Anda di halaman 1dari 27

Bagian Ilmu Kesehatan Anak

Fakultas Kedokteran REFARAT


Universitas Pattimura Oktober 2019

Nivia Tomasoa
2018-84-046

Pembimbing :
dr. Robby Kalew., Sp.A

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2019
Pendahuluan
Respiratory Distress Syndrome (RDS) atau Penyakit membran hialin (PMH) merupakan
sindrom gawat napas yang disebabkan defisiensi surfaktan terutama pada bayi yang lahir
dengan masa gestasi kurang.

Penyakit membran hialin pada bayi kurang bulan terjadi karena pematangan paru yang
belum sempurna akibat kekurangan surfaktan.

Tanpa surfaktan, alveoli menjadi kolaps pada akhir ekspirasi, sehingga menyebabkan
gagal nafas pada neonatus.

Penyakit Membran Hialin merupakan penyebab terbanyak morbiditas dan mortalitas


pada bayi prematur. Sekitar 5-10% didapatkan pada bayi kurang bulan, 50% pada bayi
dengan berat badan lahir 501-1500 gram. Di negara maju RDS terjadi pada 0,3-1%
kelahiran hidup dan merupakan 15-20% penyebab kematian neonatus.

Di Indonesia, dari 950.000 BBLR yang lahir setiap tahun diperkirakan 150.000 bayi di
antaranya menderita SGNN, dan sebagian besar berupa RDS.
Respiratory Distress Syndrome
 Respiratory Distress Syndrome (RDS) atau Penyakit membrane
hialin (PMH) adalah suatu sindroma yang terjadi pada bayi
premature karena imaturitas struktur paru dan insufisiensi
produksi surfaktan.
 Sindrom ini terjadi pada bayi prematur segera atau beberapa
saat setelah lahir (4-6 jam) yang ditandai adanya pemapasan
cuping hidung, dispnu atau takipnu, retraksi (suprastemal,
interkostal, atau epigastrium), sianosis, suara merintih saat
ekspirasi, yang menetap dan menjadi progresif dalam 48-96 jam
pertama kehidupan.
Patofisiologi
Surfaktan
Surfaktan dibuat oleh sel
alveolus tipe II yang mulai
tumbuh pada gestasi 22-24
Suatu bahan senyawa kimia yang
minggu dan mulai mengeluarkan
memiliki sifat permukaan aktif.
keaktifan pada gestasi 24-26
minggu, yang mulai berfungsi
pada masa gestasi 32-36 minggu.

Produksi surfaktan pada janin


dikontrol oleh kortisol melalui
reseptor kortisol yang terdapat
pada sel alveolus type I.
 Paru-paru janin berhubungan dengan cairan amnion, maka
jumlah fosfolipid dalam cairan amnion dapat menilai
produksi surfaktan, sebagai tolok ukur kematangan paru,
dengan cara menghitung rasio lesitin/sfingomielin dari
cairan amnion.
 Sfingomielin adalah fosfolipid yang berasal dari jaringan
tubuh lainnya kecuali paru-paru. Jumlah lesitin meningkat
dengan bertambahnya gestasi, sedangkan sfingomielin
jumlahnya menetap.
 Rasio L/S 2:1 atau lebih dianggap fungsi paru telah matang
sempurna, rasio 1,5-1,9 sejumlah 50% akan menjadi RDS,
dan rasio kurang dari 1,5 sejumlah 73% akan menjadi
RDS.
Fungsi Surfaktan
Surfaktan merupakan zat aktif pada permukaan udara-air di alveoli
yang memberikan penurunan tegangan permukaan paru.

Surfaktan juga mencegah bronchioli tergenagi oleh cairan, yang


mengakibatkan obstruksi luminal.

Hubungan antara volume dan tekanan dalam paru tersebut


dinamakan compliance paru.

