Anda di halaman 1dari 48

SOOCA 2

Selasa, 24 November 2020

MANAJEMEN YANG TIDAK SESUAI PADA PASIEN


PARTUS MATURUS SPONTAN DENGAN HASIL
TES TP-RAPID POSITIF

Oleh:
dr. Dicky Fitraendi

Moderator:
dr. Sunardi

Narasumber :
dr. Mulyanusa Amarullah R., SpOG(K), M.Kes.

DEPARTEMEN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
RUMAH SAKIT DR. HASAN SADIKIN
BANDUNG
2020
I. PENDAHULUAN

Sifilis adalah infeksi yang disebabkan oleh bakteri spirochaete Treponema

pallidum yang dapat ditularkan melalui aktivitas seksual dan secara vertikal dari

ibu ke janin selama kehamilan ataupun melalui proses persalinan. Transmisi infeksi

pada kehamilan dapat terjadi sejak trimester awal kehamilan, namun paling sering

terjadi pada usia kehamilan 16-28 minggu. Pada sifilis dini, transmisi dari ibu ke

janin mencapai 80% dan insidensi ini menurun pada infeksi sifilis lanjut.

Komplikasi sifilis dalam kehamilan adalah keguguran, lahir mati, bayi yang

terinfeksi, persalinan prematur dan berat bayi lahir rendah. 1,2

Setiap tahunnya terdapat 6 juta kasus sifilis baru di seluruh dunia pada

populasi usia 15-49 tahun. Angka kematian janin dan neonatus yang disebabkan

oleh infeksi sifilis selama kehamilan mencapai 300.000 per tahun, selain itu

terdapat 44.000 kehamilan prematur atau berat bayi lahir rendah. Dalam sebuah

studi pemeriksaan serologi sifilis di Indonesia, dari 395 wanita yang diperiksa,

0,8% ditemukan positif sifilis.1,3–5

Oleh sebab itu, World Health Organization (WHO) menargetkan 70% dari

seluruh negara di dunia menapiskan sifilis pada setidaknya 95% wanita hamil dan

menurunkan insidensi kasus sifilis baru sebanyak 90% selama tahun 2018-2030.

WHO dan Centers of Disease Control and Prevention (CDC) merekomendasikan

penapisan sifilis dilakukan pada kunjungan antenatal. Karena dengan penapisan

lebih awal, pengobatan dapat dilakukan lebih dini untuk mencegah transmisi dari

ibu ke janin. Pada kasus ini akan dibahas mengenai kasus sifilis dalam kehamilan,

terutama terkait penanganan dan pencegahan mortalitas dan morbiditasnya. 6,7


1
2

II. LAPORAN KASUS

Identitas Pasien

Nama : Ny. E.C.

Usia : 28 tahun 2 bulan 2 Hari

Alamat : Ciroyom, Andir, Bandung

Pendidikan Terakhir : Sekolah Dasar

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

No. Rekam medis : 1756xxx

Tanggal masuk RS : 22 September 2020; 21.54

Rujukan : Puskesmas Puter

Keterangan : G3P2A0 gravida 38-39 minggu; infeksi Sifilis

AUTOANAMNESIS

Keluhan utama

Mules-mules

Riwayat Penyakit Sekarang

G4P3A0 merasa hamil 9 bulan datang dengan keluhan mules-mules

yang semakin sering dan semakin kuat sejak 9 jam SMRS disertai keluar

lendir bercampur sedikit darah. Keluhan keluar cairan banyak dari jalan

lahir diakui sejak 30 menit SMRS. Gerak anak masih dirasakan ibu. Ibu

diketahui memiliki penyakit sifilis sejak 2 minggu SMRS saat diperiksa di

Puskesmas dan disarankan dirujuk ke RSKIA untuk memulai pengobatan.


Pada suami pasien telah dilakukan tes sifilis dan hasilnya negatif. Pasien

kemudian disarankan untuk dirujuk ke poli kulit kelamin RSHS tetapi

pasien belum sempat berobat. Riwayat penyakit kronis seperti hipertensi,

penyakit jantung, kencing manis dan asma disangkal. Riwayat batuk, pilek,

panas badan dan kontak dengan penderita covid-19 disangkal. Riwayat

bepergian keluar kota dalam 2 minggu terakhir disangkal. Karena

keluhannya pasien berobat ke RSHS.

