Anda di halaman 1dari 492

dr.

Yolina
J A K A R T A M E D A N
Jl padang no 5, Manggarai, Jakarta selatan Jl. SeKabudi no. 65 G, medan
T. 021 8317064 | BB. 5a999b9f/293868a2 T. 061 8229229 | BB. 24BF7CD2
WA. 081380385694/081314412212 w w w . o p t I m a p r e p . c o m
NEONATOLOGI
NEWBORN & APGAR
Newborn Baby
USIA GESTASI BERAT BADAN
•  Neonatus Kurang Bulan (Pre-term
infant) : Usia gestasi < 37 minggu •  BBL “rendah”: berat badan <
•  Neonatus Lebih Bulan (Post-term 2500
infant) : Usia gestasi ≥ 42 minggu •  BBL “sangat rendah” : berat
•  Neonatus Cukup Bulan (Term-infant) : badan bayi baru lahir kurang
Usia gestasi 37 s/d 41
dari 1500 gram.
BERAT LAHIR BERDASARKAN USIA GESTASI •  BBL “sangat-sangat rendah” :
•  Small for GestaKonal Age (SGA, Kecil berat badan bayi baru lahir
Masa Kehamilan) : Berat lahir dibawah kurang dari 1000 gram.
2SD / persenKl 10th dari populasi usia
gestasi yang sama
•  Large for GestaKonal Age (LGA, Besar
Masa Kehamilan) : Berat lahir diatas
persenKl 90 untuk populasi usia gestasi
yang sama
•  Appropriate for GestaKonal Age (Sesuai
Masa Kehamilan) : Diantaranya
The Fetus and the Neonatal Infant. Nelson
Textbook of Pediatrics 17th ed
Lubchenco Intrauterine Growth Curve

Week of GestaKon (26 to 42 weeks)


Intrauterine Growth as Es0mated From Liveborn Birth-Weight Data at 24 to 42 Weeks of Gesta0on, by Lula O.
Lubchenco et al,Pediatrics, 1963;32:793–8007:403
Skor APGAR
Skor APGAR dievaluasi menit ke-1 dan menit ke-5
Tanda 0 1 2
A AcKvity (tonus Tidak ada tangan dan kaki akKf
otot) fleksi sedikit
P Pulse Tidak ada < 100x/menit > 100 x/menit
G Grimace (reflex Tidak ada Menyeringai Reaksi melawan,
irritability) respon lemah, gerakan batuk, bersin
sedikit
A Appearance Sianosis Kebiruan pada Kemerahan di seluruh
(warna kulit) seluruh ekstremitas tubuh
tubuh
R RespiraKon Tidak ada Lambat dan Baik, menangis kuat
(napas) ireguler
ASFIKSIA NEONATAL
Neonatal Asphyxia

•  DeprivaKon of oxygen to a newborn infant that


lasts long enough during the birth process to
cause physical harm, usually to the brain
•  EKology:
–  Intrauterine hypoxia
–  Infant respiratory distress syndrome
–  Transient tachypnea of the newborn
–  Meconium aspiraKon syndrome
–  Pleural disease (Pneumothorax, PneumomediasKnum)
–  Bronchopulmonary dysplasia

hfp://en.wikipedia.org/wiki/Perinatal_asphyxia
Asfiksia Neonatal

Mathai SS. Management of respiratory distress in the newborn. MJAFI 2007; 63: 269-72.
HMD
•  gangguan pernapasan yang disebabkan imaturitas paru dan
defisiensi surfaktan, terutama terjadi pada neonatus usia
gestasi<34 minggu atau berat lahir <1500 gram
•  Gejala Klinis
–  Sesak, merinKh, takipnea, retraksi interkostal dan
subkostal, napas cuping hidung, dan sianosis yang terjadi
dalam beberapa jam pertama kehidupan.
–  Bila gejala Kdak Kmbul dalam 8 jam pertama kehidupan,
adanya PMH dapat disingkirkan.
•  Lung immaturity à salah satu penyebab Chronic Lung Disease
(bronchopulmonary dysplasia)
•  Penyakit membran hialin RESPIRATORY DISTRESS
(PMH) merupakan gangguan SYNDROME (Hyaline
pernapasan yang disebabkan membrane disease)
imaturitas paru dan defisiensi
surfaktan, terutama terjadi
pada neonatus usia gestasi <34
minggu atau berat lahir <1500
gram
•  EKology:
–  Defisiensi surfaktan (produksi
dan sekresi menurun)
•  Surfactant
–  Berperan untuk pengembangan
alveolus
–  Komposis utama surfaktan :
•  dipalmitoyl phosphaKdylcholine
(lecithin)
•  PhosphaKdylglycerol
•  apoproteins (surfactant proteins
SP-A, -B, -C, -D)
•  Cholesterol

Hyaline Membrane Disease (Respiratory Distress Syndrome). Nelson Textbook of hfp://www.neferimages.com/images/vpv/


Pediatrics 000/000/010/10291-0550x0475.jpg
Patomekanisme
HMD
Pathogenesis of hyaline membrane disease
(HMD). Vascular disruption causes leakage of
plasma into the alveolar spaces and layering of
fibrin and necrotic cells arise from type II
pneumocytes (“hyaline membranes”) along the
surface of alveolar ducts and respiratory
bronchioles partially denuded of their normal
cell lining.
Pneumosit sebagai Penghasil
Surfaktan
•  Pada dinding alveolus dibedakan atas 2
macam sel:
–  sel epitel gepeng ( squamous pulmonary epitheal
atau sel alveolar kecil atau pneumosit KpeI).
–  sel kuboid yang disebut sel septal atau alveolar
besar atau pneumosit Kpe II.
•  Menghasilkan surfaktan untuk menurunkan tegangan
permukaan dan mempertahankan bentuk dan besar
alveolus
Komplikasi
–  SepKcemia
–  Bronchopulmonary dysplasia (BPD)
–  Patent ductus arteriosus (PDA)
–  Pulmonary hemorrhage
–  Apnea/bradycardia
–  NecroKzing enterocoliKs (NEC)
–  ReKnopathy of prematurity (ROP)
–  Hypertension
–  Failure to thrive
–  Intraventricular hemorrhage (IVH)
Tatalaksana HMD
•  Endotracheal (ET) tube
•  Con_nuous posi_ve airway pressure (CPAP)
•  Surfactant replacement
•  Broad spectrum an_bio_c (Ampicillin)à stop if there is no proof
of infec_on
•  Cor_costeroid à reduced overall incidence of death or chronic lung
disease
–  Early Postnatal CorKcosteroids (<96 hours) à not suggested because
risk> benefit (CP, development delay, Hyperglicemia, hypertension, GI
bleeding)
–  Moderately Early Postnatal CorKcosteroids (7-14 days) à not
suggested because risk> benefit
–  Delayed Postnatal CorKcosteroids (> 3 weeks) à can be used for
venKlator dependant infants in whom it is felt that steroids are
essenKal to facilitate extubaKon.
KLASIFIKASI HMD

Derajat I, Bercak retikulogranuler dengan air Derajat II, Bercak retikulogranular menyeluruh dengan
bronchogram air bronchogram

Derajat III, Opasitas lebih jelas, dengan Derajat IV, Seluruh lapangan paru terlihat putih (opak),
airbronchogram lebih jelas meluas kecabang di Tidak tampak airbronchogram, jantung tak terlihat,
perifer. Gambaran jantung menjadi kabur. disebut juga “White lung”
Sindroma Aspirasi Mekonium

•  Distres intrauterin dapat menyebabkan keluarnya


mekonium ke cairan amnion.
•  Faktor yang memicu: placental insufficiency, maternal
hypertension, preeclampsia, oligohydramnios, and
maternal drug abuse, especially of tobacco and cocaine.
•  Matur/prematur, pertumbuhan janin terhambat (PJT),
mekonium staining pada kulit dan cairan amnion
•  Saat dilakukan sucKon dari mulut dan jalan napas atas
terdapat mekonium, hiperinflasi dada
•  Rontgen: hiperinflasi dengan banyak white areas dari paru
yang kolaps
Meconium Aspiration Syndrome

Densitas ropey, kasar, patchy luas menyeluruh pada kedua


lapangan paru. Selain itu pada MAS juga bisa ditemukan
•  Hiperaerasi paru pada daerah yang mengalami air-trapping
•  Efusi pleura minimal (20%).
•  pneumotoraks atau pneumomediastinum spontan.
•  atelektasis paru emfisema obstruktif.
Air trapping and
hyperexpansion from
airway obstruc_on.
ATELEKTASIS
Transient Tachypnea of Newborn (TTNB)
Transient Tachypnea of Newborn

(a) Fuzzy vessel, fisura interlobaris terisi cairan; (b) densitas bergaris divergen di medial
dengan sedikit efusi kanan. Gambaran paru membaik dalam waktu yang cepat sejalan
dengan perbaikan klinis.
Transient Tachypnea of Newborn

(a) Fuzzy vessel, fisura interlobaris terisi cairan; (b) densitas bergaris divergen di medial
dengan sedikit efusi kanan. Gambaran paru membaik dalam waktu yang cepat sejalan
dengan perbaikan klinis.
Pneumonia Neonatal
•  Terjadinya sindrom gagal napas akibat
komplikasi korioamnioniKs jika terjadi saat
lahir ataupun karena infeksi nosokomial jika
terjadi setelah lahir
•  Gejala klinis akan tampak pus cells dan bakteri
pada cairan lambung
•  Ro thoraks akan tampak daerah paru yang
kolaps dan konsolidasi
•  Tatalaksana : SuporKf dan anKbioKka
Pneumonia neonatal

Infiltrat inhomogen pada lapang paru kanan atas. Bila terjadi dalam 72 jam
pertama kehidupan, pneumonia neonatal perlu dipikirkan.
Distres Pernapasan pada Neonatus
KELAINAN GEJALA
Biasanya pada bayi matur, pertumbuhan janin terhambat, terdapat
Sindrom aspirasi staining mekonium di cairan amnion dan kulit, kuku, atau tali pusar.
mekonium Pada radiologi tampak air trapping dan hiperinflasi paru, patchy
opacity, terkadang atelektasis.
Pada bayi prematur, pada bayi dengan ibu DM atau kelahiran SC,
Respiratory distress
gejala muncul progresif segera setelah lahir. Pada radiologi tampak
syndrome (penyakit
gambaran diffuse “ground-glass” or finely granular appearance, air
membran hyalin)
bronkogram, ekspansi paru jelek.
Biasanya pada bayi matur dengan riwayat SC. Gejala muncul setelah
Transient tachypnea of lahir, kemudian membaik dalam 72 jam pasca lahir. Pada radiologi
newboorn tampak peningkatan corakan perihilar, hiperinflasi, lapangan paru
perifer bersih.

Terdapat risiko pneumonia (KPD, demam pada ibu, cairan amnion


Pneumonia neonatal berbau, dsb). Gejala melipuK gejala distress dan gejala sepsis.
Gambaran radiologis : Diffuse, relaKvely homogeneous infiltrates

Asfiksia perinatal
Asidemia pada arteri umbilikal, Apgar score sangat rendah, terdapat
(hypoxic ischemic
kelainan neurologis, keterlibatan mulKorgan
encephalopathy)
RESUSITASI NEONATUS
Resusitasi
Neonatus
Teknik VenKlasi dan Kompresi

•  Ven_lasi Tekanan Posi_f (VTP)


•  Jika bayi tetap apnu atau megap-megap, atau jika
frekuensi denyut jantung kurang dari 100 per menit
setelah langkah awal resusitasi, VTP dimulai.
•  Pernapasan awal dan bantuan ven_lasi
•  Bantuan venKlasi harus diberikan dengan frekuensi
napas 40 – 60 kali per menit untuk mencapai dan
mempertahankan frekuensi denyut jantung lebih dari
100 per menit. Penilaian venKlasi awal yang adekuat
ialah perbaikan cepat dari frekuensi denyut jantung.

Kafwinkel, John et al. Part 15: Neonatal ResuscitaKon: 2010 American Heart AssociaKon Guidelines for Cardiopulmonary ResuscitaKon and
Emergency Cardiovascular Care. Circula)on. 2010;122(suppl 3):S909–S919.
Pemberian Oksigen
•  Target saturasi oksigen dapat dicapai dengan memulai
resusitasi dengan udara atau oksigen campuran
(blended oxygen) dan dilakukan Ktrasi konsentrasi
oksigen untuk mencapai SpO2 sesuai target.
•  Jika oksigen campuran _dak tersedia, resusitasi dimulai
dengan udara kamar.
•  Jika bayi bradikardia (kurang dari 60 per menit) setelah
90 deKk resusitasi dengan oksigen konsentrasi rendah,
konsentrasi oksigen diKngkatkan sampai 100% hingga
didapatkan frekuensi denyut jantung normal.
VTP
•  Peralatan yang digunakan untuk VTP adalah:
–  Self inflaKng bag (balon mengembang sendiri)
–  Flow inflaKng bag (balon Kdak mengembang sendiri)
–  T-piece resuscitator
•  Dalam 30 deKk dilakukan VTP 20-30 kali,
mengikuK pernafasan bayi 40-60x/menit
•  Pada permulaan resusitasi, oksigen Kdak
dibutuhkan secara ruKn. Namun bila terjadi
sianosis selama resusitasi à boleh ditambahkan
oksigen
Teknik VenKlasi dan Kompresi
•  Kompresi dada
•  Indikasi kompresi dada ialah jika frekuensi denyut jantung kurang dari 60
per menit setelah venKlasi adekuat dengan oksigen selama 30 deKk.
Untuk neonatus, rasio kompresi: venKlasi = 3:1 (1/2 deKk untuk masing-
masing).
•  Pernapasan, frekuensi denyut jantung, dan oksigenasi harus dinilai secara
periodik dan kompresi – venKlasi tetap dilakukan sampai frekuensi denyut
jantung sama atau lebih dari 60 per menit.
•  Kompresi dada dilakukan pada 1/3 bawah sternum dengan kedalaman 1/3
dari diameter antero-posterior dada.
•  Teknik kompresi: (1) teknik kompresi dua ibu jari dengan jari-jari
melingkari dada dan menyokong bagian punggung, (2) teknik kompresi
dengan dua jari dimana tangan lain menahan bagian punggung
•  Pada kompresi, dada harus dapat berekspansi penuh sebelum kompresi
berikutnya, namun jari yang melakukan kompresi Kdak boleh
meninggalkan posisi di dada.

Kafwinkel, John et al. Part 15: Neonatal ResuscitaKon: 2010 American Heart AssociaKon Guidelines for Cardiopulmonary ResuscitaKon and
Emergency Cardiovascular Care. Circula)on. 2010;122(suppl 3):S909–S919.
Indicator of Successful ResuscitaKon
•  A prompt increase in heart rate remains the most sensiKve
indicator of resuscitaKon efficacy (LOE 55).
•  Of the clinical assessments, auscultaKon of the heart is the most
accurate, with palpaKon of the umbilical cord less so.
•  There is clear evidence that an increase in oxygenaKon and
improvement in color may take many minutes to achieve, even in
uncompromised babies.
•  Furthermore, there is increasing evidence that exposure of the
newly born to hyperoxia is detrimental to many organs at a cellular
and funcKonal level.
•  For this reason color has been removed as an indicator of
oxygenaKon or resuscitaKon efficacy.
•  RespiraKons, heart rate, and oxygenaKon should be reassessed
periodically, and coordinated chest compressions and venKlaKons
should conKnue unKl the spontaneous heart rate is ︎60 per minute
Kafwinkel, John et al. Part 15: Neonatal ResuscitaKon: 2010 American Heart AssociaKon Guidelines for Cardiopulmonary ResuscitaKon and
Emergency Cardiovascular Care. Circula)on. 2010;122(suppl 3):S909–S919.
Kapan menghenKkan resusitasi?
•  Pada bayi baru lahir tanpa adanya denyut
jantung, dianggap layak untuk menghenKkan
resusitasi jika detak jantung tetap Kdak
terdeteksi setelah dilakukan resusitasi selama 10
menit (kelas IIb, LOE C).
•  Keputusan untuk tetap meneruskan usaha
resusitasi bisa diperKmbangkan setelah
memperhaKkan beberapa faktor seperK eKologi
dari henK hantung pasien, usia gestasi, adanya
komplikasi, dan perKmbangan dari orangtua
mengenai risiko morbiditas.

Kafwinkel, John et al. Part 15: Neonatal ResuscitaKon: 2010 American Heart AssociaKon Guidelines for Cardiopulmonary ResuscitaKon and
Emergency Cardiovascular Care. Circula)on. 2010;122(suppl 3):S909–S919.
SEPSIS NEONATORUM
Sepsis Neonatorum
•  Merupakan sindrom klinis penyakit sistemik akibat infeksi yang terjadi
pada 1 bulan pertama kehidupan
–  Early onset sepsis (onset< 72 jam)
Faktor risiko: Ibu dengan infeksi rahim (korioamnioniKs), ketuban pecah dini, riwayat persalinan
Kdak higienis. 85% kasus neonatus terjadi pada early onset.
–  Late onset sepsis (onset > 72 jam)
Ditemukan fokus infeksi yang Kdak berhubungan dengan proses melahirkan. Sering disertai dengan
meningiKs. EKologi pada late onset: Stafilokokus koagulase negaKf, S. Aureus, E. Coli, Klebsiella,
Pseudomonas, Enterboacter, Candida, SerraKa, Acinetobacter, Anaerob, GBS
–  Sepsis nosokomial
Ditemukan pada bayi yang dirawat, berhubungan dengan penggunaan alat-alat di RS
•  EKologi tersering (pada early onset)
–  Group B streptococcus (GBS)
–  E. Coli
–  Stafilokokus koagulase negaKf
–  H. inluenza
–  L. monocytogenes
hfp://emedicine.medscape.com/arKcle/978352-overview
Sepsis Neonatorum
•  InternaKonal Pediatric Sepsis Consensus Conference 2005:
Sepsis adalah systemic inflammatory rensponse syndrome
(SIRS) + infeksi.
•  Kriteria SIRS (2 dari 4):
–  Suhu tubuh > 38,5°C atau < 36°C
–  Takikardia, didefinisikan sebagai rata-rata frekuensi denyut
jantung > 2 SD atau diatas nilai normal menurut umur
–  Frekuensi pernafasan > 2 SD menurut umur
–  Leukositosis atau leukopenia berdasarkan umur atau
ditemukannya > 10% netrofil imatur
•  Sepsis berat: sepsis disertai kegagalan organ atau
hipoperfusi
•  Syok sepsis: sepsis disertai kegagalan organ kardiovaskular
Sepsis Neonatorum
•  Anamnesis •  Pemeriksaan fisis
–  Riwayat ibu dengan infeksi –  Suhu tubuh abnormal (sering
intrauterin (demam, ketuban hipotermia)
pecah dini >18 jam, air ketuban –  Letargi, mengantuk, akKvitas
keruh) berkurang
–  Riwayat persalinan, penolong –  Malas minum
persalinan, lingkungan persalinan
yang Kdak higienis –  Iritabel atau rewel
–  Riwayat lahir asfiksia berat, BBLR, –  Perburukan cepat
prematur –  Muntah, diare, perut kembung,
–  Riwayat bayi malas minum hepatomegali (muncul pada hari
ke-4)
–  Perfusi kurang, sianosis, petekia,
ikterik
–  Takipnea, distres nafas (NCH,
merinKh, retraksi), takikardia,
hipotensi
–  Penurunan kesadaran, kejang,
ubun-ubun menonjol
Pemeriksaan Penunjang
•  Laboratorium
–  DPL, leukosit, diff count, •  Radiologis
CRP Foto thoraks (bila ada distress
–  Kultur darah, kultur urin nafas), hasil:
–  Uji resistensi –  Pneumonia kongenitalà
konsolidasi bilateral atau
–  AGD efusi pleura
–  Kadar bilirubin meningkat –  Pneumonia krn infeksi
•  Pungsi lumbalà periksa intrapartumà infiltrasi dan
cairan CSF destruksi jaringan
bronkopulmoner, atelektasis
segmental, gambaran
reKkulogranular difus (spt
pada HMD)
–  Pneumonia krn infeksi
pascanatalà sesuai pola
kuman setempat
Sepsis Neonatal. Pedoman Pelayanan Medis IDAI. 2009.
Tatalaksana
•  AnKbioKk
o  Neonatus dengan kecurigaan sepsisà segera langsung diberikan anKbioKk
o  Pilihan anKbioKk empirik: ampisilin + gentamisin.
o  Bila organisme Kdak dapat ditemukan dan bayi tetap menunjukkan tanda
infeksi setelah > 48 jam à cefotaksim+gentamisin
o  Pada sepsis nosokomialà anKbioKk disesuaikan dengan pola kuman. Bila
disertai dengan meningiKs, anKbioKk dosis meningiKs diberikan selama 14 hari
(kuman gram +) dan 21 hari (kuman gram -)
•  Jaga patensi jalan nafas dan berikan oksigen, bila perlu pasang
venKlator mekanik
•  Pasang iv line, beri cairan maintenance
–  Pantau TD dan perfusi jaringan
–  Bila ada gangguan perfusià berikan volume ekspander (NaCl, darah, albumin,
tergantung kebutuhan) 10cc/kg dalam 30 menit, dapat diulang 1-2 kali
–  Inotropik agent (dopamin atau dobutamin)

Sepsis Neonatal. Pedoman Pelayanan Medis IDAI. 2009.


Sepsis Neonatal. Pedoman Pelayanan Medis IDAI. 2009.
Identifying Neonates With Clinical Signs of Sepsis With A “High Likelihood” of Early-
Onset Sepsis Who Require Antimicrobial Agents Soon After Birth

hfp://pediatrics.aappublicaKons.org/content/pediatrics/129/5/1006.full.pdf
IKTERUS NEONATORUM
Ikterus Neonatorum
•  Ikterus neonatorum: fisiologis vs non fisiologis.
•  Ikterus fisiologis:
–  Awitan terjadi setelah 24 jam
–  Memuncak dalam 3-5 hari, menurun dalam 7 hari (pada NCB)
–  Ikterus fisiologis berlebihan → keKka bilirubin serum puncak adalah 7-15 mg/
dl pada NCB
•  Ikterus non fisiologis:
–  Awitan terjadi sebelum usia 24 jam
–  Tingkat kenaikan > 0,5 mg/dl/jam
–  Tingkat cutoff > 15 mg/dl pada NCB
–  Ikterus bertahan > 8 hari pada NCB, > 14 hari pada NKB
–  Tanda penyakit lain
•  Gangguan obstrukKf menyebabkan hiperbilirubinemia direk. Ditandai
bilirubin direk > 1 mg/dl jika bil tot <5 mg/dl atau bil direk >20% dr total
bilirubin. Penyebab: kolestasis, atresia bilier, kista duktus koledokus.

Indrasanto E. Hiperbilirubinemia pada neonatus.


Ikterus Neonatorum
•  Ikterus yang berkembang cepat pada hari ke-1
–  Kemungkinan besar: inkompaKbilitas ABO, Rh,
penyakit hemoliKk, atau sferositosis. Penyebab
lebih jarang: infeksi kongenital, defisiensi G6PD
•  Ikterus yang berkembang cepat setelah usia
48 jam
–  Kemungkinan besar: infeksi, defisiensi G6PD.
Penyebab lebih jarang: inkompaKbilitas ABO, Rh,
sferositosis.
Kramer’s Rule

Daerah tubuh Kadar bilirubin mg/dl


Muka 4 - 8
Dada/punggung 5 -12
Perut dan paha 8 -16
Tangan dan kaki 11-18
Telapak tangan/kaki >15
20
18
16
14
12
fisiologis
10
non- fisiologis
8
6
4
2
0
hari 1 hari 2 hari 3 hari 4 hari 5 hari 6 hari 7

•  Ikterus yang berkembang cepat pada hari ke-1


–  Kemungkinan besar: inkompaKbilitas ABO, Rh, penyakit hemoliKk,
atau sferositosis. Penyebab lebih jarang: infeksi kongenital,
defisiensi G6PD
•  Ikterus yang berkembang cepat setelah usia 48 jam
–  Kemungkinan besar: infeksi, defisiensi G6PD. Penyebab lebih
jarang: inkompaKbilitas ABO, Rh, sferositosis.
Tatalaksana Ikterus neonatorum
1. Pencegahan
–  Inisiasi menyusu dini (IMD) dan pemberian minum
sesegera mungkin
–  Sering menyusui untuk menurunkan siklus
enterohepaKk
–  Menunjang kestabilan flora normal
–  Merangsang akKvitas usus halus
2. Panduan foto terapi

AAP, 2004
3. Panduan transfusi tukar

AAP, 2004
Ikterus yang Berhubungan dengan ASI
(Fisiologis)
Breast Feeding Jaundice (BFJ) Breast Milk Jaundice (BMJ)
•  Disebabkan oleh kurangnya asupan •  Berhubungan dengan pemberian
ASI sehingga sirkulasi enterohepaKk ASI dari ibu tertentu dan
meningkat (pada hari ke-2 atau 3 saat bergantung pada kemampuan
ASI belum banyak)
bayi mengkonjugasi bilirubin
indirek
•  Timbul pada hari ke-2 atau ke-3 •  Kadar bilirubin meningkat pada
•  Penyebab: asupan ASI kurang à hari 4-7
cairan & kalori kurang à penurunan •  Dapat berlangsung 3-12 minggu
frekuensi gerakan usus à ekskresi tanpa penyabab ikterus lainnya
bilirubin menurun •  Penyebab: 3 hipotesis
–  Inhibisi glukuronil transferase oleh
hasil metabolisme progesteron
yang ada dalam ASI
–  Inhibisi glukuronil transferase oleh
asam lemak bebas
–  Peningkatan sirkulasi
enterohepaKk
Indikator BFJ BMJ
Awitan Usia 2-5 hari Usia 5-10 hari
Lama 10 hari >30 hari
Volume ASI asupan ASI kurang à cairan & Tidak tergantung dari volume ASI
kalori kurang à penurunan
frekuensi gerakan usus à
ekskresi bilirubin menurun
BAB Tertunda atau jarang Normal
Kadar Bilirubin TerKnggi 15 mg/dl Bisa mencapai >20 mg/dl
Pengobatan Tidak ada, sangat jarang Fototerapi, HenKkan ASI jika kadar
fototerapi Teruskan ASI bilirubin > 16 mg/dl selama lebih
disertai monitor dan evaluasi dari 24 jam (untuk diagnosKk)
pemberian ASI AAP merekomendasikan
pemberian ASI terus menerus dan
Kdak menghenKkan
Gartner & Auerbach
merekomendasikan penghenKan
ASI pada sebagian kasus

•  For healthy term infants with breast milk or breasyeeding
jaundice and with bilirubin levels of 12 mg/dL to 17 mg/dL, the
following opKons are acceptable: Increase breasyeeding to 8-12
Kmes per day and recheck the serum bilirubin level in 12-24
hours.
•  Temporary interrupKon of breasyeeding is rarely needed and is
not recommended unless serum bilirubin levels reach 20 mg/dL.
•  For infants with serum bilirubin levels from 17-25 mg/dL, add
phototherapy to any of the previously stated treatment opKons.
•  The most rapid way to reduce the bilirubin level is to interrupt
breasyeeding for 24 hours, feed with formula, and use
phototherapy; however, in most infants, interrupKng
breasyeeding is not necessary or advisable

Breast Milk Jaundice Treatment & Management. Medscape.com


INKOMPATIBILITAS ABO – RHESUS
PADA NEONATUS
Anemia Hemolisis Neonatus ec. Inkompa_bilitas

PENYAKIT KETERANGAN

Adanya agluKnin ibu yang bersirkulasi di darah anak terhadap


I n k o m p a _ b i l i t a s agluKnogen ABO anak. Ibu dengan golongan darah O,
ABO memproduksi anKbodi IgG AnK-A/B terhadap gol. darah anak
(golongan darah A atau B). Biasanya terjadi pada anak pertama

Rh+ berarK mempunyai anKgen D, sedangkan Rh– berarK Kdak


memiliki anKgen D. Hemolisis terjadi karena adanya anKbodi ibu
dgn Rh- yang bersirkulasi di darah anak terhadap anKgen Rh anak
I n k o m p a _ b i l i t a s (beraK anak Rh+). Jarang pada anak pertama krn anKbodi ibu
Rh terhadap anKgen D anak yg berhasil melewaK plasenta belum
banyak.
KeKka ibu Rh - hamil anak kedua dgn rhesus anak Rh + anKbodi
yang terbentuk sudah cukup untuk menimbulkan anemia hemolisis
Inkompa_bilitas Rhesus

•  Faktor Rh: salah satu jenis anKgen permukaan


eritrosit
•  InkompaKbilitas rhesus: kondisi dimana wanita
dengan rhesus (-) terekspos dengan eritrosit Rh (+),
sehingga membentuk anKbodi Rh
–  KeKka ibu Rh (-) hamil dan memiliki janin dengan Rh (+),
terekspos selama perjalanan kehamilan melalui kejadian
aborsi, trauma, prosedure obstetrik invasif, atau kelahiran
normal
–  KeKka wanita dengan Rh (-) mendapatkan transfusi darah
Rh (+)
è è

•  Setelah eksposure pertama, ibu akan membentuk IgG maternal


terhadap anKgen Rh yang bisa dengan bebas melewaK
plasenta hingga membentuk kompleks anKgen-anKbodi
dengan eritrosit fetus dan akhirnya melisiskan eritrosit
tersebut à fetal alloimmune-induced hemolyKc anemia.
•  KeKka wanita gol darah Rh (-) tersensiKsasi diperlukan waktu
kira-kira sebulan untuk membentuk anKbodi Rh yg bisa
menandingi sirkulasi fetal.
•  90% kasus sensiKsasi terjadi selama proses kelahiran è o.k itu
anak pertama Rh (+) Kdak terpengaruhi karena waktu pajanan
eritrosit bayi ke ibu hanya sebentar, Kdak bisa memproduksi
anKbodi scr signifikan
InkompaKbilitas Rhesus
•  Risiko dan derajat keparahan meningkat seiring dengan
kehamilan janin Rh (+) berikutnya, kehamilan kedua
menghasilkan bayi dengan anemia ringan, sedangkan
kehamilan keKga dan selanjutnya bisa meninggal in utero
•  Risiko sensiKsasi tergantung pada 3 faktor:
–  Volume perdarahan transplansental
–  Tingkat respons imun maternal
–  Adanya inkompaKbilitas ABO pada saat bersamaan
•  Adanya inkompaKbilitas ABO pada saat bersamaan dengan
keKdakcocokan Rh justru mengurangi kejadian inkompaKbilitas Rh
è karena serum ibu yang mengandung anKbodi ABO
menghancurkan eritrosit janin sebelum sensiKsasi Rh yg signifikan
sempat terjadi
•  Untungnya inkompaKbilitas ABO biasanya Kdak memberikan
sekuele yang parah
hfp://emedicine.medscape.com/arKcle/797150
Tes Laboratorium
•  Prenatal emergency care •  Postnatal emergency care
–  Tipe Rh ibu –  Cek Kpe ABO dan Rh,
–  the Rosefe screening test hematokrit, Hb, serum
atau the Kleihauer-Betke bilirubin, apusan darah,
acid eluKon test bisa dan direct Coombs test.
mendeteksi –  direct Coombs test yang
alloimmunizaKon yg posiKf menegakkan
disebabkan oleh fetal diagnosis an)body-induced
hemorrhage hemoly)c anemia yang
–  Amniosentesis/ menandakan adanya
cordosentesis inkompabilitas ABO atau
Rh

hfp://emedicine.medscape.com/arKcle/797150
Tatalaksana
•  Jika sang ibu hamil Rh – dan belum tersensiKsasi,
berikan human anK-D immunoglobulin (Rh IgG atau
RhoGAM)
•  Jika sang ibu sudah tersensiKsasi, pemberian Rh IgG
Kdak berguna
•  Jika bayi telah lahir dan mengalami inkompaKbilitas,
transfusi tukar/ foto terapi tergantung dari kadar
bilirubin serum, rendahnya Ht, dan naiknya
reKculocyte count

hfp://emedicine.medscape.com/arKcle/797150
Inkompa_bilitas ABO
•  Terjadi pada ibu dengan •  Gejala yang Kmbul adalah
golongan darah O terhadap ikterik, anemia ringan, dan
janin dengan golongan peningkatan bilirubin
darah A atau B serum.
•  Tidak terjadi pada ibu gol A •  Lebih sering terjadi pada
dan B karena anKbodi yg bayi dengan gol darah A
terbentuk adalah IgM yg tdk dibanding B, tetapi
melewaK plasenta, hemolisis pada gol darah
sedangkan 1% ibu gol darah Kpe B biasanya lebih berat.
O yang memiliki Kter •  InkompaKbilitas ABO jarang
anKbody IgG terhadap sekali menimbulkan hidrops
anKgen A dan B, bisa fetalis dan biasanya Kdak
melewaK plasenta separah inkompaKbilitas Rh
Kenapa Inkompa_bilitas ABO _dak separah
Inkompa_bilitas Rh?

