Anda di halaman 1dari 34

Laporan Kasus

G3P2A0 Hamil 35 Minggu Belum Inpartu Janin Tunggal Hidup


Presentasi Kepala dengan Gawat Janin

Disusun Oleh:
Ririn Puspasari, S.Ked.
H1AP14060

Pembimbing:
dr. Dian Difla Riana, Sp.OG.

DEPARTEMEN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BENGKULU
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. M YUNUS BENGKULU
2020
LEMBAR PENGESAHAN

Nama NPM : Ririn Puspasari


NPM : H1AP14020
Fakultas : Kedokteran
Judul : G3P2A0 Hamil 35 Minggu Belum Inpartu Janin Tunggal
Hidup Presentasi Kepala dengan Gawat Janin
Bagian : Bagian Obstetri dan Ginekologi
Pembimbing : dr. Dian Difla Riana, Sp.OG

Bengkulu, November 2020


Pembimbing

dr. Dian Difla Riana, Sp.OG

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat
dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini.
Laporan kasus ini disusun untuk memenuhi salah satu komponen penilaian
Kepaniteraan Klinik di Bagian Obstertri dan Ginekologi RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu,
Fakultas Kedokteran Universitas Bengkulu, Bengkulu.
Pada kesempatan ini Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. dr. Dian Difla Riana, Sp.OG. sebagai pembimbing yang telah bersedia
meluangkan waktu dan telah memberikan masukan-masukan, petunjuk serta
bantuan dalam penyusunan tugas ini.
2. Teman–teman yang telah memberikan bantuan baik material maupun spiritual
kepada penulis dalam menyusun laporan kasus ini.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam laporan kasus ini, maka
penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak. Penulis sangat berharap
agar laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi semua.

Bengkulu, November 2020

Penulis

3
DAFTAR ISI

1.7 Hasil Observasi…………………………………………………………….10

4
BAB I LAPORAN KASUS

1.1 Anamnesis
a. Identitas Pasien
Nama : Ny.M
No. Rekam Medik : 830378
Umur : 26 tahun
Suku Bangsa : Bengkulu
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : IRT
Alamat : Desa Sukarami, Taba Penanjung, Bengkulu
Tengah
MRS : 13 Oktober 2020 Pukul 16.00 WIB

b. Riwayat Perkawinan
Kawin 2 kali, lamanya 2 tahun.

c. Riwayat Reproduksi
Menarche : 12 tahun
Siklus haid : 28 hari
Lama haid : 5-7 hari
Banyaknya : 2x ganti pembalut /hari
HPHT : 10 Februari 2020

d. Riwayat Kontrasepsi
KB suntik 3 bulan.

e. Riwayat Kehamilan/Melahirkan
Tgl.bln/thn/ Jenis Tempat Umur penolong BB lahir Hidup/ Jenis

5
partus persalinan partus hamil mati Kelamin
1. 28/08/2005 spontan Rumah Aterm Bidan 4000gr Hidup Perempuan
2. 09/07/2007 Spontan Rumah Aterm Bidan 3.800 gr Hidup Perempuan
3. Hamil ini

f. Riwayat Antenatal Care


Selama kehamilan pasien memeriksakan kehamilan sebanyak 4 kali di
bidan.

g. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat Hipertensi : Disangkal
Riwayat Hepatitis : Disangkal
Riwayat DM : Disangkal
Riwayat Penyakit Jantung : Disangkal
Riwayat Operasi : Disangkal

h. Riwayat Gizi dan Sosial Ekonomi


Baik, BMI 23,4

i. Anamnesis Khusus
Keluhan utama : Hamil kurang bulan dengan keluar darah dari
kemaluan
Riwayat perjalanan penyakit :
Pasien hamil kurang bulan berdasarkan HPHT 35 minggu (10
Februari 2020) datang ke IGD RSUD M.Yunus diantar oleh bidan
dengan keluhan keluar darah dari kemaluan sejak ± 5 jam SMRS, perut
mules-mules (-), keluar air-air (-). 2 hari yang lalu pasien USG dengan
dokter Obgyn di ketahui hamil dengan suspect plasenta previa.

1.2 Pemeriksaan Fisik


a. Status Present
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Composmentis
Berat Badan : 60 kg

6
Tinggi Badan : 160 cm
Tekanan Darah : 120/70 mmHg
Nadi : 87 x/menit
Pernafasan : 18 x/menit
Suhu : 36,8 oC

Keadaan Umum
Kepala : Normocephali
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Leher : Tekanan vena jugularis tidak meningkat
Thoraks : Jantung dan paru dalam batas normal
Abdomen : Status obstetri
Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2”, edema (+)

b. Pemeriksaan Obstetri
Pemeriksaan obstetri tanggal 13 Oktober 2020, pukul 16:30 WIB
didapatkan hasil sebagai berikut
Pemeriksaan Luar : FUT Pertengahan antara umbilicus dan proccessus
xyphoideus (26 cm), memanjang, punggung kanan,
kepala u 5/5, His (-), DJJ: 129 x/menit , TBJ: 2.015
gram
Inspekulo : Tidak dilakukan
Vaginal Toucher : Portio lunak, posterior, eff 0%, Ø kuncup, ketuban dan
penunjuk belum dapat dinilai

1.3 Pemeriksaan Penunjang


Laboratorium
 Pemeriksaan darah (13 Oktober 2020), pukul 15.11 WIB
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Hemoglobin 10,6 gr/dl 12-16 gr/dl
Hematokrit 33% 40-54%
Trombosit 216.000 g/dl 150.000-450.000 g/dl
Leukosit 8.500 /mm3 4.000-11.000 /mm3
GDS 79 mg/dl 70-120 mg/dl
HbsAg Non reaktif Non reaktif
HIV Non reaktif Non reaktif

7
Rapid Covid-19 Non reaktif Non reaktif

USG
 Pemeriksaan USG (13 oktober 2020), pukul 19.00 WIB
Kesan : Hamil 35 minggu, plasenta letak normal, bagian teratas
bokong, punggung janin berada disebelah kanan ibu, bagian
terbawah kepala, DJJ:118x/menit

 Pemeriksaan darah (14 Oktober 2020), pukul 12.26 WIB


Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Hemoglobin 11,9 gr/dl 12.16r/dl

1.4 Diagnosis Kerja


G3P2A0 Hamil 35 Minggu Belum Inpartu Janin Tunggal Hidup Presentasi
Kepala dengan gawat janin.

