Disusun Oleh:
Silvika Tri Novia, S.Ked
H1AP21036
Pembimbing:
dr. Gita Dianty, Sp.OG
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
berkat rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan kasus
ini.Laporan ini disusun untuk memenuhi salah satu komponen penilaian
Kepaniteraan Klinik di Bagian Obstertri dan Ginekologi RSUD Kota Bengkulu
Fakultas Kedokteran Universitas Bengkulu.
Pada kesempatan ini, penulis juga ingin mengucapkan terima kasih
kepada:
1. dr. Gita Dianty, Sp.OG, sebagai pembimbing yang telah bersedia meluangkan
waktu dan telah memberikan masukan-masukan, petunjuk serta bantuan dalam
penyusunan laporan kasus ini.
2. Kedua orang tua yang senantiasa mendoakan serta memberikan semangat kepada
penulis dalam penyusunan laporan kasus ini.
3. Teman–teman yang telah memberikan bantuan baik material maupun moral
kepada penulis dalam menyusun laporan kasus ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam laporan kasus
ini, maka penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak.Penulis
sangat berharap agar laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi semua.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.........................................................................................ii
DAFTAR ISI.......................................................................................................iii
1.1.Anamnesis...................................................................................................5
1.1.1. Identitas pasien..................................................................................5
1.1.2. Riwayat Perkawinan..........................................................................5
1.1.3. Riwayat Reproduksi...........................................................................5
1.1.4. Riwayat Kehamilan/Melahirkan........................................................5
1.1.5. Riwayat Antenatal Care (ANC)........................................................6
1.1.6. Riwayat Gizi/Sosial Ekonomi............................................................6
1.1.7. Riwayat Penyakit Dahulu..................................................................6
1.1.8. Riwayat Penyakit Keluarga...............................................................6
1.1.9. Anamnesis Khusus.............................................................................6
1.2.Pemeriksaan Fisik......................................................................................6
1.2.1. Status Present.......................................................................................6
1.2.2. Pemeriksaan Fisik................................................................................7
1.3.Pemeriksaan Penunjang............................................................................9
1.4. Diagnosis..................................................................................................10
1.5. Penatalaksanaan.....................................................................................10
1.6. Prognosis..................................................................................................10
iii
2.2.4 Patofisiologi........................................................................................17
2.2.6 Diagnosis............................................................................................19
2.2.8 Penatalaksanaan..................................................................................20
BABIII. PEMBAHASAN..................................................................................24
BABIV. KESIMPULAN....................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................27
iv
BAB I. LAPORAN KASUS
1.1. Anamnesis
1.1.1. Identitas pasien
Nama : Ny. NO
No. MR : 104715
Usia : 31 tahun
Agama : Islam
Pendidikan : D4
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Gunung Alam, Arga Makmur
MRS : 27-08-2022/ 22.00 WIB
♀ Dokter
1 Aterm Normal RS 2800g 4 tahun
SpOG
5
1.1.5. Riwayat Antenatal Care (ANC)
Pasien mengaku melakukan Antenatal Care (ANC) sebanyak 10 kali ke
dokter spesialis Obgyn
6
pagi ini (±13 jam SMRS). Perut mules dirasakan setelah beraktivitas berat. Keluar
lender darah (+), keluar air-air (-), riwayat keputihan (-), riwayat minum jamu (-),
riwayat post coitus (-), pusing (-), mual muntah (-). Pasien masih merasakan
gerakan janin.
7
ada retraksi dinding dada
P : Stem fremitus simetris kanan dan kiri
P : Sonor seluruh lapangan paru
A : Suara napas vesikuler, wheezing (-/-)
- Cor : I : Iktus kordis tidak terlihat
P : Iktus kordis teraba
P : Batas kanan: linea sternalis dextra
Batas pinggang: ICS II linea parasternal sinistra
Batas kiri: SIC V linea midclavicula sinistra
A : Bunyi Jantung I-II normal regular, tidak ada murmur
Abdomen I :: Abdomen cembung, linea nigra (+), striae gravidarum (+)
P :
Leopold I : bagian fundus teraba bagian bulat, lunak, dan
kurang simetris yaitu bokong, TFU 2 jari di bawah processus
xyphoideus (30cm), (Rumus Johnson-Toshach) TBJ: 2.635
gram, HIS: (-), DJJ : 149 x/m
Leopold II : Letak janin memanjang, pada sisi kanan teraba
bagian rata, keras, dan memanjang yaitu punggung janin.
Pada sisi kiri teraba bagian-bagian kecil yaitu ekstremitas
Leopold III : Bagian terbawah ibu teraba bulat, keras,
melenting, dan tidak dapat digoyangkan yaitu kepala janin
Leopold IV : Bagian terbawah janin sudah belum masuk
PAP,U5/5
Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-/-)
Superior
Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2 detik, edema pretibial (-/-)
Inferior
8
1x/10’/15”, DJJ : 155 x/menit, TBJ : 2.480 gram.
Pemeriksaan : Tidak dilakukan
dalam Inspekulo
Pemeriksaan USG di Poli Kebidanan RSHD 25 Mei 2022 pukul 14.01 WIB
9
Kesan USG: Janin Tunggal Hidup, usia kehamilan 35 minggu 6 hari
1.4. Diagnosis
G2P1A0 Hamil 36-37 Minggu + dengan Partus Prematurus Imminens
Janin Tunggal Hidup Presentasi Kepala +Oligohidroamnion + Riw. SC 1x +
Hepatitis B
1.5. Penatalaksanaan
Tatalaksana yang diberikan sebagai berikut:
• Observasi keadaan umum, tanda vital ibu, DJJ, HIS dan tanda inpartu
• IVFD Rl drip duvadilam 1 amp xx gtt/menit
• Inj. Dexamethasone 2x12 mg IV
• Nifedipin 4x10 mg PO
• Mikrogest 1x200 mg PO
1.6. Prognosis
• Ibu :Dubia ad bonam
• Bayi :Dubia ad bonam
10
1.7 Follow Up
Follow Up Ibu
Pernapasan : 20 x/menit
A/ G2P1A0 hamil 36-37 + riw.