Riwayat Persalinan
Tempat Hasil
No Jenis Persalinan Jenis Kelamin Keadaan
Bersalin Kehamilan
Aterm 9 tahun,
1 Bidan Spontan Perempuan
2700 gram hidup
Aterm 7 tahun,
2 Bidan Spontan Perempuan
2700 gram hidup
Aterm 4 tahun,
3 Paraji Spontan Laki-laki
2700 gram hidup
4 Hamil Ini

Riwayat Menikah

1. Perempuan : 19 tahun/Sekolah Dasara/ibu rumah tangga

Laki-laki : 21 tahun/Sekolah Menengah Pertama/supir

HPHT : 30 Desember 2019

TP : 6 September 2020

PNC : Bidan 4 kali, Puskesmas 1 kali, SpOG 1 kali

KB : Suntik 2011 – 2019

Pemeriksaan Fisik :

3
4

Keadaan Umum : Baik

Kesadaran : Compos mentis

Tanda Vital : TD : 125/84 mmHg

N : 88 kali per menit

R : 20 kali per menit

S : 36,5ºC

Tinggi Badan : 150 sentimeter

Berat Badan : 47 kilogram

Jantung : Bunyi jantung SI-SII murni regular,

murmur (-), gallop (-)

Paru : Suara nafas bronkovesikular kanan=kiri,

ronkhi -/-, wheezing -/-

Hati : sulit dinilai

Limpa : sulit dinilai

Edema : -/-

Varises : -/-

Refleks : fisiologis +/+

Abdomen : Cembung lembut

Tinggu Fundus Uteri : 30 sentimeter

Lingkar Perut : 92 sentimeter

Letak Anak : Kepala, 2/5, punggung kiri

HIS : 3-4x/10’/40’’ Kuat


5

Bunyi Jantung Anak : 132-136 kali per menit

Taksiran Berat Badan Anak : ± 2.800 gram

Pemeriksaan Dalam

Vulva : Tidak ada kelainan

Vagina : Tidak ada kelainan

Portio : Tipis, lunak

Pembukaan : Lengkap

Ketuban : (-), sisa cairan jernih

Kepala : Station +4, ubun ubun kecil anterior

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboratorium Puskesmas Babatan (31/08/2020)

Hemoglobin : 9,7 gr/dL

Gula Darah Sewaktu : 84 mg/dL

Anti-HIV Rapid : Non-reaktif

HBsAg Rapid : Non-reaktif

Sifilis Rapid : Reaktif

Makroskopis Urin : Kuning, jernih


: Protein (-)
Kimia Urin Glukosa (-)

Pemeriksaan Laboratorium (22/09/2020)

Hemoglobin : 9,2 gr/dL

Hematokrit : 28,4%

Leukosit : 7.650 /uL

Trombosit : 342.000/uL
6

Rontgen Toraks (22/09/2020)

Kesan : Tidak tampak bronkopneumonia/pneumonia

Kardiomegali dd/ posisi

Diagnosis

G4P3 A0 parturien aterm kala 2; infeksi sifilis

Tatalaksana :

- Admission test

- Rencana partus pervaginam

- Cek hematologi 35 parameter

- Rontgen toraks

- Informed consent pasien dan keluarga

- Observasi keadaan umum, tanda vital, his, bunyi jantung anak dan

kemajuan persalinan

- Ibu dipimpin meneran bila ada his

- Konsultasi TS Perinatologi

Jam 22.15 : Ibu gelisah ingin meneran,

Ibu dipimpin meneran setiap ada his

Jam 22.20 : Lahir bayi spontan

Berat badan = 2.715 gram; panjang badan = 47 cm;

APGAR 1’ = 7; 5’ = 9
7

Dilakukan manajemen aktif kala III

Disuntikan oksitosin 10 IU intramuskular

Dilakukan pemeriksaan luar: fundus uteri setinggi pusat,

kontraksi baik

Dilakukan peregangan tali pusat terkendali

Tampak tanda-tanda pelepasan plasenta

Jam 22.24 : Lahir plasenta dengan peregangan tali pusat terkendali

Berat : 500 gram; Ukuran : 20 x 20 x 2 cm

Perdarahan ± 200 cc

Kesimpulan:
P4 A0 partus maturus spontan; infeksi sifilis

Observasi Pascasalin
TD N R
Jam TFU Kontraksi Perdarahan Keterangan
(mmHg) (x/menit) (x/menit)
2 jari
22.25-
bawah baik ± 20 cc 120/80 88 20 -
23.25
pusat
2 jari
23.25-
bawah baik - 120/80 84 20
00.25
pusat
FOLLOW UP
Tanggal/
CATATAN INSTRUKSI
Jam
22/09/2020 Follow up stase  Observasi keadaan umum,
tanda vital dan perdarahan
S : keluhan (-)
23.00  Cefadroksil 2 x 500 mg per
O : Kesadaran :compos mentis
oral
TD : 120/80 mmHg
 Asam mefenamat 3x500 mg
N: 84x/m
per oral
R: 20x/m
S: 36,5o C
Abdomen:
Datar,Lembut
TFU 2 jari dibawah pusat
Kontraksi : baik
Perdarahan (-)
BAK (+)
ASI +/+
A : P4A0 partus maturus spontan; tes
rapid sifilis reaktif
23/09/2020 Follow up post partum  Breast care
 Vulva hygiene
S : keluhan (-)
05.00  Observasi keadaan umum,
O : Kesadaran :compos mentis
tanda vital dan perdarahan
TD : 120/80 mmHg
N: 84x/m  Cefadroksil 2 x 500 mg per
R: 20x/m oral
S: 36,5o C  Asam mefenamat 3x500 mg
Abdomen: per oral
Datar,Lembut
NT (-), DM (-), PS/PP (-/-)
TFU 2 jari dibawah pusat
Perdarahan (-)
BAK (+)
ASI +/+
A : P4A0 partus maturus spontan; tes
rapid sifilis reaktif