1.5 Penatalaksanaan
- Observasi TVI, KU, DJJ, tanda-tanda inpartu
- Cek labor darah rutin, kimia darah, cross match
- IVFD RL 20 tpm
- Injeksi ceftriaxon 2x1 gr (iv)
- Injeksi Dexamethason 1x12 mg (iv)
1.6 Prognosis
Ibu: dubia
Janin: dubia
1.7 Hasil obsevasi
13 Oktober O/ Status Present S/ Hamil kurang bulan dengan
2020 KU : Tampak sakit sedang keluhan keluar darah dari vagina
19.40 WIB Kesadaran : Compos mentis
TD : 110/75 mmHg A/ G3P2A0 hamil 35 minggu

8
Nadi : 64 x/menit belum inpartu janin tunggal hidup
RR : 20 x/menit presentasi kepala dengan gawat
Suhu : 36,5 0 C janin.
St. Obs :
P/
PL : FUT 3 jbpx (26 cm),
- Observasi TVI, Perdarahan.
memanjang, punggung kanan,
- Cek labor darah rutin, kimia
kepala, u 5/5, His (-), DJJ: 118
darah, cross match
x/menit , TBJ: 2.015 gram
- IVFD RL xx tetes per menit
- Injeksi ceftriaxon 2x1 gr (iv)
VT : Pemeriksaan dalam
- Injeksi Dexamethason 1x12 mg
(VT): Portio lunak, posterior,
(iv)
eff 0%, Ø kuncup, H-I, ketuban
dan penunjuk belum dapat Rencana SC cito besok pagi pukul
dinilai. 07.15 WIB

1.8 Laporan Operasi


Tanggal 14 Oktober 2020
Laporan Operasi

PUKUL 07.15 WIB Operasi dimulai

PUKUL 07.25 WIB Lahir Neonatus Hidup laki-laki BBL 2.100 gram PB
43 cm, LK/LD 30/29 cm A/S 8/9 FT AGA

PUKUL 07.35 WIB Plasenta lahir lengkap

PUKUL 08.15 WIB Operasi selesai

Diagnosis Post op :
P3A0 Post SC 1x a.i Gawat Janin
Instruksi post operasi:

9
 Observasi tanda vital ibu, kontraksi, perdarahan.
 IVFD RL gtt xx/menit + drip oksitosin 20 IU gtt xx/menit selama 24 jam
post op
 Kateter menetap 24 jam
 Cek hb post op
 Inj. Ceftriaxone 2x1 gr I.V
 Inj. Asam tranexamate 3x500 mg iv
 Inj. Santagesic 3x500mg I.V

1.9 Follow Up
15 Oktober 2020 O/ Status Present S/ nyeri luka operasi (+)
07.00 WIB KU : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis A/ P3A0 Post SC 1x a.i. gawat
TD : 118/68 mmHg janin
Nadi : 64 x/menit
RR : 20 x/menit
Suhu : 36,5 0 C

St. Obs : P/
PL: abdomen cembung, lemas, - Observasi TVI, Perdarahan.
simetris, FUT 2 jbpst, - IVFD RL + drip oksitosin 20 IU
kontraksi baik, perdarahan tak gtt xx/menit selama 24 jam post
aktif , lokia (+) rubra, vulva op
dan vagina tenang. Tampak - Inj. Ceftriaxone 2x1 gr I.V
luka operasi tertutup perban - Inj. Asam tranexamate 3x500
dan kering mg iv
- Inj. Santagesic 3x500mg I.V
Hb post op : 11,9 gr/dL - Aff DC

16 Oktober 2020 O/ S/ nyeri luka operasi (+)


07.00 WIB KU : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis A/ P3A0 Post SC 1 x a.i. gawat
TD : 120/70 mmHg janin
Nadi : 70 x/menit
RR : 20 x/menit P/
Suhu : 36,6 0 C - Observasi TVI, Perdarahan.

10
St. Obs : - IVFD RL gtt xx/mnt
PL: abdomen cembung, lemas, - Inj. Ceftriaxone 1 x 1gr i.v
simetris, FUT 2 jbpst, - Inj As. Tranexamat 3 x 250mg
kontraksi baik, perdarahan tak i.v
aktif , lokia (+) rubra, vulva - Inj. Santagesic 3 x 500 mg i.v
dan vagina tenang. Tampak - Aff infus
luka operasi tertutup perban - GV
dan kering Keadaan umum pasien baik,
pasien boleh pulang
Obat pulang :
- Ciprofloxacin 2 x 500mg tab p.o
- Asam mefenamat 3 x 500mg tab
p.o
- Dopamet 3x500 mg tab p.o

11
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Prematuritas
2.1.1 Definisi
Partus prematurus atau persalinan prematur juga diartikan sebagai
dimulainya kontraksi uterus yang teratur disertai pendataran dan atau dilatasi
serviks serta turunnya bayi pada wanita hamil yang lama kehamilannya kurang
dari 37 minggu (kurang dari 259 hari) dari hari pertama haid terakhir. Himpunan
Kedokteran Fetomaternal (POGI) di Semarang menetapkan bahwa persalinan
preterm adalah persalinan yang terjadi pada usia kehamilan 22 – 37 minggu
(Cunningham, 2010).
2.1.2 Etiologi
1) Indikasi Medis dan Obstetris
Preeklampsia, distress janin, kecil masa kehamilan, dan solusio plasenta
merupakan indikasi paling umum atas intervensi medis yang mengakibatkan
persalinan preterm. Penyebab lain yang kurang umum adalah hipertensi kronik,
plasenta previa, perdarahan tanpa sebab yang jelas, diabetes, penyakit ginjal,
isoimunisasi RH, dan malformasi kongenital (Cunningham, 2010).
2) Ketuban Pecah Dini Preterm
Didefinisikan sebagai pecahnya ketuban sebelum persalinan dan sebelum usia
kehamilan 37 minggu, ketuban pecah dini prematur dapat disebabkan oleh
beragam mekanisme patologis termasuk infeksi intraamnion (Cunningham,
2010).
3) Persalinan Kurang Bulan Spontan
Teori withdrawal progesteron menjelaskan bahwa semakin mendekati proses
persalinan sumbu adrenal janin menjadi lebih sensitif terhadap
adrenokortikotropik sehingga meningkatkan sekeresi kortisol. Kortisol janin
merangsang aktivitas 17-α hidroksidase plasenta sehingga mengurangi sekresi
progesteron dan meningkatkan produksi estrogen. Kondisi ini menyebabkan
peningkatan pembentukan prostaglandin yang memicu persalinan preterm
(Cunningham, 2010).