Peranan penting surfaktan yang lain dalam hal mempertahankan


fungsi normal paru yaitu sebagai pertahanan paru.
• Untuk memfasilitasi pertukaran gas. paru-paru mengandung area permukaan yang
tipis yang secara konstan terpapar dengan partikel-partikel dan bahan infeksius.
• Untuk mencegah inflamasi kronis dan untuk membersihkan material yang dihirup
Komposisi Surfaktan
 Surfaktan paru merupakan senyawa komplek yang komposisinya hampir
90% adalah lipid dan 10% protein.
 Pada manusia phosphatidylcholine mengandung hampir 80% total lipid, yang
separuhnya adalah dipalmitoylphosphatidylcholine (DPPC), 8% lipid netral, dan
12% protein dimana sekitar separuhnya merupakan protein spesifik
surfaktan dan sisanya protein dari plasma atau jaringan paru.
 Fosfolipid surfaktan terdiri dari 60% campuran saturated phosphatidylcholine
yang 80% mengandung dipalmitoylphosphatidylcholine, 25% campuran
unsaturated phosphatidylcholine, dan 15% phosphatidylglycerol dan
phosphatidylinositol dan sejumlah kecil phosphatidylserine,
phosphatidylethanolamine, sphingomyeline, dan glycolipid.
 terdapat 4 macam protein spesifik surfaktan dengan
struktur dan fungsi yang berbeda yaitu; SP-A, SP-B, SP-C
dan SP-D.
 Protein tersebut didapat dari cairan lavage bronkoalveoli
(BALF) dengan teknik ultrasentrifugasi serta pemberian
pelarut organik kaya lemak, dapat dipisahkan dan
dibedakan menjadi dua golongan yaitu
 hydrofobik dengan berat molekul rendah SP-B dan SP-C
 SP-A dan SP-D merupakan hidrofilik dengan berat molekul
tinggi.
Sintesis dan Metabolisme Surfaktan
 Biosintesis surfaktan dimulai kira-kira pada minggu ke 22-24
kehamilan.
 Sel yang melakukan sintesa ini adalah sel tipe II alveolus.
 Sintesa surfaktan terjadi didalam retikulum endoplasmik dari sel
pneumosit tipe II dengan substrat dasar glukose fosfat dan asam
lemak.
 Sintesa ini melibatkan berbagai enzim untuk membentuk
fosfatidilkolin jenuh sebagai fofolipid utama.
 Substrat untuk sintesa surfaktan, seperti glukosa dan asam lemak
diambil dari darah dan masuk melalui endotel kapiler dengan proses
difusi, setelah melalui komplek golgi, sintesis DPPC dilanjutkan di
reticulum endoplasmik didalam sel alveolus tipe II.
 DPPC dan protein hidrofobik seperti SP-B dan SP-C dibungkus
dalam badan lamelar, yang merupakan granula penyimpanan dan
granula sekresi, yang terdapat dalam sel tipe II. Badan lamelar ini
merupakan simpanan surfaktan intraseluler.
Jenis Surfaktan
 ALAMI
 Surfaktan alami bisa didapat dan paru sapi ataupun dari babi yang
purifikasinya meliputi proses ekstraksi menggunakan pelarut organic
sehingga protein yang hidrofilik seperti surfaktan protein-A (SP-A) dan
surfaktan protein D (SP-D) akan terbuang, jadi yang tertinggal hanya
material yang mengandung lipid dan sejumlah kecil protein
hidrofobik yaitu SP-B dan SP-C.
 SINTETIK