8
9

Tanggal/
CATATAN INSTRUKSI
Jam
23/09/2020 Konsultasi Ilmu Kulit dan Kelamin  Saran periksa VDRL titer
dan TPHA titer (hasilnya
11.30 S : Pasien menyangkal riwayat luka non-reaktif)
pada kelamin, bercak
 Tidak ada terapi khsusu
kemerahan pada kedua telapak
tangan dan kaki serta pada
tubuh pasien dan pasangan.
Riwayat keputihan pada pasien
dan kencing nanah pada suami
disangkal, selain keputihan
yang kadang timbul setelah
menstruasi. Riwayat bintil-bintil
pada kelamin pasien dan
pasangan disangkal.

Pasien pertama kali


berhubungan seksual pada usia
16 tahun. Pasien mengakui
hubungan seksual hanya dengan
1 pasangan tetap yaitu suami
pasien. Pasien terakhir
berhubungan seks 3 minggu
yang lalu. Riwayat konsumsi
alkohol dan narkoba disangkal.
Pasien sudah punya 4 anak dan
semuanya sehat.

O : Status dermatologikus: tidak


terdapat kelainan kulit.
KGB inguinal: tidak tampak
dan tidak teraba membesar.
Pubis dan rambut pubis: tidak
tampak lesi, kotor atau telur
kutu.
Introitus vagina: tampak
perdarahan, duh tubuh tidak
ada.
Perianal: tidak ada kelainan.
AntiHIV: non-reaktif
HBsAg: non-reaktif.
Sifilis rapid: reaktif
A : False-positive non-treponemal
test in pregnancy
10

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium (23/09/2020)

Hemoglobin : 7,6 gr/dL MCV : 76 fL


Hematokrit : 23,7% MCH : 25,2 pg
Leukosit : 11.320 /uL MCHC : 32,1 gr/dL
Trombosit : 284.000/uL TPHA Titer : Non-reaktif
VDRL Kuantitatif : Non-reaktif

Diagnosis
P4 A0 partus maturus spontan; false-positive non-treponemal test in
pregnancy
III. PERMASALAHAN

1. Apakah penatalaksanaan pada pasien ini sudah tepat?

2. Bagaimana antenatal care yang tepat pada pasien infeksi menular

seksual?

3. Apakah pada bayi tersebut dapat dilakukan pemberian ASI?

IV. PEMBAHASAN

1. Apakah penatalaksanaan pada pasien ini sudah tepat?

Sifilis adalah infeksi kronis yang disebabkan oleh bakteri spirochaete

Treponema pallidum yang dapat ditularkan melalui aktivitas seksual dan secara

vertikal dari ibu ke janin selama kehamilan ataupun melalui proses persalinan.

Bakteri Treponema pallidum subspesies pallidum berukuran 0,15 hingga 6-15 um.

Mikroabrasi pada mukosa vagina menjadi tempat masuknya bakteri spirochaete.

Risiko transmisi meningkat dengan adanya eversi, hiperemis dan kerapuhan

serviks. Bakteri ini akan bereplikasi dan menyebar ke seluruh tubuh melalui saluran

limfatik dalam hitungan jam hingga hari. Masa inkubasi berlangsung sekitar 3

minggu dan bervariasi dari 3 hingga 90 hari, tergantung dengan faktor inang dan

ukuran inokulum.1,2,8

Terdapat 2 fase dari sifilis, yaitu sifilis dini dan sifilis lanjut. Sifilis dini

biasanya merujuk pada sifilis yang masih dapat ditularkan melalui hubungan

seksual. WHO mendefinisikan sifilis dini sebagai infeksi sifilis dengan durasi <2

tahun, sedangkan pedoman di Eropa dan Amerika Serikat menyatakan batas waktu

sifilis dini <1 tahun. Pedoman yang digunakan di Indonesia menyatakan bahwa
11
12

sifilis dini adalah sifilis yang diderita selama kurang dari satu tahun. Sifilis dini

terbagi menjadi sifilis primer, sekunder dan sifilis laten dini. Pada sifilis dini

terdapat jumlah bakteri yang lebih banyak sehingga laju transmisinya 30-50% lebih

tinggi dibandingkan sifilis lanjut. Risiko penularan dari ibu ke janin juga paling

tinggi pada sifilis stadium primer dan sekunder. Sifilis dini mudah menular namun

merespon pengobatan dengan baik. Sifilis lanjut terbagi menjadi sifilis laten lanjut

dan sifilis tersier (gumma, neurosifilis, sifilis kardiovaskular). 7–9

Gambar 1 Perjalanan Penyakit Infeksi Sifilis10

Pada infeksi sifilis stadium primer, terjadi aktivasi sistem imunitas tubuh

untuk membentuk antibodi anti-sifilis. Proses ini terjadi dalam kurun waktu 10-45