Suhu : 36,7 °C
SC 1x dengan PPI JTH Preskep
SpO2 : 97% + HBSAg (+)
Status obstetrik P/
HT : 35%
Leukosit : 12.400 ul
Trombosit : 276.000 ul
11
Laporan Operasi
12
Follow Up
Leukosit : 22.200 ul
Trombosit : 198.000 ul
13
Follow Up
14
Follow up bayi Ny. NO
PB : 50 cm
A/BBL post SSTP a.i
LK/LD : 33/31 cm
Oligohidroamnion + riw SC 1X ++
A/S : 8/9 Hepatitis B
Anus : (+)
RefleksHisap : (+) P/
Edukasikepadaibuuntukbayibela
Status Present :
jarmenyusui
KeadaanUmum : Baik
15
Pernapasan : 42 x/menit
Suhu : 36,5 °C
O/
A/BBL post SSTP a.i
Oligohidroamnion+ riw SC 1X + +
Status Present : Hepatitis B
KeadaanUmum : Baik
16
BAB II.TINJAUAN PUSTAKA
17
Kondisi kehamilan yang berisiko terjadinya persalinan preterm adalah:3,4
Janin dan plasenta:
1. Perdarahan ante partum
2. Ketuban pecah dini
3. Gemeli
Ibu:
1. Usia pada kehamilan
2. Jarak antar kehamilan
3. Stres psikologik
4. Penyakit maternal
- Bakteriuria asimtomatik
- Anemia
- Hipertensi
- Diabetes mellitus
5. Merokok
6. Trauma
7. Mikronutrisi
8. Kehamilan dengan Fertilisasi In Vitro (IVF)
9. Riwayat Persalinan Preterm Sebelumnya
2.2.3 Patofisiologi
Secara umum, penyebab persalinan prematur dapat dikelompokan dalam 4
golongan yaitu :5
2. Inflamasi/infeksi
3.Perdarahan plasenta
Mekanisme pertama ditandai dengan stres dan anxietas yang biasa terjadi
pada primipara muda yang mempunyai predisposisi genetik. Adanya stres fisik
maupun psikologi menyebabkan aktivasi prematur dari aksis Hypothalamus-
18
Pituitary-Adrenal (HPA) ibu dan menyebabkan terjadinya persalinan prematur.
Aksis HPA ini menyebabkan timbulnya insufisiensi uteroplasenta dan
mengakibatkan kondisi stres pada janin. Stres pada ibu maupun janin akan
mengakibatkan peningkatan pelepasan hormon Corticotropin Releasing Hormone
(CRH), perubahan pada Adrenocorticotropic Hormone (ACTH), prostaglandin,
reseptor oksitosin, matrix metaloproteinase (MMP), interleukin-8,
cyclooksigenase-2, dehydroepiandrosteron sulfate (DHEAS), estrogen plasenta
dan pembesaran kelenjar adrenal.6 Mekanisme kedua adalah decidua-chorio-
amnionitis, yaitu infeksi bakteri yang menyebar ke uterus dan cairan amnion.
Keadaan ini merupakan penyebab potensial terjadinya persalinan prematur.7
Infeksi intraamnion akan terjadi pelepasan mediator inflamasi seperti pro-
inflamatory sitokin (IL-1β, IL-6, IL-8, dan TNF-α ). Sitokin akan merangsang
pelepasan CRH, yang akan merangsang aksis HPA janin dan menghasilkan
kortisol dan DHEAS. Hormon-hormon ini bertanggung jawab untuk sintesis
uterotonin (prostaglandin dan endotelin) yang akan menimbulkan kontraksi.
Sitokin juga berperan dalam meningkatkan pelepasan protease (MMP) yang
mengakibatkan perubahan pada serviks dan pecahnya kulit ketuban. 6
Mekanisme ketiga yaitu mekanisme yang berhubungan dengan perdarahan
plasenta dengan ditemukannya peningkatan hemosistein yang akan
mengakibatkan kontraksi miometrium.8,10 Perdarahan pada plasenta dan desidua
menyebabkan aktivasi dari faktor pembekuan Xa (protombinase). Protombinase
akan mengubah protrombin menjadi trombin dan pada beberapa penelitian
trombin mampu menstimulasi kontraksi miometrium.6,,8
Mekanisme keempat adalah peregangan berlebihan dari uterus yang bisa
disebabkan oleh kehamilan kembar, polyhydramnion atau distensi berlebih yang
disebabkan oleh kelainan uterus atau proses operasi pada serviks. Mekanisme ini
dipengaruhi oleh IL-8, prostaglandin, dan COX-2. Prostaglandin E2 dan F2α
bekerja dengan modus parakrin untuk merangsang terjadinya kontraksi
miometrium.7,10
19
Gambar 1. Mekanisme terjadinya persalinan prematur
2.2.4 Diagnosis
Beberapa kriteria dapat dipakai sebagai diagnosis PPI yaitu:3
1. Usia kehamilan antara 20 dan 37 minggu atau antara 140 dan 259 hari
2. Kontraksi uterus (his) teratur, yaitu kontraksi yang berulang sedikitnya
setiap 7-8 menit sekali, atau 2-3 kali dalam waktu 10 menit,
3. Merasakan gejala seperti rasa kaku di perut menyerupai kaku
menstruasi, rasa tekanan intra pelvik dan nyeri pada punggung bawah
(low back pain),
4. Mengeluarkan lendir pervaginam, mungkin bercampur darah,
5. Pemeriksaan dalam menunjukkan bahwa serviks telah mendatar 50-
80%, atau telah terjadi pembukaan sedikitnya 2 cm,
6. Selaput amnion seringkali telah pecah,
7. Presentasi janin rendah, sampai mencapai spina isciadika.
2.2.5 Tatalaksana
Beberapa langkah yang dapat dilakukan pada persalinan preterm, terutama
mencegah morbiditas dan mortalitas neonatus preterm adalah:3,4
20
1. Menghambat proses persalinan preterm dengan pemberian tokolisis
2. Pematangan surfaktan paru janin dengan kortikosteroid
3. Jika perlu dilakukan pencegahan terhadap infeksi
Tokolisis
Permberian tokolisis dipertimbangkan, jika ditemukan kontraksi uterus yang
reguler dengan perubahan serviks.