•  Biasanya anKbodi AnK-A dan AnK-B adalah IgM yang Kdak


bisa melewaK sawar darah plasenta
•  Karena anKgen A dan B diekspresikan secara luas pada
berbagai jaringan fetus, Kdak hanya pada eritrosit, hanya
sebagian kecil anKbodi ibu yang berikatan dengan eritrosit.
•  Eritrosit fetus tampaknya lebih sedikit mengekspresikan
anKgen permukaan A dan B dibanding orang dewasa,
sehingga reaksi imun antara anKbody-anKgen juga lebih
sedikit è hemolisis yang parah jarang ditemukan.
Pemeriksaan Penunjang Inkompa_bilitas

•  Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah direct


Coombs test.
•  Pada inkompaKbilitas ABO manifestasi yg lebih
dominan adalah hiperbilirubinemia, dibandingkan
anemia, dan apusan darah tepi memberikan
gambaran banyak spherocyte dan sedikit
erythroblasts, sedangkan pada inkompaKbilitas Rh
banyak ditemukan eritoblas dan sedikit spherocyte
•  Tatalaksana: fototerapi, transfusi tukar
Tatalaksana InkompaKbilitas Rh
•  Jika sang ibu hamil Rh – dan belum tersensiKsasi,
berikan human anK-D immunoglobulin (Rh IgG atau
RhoGAM)
•  Jika sang ibu sudah tersensiKsasi, pemberian Rh IgG
Kdak berguna
•  Jika bayi telah lahir dan mengalami inkompaKbilitas,
transfusi tukar/ foto terapi tergantung dari kadar
bilirubin serum, rendahnya Ht, dan naiknya
reKculocyte count

hfp://emedicine.medscape.com/arKcle/797150
Tatalaksana Umum Hemoly_c Disease
of Neonates
•  In infants with hyperbilirubinemia due to alloimmune HDN, monitoring serum
bilirubin levels, oral hydra_on, and phototherapy are the mainstays of
management.
•  For infants who do not respond to these convenKonal measures, intravenous fluid
supplementaKon and/or exchange transfusion may be necessary to treat
hyperbilirubinemia. Intravenous immunoglobulin (IVIG) also may be useful in
reducing the need for exchange transfusion.
•  Phototherapy — Phototherapy is the most commonly used intervenKon to treat
and prevent severe hyperbilirubinemia. It is an effecKve and safe intervenKon. The
AAP has developed guidelines for the iniKaKon and disconKnuaKon of
phototherapy based upon total serum bilirubin (TSB) values at specific hourly age
of the paKent, gestaKonal age, and the presence or absence of risk factors for
hyperbilirubinemia including alloimmune HDN
•  Hydra_on — Phototherapy increases insensible skin losses and as a result the
fluid requirements of infants undergoing phototherapy are increased. In addiKon,
by-products of phototherapy are eliminated in the urine. If oral hydraKon is
inadequate, intravenous hydraKon may be necessary.
•  Exchange transfusion — Exchange transfusion is used to treat severe anemia, as
previously discussed, and severe hyperbilirubinemia. Exchange transfusion
removes serum bilirubin and decreases hemolysis by the removal of anKbody-
coated neonatal RBCs and unbound maternal anKbody.
INKOMPATIBILITAS ABO INKOMPATIBILITAS RH
Tidak memerlukan proses sensiKsasi Butuh proses sensiKsasi oleh kehamilan RH +
oleh kehamilan pertama karena sdh pertama karena ibu blm punya anKbodi.
terbentuk IgG. Dapat terjadi pada Terjadi pada anak ke dua atau lebih
anak 1
InkompaKbilitas ABO jarang sekali
Gejala biasanya lebih parah jika
menimbulkan hidrops fetalis dan
dibandingkan dengan inkompaKbilotas ABO,
biasanya Kdak separah
bahkan hingga hidrops fetalis
inkompaKbilitas Rh
Risiko dan derajat keparahan meningkat
seiring dengan kehamilan janin Rh (+)
Risiko dan derajat keparahan Kdak berikutnya, kehamilan kedua menghasilkan
meningkat di anak selanjutnya bayi dengan anemia ringan, sedangkan
kehamilan keKga dan selanjutnya bisa
meninggal in utero

apusan darah tepi memberikan pada inkompaKbilitas Rh banyak ditemukan


gambaran banyak spherocyte dan eritoblas dan sedikit spherocyte
sedikit erythroblasts
ATRESIA BILIER
Kolesta_s

Bilirubin Bilirubin Direk Larut air: dibuang lewat ginjal


indirek

OBSTRUKSI

Urin warna
teh

Feses warna
Tidak ada bilirubin direk yg menuju usus
Dempul
Kolestasis (Cholesta_c Liver Disease)
•  Definisi : Keadaan bilirubin direk > 1 mg/dl bila bilirubin total < 5
mg/dl, atau bilirubin direk >20% dari bilirubin total bila kadar
bil.total >5 mg/dl
•  Kolestasis : Hepatoselular (Sindrom hepaKKs neonatal) vs
ObstrukKf (Kolestasis ekstrahepaKk)
•  Sign and Symptom : Jaundice, dark urine and pale stools,
nonspecific poor feeding and sleep disturbances, bleeding and
bruising, seizures
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Penunjang
Atresia Bilier
•  Merupakan penyebab kolestasis tersering dan serius pada bayi yang
terjadi pada 1 per 10.000 kelahiran
•  Ditandai dengan adanya obstruksi total aliran empedu karena destruksi
atau hilangnya sebagian atau seluruh duktus biliaris. Merupakan proses
yang bertahap dengan inflamasi progresif dan obliterasi fibroKk saluran
bilier
•  EKologi masih belum diketahui
•  Tipe embrional 20% dari seluruh kasus atresia bilier,
–  sering muncul bersama anomali kongenital lain seperK polisplenia, vena porta
preduodenum, situs inversus dan juga malrotasi usus.
–  Ikterus dan feses akolik sudah Kmbul pada 3 minggu pertama kehidupan
•  Kpe perinatal/postnatal yang dijumpai pada 80% dari seluruh kasus atresia
bilier, ikterus dan feses akolik baru muncul pada minggu ke-2 sampai
minggu ke-4 kehidupan.

Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Anak dengan Gejala Kuning. Dept IKA RSCM. 2007
Biliary Atresia Type

ü  Type I: atresia of the common bile


duct
ü  Type IIa: atresia of the common
hepaKc duct
ü  Type IIb: atresia of common bile duct,
cysKc duct, and common hepaKc duct
ü  Type III: atresia of the common bile
duct, cysKc duct, and hepaKc ducts up
to the porta hepaKs. This is the
subtype present in over 90% of
paKents with biliary atresia
Atresia Bilier

•  Gambaran klinis: biasanya terjadi pada bayi perempuan, lahir


normal, bertumbuh dengan baik pada awalnya, bayi Kdak
tampak sakit kecuali sedikit ikterik. Tinja dempul/akolil terus
menerus. Ikterik umumnya terjadi pada usia 3-6 minggu
•  Laboratorium : Peningkatan SGOT/SGPT ringan-sedang.
Peningkatan GGT (gamma glutamyl transpep)dase) dan
fosfatase alkali progresif.
•  DiagnosKk: USG dan Biopsi HaK
•  Terapi: Prosedur Kasai (Portoenterostomi)
•  Komplikasi: Progressive liver disease, portal hypertension,
sepsis

Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Anak dengan Gejala Kuning. Dept IKA RSCM. 2007
Triangular Cord Sign in USG
•  The triangular cord sign is a triangular or tubular
echogenic cord of fibrous Kssue seen in the porta
hepaKs at ultrasonography and is relaKvely specific in
the diagnosis of biliary atresia.

•  This sign is useful in the evaluaKon of infants with


cholestaKc jaundice, helping for the differenKal
diagnosis of biliary atresia from neonatal hepaKKs.

•  It is defined as more than 4 mm thickness of the


echogenic anterior wall of the right portal vein (EARPV)
measured on a longitudinal ultrasound scan.
Biliary Atresia - Treatment
•  Kasai’s portoenterostomy: Once biliary atresia is suspected, surgical
intervenKon in the form of intraoperaKve cholangiogram and Kasai
portoenterostomy is indicated.

•  This procedure is not usually curaKve, but ideally does buy Kme unKl the child
can achieve growth and undergo liver transplanta_on

•  A considerable number of these paKents, even if Kasai portoenterostomy has


been successful, eventually undergo liver transplantaKon

•  Post operaKve medicaKon:


–  Methylprednisolone should be given for it’s anK-inflammatory

–  Ursodeoxycholic acid has also been shown to enhance bile flow.

–  AnKbioKc prophylaxis in order to prevent cholangiKs postoperaKvely


Prognosis
•  Prognosis is good if operated before 2 months of age
•  Risk factors for failureà liver fibrosis &Post op cholangiKs
episodes
•  1/3rd of pts remain asymptomaKcà No transplant
•  1/3 never have bile flow and require early transplant
•  1/3 iniKally have good bile flow but subsequently develop
cirrhosis
•  Without surgery or liver transplant, life span – 19 months
•  Death is due to liver failure, bleeding esophageal varices
and sepsis
PARALISIS PLEKSUS BRAKIAL
Cedera Pleksus Brachialis
•  Lesi pleksus brakhialis adalah lesi saraf yang
menimbulkan kerusakan saraf yang membentuk
pleksus brakhialis, mulai dari “radiks” saraf
hingga saraf terminal.
•  Keadaan ini dapat menimbulkan gangguan fungsi
motorik, sensorik atau autonomic pada
ekstremitas atas.
•  IsKlah lain yang sering digunakan yaitu neuropaK
pleksus brakhialis atau pleksopaK brakhialis
Am Fam Physician. 2010 Jan 15;81(2):147-155.
EKologi
1. Trauma
Merupakan penyebab terbanyak lesi pleksus brakhialis pada orang dewasa
maupun neonatus. Keadaan ini dapat berupa ; cedera tertutup, cedera terbuka,
cedera iatrogenic.
2. Tumor
Dapat berupa tumor neural sheath yaitu ; neuroblastoma, schwannoma,
malignant peripheral nerve sheath tumor dan meningioma. Tumor non-neural ;
jinak (desmoid, lipoma), malignant ( kangker mammae dan kangker paru)
3. Radia_on-induced
Frekuensi cedera pleksus brachialis yang dipicu oleh radiasi diperkirakan
sebanyak 1,8 – 4,9% dari lesi dan paling sering pada pasien kangker mammae dan
paru.
4. Entrapment
Keadaan ini merupakan penyebab cedera pleksus brakhialis pada thoracic outlet
syndrome. Faktor lain yaitu payudara berukuran besar yang dapat menarik
dinding dada ke depan (anterior dan inferior).
5. Idiopa_k
Pada Parsonage Turner Syndrome terjadi pleksiKs tanpa diketahui penyebab yang
jelas namun diduga terdapat infeksi virus yang mendahului. Presentasi klasik
adalah nyeri dengan onset akut yang berlangsung selama 1 – 2 minggu dan
kelemahan otot Kmbul lebih lambat. Nyeri biasanya hilang secara spontan dan
pemulihan komplit terjadi dalam 2 tahun.
Sindroma Erb-Duchenne
•  Lesi di radiks servikal atas (C5 dan C6) atau trunkus superior dan
biasanya terjadi akibat trauma.
•  Pada bayi biasanya akibat distosia bahu, orang dewasa terjadi karena
jatuh pada bahu dengan kepala terlampau menekuk kesamping.
•  Presentasi klinis pasien berupa waiter’s Kp posiKon dimana lengan
berada dalam posisi adduksi (kelemahan otot deltoid dan supraspinatus),
rotasi internal pada bahu (kelemahan otot teres minor dan
infraspinatus), pronasi (kelemahan otot supinator dan brachioradialis)
dan pergelangan tangan fleksi (kelemahan otot ekstensor karpi radialis
longus dan brevis).
•  Selain itu terdapat pula kelemahan pada otot biseps brakhialis,
brakhialis, pektoralis mayor, subscapularis, rhomboid, levator scapula
dan teres mayor.
•  Refleks bisep biasanya menghilang, sedangkan hipestesi terjadi pada
bagian luar (lateral) dari lengan atas dan tangan.
Am Fam Physician. 2010 Jan 15;81(2):147-155.
Sindroma Klumpke’s Paralysis
•  Lesi di radiks servikal bawah (C8, T1) atau trunkus inferior dimana
penyebab pada bayi baru dilahirkan adalah karena penarikan bahu
untuk mengeluarkan kepala, sedangkan pada orang dewasa
biasanya saat mau jatuh dari keKnggian tangannya memegang
sesuatu kemudian bahu tertarik.
•  Presentasi klinis berupa deformitas clawhand (kelemahan otot
lumbrikalis) sedangkan fungsi otot gelang bahu baik.
•  Selain itu juga terdapat kelumpuhan pada otot fleksor carpi ulnaris,
fleksor digitorum, interosei, tenar dan hipotenar sehingga tangan
terlihat atrofi.
•  Disabilitas motorik sama dengan kombinasi lesi n. Medianus dan
ulnaris.
•  Kelainan sensorik berupa hipestesi pada bagian dalam/ sisi ulnar
dari lengan dan tangan.

Am Fam Physician. 2010 Jan 15;81(2):147-155.


“claw
hand”
Netter 1997

2006 Moore & Dalley COA

Am Fam Physician. 2010 Jan 15;81(2):147-155.


Lesi Pan-supraklavikular
(radiks C5-T1 / semua trunkus)
•  Pada lesi ini terjadi kelemahan seluruh otot
ekstremitas atas, defisit sensorik yang jelas
pada seluruh ekstremitas atas dan mungkin
terdapat nyeri.
•  Otot rhomboid, seratus anterior dan otot-otot
spinal mungkin Kdak lemah tergantung dari
letak lesi proksimal (radiks) atau lebih ke distal
(trunkus).

Am Fam Physician. 2010 Jan 15;81(2):147-155.


TRAUMA LAHIR EKSTRAKRANIAL
Trauma Lahir Ekstrakranial
Kaput Suksedaneum Perdarahan Subgaleal
•  Paling sering ditemui •  Darah di bawah galea
•  Tekanan serviks pada kulit aponeurosis
kepala •  Pembengkakan kulit kepala,
•  Akumulasi darah/serum ekimoses
subkutan, ekstraperiosteal •  Mungkin meluas ke daerah
•  TIDAK diperlukan terapi, periorbital dan leher
menghilang dalam •  Seringkali berkaitan dengan
beberapa hari. trauma kepala (40%).
Trauma Lahir Ekstrakranial:
Sefalhematoma
•  Perdarahan sub periosteal akibat ruptur pembuluh
darah antara tengkorak dan periosteum
•  EKologi: partus lama/obstruksi, persalinan dengan
ekstraksi vakum, Benturan kepala janin dengan pelvis
•  Paling umum terlihat di parietal tetapi kadang-kadang
terjadi pada tulang oksipital
•  Tanda dan gejala:
–  massa yang teraba agak keras dan berfluktuasi;
–  pada palpasi ditemukan kesan suatu kawah dangkal
didalam tulang di bawah massa;
–  pembengkakan Kdak meluas melewaK batas sutura yang
terlibat
Trauma Lahir Ekstrakranial:
Sefalhematoma
•  Ukurannya bertambah sejalan dengan bertambahnya
waktu
•  5-18% berhubungan dengan fraktur tengkorak
•  Umumnya menghilang dalam waktu 2 – 8 minggu
•  Komplikasi: ikterus, anemia
•  Kalsifikasi mungkin bertahan selama > 1 tahun.
•  Catatan: Jangan mengaspirasi sefalohematoma meskipun
teraba berfluktuasi
•  Tatalaksana:
•  Observasi pada kasus tanpa komplikasi
•  Transfusi jika ada indikasi
•  Fototerapi (tergantung dari kadar bilirubin total)
HIPOGLIKEMIA PADA NEONATUS
Hipoglikemia pada Neonatus
•  Hipoglikemia adalah kondisi bayi •  Insulin dalam aliran darah fetus
dengan kadar glukosa darah <45 mg/dl Kdak bergantung dari insulin
(2.6 mmol/L), baik bergejala atau Kdak ibu, tetapi dihasilkan sendiri
•  Hipoglikemia berat (<25 mg/dl) dapat oleh pankreas bayi
menyebabkan palsi serebral, retardasi •  Pada Ibu DM terjadi
mental, dan lain-lain hiperglikemia dalam peredaran
•  EKologi darah uteroplasental àbayi
–  Peningkatan pemakaian glukosa mengatasinya melalui
(hiperinsulin): Neonatus dari ibu DM, Besar hiperplasia sel B langerhans
masa kehamilan, eritroblastosis fetalis yang menghasilkan insulin à
–  Penurunan produksi/simpanan glukosa: insulin Knggi
Prematur, IUGR, asupan Kdak adekuat
–  Peningkatan pemakaian glukosa: stres
•  Begitu lahir, aliran glukosa yang
perinatal (sepsis, syok, asfiksia, menyebabkan hiperglikemia
hipotermia), defek metabolisme Kdak ada, sedangkan insulin
karbohidrat, defisiensi endokrin, dsb bayi tetap Knggi à hipoglikemia

Pedoman Pelayanan Medis IDAI 2010


Hipoglikemia
•  Diagnosis
–  Anamnesis: tremor, iritabilitas, kejang/koma, letargi/apaKs, sulit menyusui,
apneu, sianosis, menangis lemah/melengking
–  PF: BBL >4000 gram, lemas/letargi/kejang beberapa saat sesudah lahir
–  Penunjang: Pemeriksaan glukosa darah baik strip maupun darah vena, reduksi
urin, elektrolit darah
•  Penatalaksanaan
–  Bolus 200 mg/kg dengan dextrosa 10% IV selama 5 menit
–  Hitung Glucose Infusion Rate (GIR), 6-8 mg/kgBB/menit untuk mencapai GD
maksimal. Dapat dinaikkan sampai maksimal 12mg/kgBB/menit
–  Cek GD per 6 jam
–  Bila hasil GD 36-47 mg/dl 2 kali berturut-turut + Infus dextrosa 10%
–  Bila GD >47 mg/dl setelah 24 jam terapi, infus diturunkan bertahap 2mg/
kgBB/menit seKap jam
–  Tingkatkan asupan oral
Pemantauan dan Skrining
Hipoglikemia
PPM IDAI jilid 1
APCD
Acquired Prothrombine Complex Deficiency
(APCD) dengan Perdarahan Intrakranial
•  Sebelumnya disebut sebagai Hemorrhagic Disease of
the Newborn (HDN) atau Vitamin K Deficiency Bleeding
•  EKologinya adalah defisiensi vitamin K yang dialami
oleh bayi karena : (1) Rendahnya kadar vitamin K
dalam plasma dan cadangan di haK, (2) Rendahnya
kadar vitamin K dalam ASI, (3) Tidak mendapat injeksi
vitamin K1 pada saat baru lahir
•  Mulai terjadi 8 hari-6 bulan, insidensi terKnggi 3-8
minggu
•  80-90% bermanifestasi menjadi perdarahan
intrakranial
Pedoman Pelayanan Medis IDAI 2010
Hemorrhagic disease of newborn (HDN)
Acquired prothrombrin complex deficiency (APCD)
Stadium Characteris_c
Early HDN Occurs within 2 days and not more than 5 days of life. Baby
born of mother who has been on certain drugs: anKconvulsant,
anKtuberculous drug, anKbioKcs, VK antagonist anKcoagulant.
Classic HDN Occurs during 2 to 7 day of life when the prothrombin complex
is low. It was found in babies who do not received VKP or
VK supplemented.
Vit K deficiency Occurs within 2 days and not more than 5 days of life. Definite
eKology inducing VKP is found in associaKon with bleeding:
malabsorpKon of VK ie gut resecKon, biliary atresia, severe liver
disease-induced intrahepaKc biliary obstrucKon.
Late HDN / APCD Acquired bleeding disorder in the 2 week to 6 month age infant
caused by reduced vitamin K dependent clo{ng factor (II, VII,
IX, X) with a high incidence of intracranial hemorrhage and
responds to VK.
Diagnosis APCD
•  Diagnosis
–  Anamnesis : Bayi kecil yang sebelumnya sehat, Kba-Kba
tampak pucat, malas minum, lemah. Tidak mendapat
vitamin K saat lahir, konsumsi ASI, kejang fokal
–  PF : Pucat tanpa perdarahan yang nyata. Tanda
peningkatan tekanan intrakranial (UUB membonjol,
penurunan kesadaran, papil edema), defisit neurologis
fokal
–  Pemeriksaan Penunjang : Anemia dengan trombosit
normal, PT memanjang, APTT normal/memanjang. USG/CT
Scan kepala : perdarahan intrakranial
–  Pada bayi dengan kejang fokal, pucat, disertai UUB
membonjol harus difikirkan APCD sampai terbukK bukan

Buku PPM Anak IDAI


Tatalaksana APCD
•  Pada bayi dengan kejang fokal, pucat, dan UUB membonjol,
berikan tatalaksana APCD sampai terbukK bukan
•  Vitamin K1 1 mg IM selama 3 hari berturut-turut
•  Transfusi FFP 10-15 ml/kgBB selama 3 hari berturut-turut
•  Transfusi PRC sesuai Hb
•  Tatalaksana kejang dan peningkatan tekanan intrakranial
(Manitol 0,5-1 g/kgBB/kali atau furosemid 1 mg/kgBB/kali)
•  Konsultasi bedah syaraf
•  Pencegahan : Injeksi Vitamin KI 1 mg IM pada semua bayi
baru lahir

Buku PPM Anak IDAI


KARDIOLOGI
PENYAKIT JANTUNG BAWAAN
Tekanan di dalam Jantung

Congenital Heart Disease

Congenital HD

AcyanoKc CyanoKc

With ↑ volume With ↓ With ↑


load: With ↑ pressure pulmonary blood pulmonary blood
load: flow: flow:
- ASD - ToF
- Valve stenosis - TransposiKon of
- VSD - CoarctaKon of - Atresia the great vessels
- PDA aorta pulmonal - Truncus
- Valve - Atresia tricuspid arteriosus
regurgitaKon

1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.


2. Pathophysiology of heart disease. 5t ed.
Penyakit jantung kongenital
•  AsianoKk: L-R shunt
–  ASD: fixed spli>ng S2,
murmur ejeksi sistolik
–  VSD: murmur pansistolik
–  PDA: con)nuous murmur
•  SianoKk: R-L shunt
–  TOF: PS, VSD, overriding
aorta, RVH. Boot like heart
pada radiografi
–  TGA

hfp://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0002103/
Park MK. Pediatric cardiology for pracKKoners. Mosby; 2008.
CyanoKc Congenital HD
CyanoKc lesions with ↓ pulmonary blood flow must include both:
an obstruc_on to pulmonary blood flow & a shunt from R to L

Common lesions:
Tricuspid atresia, ToF, single ventricle with pulmonary stenosis

The degree of cyanosis depends on:


the degree of obstrucKon to pulmonary blood flow

If the obstruc_on is mild:


Cyanosis may be absent at rest
These paKent may have hypercyano_c spells during condiKon of stress

If the obstruc_on is severe:


Pulmonary blood flow may be dependent on patency of the ductus arteriosus.
When the ductus closes à hypoxemia & shock
CyanoKc Congenital HD
CyanoKc lesions with ↑ pulmonary blood flow is not
associated with obstrucKon to pulmonary blood flow

Cyanosis is caused by:


Total mixing of systemic venous &
Abnormal ventricular-arterial pulmonary venous within the heart:
connec_ons: - Common atrium or ventricle
- Total anomolous pulmonary venous
- TGA return
- Truncus arteriosus

1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.


Tetralogi Fallot
Tet Spell/ HypercyanoKc Spell
•  serangan biru yang terjadi secara mendadak
•  Anak tampak lebih biru, pernapasan cepat, gelisah,
kesadaran menurun, kadang-kadang disertai kejang.
•  Serangan berlangsung 15-30 menit, biasanya teratasi
secara spontan, tetapi serangan yang hebat dapat berakhir
dengan koma, bahkan kemaKan
•  Biasanya muncul usia 6-12 bulan, tapi bisa muncul usia 2-4
bulan
•  ToF yang Kpikal biasanya memiliki tekanan pada ventrikel
kiri dan kanan yang sama besar, sehinggan Kngkat sianosis
dan terjadinya tet spell ditentukan dari systemic vascular
resistance dan derajat keparahan komponen stenosis
pulmonal.

PPM IDAI Jilid I


Pelepasan menangis, BAB, demam, VICIOUS
akKvitas yg meningkat
CYCLE
katekolamine

takikardia aliran balik vena sistemik meningkat shg resistensi


vaskular pulmonal meningkat (a€erload pulmonal
meningkat) + resistensi vaskular sistemik rendah

increased
myocardial
contracKlity +
infundibular
KEMATIAN
stenosis. Right-to-le€ shunt meningkat

aliran darah ke sianosis progresif


paru berkurang
secara Kba-Kba penurunan PO2 dan
peningkatan PCO2 arteri à
penurunan pH darah

TET SPELL
HYPERCYANOTIC SPELL SKmulasi pusat pernapasan di
reseptor karoKs + nucleus hiperpnoea
batang otak
Tatalaksana Tet Spell
•  Knee chest posiKon/ squa{ng
–  Diharapkan aliran darah paru bertambah karena
peningkatan resistensi vaskular sistemik dan a€erload
aorta akibat penekukan arteri femoralis
•  Morfin sulfat 0,1-0,2 mg/kgBB SC, IM, atau IV
untuk menekan pusat pernapasan dan mengatasi
takipnea
•  Natrium bikarbonat 1 mEq/kgBB IV untuk
mengatasi asidosis. Dosis yang sama dapat
diulang dalam 10-15 menit.