hari. Bakteri Treponema pallidum akan berikatan dengan sel epitel dan komponen

matriks ekstraseluler dari kulit dan mukosa. Protein pada bakteri akan memediasi

proses pengikatan dengan fibronektin, laminin dan fibrinogen. Setelah itu bakteri

akan mendegradasi laminin dan fibrinogen sehingga bakteri akan berdiseminasi ke

jaringan sekitarnya dan masuk ke dalam aliran darah. Gejala infeksi sifilis primer

muncul setelah 10-90 hari terinfeksi, dengan waktu rerata 21 hari. Gejala
13

patognomonik yang muncul dari sifilis primer adalah lesi tunggal (chancre) yang

tidak nyeri, berbentuk bulat dengan tekstur kenyal keras, berwarna kemerahan dan

dasar yang bersih. Lesi ini terletak pada tempat inokulasi. Di setiap lesi, bakteri

spirochaete yang berproliferasi akan dikeliling oleh sel imun, sel plasma, makrofag

yang memproduksi sitokin interleukin-2 dan IFN-gamma. Nekrosis jaringan dan

pembentukan ulkus terjadi karena adanya vaskulitis pembuluh darah kecil. Lesi

dapat bertahan hingga 2-8 minggu dan dapat sembuh sendiri tanpa diobati. Selain

lesi chancre, dapat juga muncul limfadenopati non-supuratif. Lesi yang berjumlah

lebih dari satu biasanya muncul pada wanita dengan koinfeksi HIV-1. Kadar

Treponema pallidum dapat dideteksi melalui pemeriksaan polymerase chain

reaction (PCR) pada stadium apa saja, namun kadar tertinggi didapatkan pada

stadium primer. Rerata risiko infeksi pada orang yang terpajan dengan bakteri

Treponema pallidum sebesar 30%, dengan rentang 10-80%. Apabila pada stadium

primer tidak diobati dengan adekuat, maka infeksi akan berlanjut ke stadium sifilis

sekunder.7,8,11

Infeksi sifilis stadium sekunder ditandai dengan ruam kulit yang muncul pada

satu atau beberapa bagian kulit yang tidak gatal, tampak merah kotor dan biasanya

terletak pada telapak tangan/kaki. Selain itu terdapat gejala konstitusional lain

berupa demam, pembengkakan kelenjar getah bening, radang tenggorokan,

hepatosplenomegali, sindrom nefrotik, kerontokan rambut, nyeri kepala, penurunan

berat badan, nyeri otot dan fatigue. Karena tanda dan gejala sifilis stadium sekunder

menyerupai banyak penyakit, sifilis stadium sekunder disebutkan sebagai the great

imitator (peniru yang hebat).7,8,12


14

Sekitar satu pertiga dari semua pasien yang terinfeksi sifilis akan berlanjut ke

stadium laten sekitar 20-40 tahun setelah infeksi stadium primer. Stadium laten

dimulai ketika sudah tidak ada gejala stadium primer dan sekunder dan dapat

berlangsung bertahun-tahun. Gejala stadium lanjut berupa kesulitan koordinasi

gerakan otot, kelumpuhan, mati rasa, kebas, kebutaan bertahap dan demensia.

Sifilis stadium laten adalah penyakit yang lanjut namun progresif dan dapat

menyerang sistem organ manapun. Namun sifilis stadium laten jarang ditemukan

pada wanita usia reproduktif.7,8,12,13

Penyebaran sifilis ke janin terjadi dengan berbagai cara. Bakteri spirochaete

dapat langsung menembus sawar plasenta dan menyebabkan infeksi kongenital.

Namun, pada awal pertengahan kehamilan terdapat inkompetensi sistem imun

sehingga belum ada respons inflamasi dari janin pada masa ini. Selain transmisi

melalui plasenta, penyebaran bakteri spirochaete bisa terjadi selama proses

persalinan dimana terjadi kontak lesi dengan janin. Komplikasi sifilis dalam

kehamilan adalah keguguran (30-40%), lahir mati, bayi yang terinfeksi, persalinan

prematur dan berat bayi lahir rendah. Manifestasi klinis yang muncul dipengaruhi

dengan usia kehamilan, stadium infeksi sifilis ibu, pengobatan yang didapatkan dan

respons imunologi janin.1,2,7,8

Manifestasi klinis dari infeksi sifilis kongenital dini adalah ruam kulit (70%),

rinitis hemoragik, limfadenopati dan abnormalitas tulang pada 2 tahun pertama

kehidupan. Hampir semua bayi dengan infeksi sifilis kongenital mengalami

hepatomegali, dan separuhnya juga mengalami splenomegali. Keadaan jaundice

ditemukan pada 33% kasus yang disebabkan oleh hepatitis sifilis atau anemia
15

hemolitik. Selain itu dapat terjadi pula kondiloma lata, gangguan saraf, okular

(korioretinitis, glaukoma, uveitis, katarak, chancre pada kelopak mata) dan

hematologi namun lebih jarang terjadi. Gangguan hematologi yang dimaksud

berupa anemia, trombositopenia, leukopenia dan leukositosis. Hidrops fetalis juga