12
4) Infeksi Intra Uterin
Ada beberapa jalur yang dapat menyebabkan masuknya bakteri ke dalam
uterus. Bakteri dapat berasal dari migrasi dari kavum abdomen melalui
tubafallopi, infeksi dari jarum amnionsintesis yang terkontaminasi, secara
hematogen melalui plasenta, atau melalui serviks dari vagina (Cunningham,
2010).
5) Aktivasi Aksis Hipothalamic-Pituitary-Adrenal (HPA) Ibu dan Janin
Pada persalinan preterm aksis HPA ibu dapat mendorong ekspresi CRH
plasenta. CRH plasenta menstimulasi janin untuk mensekresi kortisol dan
dehydroepiandrosterone synthase (DHEA-S) melalui aktivasi aksis HPA janin dan
menstimulasi plasenta untuk mensisntesis estriol dan prostaglandin, sehingga
mempercepat persalinan preterm (Cunningham, 2010).
2.1.3 Diagnosis
Kriteria ancaman persalinan premature: (Cunningham, 2010).
1. Adanya kontraksi empat kali dalam 20 menit atau delapan kali dalam 60
menit ditambah perubahan progrresif pada leher Rahim
2. Dilatasi serviks lebih besar dari 1 cm
3. Pendataran serviks 80% atau lebih besar

2.2 Gawat Janin


2.2.1 Definisi dan Terminologi
Fetal Distress (Gawat janin) adalah gangguan pada janin dapat terjadi pada
masa antepartum atau intrapartum. Kegawatan janin antepartum menjadi nyata
dalam bentuk retardasi pertumbuhan intrauterin. Hipoksia janin peningkatan
tahanan vaskular pada pembuluh darah janin (Dastur et. al., 2005).
Gawat janin terjadi bila janin tidak menerima oksigen cukup, sehingga
mengalami hipoksia. Secara luas istilah gawat janin telah banyak dipergunakan,
tapi didefinisi istilah ini sangat miskin. Istilah ini biasanya menandakan
kekhawatiran obstetric tentang obstetric tentang keadaan janin, yang kemudian
berakhir dengan seksio secarea atau persalinan buatan lainnya (De Leeuw et. al.,
2007).

13
Keadaan janin biasanya dinilai dengan menghitung denyut jantung janin
(DJJ) dan memeriksa kemungkinan adanya mekonium didalam cairan amniom.
Sering dianggap DJJ yang abnormal, terutama bila ditemukan mekonium,
menandakan hipoksia dan asidosis. Akan tetapi, hal tersebut sering kali tidak
benarkan  . Misalnya, takikardi janin dapat disebabkan bukan hanya oleh hipoksia
dan asidosis, tapi juga oleh hipotemia, sekunder dari infeksi intra uterin (Huang
et. al., 2012).
Keadaan tersebut biasanya tidak berhubungan dengan hipoksia janin atau
asidosis. Sebaliknya, bila DJJ normal, adanya mekonium dalam cairan amnion
tidak berkaitan dengan meningkatnya insidensi asidosis janin. Untuk kepentingan
klinik perlu ditetapkan criteria apa yang dimaksud dengan gawat janin. Disebut
gawat janin bila ditemukan bila denyut jantung janin diatas 160x/menit atau
dibawah 100x/menit, denyut jantung tidak teratur, atau keluarnya mekonium yang
kental pada awal persalinan (Huang et. al., 2012).
2.2.2 Etiologi
Penyebab dari gawat janin yaitu (Rey et. al., 2015):
1. Insufisiensi uteroplasenter akut (kurangnya aliran darah uterus-plasenta
dalam waktu singkat) :
a) Aktivitas uterus yang berlebihan, hipertonik uterus, dapat dihubungkan
dengan pemberian oksitosin.
b) Hipotensi ibu, anestesi epidural,kompresi vena kava, posisi terlentang.
c) Solusio plasenta.
d) Plasenta previa dengan pendarahan.
2. Insufisiensi uteroplasenter kronik (kurangnya aliran darah uterus-plasenta
dalam waktu lama) :
a) Penyakit hipertensi
b) Diabetes mellitus
c) Postmaturitas atau imaturitas
3. Kompresi (penekanan) tali pusat
a) Oligihidramnion
b) Prolaps tali pusat

14
c) Puntiran tali pusat
4. Penurunan kemampuan janin membawa oksigen
a) Anemia berat misalnya isomunisasi , perdarahan fetomaternal
b) Kesejahteraan janin dalm persalinan asfiksia intrapartum dan komplikasi
c) Skor APGAR 0-3 selam > 5 menit
d) Sekuele neorologis neonatal
e) Disfungsi multi organ neonatal
f) PH arteri tali pusat 7,0
2.2.3 Patofisiologi
Ada beberapa proses atau tahapan terjadinya peristiwa Fetal Distress, antara
lain (Ayres et. al., 2015):
1. Perubahan pada kehamilan Postterm
Terjadi beberapa perubahan cairan amnion, plasenta dan janin pada
kehamilan postterm. Dengan mengetahui perubahan tersebut sebagai dasar untuk
mengelola persalinan postterm.
2. Perubahan cairan amnion
Terjadi perubahan kualitas dan kuantitas cairan amnion. Jumlah cairan
amnion mencapai puncak pada usia kehamilan 38 minggu sekitar 1000 ml dan
menurun sekitar 800 ml pada 40 minggu. Penurunan jumlah cairan amnion
berlangsung terus menjadi sekitar 480 ml , 250 ml, 160 ml pada usia kehamilan 42
dan 43 minggu.
Penurunan tersebut berhubungan dengan produksi urin janin yang
berkurang. Dilaporkan bahwa aliran darah janin menurun pada kehamilan
postterm dan menyebabkan oligohidramnion.
Selain perubahan volume terjadi pula perubahan komposisi cairan amnion
menjadi kental dan keruh. Hal ini terjadi karena lepasnya vernik kaseosa dan
komposisi phosphilipid. Dengan lepasnya sejumlah lamellar bodies dari paru-paru
janin dan perbandingan Lechitin terhadap Spingomielin menjadi 4 : 1 atau lebih
besar. Dengan adanya pengeluaran mekonium maka cairan amnion menjadi hijau
atau kuning.

15
Evaluasi volume cairan amnion sangat penting. Dilaporkan kematian
perinatal meningkat dengan adanya oligohidramnion yang menyebabkan
kompresi tali pusat. Keadaan ini menyebabkan fetal distress intra partum pada
persalinan postterm.
Untuk memperkirakan jumlah cairan amnion dapat di ukur dengan
pemeriksaan ultrasonografi. Metode empat kuadran sangat popular. Dengan
mengukur diameter vertikal dari kantung paling besar pada setiap kuadran. Hasil
penjumlahan 4 kuadran disebut Amniotic Fluid Index (AFI). Bila AFI kurang dari
5 cm indikasi oligrohidramnion. AFI 5 – 10 cm indikasi penurunan volume cairan
amnion. AFI 10 – 15 cm adalah normal. AFI 15 – 20 cm terjadi peningkatan
volume cairan amnion. AFI lebih dari 25 cm indikasi polihidramnion.
3. Perubahan pada plasenta
Plasenta sebagai perantara untuk suplai makanan dan tempat pertukaran
gas antara maternal dan fetal. Dengan bertambahnya umur kehamilan, maka
terjadi pula perubahan struktur plasenta.
Plasenta pada kehamilan postterm memperlihatkan pengurangan diameter
dan panjang villi chorialis. Perubahan ini secara bersamaan atau di dahului dengan
titik-titik penumpukan kalsium dan membentuk infark putih. Pada kehamilan
atterm terjadi infark 10 % - 25 % sedangkan pada postterm terjadi 60% - 80
%.   Timbunan kalsium pada kehamilan postterm meningkat sampai 10 g / 100 g
jaringan plasenta kering, sedangkan kehamilan atterm hanya 2 – 3 g / 100 g
jaringan plasenta kering.
Secara histologi plasenta pada kehamilan postterm meningkatkan infark
plasenta, kalsifikasi, thrombosis intervilosus, deposit fibrin perivillosus,
thrombosis arterial dan endarteritis arterial. Keadaan ini menurunkan fungsi
plasenta sebagai suplai makanan dan pertukaran gas. Hal ini menyebabkan
malnutrisi dan asfiksia.
Dengan pemeriksaan ultrasonografi dapat diketahui tingkat kematangan
plasenta. Pada kehamilan postterm terjadi perubahan sebagai berikut :
1. Piring korion
Lekukan garis batas piring korion mencapai daerah basal.

