat drastis. Dalam waktu tiga jam postpartum, kadar estrogen menurun
hingga 10% dari nilai prenatal.5
Progesteron merupakan hormon kehamilan kedua. Progesteron juga
menurun secara drastis setelah kelahiran bayi dan tidak dapat dideteksi dalam

10
72 jam setelah persalinan. Progesteron menjadi stabil kembali pada siklus
menstruasi pertama.5
Kadar estrogen dan progesteron serum mengalami penurunan dengan
segera sejak tiga hari postpartum dan mencapai nilai pra-kehamilan pada hari
ketujuh. Nilai tersebut akan menetap bila pasien memberikan ASI pada
bayinya, bila tidak memberikan ASI estradiol akan mulai meningkat dan
menyebabkan pertumbuhan folikel.5
Oksitosin akan meningkat selama fase ekspulsi dari masa persalinan.
Selama pascapersalinan, oksitosin melanjutkan fungsi sebelumnya yaitu
mempertahankan kontraksi uterus dengan berkontraksi selama sesi menyusui
dan sampai 20 menit setelah menyusui. Dengan kata lain, hormon ini akan
terus diproduksi bila ibu menyusui bayinya.5

7. Perubahan pada Sistem Intergumen


Terdapat banyak perubahan pada kulit yang muncul selama kehamilan.
Hal ini disebabkan karena peningkatan kadar hormon. Ketika kadar hormon
menurun setelah persalinan, kulit berangsung-angsur kembali pada keadaan
sebelum hamil.

8. Perubahan pada Sistem Neurologi


Pada periode early puerperium setelah persalinan, wanita mungkin
mengalami perubahan neurologi seperti kurang rasa pada kaki dan rasa pusing
akibat anestesi dan analgetik. Selama waktu ini, pencegahan jatuh merupakan
prioritas. 3

9. Perubahan tanda vital


Tanda-tanda vital ibu harus dipantau selama masa nifas ini. Adapun
waktu-waktu pemantauannya adalah sebagai berikut.3
- Setiap 15 menit dalam 1 jam pertama
- Setiap 30 menit dalam 1 jam kedua
- Setiap 4 jam dalam 24 jam pertama
- Setiap 8 jam selanjutnya

11
Pada ibu postpartum, terdapat beberapa perubahan tanda-tanda vital, yaitu
perubahan suhu, nadi, tekanan darah, dan pernapasan.3
a. Suhu
Selama 24 jam pertama, suhu mungkin meningkat hingga 38°C. Hal ini
diduga terjadi akibat meningkatnya kerja otot, dehidrasi dan perubahan
hormonal.
b. Nadi
Dalam periode waktu 6-7 jam sesudah melahirkan, sering ditemukan
bradikardi 50-70 kali permenit dan dapat berlangsung sampai 6-10 hari setelah
melahirkan. Keadaan ini berhubungan dengan penurunan kerja jantung,
penurunan volume darah yang mengikuti pemisahan plasenta dan kontraksi
uterus, peningkatan stroke volume.
c. Tekanan Darah
Setelah melahirkan, terjadi penurunan tekanan intraabdominal yang
menyebabkan terjadinya dilatasi dari pembuluh darah yang mensuplai organ
viseral. Hal ini yang menyebabkan penurunan TDS 20 mmHg ketika ibu
bergerak dari posisi berbaring ke posisi duduk. Akibatnya, ibu merasa pusing
dan mungkin pingsan ketika ia berdiri. Hal ini disebut hipotensi ortostatik.
d. Pernafasan
Pernapasan normal yaitu antara 12-20 kali per menit seharusnya bisa
dipertahankan setelah persalinan.

2.2 Perawatan Masa Nifas


Kebutuhan Dasar Ibu Nifas
1. Nutrisi dan cairan
Pada masa nifas masalah diet perlu mendapat perhatian yang serius,
karena dengan nutrisi yang baik dapat mempercepat penyembuhan ibu dan
sangat mempengaruhi susunan air susu. Diet yang diberikan harus bermutu,
bergizi tinggi, cukup kalori, tinggi protein, dan banyak mengandung cairan.
Ibu yang menyusui harus memenuhi kebutuhan akan gizi sebagai berikut:2
a. Mengkonsumsi tambahan 500 kalori tiap hari.

12
b. Makan dengan diet berimbang untuk mendapatkan protein, mineral, dan
vitamin yang cukup.
c. Minum sedikitnya 3 liter air setiap hari.
d. Pil zat besi harus diminum untuk menambah zat gizi, setidaknya selama 40
hari pascapersalinan.
e. Minum kapsul vitamin A 200.000 unit agar dapat memberikan vitamin A
kepada bayinya melalui ASI.

2. Ambulasi2
Ambulasi dini (early ambulation) ialah kebijaksanaan agar secepat
mungkin bidan membimbing ibu postpartum bangun dari tempat tidurnya dan
membimbing ibu secepat mungkin untuk berjalan.
Sekarang tidak perlu lagi menahan ibu postpartum terlentang di tempat
tidurnya selama 7-14 hari setelah melahirkan. Ibu postpartum sudah
diperbolehkan bangun dari tempat tidur dalam 24-48 jam postpartum.
Keuntungan early ambulation adalah sebagai berikut:
a. Ibu merasa lebih sehat dan kuat dengan early ambulation.
b. Faal usus dan kandung kemih lebih baik.
c. Early ambulation memungkinkan kita mengajarkan ibu cara merawat
anaknya selama ibu masih di rumah sakit. Misalnya memandikan,
mengganti pakaian, dan memberi makan.
d. Lebih sesuai dengan keadaan indonesia (sosial ekonomis). Menurut
penelitian-penelitian yang seksama, early ambulation tidak mempunyai
pengaruh yang buruk, tidak menyebabkan perdarahan yang abnormal,
tidak mempengaruhi penyembuhan luka episiotomi atau luka di perut,
serta tidak memperbesar kemungkinan prolapsus atau retrotexto uteri.

3. Eliminasi
a. Buang Air Kecil2
Ibu diminta buang air kecil (miksi) 6 jam postpartum. Jika dalam 8 jam
postpartum belum dapat berkemih atau sekali berkemih belum melebihi 100

13
cc, maka dilakukan kateterisasi. Akan tetapi, kalau ternyata kandung kemih
penuh, tidak perlu menunggu 8 jam untuk kateterisasi.
Berikut ini sebab-sebab terjadinya kesulitan berkemih (retensio urine)
pada ibu postpartum.
1) Berkurangnya tekanan intraabdominal
2) Otot-otot perut masih lemah
3) Edema dan uretra
4) Dinding kandung kemih kurang sensitif
b. Buang Air Besar2
Ibu postpartum diharapkan dapat buang air besar (defekasi) setelah hari
kedua postpartum. Jika hari ketiga belum juga BAB, maka perlu diberi obat
pencahar per oral atau per rektal. Jika setelah pemberian obat pencahar masih
belum bisa BAB, maka dilakukan klisma.