PPM IDAI Jilid I


AcyanoKc Congenital HD:
General Pathophysiology

With ↑ volume load Clinical Findings


The most common: le€ to right e.g. ASD, VSD, PDA
shunKng

Blood back into the lungs ↓ compliance & ↑ work of breathing

Fluid leaks into the intersKKal space & Pulmonary edema, tachypnea, chest
alveoly retracKon, wheezing

↑ Heart rate & stroke volume


High level of ventricular output -> ↑Oxygen consumpKon -> sweaKng,
↑sympatheKc nervous system irritability, FTT
Remodelling: dilataKon & hypertrophy

If le€ untreated, ↑ volume load will Eventually leads to Eisenmenger


increase pulmonary vascular resistance Syndrome

1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.


AcyanoKc Congenital HD:
General Pathophysiology
With ↑ pressure load Clinical Findings

ObstrucKon to normal blood Murmur PS & PS: systolic


flow: pulmonic stenosis, aorKc
stenosis, coarctaKon of aorta. murmur;

Hypertrophy & dilataKon of


DilataKon happened in the later
ventricular wall
stage

Severe pulmonic stenosis in


Defect locaKon determine newborn à right-sided HF
the symptoms (hepatomegaly, peripheral
edema)

Severe aorKc stenosis à le€-
sided (pumonary edema, poor
1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed. perfusion) & right-sided HF
Ventricular Septal Defect
VSD:
Pathophysiology & Clinical Findings
Pansystolic murmur & thrill
Flow across VSD
over le€ lower sternum.

If defect is large à 3rd heart sound


Over flow across mitral valve
& mid diastolic rumble at the apex.

ECG: Le€ ventricular hypertrophy or


biventricular hypertrophy, peaked/
LA, LV, RV volume overload notched P wave
Ro: gross cardiomegaly

Dyspnea, feeding difficulKes, poor


High systolic pressure & high growth, profuse perspiraKon,
flow to the lungs à pneumonia, heart failure.
pulmonary hypertension Duskiness during crying or infecKon
Ph/: increased of 2nd heart sound

1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.


VSD:
Pathophysiology & Clinical Findings
•  cardiomegaly with
prominence of
–  both ventricles,
–  the le€ atrium, &
–  the pulmonary artery.
•  ↑ pulmonary vascular
marking

1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.


Atrial Septal Defect
ASD:
Pathophysiology & Clinical Findings
The degree of L-to-R shun_ng is dependent on:
- the size of the defect,
- the relaKve compliance of the R and L ventricles, &
- the relaKve vascular resistance in the pulmonary & systemic circulaKons

Infant has thick & less compliant RV à minimal symptoms


As children grow older: subtle failure to thrive, faKgue, dyspneu on effort,
recurrent respiratory tract infecKon

Enlargement of the RA & RV


Overflow in the right side of DilataKon of the pulmonary artery
heart The LA may be enlarged

Pulmonary vascular resistance may begin to increase in adulthood à


reversal of the shunt & cyanosis
1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.
ASD:
Pathophysiology & Clinical Findings
Ro:
Increased flow into right side of - enlargement of RV, RA, &
the heart & lungs pulmonary artery
- increased vasvular marking

Constant increased of Wide, fixed 2nd heart sound


ventricular diastolic volume spli{ng

Increased flow across tricuspid Mid-diastolic murmur at the


valve lower le€ sternal border

Increased flow across Thrill & systolic ejecKon murmur, best


heard at le€ middle & upper sternal
pulmonary valve border

Flow across the septal defect doesn’t produce murmur because the pressure gap
between LA & RA is not significant
1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.
ASD:
Pathophysiology & Clinical Findings

•  ↑ size of the main


pulmonary artery
•  ↑ size of the right atrium
•  ↑ size of the right ventricle
(seen best on the lateral
view as so€ Kssue filling in
the lower & middle
retrosternal space).
1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.
2. EssenKals of Radiology. 2nd ed.
Patent Ductus Arteriosus
Coarctasio of Aorta
Sindrom Eisenmenger

•  Suatu kondisi dimana defek jantung kongenital yang


Kdak dikoreksi menyebabkan hipertensi pulmonal yang
ireversibel, reversal flow, dan sianosis
•  Pirau dari kiri ke kanan berubah menjadi kanan ke kiri
akibat meningkatnya tekanan arteri pulmonal.
•  50% dari VSD besar yg Kdak dikoreksi dan 10% dari
pasien dgn ASD besar tdk dikoreksi, serta hampir
semua pasien truncus arteriosus berpotensi mengalami
sindrom eisenmenger
Gejala
GEJALA HIPERTENSI PULMONAL: GEJALA ERYTHROCYTOSIS:
•  Sesak napas •  Myalgias
•  FaKgue •  Anorexia
•  FaKgue
•  Letargi
•  Paresthesia jari-jari dan bibir
•  Toleransi laKhan fisik berkurang •  Tinnitus
dengan fase pemulihan yg lambat •  Pandangan kabur
•  Presyncope •  Nyeri kepala & pusing
•  Syncope •  Irritabilitas

GEJALA GAGAL JANTUNG: GEJALA VASODILATASI:
•  DOE •  Presyncope
•  Syncope
•  Orthopnea
•  Paroxysmal nocturnal dyspnea
•  Edema
•  Ascites
•  Anorexia
•  Nausea
Tanda
•  Sianosis sentral
•  Clubbing finger/ jari tabuh
•  Palpasi prekordial didapatkan adanya ventricular
heave kanan dan palpable S2.
•  Suara P2 yang keras
•  High-pitched early diastolic murmur dari insufiensi
pulmonal
•  Right-sided fourth heart sound
•  Pulmonary ejec)on click
•  Single S2
Tatalaksana
•  Jaga fluid balance
•  Gagal jantung kanan: diureKk utk mengurangi gejala kongesKf
•  Pulmonary vasodilaKng agents: fosfodiesterase, prostasiklin
•  Eritrositosis à flebotomi
•  Bedah paliaKf:
–  Kdak ada bedah korekKf yang bisa mengkoreksi kelainan kongenital (defek
primer) yang telah menyebabkan eisenmenger syndrome
–  Heart-lung transplantaKon and single or bilateral, sequenKal lung
transplantaKon are viable transplant procedures and are the only surgical
opKons for a paKent with Eisenmenger syndrome.
•  Untuk ps. Wanita disarankan jangan hamil (mother mortality rate 50%) è ligasi
tuba
Prognosis

•  Eisenmenger syndrome bersifat fatal; tetapi


sebagian kecil pasien berhasil bertahan hidup
hingga dekade keenam.
•  Angka harapan hidup biasanya sekitar 20-50
tahun jika didiagnosa awal dan ditatalaksana
maksimal.
Kawasaki disease
•  Penyakit kawasaki merupakan sindrom vasculiKs akut yang
terjadi pada fase akut demam
•  EKologi dari kasus ini belum diketahui secara jelas hingga
saat ini
•  Insidensi terKnggi terdapat pada anak-anak Asia, khususnya
dari Jepang
•  Proporsinya lebih banyak pada pria, yaitu dengan rasio laki-
laki:perempuan = 1.5:1
•  Terjadi banyak pada anak yang berusia <5 tahun
•  Case fatality rate diketahui rendah selama belum
menyebabkan komplikasi berupa coronary artery aneurysms
•  Pada <5% kasus dapat menyebabkan komplikasi acute
coronary syndrome saat usia <40 tahun

Diagnosis, Treatment, and Long-Term Management of Kawasaki Disease, AHA 2017


Patofisiologi Kawasaki disease
•  KarakterisKk dari penyakit kawasaki ini adalah inflamasi sistemik yang terjadi pada
pembuluh darah arteri berukuran sedang di semua organ dan jaringan.
•  Inflamasi ini terjadi selama fase akut demam, sehingga dapat menyebabkan
masalah di haK (hepaKKs), paru-paru (pneumoniKs intersisial), saluran cerna (nyeri
perut, muntah, diare, hidrops gallbladder), meninges (meningiKs), jantung
(miokardiKs, perikardiKs, valvuliKs), traktus urinarius (pyuria), pankreas
(pankreaKKs), dan nodul limfe (limfadenopaK)
•  Penyakit kawasaki ini terjadi melalui 3 proses patologis, yaitu:
1. NecroKzing arteriKs: proses neutrofilia yang merusak pembuluh darah arteri
secara progressif hingga ke tunika advenKsiaàmenimbulkan aneurisma
2. VaskuliKs subakut/kronis: infiltrasi limfosit, sel plasma, eosinofil, dan sebagian
kecil makrofag pada 2 minggu pertama setelah onset demam, yang dapat
berlangsung hingga beberapa bulan dan tahun
3. Luminal myofibroblasKc proliferaKon (LMP): terjadi proses myofibroblasKc dari
otot polos yang menyebabkan stenosis arteri progresif

Diagnosis, Treatment, and Long-Term Management of Kawasaki Disease, AHA 2017


Gejala Klinis Penyakit Kawasaki

ConjuncKviKs: Bulbar conjuncKval injecKon


without exudate; bilateral

Rash: Maculopapular, diffuse erythroderma,


or erythema multiforme-like Oral changes: Erythema and cracking of lips (cheiliKs);
strawberry tongue; erythema of oral andpharyngeal mucosa
Diagnosis, Treatment, and Long-Term Management of Kawasaki Disease, AHA 2017
Gejala Klinis Penyakit Kawasaki

Palmar eritema

Cervical adenopathy: Usually unilateral,


node ≥1.5 cm in diameter

Plantar eritema
Diagnosis, Treatment, and Long-Term Management of Kawasaki Disease, AHA 2017
Diagnosis Kawasaki Disease
Based on Diagnosis, Treatment, and Long-Term Management
of Kawasaki Disease 2017

Diagnosis, Treatment, and Long-Term Management of Kawasaki Disease, AHA 2017


Kawasaki Disease Inkomplit
•  Kriteria diatas sayangnya Kdak selalu terpenuhi dan seringkali
Kdak dapat mengidenKfikasi adanya suatu penyakit kawasaki.
•  Penyakit kawasaki harus selalu diperKmbangkan pada anak
yang memiliki demam prolonged yang Kdak dapat dijelaskan
•  Selain itu, demam dengan karakterisKk penyakit kawasaki yang
Kdak memenuhi kriteria diagnosis, jika sudah terdapat bukK
aneurisma arteri koroner sudah dapat dianggap sebagai
penyakit kawasaki
•  Pasien yang tergolong dalam penyakit kawasaki inkomplit ini
adalah anak dengan demam dan gejala klinis yang khas
kawasakii, hanya saja belum memenuhi kriteria diagnosis
Diagnosis Kawasaki Disease Inkomplit
Based on Diagnosis, Treatment, and Long-Term Management
of Kawasaki Disease 2017

Diagnosis, Treatment, and Long-Term Management of Kawasaki Disease, AHA 2017


Tatalaksana Kawasaki Disease
Based on Diagnosis, Treatment, and Long-Term Management
of Kawasaki Disease 2017

•  Prinsip tatalaksananya adalah mengurangi inflamasi dan kerusakan


arteri, serta mencegah trombosis pada mereka yang memiliki
abnormalitas arteri koroner
•  DOC: Intravenous Immunoglobulin (IVIG) dalam 10 hari pertama
sejak onset penyakit
•  Jika sudah lebih dari 10 hari dapat tetap diberikan jika CRP>3mg/dl
•  Dosis: 2 g/kg as a single infusion, selama 10-12 jam dan diberikan
bersama asam aseKlsalisilat 30-50 mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis
•  Setelah anak sudah Kdak demam selama 48-72 jam, dosis asam
aseKlsalisilat mulai diturunkan secara perlahan

Diagnosis, Treatment, and Long-Term Management of Kawasaki Disease, AHA 2017


NUTRISI
PEDIATRIK
ANTROPOMETRIK
Pemeriksaan Antropometrik
BB/U (WHO-NCHS) BB/TB (WHO-NCHS)
•  Merupakan interpretasi •  Merupakan penentuan
pertumbuhan yang bersifat
akut. status nutrisi paling akurat
–  80-120% : gizi baik –  BB/TB(%) =(BB terukur saat
–  60-80% : gizi kurang(edem - ), itu/ BB baku~TB terukur saat
buruk (edem + ) itu) x 100%
–  < 60% : gizi buruk
–  Interpretasi
TB/U (WHO-NCHS)
•  > 120 : kegemukan/obesitas
•  Merupakan penentuan status
nutrisi yang bersifat akut •  110-120% : overweight
–  90-110% : TB baik/normal •  90-110% : normal
–  70-90% : TB kurang •  70-90 % : gizi kurang
–  < 70% : TB sangat kurang •  < 70 % : gizi buruk

GIZI BURUK
Malnutrisi Energi Protein
•  Malnutrisi: KeKdakseimbangan seluler antara asupan dan kebutuhan
energi dan nutrien tubuh untuk tumbuh dan mempertahankan fungsinya
(WHO)
•  Dibagi menjadi 3:
–  Overnutri)on (overweight, obesitas)
–  Undernutri)on (gizi kurang, gizi buruk)
–  Defisiensi nutrien spesifik
•  Malnutrisi energi protein (MEP):
–  MEP derajat ringan-sedang (gizi kurang)
–  MEP derajat berat (gizi buruk)
•  Malnutrisi energi protein berdasarkan klinis:
–  Marasmus
–  Kwashiorkor
–  Marasmik-kwashiorkor

Sjarif DR. NutriKon management of well infant, children, and adolescents.


Scheinfeld NS. Protein-energy malnutriKon. hfp://emedicine.medscape.com/arKcle/1104623-overview
Marasmus

§  wajah seperK orang tua


§  kulit terlihat longgar
§  tulang rusuk tampak
terlihat jelas
§  kulit paha berkeriput
§  terlihat tulang belakang
lebih menonjol dan kulit
di pantat berkeriput
( baggy pant )
Kwashiorkor

§  edema
§  rambut kemerahan, mudah
dicabut
§  kurang ak_f, rewel/cengeng
§  pengurusan otot
§  Kelainan kulit berupa bercak
merah muda yg meluas &
berubah warna menjadi coklat
kehitaman dan terkelupas (crazy
pavement dermatosis)
Marasmik-kwashiorkor
•  Terdapat tanda dan gejala klinis marasmus dan
kwashiorkor secara bersamaan
Kriteria Gizi Kurang dan Gizi Buruk
•  Z-score → menggunakan •  BB/IBW (Ideal Body Weight)
kurva WHO weight-for- → menggunakan kurva CDC
height •  ≥80-90% ⇒ mild
•  <-2 – moderate wasted malnutriKon
•  <-3 – severe wasted è gizi •  ≥70-80% ⇒ moderate
buruk malnutriKon
•  ≤70% ⇒ severe
•  Lingkar Lengan Atas < 11,5 malnutriKon è Gizi Buruk
cm
Kwashiorkor
Protein ê

Serum Albumin ê

Tekanan osmoKk koloid serum ê

Edema
Marasmus
Karbohidrat ê

Pemecahan lemahé + pemecahan proteiné

Lemak subkutan ê

Muscle wasKng, kulit keriput

Turgor kulit berkurang


Emergency Signs in Severe
MalnutriKon
•  Dibutuhkan _ndakan resusitasi
•  Tanda gangguan airway and breathing :
–  Tanda obstruksi
–  Sianosis
–  Distress pernapasan
•  Tanda dehidrasi berat → rehidrasi secara ORAL.
Dehidrasi berat sulit dinilai pada malnutrisi berat.
Terdapat risiko overhidrasi
•  Tanda syok : letargis, penurunan kesadaran
–  Berikan rehidrasi parenteral (Resusitasi Cairan)
Cause difference
MARASMUS KWASHIORKOR
Marasmus is mulK nutriKonal Kwashiorkor occurs due to the lack of
deficiency proteins in a person's diet
Marasmus usually affects very young Kwashiorkor affects slightly older
children children mainly children who are
weaned away from their mother's
milk
Marasmus is usually the result of a Kwashiorkor can occur rapidly
gradual process
10 Langkah Utama Penatalaksaan Gizi Buruk
No Tindakan Stabilisasi Transisi Rehabilitasi Tindaklanjut
H 1-2 H 3-7 H 8-14 mg 3-6 mg 7-26
1. Atasi/cegah hipoglikemia


2. Atasi/cegah hipotermia

3. Atasi/cegah dehidrasi

4. Perbaiki gangguan elektrolit

5. Oba_ infeksi
6. Perbaiki def. nutrien mikro tanpa Fe + Fe

7. Makanan stab & trans

8. Makanan Tumb.kejar
9. S_mulasi

10. Siapkan _ndak lanjut
HIPOGLIKEMIA
•  Semua anak dengan gizi •  Jika anak Kdak sadar, beri
buruk berisiko hipoglikemia larutan glukosa 10% IV
(< 54 mg/dl) bolus 5 ml/kg BB, atau
•  Jika Kdak memungkinkan larutan glukosa/larutan gula
periksa GDS, maka semua pasir 50 ml dengan NGT.
anak gizi buruk dianggap •  Lanjutkan pemberian F-75
hipoglikemia seKap 2–3 jam, siang dan
•  Segera beri F-75 pertama, malam selama minimal dua
bila Kdak dapat disediakan hari.
dengan cepat, berikan 50 ml
glukosa/ gula 10% (1 sendok
teh munjung gula dalam 50
ml air) oral/NGT.
Ketentuan Pemberian Makan Awal
•  Makanan dalam jumlah sedikit tetapi sering dan rendah
osmolaritas serta rendah laktosa
•  Berikal secara oral atau melalui NGT, hindari pemberian
parenteral
•  Formula awal F-75 diberikan sesuai standar WHO dan
sesuai jadwal makan yang dibuat untuk mencukupi
kebutuhan zat gizi pada fase stabilisasi
•  Jika anak masih mendapat ASI, lanjutkan, tetapi pasKkan
bahwa jumlah F-75 yang dibutuhkan harus dipenuhi
•  Apabila pemberian makan oral Kdak mencapai kebutuhan
minimal, berikan sisanya melalui NGT
•  Pada fase transisi, secara bertahap gan_ F-75 dengan
F-100
Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. WHO. 2008
Pemberian Makanan
•  Fase stabilisasi (Inisiasi)
–  Energi: 80-100 kal/kg/hari
–  Protein: 1-1,5 gram/kg/hari
–  Cairan: 130 ml/kg/hari atau 100 ml/kg/hari (edema)
•  Fase transisi
–  Energi: 100-150 kal/kg/hari
–  Protein: 2-3 gram/kg/hari
•  Fase rehabilitasi
–  Energi: 150-220 kal/kg/hari
–  Protein: 3-4 gram/kg/hari
HIPOTERMIA (Suhu aksilar < 35.5° C)
•  PasKkan bahwa anak berpakaian (termasuk
kepalanya). Tutup dengan selimut hangat dan
letakkan pemanas/ lampu di dekatnya, atau
lakukan metode kanguru.
•  Ukur suhu aksilar anak seKap 2 jam s.d suhu
menjadi 36.5° C/lbh.
•  Jika digunakan pemanas, ukur suhu Kap
setengah jam. HenKkan pemanasan bila suhu
mencapai 36.5° C
DEHIDRASI
•  Jangan gunakan infus untuk rehidrasi, kecuali
pada kasus dehidrasi berat dengan syok.
•  Beri ReSoMal, secara oral atau melalui NGT
–  beri 5 ml/kgBB seKap 30 menit untuk 2 jam
pertama
–  setelah 2 jam, berikan ReSoMal 5–10 ml/kgBB/
jam berselang-seling dengan F-75 dengan jumlah
yang sama, seKap jam selama 10 jam.
Atasi Infeksi
• Anggap semua anak dengan •  Jika ada komplikasi (hipoglikemia,
gizi buruk mengalami infeksi hipotermia, atau anak terlihat
letargis atau tampak sakit berat),
saat mereka datang dan atau jelas ada infeksi à
segera diberi anKbioKk. Ampisilin (50 mg/kgBB IM/IV/6
jam selama 2 hari), dilanjutkan
Amoksisilin PO (15 mg/kgBB/8 jam
PILIHAN ANTIBIOTIK
selama 5 hari) ATAU Ampisilin PO
SPEKTRUM LUAS (50 mg/kgBB/6 jam selama 5 hari)
• Jika )dak ada komplikasi sehingga total selama 7 hari,
atau )dak ada infeksi nyata DITAMBAH Gentamisin (7.5 mg/
kgBB/hari IM/IV) seKap hari
à Kotrimoksazol PO (25 mg selama 7 hari.
SMZ + 5 mg TMP/kgBB/12
jam selama 5 hari.
Atasi Infeksi
•  Jika anak )dak membaik dalam waktu 48 jam,
tambahkan Kloramfenikol (25 mg/kgBB IM/IV
seKap 8 jam) selama 5 hari.
•  Jika diduga meningiKs, lakukan pungsi lumbal
untuk memasKkan dan obaK dengan
Kloramfenikol (25 mg/kg seKap 6 jam) selama
10 hari.
Mikronutrien
•  Asam folat (5 mg pada hari 1, dan selanjutnya 1 mg/hari)
•  Seng (2 mg Zn elemental/kgBB/hari)
•  Tembaga (0.3 mg Cu/kgBB/hari)
•  Ferosulfat 3 mg/kgBB/hari setelah berat badan naik (mulai fase
rehabilitasi)
•  Vitamin A diberikan secara oral pada hari ke 1 dengan:

•  Jika ada gejala defisiensi vitamin A, atau pernah sakit campak dalam 3
bulan terakhir, beri vitamin A dengan dosis sesuai umur pada hari ke 1, 2,
dan 15.
PEDIATRIK
SOSIAL
IMUNISASI
Jadwal Imunisasi Anak Umur 0 – 18 tahun
Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Tahun 2014
Umur pemberian vaksin
Jenis vaksin Bulan Tahun
Lahir 1 2 3 4 5 6 9 12 15 18 24 3 5 6 7 8 10 12 18
Hepatitis B 1 2 3
Polio 0 1 2 3 4 5
BCG 1 kali
DTP 1 2 3 4 5 6 (Td) 7(Td)
Hib 1 2 3 4
PCV 1 2 3 4
Rotavirus 1 2 3
Influenza Ulangan 1 kali tiap tahun
Campak 1 2 3
MMR 1 2
Tifoid Ulangan tiap 3 tahun
Hepatitis A 2 kali, interval 6-12 bulan
Varisela 1 kali
HPV 3 kali

Keterangan 6. Vaksin pneumokokus (PCV). Apabila diberikan pada umur 7-12 bulan, PCV diberikan 2 kali
Cara membaca kolom umur: misal 2 berarti umur 2 bulan (60 hari) sd 2 bulan 29 hari (89 hari) dengan interval 2 bulan; pada umur lebih dari 1 tahun diberikan 1 kali, namun keduanya perlu
Rekomendasi imunisasi berlaku mulai 1 Januari 2014 dan dapat diakses pada website IDAI (http:// booster 1 kali pada umur lebih dari 12 bulan atau minimal 2 bulan setelah dosis terakhir. Pada
idai.or.id/public-articles/klinik/imunisasi/jadwal-imunisasi-anak-idai.html) anak umur di atas 2 tahun PCV diberikan cukup satu kali.
7. Vaksin rotavirus. Vaksin rotavirus monovalen diberikan 2 kali, vaksin rotavirus pentavalen
Untuk memahami tabel jadwal imunisasi perlu membaca keterangan tabel diberikan 3 kali. Vaksin rotavirus monovalen dosis I diberikan umur 6-14 minggu, dosis ke-2
1. Vaksin hepatitis B. Paling baik diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir dan didahului diberikan dengan interval minimal 4 minggu. Sebaiknya vaksin rotavirus monovalen selesai
pemberian suntikan vitamin K1. Bayi lahir dari ibu HBsAg positif, diberikan vaksin hepatitis B diberikan sebelum umur 16 minggu dan tidak melampaui umur 24 minggu. Vaksin rotavirus
dan imunoglobulin hepatitis B (HBIg) pada ekstremitas yang berbeda. Vaksinasi hepatitis B pentavalen : dosis ke-1 diberikan umur 6-14 minggu, interval dosis ke-2 dan ke-3, 4-10 minggu;
selanjutnya dapat menggunakan vaksin hepatitis B monovalen atau vaksin kombinasi. dosis ke-3 diberikan pada umur kurang dari 32 minggu (interval minimal 4 minggu).
2. Vaksin polio. Pada saat lahir atau pada saat bayi dipulangkan harus diberikan vaksin polio oral 8. Vaksin varisela. Vaksin varisela dapat diberikan setelah umur 12 bulan, terbaik pada umur
(OPV-0). Selanjutnya, untuk polio-1, polio-2, polio-3 dan polio booster dapat diberikan vaksin sebelum masuk sekolah dasar. Apabila diberikan pada umur lebih dari 12 tahun, perlu 2 dosis
OPV atau IPV, namun sebaiknya paling sedikit mendapat satu dosis vaksin IPV. dengan interval minimal 4 minggu.
3. Vaksin BCG. Pemberian vaksin BCG dianjurkan sebelum 3 bulan, optimal umur 2 bulan. Apabila 9. Vaksin influenza. Vaksin influenza diberikan pada umur minimal 6 bulan, diulang setiap tahun.
diberikan sesudah umur 3 bulan, perlu dilakukan uji tuberkulin. Untuk imunisasi pertama kali (primary immunization) pada anak umur kurang dari 9 tahun
4. Vaksin DTP. Vaksin DTP pertama diberikan paling cepat pada umur 6 minggu. Dapat diberikan diberi dua kali dengan interval minimal 4 minggu. Untuk anak 6 - < 36 bulan, dosis 0,25 mL.
vaksin DTwP atau DTaP atau kombinasi dengan vaksin lain. Untuk anak umur lebih dari 7 tahun 10. Vaksin human papiloma virus (HPV). Vaksin HPV dapat diberikan mulai umur 10 tahun. Vaksin
diberikan vaksin Td, dibooster setiap 10 tahun. HPV bivalen diberikan tiga kali dengan interval 0, 1, 6 bulan; vaksin HPV tetravalen dengan
5. Vaksin campak. Vaksin campak kedua tidak perlu diberikan pada umur 24 bulan, apabila MMR interval 0,2,6 bulan.
sudah diberikan pada 15 bulan.
Jadwal Imunisasi Anak Usia 0 – 18 Tahun
Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Tahun 2017
Usia
Imunisasi Bulan Tahun
Lahir 1 2 3 4 5 6 9 12 15 18 24 3 5 6 7 8 9 10 12 18
Hepatitis B 1 2 3 4
Polio 0 1 2 3 4
BCG 1 kali
DTP 1 2 3 4 5 6 (Td/Tdap) 7 (Td)
Hib 1 2 3 4
PCV 1 2 3 4
Rotavirus 1 2 3a
Influenza Ulangan 1 kali setiap tahun
Campak 1 2 3
MMR 1 2
Tifoid Ulangan setiap 3 tahun
Hepatitis A 2 kali, interval 6 – 12 bulan
Varisela 1 kali
HPV 2 atau 3 kalib
Japanese encephalitis 1 2
Dengue 3 kali, interval 6 bulan