dapat terjadi, sehingga pada pasien bayi dengan hidrops fetalis namun hasil tes

Coomb nya negatif, infeksi sifilis kongenital perlu dipertimbangkan. Neurosifilis

kongenital dapat bersifat asimptomatik, sehingga diagnosis biasanya berdasarkan

pemeriksaan cairan serebrospinal >25 sel darah putih/mm 3 dan kadar protein >150

mg/dL. Pemeriksaan veneral disease research laboratory (VDRL) reaktif dengan

sampel cairan serebrospinal juga mengindikasikan adanya neurosifilis. 8,14

Tabel 1 Stadium Sifilis10

STADIUM SIFILIS KRITERIA DIAGNOSIS


Paparan kasus infeksi sifilis dalam 90 hari
terakhir DAN
Tidak ditemukannya gejala sifilis pada
Masa Inkubasi
pemeriksaan fisik DAN
Tidak ditemukan hasil pemeriksaan penunjang
yang mendukung infeksi sifilis
Pada pemeriksaan fisik ditemukan:
 Lesi chancre khas sifilis (ulkus
anogenital/oral soliter, tidak nyeri, indurasi)
 Lesi anogenital atipikal/multipel
Sifilis Primer
 Lesi primer dapat dikonfirmasi melalui
pemeriksaan mikroskop lapangan gelap
± Pemeriksaan penunjang yang mendukung
infeksi sifilis
Pemeriksaan penunjang yang mendukung
infeksi sifilis DAN
Pemeriksaan fisik:
 Erupsi mukokutan (lokalisata/generalisata),
Sifilis Sekunder e.g. ruam pada palmar/plantar
 Kondiloma lata (plak/papul lembab, datar,
keabuan, seperti kutil)
 Patch mukosa (lesi membran di lidah,
mukosa bukal, bibir)
16

STADIUM SIFILIS KRITERIA DIAGNOSIS


 Limfadenopati generalisata, malaise,
demam, gejala konstitusional lainnya
 Alopesia patchy

Pemeriksaan penunjang yang mendukung


infeksi sifilis DAN
Tidak ditemukannya gejala sifilis primer,
sekunder, tersier pada pemeriksaan fisik DAN
Salah satu dari:
 Serokonversi dalam 12 bulan terakhir (e.g.
pemeriksaan serologis reaktif sekarang
dengan riwayat nonreaktif pada 12 bulan
terakhir)
 Peningkatan titer (≥4 kali lipat) tes non-
Sifilis Laten Dini
treponema (>2 minggu) dalam 12 bulan
terakhir
 Gejala sifilis primer/sekunder dalam 12
terakhir
 Kontak seksual/penggunaan jarum suntik
bersama dengan orang yang didiagnosis
dalam stadium infeksius (primer, sekunder,
laten dini) sifilis dalam 12 bulan terakhir
 Paparan dalam 12 bulan terakhir

Pemeriksaan penunjang yang mendukung


infeksi sifilis DAN
Tidak ditemukannya gejala sifilis primer,
sekunder, tersier pada pemeriksaan fisik DAN
Sifilis Laten Lambat
Tidak ada kriteria sifilis laten dini yang
dipenuhi DAN
Terdapat bukti infeksi didapatkan ≥12 bulan
sebelum diagnosis ditegakkan
Pemeriksaan penunjang yang mendukung
infeksi sifilis DAN
Tidak ditemukannya gejala sifilis primer,
Sifilis Laten Tidak sekunder, tersier pada pemeriksaan fisik DAN
Diketahui Tidak ada kriteria sifilis laten dini yang
dipenuhi DAN
Tidak terdapat bukti infeksi didapatkan ≥12
bulan sebelum diagnosis ditegakkan
Pada pemeriksaan fisik ditemukan:
 Gejala kardiovaskular (aortitis, penyakit
Sifilis Tersier
pembuluh koroner)
 Gumma di kulit atau organ lain
17

STADIUM SIFILIS KRITERIA DIAGNOSIS


 Komplikasi neurologis (tabes dorsalis atau
paresis) DAN
Pemeriksaan penunjang yang mendukung
infeksi sifilis melalui pemeriksaan serologis,
LP, atau pemeriksaan patologi langsung

Sifilis kongenital lanjut terjadi pada 40% anak yang tidak diobati. Pada

infeksi sifilis kongenital lanjut, manifestasi klinis yang muncul berasal dari

inflamasi kronis berupa deformitas hidung, Clutton joint (pembengkakan sendi

simetris, biasanya di lutut), gangguan pendengaran dan kognitif. Vaskulitis yang

terjadi pada saat baru lahir dapat menyebabkan abnormalitas gigi sehingga terjadi

kalsifikasi pada tahun pertama kehidupan, yang akhirnya menyebabkan

pembentukan Hutchinson teeth. Keratitis interstitial biasanya didiagnosis pada usia

5-20 tahun dan dapat menyebabkan glaukoma sekunder dan pengaburan kornea.