4. Personal hygiene
Pada masa postpartum, seorang ibu sangat rentan terhadap infeksi. Oleh
karena itu, kebersihan diri sangat penting untuk mencegah terjadinya infeksi.
Kebersihan tubuh, pakaian, tempat tidur, dan lingkungan sangat penting untuk
tetap dijaga.
Langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk menjaga kebersihan diri ibu
post partum adalah sebagai berikut: 2
a. Anjurkan kebersihan seluruh tubuh, terutama perineum.
b. Mengajarkan ibu bagaimana membersihkan daerah kelamin dengan sabun
dan air. Pastikan bahwa ibu mengerti untuk membersihkan daerah
disekitar vulva terlebih dahulu, dari depan ke belakang, kemudian
membersihkan daerah sekitar anus. Nasehati ibu untuk membersihkan
vulva setiap kali selesai buang air kecil atau besar.
c. Sarankan ibu untuk mengganti pembalut atau kain pembalut setidaknya 2
kali sehari. Kain dapat digunakan ulang jika telah dicuci dengan baik dan
dikeringkan dibawah matahari dan disetrika.
d. Sarankan ibu untuk mencuci tangan dengan sabun dan air sebelum dan
sesudah membersihkan daerah kemaluannya.

14
e. Jika ibu mempunyai luka episiotomi atau laserasi, sarankan kepada ibu
untuk menghindari menyentuh daerah tersebut.
Apabila setelah buang air besar atau buang air kecil perineum dibersihkan
secara rutin akan membantu mengurangi risiko terjadinya infeksi. Caranya
dibersihkan dengan sabun yang lembut minimal sekali sehari. Biasanya ibu
merasa takut pada kemungkinan jahitannya akan lepas, juga merasa sakit
sehingga perineum tidak dibersihkan atau dicuci. Cairan sabun atau sejenisnya
sebaiknya dipakai setelah buang air kecil atau buang air besar. Membersihkan
dimulai dari simpisis sampai anal sehingga tidak terjadi infeksi. Ibu diberitahu
caranya mengganti pembalut yaitu bagian dalam jangan sampai
terkontaminasi oleh tangan. Pembalut yang sudah kotor harus diganti paling
sedikit 4 kali sehari. Ibu diberitahu tentang jumlah, warna, dan bau lochea
sehingga apabila ada kelainan dapat diketahui secara dini. Sarankan ibu untuk
mencuci tangan dengan sabun dan air sebelum dan sesudah membersihkan
daerah kemaluannya. Apabila ibu mempunyai luka episiotomi atau laserasi,
sarankan kepada ibu untuk menghindari menyentuh daerah luka.6

5. Istirahat dan tidur


Hal-hal yang bisa dilakukan pada ibu untuk memenuhi kebutuhan istirahat
dan tidur adalah sebagai berikut:
a. Anjurkan ibu agar istirahat cukup untuk mencegah kelelahan yang
berlebihan.
b. Sarankan ibu untuk kembali pada kegiatan-kegiatan rumah tangga secara
perlahan-lahan, serta untuk tidur siang atau beristirahat selagi bayi tidur.
c. Kurang istirahat akan mempengaruhi ibu dalam beberapa hal:
1) Mengurangi jumlah ASI yang diproduksi.
2) Memperlambat proses involusi uterus dan memperbanyak perdarahan.
3) Menyebabkan depresi dan ketidakmampuan untuk merawat bayi dan
dirinya sendiri.

15
6. Aktivitas seksual
Aktivitas seksual yang dapat dilakukan oleh ibu masa nifas harus
memenuhi syarat berikut ini:
a. Secara fisik aman untuk memulai hubungan suami istri begitu darah merah
berhenti dan ibu dapat memasukkan satu atau dua jarinya ke dalam vagina
tanpa rasa nyeri, maka ibu aman untuk memulai melakukan hubungan
suami istri kapan saja ibu siap.
b. Banyak budaya yang mempunyai tradisi menunda hubungan suami istri
sampai masa waktu tertentu, misalnya setelah 40 hari atau 6 minggu
setelah persalinan. Keputusan ini bergantung pada pasangan yang
bersangkutan.

7. Latihan senam nifas


Setelah persalinan terjadi involusi pada hampir seluruh organ tubuh
wanita. Involusi ini sangat jelas terlihat pada alat-alat kandungan. Sebagai
akibat kehamilan dinding perut menjadi lembek dan lemas disertai adanya
striae gravidarum yang membuat keindahan tubuh akan sangat terganggu.
Oleh karena itu, mereka akan selalu berusaha untuk memulihkan dan
mengencangkan keadaan dinding perut yang sudah tidak indah lagi. Cara
untuk mengembalikan bentuk tubuh adalah dengan melakukan latihan dan
senam nifas.2

2.3 Kebijakan Program Nasional Masa Nifas


Paling sedikit 4 kali kunjungan masa nifas dilakukan untuk menilai status
ibu dan BBL, untuk mencegah, mendeteksi, dan menangani masalah-masalah
yang terjadi dalam masa nifas.
Tabel 3 Asuhan Kunjungan Masa Nifas Normal6
Kunjungan Waktu Asuhan
I 6-8 jam PP a. Mencegah perdarahan masa nifas karena
atonia uteri
b. Pemantauan keadaan umum ibu
c. Melakukan hubungan antara bayi dan ibu
(Bonding Attachment)
d. ASI eksklusif
II 6 hari PP a. Memastikan involusi uterus berjalan normal,

16
uterus berkontraksi, fundus dibawah
umbilicus, dan tidak ada tanda-tanda
perdarahan abnormal.
b. Menilai adanya tanda-tanda demam, infeksi,
dan perdarahan abnormal
c. Memastikan ibu mendapat istirahat yang
cukup
d. Memastikan ibu mendapat makanan yang
bergizi
e. Memastikan ibu menyusui dengan baik dan
tidak memperlihatkan tanda-tanda penyulit
III 2 minggu PP a. Memastikan involusi uterus berjalan normal,
uterus berkontraksi, fundus dibawah
umbilicus, dan tidak ada tanda-tanda
perdarahan abnormal.
b. Menilai adanya tanda-tanda demam, infeksi,
dan perdarahan abnormal
c. Memastikan ibu mendapat istirahat yang
cukup
d. Memastikan ibu mendapat makanan yang
bergizi
e. Memastikan ibu menyusui dengan baik dan
tidak memperlihatkan tanda-tanda penyulit
IV 6 minggu PP a. Menanyakan pada ibu tentang penyulit-
penyulit yang ia alami
b. Memberikan konseling untuk KB secara dini,
imunisasi, senam nifas, dan tanda-tanda
bahaya yang dialami oleh ibu dan bayi