16
2. Jaringan plasenta
Berbentuk sirkuler, bebas gema di tengah, berasal dari satu
kotiledon ( ada darah dengan densitas gema tinggi dari proses
kalsifikasi, mungkin memberikan bayangan akustik ).
3. Lapisan basal
Daerah basal dengan gema kuat dan memberikan gambaran
bayangan akustik. Keadaan plasenta ini di kategorikan tingkat 3.
4. Perubahan pada janin
Sekitar 45 % janin yang tidak di lahirkan setelah hari perkiraan
lahir, terus berlanjut tumbuh dalam uterus. Ini terjadi bila plasenta
belum mengalami insufisiensi. Dengan penambahan berat badan
setiap minggu dapat terjadi berat lebih dari 4000 g. keadaan ini sering
disebut janin besar. Pada umur kehamilan 38 – 40 minggu insiden
janin besar sekitar 10 % dan 43 minggu sekitar 43 %.
Dengan keadaan janin tersebut meningkatkan resiko persalinan
traumatik. Janin postmatur mengalami penurunan jumlah lemak
subkutaneus, kulit menjadi keriput dan vernik kaseosa hilang. Hal ini
menyebabkan kulit janin berhubungan langsung dengan cairan
amnion. Perubahan lain yaitu : rambut panjang, kuku panjang, warna
kulit kehijauan atau kekuningan karena terpapar mekonium.
2.2.4 Komplikasi
Pada Kehamilan
Gawat janin dapat menyebabkan berakhirnya kehamilan karena pada gawat
janin, maka harus segera dikeluarkan. Gawat janin pada persalinan dapat
menyebabkan (Prawirohardjo, 2011):
1. Persalinan menjadi cepat karena pada gawat janin harus segera dikeluarkan.
2. Persalinan dengan tindakan, seperti ekstraksi cunam, ekstraksi forseps,
vakum ekstraksi, ataupun bahkan dapat diakhiri dengan tindakan sectio
saesarea (SC)

17
2.2.5 Gambaran Klinik
Gawat Janin dapat diketahui dari tanda-tanda sebagai berikut (Huang et. al.,
2012):
1. Frekwensi bunyi jantung janin kurang dari 120 x / menit atau lebih dari 160
x/menit.
2. Berkurangnya gerakan janin ( janin normal bergerak lebih dari 10 kali per
hari ).
3. Adanya air ketuban bercampur mekonium, warna kehijauan
Indikasi-indikasi dari kemungkinan gawat janin (Rey et. al., 2015):
a. Bradikardi, denyut jantung janin (+) yang kurang
dari 120 x/menit. 
b. Takikardi, akselerasi denyut jantung janin yang
memanjang lebih dari 160x/menit. Dapat dihubungkan dengan demam
ibu sekunder terhadap infeksi intrauteri. Prematuritas dan atropin juga
di hubungkan dengan denyut jantung dasar yang meningkat.
c. Variabililtas denyut jantung dasar yang menurun,
yang berarti depresi sistem syaraf anatomi janin untuk medikasi ibu
(atropin, skopopamin, diazepam, fenolbarbitas, magnesium dan
analgesic naikotik)
d. Pola deselerasi, deselerasi lanjut menunjukkan
hipoksia janin yang disebabkan oleh isufisiensi uteroplasma. Deselerasi
yang bervariasi tidak berhubungan dengan uterus adalah  lebih sering
dan muncul untuk menjalankan kompresi sementara waktu saja dari
pembuluh darah umbillikus. Peningkatan hipoksia janin adalah
deselerasi lanjut, penurunan variabilitas, bradikaria yang menetap dan
pola gelombang sinus.
2.2.6 Klasifikasi
Jenis gawat janin yaitu (Dastur et. al., 2005):
1. Gawat janin yang terjadi secara ilmiah
a. Gawat janin iatrogenic: Gawat janin iatrogenik adalah gawat janin
yang timbul akibat tindakan medik atau kelalaian penolong. Resiko

18
dari praktek yang dilakukan telah mengungkapkan patofisiologi gawat
janin iatrogenik akibat dari pengalaman pemantauan jantung janin.
b. Posisi tidur ibu: Posisi terlentang dapat menimbulkan tekanan pada
Aorta dan Vena Kava sehingga timbul Hipotensi. Oksigenisasi dapat
diperbaiki dengan perubahan posisi tidur menjadi miring ke kiri atau
semilateral.
c. Infus oksitosin: Bila kontraksi uterus menjadi hipertonik atau sangat
kerap, maka relaksasi uterus terganggu, yang berarti penyaluran arus
darah uterus mengalami kelainan. Hal ini disebut sebagai
Hiperstimulasi. Pengawasan kontraksi harus ditujukan agar kontraksi
dapat timbul seperti kontrkasi fisiologik.
d. Anestesi Epidural: Blokade sistem simpatik dapat mengakibatkan
penurunan arus darah vena, curah jantung dan penyuluhan darah
uterus. Obat anastesia epidural dapat menimbulkan kelainan pada
denyut jantung janin yaitu berupa penurunan variabilitas, bahkan
dapat terjadi deselerasi lambat. Diperkirakan ibat-obat tersebut
mempunyai pengaruh terhadap otot jantung janin dan vasokontriksi
arteri uterina.
2. Gawat janin sebelum persalinan
a. Gawat janin kronik: Dapat timbul setelah periode yang panjang
selama periode antenatal bila status fisiologi dari ibu-janin-plasenta
yang ideal dan normal terganggu.
b. Gawat janin akut: Suatu kejadian bencana yang tiba – tiba
mempengaruhi oksigenasijanin.
c. Gawat janin selama persalinan: Menunjukkan hipoksia janin tanpa
oksigenasi yang adekuat, denyut jantung janin kehilangan varibilitas
dasarnya dan menunjukkan deselerasi lanjut pada kontraksi uterus.
Bila hipoksia menetap, glikolisis anaerob menghasilkan asam laktat
dengan pH janin yang menurun.

