Anda di halaman 1dari 42

LAPORAN KASUS

KEHAMILAN DENGAN HIV ON TREATMENT ARV

Disusun oleh:
FARRA Y. PATTIPAWAE

Pembimbing:
dr. Devi Gandatama, Sp.OG-K

Pendamping:
dr. Maryam Hasan,MM

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS INTERNSHIP


KEMENTERIA KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA
RSUD JAILOLO
2022
BAB I

LAPORAN KASUS

1. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. DW
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal lahir : 23 Desember 1996
Umur : 25 Tahun
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan Terakhir : SMP
Agama : Kristen Protestan
Alamat : Ds. Ade
Status pernikahan : Menikah
No.RM : 09.18.34
Tanggal masuk : 16 Agustus 2022
Ruang rawat : Kebidanan

2. ANAMNESIS (Autoanamnesis)
- Keluhan Utama : Nyeri perut bawah
- Riwayat penyakit sekarang:
Wanita usia 25 tahun G2P0A1 usia kehamilan 42-43 minggu, datang ke
IGD RSUD Jailolo dengan pengantar dari poli kandungan dengan
diagnosis G2P0A1 Gravid 42-43 minggu + Presntasi kepala + Tak Inpartu
+ B20 on treatment ARV + ISK, pasien mengeluhkan nyeri perut bawah.
Tidak ada riwayat keluar air atau keluar lendir bercampur darah
pervaginam. Gerak anak dirasakan baik. Mual, muntah, nyeri kepala,
pandangan kabur disangkal, keluhan nyeri kencing (-), keputihan berbau
(-) demam intrapartum (-). Pasien mengatakan tidak ada riwayat demam
sebelumnya. Pasien juga menyangkal adanya riwayat batuk lama, riwayat
diare lama dan penurunan berat badan. Berdasarkan pengakuan pasien,
pasien dinyatakan positif HIV saat kontrol ke RS sekitar bulan mei dan

2
saat itu diberikan pengobatan ARV selama 2 minggu, saat ini pasien
sementara konsumsi ARV yang sudah dikonsumsi selama 1 bulan. Semasa
sekolah (SMP) pasien sering mengonta-ganti pasangan kurang lebih 5
orang dan melakukan hubungan seksual, penggunaan jarum suntik (-),
penggunaan obat-obatan (-), semasa sekolah itu pasien hidup dalam
pergaulan bebas akibat dampak kurang perhatian orang tua terhadap anak.
Tahun 2021 setelah menikah pasien melarikan diri ke manado selama 1
bulan, dan saat disana pasien menjalin hubungan dengan pria lain yang
bukan suami pasien dan melakukan hubungan seksual selama 5 hari
bersama.
- Riwayat Penyakit dahulu
Pasien menyangkal memiliki riwayat penyakit yang berhubungan dengan
kehamilan saat ini, seperti penyakit asma, penyakit jantung, diabetes
melitus, dan hipertensi. Riwayat transfuse dan operasi disangkal.
- Riwayat Keluarga
Pasien menyangkal adanya riwayat penyakit seperti diabetes melitus,
hipertensi, jantung dan asma pada keluarganya.
- Riwayat Pengobatan
Penggunaan ARV 1 bulan
- Riwayat Menstruasi dan Ginekologi
Pasien menarche pada usia 12 tahun dengan lama haid yaitu 3-4 hari dan
biasanya mengganti pembalut 1-2 kali sehari. Nyeri saat haid (+).
- Riwayat Pernikahan
Pasien sudah menikah.
- Riwayat Obstetri :
Hari pertama haid terakhir pasien adalah 22 oktober 2021 Tanggal
perkiraan persalinan adalah 29 Juli 2022. Ini merupakan kehamilan kedua
pasien. Anak pertama 3 bulan mengalami abortus pada tahun 2018
- Riwayat Kontrasepsi
Pasien belum pernah menggunakan kontrasepsi sebelumnya
- Riwayat Kebiasaan

3
Pasien mengaku merokok dari kelas 6 SD sampai sekarang, sehari 2
batang rokok dan minum minuman beralkohol setiap tahun saat hari raya
besar.
3. PEMERIKSAAN FISIK
- Pemeriksaan umum
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
BB : 75 kg
TB : 159 cm
- Tanda vital
Tekanan darah : 110/60 mmHg
Nadi : 92 x/menit
Pernapasan : 20 x/menit
Suhu : 36,5ºC
SpO2 : 99%
- Pemeriksaan Fisik
Kepala : Normocephal
Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
Telinga : Otorea -/-
Hidung : Rhinorea -/-
Leher : Pembesaran KGB leher (-), pembesaran kelenjar tiroid (-)
Dada : Normochest, pergerakan dada simetris kanan = kiri
Paru : Bunyi pernapasan dasar: vesikuler kanan = kiri
Bunyi tambahan : Ronki -/-, Wheezing - / -
Jantung : BJ I/II murni reguler, gallop (-), murmur (-)
Perut : Cembung, bising usus (+) normal, NT (-)
Hati : Tidak teraba
Ginjal : Tidak teraba
Limpa : Tidak teraba
Alat genital : (pada pemeriksaan Obstetri)
Ekstremitas : Edema pitting (-/-), akral hangat, sianosis (-/-), turgor baik.
Refleks : Dalam batas normal

4
4. PEMERIKSAAN OBSTETRI
Inspeksi : cembung (+), abdomen melebar, fundus uteri diatas umbilikus,
linea nigra (-), striae gravidarum (+)
Pemeriksaan Leopold
I : Bokong, TFU : 32cm
II : Punggung Kiri
III : Kepala
IV : Sudah Masuk PAP
TFU : 32 cm
TBJ : 3255 gr
DJJ : 127 x/m
HIS : 4-5 kali dalam 10 menit durasi 40 - 50 detik kuat.
Pemeriksaan dalam :
Inspeksi : Lendir dan darah
Inspekulo : Tidak dilakukan
VT : belum ada pembukaan
5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
- Laboratorium Tanggal 16 Agustus 2022
Hasil Nilai Rujukan
Darah Rutin
Hb 11,7 g/dL 12 – 16 g/dL
Hematokrit 36,2% 37 – 47 %
Leukosit 10,8 x 103/mm3 4,5 – 11,0 x 103/mm3
Eritrosit 4,60 x 106/mm3 4,5– 6,5 x 106/mm3
Trombosit 310 x 103/mm3 150 – 450 x 103/mm3
Limfosit 33,4 % 25-33 %
Neutrofil 61,6 % 54-62 %
Kimia Darah
Gula darah sewaktu 78 mg/dl <200 mg/dL

HBSAg Non Reaktif Non-Reaktif

Urinalisis

5
Warna Kuning Kuning
Kekeruhan Keruh Jernih
pH 6.0 4.5-8.0
Berat jenis 1030 1003-1030
Glukosa - Negatif
Keton - Negatif
Bilirubin - Negatif
Urobilin - Negatif
Protein - Negatif
Nitrit - Negatif
Lekosit Esterase - Negatif
Blood +++ Negatif
Sedimen
Eritrosit 5-18 <5/LPB
Lekosit 5-10 <5/LBP
Epitel Penuh Epitel squamosa
Kristal - Negatif
Silinder - Negatif
T. Vaginalis - Negatif
Bakteri - Negatif
Jamur - Negatif
Lain-Lain
RDT C-19 Non-Reaktif Non-Reaktif

6
Gambar 1.1 Hasil Pemeriksaan HIV Pada Pasien

7
Gambar 1.2 Hasil Pemeriksaan HIV Pada Suami Pasien

8
6. DIAGNOSIS
G2P0A1 Gravid 42-43 minggu Posterm + Janin Tunggal Hidup Intrauterin +
Presentasi kepala + HIV on Treatment ARV + Infeksi saluran kemih
7. TATALAKSANA
- Pemasangan infus RL 20 tpm
- Persiapan gastrul
- Observasi Persalinan di bangsal (16 Agustus 2022)
KALA I
o Jam 23.50 WIT  VT : Pembukaan 2 cm, Portio tebal, KET (+),
presentasi kepala, H1. DJJ : 141 x/m
o Jam 24.00 WIT  Memberikan Gastrul ½ tab
o Jam 01.00 WIT  VT : Pembukaan 4-5 cm, Portio lunak, KET
(+), Presentasi kepala, HII. DJJ : 145x/m
KALA II
o Jam 03.45 WIT  Ketuban Pecah, VT : Pembukaan Lengkap
o Jam 04.10 WIT  Bayi Perempuan lahir langsung menangis
Data Bayi
Berat badan 3100 gr
Panjang badan 53 cm
Lingkar kepala 32 cm
Lingkar perut 31 cm
Lila 12 cm
Apgar Score 8/9