2.4 Sectio Caesarea

2.4.1 Definisi
Sectio Caesarea merupakan suatu tindakan pembedahan dengan cara
membuka dinding abdomen dan dinding rahim untuk melahirkan janin dengan
syarat rahim dalam keadaan utuh serta berat janin di atas 500 gram dan usia janin
> 28 minggu yang dilakukan dengan cara melakukan suatu irisan pembedahan
yang akan menembus dinding abdomen pasien (laparotomy) dan uterus
(histerektomi) dengan tujuan untuk mengeluarkan satu bayi atau lebih. Tindakan
operasi Sectio Caesarea dilakukan untuk mencegah kematian janin dan ibu karena
adanya suatu komplikasi yang akan terjadi kemudian bila persalinan dilakukan
secara pervaginam. 9

17
2.4.2 Indikasi Sectio Caesarea10,11
Berdasarkan American College of Obstetricians and Gynecologists ACOG), indikasi
dilakukannya seksio caesarea, yaitu :
 Berasal dari Ibu
a. Riwayat SC sebelumnya
b. Lesi obstruktif pada saluran genital bagian bawah, termasuk keganasan,
kondiloma vulvovaginal, obstruksi septum vagina , dan leiomyoma dari
segmen uterus bawah yang mengganggu turunnya presentasi janin.
c. Kelainan pelvis yang menghalangi mengganggu turunnya presentasi janin
dalam persalinan.
d. Kondisi jantung tertentu

 Berasal dari Janin


1. Situasi di mana morbiditas dan mortalitas neonatus dapat dikurangi dengan
pencegahan trauma.
2. Malpresentasi
3. Malformasi kongenital tertentu atau kelainan tulang
4. Infeksi
5. Prolonged acidemia

 Indikasi Medis
a. Bayi dalam keadaan gawat, janin harus dilahirkan segera.
b. Plasenta berada di bagian dasar rahim atau menghalangi jalan lahir/
Abnormal plasenta : plasenta previa, plasenta akreta
c. Ibu dengan masalah kesehatan seperti jantung, tekanan darah tinggi atau
penderita HIV.
d. Ibu dengan panggul sempit/Abnormal labor : CPD
e. Kelainan letak janin

Pada kondisi ibu yang pernah melakukan Sectio Caesarea pada persalinan
sebelumnya, maka pada persalinan selanjutnya dilakukan Sectio Caesarea untuk
menghindari sobekan jalan lahir.

18
2.4.3 Jenis Sectio Caesarea12
Menurut Wiknjosastro (2007), Sectio Caesarea dapat diklasifikasikan
menjadi 3 jenis, yaitu:
1) Sectio Caesarea Transperitonealis Profunda
Merupakan jenis pembedahan yang paling banyak dilakukan
dengan cara menginsisi di segmen bagian bawah uterus. Beberapa
keuntungan menggunakan jenis pembedahan ini, yaitu perdarahan luka
insisi yang tidak banyak, bahaya peritonitis yang tidak besar, parut pada
uterus umumnya kuat sehingga bahaya rupture uteri dikemudian hari tidak
besar karena dalam masa nifas ibu pada segmen bagian bawah uterus tidak
banyak mengalami kontraksi seperti korpus uteri sehingga luka dapat
sembuh lebih sempurna.

2) Sectio Caesarea Klasik atau Sectio Caesarea Corporal


Merupakan tindakan pembedahan dengan pembuatan insisi pada
bagian tengah dari korpus uteri sepanjang 10-12 cm dengan ujung bawah
di atas batas plika vesio uterine. Tujuan insisi ini dibuat hanya jika ada
halangan untuk melakukan proses Sectio Caesarea Transperitonealis
Profunda, misal karena uterus melekat dengan kuat pada dinding perut
karena riwayat persalinan Sectio Caesarea sebelumnya, insisi di segmen
bawah uterus mengandung bahaya dari perdarahan banyak yang
berhubungan dengan letaknya plasenta pada kondisi plasenta previa.
Kerugian dari jenis pembedahan ini adalah lebih besarnya risiko peritonitis
dan 4 kali lebih bahaya rupture uteri pada kehamilan selanjutnya. Setelah
dilakukan tindakan Sectio Caesarea klasik sebaiknya dilakukan sterilisasi
atau histerektomi untuk menghindari risiko yang ada.

3) Sectio Caesarea Ekstraperitoneal


Insisi pada dinding dan fasia abdomen dan musculus rectus
dipisahkan secara tumpul. Vesika urinaria diretraksi ke bawah sedangkan
lipatan peritoneum dipotong ke arah kepala untuk memaparkan segmen
bawah uterus. Jenis pembedahan ini dilakukan untuk mengurangi bahaya

19
dari infeksi puerperal, namun dengan adanya kemajuan pengobatan
terhadap infeksi, pembedahan Sectio Caesarea ini tidak banyak lagi
dilakukan karena sulit dalam melakukan pembedahannya.
2.4.4 Kontraindikasi Sectio Caesarea3
Dalam praktik obstetric modern sebenarnya tidak ada kontraindikasi untuk
persalinan Sectio Caesarea. Namun tindakan persalinan Sectio Caesarea jarang
diperlukan jika janin sudah mati atau terlalu premature untuk bisa hidup dan
ketika mekanisme pembekuan darah ibu mengalami gangguan serius, yaitu
dilakukan persalinan dengan insisi yang seminimal mungkin dengan melakukan
tindakan persalinan pervaginam yang lebih disukai untuk sebagian besar keadaan.
Karena pada saat ibu melakukan persalinan Sectio Caesarea, ibu kehilangan
sejumlah 500 ml darah bahkan lebih.

2.4.5 Resiko Persalinan Caesar10


Banyak ibu hamil yang minta dicaesar tanpa rekomendasi medis, diduga
karena kurangnya informasi tentang hal itu. Padahal resiko operasi besar banyak
dan serius, sehingga jauh lebih berbahaya dibanding persalinan normal, dan yang
harus memikul resiko itu tidak hanya ibu tetapi bayi juga. Berikut ini ada
beberapa resiko operasi caesar, yaitu:
a. Infeksi pada bekas jahitan
Caesar lebih besar dan berlapis-lapis, bila penyembuhan tidak sempurna
kuman lebih mudah menginfeksi sehingga luka jadi lebih parah. Bukan
tidak mungkin dilakukan jahit ulang.
b. Kematiaan saat persalinan
Beberapa penelitian menunjukkan, angka kematian ibu pada operasi caesar
lebih tinggi dibanding persalinan normal. Kematian umumnya disebabkan
kesalahan pembiusan atau perdarahan yang tidak ditangani dengan cepat
c. Pembatasan kehamilan
Dulu, perempuan yang pernah melahirkan melalui operasi caesar hanya
boleh melahirkan tiga kali. Kini dengan teknik operasi yang lebih baik,
sang ibu memang boleh melahirkan lebih dari satu bahkan sampai lima
kali. Tapi resiko dan komplikasinya makin berat