Keterangan 5. Vaksin pneumokokus (PCV). Apabila diberikan pada usia 7-12 bulan, PCV diberikan 2 kali dengan interval 2 bulan;
Cara membaca kolom usia : misal 2 berarti usia 2 bulan (60 hari) s.d. 2 bulan 29 hari (89 hari) dan pada usia lebih dari 1 tahun diberikan 1 kali. Keduanya perlu booster pada usia lebih dari 12 bulan atau minimal
Rekomendasi imunisasi berlaku mulai Januari 2017 2 bulan setelah dosis terakhir. Pada anak usia di atas 2 tahun PCV diberikan cukup satu kali.
Dapat diakses pada website IDAI (http:// idai.or.id/public-articles/klinik/imunisasi/jadwal-imunisasi-anak-idai.html) 6. Vaksin rotavirus. Vaksin rotavirus monovalen diberikan 2 kali, dosis pertama diberikan usia 6-14 minggu (dosis
a
Vaksin rotavirus monovalen tidak perlu dosis ke-3 (lihat keterangan) pertama tidak diberikan pada usia > 15 minggu), dosis ke-2 diberikan dengan interval minimal 4 minggu. Batas akhir
b
Apabila diberikan pada remaja usia 10-13 tahun, pemberian cukup 2 dosis dengan interval 6-12 bulan; respons antibodi pemberian pada usia 24 minggu. Vaksin rotavirus pentavalen diberikan 3 kali, dosis pertama diberikan usia 6-14
setara dengan 3 dosis (lihat keterangan) minggu (dosis pertama tidak diberikan pada usia > 15 minggu), dosis kedua dan ketiga diberikan dengan interval 4-10
Optimal Catch-up Booster Daerah Endemis minggu. Batas akhir pemberian pada usia 32 minggu.
7. Vaksin influenza. Vaksin influenza diberikan pada usia lebih dari 6 bulan, diulang setiap tahun. Untuk imunisasi
Untuk memahami tabel jadwal imunisasi perlu membaca keterangan tabel pertama kali (primary immunization) pada anak usia kurang dari 9 tahun diberi dua kali dengan interval minimal 4
1. Vaksin hepatitis B (HB). Vaksin HB pertama (monovalen) paling baik diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir minggu. Untuk anak 6-36 bulan, dosis 0,25 mL. Untuk anak usia 36 bulan atau lebih, dosis 0,5 mL.
dan didahului pemberian suntikan vitamin K1 minimal 30 menit sebelumnya. Jadwal pemberian vaksin HB monova- 8. Vaksin campak. Vaksin campak kedua (18 bulan) tidak perlu diberikan apabila sudah mendapatkan MMR.
len adalah usia 0,1, dan 6 bulan. Bayi lahir dari ibu HBsAg positif, diberikan vaksin HB dan imunoglobulin hepatitis B 9. Vaksin MMR/MR. Apabila sudah mendapatkan vaksin campak pada usia 9 bulan, maka vaksin MMR/MR diberikan
(HBIg) pada ekstremitas yang berbeda. Apabila diberikan HB kombinasi dengan DTPw, maka jadwal pemberian pada pada usia 15 bulan (minimal interval 6 bulan). Apabila pada usia 12 bulan belum mendapatkan vaksin campak, maka
usia 2, 3, dan 4 bulan. Apabila vaksin HB kombinasi dengan DTPa, maka jadwal pemberian pada usia 2, 4, dan 6 bulan. dapat diberikan vaksin MMR/MR.
2. Vaksin polio. Apabila lahir di rumah segera berikan OPV-0. Apabila lahir di sarana kesehatan, OPV-0 diberikan saat 10. Vaksin varisela. Vaksin varisela diberikan setelah usia 12 bulan, terbaik pada usia sebelum masuk sekolah dasar.
bayi dipulangkan. Selanjutnya, untuk polio-1, polio-2, polio-3, dan polio booster diberikan OPV atau IPV. Paling se- Apabila diberikan pada usia lebih dari 13 tahun, perlu 2 dosis dengan interval minimal 4 minggu.
dikit harus mendapat satu dosis vaksin IPV bersamaan dengan pemberian OPV-3. 11. Vaksin human papiloma virus (HPV). Vaksin HPV diberikan mulai usia 10 tahun. Vaksin HPV bivalen diberikan tiga
3. Vaksin BCG. Pemberian vaksin BCG dianjurkan sebelum usia 3 bulan, optimal usia 2 bulan. Apabila diberikan pada kali dengan jadwal 0, 1, 6 bulan; vaksin HPV tetravalen dengan jadwal 0,2,6 bulan. Apabila diberikan pada remaja
usia 3 bulan atau lebih, perlu dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu. usia 10-13 tahun, pemberian cukup 2 dosis dengan interval 6-12 bulan; respons antibodi setara dengan 3 dosis.
4. Vaksin DTP. Vaksin DTP pertama diberikan paling cepat pada usia 6 minggu. Dapat diberikan vaksin DTPw atau 12. Vaksin Japanese encephalitis (JE). Vaksin JE diberikan mulai usia 12 bulan pada daerah endemis atau turis yang
DTPa atau kombinasi dengan vaksin lain. Apabila diberikan vaksin DTPa maka interval mengikuti rekomendasi vaksin akan bepergian ke daerah endemis tersebut. Untuk perlindungan jangka panjang dapat diberikan booster 1-2 tahun
tersebut yaitu usia 2, 4, dan 6 bulan. Untuk anak usia lebih dari 7 tahun diberikan vaksin Td atau Tdap. Untuk DTP 6 berikutnya.
dapat diberikan Td/Tdap pada usia 10-12 tahun dan booster Td diberikan setiap 10 tahun. 13. Vaksin dengue. Diberikan pada usia 9-16 tahun dengan jadwal 0, 6, dan 12 bulan.
Cara membaca kolom usia: misal 2 berarK usia 2 bulan (60 hari) s.d 2 bulan 29 hari (89 hari)
aVaksin rotavirus monovalen Kdak perlu dosis ke-3 (lihat keterangan)

bApabila diberikan pada remaja 10-13 tahun pemberian cukup 2 dosis dengan interval 6-12

bulan, respon anKbody sama dengan 3 dosis (lihat keterangan)



opKmal catchup booster daerah endemis

1.  Vaksin HepaKKs B: vaksin HB pertama (monovalen) paling baik diberikan dalam 12 jam
setelah lahir, didahului pemberian vitamin K, minimal 30 menit sebelumnya, jadwal
pemberian vaksin HB monovalen adalah usia 0, 1 dan 6 bulan. Bayi lahir dari ibu HBsAg
posiKf diberikan vaksin HB dan IG hep B (HbIg) pada extremitas berbeda. Apabila
diberikan HB kombinasi dengan DTPw maka jadwal pemberian pada usia 2,3, dan 4
bulan. Apabila vaksin HB kombinasi dengan DTPa maka jadwal pemberian pada usia 2,
4, dan 6 bulan.
2.  Vaksin polio: apabila lahir di rumah segera berikan OPV-0. Apabila lahir di sarana
kesehatan OPV-0 diberikan saat dipulangkan. Untuk polio 1,2, dan 3 dan booster
diberikan OPV atau IPV. Paling sedikit harus mendapat satu dosis IPV bersamaan
dengan OPV-3
3.  Vaksin BCG: pemberian sebelum usia 3 bulan, opKmal usia 2 bulan. Apabila diberikan
usia 3 bulan atau lebih perlu diuji tuberkulin
4.  Vaksin DTP: DTP 1 paling cepat usia 6 minggu, dapat diberikan DTPW atau DTPa atau
kombinasi dengan vaksin lain. Apabila DTPa maka interval 2,4,6 bulan. Untuk usia lebih
7 tahundiberikan vaksin Td atau Tdap. Untuk DTP 6 dapat diberikan Td/Tdap pada usia
10-12 tahun dan booster Td diberikan seKap 10 tahun
5.  Vaksin pneumokokkus (PCV): apabila diberikan pada usia 7-12 bulan, PCV diberikan 2
kali dengan interval 2 bulan dan pada usia lebih dari 1 tahun diberikan 1 kali. Keduanya
perlu booster pada usia lebih dari 12 bulan atau minimal 2 bulan setelah dosis terakhir.
Anak diatas 2 tahun PCV cukup 1 kali
6.  Vaksin rotavirus. Monovalen diberikan 2 kali, dosis pertama 6-14 minggu, kedua
diberikan interval minimal 4 minggu, batas akhir pemberian pada 24 minggu.
Pentavalen diberikan 3 kali, dosis pertama 6-14 minggu, dosis kedua dan keKga interval
4-10 minggu, batas akhir pemberian pada 32 minggu
7.  Vaksin influenza: diberikan pada usia lebih dari 6 bulan, diulang seKap tahun. Untuk
imunisasi pertama anak kurang dari 9 tahun diberikan dua kali dengan interval minimal
4 minggu. Untuk anak usia 6-36 bulan, dosis 0,25 mL. untuk anak usia 36 bulan atau
lebih, dosis 0,5 mL
8.  Vaksin campak: campak kedua (18 bulan) Kdak perlu diberikan bila sudah mendapat
MMR
9.  MMR/MR: apabila sudah mendapatkan pada usia 9 bulan maka diberikan pada usia
15 bulan (interval minimal 6 bulan). Apabila usia 12 bulan belum vaksin campak,
dapat diberikan MMR/MR
10. Varisela: diberikan setelah usia 12 bulan, terbaik sebelum masuk SD. Apabila lebih
dari 13 tahun perlu 2 dosis dengan interval minimal 4 minggu
11. HPV: diberikan mulai usia 10 tahun, bivalen jadwal 3 kali 0,1,6 bulan. Tetravalen 0,2,6
bulan. Bila diberikan usia 10-13 tahun, cukup 2 dosis dengan interval 6-12 bulan
12. Japanese EncephaliKs: diberikan mulai usia 12 bulan pada daerah endemic atau turis
yang akan ke daerah endemic. Perlindungan jangka panjang diberikan booster 1-2
tahun berikutnya
13. Vaksin dengue: diberikan pada usia 9-16 tahun dengan jadwal 0,6, dan 12 bulan
Perubahan Jadwal Imunisasi Wajib
2014
2016
Hep. B: lahir,1,6
bulan 2017
Hep .B: sama dengan
Polio: lahir, 2,4,6 2014 Hep .B: lahir, 2,3,4
bulan Polio: lahir, 2,3,4 bulan
DPT: 2,4,6 bulan bulan Polio: lahir, 2,3,4
DPT: 2,3,4 bulan bulan
DPT: 2,3,4 bulan

Plus2 : HiB

2,4,6 bulan 2,3,4 bulan 2,3,4 bulan


*Intradermal=Intrakutan
DTP
•  Vaksin DTP pertama diberikan paling cepat pada usia 6
minggu.
•  Dapat diberikan vaksin DTPw atau DTPa atau kombinasi
dengan vaksin lain.
•  Apabila diberikan vaksin DTPa maka interval mengiku
rekomendasi vaksin tersebut yaitu usia 2, 4, dan 6 bulan.
•  Untuk anak usia lebih dari 7 tahun diberikan vaksin Td atau
Tdap.
•  Untuk DTP 6 dapat diberikan Td/Tdap pada usia 10-12
tahun dan booster Td diberikan seKap 10 tahun.
DTP Kombinasi

•  DTwP + HepB àQuadrivalent


•  DTwP + HepB + HiB àPentavalent
•  DTwP + HepB + HiB + IPV à Hexavalent
•  DTaP + HepB + HiB
•  DTaP + HepB + HiB + IPV
•  DT, Td, Tdap


Note: Huruf kapital = pediatric dose, huruf kecil = adult dose
Vaksin Pertusis
•  Vaksin pertussis whole cell: •  Kejadian ikutan pasca imunisasi
merupakan suspensi kuman B. DTP
pertussis maK. –  Reaksi lokal kemerahan, bengkak,
•  Vaksin pertusis aselular adalah dan nyeri pada lokasi injeksi terjadi
pada separuh (42,9%) penerima
vaksin pertusis yang berisi DTP.
komponen spesifik toksin dari
–  Demam
Bordefellapertusis.
–  Anak gelisah dan menangis terus
•  Vaksin pertussis aselular bila menerus selama beberapa jam
dibandingkan dengan whole-cell pasca sunKkan (inconsolable
ternyata memberikan reaksi lokal crying).
dan demam yang lebih ringan, –  Kejang demam
diduga akibat dikeluarkannya –  ensefalopaK akut atau reaksi
komponen endotoksin dan anafilaksis
debris.
Vaksin Pertusis
•  Kontraindikasi mutlak •  Keadaan lain dapat
terhadap pemberian vaksin dinyatakan sebagai
pertusis baik whole-cell perhaKan khusus
maupun aselular, yaitu (precau)on):
–  Riwayat anafilaksis pada –  bila pada pemberian pertama
pemberian vaksin dijumpai riwayat
sebelumnya hiperpireksia, keadaan
–  EnsefalopaK sesudah hipotonik-hiporesponsif
pemberian vaksin pertusis dalam 48 jam, anak menangis
sebelumnya terus menerus selama 3 jam
dan riwayat kejang dalam 3
hari sesudah imunisasi DTP.
• 
KONTRAINDIKASI IMUNISASI
•  Berlaku umum untuk semua vaksin
Indikasi Kontra BUKAN Indikasi Kontra
•  Reaksi anafilaksis terhadap •  Reaksi lokal ringan-sedang (sakit,
vaksin (indikasi kontra kemerahan, bengkak) sesudah sunKkan
pemberian vaksin tersebut vaksin
berikutnya) •  Demam ringan atau sedang pasca vaksinasi
•  Reaksi anafilaksis terhadap sebelumnya
konsKtuen vaksin •  Sakit akut ringan dengan atau tanpa demam
•  Sakit sedang atau berat, dengan ringan
atau tanpa demam •  Sedang mendapat terapi anKbioKk
•  Masa konvalesen suatu penyakit
•  Prematuritas
•  Terpajan terhadap suatu penyakit menular
•  Riwayat alergi, atau alergi dalam keluarga
•  Kehamilan Ibu
•  Penghuni rumah lainnya Kdak divaksinasi
Pedoman Imunisasi di Indonesia. Satgas Imunisasi – IDAI. 2008
PerKmbangan Pemberian Imunisasi
•  Kontra indikasi absolut imunisasi adalah defisiensi imun dan pernah
menderita syok anafilaksis pada imunisasi terdahulu. Sedangkan
demam Knggi atau sedang dirawat karena penyakit berat
merupakan kontra indikasi sementara, sehingga anak tetap harus
diimunisasi apabila telah sembuh.
•  Bila anak sedang batuk pilek tanpa demam, anak tetap BOLEH
mendapat imunisasi polio oral. Bila anak sedang demam atau sakit
berat lainnya, maka imunisasi polio oral DITUNDA.
•  Pengurangan dosis imunisasi menjadi setengahnya, atau membagi
dosis sangat Kdak dibenarkan.
•  Apabila anak sedang minum obat prednison 2 mg/kgbb/hari,
dianjurkan menunda imunisasi 1 bulan setelah selesai pengobatan.

Idai.or.id
PerKmbangan Pemberian Imunisasi
•  Pada bayi prematur, vaksin polio sebaiknya diberikan
sesudah bayi prematur berumur 2 bulan atau berat
badan sudah > 2000 gram, demikian pula DPT,
hepaKKs B dan Hib.
•  Apabila bayi / anak sudah pernah sakit campak, rubela
atau batuk rejan, imunisasi boleh dilakukan untuk
penyakit-penyakit tersebut.
•  Vaksinasi bayi / anak dengan riwayat pernah sakit
campak akan meningkatkan kekebalan dan Kdak
menimbulkan risiko. Diagnosis campak dan rubella
tanpa konfirmasi laboratorium sangat Kdak dapat
dipercaya.
Imunisasi pada Anak dengan Ibu
Penderita Hepa__s B
•  Tujuan utama imunisasi hepaKKs B (HB) ialah untuk
mencegah terjadinya hepaKKs kronik serta karier dan
bukan untuk menyembuhkan hepaKKs akut atau
infeksi oleh virus HB (VHB)
•  Indonesia adalah negara dengan angka prevalensi HB
berkisar antara 5 – 20 % à endemisitas sedang sampai
Knggi
•  Transmisi verKkal HB 48 % à imunisasi harus diberikan
segera setelah lahir
•  Dosis dan jadwal imunisasi HB diberikan berdasarkan
status HBsAg ibu
Bayi lahir dari ibu dengan
status HBsAg yang _dak Bayi lahir dari ibu dengan
diketahui : HBsAg posi_f:
•  Diberikan vaksin rekombinan •  Dalam waktu 12 jam setelah
(10 mg) secara
intramuskular, dalam waktu lahir, secara bersamaan
12 jam sejak lahir. diberikan 0,5 ml HBIG dan
•  Dosis ke dua diberikan pada vaksin rekombinan secara
umur 1-2 bulan dan dosis ke intramuskular di sisi tubuh
Kga pada umur 6 bulan. yang berlainan.
•  Apabila pada pemeriksaan
selanjutnya diketahui HbsAg
•  Dosis ke dua diberikan 1-2
ibu posiKf, segera berikan 0,5 bulan sesudahnya, dan
ml imunoglobulin anK dosis ke Kga diberikan pada
hepaKKs (HBIG) (sebelum usia 6 bulan
usia 1 minggu).
•  Bayi prematur, termasuk bayi berat lahir rendah, tetap dianjurkan
untuk diberikan imunisasi, sesuai dengan umur kronologisnya
dengan dosis dan jadwal yang sama dengan bayi cukup bulan
Vaksin BCG (Bacille CalmeKe-Guerin)

•  Bacille CalmeTe-Guerin adalah vaksin hidup yang dibuat dari


Mycobacterium bovis yang dibiak berulang selama 1-3 tahun
sehingga didapatkan basil yang Kdak virulen tetapi masih
mempunyai imunogenitas.
•  Vaksinasi BCG Kdak mencegah infeksi tuberkulosis tetapi
mengurangi risiko terjadi tuberkulosis berat seperK meningiKs
TB dan tuberkulosis milier.
•  Vaksin BCG Kdak boleh terkena sinar matahari, harus disimpan
pada suhu 2-8° C, Kdak boleh beku.
•  Vaksin yang telah diencerkan harus dipergunakan dalam waktu
8 jam.
Vaksin BCG
•  Vaksin BCG diberikan pada umur <3 bulan, sebaiknya pada anak
dengan uji Mantoux (tuberkulin) negaKf.
•  Efek proteksi Kmbul 8–12 minggu setelah penyunKkan.
•  Vaksin BCG diberikan secara intrakutan 0,10 ml untuk anak, 0,05 ml
untuk bayi baru lahir.
•  VaksinBCG diberikan secara intrakutan di daerah lengan kanan atas
pada insersio M.deltoideus sesuai anjuran WHO, Kdak di tempat
lain (bokong, paha).
•  Vaksin BCG diberikan apabila uji tuberkulin negaKf pada umur lebih
dari 3 bulan.
•  Pada bayi yang kontak erat dengan pasien TB dengan bakteri tahan
asam (BTA) +3 sebaiknya diberikan INH profilaksis dulu, apabila
pasien kontak sudah tenang bayi dapat diberi BCG.
KIPI BCG
•  PenyunKkan BCG secara intradermal •  Limfadeni_s
akan menimbulkan ulkus lokal yang –  LimfadeniKs supuraKf di aksila atau di
superfisial 3 (2-6) minggu setelah leher kadang-kadang dijumpai setelah
penyunKkan. penyunKkan BCG.
–  LimfadeniKs akan sembuh sendiri, jadi
•  Ulkus tertutup krusta, akan sembuh Kdak perlu diobaK.
dalam 2-3 bulan, dan meninggalkan
–  Apabila limfadeniKs melekat pada
parut bulat dengan diameter 4-8 kulit atau Kmbul fistula maka lakukan
mm. drainase dan diberikan OAT
•  Apabila dosis terlalu Knggi maka •  BCG-i_s diseminasi (Disseminated
ulkus yang Kmbul lebih besar, BCG Disease)
namun apabila penyunKkan terlalu –  berhubungan dengan imunodefisiensi
dalam maka parut yang terjadi berat.
tertarik ke dalam (retracted). –  diobaK dengan kombinasi obat anK
tuberkulosis.
Kontraindikasi BCG
•  Reaksi uji tuberkulin >5 mm,
•  Menderita infeksi HIV atau dengan risiko Knggi infeksi HIV,
•  imunokompromais akibat pengobatan korKkosteroid, obat
imuno-supresif, mendapat pengobatan radiasi, penyakit
keganasan yang mengenai sumsum tulang atau sistem limfe,
•  Menderita gizi buruk,
•  Menderita demam Knggi,
•  Menderita infeksi kulit yang luas,
•  Pernah sakit tuberkulosis,
•  Kehamilan.
TUMBUH KEMBANG ANAK
Skrining Tumbuh Kembang Anak

•  Pertumbuhan : bertambahnya ukuran fisik anak dalam


hal panjang/Knggi badan, berat badan, dan lingkar
kepala
–  Pemantauan : melalui penilaian klinis dan pengukuran
antropometris (Z Score WHO atau kurva NCHS CDC)
•  Perkembangan : bertambahnya kemampuan fungsi
individu antara lain dalam bidang motorik kasar,
motorik halus, komunikasi dan bahasa, intelektual,
emosi, dan sosial
–  Pemantauan : penilaian klinis dan skrining perkembangan
Denver II
•  Pemantauan seKap bulan hingga usia 1 tahun dan
seKap 3 bulan hingga 5 tahun
Child Developmental Sectors

2/27/18 200
NEUROPEDIATRI
KEJANG DEMAM DAN TATALAKSANA
KEJANG AKUT PADA ANAK
Kejang demam
•  Kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh diatas 38 C yang
TIDAK disebabkan oleh proses intrakranial
•  Mayoritas terjadi pada hari pertama sakit
•  Bukan disebabkan infeksi SSP, gangguan metabolik, Kdak pernah
ada riwayat kejang tanpa demam.
•  Usia antara 6 bulan – 5 tahun, mayoritas usia 12-18 bulan.
•  Anak berumur antara 1-6 bulan masih dapat mengalami kejang
demam, namun jarang sekali.
•  Bila anak berumur kurang dari 6 bulan mengalami kejang didahului
demam, pikirkan kemungkinan lain, terutama infeksi susunan saraf
pusat.
•  Bayi berusia kurang dari 1 bulan Kdak termasuk dalam rekomendasi
ini melainkan termasuk dalam kejang neonatus
Rekomendasi Kejang Demam. 2016. IDAI
Klasifikasi

Kejang • Kejang kurang dari 15 menit


demam • Kejang umum tonik-klonik
• Kejang Kdak berulang
sederhana

Kejang • Kejang lebih dari 15 menit


demam • Kejang fokal, fokal menjadi umum
• Kejang berulang dalam 24 jam
kompleks
KET:
1. Kejang demam sederhana merupakan 80% di antara seluruh kejang demam
2. Sebagian besar kejang demam sederhana berlangsung kurang dari 5 menit dan berhenK sendiri.
Pemeriksaan Penunjang
•  Pemeriksaan laboratorium
–  Pemeriksaan laboratorium Kdak dikerjakan secara ruKn pada kejang
demam, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi
penyebab demam.
–  Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan atas indikasi misalnya
darah perifer, elektrolit, dan gula darah

•  Indikasi Pungsi Lumbal (konsensus UKK 2016)


–  saat ini pemeriksaan pungsi lumbal Kdak dilakukan secara ruKn pada anak
berusia <12 bulan yang mengalami kejang demam sederhana dengan
keadaan umum baik.
–  Indikasi LP:
•  Terdapat tanda dan gejala rangsang meningeal
•  Terdapat kecurigaan adanya infeksi SSP berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
klinis
•  DiperKmbangkan pada anak dengan kejang disertai demam yang sebelumnya telah
mendapat anKbioKk dan pemberian anKbioKk tersebut dapat mengaburkan tanda
dan gejala meningiKs.
Pemeriksaan Penunjang
•  Indikasi CT scan/MRI
–  Tidak diperlukan pada kejang demam sederhana
–  Insiden kelainan patologis intrakranial pada kejang demam kompleks
sangat rendah
–  Harus dilakukan :
•  Makro/mikrosefali
•  Kelainan neurologi yang menetap, terutama lateralisasi

•  Indikasi EEG
–  Pemeriksaan EEG Kdak diperlukan untuk kejang demam, KECUALI
apabila bangkitan bersifat fokal untuk menentukan adanya fokus
kejang di otak yang membutuhkan evaluasi lebih lanjut.
Faktor resiko berulangnya KD
•  Faktor risiko :
–  Riwayat kejang demam atau epilepsi dalam keluarga
–  Usia kurang dari 12 bulan
–  Suhu tubuh kurang dari 39oC saat kejang
–  Interval waktu yang singkat antara awitan demam dengan
terjadinya kejang.
–  Apabila kejang demam pertama merupakan kejang
demam kompleks.
•  Semua faktor risiko ada, kemungkinan berulang 80%
•  Tidak ada faktor risiko kemungkinan berulang 10-15%
Tatalaksana
•  Saat kejang : algoritme tatalaksana kejang akut dan SE
•  Setelah kejang berhen_ :
–  Profilaksis atau Kdak
–  Profilaksis intermiten atau konKnyu
•  An_pire_k:
–  Tidak mengurangi risiko berulangnya kejang
–  Memberikan rasa nyaman bagi pasien
–  Mengurangi kekhawaKran orangtua
–  Kesimpulan: dokter neurologi anak di Indonesia sepakat bahwa
anKpireKk tetap dapat diberikan.
–  Dosis parasetamol yang digunakan adalah 10-15 mg/kg/kali diberikan
Kap 4-6 jam.
–  Dosis ibuprofen 5-10 mg/kg/kali, 3-4 kali sehari.
Tatalaksana Saat Kejang
•  Pada umumnya kejang berlangsung singkat (rerata 4
menit) dan pada waktu pasien datang, kejang sudah
berhenK.
•  Apabila saat pasien datang dalam keadaan kejang,
obat yang paling cepat untuk menghenKkan kejang
adalah diazepam intravena.
•  Dosis diazepam intravena adalah 0,2-0,5 mg/kg
perlahan-lahan dengan kecepatan 2 mg/menit atau
dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 10 mg.
•  Secara umum, penatalaksanaan kejang akut mengikuK
algoritma kejang pada umumnya.
Tatalaksana Saat Kejang
•  Obat yang prakKs dan dapat diberikan oleh orangtua di rumah
(prehospital)adalah diazepam rektal.
–  Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg atau diazepam rektal 5 mg untuk
anak dengan berat badan kurang dari 12 kg dan 10 mg untuk berat badan
lebih dari 12 kg.
•  Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenK, dapat
diulang lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5
menit.
•  Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang,
dianjurkan ke rumah sakit.
•  Di rumah sakit dapat diberikan diazepam intravena.
•  Jika kejang masih berlanjut, lihat algoritme tatalaksana status epilepKkus.
•  Bila kejang telah berhenK, pemberian obat selanjutnya tergantung dari
indikasi terapi anKkonvulsan pro laksis.
Profilaksis Intermiten
•  Yang dimaksud dengan obat anKkonvulsan intermiten adalah obat
anKkonvulsan yang diberikan hanya pada saat demam.
•  Indikasi (salah satu dari):
–  Kelainan neurologis berat, misalnya palsi serebral
–  Berulang 4 kali atau lebih dalam setahun
–  Usia <6 bulan
–  Bila kejang terjadi pada suhu tubuh kurang dari 39 derajat Celsius
–  Apabila pada episode kejang demam sebelumnya, suhu tubuh meningkat
dengan cepat.
•  Obat diazepam oral 0,3 mg/kgBB/kali, maksimum 7,5 mg/kali (3 kali
sehari) ATAU rektal 0,5 mg/kg/kali (5 mg untuk berat badan <12 kg dan
10 mg untuk berat badan >12 kg) 3 kali sehari
•  Diazepam intermiten diberikan selama 48 jam pertama demam.
•  ES dapat menyebabkan ataksia, iritabilitas, serta sedasi.
Profilaksis Kon_nyu/ Rumatan
•  Berdasarkan bukK ilmiah bahwa kejang demam Kdak berbahaya dan
penggunaan obat dapat menyebabkan efek samping yang Kdak
diinginkan, maka pengobatan rumat hanya diberikan terhadap kasus
selekKf dan dalam jangka pendek
•  Indikasi pengobatan rumat:
–  Kejang fokal
–  Kejang lama >15 menit
–  Terdapat kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang,
misalnya palsi serebral, hidrosefalus, hemiparesis. (Pada anak dengan
kelainan neurologis berat dapat diberikan edukasi untuk pemberian terapi
profilaksis intermiten terlebih dahulu, jika Kdak berhasil/orangtua
khawaKr dapat diberikan terapi anKkonvulsan rumat)
Profilaksis Kon_nyu/ Rumatan
•  Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat seKap hari efekKf
dalam menurunkan risiko berulangnya kejang
•  Pemakaian fenobarbital seKap hari dapat menimbulkan gangguan
perilaku dan kesulitan belajar pada 40-50% kasus.
•  Obat pilihan saat ini adalah asam valproat.
•  Pada sebagian kecil kasus, terutama yang berumur kurang dari 2 tahun,
asam valproat dapat menyebabkan gangguan fungsi haK.
•  Dosis asam valproat adalah 15-40 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis, dan
fenobarbital 3-4 mg/kg/hari dalam 1-2 dosis.
•  Pengobatan diberikan selama 1 tahun, penghenKan pengobatan rumat
untuk kejang demam Kdak membutuhkan tapering off , namun
dilakukan pada saat anak Kdak sedang demam.
Diagnosis diferensial infeksi SSP