- Kalsium antagonis: Nifedipin 10mg oral diulang 2-3 kali/jam, dilanjutkan
tiap 8 jam sampai kontraksi hilang. Obat dapat diberikan lagi jika timbul
kontraksi berulang
- Obat Ɓ-mimetik: terbutalin, ritrodin, isoksupirin, dan salbutamol, dapat
digunakan, tetapi nifedipin memiliki efek samping lebih kecil.
- Sulfas magnesikus dan antiprostalgandin (indometasin): jarang dipakai
karena efek samping pada ibu ataupun janin
- Untuk menghambat proses persalinan preterm selain tokolisis, perlu
membatasi aktivitas dan tirah baring
Kortikosteroid
Berguna sebagai pematangan surfaktan paru janin, menurunkan insidensi RDS,
mencegah perdarahan intraventrikular, yang akhirnya menurunkan neonatus.
Kortikosteroid diberikan pada usia < 35 minggu. Pemberian tidak diulang karena
risiko terjadinya pertumbuhan janin terhambat.
Betametasone 2x12 mg i.m dengan jarak pemberian 24 jam
Deksametasone 4x6 mg i.m dengan jarak pemberian 12 jam
Antibiotik
Diberikan jika mengandung risiko terjadinya infeksi pada kasus KPD.
Obat per oral: eritromisin 3x500 mg 3 hari
Pilihan lain: ampisilin 3x500 mg 3 hari, klindamisin.
Magnesium sulfat
21
Sebagai neuroprotektif penggunaan magnesium sulfat (MgSO4) dapat diberikan
yaitu:
- pada pasien dengan usia kehamilan 23 sampai 32 minggu yang
diperkirakan terjadi kelahiran preterm dalam waktu 24 jam.
- MgSO4 diberikan dengan dosis loading 4 gram bolus intravena dalam
waktu 30 menit, dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 1 gram/jam
hingga maksimum 24 jam, atau terjadi proses persalinan.
- Ketika MgSO4 diberikan, harus dilakukan pemantauan terhadap ibu sesuai
dengan protokol pemberian MgSO4 pada preeklamsia/eklamsia, dengan
syarat pemberian:
Tersedia Ca Glukonas 10%
Ada refleks patella
Frekuensi napas >16x/menit
Jumlah urin minimal 0,5 mL/kgBB/jam
2.2.6. Komplikasi
Persalinan preterm dan kelahiran prematur dikaitkan dengan gangguan
perkembangan saraf yang meliputi gangguan kemampuan kognitif, defisit
motorik, palsi serebral, dan gangguan penglihatan dan pendengaran. Risiko ini
meningkat dengan menurunnya usia kehamilan. Komplikasi lain yang mungkin
terjadi, meliputi masalah perilaku seperti kecemasan, depresi, gangguan spektrum
autisme, dan ADHD juga dikaitkan dengan persalinan prematur.4,9
2.3. Oligohidramnion
2.3.1 Definisi
Cairan amnion merupakan pelindung dan bantalan untuk proteksi
sekaligus menunjang pertumbuhan. Osmolalitas , kadar natrium, ureum, kreatinin
tidak berbeda dengan kadar pada serum ibu, artinya kadar di cairan amnion
merupakan hasil difusi dari ibunya. Cairan amnion mengandung banyak sel janin
(lanugo, verniks kaseosa). Fungsi cairan amnion yang juga penting adalah
menghambat bakteri karena mengandung zat seperti fosfat dan seng.11
22
Janin pada akhir kehamilan minum ± 400-500 ml air ketuban sehingga
sebagai kompensasinya ia harus kencing sebanyak itu pula. Bila ada gangguan,
baik dalam proses menelan atau kencing janin, maka terjadilah gangguan air
ketuban. Bila pada saat aterm volume air ketuban kurang dari 500 ml maka
disebut oligohidramnion. Secara sonografi oligohidramnion didefinisikan sebagai
indeks cairan amnion (AFI) 5 atau kurang. .11,12,,13
2.3.2 Etiologi
Penyebab pasti terjadinya oligohidramnion masih belum diketahui.
Beberapa keadaan berhubungan dengan oligohidramnion hampir selalu
berhubungan dengan obsrtuksi saluran traktus urinarius janin atau renal agenesis.
Penyebab oligohidramnion adalah sebagai berikut:14
1. Anomali saluran kemih janin, seperti agenesis ginjal, ginjal
polikistik, atau lesi obstruktif urin lainnya (misalnya, katup
uretra posterior)
2. Ketuban pecah dini dan kebocoran kronis cairan ketuban;
3. Korioamnionitis merupakan komplikasi ibu penting tambahan
dari oligohidramnion akibat pecahnya ketuban, yang memiliki
insiden 21-74%. Semakin dini korioamnionitis terjadi pada
kehamilan, semakin besar risiko janin mengalami displasia
bronkopulmonal, komplikasi neurologis, hipoplasia paru, dan,
pada kasus yang parah, gagal napas pada neonatus.