KALA III
o Sudah lebih dari 30 menit plansenta belum keluar dan mengalami
retensio plasenta
o Manual plasenta dilakukan di ruangan OK
o Penatalaksanaan Setelah Manual plaensta
 Observasi perdarahan
 IVFD D5% : RL 20 tpm
 Inj Ceftriaxone 1gr/12jam/IV (ST)

9
 Inj As. Tranexamat 500 mg/8jam/IV
 Drips Oxcytocin 2 amp 20 tpm

8. RESUME
Wanita usia 25 tahun G2P0A1 usia kehamilan 42-43 minggu, datang ke
IGD RSUD Jailolo dengan pengantar dari poli kandungan dengan
diagnosis G2P0A1 Gravid 42-43 minggu + Presntasi kepala + Tak Inpartu
+ B20 on treatment ARV + ISK, pasien mengeluhkan nyeri perut bawah.
Tidak ada riwayat keluar air atau keluar lendir bercampur darah
pervaginam. Gerak anak dirasakan baik. Mual, muntah, nyeri kepala,
pandangan kabur disangkal, keluhan nyeri kencing (-), keputihan berbau
(-) demam intrapartum (-). Pasien mengatakan tidak ada riwayat demam
sebelumnya. Pasien juga menyangkal adanya riwayat batuk lama, riwayat
diare lama dan penurunan berat badan. Pasien hanya kontrol di posyandu
sebanyak 5x dan Berdasarkan pengakuan pasien, pasien dinyatakan positif
HIV saat kontrol ke RS sekitar bulan mei dan saat itu diberikan
pengobatan ARV selama 2 minggu, saat ini pasien sementara konsumsi
ARV yang sudah dikonsumsi selama 1 bulan. Semasa sekolah (SMP)
pasien sering mengonta-ganti pasangan kurang lebih 5 orang dan
melakukan hubungan seksual, penggunaan jarum suntik (-), penggunaan
obat-obatan (-), semasa sekolah itu pasien hidup dalam pergaulan bebas
akibat dampak kurang perhatian orang tua terhadap anak.. Tahun 2021
setelah menikah pasien melarikan diri ke manado selama 1 bulan, dan saat
disana pasien menjalin hubungan dengan pria lain yang bukan suami
pasien dan melakukan hubungan seksual selama 5 hari bersama.. Hari
pertama haid terakhir pasien adalah 22 oktober 2021 Tanggal perkiraan
persalinan adalah 29 Juli 2022. Ini merupakan kehamilan kedua pasien.
Anak pertama 3 bulan mengalami abortus pada tahun 2018. Pasien
mengaku merokok dari kelas 6 SD sampai sekarang, sehari 2 batang rokok
dan minum minuman beralkohol setiap tahun saat hari raya besar.
Pada hasil pemeriksaan umum tampak sakit sedang, dengan kesadaran
compos Mentis, berat badan 75 kg, tinggi badan 159 cm dengan tanda-

10
tanda vital, Tekanan darah 110/60 mmHg, nadi 92 x/menit, Pernapasan 20
x/menit, Suhu 36,5ºC, SpO2 99%. Pemeriksaan Leopold; I: Bokong, TFU :
32cm, Leopold II; Punggung Kiri, Leopold III; Kepala, Leopold IV; Sudah
Masuk PAP, TFU : 32 cm, TBJ : 3255 gr, DJJ : 127 x/m, HIS : 4-5 kali
dalam 10 menit durasi 40 - 50 detik kuat., Pada Pemeriksaan dalam, Pada
inspeksi didapatkan Lendir dan darahdan VT belum ada pembukaan. Pada
pemeriksaan lab didapatkan linfosit 33,4 % dan neutrophil 61,6%
mengalami peningkatan dari normalnya, disertai dengan pemeriksaan
sedimen urin didapatkan Eristrosit 5-18/LPB, dan leukosit 5-10/LPB dan
hasil pemeriksaan HIV pada pasien dinyatakan positif sedangkan hasil
HIV pada suami pasien dinyakatakan negative. Maka dari itu didiagnosis
dengan G2P0A1 Gravid 42-43 minggu Postterm + Janin Tunggal Hidup
Intrauterin + Presentasi kepala + HIV on Treatment ARV + Infeksi
saluran kemih dan dilakukan penanganan pemasangan infus diberikan
carian RL 20 tpm dan observasi persalinan di bangsal.
Pada tanggal 17 Agustus 2022 pada pukul 04.10 telah lahir bayi
perempuan langsung menangis secara pervaginam dengan BB 3100 gr, PB
53 cm, LK, 32 cm, LP 31 cm, LILA 12 cm, dan Apgar Score 8/9. Pada
Kala III pasien mengalami retensio plasentasi dimana plasenta pasien tidak
keluar >30 menit dan diindikasikan dilakukan manual plasenta di ruangan
OK, tatalaksana akhir yang diberikan Observasi perdarahan IVFD D5% :
RL 20 tpm, Inj Ceftriaxone 1gr/12jam/IV, Inj As. Tranexamat 500
mg/8jam/IV, Drips Oxcytocin 2 amp 20 tpm.

11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Defenisi
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah retrovirus RNA yang
menginfeksi sel imun dari manusia, khususnya sel T-helper CD4.
AIDS (Acquired immunodeficeiency syndrome) adalah sindroma dengan
gejala penyakit infeksi oportunistik atau kanker tertentu akibat menurunnya
sistem kekebalan tubuh oleh infeksi Human Immunodeficiency Virus.1,2
HIV dalam kehamilan adalah gangguan kekebalan tubuh yang disebabkan
oleh virus HIV yang terjadi pada wanita hamil. 3 Tidak seperti infeksi virus lainnya
selama kehamilan, infeksi HIV maternal tidak berkaitan dengan abnormalitas
kongenital, efek samping pada keguguran atau akibat kehamilan. Transmisi HIV
dari ibu ke anak adalah masalah utama, yang juga dikenal sebagai perinatal HIV
atau Mother- to-Child Transmission (MTCT). Hal ini dapat terjadi di dalam
rahim, selama persalinan, atau pasca persalinan melalui menyusui.1,4,5

2.2. Epidemiologi
Estimasi penderita HIV/AIDS di dunia pada tahun 2012 mencapai
sekitar 35,3 juta orang, dengan 2,3 juta kasus baru infeksi HIV, dan 1,6
juta kematian yang berhubungan dengan HIV.6 Untuk data ibu hamil yang
menderita HIV, CDC (Centers for Disease Control and Prevention)
menyatakan setiap tahun ada sekitar 8.500 orang perempuan penderita
HIV yang melahirkan. Di Amerika Serikat, dalam 174 anak yang
menderita HIV pada tahun 2014, 73% diantaranya mendapatkan HIV
akibat transmisi dari ibu ke anak. Pada akhir tahun 2013, diperikirakan
9.131 orang dewasa dan remaja (dengan usia lebih dari 13 tahun)
menderita HIV yang didapatkan dari transmisi ibu ke anak.5
Di Indonesia, data Kementerian Kesehatan tahun 2011 menunjukkan
dari 21.103 ibu hamil yang menjalani tes HIV, 534 (2,5%) di antaranya
positif terinfeksi HIV. Angka terebut diprediksikan akan meningkat lagi
seiring dengan waktu sehingga akan menyebabkan peningkatan angka
kematian akibat AIDS dan peningkatan angka penularan HIV dari ibu
hamil ke bayi yang dikandungnya. Diprediksikan bahwa pada tahun 2016,
akan terjadi peningkatan angka penularan HIV dari ibu hamil ke bayinya
dari 0,38% (tahun 2012) menjadi 0,49%. Estimasi peningkatan angka
prevalensi HIV tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.7,8