19
2.2.7 Diagnosis
Diagnosis gawat janin saat persalinan didasarkan pada denyut jantung janin
yang abnormal. Diagnosis lebih pasti jika disertai air ketuban hijau dan
kental/sedikit. Perlu diperhatikan bahwa (Prawirohardjo, 2013):
1) DJJ normal dapat melambat sewaktu His dan segera kembali normal
setelah relaksasi
2) DJJ lambat (kurang dari 100 per menit) saat tidak ada his, menunjukan
adanya gawat janin
3) DJJ cepat (lebih dari 160 permenit) yang disertai takhikardi ibu bisa
karena ibu demam, efek obat, hipertensi, atau amnionitis. Jika denyut
jantung ibu normal denyut jantung janin yang cepat sebaiknya dianggap
sebagai tanda gawat janin
4) Adanya mekonium pada cairan amnion lebih sering terlihat saat janin
mencapai maturitas dan dengan sendirinya bukan merupakan tanda gawat
janin. Sedikit mekonium tanpa dibarengi dengan kelainan DJJ merupakan
suatu peringatan untuk pengawasan lebih lanjut.
5) Mekonim kental merupakan tanda pengeluaran mekonium pada cairan
amnion yang berkurang dan merupakan indikasi perlunya persalinan yang
lebih cepat dan penanganan mekonium pada saluran nafas atas neonatus
untuk mencegah aspirasi mekonium.
6) Pada presentasi sungsang, mekonium dikeluarkan pada saat persalinan
sebagai akibat kompresi abdomen janin pada saat persalinan. Hal ini
bukan merupakan tanda kegawatan kecuali jika hal ini terjadi pada awal
persalinan.
Asfiksia intrapartum dan komplikasi:
1. Skor Apgar 0-3 selama >/= 5 menit
2. Sekuele neurologis neonatal
3. Disfungsi multiorgan neonatal
4. pH arteri tali pusat 7,0

20
5. Defisit basa arteri tali pusat >/= 16 mmol/L

2.2.8 Penatalaksanaan
1. Penanganan umum (Dunn et. al., 2016):
a. Pasien dibaringkan miring ke kiri, agar sirkulasi janin dan pembawaan
oksigen dari obu ke janin lebih lancer.
b. Berikan oksigen sebagai antisipa si terjadinya hipoksia janin.
c. Hentikan infuse oksitosin jika sedang diberikan infuse oksitosin, karena
dapat mengakibatkan peningkatan kontraksi uterus yang berlanjut dan
meningkat dengan resiko hipoksis janin.
d. Jika sebab dari ibu diketahui (seperti demam, obat-obatan) mulailah
penanganan yang sesuai.
e. Jika sebab dari ibu tidak diketahui dan denyut jantung janin tetap abnormal
sepanjang paling sedikit 3 kontraksi, lakukan pemeriksaan dalam untuk
mencari penyebab gawat janin:
1) Bebaskan setiap kompresi tali pusat
2) Perbaiki aliran darah uteroplasenter
3) Menilai apakah persalinan dapat berlangsung normal atau kelahiran
segera merupakan indikasi.
Rencana kelahiran (pervaginam atau perabdominam) didasarkan pada
faktor-faktor etiologi, kondisi janin, riwayat obstetrik pasien dan jalannya
persalinan (Kohli et. al., 2017).
2. Penatalaksanaan Khusus
a. Posisikan ibu dalam keadaan miring sebagai usaha untuk membebaskan
kompresi aortokaval dan memperbaiki aliran darah balik, curah jantung
dan aliran darah uteroplasenter. Perubahan dalam posisi juga dapat
membebaskan kompresi tali pusat.
b. Oksigen diberikan melalui masker muka 6 liter permenit sebagai usaha
untuk meningkatkan pergantian oksigen fetomaternal.
c. Oksigen dihentikan, karena kontraksi uterus akan mengganggu curahan
darah ke ruang intervilli.

21
d. Hipotensi dikoreksi dengan infus intravena dekstrose 5 % berbanding
larutan laktat. Transfusi darah dapat di indikasikan pada syok hemoragik.
e. Pemeriksaan pervaginam menyingkirkan prolaps tali pusat dan
menentukan perjalanan persalinan.
f. Pengisapan mekonium dari jalan napas bayi baru lahir mengurangi risiko
aspirasi mekoneum. Segera setelah kepala bayi lahir, hidung dan mulut
dibersihkan dari mekoneum dengan kateter pengisap. Segera setelah
kelahiran, pita suara harus dilihat dengan laringoskopi langsung sebagai
usaha untuk menyingkirkan mekoneum dengan pipa endotrakeal (Abdul
Bari Saifuddin dkk, 2002)
3. Prinsip Umum :
a. Bebaskan setiap kompresi tali pusat
b. Perbaiki aliran darah uteroplasenter
c. Menilai apakah persalinan dapat berlangsung normal atau kelahiran segera
merupakan indikasi. Rencana kelahiran (pervaginam atau perabdominam)
didasarkan pada faktor-faktor etiologi, kondisi janin, riwayat obstetric
pasien dan jalannya persalinan.
4. Pengelolaan Antepartum
Dalam pengelolan antepartum diperhatikan tentang umur kehamilan.
Menentukan umur kehamilan dapat dengan menghitung dari tanggal
menstruasi terakhir, atau dari hasil pemeriksaan ultrasonografi pada
kehamilan 12-20 minggu. Pemeriksaan ultrasonografi pada kehamilan
postterm tidak akurat untuk menentukan umur kehamilan. Tetapi untuk
menentukan volume cairan amnion (AFI), ukuran janin, malformasi janin
dan tingkat kematangan plasenta.
Untuk menilai kesejahteraan janin dimulai dari umur kehamilan 40
minggu dengan pemeriksaan Non Stess Test (NST). Pemeriksaan ini untuk
menditeksi terjadinya insufisiensi plasenta tetapi tidak adekuat untuk
mendiagnosis oligohidramnion, atau memprediksi trauma janin.
Secara teori pemeriksaan profil biofisik janin lebih baik. Selain NST
juga menilai volume cairan amnion, gerakan nafas janin, tonus janin dan

22
gerakan janin. Pemeriksaan lain yaituOxytocin Challenge Test (OCT)
menilai kesejahteraan janin dengan serangkaian kejadian asidosis, hipoksia
janin dan deselerasi lambat.
Penilaian ini dikerjakan pada umur kehamilan 40 dan 41 minggu.
Setelah umur kehamilan 41 minggu pemeriksaan dikerjakan 2 kali
seminggu. Pemeriksaan tersebut juga untuk menentukan.
Penulis lain melaporkan bahwa kematian janin secara bermakna
meningkat mulai umur kehamilan 41 minggu. Oleh karena itu pemeriksaan
kesejahteraan janin dimulai dari umur kehamilan 41 minggu.
Pemeriksaan amniosintesis dapat dikerjakan untuk menentukan
adanya mekonium di dalam cairan amnion. Bila kental maka indikasi janin
segera dilahirkan dan memerlukan amnioinfusion untuk mengencerkan
mekonium.
Dilaporkan 92% wanita hamil 42 minggu mempunyai serviks tidak
matang dengan Bishop score kurang dari 7. Ditemukan 40% dari 3047
wanita dengan kehamilan 41 minggu mempunyai serviks tidak dilatasi.
Sebanyak 800 wanita hamil postterm diinduksi dan dievaluasi di Rumah
Sakit Parkland. Pada wanita dengan serviks tidak dilatasi, dua kali
meningkatkan seksio cesarea karena distosia.
5. Pengelolaan Intrapartum
Persalinan pada kehamilan postterm mempunyai risiko terjadi bahaya
pada janin. Sebelum menentukan jenis pengelolaan harus dipastikan adakah
disporposi kepala panggul, profil biofisik janin baik. Induksi kehamilan 42
minggu menjadi satu putusan bila serviks belum matang denganmonitoring
janin secara serial. Pilihan persalinan tergantung dari tanda adanya fetal
compromise. Bila tidak ada kelainan kehamilan 41 minggu atau lebih
dilakukan dua pengelolaan. Pengelolaan tersebut adalah induksi persalinan
dan monitoring janin. Dilakukan pemeriksaan pola denyut jantung janin.
Selama persalinan dapat terjadi fetal distress yang disebabkan kompresi
tali pusat oleh karena oligohidramnion. Fetal distress dimonitor dengan
memeriksa pola denyut jantung janin. Bila ditemukan variabel deselerasi, satu