4. Insufisiensi plasenta, seperti yang terlihat pada hipertensi yang
diinduksi kehamilan, diabetes ibu, atau sindrom pascamaturitas
ketika kehamilan melampaui usia kehamilan 42 minggu
5. Penggunaan ibu dari penghambat sintase prostaglandin atau
angiotensin-converting enzyme
23
Kehamilan post matur
Ketuban pecah Obat
Inhiitor prostaglandin sintase
Plasenta Inhibitorangiotensin converting enzyme
Solusio
Transfusi kembar ke kembar Idopatik
2.3.3 Patofisiologi
Pecahnya membran adalah penyebab paling umum darioligohidramnion.
Namun, tidak adanya produksi urine janin ataupenyumbatan pada saluran kemih
janin dapat juga menyebabkan oligohidramnion. Janin yang menelan cairan
amnion, yang terjadisecara fisiologis, juga mengurangi jumlah cairan.12
24
Oligohidramnion sering terjadi pada janin yang mengalami kelainan pada
saluran kemih dan kelainan kromosom. Oligohidramnion yang terjadi disebabkan
oleh sebab apapun merupakan keadaan patologis. Bila berlangsung cukup lama,
keadaan ini akan menyebabkan kelainan pada janin, seperti hipolasia toraks dan
paru dan deformitas pada wajah dan skeletal. Hipoplasia paru dilaporkan dengan
oligohidramnion awitan dini dan terjadi sekitar 15 % janin oligohidramnion yang
diidentifikasi selama dua trimester pertama. pada kehamilan ini, terdapat beberapa
kemungkinan yang dapat menyebabkan hipoplasia paru. Pertama, penekanan
toraks dapat menghambat pergerakan dinding toraks dan pengembangan paru.
Kedua tidak adanya gerakan bernapas janin yang mengurangi aliran masuk cairan
ke paru. Model ketiga dan yang paling diterima adalah terjadinya kegagalan
menahan cairan amnion atau peningkatan aliran keluar disertai gangguan
pertumbuhan dan perkembangan paru. Oleh karena itu, jumlah cairan yang
dihirup oleh janin normal berperan penting pada pertumbuhan paru.12,18
2.3.4. Diagnosis
Pada ibu yang mengalami oligohidramnion biasanya uterusnya
akantampak lebih kecil dari usia kehamilan, ibu merasa nyeri di perut padasetiap
pergerakan anak, sering berakhir dengan partus prematurus,bunyi jantung anak
sudah terdengar mulai bulan kelima dan terdengarlebih jelas, persalinan lebih
lama biasanya, sewaktu ada his akan sakitsekali, bila ketuban pecah air
ketubannya sedikit sekali bahkan tidakada yang keluar dan dari hasil USG jumlah
air ketuban kurang dari 500 ml.10
Sasaran pemeriksaan fisik adalah untuk menentukan etiologi: mengukur
tinggi fundus, pemeriksaan spekulum, pemeriksaan ketuban pecah (pH, uji
nitrazin, uji ketuban pecah).11
25
4) Terdapat kemungkinan IUGR
5) Kelainan ginjal
6) Kehamilan post date
26
2.3.5. Penatalaksanaan
Evaluasi untuk anomali dan pertumbuhan janin sangat penting. Pada
kehamilan dengan komplikasi oligohidroamnion dan hambatan pertumbuhan
janin, pengawasan ketat terhadap janin penting dilakukan karena terkait mortalitas
dan morbiditas. Oligohidramnion yang terdeteksi sebelum usia kehamilan 36
minggu dengan adanya anatomi dan pertumbuhan janin normal umumnya dikelola
dengan penuh harapan dalam hubungannya dengan peningkatan pengawasan
janin. Namun, bukti bahwa janin atau ibu akan mengesampingkan komplikasi
potensial dari persalinan prematur. Manajemen antepartum oligohidramnion dapat
mencakup hidrasi ibu. Dalam tinjauan baru-baru ini dari 16 percobaan kehamilan
dengan oligohidramnion terisolasi yang jelas, hidrasi oral atau intravena dikaitkan
dengan peningkatan yang signifikan dalam AFI. Amnioinfusi, dapat digunakan
intrapartum untuk membantu mengatasi variabel deselerasi denyut jantung janin.
Itu tidak dianggap pengobatan untuk oligohidramnion itu sendiri, meskipun
deselerasi dianggap sekunder untuk kompresi tali pusat akibat kekurangan cairan
amnion. Amnioinfusion bukanlah standar perawatan untuk etiologi lain
oligohidramnion dan umumnya tidak direkomendasikan.13
a. Tirah baring
27
b. Hidrasi dengan kecukupan cairan
c. Perbaikan nutrisi
d. Pemantauan kesejahteraan janin (hitung pergerakan janin)
e. Pemeriksaan USG yang umum dari volume cairan amnion
2.3.6. Komplikasi
Peningkatan risiko kompresi tali pusat, aspirasi mekonium, persalinan
sesar, deselerasi denyut jantung janin, dan penelusuran janin nonreaktif.
Pemberian 1 sampai 2 liter cairan oral atau intravena selama persalinan terbukti
meningkatkan AFV sementara dan mengurangi kompresi tali pusat selama
persalinan.14,16
28
(a) Oligohidramnion makin menekan dada sehingga saatlahir terjadi
kesulitan bernapas karena paru-parumengalami hipoplasia sampai
atelektase paru
(b) Sirkulus yang sulit diatasinya ini akhirnyamenyebabkan kematian
janin intrauterin
b) Amniotic band
Karena sedikitnya air ketuban, dapat menyebabkan terjadinya
hubungan langsung antara membran dengan janin sehingga dapat
menimbulkan gangguan tumbuh kembang janin intrauterin. Dapat
dijumpai ektermitas terputus oleh karena hubungan atau ikatan dengan
membrannya.