KLINIS/ ENSEFAL MENING. MENING. MENING. ENSEFALO


LAB. ITIS BAKTERi TBC VIRUS PATI

Onset Akut Akut Kronik Akut Akut/kronik

Demam < 7 hari < 7 hari > 7 hari < 7 hari </> 7 hari/(-)
Umum/
Kejang Umum Umum Umum Umum
fokal
Penurunan Somnolen- Variasi, apaKs -
ApaKs CM - ApaKs ApaKs - Somnolen
kesadaran sopor sopor
Paresis +/- +/- ++/- - -
Perbaikan
Lambat Cepat Lambat Cepat Cepat/Lambat
kesadaran
Tidak dpt
E_ologi diidenKfikas ++/- TBC/riw. kontak - Ekstra SSP
i
Simpt/ Atasi penyakit
Terapi AnKbioKk TuberkulostaKk Simpt.
anKviral primer
Kejang dan Status Epilep_kus pada
Anak
•  Sampai saat ini, belum terdapat keseragaman mengenai
definisi status epilepKkus (SE) karena Interna)onal League
Againts Epilepsy(ILAE) hanya menyatakan bahwa SE adalah
kejang yang berlangsung terus-menerus selama periode
waktu tertentu atau berulang tanpa disertai pulihnya
kesadaran diantara kejang.
•  Kekurangan defnisi menurut ILAE tersebut adalah batasan
lama kejang tersebut berlangsung.
•  Oleh sebab itu, sebagian para ahli membuat kesepakatan
batasan waktunya adalah selama 30 menit atau lebih.
Tatalaksana
•  Evaluasi tanda vital serta penilaian airway,
breathing, circula)on (ABC) harus dilakukan
seiring dengan pemberian obat anK-
konvulsan.
•  Pemilihan jenis obat serta dosis anK-
konvulsan pada tata laksana SE sangat
bervariasi antar insKtusi.
Algoritma tata laksana kejang akut dan status epilep_kus berdasarkan Konsensus UKK Neurologi IDAI 2016
Keterangan
•  Diazepam IV: 0,2 - 0,5 mg/kg IV (maksimum 10 mg) dalam spuit, kecepatan 2 mg/menit.
Bila kejang berhenK sebelum obat habis, Kdak perlu dihabiskan.
•  Fenobarbital: pemberian boleh diencerkan dengan NaCl 0,9% 1:1 dengan kecepatan
yang sama
•  Midazolam buccal: dapat menggunakan midazolam sediaan IV/IM, ambil sesuai dosis
yang diperlukan dengan menggunakan spuit 1 cc yang telah dibuang jarumnya, dan
teteskan pada buccal kanan, selama 1 menit. Dosis midazolam buccal berdasarkan
kelompok usia;
–  2,5 mg (usia 6 – 12 bulan)
–  5 mg (usia 1 – 5 tahun)
–  7,5 mg (usia 5 – 9 tahun)
–  10 mg (usia ≥ 10 tahun)
•  Tapering midazolam infus kon_nyu: Bila bebas kejang selama 24 jam setelah pemberian
midazolam, maka pemberian midazolam dapat diturunkan secara bertahap dengan
kecepatan 0,1 mg/jam dan dapat dihenKkan setelah 48 jam bebas kejang.
•  Midazolam: Pemberian midazolam infus konKnyu seharusnya di ICU, namun disesuaikan
dengan kondisi rumah sakit
•  Bila pasien terdapat riwayat status epilep_kus, namun saat datang dalam keadaan Kdak
kejang, maka dapat diberikan fenitoin atau fenobarbital 10 mg/kg IV dilanjutkan dengan
pemberian rumatan bila diperlukan.
CEREBRAL PALSY
Cerebral Palsy
•  Cerebral palsy (CP) describes a group of permanent disorders of the
development of movement and posture, causing acKvity limitaKon,
that are afributed to non-progressive disturbances that occurred in
the developing fetal or infant brain.
•  The motor disorders of cerebral palsy are o€en accompanied by
disturbances of sensaKon, percepKon, cogniKon, communicaKon,
and behaviour, by epilepsy, and by secondary musculoskeletal
problems. ”Rosenbaum et al, 2007
•  Although the lesion is not progressive, the clinical manfestaKons
change over Kme
•  CP is caused by a broad group of developmental, geneKc,
metabolic, ischemic, infecKous, and other acquired eKologies that
produce a common group of neurologic phenotypes
Behrman: Nelson Textbook of Pediatrics, 17th ed
Cerebral Palsy Risk factor
Clinical ManifestaKon
•  CP is generally divided into several major motor syndromes
that differ according to the pafern of neurologic
involvement, neuropathology, and eKology
Clinical ManifestaKon
•  Spas)c hemiplegia: decreased spontaneous movements on the affected
side, the arm is o€en more involved than the leg. SpasKcity is apparent in
the affected extremiKes, parKcularly the ankle, causing an equinovarus
deformity of the foot
•  Spas)c diplegia is bilateral spasKcity of the legs greater than in the arms.
ExaminaKon: spasKcity in the legs with brisk reflexes, ankle clonus, and a
bilateral Babinski sign. When the child is suspended by the axillae, a
scissoring posture of the lower extremiKes is maintained
•  Spas)c quadriplegia is the most severe form of CP because of marked
motor impairment of all extremiKes and the high associaKon with mental
retardaKon and seizures
•  Athetoid CP, also called choreoathetoid or extrapyramidal CP, is less
common than spasKc cerebral palsy. Affected infants are characterisKcally
hypotonic with poor head control and marked head lag
Tujuan Terapi Cerebral Palsy
•  Tujuan terapi pasien cerebral palsy adalah membantu pasien dan
keluarganya memperbaiki fungsi motorik dan mencegah deformitas serta
penyesuaian emosional dan pendidikan sehingga penderita sesedikit
mungkin memerlukan pertolongan orang lain dan diharapkan penderita
bisa mandiri dalam melakukan akKvitas kehidupannya di kemudian hari.
•  Diperlukan tatalaksana terpadu/mulK disipliner mengingat masalah yang
dihadapi sangat kompleks, dan merupakan suatu Km antara dokter anak,
dokter saraf, dokter jiwa, dokter mata, dokter THT, dokter ortopedi,
psikolog, rehabilitasi medik, pekerja sosial, guru sekolah luar biasa dan
orang tua penderita.
•  Jenis rehabilitasi medik yang diperlukan pada CP: fisioterapi, terapi wicara,
okupasional (termasuk rekreasional di dalamnya), dan ortoKk protese
NEFROLOGI
ISK PADA ANAK
Infeksi Saluran Kemih
•  UTI pada anak perempuan 3-5%, laki-laki 1% (terutama yang
Kdak disirkumsisi)
•  Banyak disebabkan oleh bakteri usus: E. coli (75-90%),
Klebsiella, Proteus. Biasanya terjadi secara ascending.
•  Gejala dan tanda klinis, tergantung pada usia pasien:
–  Neonatus: Suhu Kdak stabil, irritable, muntah dan diare, napas Kdak
teratur, ikterus, urin berbau menyengat, gejala sepsis
–  Bayi dan anak kecil: Demam, rewel, nafsu makan berkurang, gangguan
pertumbuhan, diare dan muntah, kelainan genitalia, urin berbau
menyengat
–  Anak besar: Demam, nyeri pinggang atau perut bagian bawah,
mengedan waktu berkemih, disuria, enuresis, kelainan genitalia, urin
berbau menyengat
Fisher DJ. Pediatric urinary tract infecKon. hfp://emedicine.medscape.com/arKcle/969643-overview
American Academic of Pediatrics. Urinary tract infecKon: clinical pracKce guideline for the diagnosis and
management of the iniKal UTI in febrile infants and children 2 to 24 months. Pediatrics 2011; 128(3).
ISK
•  3 bentuk gejala UTI:
–  PyelonefriKs (upper UTI): nyeri abdomen, demam, malaise, mual,
muntah, kadang-kadang diare
–  SisKKs (lower UTI): disuria, urgency, frequency, nyeri suprapubik,
inkonKnensia, urin berbau
–  Bakteriuria asimtomaKk: kultur urin (+) tetapi Kdak disertai gejala
•  Pemeriksaan Penunjang :
–  Urinalisis : Proteinuria, leukosituria (>5/LPB), Hematuria
(Eritrosit>5/LPB)
–  Biakan urin dan uji sensiKvitas
–  KreaKnin dan Ureum
–  Pencitraan ginjal dan saluran kemih untuk mencari kelainan
anatomis maupun fungsional
•  Diagnosa pasK : Bakteriuria bermakna pada biakan urin (>105 koloni
kuman per ml urin segar pancar tengah (midstream urine) yang diambil
pagi hari)
Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. WHO. & PPM IDAI
Tatalaksana
•  Tujuan : Memberantas kuman penyebab, mencegah dan menangani komplikasi dini, mencari
kelainan yang mendasari
•  Umum (SuporKf)
–  Masukan cairan yang cukup
–  Edukasi untuk Kdak menahan berkemih
–  Menjaga kebersihan daerah perineum dan periurethra
–  Hindari konsKpasi
•  Khusus
–  Sebelum ada hasil biakan urin dan uji kepekaan, anKbioKk diberikan secara empirik selama
7-10 hari
–  Obat rawat jalan : kotrimoksazol oral 24 mg/kgBB seKap 12 jam, alternaKf ampisilin,
amoksisilin, kecuali jika :
•  Terdapat demam _nggi dan gangguan sistemik
•  Terdapat tanda pyelonefri_s (nyeri pinggang/bengkak)
•  Pada bayi muda
–  Jika respon klinis kurang baik, atau kondisi anak memburuk berikan gentamisin (5-7.5 mg/kg IV
sekali sehari) + ampisilin (25-50 mg/kg IV seKap 6 jam) atau sefalosporin gen-3 parenteral
–  AnKbioKk profilaksis diberikan pada ISK simpleks berulang, pielonefriKs akut, ISK pada
neonatus, atau ISK kompleks (disertai kelainan anatomis atau fungsional)
–  PerKmbangkan komplikasi pielonefriKs atau sepsis
Interpretasi Hasil Biakan Urin
Algoritme
Penanggulangan
dan Pencitraan
Anak dengan ISK
Dosis Obat Pada UTI Anak

*Rentang dosis seoriakson untuk infeksi


berat adalah 50-75/kgBB/hari
SINDROM NEFROTIK
Sindrom NefroKk

•  Sindrom nefroKk (SN) adalah suatu sindrom klinik


dengan gejala:
–  Proteinuria massif (≥ 40 mg/m2 LPB/jam atau rasio
protein/kreaKnin pada urin sewaktu > 2 mg/mg atau
dipsKk ≥ 2+)
–  Hipoalbuminemia ≤ 2,5 g/dL
–  Edema
–  Dapat disertai hiperkolesterolemia
•  EKologi SN dibagi 3 yaitu kongenital, primer/idiopaKk,
dan sekunder (mengikuK penyakit sistemik antara lain
lupus eritematosus sistemik (LES), purpura Henoch
Schonlein)

KONSENSUS TATA LAKSANA SINDROM NEFROTIK IDIOPATIK PADA ANAK.


Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia
Sindrom NefroKk

•  Spektrum gejala yang ditandai •  Di bawah mikroskop: Minimal change


dengan protein loss yang masif dari nephroKc syndrome (MCNS)/Nil
ginjal Lesions/Nil Disease (lipoid nephrosis)
•  Pada anak sindrom nefroKk merupakan penyebab tersering dari
mayoritas bersifat idiopaKk, yang sindrom nefroKk pada anak,
belum diketahui patofisiologinya mencakup 90% kasus di bawah 10
secara jelas, namun diperkirakan tahun dan >50% pd anak yg lbh tua.
terdapat keterlibatan sistem imunitas •  Faktor risiko kekambuhan: riwayat
tubuh, terutama sel limfosit-T atopi, usia saat serangan pertama,
•  Gejala klasik: proteinuria, edema, jenis kelamin dan infeksi saluran
hiperlipidemia, hipoalbuminemia pernapasan akut akut (ISPA) bagian
atas yang menyertai atau mendahului
•  Gejala lain : hipertensi, hematuria,
terjadinya kekambuhan, ISK
dan penurunan fungsi ginjal

Lane JC. Pediatric nephroKc syndrome. hfp://emedicine.medscape.com/arKcle/982920-overview


•  Edema : AccumulaKon of fluid in intersKKal space (due to filtraKon out of the capillaries)
•  Usually caused by a disrupKon in Starling forces, that exceeds the ability of lymphaKc
system to return it to the circulaKon
Decreased plasma protein Increased capillary protein
osmoKc pressure (severe permeability (due to release of
liver failure, nephroKc vasoacKve substances) (e.g.
syndrome) burns, trauma, infecKon)

Increased capillary
pressure (failure of parasiKc infecKon of
lymph nodes
venous pumps, (filariasis)
heart failure)
EDEMA
NefroKk vs NefriKk
Diagnosis
•  Anamnesis : Bengkak di kedua kelopak mata, perut,
tungkai atau seluruh tubuh. Penurunan jumlah urin.
Urin dapat keruh/kemerahan
•  Pemeriksaan Fisik : Edema palpebra, tungkai, ascites,
edema skrotum/labia. Terkadang ditemukan hipertensi
•  Pemeriksaan Penunjang : Proteinuria masif ≥ 2+, rasio
albumin kreaKnin urin > 2, dapat disertai hematuria.
Hipoalbumin (<2.5g/dl), hiperkolesterolemia (>200
mg/dl). Penurunan fungsi ginjal dapat ditemukan.
Definisi pada Sindrom NefroKk
•  Remisi : proteinuria negaKf atau trace (proteinuria < 4 mg/m2 LPB/jam) 3
hari berturut-turut dalam 1 minggu
•  Relaps : proteinuria ≥ 2+ (proteinuria ≥ 40 mg/m2 LPB/jam) 3 hari
berturut-turut dalam 1 minggu
•  Relaps jarang : relaps terjadi kurang dari 2 kali dalam 6 bulan pertama
setelah respons awal atau kurang dari 4 kali per tahun pengamatan
•  Relaps sering (frequent relaps) : relaps terjadi ≥ 2 kali dalam 6 bulan
pertama setelah respons awal atau ≥ 4 kali dalam periode 1 tahun
•  Dependen steroid : relaps terjadi pada saat dosis steroid diturunkan atau
dalam 14 hari setelah pengobatan dihenKkan, dan hal ini terjadi 2 kali
berturut-turut
•  Resisten steroid : Kdak terjadi remisi pada pengobatan prednison dosis
penuh (full dose) 2 mg/kgBB/hari selama 4 minggu.

KONSENSUS TATA LAKSANA SINDROM NEFROTIK IDIOPATIK PADA ANAK.


Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia
Tatalaksana

KONSENSUS TATA LAKSANA SINDROM NEFROTIK IDIOPATIK PADA ANAK.


Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia
Tatalaksana Diet pada SN Anak
•  Pemberian diit Knggi protein dianggap merupakan kontraindikasi
karena akan menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan
sisa metabolisme protein (hiperfiltrasi) dan menyebabkan sklerosis
glomerulus.
•  Bila diberi diit rendah protein akan terjadi malnutrisi energi protein
(MEP) dan menyebabkan hambatan pertumbuhan anak.
•  Jadi cukup diberikan diit protein normal sesuai dengan RDA
(recommended daily allowances) yaitu 1,5-2 g/kgbb/hari.
•  Diit rendah garam (1-2 g/hari) hanya diperlukan selama anak
menderita edema.
DiureKk pada SN Anak
•  Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat.
•  Biasanya diberikan loop diure0c seper_ furosemid 1-3 mg/kgbb/hari, bila
perlu dikombinasikan dengan spironolakton (antagonis aldosteron,
diureKk hemat kalium) 2-4 mg/kgbb/hari.
•  Sebelum pemberian diureKk, perlu disingkirkan kemungkinan
hipovolemia. Pada pemakaian diureKk lebih dari 1-2 minggu perlu
dilakukan pemantauan elektrolit kalium dan natrium darah.
•  Bila pemberian diureKk Kdak berhasil (edema refrakter), biasanya terjadi
karena hipovolemia atau hipoalbuminemia berat (≤ 1 g/dL), dapat
diberikan infus albumin 20-25% dengan dosis 1 g/kgbb selama 2-4 jam
untuk menarik cairan dari jaringan intersKsial dan diakhiri dengan
pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kgbb.
•  Bila diperlukan, suspensi albumin dapat diberikan selang-sehari untuk
memberi kesempatan pergeseran cairan dan mencegah overload cairan.
Bila asites sedemikian berat sehingga mengganggu pernapasan, dapat
dilakukan punksi asites berulang
GNAPS
Glomerulonefri_s akut Pasca
Streptokokus
•  GlomerulonefriKs akut ditandai dengan edema, hematuria,
hipertensi dan penurunan fungsi ginjal (sindrom nefriKk) di mana
terjadi inflamasi pada glomerulus
•  Acute poststreptococcal glomerulonephriKs is the archetype of
acute GN
•  GNA pasca streptokokus terjadi setelah infeksi GABHS nefritogenik
→ deposit kompleks imun di glomerulus
•  Diagnosis
–  Anamnesis: Riwayat ISPA atau infeksi kulit 1-2 minggu sebelumnya,
hematuri nyata, kejang atau penurunan kesadaran, oliguri/anuri
–  PF: Edema di kedua kelopak mata dan tungkai, hipertensi, lesi bekas
infeksi, gejala hipervolemia seperK gagal jantung atau edema paru
–  Penunjang: Fungsi ginjal, komplemen C3, urinalisis, ASTO
•  Terapi: AnKbioKk (penisilin, eritromisin), anKhipertensi, diureKk

Geetha D. Poststreptococcal glomerulonephriKs. hfp://emedicine.medscape.com/arKcle/240337-overview


Causes of glomerulonephri_s in children
PRIMARY GLOMERULONEPHRITIS
Membranous glomerulonephriKs
MembranoproliferaKve glomerulonephriKs type I
MembranoproliferaKve glomerulonephriKs type II (dense deposit disease)
IgA nephropathy
AnK-glomerular basement membrane disease
Idiopathic crescenKc glomerulonephriKs
SECONDARY GLOMERULONEPHRITIS
Post-streptococcal glomerulonephriKs
Other post-infecKous glomerulonephriKs
Henoch-Schönlein purpura nephriKs
Systemic lupus erythematosus nephriKs
Microscopic polyangiiKs
Wegener granulomatosus
Patogenesis dan Patofisiologi
variety of different eKologic agents e.g. Streptococcal infecKon

immunologic response àAkKvasi komplemen Komplemen serum turun

Immune injuries
Proliferasi selular
Destruksi membran basal glomerulus
Lumen kapiler menyempit
hematuria
Aliran darah glomerular menurun

GFR turun Reabsorbsi natrium distal

oliguria
Retensi air dan natrium

Volume darah meningkat

Edema dan hipertensi


Mekanisme GNAPS
•  Terperangkapnya kompleks anKgen-anKbodi
dalam glomerulus yang kemudian akan merusak
glomerulus
•  Proses autoimun kuman Streptokokus yang
bersifat nefritogenik dalam tubuh menimbulkan
badan autoimun yang merusak protein
glomerulus (molecular mimicry)
•  Streptokokus nefritogenik dan membran basalis
glomerulus mempunyai komponen anKgen yang
sama sehingga dibentuk zat anK yang langsung
merusak membran basalis glomerulus.
Pemeriksaan Penunjang
•  Urinalisis
–  Proteinuria, hematuria, dan adanya silinder eritrosit
•  Peningkatan ureum dan kreaKnin
•  ASTO meningkat (ASTO: the anKbody made against
streptolysin O, an immunogenic, oxygen-labile
hemolyKc toxin produced by most strains of group A)
•  Komplemen C3 menurun pada minggu pertama
•  Hiperkalemia, asidosis metabolik, hiperfosfatemia, dan
hipokalsemia pada komplikasi gagal ginjal akut
Penatalaksanaan
•  The major goal is to control edema and blood pressure
•  During the acute phase of the disease, restrict salt and water. If significant
edema or hypertension develops, administer diureKcs.
–  Loop diureKcs (Furosemide 1 mg/kg/kali (maks 40 mg), 2-3 kali per hari)
–  For hypertension not controlled by diureKcs, usually calcium channel blockers or angiotensin-
converKng enzyme inhibitors are useful
•  RestricKng physical acKvity is appropriate in the first few days of the illness but
is unnecessary once the paKent feels well
•  Specific therapy:
–  Treat paKents, family members, and any close personal contacts who are infected.
–  Throat cultures should be performed on all these individuals. Treat with oral penicillin V (250
mg qid for 7-10 d for children ≤27 kg) or with erythromycin (250 mg qid for 7-10 d) for paKents
allergic to penicillin
–  This helps prevent nephriKs in carriers and helps prevent the spread of nephritogenic strains
to others
•  IndicaKons for dialysis include life-threatening hyperkalemia and clinical
manifestaKons of uremia
METABOLIK
ENDOKRIN
DM TIPE I
Diabetes Melitus Tipe 1
(Insulin-dependent diabetes mellitus)
•  Merupakan kelainan sistemik akibat gangguan metabolisme
glukosa yang ditandai oleh hiperglikemia kronik.
•  EKologi: Suatu proses autoimun yang merusak sel β
pankreas sehingga produksi insulin berkurang, bahkan
terhenK. Dipengaruhi faktor geneKk dan lingkungan.
•  Insidensi terKnggi pada usia 5-6 tahun dan 11 tahun
•  Komplikasi : Hipoglikemia, ketoasidosis diabeKkum,
reKnopathy , nephropathy and hypertension, peripheral and
autonomic neuropathy, macrovascular disease
•  Manifestasi Klinik:
–  Poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan
–  Pada keadaan akut yang berat: muntah, nyeri perut, napas cepat dan
dalam, dehidrasi, gangguan kesadaran
Kriteria Diagnosis DM pada Anak
•  Kriteria diagnos_k
•  Glukosa darah puasa dianggap normal bila kadar glukosa darah
kapiler < 126 mg/dL (7 mmol/L). Glukosuria saja Kdak spesifik untuk
DM sehingga perlu dikonfirmasi dengan pemeriksaan glukosa
darah.
•  Diagnosis DM dapat ditegakkan apabila memenuhi salah satu
kriteria sebagai berikut:
–  Ditemukannya gejala klinis poliuria, polidpsia, polifagia, berat badan
yang menurun, dan kadar glukasa darah sewaktu >200 mg/ dL (11.1
mmol/L).
–  Pada penderita yang asimtomaKs ditemukan kadar glukosa darah
sewaktu >200 mg/dL atau kadar glukosa darah puasa lebih Knggi dari
normal dengan tes toleransi glukosa yang terganggu pada lebih dari
satu kali pemeriksaan.
Tes Toleransi Glukosa
•  Pada anak biasanya tes toleransi glukosa (TTG) Kdak perlu dilakukan untuk
mendiagnosis DM Kpe-1, karena gambaran klinis yang khas.
•  Indikasi TTG pada anak adalah pada kasus-kasus yang meragukan yaitu
ditemukan gejala-gejala klinis yang khas untuk DM, namun pemeriksaan kadar
glukosa darah Kdak menyakinkan.
•  Dosis glukosa yang digunakan pada TTG adalah 1,75 g/kgBB (maksimum 75 g).
•  Glukosa tersebut diberikan secara oral (dalam 200-250 ml air) dalam jangka
waktu 5 menit.
•  Testoleransi glukosa dilakukan setelah anak mendapat diet Knggi karbohidrat
(150-200 g per hari) selama Kga hari berturut-turut dan anak puasa semalam
menjelang TTG dilakukan.
–  Selama Kga hari sebelum TTG dilakukan, akKfitas fisik anak Kdak dibatasi.
–  Anak dapat melakukan kegiatan ruKn sehari- hari.
•  Sampel glukosa darah diambil pada menit ke 0 (sebelum diberikan glukosa
oral), 60 dan 120.
Penilaian hasil tes toleransi glukosa
•  Anak menderita DM apabila:
Kadar glukosa darah puasa ≥140 mg/dL (7,8 mmol/L) atau Kadar
glukosa darah pada jam ke 2 ≥200 mg/dL (11,1 mmol/L)

•  Anak dikatakan menderita toleransi gula terganggu apabila:


Kadar glukosa darah puasa <140 mg/dL (7,8 mmol/L) dan Kadar
glukosa darah pada jam ke 2: 140-199 mg/dL (7,8-11 mmol/L)

•  Anak dikatakan normal apabila :


Kadar glukosa darah puasa (plasma) <110 mg/dL (6,7 mmol/L)
dan
Kadar glukosa darah pada jam ke 2: <140 mg/dL (7,8-11 mmol/L)
Patogensis

hfp://emedicine.medscape.com/arKcle/919999-overview

hfp://www.noahhealth.org/five-most-common-food-myths-associated-with-diabetes/#pid
DM Tipe 1 vs Tipe 2

hfp://s3.amazonaws.com/stopdiabete/symptoms-between-type-1-and-type-2-diabetes.html
•  Pemeriksaan Penunjang :
–  Penderita baru : gula darah, urin reduksi dan keton urin, HbA1C, C-
Pep)de (untuk membedakan diabetes Kpe 1 dan Kpe 2), pemeriksaan
autoan_bodi yaitu: cytoplasmic anKbodies (ICA), insulin
autoanKbodies (IAA), dan glutamic acid decarboxylase (GAD).
–  Penderita lama : HbA1c SeKap 3 bulan sebagai parameter kontrol
metabolik
•  Tatalaksana: Insulin

1.  Konsensus Nasional Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 1. UKK Endokrinologi Anak dan Remaja, IDAI World Diabetes FoundaKon.
2009
2.  Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Kesehatan AnaK. Diabetes Melitus pada Anak(DM Kpe-1). RSCM. 2007
HbA1c
•  Parameter kontrol metabolik standar:
-  HbA1c < 7% baik
-  HbA1c < 8% cukup
-  HbA1c > 8% buruk
•  Untuk modifikasi tatalaksana.
•  Wajib seKap 3 bulan.
•  Perbedaan HbA1c 1% à risiko komplikasi ↓25-50%.
•  Penyimpangan kurva pertumbuhan ideal periode 6
bulan à evaluasi HbA1c.

1.  Konsensus Nasional Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 1. UKK Endokrinologi Anak dan Remaja, IDAI World Diabetes FoundaKon.
2009
2.  Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Kesehatan AnaK. Diabetes Melitus pada Anak(DM Kpe-1). RSCM. 2007
Pilihan Insulin
Insulin kerja cepat : Insulin kerja menengah:
•  Setelah makan •  Pilihan pada penderita yang
•  Snack sore memiliki pola hidup teratur
•  Saat hiperglikemi dan Insulin kerja panjang:
ketosis •  Masa kerja lebih dari 24 jam
•  Pada CSII (con)nuous •  Digunakan dalam regimen
subcutaneous insulin basal-bolus
infusion) Insulin kerja campuran:
Insulin kerja pendek: •  Dianjurkan bagi penderita
•  Sebelum makan yang memiliki kontrol
•  Pilihan pada balita metabolik baik.

1.  Konsensus Nasional Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 1. UKK Endokrinologi Anak dan Remaja, IDAI World Diabetes FoundaKon. 2009
HIPOTIROID KONGENITAL
Hipo_roid Kongenital
•  HipoKroid kongenital adalah kelainan fungsi dari kelenjar Kroid yang
didapat sejak bayi baru lahir.
•  Kondisi ini dapat terjadi karena kelainan anatomi atau gangguan
metabolisme pembentukan hormon Kroid atau defisiensi iodium.
•  Selama kehamilan, plasenta berperan sebagai media transportasi
elemen-elemen penKng untuk perkembangan janin. Thyroid Releasing
Hormone (TRH) dan iodium – yang berguna untuk membantu
pembentukan Hormon Tiroid (HT) janin – bisa bebas melewaK plasenta.
Demikian juga hormon Kroksin (T4). Namun disamping itu, elemen yang
merugikan Kroid janin seperK anKbodi (TSH receptor an)body) dan obat
anK Kroid yang dimakan ibu, juga dapat melewaK plasenta. Sementara,
TSH, yang mempunyai peranan penKng dalam pembentukan dan
produksi HT, justru Kdak bisa melewaK plasenta.

Pedoman skrining hipoKroid kongenital kemenkes 2014


Thyroid Gland Development
•  Thyroid FuncKon: •  The fetal pituitary-thyroid axis is
–  normal brain growth and myelinaKon believed to funcKon independently
and for normal neuronal of the maternal pituitary-thyroid
connecKons. axis.
–  The most criKcal period fis the first
few months of life. •  The contribuKons of maternal
thyroid hormone levels to the fetus
•  The thyroid arises from the fourth
branchial pouches. are thought to be minimal, but
maternal thyroid disease can have
•  The thyroid gland develops between a substanKal influence on fetal and
4 and 10 weeks' gestaKon. neonatal thyroid funcKon.
•  By 10-11 weeks' gesta_on, the fetal –  Immunoglobulin G (IgG)
thyroid is capable of producing autoanKbodies, as in autoimmune
thyroid hormone. thyroidiKs, can cross the placenta
•  By 18-20 weeks' gestaKon, blood and inhibit thyroid funcKon
levels of T4 have reached term levels. (transient)
T –  Thioamides (PTU) can block fetal
thyroid hormone synthesis
(transient)
–  RadioacKve iodine administered to
a pregnant woman can ablate the
fetus's thyroid gland permanently.
hfp://emedicine.medscape.com/arKcle/919758-overview#aw2aab6b2b2aa
E_ologi
E_ologi
HipoKroid kongenital pada Anak
•  Merupakan salah satu penyebab retardasi
mental yang dapat dicegah. Bila terdeteksi
setelah usia 3 bulan, akan terjadi penurunan IQ
bermakna.
•  Tata laksana tergantung penyebab. Sebaiknya
diagnosis eKologi ditegakkan sebelum usia 2
minggu dan normalisasi hormon Kroid
(levoKroksin)sebelum usia 3 minggu.