23
atau lebih deselerasi yang panjang maka seksio cesarea segera dilakukan
karena janin dalam bahaya.
Bila cairan amnion kental dan terdapat mekonium maka kemungkinan
terjadi aspirasi sangat besar. Aspirasi mekonium dapat menyebabkan disfungsi
paru berat dan kematian janin. Keadaan ini dapat dikurangi tetapi tidak dapat
menghilangkan dengan penghisapan yang efektif pada faring setelah kepala lahir
dan sebelum dada lahir. Jika didapatkan mekonium, trakea harus diaspirasi segera
mungkin setelah lahir. Selanjutnya janin memerlukan ventilasi (Huang et. al.,
2012).

2.3 Seksio Sesarea


2.3.1 Definisi
Seksio sesarea adalah suatu persalinan buatan, dimana janin dilahirkan
melalui suatu insisi pada dinding perut dan dinding rahim dalam keadaan utuh
serta berat janin diatas 500 gram (Wiknjosastro, 2010).
Seksio sesarea merupakan salah satu tindakan operasi yang tertua dan
terpenting dalam bidang obstetri. Operasi ini bertujuan mengeluarkan janin
melalui suatu jalan yang dibuat pada dinding perut dan uterus. Tindakan ini
dilakukan untuk mencegah kematian janin maupun ibu sehubungan dengan
adanya bahaya atau komplikasi yang akan terjadi bila persalinan dilakukan
pervaginam (Hendler, 2004).
2.3.2 Epidemiologi
Sejak tahun 1985, international healthcare community telah menyetujui
nilai ideal untuk seksio sesarea adalah 10-15% dan mengatakan bahwa seksio
sesarea secara efektif dapat mencegah mortilitas dan morbiditas ibu dan janin.
Sejak saat itu seksio sesarea menjadi meningkat di Negara berkembang maupun
Negara maju dan memuncak pada tahun 2009 dengan angka 38,5%. Menurut para
ahli, seksio sesarea berhubungan dengan risiko jangka pendek maupun risiko
jangka panjang dimana dapat berakibat pada kesehetan ibu, janin dan kehamilan
selanjutnya (WHO, 2015). Journal of the American Medical Association

24
mengatakan bahwa pada tahun 2015 angka kejadian seksio sesarea berubah
menjadi 19% (Sandy et al., 2017).
Seksio sesarea di Indonesia hanya dilakukan atas dasar indikasi medis
tertentu dan kehamilan dengan komplikasi (Depkes, 2001). Hasil Riskesdas 2013
menunjukkan kelahiran bedah sesar di Indonesia sebesar 9,8 persen dengan
proporsi tertinggi di DKI Jakarta (19,9%) dan terendah di Sulawesi Tenggara
(3,3%) dan di Bengkulu sendiri angka kelahiran melalui sesar adalah 5,9-6,5%.

Gambar 5 Proporsi persalinan sesar dari kelahiram periode 1 Januari 2010-


2013 menurut provinsi, Indonesia (Riskesdas, 2013).

2.3.3 Klasifikasi
a. Seksio sesarea transperitoneal profunda, merupakan suatu pembedahan dengan
melakukan insisi pada segmen bawah uterus (Prawiroharjo, 2002). Hampir 99%
dari seluruh kasus seksio sesarea dalam praktek kedokteran dilakukan dengan
menggunakan teknik ini, karena memiliki beberapa keunggulan seperti
kesembuhan lebih baik, dan tidak banyak menimbulkan perlekatan. Adapun
kerugiannya adalah terdapat kesulitan dalam mengeluarkan janin sehingga
memungkinkan terjadinya perluasan luka insisi dan dapat menimbulkan
perdarahan (Manuaba, 1999). Arah insisi melintang (secara Kerr) dan insisi
memanjang (secara Kronig).

25
b. Seksio sesarea klasik (corporal), yaitu insisi pada segmen atas uterus atau
korpus uteri. Pembedahan ini dilakukan bila segmen bawah rahim tidak dapat
dicapai dengan aman (misalnya karena perlekatan yang erat pada vesika urinaria
akibat pembedahan sebelumnya atau terdapat mioma pada segmen bawah uterus
atau karsinoma serviks invasif), bayi besar dengan kelainan letak terutama jika
selaput ketuban sudah pecah (Charles, 2005). Teknik ini juga memiliki beberapa
kerugian yaitu, kesembuhan luka insisi relatif sulit, kemungkinan terjadinya
ruptur uteri pada kehamilan berikutnya dan kemungkinan terjadinya perlekatan
dengan dinding abdomen lebih besar (Manuaba, 1999).
c. Seksio sesarea yang disertai histerektomi, yaitu pengangkatan uterus setelah
seksio sesarea karena atoni uteri yang tidak dapat diatasi dengan tindakan lain,
pada uterus miomatousus yang besar dan atau banyak, atau pada ruptur uteri yang
tidak dapat diatasi dengan jahitan (Cunningham et al., 2009).
d. Seksio sesarea vaginal, yaitu pembedahan melalui dinding vagina anterior ke
dalam rongga uterus. Jenis seksio ini tidak lagi digunakan dalam praktek obstetri
(Charles, 2005).
e. Seksio sesarea ekstraperitoneal, yaitu seksio yang dilakukan tanpa insisi
peritoneum dengan mendorong lipatan peritoneum ke atas dan kandung kemih ke
bawah atau ke garis tengah.
2.3.4 Indikasi
Dalam persalinan ada beberapa faktor yang menentukan keberhasilan
suatu persalinan, yaitu passage (jalan lahir), passenger (janin), power (kekuatan
ibu), psikologi ibu dan penolong. Apabila terdapat gangguan pada salah satu
faktor tersebut akan mengakibatkan persalinan tidak berjalan dengan lancar
bahkan dapat menimbulkan komplikasi yang dapat membahayakan ibu dan janin
jika keadaan tersebut berlanjut (Manuaba, 1999).
Indikasi untuk seksio sesarea antara lain meliputi: (Wiknjosastro, 2010)
1. Indikasi Ibu
a. Usia.
b. Tulang panggul sempit.
c. Persalinan sebelumnya dengan seksio sesarea.