Gambar 1. Estimasi dan proyeksi jumlah ibu hamil yang membutuhkan layanan
PPIA (Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak) di Indonesia tahun 2012-
2016.7,8

2.3. Etiopatogenesis
2.3.1. HIV dan Siklus Replikasi
HIV terdiri dari HIV-1 dan HIV-2. Infeksi HIV pada umumnya disebabkan
oleh infeksi HIV-1.6 Secara skematik, siklus replikasi virus HIV dapat dilihat pada
Gambar 2.9

13
Gambar 2. Siklus Replikasi HIV.9

Infeksi dimulai ketika glikoprotein pada kapsul (Env) berikatan dengan


reseptor CD4 dan CCR5, yang menyebabkan fusi dari virus dengan membran sel,
sehingga partikel virus dapat memasuki sel. Sebagian dari core virus akan terbuka,
memfasilitasi tahap reverse transcription, yang akan membentuk pre-integration
complex (PIC). Setelah masuk ke nukleus sel, PIC-associated integrase akan
merangsang dimulainya pembentukan provirus yang terintegrasi, dibantu oleh
protein lens epithelium-derived growth factor (LEDGF) yang berasal dari host.
Transkripsi dari provirus, dimediasi oleh RNA polymerase II dan positive
transcription elongation factor b (P-TEFb) membentuk viral mRNAs menjadi
ukuran yang berbeda, semakin besar akan memerlukan energy-dependent export
untuk keluar dari nukleus melalui protein host CRM1. mRNAs akan berperan
sebagai cetakan untuk produksi protein, dan akhirnya RNA baru tersebut akan
membentuk partikel virus baru dengan komponen protein. Partikel virus tersebut
akan membentuk budding dan akhirnya keluar dari sel dimediasi oleh endosomal
sorting complex required for transport (ESCRT) dan ALIX dan kemudian diikuti
oleh pematangan yang dimediasi oleh protease untuk membentuk partikel virus
yang infeksius.9
CCR5 ditemukan pada permukaan sel yang CD4+ pada kondisi
progesteron tinggi, misalnya pada kehamilan. Hal tersebut kemungkinan
berperan dalam membentuk masuknya virus kedalam sel tubuh. Setelah
infeksi inisial, level viremia biasanya akan menurun pada titik tertentu.
Namun seiring berlalunya waktu, jumlah dari sel T akan menurun secara
progresif, menyebabkan immunosupresi. Walaupun kehamilan memiliki
efek yang minimal pada jumlah sel T CD4+ dan level RNA HIV, RNA
HIV akan meningkat 6 bulan postpartum. Penyebab manifestasi klinis
utama pada penderita AIDS adalah karena immunodefisiensi yang
menyebabkan infeksi oportunistik dan kanker lainnya. Determinan utama

14
dari transmisi HIV-1 adalah jumlah virus HIV-1 dalam plasma. Hubungan
antara jumlah virus dan infeksi perinatal dapat dilihat pada Gambar 3.6

Gambar 3. Insidensi infeksi neonatal berdasarkan jumlah virus.6

2.3.2. Penularan HIV


Secara umum, HIV dapat ditularkan melalui 3 cara yakni:7
a. Melalui hubungan seksual.
Merupakan jalur utama penularan HIV/AIDS yang paling umum
ditemukan. virus dapat ditularkan dari seseorang yang sudah terkena HIV
kepada mitra seksualnya (pria ke wanita, wanita ke pria, pria ke pria)
melalui hubungan seksual tanpa pengaman (kondom).
b. Parenteral (produk darah)
Penularan dapat terjadi melalui transfusi darah atau produk darah, atau
penggunaan alat – alat yang sudah dikotori darah seperti jarum suntik, jarum
tato, tindik, dan sebagainya.
c. Perinatal
Lebih dari 90% anak yang terinfeksi HIV didapat dari ibunya, penularan
melalui ibu kepada anaknya. Transmisi vertikal dapat terjadi secara
transplasental, antepartum, maupun postpartum. Mekanisme transmisi
intauterin diperkirakan melalui plasenta. Hal ini dimungkinkan karena
adanya limfosit yang terinfeksi masuk kedalam plasenta. Transmisi
intrapartum terjadi akibat adanya lesi pada kulit atau mukosa bayi atau
tertelannya darah ibu selama proses kelahiran. Beberapa faktor resiko infeksi
antepartum adalah ketuban pecah dini dan lahir pervaginam. Transmisi

15
postpartum dapat juga melalui ASI yakni pada usia bayi menyusui, pola
pemberian ASI, kesehatan payudara ibu, dan adanya lesi pada mulut bayi.
Seorang bayi yang baru lahir akan membawa antibodi ibunya, begitupun
kemungkinan positif dan negatifnya bayi tertular HIV adalah tergantung dari
seberapa parah tahapan perkembangan AIDS pada diri sang ibu.
Ada tiga faktor utama yang berpengaruh pada penularan HIV dari ibu ke
anak, yaitu faktor ibu, bayi/anak, dan tindakan obstetrik.7,10
1. Faktor Ibu
a. Jumlah virus (viral load)
Jumlah virus HIV dalam darah ibu saat menjelang atau saat persalinan dan
jumlah virus dalam air susu ibu ketika ibu menyusui bayinya sangat
mempengaruhi penularan HIV dari ibu ke anak. Risiko penularan HIV
menjadi sangat kecil jika kadar HIV rendah (kurang dari 1.000 kopi/ml) dan
sebaliknya jika kadar HIV di atas 100.000 kopi/ml.
b. Jumlah Sel CD4
Ibu dengan jumlah sel CD4 rendah lebih berisiko menularkan HIV ke
bayinya. Semakin rendah jumlah sel CD4 risiko penularan HIV semakin
besar.
c. Status gizi selama hamil
Berat badan rendah serta kekurangan asupan seperti asam folat, vitamin D,
kalsium, zat besi, mineral selama hamil berdampak bagi kesehatan ibu dan
janin akibatntya dapat meningkatkan risiko ibu untuk menderita penyakit
infeksi yang dapat meningkatkan jumlah virus dan risiko penularan HIV ke
bayi.
d. Penyakit infeksi selama hamil
Penyakit infeksi seperti sifilis, infeksi menular seksual,infeksi saluran
reproduksi lainnya, malaria,dan tuberkulosis, berisiko meningkatkan jumlah
virus dan risiko penularan HIV ke bayi.
e. Gangguan pada payudara
Gangguan pada payudara ibu dan penyakit lain, seperti mastitis, abses, dan
luka di puting payudara dapat meningkatkan risiko penularan HIV melalui

16
ASI sehingga tidak sarankan untuk memberikan ASI kepada bayinya dan bayi
dapat disarankan diberikan susu formula untuk asupan nutrisinya.

2. Faktor Bayi
a. Usia kehamilan dan berat badan bayi saat lahir
Bayi lahir prematur dengan berat badan lahir rendah (BBLR) lebih rentan
tertular HIV karena sistem organ dan sistem kekebalan tubuhnya belum
berkembang dengan baik.
b. Periode pemberian ASI
Semakin lama ibu menyusui, risiko penularan HIV ke bayi akan semakin
besar.
c. Adanya luka dimulut bayi
Bayi dengan luka di mulutnya lebih berisiko tertular HIV ketika diberikan
ASI.
3. Faktor obstetrik
Pada saat persalinan, bayi terpapar darah dan lendir ibu di jalan lahir. Faktor
obstetrik yang dapat meningkatkan risiko penularan HIV dari ibu ke anak selama
persalinan adalah:
a. Jenis persalinan
Risiko penularan persalinan pervagina lebih besar daripada persalinan
melalui bedah sesar (seksio sesaria).
b. Lama persalinan
Semakin lama proses persalinan berlangsung, risiko penularan HIV dari
ibu ke anak semakin tinggi, karena semakin lama terjadinya kontak antara
bayi dengan darah dan lendir ibu.
c. Ketuban pecah
Ketuban pecah lebih dari 4 Jam sebelum persalinan meningkatkan risiko
penularan hingga dua kali lipat dibandingkan jika ketuban pecah kurang dari 4
jam.
d. Tindakan episiotomi, ekstraksi vakum dan forceps
Tindakan episiotomi, ekstraksi vakum dan froceps akan meningkatkan
risiko penularan HIV karena berpotensi melukai ibu.