Gangguan pendengaran akibat kerusakan saraf kranial delapan terjadi pada 3%

kasus dan disebabkan karena ada gangguan pada tulang temporal. Ketiga gejala

berupa Hutchinson teeth, keratitis interstitial dan gangguan pendengaran saraf VIII

disebut sebagai triad Hutchinson.12,14


18

Gambar 2 Gigi Hutchinson pada Sifilis Kongenital15

Gambar 3 Keratitis Interstisial dan Strabismus pada Sifilis Kongenital15

Sifilis kongenital adalah penyakit yang berbahaya namun dapat dengan

mudah diobati dan dicegah melalui penapisan ibu hamil dan pemberian obat pada

ibu hamil yang terinfeksi. Transmisi infeksi pada kehamilan dapat terjadi sejak usia

kehamilan 9 minggu, namun paling sering terjadi pada usia kehamilan 16-28
19

minggu. Kemungkinan terjadinya transmisi infeksi ditentukan dari fase infeksi pada

kehamilan ataupun usia kehamilan pada saat infeksi terjadi. Pada sifilis dini,

transmisi ibu ke janin mencapai 80% dan insidensi ini menurun pada infeksi sifilis

lanjut. Tanpa penapisan dan pengobatan, sekitar 70% dari ibu hamil yang terinfeksi

sifilis akan mengalami luaran kehamilan yang tidak diinginkan. 1,2,14

Sifilis maternal dapat dicurigai berdasarkan manifestasi klinis dan

dikonfirmasi dengan identifikasi treponema dalam spesimen serta penemuan

serologis reaktif. Pemeriksaan mikroskop lapang gelap adalah pemeriksaan sifilis

paling spesifik pada saat ditemukan chancre ataupun kondiloma lata. Pemeriksaan

serologi untuk sifilis dibagi menjadi pemeriksaan non-treponema dan pemeriksaan

treponema. Pemeriksaan non-treponema biasanya digunakan untuk penapisan dan

pemantauan pengobatan, sedangkan pemeriksaan treponema berguna untuk

menegakkan diagnosis. Pemeriksaan non-treponema mendeteksi antibodi terhadap

antibodi anti-kardiolipin, yang merupakan komponen jaringan membran mamalia.

Pemeriksaan non-treponema menjadi positif pada 1-4 minggu setelah munculnya

chancre primer, dan sekitar 6 minggu setelah paparan. Pemeriksaan non-treponema

yang paling sering digunakan adalah venereal disease research laboratory (VDRL)

dan rapid plasma reagin (RPR). Pemeriksaan non-treponema menghasilkan hasil

positif 75% pada kasus sifilis primer, sedangkan sifilis sekunder selalu

menghasilkan VDRL yang reaktif dengan titer >1/16. Titer antibodi juga

menggambarkan perjalanan penyakit: peningkatan titer 4 kali lipat

mengindikasikan penyakit aktif sedangkan penurunan titer 4 kali lipat

mengindikasikan terapi adekuat. Pemeriksaan non-treponema biasanya menjadi


20

negatif setelah 1 tahun dari infeksi sifilis primer dan 2 tahun dari infeksi sifilis

sekunder. Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan RPR sifilis di puskesmas dan

didapatkan hasil reaktif, pemeriksaan yang sama dilakukan keesokan harinya dan

hasilnya non-reaktif.13,16

Gambar 4 Respons Serologi terhadap Infeksi Sifilis17

Pemeriksaan treponema mendeteksi interaksi immunoglobulin serum dan

antigen permukaan pada Treponema pallidum, yaitu pemeriksaan fluorescent

treponemal antibody absorption (FTA-ABS), pemeriksaan treponemal-specific

microhemagglutination test (MHATP) dan pemeriksaan Treponema pallidum

particle agglutination (TP-PA). Pemeriksaan treponema menghasilkan tes positif

pada infeksi sifilis primer sebanyak 75% (TP-PA) hingga 85% (FTA-ABS) dan

100% pada infeksi sifilis sekunder. Hasil positif palsu dapat ditemukan pada pasien
21

dengan penyakit Lyme, leptospirosis dan penyakit lain yang disebabkan oleh

Treponema spp. Pemeriksaan treponema biasanya akan selalu menghasilkan

pemeriksaan positif seumur hidup walaupun terapi sifilis berhasil. Pemeriksaan

PCR jarang digunakan secara klinis. Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan VDRL

dan TPHA dengan hasil non-reaktif.7,13,16

Saat ini sudah tersedia pemeriksaan rapid test syphilis yang merupakan tes

treponema yang sederhana, cepat dan hanya membutuhkan sedikit keahlian khusus

serta tidak memerlukan peralatan dan penyimpanan khusus. Hasil dari pemeriksaan

rapid test muncul dalam waktu singkat sekitar 10-15 menit. Sensitivitas rapid test