26
d. Faktor hambatan jalan lahir.
e. Kelainan kontraksi rahim.
f. Ketuban pecah dini.
g. Rasa takut kesakitan.
2. Indikasi Janin
a. Ancaman gawat janin (fetal distress).
b. Bayi besar (makrosemia).
c. Letak sungsang (presentasi bokong).
d. Faktor plasenta : plasenta previa, solution plasenta, plasenta accrete.
e. Kelainan tali pusat : prolapsus tali pusat, terlilit tali pusat.
Seksio sesarea dilakukan bila diyakini bahwa penundaan persalinan yang lebih
lama akan menimbulkan bahaya yang serius bagi janin, ibu atau bahkan
keduanya, atau bila persalinan pervaginam tidak mungkin dapat dilakukan dengan
aman. Berdasarkan laporan mengenai indikasi terbanyak di negara-negara maju
diperoleh hasil bahwa indikasi terbanyak untuk seksio sesarea adalah distosia
3,6%, diikuti oleh presentasi bokong 2,1%, gawat janin 2,0%, riwayat seksio
sesarea sebelumnya 1,4% dan lain-lain 3,7% dari 12,8% kasus seksio sesarea yang
terjadi (Cunningham et al., 2005).
Di negara-negara berkembang dilaporkan dari penelitian selama 15 tahun
terhadap indikasi seksio sesarea, ada empat faktor klinis utama yang menjadi
indikasi seksio sesarea yang tidak berubah, yakni gawat janin (22%), partus tidak
maju (20 %), seksio sesarea ulangan (14%), dan presentasi bokong (11 %). Alasan
kelima yang paling sering membuat tindakan seksio sesarea adalah permintaan ibu
(7%). Di RSUP H Adam Malik dan RS Dr Pirngadi Medan dilaporkan oleh
Mahdi (1997) bahwa kejadian seksio sesarea dengan indikasi terbanyak adalah
gawat janin (15,85%), dan diikuti oleh kelainan letak (13,94%), panggul sempit
(13,76%), dan plasenta previa (12,20 %).
2.3.5 Kontraindikasi
Seksio sesarea pada prinsipnya dilakukan untuk kepentingan ibu dan janin
namun pada umumnya seksio sesarea tidak dilakukan pada ibu dengan syok,
anemia berat belum diatasi, kelainan kongenital berat dan kelainan pembekuan

27
darah persalinan pervaginam lebih dianjurkan karena insisi yang ditimbulkan
dapat seminimal mungkin (Cunningham et al., 2009).
2.3.6 Komplikasi
Kelahiran sesarea bukan tanpa komplikasi, baik bagi ibu maupun janinnya
(Bobak, 2004). Morbiditas pada seksio sesarea lebih besar jika dibandingkan
dengan persalinan pervaginam. Ancaman utama bagi wanita yang menjalani
seksio sesarea berasal dari tindakan anastesi, keadaan sepsis yang berat, serangan
tromboemboli dan perlukaan pada traktus urinarius, infeksi pada luka (Manuaba,
2003).
Clark et al (2008) menemukan angka mortalitas ibu adalah 2,2 per 100.000
pelahiran Sesar. Hall dan Bewley (1999) di Inggris memperlihatkan bahwa
pelahiran Sesar darurat menyebabkan risiko kematian ibu hampir 9 kali lipat
daripada kelahiran pervaginam, bahkan kelahiran sesar elektif menyebabkan
risiko hampir tiga kali lipat.
Angka morbiditas ibu meningkat dua kali lipat pada kelahiran Sesar
dibandingkan dengan kelahiran pervaginam (Villar et al., 2007). Penyebab utama
yaitu infeksi nifas, perdarahan dan tromboemboli (Burrows et al., 2004).
Penelitian lain melaporkan bahwa riwayat kejadian laserasi kandung kemih akibat
seksio sesarea adalah 1,4 per 1000 tindakan Sesar dan insiden cedera ureter adalah
0,3 per 1000 tindakan Sesar. Walaupun cedera kandung kemih dapat segera
diketahui, diagnosis cedera ureter sering terlambat ditemukan (Rajasekar & Hall,
1997). Wanita dengan riwayat seksio sesarea mengalami kejadian ruptur uterus
yang lebih sering terjadi dibandingkan dengan kelahiran pervaginam (Spong et al.,
2007). Semua morbiditas ini dan meningkatnya angka pemulihan mennyebabkan
peningkatan biaya dua kali lipat pada pelahiran Sesar daripada pelahiran
pervaginam (Henderson et al., 2001).
2.3.7 Pertimbangan Pelahiran Sesar dan Persalinan Pervaginam
Riwayat seksio sesarea tidak harus selalu diikuti dengan tindakan seksio
sesarea pada persalinan berikutnya. Suatu persalinan ditetapkan sebagai
persalinan pervaginam pasca seksio sesarea apabila cara persalinan dinyatakan
sebagai persalinan pervaginam pasca seksio sesarea atau sebagai persalinan

28
pervaginam seksio sesarea dengan bantuan alat (misalnya persalinan yang dibantu
dengan forsep atau vakum).
Percobaan Persalinan Pervaginam pada Pasien Pernah Seksio (P4S) dapat
dilakukan pada sebagian besar wanita dengan insisi uterus transversal rendah dan
tidak ada kontraindikasi persalinan pervaginam. Kriteria seleksi pasien yang
mencoba Persalinan Pervaginam pada Pasien Pernah Seksio (P4S) atau Vaginal
Birth After Caesarea (VBAC) menurut American College of Obstetricians and
Gynecologists (ACOG), yaitu: (Cunningham et al., 2009) (Martel, 2005).
1. Satu kali riwayat seksio dengan insisi transversal rendah
2. Pelvis adekuat secara klinis
3. Tidak ada parut uterus lain atau riwayat ruptur uteri
4. Dokter mendampingi selama persalinan, dapat memonitor
persalinan dan melakukan seksio sesarea segera ( dalam waktu 30 menit )
5. Tersedianya dokter anastesi dan personil untuk melakukan seksio
sesarea segera.
Beberapa persyaratan lainnya antara lain : (Cunningham et al., 2009) (Martel,
2005).
1. Tidak ada indikasi seksio sesarea ( lintang, plasenta previa )
2. Terdapat catatan medik yang lengkap mengenai riwayat seksio sesarea
sebelumnya (operator, jenis insisi, komplikasi, lama perawatan).
3. Segera mungkin pasien dirawat di RS setelah persalinan mulai.
4. Tersedia darah untuk transfusi.
5. Janin presentasi verteks normal.
6. Pengawasan selama persalinan yang baik (personil, partograf, fasilitas)
7. Adanya fasilitas dan perawatan bila dibutuhkan seksio sesarea darurat.
8. Persetujuan tindak medik mengenai keuntungan maupun risikonya.
Sedangkan kontraindikasi P4S menurut ACOG : (Cunningham et al., 2009)
(Martel, 2005).
1. Riwayat insisi klasik atau T atau operasi uterus transfundal lainnya (termasuk
riwayat histerotomi, ruptura uteri, miomektomi ekstensif ).
2. Panggul sempit atau makrosomia