 Surfaktan ini hanya mengandung dipalmitoiylphosphatidylcholine
(DPPC), sebagai zat permukaan aktif yang utama, Akhir-akhir ini
surfaktan sintetis mengandung campuran berbagai fosfolipid permukaan
aktif dan zat spreading.
 Terdapat surfaktan eksogen semi sintetik, berasal dari campuran
surfaktan paru anak sapi dengan dipalmitoylphosphatidylcholine (DPPC),
tripalmitin, dan palmitic misalnya Surfactant TA, Survanta.
 Selain itu Surfaktan eksogen biologik yaitu surfaktan yang diambil
dari paru anak sapi atau babi, misalnya Infasurf, Alveofact, BLES,
 sedangkan yang diambil dari paru babi adalah Curosurf.
Perbedaan
 Jika dibandingkan dengan surfaktan sintesis, respon
fisiologis setelah diberikan surfaktan alami lebih
cepat timbul yang di manifestasikan dengan kemampuan
untuk menurunkan FiO dan menurunkan tekanan
ventilator, namun kekurangan surfaktan alami harus
disimpan dalam kondisi beku.
Surfaktan
 Saat ini ada 2 jenis surfaktan di indonesia yaitu :
 Exosurf neonatal yang dibuat secara sintetik dari DPPC,
hexadecanol, dan tyloxapol.
 Kemudian Survanta dibuat dari paru anak sapi, dan mengandung
protein.
Dosis dan Cara pemberian
 Dosis optimum surfaktan yang digunakan adalah
100mg/kg.
 Surfaktan eksogen mempunyai dosis dengan variasi
volume yang berbeda, Curosurf dengan dosis 100 mg/kg
volumenya 1,25 ml sedangkan survanta dengan dosis 100
mg/kg dengan volume 4 ml.
 Surfaktan diberikan secara intratrakeal melalui
endotrakeal tube (ETT) dengan bantuan NG tube.
 Oetomo,dkk 1990, penyebaran surfaktan kurang baik pada
lobus bawah sehingga dapat menyebabkan penyebaran yang
kurang homogen.
 Wagner,dkk 1996, dengan pemberian secara bolus dapat
mempengaruhi tekanan darah pulmonar dan sistemik secara
fluktuatif.
 Segerer dkk 1996, pemberian secara perlahan-lahan dapat
mengurangi hal tersebut tapi dapat menyebabkan inhomogen
yang lebih besar dan memberikan respon yang kurang baik.
 Menurut Henry, dkk 1996 pemberian surfaktan secara
nebulasi mempunyai beberapa efek samping pada jantung dan
pernapasan tetapi kurang dari 15% dosis ini akan sampai ke
paru-paru.
 Berggren, dkk 2000 mengatakan bahwa pemberian secara
nebulasi pada neonatus kurang bermanfaat.
 Dosis diberikan secara terbagi menjadi 4 dosis supaya
pemberiannya homogen sampai ke lobus paru bagian
bawah.
 Setiap seperempat dosis diberikan dengan posisi yang
berbeda.
 Sebelum surfaktan dimasukkan ke dalam ETT melalui
NGT pastikan bahwa ETT berada pada posisi yang benar
dan ventilator di atur pada kecepatan 60x/menit, waktu
inspirasi 0,5 detik, dan FiO21,0. ETT dilepaskan dari
ventilator dan kemudian:
Kepala dan badan bayi dimiringkan 5°-10° ke bawah kepala
menoleh ke kanan, masukkan surfaktan seperempat dosis
pertama melalui NGT selama 2-3 detik setelah itu lepaskan
NGT dan lakukan ventilasi manual untuk mencegah sianosis
selama 30 detik.