Postellon DC. Congenital hypothyroidism. hfp://emedicine.medscape.com/arKcle/919758-overview


Gambaran klinis
•  Most affected infants have few or no symptoms,
because their thyroid hormone level is only
slightly low. However, infants with severe
hypothyroidism o€en have a unique
appearance, including:
–  Dull look
–  Puffy face
–  Thick tongue that sKcks out
•  This appearance usually develops as the disease
gets worse. The child may also have:
–  Choking episodes
–  ConsKpaKon
–  Dry, brifle hair
–  Jaundice
–  Lack of muscle tone (floppy infant)
–  Low hairline
–  Poor feeding
–  Short height (failure to thrive)
–  Sleepiness
–  Sluggishness

Neeonatal hypothyroidism. hfp://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0002174/


Quebec Clinical Scoring
for Congenital Hypothyroid
Figure 3 DiagnosKc algorithm for the detecKon of primary congenital hypothyroidism

Grüters, A. & Krude, H. (2011) DetecKon and treatment of congenital hypothyroidism


Nat. Rev. Endocrinol. doi:10.1038/nrendo.2011.160
Skrining
•  Pengambilan spesimen darah yang paling ideal adalah keKka umur
bayi 48 sampai 72 jam.
•  Namun, pada keadaan tertentu pengambilan darah masih bisa
ditolerir antara 24–48 jam (contoh: ibu pulang paksa).
•  Akan tetapi, sebaiknya darah Kdak diambil dalam 24 jam pertama
setelah lahir karena pada saat itu kadar TSH masih Knggi, sehingga
akan memberikan sejumlah hasil Knggi/posiKf palsu (false posi)ve).
•  Jika bayi sudah dipulangkan sebelum 24 jam, maka spesimen perlu
diambil pada saat kontrol, tepatnya saat bayi berusia 48 sampai 72
jam
•  Sampel darah diteteskan di kertas saring dan diperiksa di
laboratorium
•  Hasil sudah bisa diperoleh dalam 1 minggu

Pedoman skrining hipoKroid kongenital kemenkes 2014


Intepretasi hasil
•  Kadar TSH < 20 μU/mL berarK normal
•  Jika kadar TSH antara ≥ 20 μU/mL , perlu
pengambilan spesimen ulang (resample) atau
dilakukan pemeriksaan DUPLO (diperiksa dua kali
dengan spesimen yang sama, kemudian diambil nilai
rata-rata). Bila pada hasil pengambilan ulang
didapatkan:
Ø Kadar TSH < 20 μU/mL, maka hasil tersebut
dianggap normal.
Ø Kadar TSH ≥ 20 μU/mL, maka harus dilakukan
pemeriksaan TSH dan FT4 serum
Pedoman skrining hipoKroid kongenital kemenkes 2014
Tatalaksana
•  Pengobatan dengan L-T4 diberikan segera setelah hasil tes
konfirmasi.
•  Bayi dengan hipoKroid berat diberi dosis Knggi, sedangkan bayi
dengan hipoKroid ringan atau sedang diberi dosis lebih rendah.
•  Bayi yang menderita kelainan jantung, mulai pemberian 50% dari
dosis, kemudian dinaikkan setelah 2 minggu.
Dosis levo_roksin (L-T4)

Pedoman skrining hipoKroid kongenital kemenkes 2014


Evaluasi terapi
•  Pemantauan pertama setelah 2 minggu sejak pengobatan
Kroksin
•  Selanjutnya Kap 4 minggu sampai kadar TSH normal
•  Tiap 2 bulan sampai umur 12 bulan
•  Dari umur 1 – 3 tahun, pemantauan klinis dan
laboratorium Kap 4 bulan
•  Selanjutnya Kap 6 bulan sampai selesai masa
pertumbuhan.
•  Setelah umur 18 tahun, dialihrawatkan pada ahli penyakit
•  dalam.
•  Pemeriksaan sebaiknya dilakukan lebih sering bila
kepatuhan minum obat meragukan, atau ada perubahan
dosis (4 – 6 minggu setelah perubahan dosis.
Pedoman skrining hipoKroid kongenital kemenkes 2014
Target pengobatan

•  Nilai T4 serum,130 – 206 nmol/L (10 – 16 μg/


dl )
•  FT4 18 – 30 pmol/L (1,4 - 2,3 μg/dl) kadar FT4
ini dipertahankan pada nilai di atas 1,7 μg/dl
(75% dari kisaran nilai normal). Kadar ini
merupakan kadar opKmal.
•  Kadar TSH serum, sebaiknya dipertahankan di
bawah 5 μU/mL

Pedoman skrining hipoKroid kongenital kemenkes 2014


GASTRO
HEPATOLOGI
DIARE AKUT
Diare
•  Diare akut: berlangsung < 1 •  Disentri: diare
minggu, umumnya karena infeksi mengandung lendir dan
–  Diare akut cair darah
–  Diare akut berdarah •  Diare primer: infeksi
•  Diare berlanjut: diare infeksi memang terjadi pada
yang berlanjut > 1 minggu saluran cerna (misal:
•  Diare Persisten: Bila diare infeksi Salmonella)
melanjut Kdak sembuh dan •  Diare sekunder: diare
melewaK 14 hari atau lebih sebagai gejala ikutan dari
•  Diare kronik: diare karena sebab berbagai penyakit
apapun yang berlangsung 14 hari sistemik seperK pada
atau lebih bronkopnemonia,
ensefaliKs dan lain-lain
Diare dan Dehidrasi
•  Evaluasi Diare dan Dehidrasi
–  Anamnesis
•  Frekuensi BAB
•  Lamanya diare
•  Adanya darah dalam Knja
•  Muntah
•  Pengobatan yang baru diminum (anKbioKk dan obat lainnya)
–  Pemeriksaan Fisik
•  Evaluasi tanda dehidrasi (rewel/gelisah, kesadaran, mata cekung,
turgor kulit, kehausan/malas minum)
•  Darah dalam Knja
•  Tanda-tanda gizi buruk
•  Perut kembung
•  Tanda invaginasi (massa intraabdomen, Knja lendir dan darah)

KLASIFIKASI DIARE
Tatalaksana cairan pada diare akut

PPM IDAI
INTOLERANSI LAKTOSA
Intoleransi Laktosa
•  Laktosa diproduksi oleh kelenjar payudara dengan kadar yang
bervariasi diantara mamalia.
•  Susu sapi mengandung 4% laktosa, sedangkan ASI
mengandung 7% laktosa.
•  Laktosa adalah disakarida yang terdiri dari komponen glukosa
dan galaktosa.
•  Manusia normal Kdak dapat menyerap laktosa, oleh karena itu
laktosa harus dipecah dulu menjadi komponen-komponennya.
•  Hidrolisis laktosa memerlukan enzim laktase yang terdapat di
brush border sel epitel usus halus.
•  Tidak terdapatnya atau berkurangnya akKvitas laktase akan
menyebabkan terjadinya malabsorpsi laktosa.
Defisiensi Laktase
•  Defisiensi laktase dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu defisiensi
laktase primer dan defisiensi laktase sekunder
•  Terdapat 3 bentuk defisiensi laktase primer, yaitu
–  Developmental lactase deficiency
Terdapat pada bayi prematur dengan usia kehamilan 26-32 minggu. Kelainan
ini terjadi karena akKvitas laktase belum opKmal.
–  Congenital lactase deficiency
Kelainan dasarnya adalah Kdak terdapatnya enzim laktase pada brush border
epitel usus halus. Kelainan ini jarang ditemukan dan menetap seumur hidup
–  Gene)cal lactase deficiency
Kelainan ini Kmbul secara perlahan-lahan sejak anak berusia 2-5 tahun hingga
dewasa. Kelainan ini umumnya terjadi pada ras yang Kdak mengkonsumsi susu
secara ruKn dan diturunkan secara autosomal resesif
•  Defisiensi laktase sekunder
–  Akibat penyakit gastrointesKnal yang menyebabkan kerusakan mukosa usus
halus, seperK infeksi saluran cerna.
–  umumnya bersifat sementara dan akKvitas laktase akan normal kembali
setelah penyakit dasarnya disembuhkan.
Patogenesis
•  Laktosa Kdak dapat diabsorpsi sebagai disakarida,
tetapi harus dihidrolisis menjadi glukosa dan galaktosa
dengan bantuan enzim laktase di usus halus.
•  Bila akKvitas laktase turun atau Kdak ada è laktosa
Kdak diabsorpsi dan mencapai usus bagian distal atau
kolon è tekanan osmoKk meningkat è menarik air
dan elektrolit sehingga akan memperbesar volume di
dalam lumen usus è diare osmoKk
•  Keadaan ini akan merangsang peristalKk usus halus
sehingga waktu singgah dipercepat dan mengganggu
penyerapan.
Patogenesis
•  Di kolon, laktosa akan difermentasi oleh bakteri kolon è
menghasilkan asam laktat dan asam lemak rantai pendek lainnya
seperK asam asetat, asam buKrat, dan asam propionat è
Fenomena ini menerangkan feses yang cair, asam, berbusa dan
kemerahan pada kulit di sekitar dubur (eritema natum).
•  Fermentasi laktosa oleh bakteri di kolon è menghasilkan beberapa
gas seperK hidrogen, metan dan karbondioksida è distensi
abdomen, nyeri perut, dan flatus.
•  Selanjutnya, 80% dari gas tersebut akan dikeluarkan melalui rektum
dan sisanya akan berdifusi ke dalam sistem portal dan dikeluarkan
melalui sistem pernapasan.
•  Feses sering mengapung karena kandungan gas yg Knggi dan juga
berbau busuk.
Gejala Klinis
•  Intoleransi laktosa dapat bersifat •  Gejala klinis yang diperlihatkan
asimtomaKs atau dapat berupa rasa mual, muntah,
memperlihatkan berbagai gejala sakit perut, kembung dan sering
klinis flatus.
•  Berat atau ringan gejala klinis •  Rasa mual dan muntah
yang diperlihatkan tergantung merupakan gejala yang paling
dari akKvitas laktase di dalam sering ditemukan
usus halus, jumlah laktosa, cara •  Pada uji toleransi laktosa rasa
mengkonsumsi laktosa, waktu penuh di perut dan mual Kmbul
pengosongan lambung, waktu dalam waktu 30 menit,
singgah usus, flora kolon, dan sedangkan nyeri perut, flatus dan
sensiKfitas kolon terhadap diare Kmbul dalam waktu 1-2 jam
asidifikasi. setelah mengkonsumsi larutan
laktosa
Pemeriksaan Penunjang
•  Analisis Knja, prinsipnya ditemukan asam dan bahan pereduksi
dalam Knja setelah makan yg mengandung laktosa, ada 3 metode:
–  Metode klini test (detects all reducing substances in stool; of primary
interest are glucose, lactose, fructose, galactose, maltose, and
pentose)
–  Kromatografi Knja
–  pH Knja à Knja bersifat asam
•  Uji toleransi laktosa: merupakan uji kuanKtaKf; memeriksa kadar
gula darah setelah konsumsi laktosa
•  Pemeriksaan radiologis lactosa-barium meal
•  Ekskresi galaktos pada urin
•  Uji hidrogen napas à metode pilihan pada intoleransi laktosa
karena bersifat noninvasif, memiliki sensiKvitas dan efekKvitas yang
Knggi
•  Biopsi usus dan pengukuran akKvitas laktase
Clinitest
Method Principle
•  Clinitest is a reagent tablet based on •  Copper sulfate in Clinitest reacts
the Benedict's copper reducKon with reducing substances in
reacKon, combining reacKve urine/stools converKng cupric
ingredients with an integral heat sulfate to cuprous oxide.
generaKng system. •  The resultant color, which varies
•  The test is used to determine the with the amount of reducing
amount of reducing substances substances present, ranges from
(generally glucose) in urine/stools. blue through green to orange.
•  Clinitest provides clinically useful
informaKon on carbohydrate
metabolism.

Clinitest
•  The Clinitest® reacKon detects all •  TesKng for reducing substances in
reducing substances in stool; of stool is used in diagnosing the cause
primary interest are glucose, lactose, of diarrhea in children.
fructose, galactose, maltose, and •  Increased reducing substances in
pentose. stool are consistent with primary or
•  Reference Range: secondary disaccharidase deficiency
NegaKve. A result of 0.25% to 0.5% is and intes_nal monosaccharide
suspicious for a carbohydrate malabsorp_on.
absorpKon abnormality, >= 0.75% is •  Similar intesKnal absorpKon
abnormal.
deficiencies are associated with short
•  Test LimitaKons: bowel syndrome and necroKzing
Assay results have relevance for enterocoliKs.
liquid stool samples; assay results •  Stool reducing substances is also
have lifle relevance for formed stool helpful in diagnosing between
samples. osmo_c diarrhea caused by
abnormal excre_on of various sugars
as opposed to diarrhea caused by
viruses and parasites.
Tatalaksana
•  Sebagian besar self limited, cukup menjaga status
hidrasi agar Kdak dehidrasi dan menjaga asupan nutrisi
•  Pemberian cairan rehidrasi oral (CRO) hipotonik
•  Rehidrasi cepat (3-4 jam)
•  ASI harus tetap diberikan
•  Realimentasi segera dengan makanan sehari-hari
•  Susu formula yang diencerkan Kdak dianjurkan
•  Susu formula khusus diberikan sesuai indikasi
•  AnKbioKk hanya berdasarkan indikasi kuat.
•  PerKmbangan pengganKan susu formula selama diare akut
(diare kurang dari 7 hari), sebagai berikut :
•  Diare tanpa dehidrasi dan dehidrasi ringan-sedang : susu
formula normal dilanjutkan
•  Diare tanpa dehidrasi atau dehidrasi ringan-sedang dengan
gejala klinis intoleransi laktosa yang berat (selain diare)
dapat diberikan susu formula bebas laktosa.
•  Diare dengan dehidrasi berat diberikan susu formula bebas
laktosa
•  Pemberian susu formula untuk alergi pada anak dengan
diare akut tanpa jelas petanda alerginya adalah Kdak
rasional.
FOOD ALLERGY
Food Allergy
•  HipersensiKvitas terhadap protein di dalam makanan (cth kasein & whey dari
produk sapi)
•  Mekanisme pertahanan spesifik dan non-spesifik saluran cerna belum sempurna,
anKgen masuk lewat saluran cerna à hipersensiKvitas
•  HipersensiKvitas bisa diperantarai IgE atau Tidak diperantarai IgE
•  The prevalence of food allergies has been esKmated to be 5-6% in infants and
children younger than 3 years and 3.7 % in adults
•  Gejala:
–  AnafilakKk
–  Kulit: dermaKKs atopik, urKkaria, angioedema
–  Saluran nafas: asma, riniKs alergi
–  Saluran cerna: oral allergy syndrome, esofagiKs eosinofilik, gastriKs eosinofilik, gastroenteriKs
eosinofilik, konsKpasi kronik, dll.
•  Pemeriksaan: skin test, IgE serum, eliminasi diet, food challenge
•  Tata laksana:
–  Eliminasi makanan yang diduga mengandung alergen
–  Breas^eeding, ibu ikut eliminasi produk susu sapi dalam dietnya
–  Susu terhidrolisat sempurna bila susah untuk breas^eeding
Nocerino A. Protein intolerance. hfp://emedicine.medscape.com/arKcle/931548-overview
PPM IDAI
Intoleransi Laktosa VS Milk Allergy
INTOLERANSI LAKTOSA MILK ALLERGY
o  reaksi hipersensiKvitas terhadap
o  KeKdakmampuan tubuh untuk
protein susu sapi. Dapat melalui 2
mencerna “gula susu/laktosa”
Definisi mekanisme : 1). Diperantarai IgE ; 2).
akibat defisiensi enzim laktase.
Non IgE (rx hipersensiKvitas Kpe IV)
o  reaksi non – imunologis

o  mual, keram perut, kembung,


Manifestasi Kdak hanya pada sal. cerna,
nyeri perut, flatus dan diare
Manifestasi tetapi juga pada mukosa, kulit, hingga
o  gejala muncul dalam waktu 15
klinis saluran napas
menit hingga beberapa jam

setelah mengkonsumsi laktosa
o  Double blind placebo controlled food
o  Analisis Knja :
challenge (DBPCFC) à gold standar
•  Metode klini test
à lebih banyak untuk riset
•  Kromatografi Knja
o  pemeriksaan lain yang resiko lebih
Pemeriksaan •  pH Knja à Knja bersifat asam
rendah namun memiliki efikasi yg
Klinis o  Pemeriksaan radiologis lactosa-
sama
barium meal
• skin prick test, pengukuran
o  Ekskresi galaktos pada urin
anKbodi IgE spesifik terhadap
o  Uji hidrogen napas
protein susu sapi, patch test
STOMATITIS APHTOSA DAN
HERPETIC
StomaKKs aphtosa
•  StomaKKs aphtosa/ •  EKologi
stomaKKs rekuren -  GeneKk
•  Gejala klinis: -  Trauma
-  Ulserasi mulKpel -  Alergi makanan
-  Rekuren -  Gangguan hormon
-  Nyeri -  Defisiensi nutrisi
-  Pada mukosa mulut -  Stres
Klasifikasi dan tatalaksana
•  Tipe A (Minor/ Mikulicz ulcer; 80-85% of cases): ukuran
<1cm, jumlah 1-5 cm, sembuh dalam 7-10 hari. Tx/kumur
anKsepKk dan underlying condiKon.
•  Tipe B (Mayor/ Sufon ulcer, periadeniKs mucosa necroKca
recurrens; 5-10% of cases): besar dan dalam, ukuran >1cm,
sembuh lebih lama (beberapa minggu) dan meninggalkan
parut. Tx/Terapi A+korKkosteroid topikal. DOC:
triamcinolone
•  HerpeKformis (<5% of cases): kecil dan banyak, ukuran
1-3mm, 5-100 ulkus, mirip lesi herpes, sembuh dalam
10-14 hari. Tx/Atasi underlying condiKon+steroid oral
Tipe A (Minor/ Mikulicz ulcer; 80-85% of cases)
Tipe B (Mayor/ Sufon ulcer, periadeniKs mucosa necroKca recurrens;
5-10% of cases)
HerpeKformis (<5% of cases)
Gingivostoma__s Herpe_c
•  Disebabkan oleh virus HSV-1.
–  Umumnya terjadi pada anak usia 6 •  Tanda dan gejala klinis:
bln-5 tahun –  Onset mendadak
–  Pada dewasa à bentuk lebih –  Didahului demam Knggi
ringan dan melibatkan faring
posterior –  Anoreksia, lemah lesu
•  Masa inkubasinya 3-6 hari. –  LimfeadenopaK servikal,
submental, dan submaksila
•  PaKents present with mul_ple
–  Tanda gingiviKs (gusi
painful ulcers
bengkak, eritematosa)
–  1 to 2mm in diameter surrounded
by erythematous Kssue on all –  Lesi vesikular yang terasa
mucosal surfaces of the oral cavity nyeri di mukosa mulut, lidah,
–  Pain upon eaKng, especially salty bibir, dapat hingga ke
or acidic foods palatum
–  Low fever and malaise also are –  Sulit menelan
present and paKents o€en become
under-nourished or dehydrated
VIRAL INFECTIONS
Primary herpes infecKon:
Symptoms:
1.  Painful generalized
ulcers on oral mucosa.
SomeKmes it appears
extra-orally.
2.  Low fever and malaise.
PaKents o€en are
under-nourished due to
pain upon eaKng.
3.  Self-limiKng. Will last 10
to 14 days.

Occurs frequently
in young children
VIRAL INFECTIONS
Primary herpes infecKon:
Treatment:
1.  PalliaKve treatment
2.  Viscous topical anestheKc.
3.  Nutrient supplements.
4.  Acyclovir (anK-viral agent)
StomaKKs aphtosa

StomaKKs herpeKca
Stoma__s Herpe_c Stoma__s Aphthosa

EKologi: Virus HSV-1 EKologi: Kdak jelas. Berhubungan dengan


faktor geneKk dan stress
Didahului demam Knggi atau subfebris Umumnya Kdak didahului demam

Onset mendadak Lesi berkembang dari beberapa hari


(24-48 jam)
Lesi vesikular Lesi umumnya berbetuk bulat, tepi
inflamasi, bagian tengah puKh atau kuning
Lesi melipuK rongga mulut, lidah, bibir, Lesi terbatas di mukosa rongga mulut yang
hingga palatum bergerak seperK bibir, buccal, dan dasar
rongga mulut
Pengobatan: asiklovir Biasanya dapat sembuh dengan sendirinya
(Self-limi)ng)
Dapat diberikan triamcinolon
INFEKSI
PERTUSSIS
Pertusis
•  Batuk rejan (pertusis) adalah penyakit akibat
infeksi Bordetella pertussis dan Bordetella
parapertussis (basil gram -)
•  KarakterisKk : uncontrollable, violent coughing
which o€en makes it hard to breathe. A€er fits of
many coughs needs to take deep breathes which
result in a "whooping" sound.
•  Anak yang menderita pertusis bersifat infeksius
selama 2 minggu sampai 3 bulan setelah
terjadinya penyakit
Pertusis
•  Stadium:
–  Stadium katarrhal: hidung tersumbat, rinorrhea,
demam subfebris. Sulit dibedakan dari infeksi
biasa. Penularan terjadi dalam stadium ini.
–  Stadium paroksismal: batuk paroksismal yang
lama, bisa diikuK dengan whooping atau stadium
apnea. Bisa disertai muntah.
–  Stadium konvalesens: batuk kronik hingga
beberapa minggu
Guinto-Ocampo H. Pediatric pertussis. hfp://emedicine.medscape.com/arKcle/967268-
overview
Diagnosis dan Tatalaksana Pertusis
•  Diagnosis :
–  Curiga pertusis jika anak batuk berat lebih dari 2 minggu, terutama jika penyakit
diketahui terjadi lokal.
–  Tanda diagnosKk : Batuk paroksismal diiku_ whoop saat inspirasi disertai muntah,
perdarahan subkonjungKva, riwayat imunisasi (-), bayi muda dapat mengalami
henK napas sementara/sianosis
•  Penatalaksanaan :
–  Kasus ringan pada anak-anak umur ≥ 6 bulan dilakukan secara rawat jalan
–  < 6 bulan, dengan pneumonia, kejang, dehidrasi, gizi buruk, henK napas, atau
sianosis dirawat di RS
•  Pemeriksaan penunjang
–  Leukosit dan hitung jenis sel: Leukositosis (15.000-100.000/mm3) dengan
limfositosis absolut
–  IgG terhadap toksin pertusis: Didapatkan anKbodinya (IgG terhadap toksin
pertusis)
Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. WHO. 2008
Tatalaksana
•  SuporKf umum (terapi oksigen dan venKlasi mekanik jika dibutuhkan)
•  Observasi ketat diperlukan pada bayi, untuk mencegah/mengatasi
terjadinya apnea, sianosis, atau hipoksia
•  Pasien diisolasi (terutama bayi) selama 4 minggu, diutamakan sampai 5-7
hari selesai pemberian anKbioKk. Gejala batuk paroksismal setelah terapi
anKbioKk Kdak berkurang, namun terjadi penurunan transmisi setelah
pemberian terapi hari ke-5
•  Belum ada studi berbasis bukK untuk pemberian korKkosteroid, albuterol,
dan beta- 2-adrenergik lainnya, serta belum terbukK efekKf sebagai terapi
pertusis.
•  Dilakukan penilaian kondisi pasien, apakah terjadi apnea, spel sianoKk,
hipoksia dan/ atau dehidrasi.
•  Terapi an_bio_k: Tujuan farmakoterapi adalah menghilangkan infeksi,
mengurangi morbiditas, dan mencegah kompilkasi.
•  Beri imunisasi DPT pada pasien pertusis dan seKap anak dalam keluarga
Penyulit/ Komplikasi
•  Pneumonia •  Kejang
•  Atelektasis •  Tanda perdarahan, berupa:
•  Ruptur alveoli Epistaksis, melena,
•  Emfisema perdarahan subkonjungKva,
•  Bronkiektasis hematom epidural,
•  Pneumotoraks perdarahan intrakranial
•  Ruptur diafragma
•  MeningoensefaliKs,
ensefalopaK, koma
•  Dehidrasi dan gangguan
nutrisi
•  Hernia umbilikalis/
inguinalis, prolaps rekK
CROUP
Croup
•  Croup (laringotrakeobronkiKs
viral) adalah infeksi virus di
saluran nafas atas yang
menyebabkan penyumbatan
•  Merupakan penyebab stridor
tersering pada anak
•  Gejala: batuk menggonggong
(barking cough), stridor,
demam, suara serak, nafas
cepat disertai tarikan dinding
dada bagian bawah ke dalam
Steeple sign
Pemeriksaan
•  Croup is primarily a clinical diagnosis
•  Laboratory test results rarely contribute to confirming this
diagnosis. The complete blood cell (CBC) count may suggest a viral
cause with lymphocytosis
•  Radiography : verify a presumpKve diagnosis or exclude other
disorders causing stridor.
–  The anteroposterior (AP) radiograph of the so€ Kssues of the neck
classically reveals a steeple sign (also known as a pencil-point sign),
which signifies subglo{c narrowing
–  Lateral neck view may reveal a distended hypopharynx (ballooning)
during inspiraKon
•  Laryngoscopy is indicated only in unusual circumstances (eg, the
course of illness is not typical, the child has symptoms that suggest
an underlying anatomic or congenital disorder)
Klasifikasi dan Penatalaksanaan
Ringan Berat
•  Gejala: •  Gejala:
–  Demam –  Stridor saat isKrahat
–  Takipnea
–  Suara serak
–  Retraksi dinding dada bagian
–  Batuk menggonggong bawah
–  Stridor bila anak gelisah •  Terapi:
•  Terapi: –  Steroid (dexamethasone) dosis
tunggal (0,6 mg/kg IM/PO)
–  Rawat jalan dapat diulang dalam 6-24 jam
–  Pemberian cairan oral, ASI/ –  Epinefrin 1:1000 2 mL dalam
makanan yang sesuai 2-3 mL NS, nebulisasi selama
–  SimtomaKk 20 menit

WHO. Buku saku pelayanan kesehatan anak di rumah sakit. WHO; 2008.
EKSANTEMA AKUT
EKSANTEMA AKUT
Morbili/Rubeola/Campak
•  Pre-erup_ve Stage
–  Demam
–  Catarrhal Symptoms – coryza, conjuncKviKs
–  Respiratory Symptoms – cough
•  Erup_ve Stage/Stage of Skin Rashes
–  Exanthem sign
•  Maculopapular Rashes – Muncul 2-7
hari setelah onset
•  Demam Knggi yang menetap
•  Anoreksia dan iritabilitas
•  Diare, pruriKs, letargi dan
limfadenopaK oksipital
•  Stage of Convalescence
–  Rash – menghilang sama dengan urutan
munculnya (muka lalu ke tubuh bag bawah)
→ membekas kecoklatan
–  Demam akan perlahan menghilang saat
erupsi di tangan dan kaki memudar

•  Tindakan Pencegahan :
–  Imunisasi Campak pada usia 9 bulan
–  Mencegah terjadinya komplikasi berat
Morbili
•  Paramyxovirus •  Prodromal
•  Kel yg rentan: –  Hari 7-11 setelah
–  Anak usia prasekolah yg eksposure
blm divaksinasi –  Demam, batuk,
–  Anak usia sekolah yang konjungKviKs,sekret
hidung. (cough, coryza,
gagal imunisasi conjuncKviKs à 3C)
•  Musin: akhir musim •  Enanthem à ruam
dingin/ musim semi kemerahan
•  Inkubasi: 8-12 hari •  Koplik’s spots muncul 2
•  Masa infeksius: 1-2 hari hari sebelum ruam dan
sblm prodromal s.d. 4 bertahan selama 2 hari.
hari setelah muncul ruam
Morbili
KOMPLIKASI DIAGNOSIS & TERAPI
•  OKKs Media (1 dari 10 penderita •  Diagnosis:
campak pada anak)
–  manifestasi klinis, tanda
•  Diare (1 dari 10 penderita campak) patognomonik bercak Koplik
•  Bronchopneumonia (komplikasi
berat; 1 dari 20 anak penderita –  isolasi virus dari darah, urin,
campak) atau sekret nasofaring
•  EncephaliKs (komplikasi berat; 1 –  pemeriksaan serologis: Kter
dari 1000 anak penderita campak) anKbodi 2 minggu setelah
•  PericardiKs Kmbulnya penyakit
•  Subacute sclerosing •  Terapi:
panencephaliKs – late sequellae
due to persistent infecKon of the –  SuporKf, pemberian vitamin A
CNS; 7-10 tahun setelahnya; 1: 2 x 200.000 IU dengan interval
100,000 orang) 24 jam.
Penatalaksanaan
•  Terapi suporKf diberikan dengan menjaga cairan tubuh dan
mengganK cairan yang hilang dari diare dan emesis.
•  Obat diberikan untuk gejala simptomaKs, demam dengan
anKpireKk.
•  Jika terjadi infeksi bakteri sekunder, diberikan anKbioKk.
•  Suplementasi vitamin A diberikan pada:
–  Bayi usia kurang dari 6 bulan 50.000 IU/hari PO diberi 2 dosis.
–  Umur 6-11 bulan 100.000 IU/hari PO 2 dosis.
–  Umur di atas 1 tahun 200.000 IU/hari PO 2 dosis.
–  Anak dengan tanda defisiensi vitamin A, 2 dosis pertama sesuai
umur, dilanjutkan dosis keKga sesuai umur yang diberikan 2-4
minggu kemudian.
Konseling & Edukasi
•  Edukasi keluarga dan pasien bahwa morbili merupakan penyakit
yang menular.
•  Namun demikian, pada sebagian besar pasien infeksi dapat sembuh
sendiri, sehingga pengobatan bersifat suporKf.
•  Edukasi penKngnya memperhaKkan cairan yang hilang dari diare/
emesis.
•  Untuk anggota keluarga/kontak yang rentan, dapat diberikan vaksin
campak atau human immunoglobulin untuk pencegahan.
•  Vaksin efekKf bila diberikan dalam 3 hari terpapar dengan
penderita.
•  Imunoglobulin dapat diberikan pada individu dengan gangguan
imun, bayi umur 6 bulan -1 tahun, bayi umur kurang dari 6 bulan
yang lahir dari ibu tanpa imunitas campak, dan wanita hamil.
Measles Virus Taxonomy

•  Species : Measles morbillivirus


•  Genus : Morbillivirus Electron Micrograph of
Measles virus

•  Family :
Paramyxoviridae
•  Order :
Mononegavirales
•  Single-stranded, negaKve-sense,
enveloped (non-segmented)
RNA virus
hfps://www.cdc.gov/measles/about/photos.html
3D graphical representaKon of a
spherical-shaped, measles virus
parKcle
Rubella
•  Togavirus •  AsymptomaKk hingga
•  Yg rentan: orang dewasa 50%
yang belum divaksinasi •  Prodromal
•  Musim: akhir musim –  Anak-anak: Kdak bergejala
dingin/ awal musim semi. s.d. gejala ringan
–  Dewasa: demam, malaside,
•  Inkubasi 14-21 hari nyeri tenggorokan, mual,
•  Masa infeksius: 5-7 hari anoreksia, limfadeniKs
sblm ruam s.d. 3-5 hari oksipital yg nyeri.
setelah ruam muncul •  Enanthem
–  Forschheimer’s spots
èpetekie pada hard
palate
Rubella - komplikasi
•  Arthralgias/arthriKs pada
org dewasa
•  Peripheral neuriKs
•  encephaliKs
•  thrombocytopenic purpura
(jarang)
•  Congenital rubella
syndrome
–  Infeksi pada trimester
pertama
–  IUGR, kelainan mata, tuli,
kelainan jantung, anemia,
trombositopenia, nodul kulit.
Roseola Infantum ≈ Exanthem Subitum
•  Human Herpes Virus 6 •  Demam Knggi 3-4 hari
(and 7) •  Demam turun mendadak
•  Yg rentan: 6-36 bulan dan mulai Kmbul ruam
(puncak 6-7 bulan) kulit.
•  Musim: sporadik •  Kejang yang mungkin
•  Inkubasi: 9 hari Kmbul berkaitan dengan
infeksi pada meningens
•  Masa infeksius: berada
dalam saliva secara oleh virus.
intermiten sepanjang
hidup; infeksi
asimtomaKk persisten.
Roseola Infantum ≈ Exanthem Subitum

•  Roseola infantum atau disebut juga exanthema subitumà penyakit akut


yang bersifat self limited pada bayi dan anak-anak
•  Gejala utamanya berupa demam Knggi dan mendadak, yang biasanya
akan turun mendadak juga setelah 72 jam.
•  Begitu demam turun, ruam kulit muncul dengan karakterisKk eritematosa
berukuran morbiliformis, Kdak gatal, dan predileksi terutama di batang
tubuh.
•  Ruam-ruam ini akan menghilang dengan sendirinya setelah 1-3 hari, dan
bisa menyebar ke perifer tubuh
•  Pada beberapa kasus dapat disertai gejala lain berupa eritema pada faring,
injeksi konjungKva, eritema pada membran Kmpani, atau pembesaran
KGB
•  Pada populasi Asia dapat muncul ulkus di uvulopalatoglassal juncKon
( Nagayama spots )

Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, Geme JWS, Behrman RE. Nelson textbook of pediatrics
Scarlet Fever
•  Sindrom yang memiliki •  Rash : Timbul 12-48 jam setelah
karakterisKk: faringiKs eksudaKf, onset demam. Dimulai dari leher
demam, dan rash. kemudian menyebar ke badan
•  Disebabkan oleh group Abeta- dan ekstremitas.
hemolyKcstreptococci (GABHS) •  Pemeriksaan : Throat culture
•  Masa inkubasi 1-4 hari. posiKve for group A strep
•  Manifestasi pada kulit diawali •  Tatalaksana : AnKbioKk
oleh infeksi streptokokus anKstreptokokal minimal 10 hari
(umumnya pada (Eritromisin atau Penicillin G)
tonsillopharynx) : nyeri
tenggorokan dan demam Knggi,
disertai nyeri kepala, mual,
muntah, nyeri perut, myalgia, dan
malaise.