mencapai 85-98% dengan spesifisitas 93-98%. Pemeriksaan rapid test dapat

digunakan untuk penapisan dan tes konfirmasi, namun tidak dapat memantau

efektivitas terapi atau membedakan infeksi aktif dengan infeksi yang sudah diterapi

adekuat.7,13

Tabel 1 Perbandingan Sensitivitas dan Spesifisitas Tes Penapisan Sifilis7,13,16

Sensitivitas Berdasarkan Stadium Sifilis,


Tes Penapisan % (rentang) Spesifisitas %
Sifilis (rentang)
Primer Sekunder Laten Tersier
Nontreponemal
VDRL 78 (74- 100 96 (88- 71 (37- 98 (96-99)
87) 100) 94)
RPR 86 (77- 100 98 (95- 73 98 (93-99)
99) 100)
Treponemal
Rapid Syphilis 85-98% 93-98%
FTA-ABS 84 (70- 100 100 96 97 (84-100)
100)
TPPA 88 (86- 100 97 (97- 94 96 (95-100)
100) 100)
22

Sensitivitas Berdasarkan Stadium Sifilis,


Tes Penapisan % (rentang) Spesifisitas %
Sifilis (rentang)
Primer Sekunder Laten Tersier
EIA: (77-100) (85-100) (64-100) NA (99-100)

Hasil tes non-treponema yang reaktif dan tes treponema yang non-reaktif

disebut sebagai hasil tes positif palsu secara biologis. Tes non-treponema

mendeteksi antibodi anti-kardiolipin yang tidak spesifik dengan sifilis. Pada sebuah

penelitian di Amerika Serikat tahun 2013 – 2017, ditemukan 11% hasil positif palsu

secara biologis dengan kadar titer yang rendah (1:8), hanya 1% dengan kadar titer

tinggi dan sangat tinggi. Hasil positif palsu ini ditemukan lebih banyak pada

populasi lanjut usia (>60 tahun), kehamilan penyakit autoimun, rematologi, kanker,

dan pengguna obat-obatan terlarang intravena. Infeksi yang disebabkan oleh bakteri

spiroseta lain juga dapat memberikan hasil positif palsu: leptospirosis, penyakit

Lyme, rat-bite fever, yaws. Hasil positif palsu kronik yang bertahan hingga lebih

dari 6 bulan ditemukan berhubungan dengan penyakit autoimun dan penyakit

inflamasi kronik.10,18,19
23

Tabel 2 Penyebab Hasil Positif Palsu pada Tes Serologi Sifilis19

Diagnosis sifilis kongenital sebelum persalinan dapat ditegakkan secara non-

invasif dan invasif. Pemeriksaan ultrasonografi janin untuk tanda gejala sifilis

kongenital direkomendasikan sebelum terapi setelah usia kehamilan 20 minggu.

Sifilis pada janin diduga pada penemuan hidrops fetal, pembesaran abdomen,

hidramnion, plasenta yang tebal. Pemeriksaan invasif berupa amniosentesis dan

pengambilan sampel darah umbilikus secara perkutaneus kemudian dilanjutkan

dengan pemeriksaan mikroskop lapang gelap dan PCR. Pemeriksaan hematologi

dan kimiawi pada darah janin juga dapat mengindikasikan sifilis kongenital apabila
24

ditemukan IgM antitreponema, peningkatan enzim transaminase liver, anemia dan

trombositopenia. Apabila terdapat kecurigaan infeksi sifilis kongenital, maka perlu

dilakukan pemeriksaan denyut jantung janin karena janin dapat mengalami

deselerasi lanjut hingga gawat janin setelah terapi ibu.7,14

Tes sifilis mempunyai masa jendela, sehingga hasil negatif pada tes sifilis

belum tentu menyatakan seseorang bebas dari sifilis. Karena itu, tes pada ibu hamil

perlu diulang kembali pada saat sebelum melahirkan terutama ibu hamil di daerah

prevalensi tinggi sifilis atau ibu hamil berisiko tinggi infeksi menular seksual. Tes

pada saat sebelum melahirkan dapat mendeteksi infeksi ulang, khususnya pada ibu

hamil yang pasangannya tidak diobati atau belum pernah dilakukan tes

sebelumnya.7
25

Gambar 5. Alur Tes Serologis Sifilis, Tes Treponema, dan Non Treponema 7

Terapi sifilis yang adekuat pada ibu yang terinfeksi efektif dalam mencegah

transmisi ke janin dan untuk terapi infeksi janin. Obat yang direkomendasikan

adalah penisilin G yang diberikan secara parenteral. Eritromisin dan azitromisin

mungkin dapat menyembuhkan ibu hamil, namun dikarenakan keterbatasan obat

untuk melalui transplasenta, kedua obat ini tidak mencegah penyakit kongenital.

Satu-satunya tatalaksana yang memuaskan untuk pasien yang hamil dengan sifilis

dengan alergi penisilin adalah desensitisasi yang diikuti oleh terapi penisilin.