2.3.7 Prognosis
Penatalaksanaan dan prognosis oligohidramnion sangat bervariasi
tergantung pada etiologi yang mendasari, usia kehamilan saat diagnosis, dan
tingkat keparahan oligohidramnion. Diagnosis oligohidramnion selama trimester
kedua lebih mungkin dikaitkan dengan anomali janin atau ibu, sedangkan
diagnosis pada trimester ketiga lebih mungkin tidak dapat dijelaskan
penyebabnya. Dalam satu penelitian, etiologi oligohidramnion tidak dapat
dijelaskan hanya pada 4% kehamilan trimester kedua, sedangkan 52% dari mereka
yang didiagnosis pada trimester ketiga adalah idiopatik. Hanya 10,2% dari janin
yang didiagnosis pada trimester kedua yang bertahan, sedangkan tingkat
kelangsungan hidup adalah 85,3% pada mereka yang didiagnosis pada trimester
ketiga.15
29
Prognosis oligohidramnion tidak baik terutama untuk janin. Bila terjadi
kehamilan muda akan mengakibatkan gangguan bagi pertumbuhan janin, bahkan
bisa terjadi foetus papyreceous, yaitu picak seperti kertas karena tekanan-tekanan.
Bila terjadi pada kehamilan lanjut akan terjadi cacat bawaan, cacat karena tekanan
ataukulit menjadi tebal dan kering. Selain itu, dapat mengakibatkankelainan
musculoskeletal.16
30
5. Sectio caesarea vaginal
31
Pada kondisi bayi kembar akan dilahirkan secara sectio caesarea, hal ini
dikarenakan kelahiran kembar memiliki resiko terjadinya komplikasi yang
lebih tinggi dari pada kelahiran satu bayi.
f. KPD (Ketuban Pecah Dini)
Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum terdapat tanda
persalinan dan ditunggu satu jam belum terjadi inpartu.
g. Faktor Ibu
1) Disproporsi Kepala Panggul adalah ukuran lingkar panggul ibu tidak sesuai
dengan ukuran lingkar kepala janin yang dapat menyebabkan ibu tidak dapat
melahirkan secara alami sehingga harus dilakukan tindakan operasi.
2) PEB (Pre-Eklamsi Berat) Pre-eklamsi dan eklamsi merupakan kesatuan
penyakit yang langsung disebabkan oleh kehamilan, sebab terjadinya masih
belum jelas.
32
kehamilan berikutnya.23
Percobaan persalinan setelah pernah melakukan seksio sesarea atau trial of
labor after caesarean (TOLAC) merupakan upaya untuk menurunkan angka
kejadian persalinan secara seksio sesarea.Untuk memprediksi kesuksesan
TOLAC, digunakan berbagai alat guna menilai berbagai faktor yang memprediksi
VBAC.Salah satu yang paling sering digunakan ialah sistem skor yang
dipopulerkan oleh Flamm dan Geiger. Model penilaian ini memberikan
prediktabilitas yang obyektif untuk VBAC dan juga kemampuan yang konsisten
untuk mengidentifikasi ibu yang berisiko mengalami kegagalan percobaan
persalinan. Sistem penilaian ini mencakup criteria usia pasien,riwayat persalinan
pervaginam sebelumnya, indikasi seksio sesarea sebelumnya, pembukaan serviks,
dan penipisan serviks pada saat tiba rumah sakit.24 Adapun skoring yang
ditentukan untuk memprediksi persalinan pada ibu dengan bekas seksio sesarea
adalah sebagai berikut25
33
Tabel3 Interpretasi Skor VBAC
Skor Angka Keberhasilan (dalam%)
0-2 42-29%
3 59-60%
4 64-67%
5 77-79%
6 88-89%
7 93%
8-10 95-99%
Penerapan skor Flamm dan Geige rmemberikan penilaian yang objektif
terhadap kesuksesan persalinan pervaginam pada pasien dengan riwayat seksio
sesarea, serta mengurangi tingkat kegagalan percobaan yang mengarah ke operasi
Caesar darurat, sehingga meningkatkan keberhasilan dalam TOLAC. Semakin
tinggi total skor Flamm dan Geiger,maka peluang keberhasilan VBAC meningkat.
Kontraindikasi untuk VBAC berupa seksio sesarea klasik sebelumnya, riwayat
rupture uteri,riwayat his terotomi atau miomektomi kompleks yang memasuki
rongga rahim, riwayat seksio sesarea lebih dari sama dengan 3 kali. Persalinan
pervaginam dikontraindikasikan setelah seksio sesarea klasik dikarenakan luka
operasi seksio sesarea klasik lebih mudah mengalami ruptur selama persalinan
ataupun dapat pecah sebelum permulaan persalinan dengan konsekuensi yang
mengancam jiwa. Ibu dengan insisi uterus sebelumnya selain insisi seksio sesarea
transversal rendah tanpa komplikasi yang ingin mempertimbangkan persalinan
pervaginam harus dinilai oleh konsultan dengan akses penuh ke rincian operasi
sebelumnya24
2.5. Hepatitis
2.5.1 Definisi
34
Virus hepatitis B adalah virus nonsitopatik, yang berarti virus tersebut tidak
menyebabkan kerusakan langsung pada sel hepar. Sebaliknya, adalah reaksi yang
bersifat menyerang sistem kekebalan tubuh yang biasanya menyebabkan radang
dan kerusakan padahepar.26
2.5.2. Epidemiologi
Virus Hepatitis B (VHB) telah menginfeksi 2 milyar orang di dunia, 240
juta di antaranya menjadi hepatitis B kronik; sebanyak 1,5 juta penduduk
meninggal dunia setiap tahun karena hepatitis.Prevalensi infeksi virus hepatitis B
di Indonesia berkisar 8,5% sampai 36%. Hasil pemeriksaan HBsAg yang
dilakukan pada tahun 2018 ditemukan 13% sampel yang positif hepatitis B dan
pemeriksaan Anti-HBs menemukan 15% sampel positif memiliki antibodi
terhadap hepatitis B. Menurut hasil Riskesdas tahun 2018 hasil pemeriksaan
sampel biomedis, dari 10.391 sampel yang diperiksa, prevalensi HbsAg positif
sebanyak 8,4% yang berarti diantara 9 orang penduduk Indonesia, terdapat satu
orang yang positif menderita hepatitis B.