17
Tabel 1 Faktor yang berperan dalam penularan HIV dari ibu ke bayi.7

Pada saat hamil, sirkulasi darah janin dan sirkulasi darah ibu
dipisahkan oleh beberapa lapis sel yang terdapat di plasenta. Plasenta
melindungi janin dari infeksi HIV. Tetapi, jika terjadi peradangan, infeksi
ataupun kerusakan pada plasenta, maka HIV bisa menembus plasenta,
sehingga terjadi penularan HIV dari ibu ke anak. Penularan HIV dari ibu
ke anak pada umumnya terjadi pada saat persalinan dan pada saat
menyusui. Risiko penularan HIV pada ibu yang tidak mendapatkan
penanganan PPIA saat hamil diperkirakan sekitar 15-45%. Risiko
penularan 15-30% terjadi pada saat hamil dan bersalin, sedangkan
peningkatan risiko transmisi HIV sebesar 10-20% dapat terjadi pada masa
nifas dan menyusui.7
Apabila ibu tidak menyusui bayinya, risiko penularan HIV
menjadi 20-30% dan akan berkurang jika ibu mendapatkan pengobatan
anti retrovirus (ARV). Pemberian ARV jangka pendek dan ASI eksklusif
memiliki risiko penularan HIV sebesar 15-25% dan risiko penularan
sebesar 5-15% apabila ibu tidak menyusui. Akan tetapi, dengan terapi
antiretroviral jangka panjang, risiko penularan HIV dari ibu ke anak dapat
diturunkan lagi hingga 1-5%, dan ibu yang menyusui secara eksklusif
memiliki risiko yang sama untuk menularkan HIV ke anaknya
dibandingkan dengan ibu yang tidak menyusui. Dengan pelayanan PPIA
yang baik, maka tingkat penularan dapat diturunkan menjadi kurang dari
2%.7

18
Tabel 2 Waktu dan Risiko Penularan HIV dari Ibu ke Anak.7

2.4. Manifestasi klinis


Masa inkubasi sejak paparan hingga tampak klinis adalah berhari
hingga berminggu, dan rata-rata adalah 3 sampai 6 minggu. infeksi akut
HIV mirip dengan banyak sindrom virus lain dan biasanya berlangsung
kurang dari 10 hari. Gejala umum termasuk demam dan keringat malam,
kelelahan, ruam, sakit kepala, limfadenopati, faringitis,mialgia, arthralgia,
mual, muntah, dan diare. Setelah gejala mereda, awal mula dari viremia
kronis terjadi. Perkembangan dari viremia asimtomatik menjadi AIDS
memakan waktu rata-rata sekitar 10 tahun. jalur infeksi, patogenisitas dari
strain virus yang menginfeksi, awal inokulum virus, dan status imunologi
dari inang, semua mempengaruhi kecepatan perkembangan.3,6
Beberapa manifestasi klinis dan temuan laboratorium akan
menggambarkan perkembangan penyakit, seperti yang tertera pada Tabel
3. Generalized limfadenopati, oral hairy leukoplakia, ulkus aphthous, dan
trombositopenia umumnya terjadi. Sejumlah infeksi oportunistik yang
terkait dengan AIDS meliputi esofagus atau kandidiasis paru; herpes
simpleks persisten atau lesi zoster; kondiloma akuminata; TB paru;
cytomegaloviral pneumonia, retinitis, atau penyakit gastrointestinal,
moluskum kontangiosum, pneumosistis pneumonia jiroveci;
toksoplasmosis; dan lain-lain. Penyakit neurologi umum terjadi, dan
sekitar setengah dari pasien memiliki gejala sistem saraf pusat. Nilai CD4
<200 / mm3 juga dianggap definitif untuk diagnosis AIDS.6

19
Tabel 3. Stadium Klinis HIV menurut WHO11

20
Ada masalah ginekologi yang unik untuk wanita dengan HIV, seperti
gangguan menstruasi, kebutuhan kontrasepsi, dan neoplasia genital. serta
beberapa jenis infeksi menular seksual dapat terjadi pada masa kehamilan.
kehamilan berulang tidak berpengaruh signifikan pada klinis atau status
imunologi dari infeksi virus.

21
2.5. Diagnosis
Diagnosis HIV ditegakkan dengan kombinasi antara anamnesis,
identifikasi resiko tinggi, gejala klinis dan pemeriksaan laboratorium.3,12
2.5.1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik 3,13,14
Anamnesis harus dilakukan secara hati-hati untuk mengetahui
kemungkinan paparan terhadap human immunodeficiency virus (HIV).
Faktor risiko meliputi:
1. Hubungan seksual tanpa kondom, terutama hubungan seks melalui dubur (8
kali lebih berisiko penularan)
2. Pasangan seksual yang banyak
3. Riwayat atau sedang menderita penyakit menular seksual (PMS): Gonore dan
infeksi klamidia meningkatkan risiko penularan HIV 3 kali lipat, sifilis
menimbulkan risiko penularan 7-kali lipat, dan herpes genitalis meningkatkan
risiko penularan hingga 25 kali lipat selama wabah
4. Berbagi obat jalur intravena
5. Transfusi darah
6. Kontak mukosa dengan darah yang terinfeksi atau cedera akibat jarum suntik
7. Infeksi HIV maternal (untuk bayi yang baru lahir, bayi, dan anak-anak)
Pasien mungkin datang dengan tanda-tanda dan gejala dari setiap tahap
infeksi HIV. serokonversi akut bermanifestasi sebagai penyakit seperti flu,
yang terdiri dari demam, malaise, anoreksia, berat badan menurun, dan
ruam umum. Fase asimtomatik umumnya jinak. limfadenopati generalisata
adalah umum dan mungkin merupakan keluhan utama.
AIDS bermanifestasi sebagai infeksi yang berulang, berat, dan dapat
mengancam jiwa dan infeksi opportunistik. Tanda-tanda dan gejala adalah
dari penyakit yang diderita, yang berarti bahwa infeksi HIV harus
dicurigai sebagai penyakit yang mendasari ketika infeksi yang tidak lazim
dijumpai pada individu yang tampak sehat.
Infeksi HIV dapat menyebabkan sekuele, termasuk
demensia/ensefalopati terkait AIDS dan HIV wasting syndrome (diare
kronis dan penurunan berat badan tanpa penyebab yang jelas).

22
Pada kehamilan, harus dinilai status penyakit HIV pasien (misalnya,
jumlah CD4+ sel T, viral load), kebutuhan untuk memulai atau mengubah
pengobatan antiretroviral, dan cara-cara untuk mengurangi penularan
perinatal. penelusuran yang teliti terhadap riwayat medis dan bedah,
sejarah ginekologi, kebiasaan berisiko tinggi, dan riwayat obstetri
sebelumnya harus dilakukan pada kunjungan prenatal pertama.
Tidak ada pemeriksaan fisik yang khusus untuk infeksi HIV.
Pemeriksaan fisik yang dijumpai adalah penyakit atau infeksi yang sedang
diderita. limfadenopati generalisata umumnya dijumpai. Berat badan
menurun. Bukti adanya faktor risiko atau infeksi oportunistik (misalnya,
lesi herpes pada pangkal paha, kandidiasis oral luas) mungkin menandakan
suatu infeksi HIV.
2.5.2. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksan Penunjang pada penderita HIV dapat dilakukan secara:
1. Pemeriksaan Antigen P2412
Antigen p24 yang ditemukan pada serum, plasma, dan cairan
serebrospinal. Kadarnya meningkat pada awal infeksi dan beberapa saat
sebelum penderita memasuki stadium AIDS.
Pada penderita yang baru terinfeksi, antigen p24 dapat positif hingga
45 hari setelah infeksi. Pemeriksaan antigen p24 juga dapat digunakan
untuk menegakkan diagnosis HIV pada bayi yang lahir dari ibu HIV
positif.
2. Kultur HIV12
HIV dapat dikultur dari cairan plasma, serum, peripheral blood
mononuclear cells (PBMCs), cairan serebrospinal, saliva, semen, lender
serviks, serta ASI. Kultur HIV biasanya tumbuh dalam 21 hari.
3. HIV-RNA
Jumlah HIV-RNA atau sering disebut juga “viral load” adalah
pemeriksaan yang menggunakan teknologi PCR untuk mengetahui jumlah
HIV dalam darah. Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan yang penting
untuk mengetahui dinamika HIV dalam tubuh. 3,12