Scarlet Fever. hfp://emedicine.medscape.com/arKcle/1053253-overview



MUMPS
Anatomy of Salivary gland
•  3 major salivary
glands:
–  The paroKd glands
–  The submandibular
glands
–  The sublingual
glands
•  Many minor
salivary glands in
mucosa of cheeks,
lips, palate.
Mumps (ParoKKs Epidemica)
•  Acute, self-limited, systemic
viral illness characterized by the
swelling of one or more of the
salivary glands, typically the
paroKd glands.
•  Highly infecKous to nonimmune
individuals and is the only cause
of epidemic paroKKs.
•  Taksonomi:
–  Species: Mumps rubulavirus
–  Genus: Rubulavirus
–  Family: Paramyxoviridae
–  Order: Mononegavirales
Mumps
•  Salah satu penyebab paroKKs •  Penularan terjadi sejak 6 hari
•  Satu-satunya penyebab paroKKs sebelum Kmbulnya
yang mengakibatkan “occasional pembengkakan paroKs sampai 9
outbreak” hari kemudian.
•  Disebabkan oleh paramyxovirus, •  Bisa tanpa gejala
dengan predileksi pada kelenjar •  Masa inkubasi 12-25 hari, gejala
dan jaringan syaraf. prodromal Kdak spesifik ditandai
•  The transmission mode is person dengan mialgia, anoreksia,
to person via respiratory droplets malaise, sakit kepala dan demam
and saliva, direct contact, or ringan à Setelah itu Kmbul
fomites. pembengkakan unilateral/
•  Insidens puncak pada usia 5-9 bilateral kelejar paroKs.
tahun. •  Gejala ini akan berkurang setelah
•  Imunisasi dengan live aTenuated 1 minggu dan biasanya
vaccine sangat berhasil (98%) menghilang setelah 10 hari.
Mumps
•  Komplikasi : MeningiKs/encephaliKs, Sensorineural hearing
loss/deafness, Guillain-Barré syndrome, ThyroidiKs,
MyocardiKs, orchiKs (terjadi pada laki-laki usia
postpubertal)
•  Approximately one third of postpubertal male paKents
develop unilateral orchiKs.
•  PrevenKon : Vaccina_ng children with MMR Jadwal IDAI
2017: jika sudah imunisasi campak 9 bulan, MMR diberikan
usia 15 bulan (interval minimal 6 bulan); jika belum
mendapat campak 9 bulan, MMR bisa diberikan usia 12
bulan
Mumps Treatment
•  ConservaKve, supporKve medical care is indicated for
paKents with mumps.
•  No anKviral agent is indicated, as mumps is a self-
limited disease.
•  Encouraging oral fluid intake
•  Refrain from acidic foods and liquids as they may
cause swallowing difficulty, as well as gastric
irrita_on.
•  Analgesics (acetaminophen, ibuprofen)
•  Topical applicaKon of warm or cold packs to the
swollen paroKd may soothe the area.
MMR
•  Merupakan vaksin kombinasi untuk Measles (Campak),
Mumps (ParoKKs), dan Rubella
•  Vaksin kering, mengandung virus hidup, disimpan pada
temperatur 2-8⁰C, dan terlindung dari cahaya
•  Pemberian dengan dosis tunggal 0.5 ml intramuskular
atau subkutan dalam
•  Harus diberikan sekalipun ada riwayat infeksi campak,
gondongan, dan rubella
•  Jadwal IDAI 2017: jika sudah imunisasi campak 9 bulan,
MMR diberikan usia 15 bulan (interval minimal 6
bulan); jika belum mendapat campak 9 bulan, MMR
bisa diberikan usia 12 bulan
PULMONOLOGI
PNEUMONIA
Pneumonia
•  Peradangan/inflamasi parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis
yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli, serta
menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas
setempat.
E_ologic Agents Grouped By Age Of The Pa_ent
Age group Frequent Pathogens (In order of Frequency)
Neonates (<3 wk) Group B streptococcus, Escherichia coli, other gram negaKve bacilli,
Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae (type b)
3 wk-3 mo Respiratory syncyKal virus, other respiratory viruses (parainfluenza
viruses, influenza viruses, adenovirus), S. pneumoniae, H. influenzae (type
b); if paKent is afebrile, consider Chlamydia trachomaKs

4 mo- 4 yr Respiratory syncyKal virus, other respiratory viruses (parainfluenza


viruses, influenza viruses, adenovirus), S. pneumoniae, H. infl uenzae (type
b), Mycoplasma pneumoniae, group A streptococcus
≥5 yr M. pneumoniae, S. pneumoniae, Chlamydophila pneumoniae, H.
influenzae (type b), infl uenza viruses, adenovirus, other respiratory
viruses, Legionella pneumophila

Sumber : Kllegman RM, Staton BF, Schor N,et all. Nelson Texbook of Pediatrics. 19th ediKon. New York : Saunders; 2011.
Pneumonia
•  Tanda utama menurut WHO: fast breathing & lower chest indrawing
•  Signs and symptoms :
–  Non respiratory: fever, headache, faKgue, anorexia, lethargy, vomiKng
and diarrhea, abdominal pain
–  Respiratory: cough, chest pain, tachypnea , grunKng, nasal flaring,
subcostal retracKon (chest indrawing), cyanosis, crackles and rales
(ronchi)

Fast breathing (tachypnea)


Respiratory thresholds
Age Breaths/minute
< 2 months 60
2 - 12 months 50
1 - 5 years 40

AGE COMMON ETIOLOGIES (as in order) LESS COMMON ETIOLOGIES
2 to 24 RSV Streptococcus Mycoplasma pneumoniae
months Human metapneumovirus pneumoniae Haemophilus influenzae (type B
Parainfluenza viruses Chlamydia and nontypable)
Influenza A and B trachomatis Chlamydophila pneumoniae
Rhinovirus
Adenovirus
Enterovirus

2 to 5 years Respiratory syncytial virus S. pneumoniae Staphylococcus aureus (including


Human metapneumovirus M. pneumoniae methicillin-resistant S. aureus)
Parainfluenza viruses H. influenzae (B and Group A streptococcus
Influenza A and B nontypable)
Rhinovirus C. pneumoniae
Adenovirus
Enterovirus

Older than 5 Rhinovirus M. pneumoniae H. influenzae (B and nontypable)
years Adenovirus C. pneumoniae S. aureus (including methicillin-
Influenza A and B S. pneumoniae resistant S. aureus)
Group A streptococcus
Respiratory syncytial virus
Parainfluenza viruses
Human metapneumovirus
Enterovirus

Patofisiologi

RESOLUTION
Sumber : Rubin E, Resiner H. EssenKals of Rubin’s Pathology. 6th ediKon. New
York : Lippincot ; 2014.
Klasifikasi Pneumonia Berdasarkan Lokasi Anatomis

Manifestasi Klinis
•  Infeksi umum à demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan nafsu makan, keluhan
gastrointesKnal seperK mual, muntah atau diare; kadang-kadang ditemukan gejala infeksi
ekstrapulmoner.
•  Gangguan respiratori à batuk, sesak napas, retraksi dada, takipnea, napas cuping hidung, air
hunger, merinKh, dan sianosis.
Pneumonia
•  Hubungan antara diagnosis klinis dan
Klasifikasi-Pneumonia (MTBS)

Diagnosis (Klinis) Klasifikasi (MTBS)


Pneumonia berat (rawat inap)
•  Tanpa gejala hipoksemia
Penyakit sangat berat
•  Dengan gejala hipoksemia
(Pneumonia berat)
•  Dengan komplikasi

Pneumonia ringan (rawat jalan)


Pneumonia

Infeksi respiratori akut atas Batuk: bukan pneumonia

Sumber :WHO. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di RS. Pedoman Bagi RS Rujukan Tk I di
Kabupaten/Kota.
Klasifikasi Pneumonia (WHO) dan kriteria rawat inap
Kriteria rawat inap
Pneumonia Ringan

•  Dx à disamping batuk atau kesulitan bernapas, hanya terdapat napas cepat saja.
•  Napas cepat:
•  pada anak umur 2 bulan – 11 bulan: ≥ 50 kali/menit
•  pada anak umur 1 tahun – 5 tahun : ≥ 40 kali/menit
•  Tx à rawat jalan, beri anKbioKk : Kotrimoksasol (4 mg TMP/kg BB/kali) 2 kali sehari
selama 3 hari atau Amoksisilin (25 mg/kg BB/kali) 2 kali sehari selama 3 hari.

Pneumonia Berat

•  Dx à Batuk dan atau kesulitan bernapas ditambah minimal salah satu hal berikut ini:
•  Kepala terangguk-angguk
•  Pernapasan cuping hidung
•  Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam
•  Foto dada menunjukkan gambaran pneumonia (infiltrat luas, konsolidasi)
•  Selain itu bisa didapatkan pula tanda berikut ini:
•  Napas cepat
•  Suara merinKh (grun_ng) pada bayi muda
•  Pada auskultasi terdengar : Crackles (ronki), suara pernapasan menurun, suara
pernapasan bronkial
•  Dalam keadaan yang sangat berat dapat dijumpai: Tidak dapat menyusu atau minum/
makan, atau memuntahkan semuanya, Kejang, letargis atau _dak sadar, sianosis, distres
pernapasan berat.
Tatalaksana
Pneumonia Berat

Beri ampisilin/amoksisilin (25-50 mg/kgBB/kali IV atau IM seKap 6 jam), yang harus


dipantau dalam 24 jam selama 72 jam pertama. Bila anak memberi respons yang baik
maka diberikan selama 5 hari. Selanjutnya terapi dilanjutkan di rumah atau di rumah
sakit dengan amoksisilin oral (15 mg/ kgBB/kali Kga kali sehari) untuk 5 hari berikutnya.

Bila keadaan klinis memburuk sebelum 48 jam, atau terdapat keadaan yang berat
(Kdak dapat menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan semuanya, kejang,
letargis atau Kdak sadar, sianosis, distres pernapasan berat) maka ditambahkan
kloramfenikol (25 mg/kgBB/kali IM atau IV seKap 8 jam).


Bila pasien datang dalam keadaan klinis berat, segera berikan oksigen dan pengobatan
kombinasi ampilisin-kloramfenikol atau ampisilin-gentamisin. Sebagai alternaKf, beri
seoriakson (80-100 mg/kgBB IM atau IV sekali sehari.






Gambaran Radiologis
DISEASE RADIOGRAPHY

CharacterisKcally, there is homogenous opacificaKon in a lobar pafern. The


Pneumonia opacificaKon can be sharply defined at the fissures, although more commonly
lobaris there is segmental consolidaKon. The non-opacified bronchus within a
consolidated lobe will result in the appearance of air bronchograms.

Pneumonia associated with suppuraKve peribronchiolar inflammaKon and subsequent


lobularis/ patchy consolidaKon of one or more secondary lobules of a lung in response
bronko to a bacterial pneumoniAssociated a: mulKple small nodular or
pneumonia reKculonodular opaciKes which tend to be patchy and/or confluent.

pulmonary hyperinflaKon Increased Bronchial wall markings (most


characterisKc) à Associated with thicker Bronchial wall, inflammaKon
Flafening of diaphragm (with chronic inflammaKon or Associated with
Asthma
accessory muscle use)
HyperinflaKon (variably present)
Patchy infiltrates (variably present) from Atelectasis
Hyperexpansion (showed by diaphragm flafening), hyperluscent,
bronkioli_s Peribronchial thickening
Variable infiltrates or Viral Pneumonia
Bronchopneumonia
Pneumonia Lobaris

EKology:
Pneumococcus
Mycoplasma
Gram negaKve organisms
Legionella
Bronchioli_s

The x-ray shows lung hyperinflaKon with a flafened diaphragm and opacificaKon in the right lung apex (red circle) and le€
lung base (blue circle) from atelectasis. Obviously, the same changes can be seen in the x-ray of a child with acute asthma.
This is one reason why children with acute asthma are o€en misdiagnosed as having pneumonia.
ATELECTASIS
Chest radiographs and CT scans may
demonstrate direct and indirect signs of
lobar collapse.
Direct signs include displacement of
fissures and opacificaKon of the collapsed
lobe.
Indirect signs include
•  displacement of the hilum,
•  mediasKnal shi€ toward the side
of collapse,
•  loss of volume on ipsilateral
hemithorax,
•  elevaKon of ipsilateral diaphragm,
•  crowding of the ribs,
•  compensatory hyperlucency of
the remaining lobes,
•  silhoue{ng of the diaphragm or
the heart border.

BRONKIOLITIS
Bronkioli_s
•  InfecKon (inflammaKon) at
bronchioli
•  Bisa disebabkan oleh
beberapa jenis virus, yang
paling sering adalah
respiratory syncyKal virus
(RSV)
•  Virus lainnya: influenza,
parainfluenza, dan
adenoviruses
•  Predominantly < 2 years of age
(2-6 months)
•  Difficult to differenKate with
pneumonia and asthma
BronkhioliKs
Bronchioli_s
Bronchioli_s:
Management

Mild disease
•  SymptomaKc therapy
Moderate to Severe diseases
•  Life Support Treatment : O2,
IVFD
•  EKological Treatment
–  AnK viral therapy (rare)
–  AnKbioKc (if eKology
bacteria)
•  SymptomaKc Therapy
–  Bronchodilator: controversial
–  CorKcosteroid: controversial
(not effecKve)
Tatalaksana BronkioliKs
•  Walaupun pemakaian nebulisasi
dengan beta2 agonis sampai saat
ini masih kontroversi, tetapi
masih bisa dianjurkan dengan
alasan:
–  Pada bronkioliKs selain terdapat
proses inflamasi akibat infeksi virus
juga ada bronkospasme dibagian
perifer saluran napas (bronkioli)
–  Beta agonis dapat meningkatkan
mukosilier
–  Sering Kdak mudah membedakan
antara bronkioliKs dengan
serangan pertama asma
–  Efek samping nebulasi beta agonis
yang minimal dibandingkan
epinefrin.

Sari Pediatri
TUBERKULOSIS PADA ANAK
Tuberkulosis pada anak
•  Pada umumnya anak yang terinfeksi Kdak
menunjukkan gejala yang khas over/
underdiagnosed
•  Batuk BUKAN merupakan gejala utama TB pada
anak
•  PerKmbangkan tuberkulosis pada anak jika :
–  BB berkurang dalam 2 bulan berturut-turut tanpa
sebab yang jelas atau gagal tumbuh
–  Demam sampai 2 minggu tanpa sebab yang jelas
–  Batuk kronik 3 ≥ minggu
–  Riwayat kontak dengan pasien TB paru dewasa
Petunjuk Teknis Tatalaksana TB Anak
(Depkes 2016)
•  Penegakan diagnosis TB anak didasarkan 4 hal :
–  Konfirmasi bakteriologis TB
–  Gejala klinis yang khas TB
–  Adanya bukK infeksi TB(tuberculin atau kontak TB)
–  Foto thorax sugesKf TB
•  System skoring:
–  Telah digunakan untuk diagnosis TB anak
–  Bila Kdak terdapat fasilitas pemeriksaan tuberculin dan
foto thoraks, maka skoring ini akan Kdak dapat terpenuhi
seluruh komponennya
–  Sehingga dibuat alur diagnosKk berdasarkan klinis dan
pemeriksaan bakteriologis
Sistem Skoring
Sistem Skoring
•  Diagnosis oleh dokter
•  Perhitungan BB dinilai saat pasien datang (moment opname)
•  Demam dan batuk yang Kdak respons terhadap terapi baku
•  Cut-of f point: ≥ 6
•  Anak dgn skor 6 yg diperoleh dari kontak dgn pasien BTA + dan hasil uji
tuberkulin posiKf, tetapi TANPA gejala klinis, maka dilakukan observasi
atau diberi INH profilaksis tergantung dari umur anak tersebut
•  Foto toraks bukan merupakan alat diagnosKk utama pada TB anak
•  Adanya skrofuloderma langsung didiagnosis TB
•  Reaksi cepat BCG harus dievaluasi dengan sistem skoring
•  Total nilai 4 pada anak balita atau dengan kecurigaan
•  besar dirujuk ke rumah sakit
ALUR DIAGNOSIS
BILA DIDAPATKAN
GEJALA KLINIS
Prinsip Pengobatan TB Anak
Berat dan ringannya penyakit
•  TB ringan:
–  Kdak berisiko menimbulkan kecacatan berat atau
kemaKan, misalnya TB primer tanpa komplikasi,
TB kulit, TB kelenjar
•  TB berat:
–  TB pada anak yang berisiko menimbulkan
kecacatan berat atau kemaKan, misalnya TB
meningiKs, TB milier, TB tulang dan sendi, TB
abdomen, termasuk TB hepar, TB usus, TB paru
BTA posiKf, TB resisten obat, TB HIV.
Petunjuk Teknis Manajemen TB Anak. 2016. Depkes.
KorKkosteroid pada TB Anak
Uji Tuberkulin
•  Menentukan adanya respon imunitas selular terhadap TB. Reaksi
berupa indurasi (vasodilatasi lokal, edema, endapan fibrin, dan
akumulasi sel-sel inflamasi)
•  Tuberkulin yang tersedia : PPD (purified protein derived) RT-23 2TU,
PPD S 5TU, PPD Biofarma
•  Cara : SunKkkan 0,1 ml PPD intrakutan di bagian volar lengan bawah.
Pembacaan 48-72 jam setelah penyunKkan
•  Pengukuran (pembacaan hasil)
–  Dilakukan terhadap indurasi yang Kmbul, bukan eritemanya
–  Indurasi dipalpasi, tandai tepi dengan pulpen. Catat diameter transversal.
–  Hasil dinyatakan dalam milimeter. Jika Kdak Kmbul = 0 mm
•  Hasil:
–  PosiKf jika indurasi >= 10mm
–  Ragu-ragu jika 5-9 mm
–  NegaKf < 5 mm
Pengobatan Profilaksis
•  Pengobatan profilaksis hanya diberikan pada
pasien dengan kontak TB dan Kdak bergejala,
yaitu:
–  kelompok infeksi laten TB (tuberculin posiKf)
–  Terpajan (tuberculin negaKve)
•  Untuk menentukan kelompok pasien tersebut
dilakukan invesKgasi kontak
ALUR INVESTIGASI KONTAK

TB RO: kontakTB
tersangka resisten
Obat (RO) atau
terbukK resisten Obat
Tatalaksana Pencegahan dengan Isoniazid

•  Sekitar 50-60% anak yang Knggal dengan pasien


TB paru dewasa dengan BTA sputum posiKf, akan
terinfeksi TB juga.
•  Kira-kira 10% dari jumlah tersebut akan
mengalami sakit TB.
•  Infeksi TB pada anak kecil berisiko Knggi menjadi
TB berat (misalnya TB meningiKs atau TB milier)
sehingga diperlukan pemberian kemoprofilaksis
untuk mencegah terjadinya sakit TB.
Profilaksis TB pada Anak

KETERANGAN
•  ILTBàInfeksi Laten TB
•  Obat yang diberikan adalah INH (Isoniazid) dengan dosis 10 mg/kgBB (7-15 mg/kg) se_ap hari
selama 6 bulan.
•  SeKap bulan (saat pengambilan obat Isoniazid) dilakukan pemantauan terhadap adanya gejala
TB. Jika terdapat gejala TB pada bulan ke 2, ke 3, ke 4, ke 5 atau ke 6, maka harus segera
dievaluasi terhadap sakit TB dan jika terbukK sakit TB, pengobatan harus segera ditukar ke
regimen terapi TB anak dimulai dari awal
•  Jika rejimen Isoniazid profilaksis selesai diberikan (Kdak ada gejala TB selama 6 bulan
pemberian), maka rejimen isoniazid profilaksis dapat dihenKkan.
•  Bila anak tersebut belum pernah mendapat imunisasi BCG, perlu diberikan BCG setelah
pengobatan profilaksis dengan INH selesai.
ASMA
Asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016

•  Penyakit saluran respiratori dengan dasar inflamasi kronik


yang mengakibatkan obstruksi dan hiperreakKvitas
saluran respiratori dengan derajat bervariasi.
•  Manifestasi klinis asma dapat berupa batuk, wheezing,
sesak napas, dada tertekan yang Kmbul secara kronik dan
atau berulang, reversibel, cenderung memberat pada
malam atau dini hari, dan biasanya Kmbul jika ada
pencetus
•  Chronic recurrent cough (batuk kronik berulang, BKB)
dapat menjadi petunjuk awal untuk membantu diagnosis
asma
Patogenesis asma pada anak
Patogenesis asma pada anak
Patofisiologi asma pada anak
Patofisiologi asma pada anak
Asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016
KARAKTERISTIK:
Ø  Gejala Kmbul secara episodik atau berulang.
Ø  Timbul bila ada faktor pencetus.
Ø  Iritan: asap rokok, asap bakaran sampah, asap obat nyamuk, suhu dingin, udara kering,
makanan minuman dingin, penyedap rasa, pengawet makanan, pewarna makanan.
Ø  Alergen: debu, tungau debu rumah, rontokan hewan, serbuk sari.
Ø  Infeksi respiratori akut karena virus, selesma, common cold, rinofaringiKs
Ø  AkKvitas fisis: berlarian, berteriak, menangis, atau tertawa berlebihan.
Ø  Adanya riwayat alergi pada pasien atau keluarganya.
Ø  Variabilitas, yaitu intensitas gejala bervariasi dari waktu ke waktu, bahkan dalam 24 jam.
Biasanya gejala lebih berat pada malam hari (nokturnal).
Ø  Reversibilitas, yaitu gejala dapat membaik secara spontan atau dengan pemberian obat
pereda asma.
Ø  Terdengar wheezing, baik yang terdengar langsung (audible wheeze) atau yang terdengar
dengan stetoskop.
Ø  Biasanya berhubungan dengan kondisi atopi lain seperK dermaKKs atopi atau riniKs alergi,
dan dapat pula dijumpai tanda alergi seperK allergic shiners atau geographictongue.
Kriteria diagnosis asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016
Alur diagnosis asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016
Klasifikasi asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016
Berdasarkan kekerapan Berdasarkan kondisi saat ini Berdasarkan derajat kendali

•  Intermifen •  Tanpa gejala •  Tidak terkendali


•  Persisten Ringan •  Ada gejala •  Terkendali sebagian
•  Persisten Sedang •  Serangan ringan •  Terkendali penuh dengan
•  Persisten Berat •  Serangan sedang controller
•  Serangan berat •  Terkendali penuh tanpa
•  Ancaman gagal napas controller
Berdasarkan umur Berdasarkan fenoKp Berdasarkan derajat
beratnya serangan
•  Asma bayi – baduta •  Asma tercetus infeksi
(bawah dua tahun) virus •  Asma serangan ringan-
•  Asma balita (bawah •  Asma tercetus akKvitas sedang
lima tahun) (exercise induced •  Asma serangan berat
•  Asma usia sekolah asthma) •  Serangan asma dengan
(5-11 tahun) •  Asma tercetus alergen ancaman henK napas
•  Asma remaja •  Asma terkait obesitas
(12-17 tahun) •  Asma dengan banyak
pencetus (mul)ple
triggered asthma)
Klasifikasi asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016
Berdasarkan kekerapan

Berdasarkan derajat beratnya


serangan
Klasifikasi asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016
Berdasarkan derajat kendali
Korelasi Klasifikasi Lama dengan Baru

PNAA 2004 PNAA 2015 Keterangan

Episodik jarang Intermiten Episode gejala asma <6x/tahun atau jarak antar
gejala ≥6 minggu

Episodik sering Persisten ringan Episode gejala asma >1x/bulan, <1x/minggu

Persisten Persisten sedang Episode gejala asma >1x/minggu, namun Kdak


seKap hari

Persisten berat Episode gejala asma terjadi hampir Kap hari

PNAA: Pedoman Nasional Asma Anak


Tatalaksana kekerapan asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016
Tatalaksana kekerapan asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016

Jenis Alat Inhalasi Sesuai Usia


Tatalaksana kekerapan asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016
Sediaan Steroid
Ø  Steroid inhalasi atau sistemik tidak
digunakan untuk asma intermiten dan
wheezing akibat infeksi virus.
Ø  Steroid inhalasi umumnya diberikan
dua kali dalam sehari
Ø  Ciclesonide diberikan sekali
seharièe3ikasi masih diobservasi
Ø  Steroid inhalasi sebagai obat
pengendali asma tidak mempengaruhi
tinggi badan dan densitas tulang.
Ø  Kandidiasis oral dan suara parau
sebagai efek samping dapat dicegah
dengan cara berkumur setiap selesai
pemberian steroid inhalasi lalu
membuang air bekas berkumur
tersebut.
Ø  Pada anak asma yang mendapatkan
steroid inhalasi perlu dipantau
pertumbuhan (persentil tinggi badan
dan berat badan) setiap tahun.
Tatalaksana serangan
asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016
Tatalaksana serangan asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016

•  Beberapa pasien memiliki risiko Knggi untuk mengalami serangan asma yang
dapat mengancam nyawa. Resiko tersebut adalah pasien dengan riwayat:
Ø  Serangan asma yang mengancam nyawa
Ø  Intubasi karena serangan asma
Ø  Pneumotoraks dan/atau pneumomediasKnum
Ø  Serangan asma berlangsung dalam waktu yang lama
Ø  Penggunaan steroid sistemik (saat ini atau baru berhenK)
Ø  Kunjungan ke UGD atau perawatan rumah sakit (RS) karena asma dalam
setahun terakhir
Ø  Tidak teratur berobat sesuai rencana terapi
Ø  Berkurangnya persepsi tentang sesak napas
Ø  Penyakit psikiatrik atau masalah psikososial.
Ø  Alergi makanan
•  Untuk pasien dengan risiko Knggi tersebut, steroid sistemik (oral atau
parenteral) perlu diberikan pada awal tata laksana meskipun pada penilaian
awal serangannya masih ringan sedang.
Tatalaksana serangan asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016