2.5.3. Patofisiologi
Hepatitis B disebabkan oleh virus hepatitis B (VHB). Virus ini pertama
kali ditemukan oleh Blumberg pacta tahun 1965 dan di kenal dengan nama
antigen Australia. Virus ini termasuk DNA virus. 13 Virus hepatitis B berupa
partikel dua lapis berukuran 42 nm yang disebut "Partikel Dane". Lapisan luar
terdiri atas antigen HBsAg yang membungkus partikel inti (core). Pada inti
terdapat DNA VHB Polimerase. Pada partikel inti terdapat Hepatitis B core
antigen (HBcAg) dan Hepatitis B e antigen (HBeAg).
Infeksi VHB merupakan proses dinamis yang melibatkan interaksi antara
virus, hepatosit dan sistem imun pasien. Infeksi VHB pada dewasa muda yang
imunotoleran umumnya menyebabkan hepatitis B akut (>90%) dan hanya 1%
yang menjadi infeksi kronis. Namun sebaliknya, 90% infeksi VHB secara
perinatal akan menyebabkan bayi lahir dengan infeksi VHB kronis yang bersifat
asimtomatis dikemudian hari.
Masa inkubasi VHB rata-rata 75 hari (rentang 30-180 hari). Pada infeksi
VHB akut, penanda HbsAg serum baru dapat terdeteksi 30-60 hari pasca infeksi
35
VHB. Kenaikan kadar HbsAg serum akan diikuti dengan peningkatan enzim
aminotransferase dan munculnya gejala klinis (ikterik) pada 2-6 minggu
setelahnya. Penanda HbsAg jarang terdeteksi 1-2 bulan setelah awitan ikterus dan
jarang menetap hingga 6 bulan. Hepatitis B akut pada umumnya sembuh secara
spontan dan membentuk antibodi secara alami, ditandai dengan anti-HBs positif,
igG anti-HBc positif, dan anti-Hbe positif.
Pada kasus infeksi VHB kronis, HbsAg ditemukan menetap minimal
selama 6 bulan. Hingga saat ini, infeksi VHB kronis tidak dapat dieradikasi
sepenuhnya karena adanya molekul covalently closed circular DNA (cccDNA)
yang permanen didalam nukleus hepatosit terinfeksi. HVB juga memiliki enzim
reverse transcriptase untuk replikasi sehingga untaian genom VHB dapat
menyatu dengan DNA hepatosit, yang kemudian berpotensi menyebabkan
transformasi karsinogenik. Perjalanan alami infeksi VHB kronis dapat dibagi
menjadi 4 tahapan, yaitu fase imunotoleransi, fase imunoaktif atau immune
clearance, pengidap inaktif (inactive carrier) serta fase reaktivasi. Fase ini sangat
penting dalam inisiasi dan penghentian terapi.
36
c. Penetrasi jaringan (perkutan) atau permukosa : Tertusuk jarum, penggunaan
ulang peralatan medi yang terkontaminasi, penggunaan bersama pisau
cukur dan silet, tato, akuunktur, tindik, penggunaan sikat gigibersama.
d. Transmisi maternal-neonatal,maternal-infant.
37
2. Terjadinya infeksi akut pada trimester III
3. Pada partus memanjang yaitu lebih dari 9jam
Sedangkan ± 90 % janin yang terinfeksi akan menjadi kronis dan
mempunyai resiko kematian akibat sirosis atau kanker hati sebesar 15-25 % pada
usia dewasa nantinya. Infeksi VHB tidak menunjukkan efek teratogenik tapi
mengakibatkan insiden Berat Badan Lahir Rendah ( BBLR ) dan Prematuritas
yang lebih tinggi diantara ibu hamil yang terkena infeksi akut selama kehamilan.
Dalam suatu studi pada infeksi hepatitis akut pada ibu hamil (tipe B atau non B)
menunjukkan tidak ada pengaruh terhadap kejadian malformasi kongenital, lahir
mati atau stillbirth, abortus, ataupun malnutrisi intrauterine. Pada wanita dengan
karier VHB tidak akan mempengaruhi janinnya, tapi bayi dapat terinfeksi pada
saat persalinan (baik pervaginam maupun perabdominan) atau melalui ASI atau
kontak dengan karier pada tahun pertama dan kedua kehidupannya.Pada bayi
yang tidak divaksinasi dengan ibu karier mempunyai kesempatan sampai 40 %
terinfeksi VHB selama 18 bulan pertama kehidupannya dan sampai 40 %
menjadi karier jangka panjang dengan resiko sirosis dan kanker hepar
dikemudianharinya.29
VHB dapat melalui ASI sehingga wanita yang karier dianjurkan
mendapat Imunoglobulin hepatitis B sebelum bayinya disusui. Penelitian yang
dilakukan Hill JB,dkk di USA mengenai resiko transmisi VHB melalui ASI pada
ibu penderita kronis-karier menghasilkan kesimpulan dengan imunoprofilaksis
yang tepat termasuk Ig hepatitis B dengan vaksin VHB akan menurunkan resiko
penularan. Sedangkan penelitian WangJS, dkk mengenai resiko dan kegagalan
imunoprofilaksis pada wanita karier yang menyusui bayinya menghasilkan
kesimpulan tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara ASI dengan susu
botol. Hal ini mengindikasikan bahwa ASI tidak mempunyai pengaruh negatif
dalam merespon anti HBs.Sedangkan transmisi VHB dari bayi ke bayi selama
perawatan sangat rendah.