20
d. Sobeknya jahitan Rahim
Ada tujuh lapis jahitan yang dibuat saat operasi caesar, yaitu jahitan pada
kulit, lapisan lemak, sarung otot, otot perut, lapisan dalam perut, lapisan
luar rahim dan rahim. Jahitan rahim ini bisa sobek pada persalinan
berikutnya. Makin sering menjalani operasi caesar, makin besar resiko
terjadinya sobekan.
e. Masalah pernafasan
Bayi yang lahir melalui operasi caesar cenderung mempunyai masalah
pernafasan, yaitu nafas menjadi tidak teratur

2.4.6 Hal Yang Perlu Diperhatikan Setelah Sectio Caesarea10


Meskipun terlihat tidak sulit (karena tanpa mengalami proses sakit
kontraksi dan mengejan) ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian khusus
setelah melahirkan dengan operasi caesar, diantaranya :
1. Menjaga kebersihan disekitar bekas jahitan.
2. Tiga hari setelah operasi, perban biasanya diganti dengan perban yang
tahan air sehingga ibu dapat mandi. Sebelumnya, karena bekas jahitan
tidak boleh kena air, biasanya cukup diseka saja badannya dengan air
hangat
3. Hindari melakukan aktivitas fisik yang terlalu berlebihan sebab jahitan di
dalam belum kering sehingga masih terasa sakit

2.4.7 Prinsip Perawatan Luka dan Perawatan di Rumah13


Tujuan perawatan luka adalah untuk mencegah infeksi, menilai kerusakan
yang terjadi pada struktur yang terkena dan untuk menyembuhkan luka.

a. Pembalutan dan perawatan luka


Penutup/pembalut luka berfungsi sebagai penghalang dan pelindung terhadap
infeksi selama proses penyembuhan yang dikenal sebagai reepitelisasi.
Pertahankan penutupan luka ini selama hari pertama setelah pembedahan untuk
mencegah infeksi selama proses reepitelisasi berlangsung. Ganti pembalut dengan

21
cara yang steril. Luka harus dijaga tetap kering dan bersih, tidak boleh terdapat
bukti infeksi sampai ibu diperbolehkan pulang dari rumah sakit.
b. Infeksi Luka
a. Tanda klinis: Nyeri, bengkak, kemerahan, panas dan bisa bernanah.
b. Tatalaksana
Buka luka jika dicurigai terdapat nanah. Bersihkan luka dengan cairan
desinfektan. Tutup ringan luka dengan kasa lembab. Ganti balutan setiap hari,
lebih sering bila perlu. Berikan antibiotik sampai sampai 48 jam bebas demam.
c. Mobilisasi
Mobilisasi segera, tahap demi tahap, sangat berguna untuk membantu
pemyembuhan pasien. Kemajuan mobilisasi bergantung pula pada jenis operasi
yang dilakukan dan komplikasi yang mungkin dijumpai.
Pasein yang mendapat anestesi spinal boleh duduk setelah 24 jam.akan
tetapi selama periode tersebut, pasien boleh miring ke kanan atau ke kiri, serta
boleh melipat kaki agar alirab darah menjadi lancar. Pada hari kedua, pasien
belajar berjalan dan apabila telah mampu berjalan ke kamar mandi, kateter urin
sudah dapat dilepas, dan pasien boleh pulang pada hari ketiga atau keempat.
Mobilisasi berguna untuk mencegah terjadinya trombosis dan emboli. Namun,
mobilisasi yang dilakukan terlalu dini dapat mempengaruhi penyembuhan luka
operasi. Jadi, mobilisasi secara teratur dan bertahap, serta diikuti dengan istirahat.
d. Memulangkan pasien
Perawatan 3-4 hari cukup untuk pasien. Diedukasi pasien untuk perawatan
luka mengganti kasa). Pasien diminta kontrol setelah 7 hari pasien pulang. Pasien
perlu segera datang kembali jika terdapat perdarahan, demam, nyeri perut
berlebihan.
e. Pelepasan jahitan
Jahitan fasia merupakan hal utama pada bedah abdomen. Pelepasan jahitan
kulit 5 hari seletah penjahitan.

Walaupun merasa lebih baik, tetapi sebenarnya tubuh belum pulih


sepenuhnya. Beberapa hal yang dapat dilakukan di rumah untuk mencegah hal-hal
yang tidak diinginkan.

22
1. Menjaga Kebersihan Diri
Ibu tidak perlu khawatir terhadap luka bekas irisan yang terkena air
karena akan aman selama luka ditutup kain kasa lembut yang diatasnya
dilapisi plester kedap air. Memang dulu pasien tidak boleh mandi karena
luka hanya ditutupi kain kasa. Namun sekarang dokter akan memakaikan
plester kedap air di atas kain kasa untuk mencegah terjadinya infeksi
karena terkena air.
2. Jangan Mengangkat Benda Berat
Usahakan untuk tidak mengangkat benda-benda yang berat karena
kegiatan ini bisa mengakibatkan tekanan pada bagian perut maupun
pinggang sehingga merasa sakit.
3. Makan Makanan Bergizi
Makanan bergizi yang seimbang, sesuai dengan kebutuhan sangat
dianjurkan. Misalnya untuk mencegah sembelit, makanlah vit C, banyak
buah-buahan dan sayuran segar.
4. Merawat Bekas Sayatan
Biasanya, benang operasi terserap secara otomatis. Beberapa cara merawat
bekas sayatan operasi sebagai beikut :
a. Bagi ibu yang sudah bisa mandi tanpa diseka, sebaiknya mandi
dengan shower atau bersiram
b. Setelah mandi, segera keringkan bekas sayatan tersebut dengan
handuk yang lembut, kertas tisu atau kapas
c. Jangan memakai celana dalam yang pendek karena karet celana
akan menekan bekas sayatan sehingga akan terasa sakit
d. Keluar bekas sayatan menjadi bengkak kemerahan dan terasa sakit
segera periksakan ke dokter karena tanda-tanda ini menunjukan
terjadinya infeksi

2.5 Penyembuhan Luka Sectio Caesarea14


2.5.1 Pengertian Luka
Luka merupakan rusaknya sebagian jaringan tubuh yang disebabkan oleh
trauma benda tajam atau tumpul, perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan

23
listrik, atau gigitan hewan. Luka merupakan gangguan dalam kontinuitas sel-sel
kemudian diikuti dengan penyembuhan luka yang merupakan pemulihan dari
kontinuitas tersebut. Pengertian luka Sectio Caesarea adalah gangguan dalam
kontinuitas sel akibat dari pembedahan yang dilakukan untuk mengeluarkan janin
dan plasenta dengan cara membuka dinding perut dengan indikasi tertentu.