29
3. Komplikasi medis atau obstetri yang melarang persalinan pervaginam
4. Ketidakmampuan melaksanakan seksio sesarea segera karena tidak adanya
operator, anastesia, staf atau fasilitas.
Satu satunya sistem skoring yang memiliki nilai ketepatan yang cukup
baik adalah sistem skoring oleh Flamm yang merupakan hasil penelitian
prospektif multisenter.
Tabel 2.1 Sistem penilaian untuk memperkirakan keberhasilan P4S
modifikasi Flamm-Geiger adalah sebagai berikut : (Martel, 2004).
No Faktor Nilai
1 Umur
Dibawah 40 tahun 2
Diatas 40 tahun 1
2 Riwayat persalinan pervaginam :
Sebelum dan setelah seksio sesarea 4
Setelah seksio sesarea 2
Sebelum seksio sesarea 1
Belum pernah 0
3 Indikasi seksio sesarea pertama selain kegagalan 1
kemajuan persalinan
4 Nilai Bishop pada saat masuk rumah sakit
≥4 2
<3 1
5 Taksiran Berat Janin
Sekarang < dulu 2
Sekarang = dulu 1
Sekarang > dulu 0

Nilai 8-10: keberhasilan P4S 95 %


Nilal 4-7: keberhasilan P4S 78,8 %
Nilai 0-3: keberhasilan P4S 60,0%

30
BAB III PEMBAHASAN

3.1 Apakah Diagnosis Pasien Sudah Tepat?


Diagnosis pasien adalah G3P2A0 Hamil 35 Minggu Belum Inpartu Janin
Tunggal Hidup Presentasi Kepala dengan gawat janin. Diagnosis kerja pada kasus
ini sudah tepat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang yang telah dilakukan pada pasien
G3P2A0 menunjukkan pasien datang dengan keadaan sedang hamil anak
ketiga, riwayat abortus tidak ada, sedangkan hamil 35 minggu didapatkan dari
anamnesis pasien yang mengatakan Hari Pertama Haid Terakhir (HPHT) pasien
adalah tanggal 10 Februari 2020. Berdasarkan perhitungan HPHT, maka usia
kehamilan pasien saat masuk rumah sakit adalah 35 minggu. Usia kehamilan pada
pemeriksaan USG sesuai dengan HPHT.
Pasien pada kasus ini datang dalam keadaan belum inpartu karena dari
anamnesis pasien datang dengan adanya bloody show, namun belum ada his yang
teratur dan 6 bulan ada pembukaan serviks. belum menunjukkan tanda-tanda
inpartu, seperti his yang teratur, bloody show (lendir yang bercampur darah), dan
pembukaan serviks.
Pada pemeriksaan fisik leopold, didapatkan bagian terbawah janin adalah
kepala (presentasi kepala), yaitu teraba bagian bulat, besar dan keras.
Pada pemeriksaan dalam vaginal thoucher (VT) didapatkan portio teraba
lunak, posisi di bagian posterior, penipisan serviks 0%, pembukaa serviks kuncup,
serta ketuban dan penunjuk belum dapat dinilai.
Pada pemeriksaan denyut jantung janin (DJJ) didapatkan 118x/menit. pada
keadaan ini disebut gawat janin karena denyut jantung janin (DJJ) yang termasuk
gawat janin itu adalah kurang dari 120x/menit atau lebih dari 160x/menit.

3.2 Apakah Tatalaksana pada Pasien Ini Sudah Tepat?


Pada kasus ini, operasi STTP dilakukan atas indikasi gawat janin. Sebelum
dilakukan operasi, dilakukan persiapan operasi, yaitu pasien diberikan IVFD RL
xx tetes per menit.

31
Setelah operasi STTP dilakukan, pasien diberikan IVFD RL ditambah
dengan oksitosin 20 IU dengan kecepatan 20 tetes per menit, injeksi santagesic 3
x 500mg sebagai analgesik, injeksi Ceftriaxone 2x1 gr sebagai antibiotik, dan
injeksi Asam tranexamate 3x500 mg berfungsi untuk menghentikan perdarahan.
Pemberian oksitosin 20 IU setelah melahirkan berfungsi untuk merangsang dan
memperkuat kontraksi uterus, sehingga dapat menghentikan perdarahan setelah
melahirkan.

32
BAB IV KESIMPULAN

Kesimpulan pada kasus ini terdiri dari :

1. Diagnosis pada kasus ini adalah G3P2A0 hamil 35 minggu dengan gawat
janin belum inpartu janin tunggal hidup presentasi kepala yang didapat
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
2. Penatalaksanaan di RSUD M. Yunus Bengkulu yang dilakukan pada
pasien ini sudah tepat yaitu dilakukan terminasi kehamilan dengan seksio
sesarea.

33
DAFTAR PUSTAKA

Ayres-de-Campos D, Spong CY, Chandraharan E, FIGO consensus guidelines on


intrapartum fetal monitoring. Cardiotocography. Int J Gynecol Obstet.
2015;131:13-24.

Cunningham, F.G., MacDonald, P.C., Gant, N.F., et al. 2012. Obstetri Williams
Edisi: 21. Jakarta: EGC.

Cunningham., Leveno., Bloom., Hauth.,, Rouse., dan Spong., 2010. Premature


Birth In: Williams Obstetric 23rd Ed. McGrawHill Medical: New York.

Dastur AE. Intrapartum Fetal Distress. The Journal of Obstetry and Gynecology
of India. 2005; 55 (2): 115-117.

De Leeuw JP, Verhoeven ATM, Schutte JM, Zwart J, van Roosmalen J. The end
of vaginal breech delivery (letter). BJOG. 2007;114:373.

Dunn L, Flenady V, Kumar S. Reducing the risk of fetal distress with Sildenafil
study: a double blind randomised control trial. Trans Med. 2016; 14:15.

Huang ML, Hsu YY. Fetal distress prediction using discriminant analysis,
decision tree, and artificial neural network. Journal of Biomedical and
Engineering. 2012; 5: 526-533.

Kohli UA, Singh S, Dey M, Bal HK, Seth A. Antenatal risk factor in emergency
caesarean sections done for fetal distress. International Journal of
Reproduction, Contraception, Obstetric, and Gynecology. 2017; 6
(6):2421-2426.

Prawirohardjo, Sarwono. 2018. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka


Sarwono Prawirohardjo.

Roy KK, Baruah J, Kumar S, Deorari AK, Sharma JB, Karmakar D. Cesarean section for
suspected fetal distress, continuous fetal heart monitoring and decision to
delivery time. Ind J of Pediatrics. 2015;75(12):1249-52.

Saifudin AB. 2002. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal.
Jakarta: Bina Pustaka.

Wiknjosastro, et al. 2002. Ilmu Bedah Obstetri Edisi 2. Jakarta: Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

34

Anda mungkin juga menyukai