Kepala dan badan bayi dimiringkan 5°-10° ke bawah kepala


menoleh ke kiri, masukkan surfaktan seperempat dosis kedua
melalui NGT selama 2-3 detik setelah itu lepaskan NGT dan
lakukan ventilasi manual untuk mencegah sianosis selama 30
detik.

Kepala dan badan bayi dimiringkan 5°-10° ke atas kepala


menoleh ke kanan, masukkan surfaktan seperempat dosis ketiga
melalui NGT selama 2-3 detik setelah itu lepaskan NGT dan
lakukan ventilasi manual untuk mencegah sianosis selama 30
detik.

Kepala dan badan bayi dimiringkan 5°-10° ke atas kepala


menoleh ke kiri, masukkan surfaktan seperempat dosis keempat
melalui NGT selama 2-3 detik setelah itu lepaskan NGT dan
lakukan ventilasi manual untuk mencegah sianosis selama 30
detik.
Dosis Surfaktan Alami dan Sintetik
Profilaksis Surfaktan dan Terapi
 Terapi Profilaksis
 Surfaktan profilaksis adalah pemberian surfaktan pada bayi yang
memiliki resiko tinggi untuk berkembang mengalami penyakit
membran hialin, yaitu bayi prematur dengan usia gestasi kurang dari
32 minggu.
 Para ahli memiliki perbedaan pendapat mengenai indikasi surfaktan
profilaksis, namun secara garis besar indikasi pemberian surfaktan
sebagai profilaksis yaitu
 1) bayi yang lahir dengan masa gestasi kurang dari 32 minggu
 2) bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari 1300gr
 3) bayi dengan pemeriksaan laboratoris menunjukkan defisiensi surfaktan.
 Sebagai terapi/rescue
 sebagai pemberian surfaktan pada bayi premature yang telah
terdiagnosa mengalami PMH, dimana surfaktan paling sering diberikan
dalam 12 jam pertama kelahiran.
 Surfaktan sebagai terapi dibedakan menjadi 2 yaitu terapi dini,
dimana surfaktan diberikan dalam 1 sampai 2 jam setelah kelahiran,
dan terapi akhir, yaitu surfaktan diberikan setelah 2 jam atau lebih
kelahiran.
 indikasi pemberian surfaktan sebagai terapi penyelamatan antara lain
yaitu:
 1) bayi prematur atau bayi aterm terbukti secara klinis mengalami
penyakit membran hialin
 2) bayi prematur atau bayi aterm terbukti secara radiologis mengalami
penyakit mambran hialin
 3) bayi yang mengalami peningkatan kebutuhan oksigen, yang ditandai
dengan sianotik, agitasi dan penurunan Pa02, Sp02.
Efek samping dan Komplikasi Terapi
Surfaktan
 Secara teoritis, penggunaan surfaktan alami akan menyebabkan
resiko terjadinya transmisi mikroorganisme tertentu,
misalnya penggunaann surfaktan bovine akan meningkatkan
resiko terinfeksi Bovine Spongioform Encephalitis, dan
inveksi virus lain. Namun hal tersebut di eliminasi dengan
proses pembuatan surfaktan alami yang menggunakan pelarut
organik, teknik strerilisasi yang cermat, dan screening terhadap
hewan yang jaringan parunya akan dijadikan bahan pembuat
surfaktan
 Secara teknis, saat pemberian surfaktan dapat terjadi
hipoksia dan bradikardi sementara yang timbul
akibat obstruksi jalan nafas ataupun timbul sumbatan
mucus pada endotrakeal tube. Juga dapat terjadi refluk
surfaktan ke faring dari endotrakeal tube.
 Pada beberapa literatur dinyatakan bahwa segera setelah
pemberian surfaktan dapat terjadi penurunan
sementara tekanan darah, penurunan sementara
kecepatan aliran darah otak, penurunan
sementara konsentrasi oksihemoglobin otak, dan
penurunan sementara aktivitas otak.
 komplikasi pemberian surfaktan berkaitan dengan
lambatnya pemberian surfaktan atau akibat peningkatan
tekanan jalan nafas saat pemberian.
 Perdarahan paru, diperkirakan bahwa peningkatan
ventilasi dan penurunan resistensi pembuluh darah paru
yang terjadi setelah pemberian surfaktan mengakibatkan
shunt dari kiri ke kanan melalui ductus arteriosus, yang
selanjutnya menyebabkan edema paru hemorragis.
Mekanisme terjadinya perdarahan paru yang dijelaskan
secara invitro yaitu akibat sitotoksisitas secara langsung,
dimana hal ini dipengaruhi oleh jenis dan dosis surfaktan.
TERIMAKASIH 

Anda mungkin juga menyukai