Luka adalah rusaknya kesatuan/komponen jaringan, dimana secara


spesifik terdapat substansi jaringan yang rusak atau hilang. Ketika luka timbul,
beberapa efek akan muncul:

a. Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ

b. Respon stres simpatis

c. Perdarahan dan pembekuan darah

d. Kontaminasi bakteri

e. Kematian sel

2.5.2 Proses Penyembuhan Luka


Proses fisiologis normal penyembuhan luka melalui beberapa fase (Guo &
DiPietro, 2010), yaitu:
1) Fase Hemostasis
Fase ini dimulai segera setelah terjadinya luka, dengan adanya
vasokonstriksi dan formasi pembekuan oleh fibrin. Jaringan disekitar
tempat terjadinya luka akan melepaskan sitokin pro-inflammatory dan
growth factors seperti transforming growth factor (TGF)-beta, platelet-
derived growth factor (PDGF), fibroblast growth factor (FGF) dan
epidermal growth factor (EGF). Ketika perdarahan sudah bisa terkontrol,
sel-sel inflamasi akan bermigrasi menuju ke tempat luka (kemotaksis) dan
akan menginisiasi fase selanjutnya, yaitu fase inflamasi.
2) Fase Inflamasi
Fase ini merupakan fase yang ditandai dengan adanya infiltrasi
sequential oleh netrofil, makrofag dan limfosit. Fungsi penting netrofil
adalah untuk membersihkan adanya mikroba dan debris seluler di area

24
luka. Prioritas fungsional dari fase inflamasi, yaitu menggalakkan
hemostasis, menyingkirkan jaringan mati, dan mencegah infeksi oleh
bakteri patogen terutama bakteria.
3) Fase Proliferatif
Fase ini merupakan fase yang ditandai dengan adanya proliferasi
epitel dan re-epitelisasi. Fase ini biasanya mengikuti dan mendahului fase
inflammatory. Pada dermis yang sedang dalam proses perbaikan,
fibroblast dan sel endotel merupakan jenis sel yang paling penting dan
mendukung adanya pertumbuhan kapiler, formasi kolagen dan formasi
jaringan granulasi pada area luka. Fibroblast menghasilkan kolagen yang
juga dihasilkan oleh glikosaminoglikan (GAG) dan proteoglikan yang
merupakan komponen terbesar pada extracellular matrix (ECM). adanya
proliferasi tersebut dan sintesis extracellular matrix (ECM), maka
penyembuhan luka memasuki fase akhir, yaitu fase remodeling.
4) Fase Remodeling
Fase ini merupakan fase akhir penyembuhan luka yang
berlangsung bertahun-tahun. Pada fase ini, terjadi regresi dari banyak
kapiler yang beru terbentuk, sehingga menyebabkan densitas vascular
pada jaringan luka kembali normal. Bekas luka akan tertutup oleh
kontraksi fisik melalui proses penyembuhan luka ini yang dimediasi oleh
contractile fibroblasts (myofibroblast) yang muncul pada luka.

Tabel 4 Proses Penyembuhan Luka


Fase Kejadian Vascular dan Bio-Psikologis
Hemostasis 1. Vasokonstriksi
2. Aggregasi platelet, degranulasi dan formasi
fibrin (thrombus)
Inflamasi 1. Infiltrasi netrofil
2. Infiltrasi monosit dan makrofag
3. Infiltrasi limfosit
Proliferasi 1. Re-epitelisasi
2. Angiogenesis

25
3. Sintesis kolagen
Remodeling 1. Collagen remodeling
2. Maturase vaskuler dan regresi

2.5.3 Tipe Penyembuhan Luka


Mekanisme penyembuhan luka akan melalui beberapa intensi
penyembuhan (Morison, 2008), yaitu:
1) Penyembuhan Luka melalui Intensi Pertama (Primary Intention)
Luka terjadi dengan adanya kerusakan jaringan yang minimum
yang dibuat secara aseptik, sehingga penutupan terjadi dengan baik dan
jaringan granulasi tidak tampak serta jaringan parut terbentuk minimal.
2) Penyembuhan Luka melalui Intensi Kedua (Granulasi)
Terjadi pada luka yang terdapat pembentukan pus atau tepi luka
yang tidak saling merapat sehingga proses penyembuhannya
membutuhkan waktu yang lama.
3) Penyembuhan Luka melalui Intensi Ketiga (Secondary Suture)

2.5.4 Faktor yang Mempengaruhi Penyembuhan Luka Sectio Caesarea


Terjadi pada luka dalam yang belum dijahit atau terlepas sehingga
kemudian dijahit kembali. Luka dalam ini mempunyai dua permukaan granulasi
yang saling berlawanan kemudian akan disambungkan kembali sehingga akan
membentuk jaringan parut yang lebih dalam dan luas.

Terdapat dua faktor yang dapat mempengaruhi penyembuhan luka, yaitu


faktor sistemik dan faktor lokal.

1. Faktor Sistemik

a) Usia dan Jenis Kelamin


Seiring dengan bertambahnya usia pasien, maka tingkat kelenturan dari
jaringan tubuh pasien makin berkurang. Pria usia lanjut mempunyai
kemampuan penyembuhan luka yang lebih lambat dari pada wanita usia
lanjut. Hal ini dipengaruhi oleh hormone estrogen pada wanita yang mampu

26
meregulasi gen-gen yang berhubungan dengan regenerasi, produksi matriks,
penghambat protease, fungsi epidermal dan gen yang berhubungan langsung
dengan inflamasi.
b) Nutrisi
Pada saat proses penyembuhan luka, kebutuhan nutrisi meningkat sejalan
dengan adanya stress fisiologis yang akan menyebabkan defisiensi protein,
nutrisi kurang yang dapat menghambat sintesis kolagen dan adanya
penurunan fungsi leukosit.
c) Obesitas
Jaringan adiposa pada orang obesitas biasanya akan mengalami avaskuler
sehingga mekanisme pertahanan terhadap mikroba atau benda asing sangat
lemah dan mengganggu suplai nutrisi ke arah jaringan yang mengalami luka
sehingga proses penyembuhan luka akan terhambat.
d) Medikasi
Obat-obatan yang berpengaruh terhadap fungsi platelet atau pembekuan
darah, respon inflamasi dan proliferasi, seperti glukokortikoid steroid, obat
Anti-Inflamasi Non-Steroid (AINS) dan kemoterapi mampu mempengaruhi
penyembuhan luka.

2. Faktor Lokal

a) Oksigenasi
Kadar oksigen yang cukup sangat dibutuhkan untuk penyembuhan luka
yang optimal. Kejadian hipoksia akan menstimulasi penyembuhan luka,
seperti melepaskan growth factors dan angiogenesis, sedangkan oksigen
dibutuhkan untuk menjalankan proses penyembuhan.
b) Infeksi

Ketika kulit terluka, maka mikroorganisme yang berada dipermukaan


kulit akan masuk melalui jaringan yang terbuka. Keadaan terjadinya infeksi
dan status replikasi dari mikroorganisme ditentukan dari luka yang
terkontaminasi, mikroorganisme yang berkolonisasi, lokal infeksi dan/atau
penyebaran infeksi yang luas.