23
Pemeriksaan HIV-RNA sangat berguna untuk mendiagnosis saat
pemeriksaan serologis belum bisa memberikan hasil (misalnya window
period/tubuh telah terinfeksi tetapi pemeriksaan antibodi memberikan
hasil negatif atau pemeriksaan serologis memberikan hasil indeterminate.
HIV-RNA dapat positif dalam 11 hari setelah terinfeksi HIV sehingga
menurunkan masa jendela pada skrining donor darah. Masa jendela dapat
berlangsung hingga 6 bulan, tetapi sebagian besar berlangsung kurang dari
3 bulan.12
Viral load akan dinyatakan "tidak terdeteksi" jika berada di bawah 40
hingga 75 copies dalam sampel darah Jumlah yang tepat tergantung pada
analis. Tidak ada kadar viral load yang normal. Orang yang tidak
terinfeksi HIV tidak memiliki viral load sama sekali.15
4. Jumlah CD4
Jumlah CD4 adalah uji laboratorium yang mengukur jumlah limfosit
CD4 T (sel CD4) dalam darah. Pada orang dengan HIV merupakan
indikator laboratorium yang paling penting untuk menilai keadaan sistem
kekebalan tubuh dan progresi HIV. Jumlah CD4 pada orang dewasa yang
tidak terinfeksi berkisar antara 500 sel / mm3 hingga 1.600 sel / mm3.
Jumlah CD4 yang sangat rendah (kurang dari 200 sel / mm3) adalah salah
satu cara untuk menentukan seseorang dengan HIV telah berkembang ke
tahap 3 infeksi (AIDS)16
5. Pemeriksaan Antibodi
Pemeriksaan serologi untuk mendeteksi antibodi terhadap HIV secara
umum diklasifikasikan sebagai pemeriksaan penapisan (skrining) dan
pemeriksaan konfirmasi. Metode yang paling banyak digunakan adalah
Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA). Selain ELISA, metode
pemeriksaan serologi lain adalah aglutinasi, imunofiltasi,
imunokromatografi, dan dipstick. Hasil positif pada metode ini ditandai
dengan timbulnya bitnik atau garis yang berwarna atau ditemukan pola
aglutinasi. Pemeriksaan ini dapat dikerjakan kurang dari 20 menit,
sehingga seringkali disebut uji cepat dan sederhana (simple rapid test).3,12

24
Pemeriksaan konfirmasi yang paling sering digunakan adalah
pemeriksaan western blot, namun membutuhkan biaya mahal dan hasilnya
sering meragukan. Kombinasi metode ELISA dan rapid test dapat
memberikan hasil yang setara dengan metode western blot. WHO dan
UNAIDS merekomendasikan penggunaan kombinasi ELISA dan atau
rapid test untuk pemeriksaan antibodi terhadap HIV.3,12
Untuk ibu hamil dengan faktor risiko yang hasil tesnya indeterminate,
tes diagnostik HIV dapat diulang dengan bahan baru yang diambil
minimal 14 hari setelah yang pertama dan setidaknya tes ulang menjelang
persalinan (32-36 minggu). 7,8

Gambar 4. Alur Diagnosis HIV


2.6. Tatalaksana dan Pencegahan
Strategi pencegahan penularan HIV pada ibu hamil yang telah
terinfeksi HIV adalah sebagai berikut:7,8
1. Layanan ANC terpadu termasuk penawaran dan tes HIV
Layanan ANC yang terpadu termasuk penawaran dan tes HIV
Pelayanan tes HIV merupakan upaya membuka akses bagi ibu hamil untuk
mengetahui status HIV, sehingga dapat melakukan upaya untuk mencegah
penularan HIV ke bayinya, memperoleh pengobatan ARV sedini mungkin,

25
dukungan psikologis, informasi dan pengetahuan tentang HIV dan AIDS.
7,8

CDC merekomendasikan tes HIV untuk semua perempuan sebagai


bagian dari ANC, kecuali perempuan tersebut menolak untuk dilakukan
tes tersebut. Pada beberapa negara yang prevalensi HIV lebih tinggi, CDC
menganjurkan untuk melakukan tes HIV kedua kalinya saat trimester
ketiga kehamilan.5
2. Diagnosis Dini HIV
3. Pemberian terapi antiretroviral
Sampai sekarang belum ada obat yang dapat menyembuhkan HIV dan
AIDS, namun dengan terapi antiretroviral, jumlah virus di dalam tubuh
dapat ditekan sangat rendah, sehingga ODHA dapat tetap hidup layaknya
orang sehat. 7,8
Terapi ARV bertujuan untuk:
a. Mengurangi laju penularan HIV di masyarakat,
b. Menurunkan angka kesakitan dan kematian yang berhubungan dengan
HIV,
c. Memperbaiki kualitas hidup ODHA,
d. Memulihkan dan memelihara fungsi kekebalan tubuh, dan
e. Menekan replikasi virus secara maksimal.
Pemberian ART (Antiretroviral Therapy) pada ibu hamil dengan HIV
selain dapat mengurangi risiko penularan HIV dari ibu ke anak, adalah untuk
mengoptimalkan kondisi kesehatan ibu dengan cara menurunkan kadar HIV
serendah mungkin. Pilihan terapi yang direkomendasikan untuk ibu hamil dengan
HIV adalah terapi menggunakan kombinasi tiga obat (2 NRTI / Nucleosida
Reverse Transcriptase Inhibitors + 1 NNRTI/ Non-Nucleoside Reverse
Transcriptase Inhibitor). Seminimal mungkin hindari triple nuke (3 NRTI).
Regimen yang direkomendasikan dapat dilihat pada Tabel 5. 7,8
Tabel 5. Saat yang tepat untuk memulai pengobatan ARV (Antiretroviral)
pada ibu hamil.8

26
Data yang tersedia menunjukkan bahwa pemberian ARV kepada ibu
selama hamil dan dilanjutkan selama menyusui adalah efektif untuk kesehatan ibu
dan juga mampu mengurangi risiko penularan HIV dan kematian bayi.
Pemberian ARV untuk ibu hamil dengan HIV mengikuti Pedoman
Tatalaksana Klinis dan Terapi Antiretroviral pada Orang Dewasa, Kementerian
Kesehatan (2011).Pemberian ARV disesuaikan dengan kondisi klinis ibu (lihat
Tabel 6)
Tabel 6. Rekomendasi ART (Antiretroviral Therapy) pada ibu hamil dengan HIV
dan ARV (Antiretroviral) profilaksis pada bayi. 8

27
Keterangan:
* Penggunaan Nevirapin (NVP) pada perempuan dengan CD4 >250
sel/mm3 atau yang tidak diketahui jumlah CD4-nya dapat menimbulkan
reaksi hipersensitif
** Efavirens tidak boleh diberikan pada ODHA hamil trimester 1 karena
teratogenik
4. Persalinan yang aman
Pemilihan persalinan yang aman diputuskan oleh ibu setelah
mendapatkan konseling lengkap tentang pilihan persalinan, risiko
penularan, dan berdasarkan penilaian dari tenaga kesehatan. Pilihan
persalinan meliputi persalinan per vaginam dan per abdominam (bedah
sesar atau seksio sesarea). 7,8
Dalam konseling perlu disampaikan mengenai manfaat terapi ARV
sebagai cara terbaik mencegah penularan HIV dari ibu ke anak. Dengan