Sediaan Steroid Untuk Serangan Asma


Nama generik Sediaan Dosis
MeKlprednisolone Tablet 4mg, 8 mg 0.5-1 mg/kgBB/hari Kap 6
jam
Prednison Tablet 5 mg 0.5-1 mg/kgBB/hari Kap 6
jam
MeKlprednisolone suksinat Vial 125 mg, 500 mg 30 mg dalam 30 menit Kap 6
injeksi jam
HidrokorKson suksinat injeksi Vial 100 mg 4 mg/kgBB/kali Kap 6 jam
Deksametasine injeksi Ampul 0.5-1 mg/kgBB bolus
kemudian dilanjutkan 1 mg/
kgBB/hari seKap 6-8 jam
Betametasone injeksi Ampul 0.05-0.1 mg/kgBB Kap 6 jam
Obat-obatan serangan asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016
•  Agonis β2 kerja pendek
Ø  Diberikan 2 kali dengan interval 20 menit, jika di rumah keadaan pasien belum juga membaik harus segera
dibawa ke fasilitas layanan kesehatan terdekat
Ø  Bila pemberian 2 kali sudah dilakukan di fasyankes maka pemberian keKga diperKmbangkan kombinasi
dengan ipratropium bromida
Ø  Contoh agonis β2 kerja pendek adalah salbutamol, terbutalin, dan prokaterol
Ø  Pada serangan asma, agonis β2 kerja pendek diberikan secara inhalasi diberikan lewat DPI, MDI dengan/
tanpa spacer, atau nebulizer dengan dosis sesuai beratnya serangan dan respons pasien
Ø  Harus diberikan dengan dosis terendah dan frekuensi terkecil
•  Ipratropium bromida
Ø  memberikan efek dilatasi bronkus lewat peningkatan tonus parasimpaKs dalam inervasi otonom di saluran
napas
•  Aminofilin intravena
Ø  Penambahan aminofilin pada terapi awal (inhalasi agonis β2 dan steroid) meningkatkan fungsi paru dalam
6 jam pertama, tetapi Kdak mengurangi gejala, jumlah nebulisasi dan lama rawat inap
Ø  Pemberian aminofilin intravena harus sangat berhaK-haK dan dipantau secara ketat karena efek
sampingnya yang cukup berat (mual, muntah, takikarsi, agitasi, aritmia, hipotensi, dan kejang
Ø  Dosis : inisial bolus pelan 6-8 mg/kgBB diberikan dalam 20 menit dilanjutkan dengan pemberian rumatan
secara drip 1 mg/kg/jam.
Ø  Loading 1 mg/kg akan meningkatkan kadar aminofilin serum 2 mcg/mL.
Ø  Untuk efek terapi yang maksimal, target kadar amonifilin serum adalah 10-20 ug/mL. Oleh karena itu kadar
aminofilin serum seharusnya diukur 1-2 jam setelah loadingdose diberikan
Obat-obatan serangan asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016
•  Steroid sistemik
Ø Pemberian steroid sistemik per oral sama efekKfnya dengan pemberian secara
intravena
Ø Pemberian secara oral memerlukan waktu sekitar 4 jam untuk memberikan perbaikan
klinis
Ø Pemberian IVàjika pasien Kdak bisa menelan obat
Ø Steroid sistemik berupa prednison atau prednisolon diberikan per oral dengan dosis
1-2 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum sampai 40 mg/hari, maksimal 1 kali dalam 1
bulan. Lama pemberian 3-5 hari tanpa tapperingoff
•  Adrenalin
Ø Terapi tambahan pada asma yang berhubungan dengan anafilaksis dan angioedema
Ø Dosis 10 ug/kgBB (0,01 ml/kgBB adrenalin 1:1.000), dengan dosis maksimal 500 ug (0.5
ml)
•  Magnesium sulfat -->_dak ru_n dilakukan
•  Steroid inhalasi
•  Mukoli_k
•  An_bio_k àhanya jika terbukK disebabkan infeksi bakteri
•  Obat sedasi
•  An_histamin
INFEKSI &
KELAINAN
KONGENITAL
INFEKSI KONGENITAL
Clinical manifesta_ons that are sugges_ve of specific
congenital infec_ons in the neonate
Uptodate. 2017

Congenital toxoplasmosis Congenital rubella


•  Intracranial calcificaKons (diffuse) •  Cataracts, congenital glaucoma,
•  Hydrocephalus pigmentary reKnopathy
•  ChorioreKniKs •  Congenital heart disease (most
commonly patent ductus arteriosus or
•  Otherwise unexplained mononuclear CSF peripheral pulmonary artery stenosis)
pleocytosis or elevated CSF protein •  Radiolucent bone disease
Congenital syphilis •  Sensorineural hearing loss
•  Skeletal abnormaliKes (osteochondriKs & Congenital cytomegalovirus
periosKKs) •  Thrombocytopenia
•  Pseudoparalysis •  Periventricular intracranial calcificaKons
•  Persistent rhiniKs •  Microcephaly
•  Maculopapular rash (parKcularly on palms •  Hepatosplenomegaly
and soles or in diaper area) •  Sensorineural hearing loss
Clinical manifesta_ons that are sugges_ve of specific
congenital infec_ons in the neonate
Uptodate. 2017


Herpes simplex virus Congenital varicella
Perinatally acquired HSV infec_on •  Cicatricial or vesicular skin lesions
•  Mucocutaneous vesicles
•  Microcephaly
•  CSF pleocytosis
•  Thrombocytopenia
Congenital Zika syndrome
•  Elevated liver transaminases •  Microcephaly
•  ConjuncKviKs or keratoconjucKviKs •  Intracranial calcificaKons
Congenital (in utero) HSV infec_on (rare) •  Arthrogryposis
•  Skin vesicles, ulceraKons, or scarring •  Hypertonia/spasKcity
•  Eye abnormaliKes (eg, micro-ophthalmia) •  Ocular abnormaliKes
•  Brain abnormaliKes (eg, hydranencephaly,
microcephaly) •  Sensorineural hearing loss
Kelainan Kongenital
Penyebab Temuan klinis

Rubella IUGR, kelainan kardiovaskular (biasanya PDA/


pulmonary artery stenosis), katarak, tuli.
reKnopaK, mikro€almia, hearing loss, mental
retardaKon, speech defect, trombositopenia,
Varicella IUGR, kelainan kulit sesuai distribusi
dermatomal: sikatriks kulit, kulit tampak merah,
berindurasi, dan meradang, kelainan
tulang:hipoplasia ekstrimitas dan jari tangan
kaki, kelainan mata, dan kelainan neurologis
Toxoplasma IUGR, choriore_ni_s, Cerebral calcifica_on,
hydrocephalus,
Abnormal cerebrospinal fluid (xanthochromia and
pleocytosis), Jaundice, Hepatosplenomegaly, Neurologic
signs are severe and always present. (Microcephaly or
macrocephaly, Bulging fontanelle, Nystagmus
Abnormal muscle tone, Seizures, Delay of development)

Citomegalovirus ReKniKs, Jaundice, Hepatosplenomegali, BBLR, Mineral


deposits in the brain, Petechiae, Seizures, Small head size
(microcephaly)

Herpes Trias:
1.  Kulit (scarring, acKve lesions, hypo- and
hyperpigmentaKon, aplasia cuKs, and/or an
erythematous macular exanthem)
2.  Mata (microopthalmia, reKnal dysplasia, opKc atrophy,
and/or chorioreKniKs)
3.  Neurologis (microcephaly, encephalomalacia,
hydranencephaly, and/or intracranial calcificaKon)
hfp://cmr.asm.org/content/17/1/1.full
Cytomegalovirus Congenital InfecKon

•  Majority are asymptomaKc at birth


•  Periventricular calcificaKons
•  IUGR, developmental delay, microcephaly, sensorineural
hearing loss, reKniKs, jaundice, hepatosplenomegaly,
thrombocytopenia, hypotonia, lethargy, poor suck
•  Preterm infants may appear sepKc – apnea, bradycardia,
intesKnal distension)
•  Postnatal infecKons are generally asymptomaKc
Cytomegalic inclusion disease (CID)
•  Approximately 10% of infants with congenital
infecKon have clinical evidence of disease at
birth.
•  The most severe form of congenital CMV
infecKon is referred to as CID.
•  CID almost always occurs in women who have
primary CMV infecKon during pregnancy,
although rare cases are described in women with
preexisKng immunity who presumably have
reacKvaKon of infecKon during pregnancy.
Cytomegalic Inclusion Disease (CID)
•  Intrauterine growth restricKon,
•  Hepatosplenomegaly,
•  Hematological abnormaliKes (parKcularly thrombocytopenia),
•  Various cutaneous manifesta_ons, including petechiae and purpura (ie,
blueberry muffin baby).
•  However, the most significant manifestaKons of CID involve the CNS.
–  Microcephaly,
–  ventriculomegaly,
–  cerebral atrophy,
–  choriore_ni_s,
–  and sensorineural hearing loss
•  Intracerebral calcificaKons typically demonstrate a periventricular distribuKon
and are commonly encountered using CT scanning (see the image below).
–  The finding of intracranial calcificaKons is predicKve of cogniKve and audiologic
deficits in later life and predicts a poor neurodevelopmental prognosis.
Tissue invasive disease - infected cells are idenKfied on H & E stain
by characterisKc features including a large cell nucleus with peri-
nuclear clearing, and basophilic staining cytoplasmic inclusion
bodies which are o€en referred to as the “owl’s eye” appearance.
Congenital Toxoplasma Clinical
PresentaKon
•  First Trimester – o€en results in death
•  Second Trimester – classic triad
–  Hydrocephalus
–  Intracranial calcificaKons
–  ChorioreKniKs
•  Third Trimester – o€en asymptomaKc at birth
•  Symptoms may also include fever, IUGR, microcephaly,
seizure, hearing loss, maculopapular rash, jaundice,
hepatosplenomegaly, anemia, and lymphadenopathy
Herpes Simpleks Congenital InfecKon
•  SEM disease (Localized to skin, eyes, and mucosal)
–  Vesicular lesions on an erythematous base
–  KeratoconjuncKviKs, cataracts, chorioreKniKs
–  UlceraKve lesions of the mouth, palate, and tongue
•  CNS disease
–  Seizure, lethargy, irritability, tremor, poor feeding, temperature
instability, full anterior fontanelle
•  Disseminated disease
–  MulKple organ involvement (CNS, skin, eye, mouth, lung, liver, adrenal
glands)
–  May appear sepKc – fever/hypothermia, apnea, irritability, lethargy,
respiratory distress
–  HepaKKs, ascites, direct hyperbilirubinemia, neutropenia, disseminated
intravascular coagulaKon, pneumonia, hemorrhagic pneumoniKs,
necroKzing enterocoliKs, meningoencephaliKs, skin vesicles
Vesicular lesions on an
erythematous base
Congenital Rubella Syndrome Classic
Triad
•  Sensorineural hearing loss is the most common manifestaKon of congenital
rubella syndrome. It occurs in approximately 58% of paKents.
•  Ocular abnormali_es including cataract, infan_le glaucoma, and pigmentary
re_nopathy occur in approximately 43% of children with congenital rubella
syndrome.
–  Both eyes are affected in 80% of paKents, and the most frequent findings are
cataract and rubella reKnopathy.
–  Rubella reKnopathy consists of a salt-and-pepper pigmentary change or a mofled,
blotchy, irregular pigmentaKon, usually with the greatest density in the macula.
–  The reKnopathy is benign and nonprogressive and does not interfere with vision (in
contrast to the cataract) unless choroid neovascularizaKon develops in the macula.
•  Congenital heart disease including patent ductus arteriosus (PDA) and
pulmonary artery stenosis is present in 50% of infants infected in the first 2
months' gestaKon.
Rubella Congenital InfecKon
•  Blueberry Muffin” rash due to extramedullary
hematopoiesis
•  “Salt and Pepper” reKnopathy
•  Radiolucent bone disease (long bones)
•  IUGR, glaucoma, hearing loss, pulmonic
stenosis, patent ductus arteriosus,
lymphadenopathy, jaundice,
hepatosplenomegaly, thrombocytopenia,
intersKKal pneumoniKs, diabetes mellitus
Congenital cataract

Blueberry muffin baby Salt pepper reKnopathy


Congenital Syphilis

Within first
Early
Congenital 2 year
syphilis Later than
Late
2 yr
Sifilis Kongenital Dini

hfp://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/arKcles/PMC2819963/
Sifilis Kongenital Dini
Eyes
•  ChoroidoreKnits, glaucoma, uveiKs .
•  ChoroidoreKniKs in later life is seen as salt &
pepper fundus showing black pigment & white
atrophic patches.
Congenital Syphilis

Hydrops
fetalis
Nasal discharge

Petechial rash
NecroKzing
funisiKs
within the matrix of
the umbilical cord

Hepatomegaly

Rash
OsKKs,
MetaphysiKs,
PeriosKKs
Wimberger sign
MulKple, discrete, tense
blisters seen over a
normal looking skin

Contain serous/
seropurulent discharge
(spirochetes)
Decreased
mineralizaKon of the
metaphyses of long
bones of the upper
extremiKes

bilateral lyKc lesions of


the talus, calcareous,
and proximal Kbia
(Wimberger sign) A more specific finding is localized bony
destrucKon of the medial porKon of the
medially
proximal Kbial metaphysic (Wimberger’s
sign). Other findings include metaphyseal
Radiographic Abnormali_es serraKon (“sawtooth metaphyses”), and
diaphyseal involvement with periosteal
reacKon.
Sifilis Kongenital Laten

Among these manifestaKons, Hutchinson triad (Hutchinson teeth, intersKKal keraKKs, and
sensorineural hearing loss), mulberry molars, and Clufon joints are relaKvely specific for
congenital syphilis hfp://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/arKcles/PMC2819963/
Treatment
Congenital Syphilis in Neonates (Proven or
highly probable)
•  Treat congenital infecKon with 10 days of
aqueous penicillin G OR procaine penicillin G.
–  Aqueous crystalline penicillin G is 50,000 units/kg/
dose IV every 12 hours (infants ≤7 days of life) and
every 8 hours (infants ≥7 days of life) for a total of 10
days
–  Procaine penicillin G (50,000 U/kg IM) single dose for
10 days
GENETIC DISORDER
GENETIC DISORDER
Patau Mental retardaKon, heart defects, CNS abnormaliKes, microphthalmia, polydachtyly, a
Syndrome cle€ lip with or without a cle€ palate, coloboma iris, and hypotonia, Clenched hands
Trisomi 13 (with outer fingers on top of the inner fingers), Close-set eyes, Low-set ears, Single
noninherited palmar crease, microcephaly, Small lower jaw (micrognathia), cryptorchidism, Hernia

Many infants with trisomy 13 die within their first days or weeks of life.

Sindrom cryptorchidism, hypospadias, or micropenis, small testes, delayed or incomplete


Klinefelter puberty, gynecomasKa, reduced facial and body hair, and an inability to have biological
47,XXY children (inferKlity).
noninherited Older children and adults tend to be taller. Increased risk of developing breast cancer
and SLE.
May have learning disabiliKes and delayed speech; tend to be quiet, sensiKve, and
unasserKve.
Sindrom Clenched hands, Crossed legs, abnormally shaped head; micrognathia, Feet with a
Edward rounded bofom (rocker-bofom feet), Low birth weight & IUGR, Low-set ears, Mental
Trisomi 18 delay, microcephaly, Undescended tesKcle, coloboma iris, Umbilical hernia or inguinal
Noninherited hernia, congenital heart disease (ASD, PDA, VSD), kidney problems (i.e: Horseshoe
kidney, Hydronephrosis, PolycysKc kidney), severe intellectual disability

It is three Kmes more common in girls than boys. Many individuals with trisomy 18 die
before birth or within their first month.
mikrosefal; hypotonus, Excess skin at the nape of the neck, Flafened nose,
Separated sutures, Single palm crease, Small ears, small mouth, Upward
slanKng eyes, Wide, short hands with short fingers, White spots on the
Sindrom Down
colored part of the eye (Brushfield spots), heart defects (ASD, VSD)
Trisomi 21

noninherited
Physical development is o€en slower than normal (Most never reach their
average adult height), delayed mental and social development (Impulsive
behavior, Poor judgment, Short afenKon span, Slow learning)

The most common feature is short stature, which becomes evident by about
age 5. Ovarian hypofuncKon. Many affected girls do not undergo puberty and
inferKle.
Sindrom
About 30 % have webbed neck, a low hairline at the back of the neck,
turner
limfedema ekstrimitas, skeletal abnormaliKes, or kidney problem, 1/3 have
45 + XO
heart defect, such as coarctaKon of the aorta.
noninherited

Most of them have normal intelligence. Developmental delays, nonverbal
learning disabiliKes, and behavioral problems are possible
No unusual physical features, increased risk of learning
disabiliKes and delayed development of speech and
Jacob Syndrome language skills. Delayed development of motor skills,
47, XYY weak muscle tone (hypotonia), hand tremors or other
involuntary movements (motor Kcs), and behavioral and
emoKonal difficulKes

Marfan syndrome Mutasi pada fibrillin (protein pada jaringan ikat tubuh).
3 dari 4 kasus A tall, thin build, Long arms, legs, fingers, and toes and
bersifat diturunkan flexible joints, skoliosis, pektus karinatum/ ekskavatum,
Teeth that are too crowded, Flat feet.
Sindrom
Turner
Sindrom Down
Patau syndrome (Trisomy 13)
Edward Syndrome
•  Higher in females compared to males
•  Trisomy 18 is the second most common
autosomal trisomy syndrome a€er trisomy 21
•  Types: full, parKal, mosaic
•  There is a high percentage of fetuses dying during
labor (38.5%), and the preterm frequency (35%)
•  Approximately 50% of babies with trisomy 18 live
longer than 1 week, and 5-10% of children
survive beyond the first year
Clinical descripKon
•  Prenatal growth deficiency
•  Specific craniofacial features
•  minor, major malformaKons,
•  marked psychomotor and cogniKve
developmental delay
•  The growth delay starts in prenatal period and
conKnues a€er the birth
•  Associated with feeding problems that may
require enteral nutriKon.
PROMINENT OCCIPUT

DYSPASTIC EARS
SMALL MOUTH AND JAW
SMALL NECK
WIDE NIPPLES SHORT STERNUM

SHIELD CHEST

CLENCHED HANDS

FLEXED BIG PROMINENT HEELS


TOE
smooth 'rocker
bofom' feet
(with a rounded
base)
clenched
fist with overriding fingers (index finger
overlapping the
third and 5th finger overlapping the 4th
anomalies dolicocephaly
of the ears
Short
palpebral
fissures
micrognathia
short
sternum

small
fingernails,
club feet underdevelop
ed
thumbs
Findings
CARDIOVASCULAR
•  80%-100%
•  ventricular and atrial septal defects, patent
•  ductus arteriosus and polyvalvular disease
RESPIRATORY
•  upper airway obstrucKon
•  (in some case due to a laryngomalacia or
tracheobronchomalacia)
•  and central apnea
Findings
CENTRAL NERVOUS SYSTEM GASTROINTESTINAL
•  cerebellar hypoplasia, Omphalocele
•  agenesis of corpus oesophageal atresia
callosum, tracheo-oesophageal fistula
•  polymicrogyria, umbilical or inguinal hernia
•  spina bifida imperforate anus
•  craniofacial orofacial cle€s pyloric stenosis
•  eye microphthalmia,
•  coloboma, cataract,
•  corneal opaciKes
Developmental and behavior
•  Developmental delay is always present
–  marked to profound degree of psychomotor and
intellectual disability
–  slow gaining of some skills
–  Expressive language and independently walk are
not achieved
HEMATOLOGI &
ONKOLOGI
WILMS TUMOR
Wilms tumor

•  Wilms tumor •  Merupakan tumor solid pada


renal terbanyak pada masa
Tumor ganas ginjal yang terjadi kanak-kanak, 5% dari jumlah
pada anak, yang terdiri dari sel kanker pada anak. (smith urology)
spindel dan jaringan lain. Disebut •  Puncak usia adalah pada usia 3
juga tahun
adenomyosarcoma , embryoma o •  Lebih sering unilateral ginjal
f kidney , nephroblastoma ,renal c
•  EKologi
arcinosarcoma .
–  Non familial: 2 postzygoKc
mutaKon pada single cell
–  Familial : 1 preygoKc mutaKon dan
The American Heritage® Stedman's Medical DicKonary
Copyright © 2002, 2001, 1995 by Houghton Mifflin Company.
subsequent post zygoKc event
Published by Houghton Mifflin Company. –  Mutasi ini terjadi pada lengan
pendek kromosom 11 (11p13)

Patogenesis & KarakterisKk
Pathology tumor
•  Wilms tumor :
Prekurson wilms tumor (nephrogenic large, mulK lobular, gray or tan in
rest-NR) color, focal area of hemorrhage
Perilobar NR dan intralobar NR and necrosis, biasanya terdapat
fibrous pseudocapsule

•  Penyebarannya :
NR dormant untuk beberapa tahun 1. Direct extension à renal capsule
2. hematogenously à renal vein
atau vena cava
3. lymphaKc
Renal mengalami involusi dan •  Metastasis : 85-95% ke paru,
sclerosis 10-15% ke liver, 25% ke limf node
regional

Wilms tumor
Histopatology : Blastemal, epithelial,
dan stromal element, tanpa
anaplasia
Staging tumor
Menurut NWTS (NaKonal •  Stage II : Tumor sudah
Wilms Tumor Study) meluas dari ginjal tapi
•  Stage I : Tumor terbatas masih dapat diangkat
pada ginjal. Tidak ada sempurna. Terdapat
penetrasi ke kapsul penetrasi permukaan luar
renalis atau keterlibatan renal kapsul, invasi renal
renal sinus vessel. Tumor vessel sinus. Tidak ada
Kdak rupture pada saat residual tumor, Kdak ada
pengangkatan, Kdak ada sisa pada batas
residual tumor di batas pengangkatan, Kdak ada
pengangkatan tumor. keterlibatan kelenjar
getah bening regional

•  Stage III : Residual •  Stage IV : Terdapat
nonhematogenous metastasis
tumor ke abdomen. hematogenous ke paru,
Terdapat keterlibatan liver, tulang, dan otak
kelenjar getah bening,
kontaminasi peritoneal, •  Stage V: Keterlibatan
implan pada permukaan bilateral renal
peritoneal, tumor
meluar melebihi daerah
pengangkatan, terdapat
trombus tumor
Gejala Klinis Pemeriksaan penunjang
•  Massa dan rasa sakit pada •  Lab : Urinalisis : hematuria,
abdominal anemia, subcapsular
hemorrhage. Jika sudah
•  Macroscopic haematuria metastasis ke liver terdapat
•  Hypertension peningkatan creaKnin
•  Anorexia, nausea, vomit •  CT abdominalà lihat
ekstensi tumor
•  Chest xray à lihat
metastasis ke paru
•  Biopsi
•  CT scan in a paKent Ò  Gross nephrectomy
with a right-sided specimen shows a Wilms
Wilms tumor with tumor pushing the
favorable histology. normal renal
parenchyma to the side.
Manajemen
•  Surgical :
- Keterlibatan kidney unilateral
- Tumor Kdak melibatkan organ visceral
•  Chemotherapy
•  Radiasi
NEUROBLASTOMA
Neuroblastoma
•  Neuroblastoma dalah tumor yang berasal dari
jaringan neural crest dan dapat mengenai
susunan saraf simpaKs sepanjang aksis
kraniospinal.
•  Neuroblastoma merupakan kanker ekstrakranial
yang paling sering ditemukan pada anak,
mencakup 8-10% dari seluruh kanker pada anak.
•  Angka kejadian sekitar 1,1 per 10.000 anak di
bawah usia 15 tahun
•  EKologi belum diketahui, diduga berhubungan
dengan faktor lingkungan, ras dan geneKk
Diagnosis
•  Anamnesis
–  Manifestasi klinis neuroblastoma sangat bervariasi, dapat
berupa keluhan sehubungan tumor primernya, akibat
metastasisnya atau gejala sindrom paraneoplasKknya.
–  Perut yang membesar merupakan keluhan yang paling
sering ditemukan
–  Berat badan yang menurun
–  Mata yang menonjol dengan ekimosis periorbital
–  Keluhan lain adalah nyeri tulang, anoreksia, pucat, banyak
keringat, muka merah, nyeri kepala, palpitasi, diare
berkepanjangan yang dapat menyebabkan gagal tumbuh.
Pemeriksaan fisis
• 

Gejala dan tanda tergantung pada lokasi tumor primer dan
penyebarannya.
–  Pembesaran perut. Tumor di daerah abdomen, pelvis atau
mediasKnum, dan biasanya Neuroblastoma melewaK garis tengah.
–  Pada penyebaran limfogenik akan ditemukan pembesaran kelenjar
getah bening
–  Cari penyebaran hematogenik ke sumsum tulang, tulang, dan haK
akan ditemukan pucat, perdarahan, nyeri tulang, hepatomegali, dan
splenomegali.
–  Tumor yang berasal dari ganglia simpaKs paraspinal dapat
menimbulkan kompresi spinal
–  Bila tumor menyebar ke daerah leher akan terjadi sindrom Horner
(miosis, ptosis, dan anhidrosis unilateral).
–  Bila infiltrasi retrobulbar dan orbital maka akan ditemukan ekimosis
periorbital dan proptosis.
•  Pemeriksaan Penunjang •  Terapi
–  Darah ruKn, elektrolit, feriKn, urin neuroblastoma
ruKn, Vanillylmandelic Acid (VMA) terdiri dari:
pada urin dan Homovanillic Acid –  Operasi
(HVA) pada urin, pengangkatan
–  USG abdomen, CT scan untuk tumor
mencari tumor primer dan –  Kemoterapi
penyebarannya
–  Radioterapi
–  Foto toraks untuk mencari
penyebaran
–  Biopsi sumsum tulang untuk
mencari penyebaran
–  Aspirasi sumsum tulang: sel ganas
pseudoroseTe
–  Diagnosis pasK dengan
pemeriksaan histopatologis dari
jaringan yang diambil (biopsi)
disease Sign & symptoms
Renal cell In contrast to adults, renal cell carcinoma is rare in childhood. However, there
carcinoma appears to be a subset of affected adolescent males with a unique chromosomal
translocaKon at Xp11.2
The classic triad of RCC (flank pain, hematuria, and a palpable abdominal renal
mass)

neuroblastoma NB is the third most common pediatric cancer, accounKng for about 8% of
childhood malignancies
The signs and symptoms of NB reflect the tumor site and extent of disease. Most
cases of NB arise in the abdomen, either in the adrenal gland or in retroperitoneal
sympatheKc ganglia. Usually a firm, nodular mass that is palpable in the flank or
midline is causing abdominal discomfort

Wilms tumor Wilms tumor is the most common renal malignancy in children and the fourth
most common childhood cancer
Most children with Wilms tumor present with an abdominal mass or swelling,
without other signs or symptoms. Other symptoms can include abdominal pain
(30 %), hematuria (12 to 25 %), and hypertension (25 %)
PF reveals a firm, nontender, smooth mass that rarely crosses the midline and
generally does not move with respiraKon. In contrast, neuroblastoma and
splenomegaly o€en will extend across the midline and move with respiraKon
disease Sign & symptoms

Burkit PaKents with BL present with rapidly growing tumor masses and o€en have evidence of tumor lysis
limfoma with a very high serum lactate dehydrogenase (LDH) concentraKon and elevated uric acid levels
The endemic (African) form usually presents as a jaw or facial bone tumor that spreads to
extranodal sites including the mesentery, ovary, tesKs, kidney, breast, and especially to the bone
marrow and meninges
The nonendemic (sporadic) form usually has an abdominal presentaKon
Immunodeficiency-related cases more o€en involve lymph nodes
BL tumor cells are monomorphic, medium-sized cells with round nuclei, mulKple nucleoli, and
basophilic cytoplasm
A "starry-sky" pafern is usually present, imparted by numerous benign macrophages that have
ingested apoptoKc tumor cells

hodgkin commonly present with painless, non-tender, firm, rubbery, cervical or supraclavicular
limfoma lymphadenopathy.
Most paKents present with some degree of mediasKnal involvement. paKents may present with
symptoms and signs of airway obstrucKon (dyspnea, hypoxia, cough), pleural or pericardial effusion,
hepatocellular dysfuncKon, or bone marrow infiltraKon (anemia, neutropenia, or
thrombocytopenia).
DiagnosKc Reed-Stemberg cells are large cells that have bilobed, double, or mulKple nuclei and
prominent, eosinophilic, inclusion-like nucleoli in at least two nuclei or nuclear lobes

Acute Jenis leukemia tersering pada anak. Akan ditemukan anemia, trombositopenia, Leukositosis/
LymphocyKc leukopenia dengan banyak sel limfoblas. Gejala klinis Kmbul berupa lemas, pucat akibat anemia,
Leukemia demam dan mudah infeksi akibat kelainan leukosit, dan mudah berdarah/ lebam akibat
trombositopenia. Selain itu bisa didapatkan adanudanya organomegali dan pembesaran KGB
disease Sign & symptoms
Rhabdomyosar the most common so€ Kssue sarcoma in children, originated from
coma rhabdomyoblasts. The tumor is believed to arise from primiKve muscle cells,
but tumors can occur anywhere in the body; however, a primary bone
rhabdomyosarcoma has not been reported. The most common sites are the
head and neck (28%), extremiKes (24%), and genitourinary (GU) tract (18%).
Other notable sites include the trunk (11%), orbit (7%), and retroperitoneum
(6%). Rhabdomyosarcoma usually manifests as an expanding mass.
Symptoms depend on the locaKon of the tumor, and pain may be present.
Typical presentaKons of nonmetastaKc disease, by locaKon, are as follows:
•  Orbit: Proptosis or dysconjugate gaze
•  ParatesKcular: Painless scrotal mass
•  Prostate: Bladder or bowel difficulKes
•  Uterus, cervix, bladder: Menorrhagia or metrorrhagia
•  Vagina: Protruding polypoid mass (botryoid, meaning a grapelike cluster)
•  Extremity: Painless mass
•  Parameningeal (ear, mastoid, nasal cavity, paranasal sinuses,
infratemporal fossa, pterygopalaKne fossa): Upper respiratory symptoms
or pain

Anda mungkin juga menyukai