27
c) Lingkungan Sekitar

2.5.5 Kriteria Penyembuhan Luka Operasi15


Adanya drainase pada luka serta perubahan nilai pH yang akan
mempengaruhi penyembuhan luka, serta jika terdapat tekanan pada area luka
dapat mempengaruhi sirkulasi darah pada daerah luka dan sekitarnya.
Untuk mengetahui seberapa jauh luka operasi sembuh, Skala REEDA bisa
digunakan sebagai kriteria penyembuhan luka operasi pada fase inflamasi. Skala
REEDA merupakan skala yang mengukur lima faktor, yaitu Redness, Edema,
Ecchymosis, Discharge dan Approximation yang disingkat menjadi REEDA. Tiap
faktor diberi skor antara 0-3 yang menilai ada tidaknya tanda penyembuhan luka.
Skor total dari skala REEDA berada direntang 0-15, yang menunjukkan nilai
bahwa semakin tinggi skor maka semakin lemah atau lambat penyembuhan
lukanya.

Tabel 6 Skala REEDA

Skor Redness Edema Ecchymosis Discharge Approximation


0 Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tertutup
1 Berada Perineal, Berada di 0,25 cm Serum Pemisahan kulit
disekitar 0,25 <1 cm dari secara bilateral < 3 mm
cm dari tempat tempat atau 0,5 cm secara
insisi bilateral insisi unilateral
2 Berada Perineal Diantara 0,25-1 Serosan- Pemisahan kulit
disekitar 0,5 dan/atau cm secara guinous dan lemak
cm dari tempat diantara 1- bilateral atau 0,5- subkutan
insisi bilateral 2 cm dari 2 cm secara
tempat unilateral
insisi
3 Berada >0,5 Perineal >1 cm secara Ada Pemisahan dari
cm dari tempat dan/atau bilateral atau 2 cm darah, kulit, lemak
insisi bilateral vulvar, >2 secara unilateral purulen subkutan dan
cm dari

28
tempat
insisi

2.5.6 Status Kesehatan yang Mempengaruhi Proses Penyembuhan Luka


Sectio Caesarea
Ada dua factor yang dapat mempengaruhi proses penyembuhan luka
Sectio Caesarea, yaitu Diabetes Mellitus dan Hipertensi.
1) Sectio Caesarea pada ibu hamil yang menderita Diabetes Mellitus
Pasien Sectio Caesarea dengan Diabetes Mellitus dapat
mengonsumsi karbohidrat peroral segera setelah periode pasca bedah
ketika kebutuhan insulin menurun dengan tajam. Biasanya dipilih glukosa
dan insulin intravena untuk mengelola periode sebelum dan saat Sectio
Caesarea dengan anastesi umum. Ibu hamil dengan Diabetes Mellitus
yang melakukan persalinan Sectio Caesarea baik karena prosedur bedah
yang direncanakan maupun tidak, berada dalam peningkatan risiko intra
uterin pasca bedah dan infeksi. Setiap perhatian perlu ditujukan untuk
menghindarkan infeksi dan risiko sangat tinggi maka diperlukan
pemberian antibiotic profilaksis.
2) Sectio Caesarea Elektif pada Hipertensi Kehamilan
Pada saat diagnosis preeklampsia berat sudah ditegakkan, maka
akan timbul kecenderungan untuk melahirkan janin segera. Adanya
kekhawatiran karena serviks yang kurang siap sehingga induksi persalinan
kurang berhasil, adanya perasaan darurat karena keparahan preeklampsia
dan perlunya koordinasi dengan perawatan neonatal akan mendorong
sebagian dokter untuk menganjurkan Sectio Caesarea elektif.

29
BAB 3

LAPORAN KASUS

Identitas Pasien

Nama : Ny. YSM

Umur : 27 tahun

Alamat : Linggo Sari Baganti Pesisir Selatan

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

MR : 01 06.67.70

Pasien datang dari PONEK IGD dengan G1P0A0H0 parturien aterm kala I fase
aktif + iskemik miokard anteroseptal.

Riwayat Penyakit Sekarang :

• Nyeri pinggang menjalar ke ari-ari (+) sejak 10 jam sebelum masuk rumah
sakit.
• Keluar lendir campur darah dari kemaluan (+) sejak 10 jam sebelum
masuk rumah sakit.
• Keluar air-air dari kemaluan (-).
• Keluar darah dari kemaluan (-).
• Gerak janin dirasakan aktif.
• HPHT : 14 Februari 2019
• Taksiran Persalinan 27 November 2019
• Dada berdebar-debar (-), sesak nafas (-)
• Pusing (-), mual (-), nyeri ulu hati (-)
• Riwayat menarche :
Usia pertama kali menstruasi usia 13 tahun, lama menstruasi 5-7 hari,
ganti pembalut 3x sehari.

30
Riwayat Penyakit Dahulu :

• Tidak ada riwayat penyakit jantung, paru, hati, ginjal, diabetes dan
hipertensi.
• Tidak ada riwayat alergi obat
Riwayat Penyakit Keluarga :

Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit keturunan, menular dan
kejiwaan.

Riwayat Perkawinan :

1. Pernikahan : menikah tahun 2018

Riwayat Kehamilan/abortus/persalinan :

1. Kehamilan saat ini.

PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalisata

KU : Sedang Kesadaran : CMC


TD : 150/90 Gizi : sedang
Nadi : 109 x/m TB : 145 cm
Suhu : 37 0C BB : 56 kg
Nafas : 20x/m Edema : -
Anemis : - Sianosis : -
Ikterus : -
KGB : tidak ada pembesaran KGB
Kepala : normocephal
Rambut : hitam, tidak mudah rontok
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
THT : tidak ditemukan kelainan
Gigi & mulut : caries (-)
Leher : Kelenjar Tiroid tidak membesar, JVP (5-2) cmH2O
Dada : cor/pulmo dalam batas normal

31
Perut : Status Obstetrikus
Punggung : tidak ditemukan kelainan
Genitalia : Status Obstetrikus
Anus : tidak diperiksa
Angg. Gerak : edema -/-

Status Obstetrikus
Abdomen :
Inspeksi : perut tampak membuncit
Palpasi : FUT = 32 cm
TBJ = 3.100 gram
DJJ = 156-163x/i
His : 2-3x dalam 20 detik selama 10 menit
NT(-), NL (-), DM (-)
Perkusi : Timpani
Auskultasi : BU(+) normal
Genitalia :
Inspeksi : V/U tenang, PPV(-)
VT : Pembukaan 6-7 cm, efficement100%, ketuban (+),
Kepala di hodge II-III.

Laboratorium

PARAMETER RESULT NORMAL VALUE

Hemoglobin 11,5 gr/dL 12-14

Leukosit 15.230/mm3 5.000 – 10.000

Hematokrit 36% 37 – 43

Trombosit 271.000/mm3 150.000 – 400.000

32
Diagnosa Kerja :

G1P0A0H0 parturien aterm kala I fase aktif + iskemik miokard anteroseptal +

Janin hidup tunggal intra uterin

Tatalaksana :

• Kontrol KU, Vital Sign, Perdarahan Per Vaginam


• IVFD RL 20 tts/menit
• Inj. Ceftriaxone 2x1 gram
• Pro SCTPP

Tanggal 05 November 2019 Pukul 22.00 WIB


1. Lahir bayi secara SCTPP dengan
Jenis Kelamin : Laki-laki
Berat Badan : 3000 gram
Panjang Badan : 47 cm
Apgar Skor : 7/8
Lahir plasenta lengkap 1 buah dengan berat 500 gram.