28
terapi ARV yang sekurangnya dimulai pada minggu ke-14 kehamilan,
persalinan per vaginam merupakan persalinan yang aman. Apabila tersedia
fasilitas pemeriksaan viral load, dengan viral load < 1.000 kopi/μL,
persalinan per vaginam aman untuk dilakukan. 7,8,17
Persalinan bedah sesar hanya boleh didasarkan atas indikasi obstetrik
atau jika pemberian ARV baru dimulai pada saat usia kehamilan 36
minggu atau lebih, sehingga diperkirakan viral load > 1.000 kopi/μL. 7,8,17
Tabel 7. Syarat persalinan pervaginan dan persalinan per abdominam. 8

Persalinan bayi dengan ibu penderita HIV, harus dipersiapkan dengan


baik dan melibatkan suatu tim, yang terdiri dari: dokter obstetri, dokter
anestesi, dokter perinatologi, dokter penyakit dalam, serta bagian VCT.3
Pencegahan penularan infeksi bagi petugas di kamar bersalin:3
a. Gunakan gaun, sarung tangan, dan masker kedap air dalam menolong
persalinan
b. Gunakan sarung tangan saat menolong bayi
c. Cuci tangan setiap selesai menolong penderita AIDS
d. Gunakan pelindung mata
e. Peganglah plasenta dengan sarung tangan dan beri label sebabgai barang
infeksius
f. Hisap lendir bayi dengan menggunakan mesin penghisap
g. Bila curiga adanya kontaminasi, lakukan konseling dan periksa antibodi
terhadap HIV serta dapatkan AZT sebagi profilaksis
- Perawatan pasca persalinan perlu memperhatikan kemungkinan penularan
melalui penyakit wanita, lokhia, luka episiotomi ataupun luka SC
- Pengelolaan bayi sebaiknya oleh dokter anak yang khusus menangani kasus
ini
- Perawatan ibu dan bayi tidak dipisah

29
- Dilarang pemberian ASI
- Jangan lakukan sirkumsisi pada bayi
- Perawatan tali pusat harus dengan cermat
- Imunisasi dengan virus hidup sebaiknya ditunda sampai terbukti tidak
terinfeksi HIV
5. Tata laksana pemberian makanan bagi bayi dan anak
Pemilihan makanan bayi harus didahului dengan konseling tentang
risiko penularan HIV melalui ASI. Konseling diberikan sejak perawatan
antenatal atau sebelum persalinan. Pilihan apapun yang diambil oleh ibu
harus didukung.7,8
Ibu dengan HIV yang sudah dalam terapi ARV memiliki kadar HIV
sangat rendah, sehingga aman untuk menyusui bayinya. Dalam Pedoman
HIV dan Infant Feeding (2010), World Health Organization (WHO)
merekomendasikan pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan untuk bayi
lahir dari ibu yang HIV dan sudah dalam terapi ARV untuk kelangsungan
hidup anak (HIV-free and child survival). Eksklusif artinya hanya
diberikan ASI saja, tidak boleh dicampur dengan susu lain (mixed
feeding). Setelah bayi berusia 6 bulan pemberian ASI dapat diteruskan
hingga bayi berusia 12 bulan, disertai dengan pemberian makanan padat.7,8
Bila ibu tidak dapat memberikan ASI eksklusif, maka ASI harus
dihentikan dan digantikan dengan susu formula untuk menghindari mixed
feeding (Tabel 7).
Tabel 7. Perbandingan risiko penularan HIV dari ibu ke anak pada
pemberian ASI eksklusif, susu formula, dan mixed feeding.8

Beberapa studi menunjukkan pemberian susu formula memiliki risiko


minimal untuk penularan HIV dari ibu ke bayi, sehingga susu formula
diyakini sebagai cara pemberian makanan yang paling aman. Namun,
penyediaan dan pemberian susu formula memerlukan akses ketersediaan
air bersih dan botol susu yang bersih, yang di banyak negara berkembang

30
dan beberapa daerah di Indonesia persyaratan tersebut sulit dijalankan.
Selain itu, keterbatasan kemampuan keluarga di Indonesia untuk membeli
susu formula dan adanya norma sosial tertentu di masyarakat
mengharuskan ibu menyusui bayinya. 7,8
Sangat tidak dianjurkan menyusui campur (mixed feeding, artinya
diberikan ASI dan PASI bergantian). Pemberian susu formula yang bagi
dinding usus bayi merupakan benda asing dapat menimbulkan perubahan
mukosa dinding usus, sehingga mempermudah masuknya HIV yang ada di
dalam ASI ke peredaran darah. 7,8
6. Menunda dan mengatur kehamilan
Semua jenis kontrasepsi yang dipilih oleh ibu dengan HIV harus selalu
disertai penggunaan kondom untuk mencegah IMS dan HIV. 7,8
Kontrasepsi pada ibu/perempuan HIV positif:
a. Ibu yang ingin menunda atau mengatur kehamilan, dapat menggunakan
kontrasepsi jangka panjang.
b. Ibu yang memutuskan tidak punya anak lagi, dapat memilih kontrasepsi
mantap.
7. Pemberian profilaksis ARV dan kotrimoksazol pada anak
Pemberian profilaksis ARV dimulai hari pertama setelah lahir selama
6 minggu. Obat ARV yang diberikan adalah zidovudine (AZT atau ZDV)
4 mg/kgBB diberikan 2 kali sehari peroral. Selanjutnya anak dapat
diberikan kotrimoksazol profilaksis mulai usia 6 minggu dengan dosis 4-6
mg/kgBB, satu kali sehari peroral, setiap hari sampai usia 1 tahun atau
sampai diagnosis HIV ditegakkan. 7,8
Pemberian profilaksis untuk neonatus penting ketika ibu yang menderita
HIV mendapatkan terapi ARV antenatal, dan profilaksis neonatus ini lebih
penting lagi ketika ibu hamil tidak mendapatkan ARV antenatal sebelum
melahirkan bayi. Profilaksis yang diberikan pada neonatus dapat berperan sebagai
profilaksis sebelum terpapar infeksi (misalnya: bayi yang mendapatkan ASI) dan
sebagai profilaksis setelah terpapar infeksi (misalnya: paparan bayi terhadap darah
maternal saat persalinan).10,18 Penelitian di New York mendapatkan bahwa
transmisi HIV ke neonatus adalah 6,1% ketika zidovudin diberikan antepartum,

31
10% ketika intrapartum, 9,3% ketika post natal dalam waktu 48 jam kehidupan,
dan 18,4% ketika dimulai pada hari ketiga kehidupan. Namun angka tersebut
lebih rendah dari angka transmisi apabila tidak mendapatkan profilaksis
zidovudin, yaitu sebesar 26,6%.18

2.7. PMTCT (Prevention of mother to Child HIV Transmission)


PMTCT adalah Upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya
penularan HIV dari ibu ke bayi. Ada 4 strategi dalam pencegahan penularan HIV
dari Ibu ke bayi:
1) Pencegahan penularan HIV pada perempuan usia reproduktif dengan
konseling pranikah, mendapatkan informasi HIV dan AIDS dan seks
bebas.
2) Pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada ibu HIV positif.
Dengan mendapatkan layanan konseling dan tes HIV sukarela dan
Pemakaian kontrasepsi yang aman dan efektif
3) Pencegahan penularan HIV dari hamil HIV positif ke janin yang
dikandungnya
a. Ibu mendapatkan pelayanan kesehatan ibu dan anak yang terpadu
b. Pemberian obat anti retroviral (ARV) untuk mengoptimalkan
kesehatan ibu dan mengurangi risiko penularan HIV ke bayi dengan
cara menurunkan kadar virus HIV serendah mungkin.
c. Ibu menjalani persalinan dengan cara seksio Caesar
d. Ibu memberikan susu formula kepada banyinya.
4) Pemberian dukungan psikologis, social dan perawatan kepada ibu HIV
positif beserta bayi dan keluarganya yang meliputi :
a. Pemberian ARV jangka panjang
b. Merujuk ke fasilitas pelayanan
c. Pengobatan dan perawatan
d. Dukungan operasi Caesar
e. Dukungan pemberian susu formula
f. Dukungan dari suami dan keluarga