Ibu hamil yang karier VHB dianjurkan untuk memberikan bayinya
Imunoglobulin Hepatitis B (HBIg) sesegera mungkin setelah lahir dalam waktu
12 jam sebelum disusui untuk pertama kalinya dan sebaiknya vaksinasi VHB
diberikan dalam 7 hari setelah lahir. Imunoglobulin merupakan produk darah
38
yang diambil dari darah donor yang memberikan imunitas sementara terhadap
VHB sampai vaksinasi VHB memberikan efek. Vaksin hepatitis B kedua
diberikan sekitar 1 bulan kemudian dan vaksinasi ketiga setelah 6 bulan dari
vaksinasi pertama. Penelitian yang dilakukan Lee SD, dkk mengenai peranan
Seksio Sesarea dalam mencegah transmisi VHB dari ibu kejanin menghasilkan
kesimpulan bahwa SC yang dikombinasikan dengan imunisasi Hepatitis B
dianjurkan pada bayi yang ibunya penderita kronis-karier HbsAg dengan level
atau titer DNA-VHB serum yang tinggi.27
Tes hepatitis B terhadap HBsAg dianjurkan pada semua wanita hamil
pada saat kunjungan antenatal pertama atau pada wanita yang akan melahirkan
tapi belum pernah diperiksa HbsAg-nya. Lebih dari 90 % wanita ditemukan
HbsAg positif pada skreening rutin yang menjadi karier VHB. Tetapi
pemeriksaan rutin wanita hamil tua untuk skreening tidak dianjurkan kecuali
pada kasus-kasus tertentu seperti pernah menderita hepatitis akut, riwayat
tereksposure dengan hepatitis, atau mempunyai kebiasaan yang beresiko tinggi
untuk tertular seperti penyalahgunaan obat-obatan parenteral selama hamil, maka
test HbsAg dapat dilakukan pada trimester III kehamilan. HbsAg yang positif
tanpa IgM anti HBc menunjukkan infeksi kronis sehingga bayinya harus
mendapat HBIg dan vaksin VHB.28
2.5.8 Pencegahan
Pencegahan penularan VHB dapat dilakukan dengan melakukan aktifitas
seksual yang aman, tidak menggunakan bersama obat-obatan yang
mempergunakan alat seperti jarum, siringe, filter, spons, air dan tourniquet, dsb,
tidak memakai bersama alat-alat yang bisa terkontaminasi darah seperti sikat
gigi, gunting kuku, dsb, memakai pengaman waktu kerja kontak dengan darah,
dan melakukan vaksinasi untuk mencegah penularan. 28Profilaksis pada wanita
hamil yang telah tereksposure dan rentan terinfeksi adalah 27,28 :
1. Ketika kontak seksual dengan penderita hepatitis B terjadi dalam 14hari
Berikan vaksin VHB kedalam m.deltoideus. Tersedia 2 monovalen vaksin
VHB untuk imunisasi pre-post eksposure yaitu Recombivax HB dan
Engerix-B. Dosis HBIg yang diberikan 0,06 ml/kgBB IM pada lengan
kontralateral.
39
Untuk profilaksis setelah tereksposure melalui perkutan atau luka mukosa,
dosis kedua HBIg dapat diberikan 1 bulan kemudian.
2. Ketika tereksposure dengan penderita kronis VHB
Pada kontak seksual, jarum suntik dan kontak nonseksual dalam rumah
dengan penderita kronis VHB dapat diberikan profilaksis post eksposure
dengan vaksin hepatitis B dengan dosistunggal.Wanita hamil dengan karier
VHB dianjurkan memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
Tidak mengkonsumsi alkohol dan obat-obatan hepatotoksik seperti
asetaminophen
Jangan mendonorkan darah, organ tubuh, jaringan tubuh lain atausemen
40
3.1. Apakah diagnosis kasus pada pasien sudah tepat?
Diagnosis pasien ini ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis didapatkan bahwa pasien datang
dengan keluhan perut mules menjalar ke pinggang hilang timbul (+) sejak ±13
jam sebelum masuk rumah sakit, pasien juga mengeluhkan keluar lendir darah
(+), kemudian pasien meraskan kontraksi pada 1 hari sebelum rumah sakit
sebanyak 1x/10’/40’’, kemudian 9 jam sebelum masuk rumah sakit pasien
merasakan kontraksi terjadi lagi sebanyak 6 menit sekali selama 60 detik, dan
semakin meningkat selama 10 menit terjadi 3x kontraksi, serta usia kehamilan 36-
37 minggu, sehingga hal tersebut termasuk dalam kriteria diagnosis PPI. Pada
anamnesis juga didapatkan pada usia kehamilan 7 bulan, pasien mengaku pernah
jatuh terpleset, pasien juga mengaku mengalami stres psikis karena riwayat SC
sebelumnya mengalami kegagalan injeksi spinal, sehingga membuat kedua kaki
pasien tidak dapat digerakkan beberapa jam setelah operasi. Hal tersebut dapat
menjadi faktor risiko PPI seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Pasien juga
mengalami oligohidroamnion, ditegakkan berdasarkan hasil USG berdasarkan
nilai AFI, dan pasien didiagnosis hepatitis berdasarkan hasil pemeriksaan
penunjang berupa HBSAg (+)
41
Pemantauan tanda vital ibu untuk mengetahui kondisi ibu atau keadaan yang
dapat mengancam nyawa ibu seperti terjadinya infeksi.