Pukul 12.10 WIB


Dilakukan operasi cesarean

Diagnosis:

P1A0H1 Post SCTPP ai iskemik miokard anteroseptal

Tatalaksana:

• Kontrol KU, Vital Sign, kontraksi


• IVFD RL 20 tpm
• Inj ceftriaxone 2x1gr
• Asam tranexamat 3x1 gr

33
• Inj Vit. K 3x10 mg
• Pronalges supp II (k/p)
• ACC rawat HCU Kebidanan

Follow up hari 1

S/ Nyeri luka operasi (+), demam (-),

O/ KU Kes TD ND Nfs T

Berat CM 110/70 80x 20 36,8

Mata : konjungtiva anemis (-), sklera tidak ikterik

Leher : tidak ada pembesaran kelenjar getah bening

Dada : cor/pulmo dalam batas normal

Abdomen : NT (-), NL (-), DM (-) luka operasi tertutup

FUT : 2 jari dibawah pusat

Kontraksi baik

Genitalia : V/U tenang, PPV (-), terpasang kateter urine

Extremitas : edema -/-

A/ P1A0H1 post SCTPP ai iskemik miokard anteroseptal NH1

P/

• Kontrol KU, Vital Sign, Perdarahan Per Vaginam


• Inj cefotaxime 2x1gr
• Asam tranexamat 3x1 gr
• Vit. C 1x50 mg
• Paracetamol 4x1 gr

34
Dokumentasi

35
BAB 4

DISKUSI

Telah dilaporkan kasus seorang pasien wanita 27 tahun masuk Pasien


datang dari PONEK IGD dengan G1P0A0H0 parturien aterm kala I fase aktif +
iskemik miokard anteroseptal.

Dari anamnesa didapatkan bahwa pasien ada nyeri pinggang menjalar ke


ari-ari dan ada keluar darah dan lendir dari kemaluan sejak 10 jam sebelum masuk
rumah sakit, pasien tidak ada keluar air-air yang banyak dari kemaluan, dan
pasien tidak ada keluar darah dari kemaluan. Pasien tidak mengeluh pusing, mual
maupun nyeri ulu hati. Gerak janin dirasakan aktif.

Dari pemeriksaan umum ditemukan iskemik miokard anteroseptal. Pada


pasien direncanakan SCTPP. Setelah bayi lahir dan dilakukan ekspolari, terjadi
perdarahan 500 cc.

Setelah melakukan pemeriksaan pada Ny. YSM didapatkan masa nifas


sampai hari pemeriksaan (hari ke-2) berlangsung baik dan tidak ditemukan
kelainan yang bermakna. Pertama saat melakukan anamnesis, pasien
mengeluhkan adanya nyeri pada bekas operasi. Pasien baru belajar untuk duduk
dan belum mampu berjalan ke kamar mandi untuk BAB atau BAK dan pasien
masih terpasang kateter. Pada anamnesis tidak ditemukan adanya perdarahan yang
banyak berwarna merah segar. Tidak ada keluhan lain yang dirasakan pasien yang
mengarah ke impending eclampsia seperti nyeri ulu hati demam, pusing, sakit
kepala.

Pada pemeriksaan, saat papila mammae ditekan, ASI belum keluar. Pasien
tidak tampak kesakitan saat dilakukan penekanan pada kedua papila mammae.
Selanjutnya pada pemeriksaan abdomen, teraba fundus uteri setinggi 2 jari
dibawah umbilikus. ASI tidak dihasilkan hingga 3-4 hari pertama setelah
melahirkan. Colostrum disekresikan dalam beberapa hari pertama setelah
melahirkan. Lokasi palpasi dari fundus uteri membantu untuk menentukan bahwa
involusi uterus berlangsung secara normal. Fundus dapat dipalpasi pada
pertengahan antara simfisis os pubis dan umbilikus. Dalam 12 jam, ukuran fundus

36
meningkat setinggi umbilikus atau di atas maupun di bawah umbilikus. Hal ini
menunjukkan bahwa colostrum dan ASI pasien tidak mengalami masalah dan
involusi uterus pasien berjalan normal sesuai dengan waktunya.3,8

Apabila luka operasi dibuka dan dilihat, nilai luka operasi apakah tenang dan
ditemukan atau tidaknya rembesan darah. Selanjutnya dilakukan inspeksi genitalia
dan tampak lokia rubra, tidak berbau, mengenai bagian tengah pembalut pasien.
Perdarahan aktif berwarna merah segar juga tidak ditemukan. Lokia rubra/kruenta
(merah kecoklatan) merupakan cairan bercampur darah segar, dengan partikel-
partikel kecil dari sisa-sisa penebalan dinding rahim (desidua) dan sisa-sisa
trofoblas/penanaman plasenta (selaput ketuban) serta mukus. Biasanya berbau
amis dan keluar sampai hari ke-3 atau ke-4 pascapersalinan. Sedangkan lokia
yang sangat berbau tidak sedap apalagi bila disertai dengan gejala sistemik berupa
tanda tanda infeksi menandakan adanya endometritis. Sehingga dapat diambil
kesimpulan darah yang keluar dari kemaluan pasien adalah darah fisiologis masa
nifas.3
Setelah pemeriksaan fisik dilakukan, edukasi mengenai masa nifas
diberikan pada pasien terkhusus pasien yang akan dipulangkan. Hal-hal penting
yang harus diinformasikan pada pasien yaitu ASI on demand, dimana pemberian
ASI tanpa batas waktu sesuai keinginan bayi. Apabila bayi sering tidur, ibu harus
membangunkan bayi dan memberikan rangsangan ringan pada mulut dan pipi
bayi sehingga bayi mau menyusu. Hal ini dilakukan setiap 2 jam oleh ibu. Dengan
tata laksana menyusui yang benar, ASI sebagai makanan tunggal akan cukup
memenuhi kebutuhan tumbuh bayi normal sampai usia 6 bulan. Setelah usia 6
bulan, bayi harus mulai diberikan makanan lunak, tetapi ASI dapat diteruskan
sampai usia 2 tahun. Selain itu pemberian ASI ekslusif ini juga bisa memberikan
efek kontrasepsi alami untuk 6 bulan pertama pada ibu yang dinamakan metode
laktasi amenorea.6 Tapi dikarenakan bayi Ny. YSM dirawat di bagian Perinatologi
tatalaksana disesuaikan dengan bagian Anak.
Pada hari ke-3 pasien juga dianjurkan untuk meningkatkan mobilisasi
untuk mempercepat penyembuhan luka operasi serta mencegah edema pada kaki
dan tidak perlu cemas luka operasi akan basah kembali jika pasien berjalan.
Namun perlu diingatkan pada pasien bahwa pasien belum diperbolehkan