32
2.8. Komplikasi
Komplikasi obstetrik pada wanita hamil dengan HIV lebih besar
daripada wanita hamil tanpa HIV. HIV meningkatkan risiko infeksi
intrauterin selama kehamilan, persalinan atau nifas. Perempuan yang
terinfeksi HIV memiliki lebih dari tiga kali risiko sepsis nifas
dibandingkan dengan perempuan yang tidak terinfeksi. Hal ini sebagai
akibat penekanan kekebalan terkait dengan HIV sehingga meningkatkan
kerentanan terhadap infeksi.19
Rasio kematian ibu pada perempuan terinfeksi HIV sekitar 10 kali
lebih tinggi dari pada wanita yang tidak terinfeksi. . Hal ini karena hanya
sebagian kecil dari ibu hamil yang menderita HIV menerima ART.
Penyebab paling umum kematian ibu di antaranya adalah infeksi terkait
AIDS (66%),pneumonia (17%), TB (10%), dan meningitis (4%).20

2.8. Prognosis
Prognosis keadaan penyakit ibu hamil dengan HIV tidak berbeda
jauh degan prognosis perempuan yang menderita HIV yang tidak hamil,
namun, kehamilan yang disertai dengan infeksi HIV lebih kompleks
daripada pasien yang hamil tanpa HIV. Perempuan yang menderita HIV
memiliki tingkat morbiditas obstetri dan postpartum yang lebih tinggi,
misalnya peningkatan angka sectio caesaria, ketuban pecah dini preterm,
endometritis dan perawatan ICU. Komplikasi post sectio caesaria telah
menurun drastis di Amerika Serikat, dari 210,6/1.000 orang (pada tahun
1995-1996) menjadi 116,6/1.000 (pada tahun 2010-2011), akan tetapi,
tingkat infeksi, trauma pembedahan, kematian dalam rumah sakit, dan
lama perawatan rumah sakit tetap lebih tinggi dibandingkan dengan
perempuan yang tidak terinfeksi HIV.21
Penelitian metaanalisis dari 23 studi menyatakan bahwa perempuan
yang terinfeksi HIV memiliki resiko kematian yang berhubungan dengan
kehamilan delapan kali lebih tinggi dibandingkan dengan wanita yang
tidak terinfeksi HIV. Dalam studi tersebut, diprediksikan bahwa 12%
kematian dalam masa kemahilan dan 1 tahun postpartum berhubungan

33
dengan HIV/AIDS pada daerah yang memiliki prevalensi HIV ibu hamil
sebanyak 2% dan angka kematian tersebut meningkat menjadi 15% pada
daerah yang memiliki prevalensi HIV ibu hamil sebanyak 50%.22
Pada negara maju, kemajuan penelitian HIV, pencegahan, dan
penatalaksanaan, telah memungkinkan bagi penderita HIV untuk
melahirkan tanpa mentransmisikan virus HIV kepada bayinya. Infeksi
HIV melalui transmisi perinatal telah mengalami penurunan lebih dari
90% sejak tahun 1990, dan jumlah penderita HIV yang melahirkan telah
meningkat. Apabila penderita HIV tersebut menjalani pengobatan HIV
secara teratur sesuai ketentuan, maka resiko menularkan HIV kepada
anaknya menjadi 1% atau kurang. 5,7,21 Namun pada negara berkembang,
dengan minimnya akses intervensi, angka penularan masih berkisar antara
20% - 50%. 5,7

BAB III

ANALISIS KASUS

34
Wanita usia 25 tahun G2P0A1 usia kehamilan 42-43 minggu,
datang ke IGD RSUD Jailolo dengan pengantar dari poli kandungan
dengan diagnosis G2P0A1 Gravid 42-43 minggu + Presntasi kepala + Tak
Inpartu + B20 on treatment ARV + ISK, pasien mengeluhkan nyeri perut
bawah, Tidak ada riwayat keluar air atau keluar lendir bercampur darah
pervaginam. Gerak anak dirasakan baik. Pasien mengatakan tidak ada
riwayat demam sebelumnya. Pasien juga menyangkal adanya riwayat
batuk lama, riwayat diare lama dan penurunan berat badan. Pasien hanya
kontrol di posyandu sebanyak 5x dan Berdasarkan pengakuan pasien,
pasien dinyatakan positif HIV saat kontrol ke RS sekitar bulan mei dan
saat itu diberikan pengobatan ARV selama 2 minggu, saat ini pasien
sementara konsumsi ARV yang sudah dikonsumsi selama 1 bulan. Secara
teori pasien hamil yang terinfeksi HIV, infeksi akut HIV mirip dengan
banyak sindrom virus lain dan biasanya berlangsung kurang dari 10 hari.
Gejala umum termasuk demam dan keringat malam, kelelahan, ruam, sakit
kepala, limfadenopati, faringitis,mialgia, arthralgia, mual, muntah, dan
diare. Setelah gejala mereda, awal mula dari viremia kronis terjadi, pada
pasien ini gejala HIV yang muncul tidak terlihat dikarenakan penggunaan
ARV yang sudah dikonsumsi selama 1 bulan, yang mana Terapi ARV
bertujuan untuk mengurangi laju penularan HIV di masyarakat,
Menurunkan angka kesakitan dan kematian yang berhubungan dengan
HIV, Memperbaiki kualitas hidup ODHA, Memulihkan dan memelihara
fungsi kekebalan tubuh, dan menekan replikasi virus secara maksimal.
Selain itu, menurut pengakuan pasien semasa sekolah (SMP) pasien
sering mengonta-ganti pasangan kurang lebih 5 orang dan melakukan
hubungan seksual, penggunaan jarum suntik (-), penggunaan obat-obatan
(-), semasa sekolah itu pasien hidup dalam pergaulan bebas akibat dampak
kurang perhatian orang tua terhadap anak. Tahun 2021 setelah menikah
pasien melarikan diri ke manado selama 1 bulan, dan saat disana pasien
menjalin hubungan dengan pria lain yang bukan suami pasien dan
melakukan hubungan seksual selama 5 hari bersama. Pasien mengaku
merokok dari kelas 6 SD sampai sekarang, sehari 2 batang rokok dan

35
minum minuman beralkohol setiap tahun saat hari raya besar, hal ini
sejalan dengan teori bahwa Faktor risiko penularan HIV itu sendiri
dikarenakan Hubungan seksual tanpa kondom, terutama hubungan seks
melalui dubur (8 kali lebih berisiko penularan), Pasangan seksual yang
banyak, Riwayat atau sedang menderita penyakit menular seksual (PMS),
Berbagi obat jalur intravena, Transfusi darah, Kontak mukosa dengan
darah yang terinfeksi atau cedera akibat jarum suntik, Infeksi HIV
maternal (untuk bayi yang baru lahir, bayi, dan anak-anak).
Pada hasil pemeriksaan umum tampak sakit sedang, dengan
kesadaran compos Mentis, berat badan 75 kg, tinggi badan 159 cm dengan
tanda-tanda vital, Tekanan darah 110/60 mmHg, nadi 92 x/menit,
Pernapasan 20 x/menit, Suhu 36,5ºC, SpO2 99%. Pemeriksaan Leopold; I:
Bokong, TFU : 32cm, Leopold II; Punggung Kiri, Leopold III; Kepala,
Leopold IV; Sudah Masuk PAP, TFU : 32 cm, TBJ : 3255 gr, DJJ : 127
x/m, HIS : 4-5 kali dalam 10 menit durasi 40 - 50 detik kuat., Pada
Pemeriksaan dalam, Pada inspeksi didapatkan Lendir dan darahdan VT
belum ada pembukaan, dan belum ada tanda persalimam. Pada
pemeriksaan lab didapatkan linfosit 33,4 % dan neutrophil 61,6%
mengalami peningkatan dari normalnya, disertai dengan pemeriksaan
sedimen urin didapatkan Eristrosit 5-18/LPB, dan leukosit 5-10/LPB,
penanda bahwa pasien mengalami infeksi saluran kemih, berdasarkan teori
infeksi saluran kemih sering terjadi pada ibu hamil karena adanya
dorongan dari Rahim. Ketika Rahim makin membesar, tambahan beratnya
dapat menghalangi aliran urine dari kandung kemih, akibatnya ibu hamil
jadi lebih sulit untuk mengosongkan kandung kemih sepenuhnya. Hal ini
menyebabkan bakteri menumpuk dalam saluran kemih.
Pada kasus hasil pemeriksaan HIV pasien dinyatakan positif
sedangkan hasil HIV pada suami pasien dinyakatakan negative.
Berdasarkan teori sebagian besar faktor penularan HIV adalah melalui
hubungan seksual jadi kemungkinan besar istri yang mengalami HIV,
jelas berisiko kepada Suami mengalami HIV, akan tetapi tidak menutup
kemungkinan bahwa suami tidak mengalami HIV karena sang istri