Pada hari kedua dirawat diberikan inj.broadchet yang mengandung
ceftriaxone disodium dan merupakan antibiotik sefalosporin yang bekerja
dengan cara membunuh dan menghambat bakteri penyebab infeksi, digunakan
untuk mencegah infeksi pada saat operasi. Pasien juga direncanakan untuk
dilakukan operasi SC dan sudah adanya tanda-tanda inpartu, lalu didiukung
dengan riwayat pasien sebelumnya memiliki riwayat SC 1X dengan
oligohidroamnion. Tindakan SC dilakukan sudah tepat, karena pasien pernah
memiliki riwayat SC sebelumnya yang merupakan indikasi relatif, akan tetapi
bukan indikasi mutlak. Kemudian, jika dilahirkan pervaginam pada pasien ini
juga bisa karena scor VBAC adalah 5, yang artinya keberhasilan untuk
dilakukan persalinan pervaginam isalah 77-79%. Akan tetapi, karena pasien
terdiagnosa hepatitis, maka untuk mengurangi atau menurunkan risiko
penularan pada bayi, maka lebih baik dilakukan tindakan SC pada pasien, serta
pasien mermiliki kondisi oligohidroamnion, sehingga untuk mencegah
komplikasi dari oligohidroamnion maka dilakukan SC. Skor VBAC pada
pasien:
No Karakteristik Skor
1 Usia<40 tahun 2
2 Riwayat persalinan pervaginam
- Sebelum dan sesudah seksio sesarea 4
- Persalinan pervaginam sesudah seksio sesarea 2
- Persalinan pervaginam sebelum seksio sesarea 1
- Tidak ada 0
3 Indikasi seksio sebelumnya bukan kegagalan kemajuan 1
persalinan
4 Pendataran dan penipisan serviks saat tiba di RS dalam
keadaan inpartu
- 75 % 2
42
- 25-75 % 1
- < 25 % 0
5 Dilatasi serviks ≥ 4cm 1
BABIV. KESIMPULAN
43
Kesimpulan pada kasus ini sebagai berikut :
1. Diagnosis pada kasus ini, G2P1A0 Hamil 36-37 Minggu + riw. SC 1x
dengan Partus Prematurus Imminens Janin Tunggal Hidup Presentasi
Kepala + HBSAg (+) sudah tepat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang.
2. Penatalaksanaan awal pada kasus ini sudah tepat yakni terutama mencegah
morbiditas dan mortalitas neonatus preterm adalah menghambat proses
persalinan preterm dengan pemberian tokolisis, pematangan surfaktan
paru janin dengan kortikosteroid, serta pemberian antibiotik sebagai
pencegahan terhadap infeksi
3.
44
DAFTAR PUSTAKA
45
11. Siswosudarmo R, Emilia O. Obstetri fisiologi. Bagian obstetri & ginekologi
fakultas kedokteran UGM. Pustaka cendikia. 2008 ; 38-39
12. Bachhav AA, Waikar M. Low amniotic fluid index at term as a predictor of
adverse perinatal outcome. J Obstet Gynaecol India. 2014;64(2):120-123.
13. Khumaira, M. Ilmu kebidanan. Yogyakarta: Citra Pustaka. 2012.
14. Carter BS, Beyond RL. Polygidramnios and Oligohydramnios. Medscape.
2017
15. Leveno, Kenneth J. 2009. Obstetri Williams: Panduan Ringkas Edisi 21.
Jakarta: EGC.
16. Marmi., dkk. Asuhan Kebidanan Patologi. Yogyakarta : Pustaka Belajar.
2011
17. Rukiyah, A. Y, dan L. Yulianti. Asuhan Kebidanan 4 Patologi Edisi
Revisi.Jakarta : TIM. 2010
18. Hesson A, Langen E. Outcomes in oligohydramnios: the role of etiology in
predicting pulmonary morbidity/mortality. J Perinat Med. 2018 Oct
25;46(8):948-950
19. Manuaba. Ilmu Kebidanan Dan Keluarga Berencana Untuk Pendidikan
Bidan. Jakarta:EGC. 2012.
20. Tsvieli O, Sergienko R, Sheiner E. Risk factors and perinatal outcome of
pregnancies complicated with cephalopelvic disproportion: a population-
based study. Arch Gynecol Obstet. 2012; 285:931–936.
21. Norman, F. Dasar-dasar Genologi dan Obsetri. Jakarta: EGC; 2012.
22. Manuaba, I.C., Manuaba, I.B.F., & Manuaba, I.B.G. (2009). Buku Ajar
Patologi Obstetri, EGC, Jakarta
23. Sung S, Mahdy H. Cesarean Section. [Updated 2022 Apr 21]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan-. Available
from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK546707/
24. Habak PJ, Kole M. Vaginal Birth After Cesarean Delivery. [Updated 2022
Jul 19]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing;
2022 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK507844/
46
25. Talaulikar VS, Arulkumaran S. Vaginal birth after caesarean section. Obstet
Gynaecol Reprod Med [Internet]. 2015;25(7):195–202. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.ogrm.2015.04.005
26. Sahu, Rajshree & Chaudhary, Naimaa & Sharma, Asha. (2018). Prediction
of successful vaginal birth after caesarean section based on Flamm and
Geiger scoring system a prospective observational study. International
Journal of Reproduction, Contraception, Obstetrics and Gynecology. 7.
3998. 10.18203/2320-1770.ijrcog20184118.
27. Olaitan AO. Prevalence of Hepatitis B Virus and Hepatitis C Virus in ante-
natal patients in Gwagwalada-Abuja, Nigeria. Nigeria: Deprtment of
Biological Sciences; 2010. p.48-50
28. Guidelines for the Prevention, Care and Treatment of Persons with Chronic
Hepatitis B Infection. World Health Organization.2015
29. Navabaksh B. Hepatitis B Virus Infection During Pregnancy : Transmission
and Prevention. Iran: Midle East Journal of Digestive Diseases; 2011. p. 92-
102.
30. Gerberding JL, Snider DE, Popovic T. A Comprehensive Immunization
Strategy to Eliminate Transmission of Hepatitis B Virus Infection in the
United States. Cent. Dis. Control Prev.2005;54
47