37
mengangkat beban yang berat hingga minimal 3 bulan setelah operasi.
Selanjutnya pasien diwajibkan untuk mengganti duk setiap 6 jam sekali, untuk
mencegah perkembangan bakteri pada genitalia yang dapat berujung infeksi.6
Selanjutnya, pasien disarankan untuk mengonsumsi makanan mengandung
protein tinggi seperti ikan, putih telur, dan lain-lain dengan harapan luka operasi
dapat kering cepat. Perlu diberi tahu pada pasien mengenai mitos-mitos yang
sering disebutkan bahwa mengonsumsi telur ataupun ikan yang banyak dapat
memperlama penyembuhan luka operasi adalah salah. Selama pasien tidak ada
riwayat alergi makanan, penyakit diabetes melitus, kolesterol tinggi dan penyakit
lain yang membutuhkan diet khusus maka tidak ada pantangan makanan untuk
pasien. Pasien hipertensi dan DM (diet khusus). Akan tetapi pasien diberikan
informasi makanan yang sebaiknya lebih banyak dikonsumsi seperti sayur dan
buah yang kaya akan Vitamin C untuk penyembuhan luka operasi yang lebih
baik.8
Vitamin C pada proses penyembuhan luka berperan untuk meningkatkan
sistem imun pasien pasca section caesarea dan membantu proses sintesis pada
kolagen untuk proses penyembuhan luka. Vitamin C berperan dalaam
penyembuhan luka, patah tulang, perdarahan di bawah kulit dan perdarahan gusi.
Higienitas diri ibu juga harus ditingkatkan agar tidak terjadi infeksi dalam masa
nifas, untuk mengganti pembalut minimal setiap sekali 6 jam walaupun pembalut
bersih, hal ini bertujuan untuk mencegah perkembangbiakan bakteri. Anjurkan
kebersihan seluruh tubuh, terutama perineum. Mengajarkan ibu bagaimana
membersihkan daerah kelamin dengan sabun dan air. Pastikan bahwa ibu
mengerti untuk membersihkan daerah disekitar vulva terlebih dahulu, dari depan
ke belakang, kemudian membersihkan daerah sekitar anus. Nasehati ibu untuk
membersihkan vulva setiap kali selesai buang air kecil atau besar.5,8
Selanjutnya pasien dianjurkan untuk kembali memeriksakan diri 3 hari
sepulang dari rumah sakit, dengan kata lain pada hari ke-6 setelah operasi.
Kunjungan pada hari ke-6 dilakukan untuk memeriksa luka operasi, involusi
uterus berjalan normal, uterus berkontraksi, fundus dibawah umbilikus, tidak ada
perdarahan abnormal, tidak ada bau, menilai adanya tanda-tanda demam, infeksi
atau cairan dan memastikan ibu menyusui bayi dengan baik serta tidak

38
memperlihatkan tanda-tanda komplikasi. Selain itu diberikan konseling pada ibu
mengenai perawatan pada bayi, tali pusat dan menjaga bayi tetap hangat.
Kunjungan dapat dilakukan di poliklinik kebidanan rumah sakit atau praktek
dokter. Edukasi mengenai pemasangan alat kontrasepsi sebaiknya dilakukan
dengan tujuan untuk memberi jarak pada kehamilan berikutnya. 1,3
Edukasi dan perawatan yang diberikan kepada ibu dalam masa nifas
bertujuan untuk meningkatkan kesejahtaraan fisik dan pisikologis bagi ibu dan
bayi, pencegahan dini dan pengobatan komplikasi pada ibu, merujuk ibu keasuhan
tenaga ahli jika perlu, mendukung dan memperkuat keyakinan ibu serta
meyakinkan ibu mampu melaksanakan perannya dalam situasi keluarga dan
budaya yang khusus, imunisasi ibu terhadap tetanus dan mendorong pelaksanaan
metode yang sehat tentang pemberian makan anak, serta peningkatan
pengembangan hubungan yang baik antara ibu dan anak.7
Tujuan perawatan luka adalah untuk mencegah infeksi, menilai kerusakan
yang terjadi pada struktur yang terkena dan untuk menyembuhkan luka. Waktu
normal penyembuhan luka operasi caesar lebih kurang 3 sampai 4 minggu, atau
lebih lama. Penting mengetahui perawatan luka caesar, karena infeksi akan
memperlama masa penyembuhan.
Prinsip pada perawatan luka bekas operasi Caesar adalah menjaga luka
tetap bersih dan kering dan mencegah infeksi untuk membantu mempercepat
proses penyembuhan luka dan mengurangi morbiditas dan mortalitas akibat
infeksi bekas luka pasca operasi. Pada luka yang dibalut diperlukan evaluasi luka
agar tidak bernanah, dijaga agar tetap kering, dan saat pasien pulang ke rumah
perlu diberikan edukasi cara merawat luka bekas operasi agar tidak terjadi infeksi.

39
DAFTAR PUSTAKA

1. Saifuddin, Abdul Bari. 2009. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo.


Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
2. Saleha, Sitti. 2009. Asuhan Kebidanan pada Masa Nifas. Jakarta: Salemba
Medika
3. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Rouse, Spong CY.
Obstetri Williams. 23rd ed. United State of America : The McGraw Hill
Companies,; 2014
4. Evans AT. 2007. Chapter I – Obstetric Care, 4 – Puerperium. In: Manual of
Obstetrics. Seventh Edition. Texas: Lippincott Williams & Wilkins.
5. Behnke A. 2003. The Physical and Emotional Effects of Postpartum
Hormone Levels.
6. Danuatmaja B. 2003. 40 Hari Pasca Persalinan. Jakarta: Puspa Swara.
7. Sulistyawati A. 2009. Asuhan Kebidanan pada Ibu Nifas, Yogyakarta: Andi
8. Almatsier S. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Umum
9. Pernoll Mrtin L. 2008. Benson And Pernoll’s Handbook Of Obstetrics And
Gynecology Tenth Edtion. New York : Medical Publising Division
10. Cendika, D, dan Indrawati. 2010. Panduan Pintar Dan Hamil Melahirkan.
Jakarta, Wahyu Media
11. American College of Obstetricians and Gynecologists, Society for Maternal-
Fetal Medicine. Obstetric care consensus no. 1: safe prevention of the
primary cesarean delivery. Obstet Gynecol. 2014 Mar. 123 s3):693-711.
12. Wiknjosastro, Hanifa.2009. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardji
13. Mangram AJ, Horan TC, Pearson ML. Guideline for prevention of surgical
site infection. In: Infection control and hospital epidemiologi. Vol 20 no. 4
March 2003 pp.250-278.
14. Sjamsuhidajat & de jong. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : EGC
15. Morison, MJ. 2004. Manajemen Luka. (Diterjemahkan a. Tyasmono). Jakarta
: EGC.Pp. 2-4

40
41

Anda mungkin juga menyukai