36
sementara menjalankan pengobatan dengan baik, sehingga kadar virus
dalam tubuhnya rendah dan tidak mudah menular, namun bias juga sang
suami juga menderita HIV, hanya saja hasil tesnya negative palsu
dikarenakan waktu pemeriksaan yang terlalu dini atau dilakukan di periode
jendela, jenis pemeriksaan yang kurang akurat dan beragam factor lainnya.
Pada kasus pasien melahirkan secara pervaginam, menurut teori
metode persalinan yang disaranakan sebagian besar meliputi operasi
Caesar, tetapi ada beberapa kemungkinan bias dilakukan pervaginam
dengan indikasi bahwa ibu yang sudah menjadi terapi rutin ARV dengan
viral load <1000 kopi/mL dan pada pasien ini semnatra mengkonsusi ARV
1 bulan ini.
Pada tanggal 17 Agustus 2022 pada pukul 04.10 telah lahir bayi
perempuan langsung menangis secara pervaginam dengan BB 3100 gr, PB
53 cm, LK, 32 cm, LP 31 cm, LILA 12 cm, dan Apgar Score 8/9
Berdasarkan teori faktor utama yang berpengaruh pada penularan HIV dari
ibu ke anak Faktor ibu, Faktor Bayi, Faktor Obstetrik. Pada saat
persalinan, bayi terpapar darah dan lendir ibu di jalan lahir. Faktor
obstetrik yang dapat meningkatkan risiko penularan HIV dari ibu ke anak
selama persalinan.

37
BAB IV

KESIMPULAN

Telah dilaporkan sebuah laporan kasus ibu hamil berusia 25 tahun dengan
diagnosis G2P0A1 Gravid 42-43 minggu Posterm + Janin Tunggal Hidup
Intrauterin + Presentasi kepala + HIV on Treatment ARV + Infeksi saluran
kemih yang dating ke IGD Rsud Jailolo Halmahera barat. Diagnosis tersebut
ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang, Setelah diagnosis ditegakkan, pasien mendapatkan terapi sesuai
kondisi pasien, penularan terbesar pada ibu dengan HIV adalah keanak,
setelah pulang bayi belum mendapatkan profilaksis HIV, pasien dan bayi saat
pulang dalam keadaan baik. Pasien juga diedukasi untuk rutin kontrol keadaan
bayi dan tetap rutin untuk mengkonsumsi ARV, dan pada suami dianjurkan
untuk pemeriksaan berkala.

38
BAB V

SARAN

1. Pemeriksaan Viral load.


2. Edukasi pemberian ASI pada bayi.
3. Pemberian ARV Profilaksis pada bayi.
4. Edukasi untuk cara berhubungan intim dengan suami.
5. Pemeriksaan Berkala pada suami.

39
DAFTAR PUSTAKA

1. Chou R, Cantor A, et.al. Screening for HIV in Pregnant Women: Systematic


Review to Update the 2005 U.S. Preventive Services Task Force
Recommendation. AHRQ Publication: United State. 2012: 1-2.
2. Prawirohardjo S. Infeksi Menular Seksual. Dalam : Ilmu Kebidanan. Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo: Jakarta. Edisi 4. 2011;71:932-3.
3. Tobing JL, Nasution SA. Kehamilan dengan AIDS. Dalam: Standar
Pelayanan Medik. SMF Kebidanan & Penyakit Kandungan RSUD
Dr.Pirngadi: Medan. Cetakan 3.2014:60-1.
4. Azwa I, Su Y. Human Immunodefi ciency Virus (HIV) in Pregnancy: A
Review of the Guidelines for Preventing Mother-to-Child Transmission in
Malaysia. In: Ann Acad Med Singapore. Pubmed: Kuala Lumpur.
2012;41(12):587.
5. CDC. Pregnant Women, Infants, and Children. CDC Gov. 2016. Available
from: http://www.cdc.gov/hiv/group/gender/pregnantwomen/
6. Cunningham F, Leveno K, et al. Sexually Transmitted Infection. In: Williams
Obstetric. McGraw Hill Education: USA. 24th ed. 2014;65: 1276-82.
7. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Pencegahan Penularan
HIV dari Ibu ke Anak. Kementerian Kesehatan RI: Jakarta. 2013: 5-34.
8. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Pencegahan
Penularah HIV dari Ibu ke Anak (PPIA). Kementerian Kesehatan RI: Jakarta.
2012:3-29.
9. Engelman A, Cherepanov P. The structural biology of HIV-1: mechanistic
and therapeutic insights. In: Nature Reviews Microbiology. Macmillan: USA.
2012;10(4):279-80.
10. Kourtis A, Bulterys M. Mother-to-Child Transmission of HIV: Pathogenesis,
Mechanisms and Pathways. In: Clinics in Perinatology. Elsevier Inc: USA.
2010;37(4):721-27.

40
11. World Health Organization. Interim WHO Clinical Staging of HIV/AIDS and
HIV/AIDS Case Definition for Surveillance. WHO: Geneva. 2005: 5-6.
12. Elwan E, Wisaksana R. Gejala dan Diagnosis HIV. Dalam: Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Internal Publishing: Jakarta. Edisi 6. 2014: 910-2.
13. Bennet N. HIV Disease Clinical Presentation: History, Physical Examination.
Medscape. 2016. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/211316-clinical
14. Marino T. HIV in Pregnancy: Overview, Epidemiology, Prophylaxis and
Pregnancy Outcome. Medscape. 2016. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1385488-overview
15. AIDS. CD4+ Count. AIDS Gov. 2016. Available from:
https://www.aids.gov/hiv-aids-basics/just-diagnosed-with-hiv-aids/
understand-your-test-results/cd4-count/
16. AIDS. Viral Load. AIDS Gov. 2016. Available from:
https://www.aids.gov/hiv-aids-basics/just-diagnosed-with-hiv-aids/
understand-your-test-results/viral-load/index.html.
17. Briand N, Jasseron C, et al. Cesarean section for HIV-infected women in the
combination antiretroviral therapies era, 2000–2010. In: American Journal of
Obstetrics and Gynecology. Elsevier: Italy. 2013;209(4):335.e1.
18. Hurst S, Appelgren K, et al. Prevention of mother-to-child transmission of
HIV Type 1: the role of neonatal and infant prophylaxis. In: Expert Review of
Anti-infective Therapy. Pubmed: USA. 2015;13(2):169-172.
19. Calvert C, Ronsmans C. HIV and the Risk of Direct Obstetric Complications:
A Systematic Review and Meta-Analysis. PLoS ONE: South Africa. 2013:
8(10):1.
20. N.F. Moran, J. Moodley. The effect of HIV infection on maternal health and
mortality. In: International Journal of Gynecology and Obstetrics. Elsevier:
Ireland.2012: S26
21. Goodlee F. Prognosis of HIV Infection in Pregnancy. 2016. Available from:
http://bestpractice.bmj.com/best-practice/monograph/556/follow-up/
prognosis.html

41
22. Calvert C, Ronsmans C. The contribution of HIV to pregnancy-related
mortality. In: AIDS. Lippincott Williams & Wilkins: UK. 2013;27(10):1631-
2

42

Anda mungkin juga menyukai