Namun, rejimen non-penisillin harus dipertimbangkan ketika penisilin tidak dapat

diperoleh atau ketika desensitisasi penisilin tidak mungkin. 7,13,14


26

7,13,14
Tabel 3 Tatalaksana Sifilis Primer, Sekunder dan Laten Dini untuk Ibu Hamil

Obat Dosis Rute Pemberian Lama Pemberian


Benzatin Penisilin G 2,4 juta unit Intramuskular 1 hari
Benzatin Penisilin G
dosis ulang untuk 1 minggu setelah injeksi
2,4 juta unit Intramuskular
wanita hamil trimester pertama
ketiga
600.000
Penisilin Prokain G Intramuskular 10 hari
unit
Amoksisillin + 4x500 mg +
Per Oral 14 hari
Probenesid 500 mg
Alergi Penisilin
Eritromisin 4x500 mg Per Oral 14 hari
Ceftriaxone 1 gram Intramuskular 10-14 hari
Azitromisin 2 gram Per Oral 1 hari

Pada infeksi sifilis laten lanjut, maka dosis yang disarankan adalah 7,2 juta

unit benzatin penisilin G terbagi selama 3 minggu, dengan pemberian 2,4 juta unit

setiap minggunya. Pada kasus neurosifilis, pemberian penisilin G dalam larutan

kristalin dengan dosis 18-24 juta unit per hari terbagi ke dalam 3-4 juta unit per 4

jam selama 10-14 hari direkomendasikan. Terapi alternatif lainnya berupa penisilin

prokain G 600.000 unit intramuskular setiap hari selama 14 hari, atau amoksisilin

500 mg per oral sebanyak 4 kali sehari ditambah dengan probenesid 500 mg per

oral sebanyak 4 kali sehari selama 28 hari.13,14


13,14
Tabel 4 Obat Sifilis Laten Lanjut untuk Ibu Hamil

Obat Dosis Rute Pemberian Lama Pemberian


3 minggu
Benzatin Penisilin G 7,2 juta unit Intramuskular
(2,4 juta unit/minggu)
600.000
Penisilin Prokain G Intramuskular 10-14 hari
unit
18-24 juta
unit/hari
Penisilin Prokain G
dalam 3-4 Intravena 10-14 hari
dalam larutan kristalin
juta/unit
setiap 4 jam
Amoksisillin + 4x500 mg +
Per Oral 28 hari
Probenesid 500 mg
27

Terdapat reaksi Jarisch-Herxheimer yang dapat terjadi 2-12 jam setelah terapi

pada pasien dengan infeksi sifilis aktif. Reaksi ini ditandai dengan demam, nyeri

kepala, nyeri otot dan malaise yang disebabkan oleh pelepasan komponen seperti

endotoksin treponema karena lisis yang dimediasi oleh penisilin. Reaksi Jarisch-

Herxheimer dapat meningkatkan risiko persalinan prematur hingga gawat janin

pada pertengahan kehamilan. Reaksi dapat muncul setelah 1-2 jam pengobatan,

memuncak pada 8 jam, dan biasanya hilang dalam 24 hingga 48 jam. Reaksi

mungkin lebih umum pada wanita HIV positif. Semua pasien harus diberi konseling

tentang risiko dan gambaran klinis dari reaksi demam ini dan penyedia pelayanan

kesehatan harus mempertimbangkan mengamati pasien selama satu hingga dua jam

sebelum dia meninggalkan fasilitas rawat jalan. Manajemen berupa perawatan

suportif berupa antipiretik dan cairan intravena. Pramedikasi dengan TNF-⍺

antibodi atau kortikosteroid tampaknya mencegah reaksi, tetapi tidak digunakan

secara luas dengan data terbatas dari risiko dan manfaat relatif dari pendekatan ini,

khususnya pada wanita hamil.20

Pemeriksaan titer serologi perlu diulang pada usia kehamilan 28-32 minggu

dan pada persalinan serta dilakukan pemeriksaan rutin setiap bulannya pada wanita

dengan risiko tinggi reinfeksi atau pada area geografis risiko tinggi. Terapi ibu

dapat tidak adekuat apabila diberikan <30 hari sebelum persalinan. 14

Selama terapi, pasien disarankan untuk tidak beraktivitas seksual hingga 2

minggu setelah terapi selesai, atau hingga semua lesi sembuh. Penggunaan kondom

dapat mencegah transmisi dari lesi penis. Pasien disarankan untuk memberi tahu

pasangan seksual sebelumnya sehingga dapat dilakukan penapisan. Pemeriksaan


28

fisik dan serologi sebaiknya diulang pada 6 bulan dan 1 tahun setelah terapi

selesai.13

Tatalaksana intrapartum yang disarankan adalah persalinan pervaginam,

kecuali pada pasien dengan lesi chancre yang aktif. Metode persalinan harus

didiskusikan dengan pasien sebelumnya. Bayi yang dilahirkan dari ibu dengan

infeksi sifilis harus segera diperiksa sesaat setelah dilahirkan oleh dokter spesialis

anak untuk mencari tanda dan gejala sifilis kongenital. 21

Alat kontrasepsi yang disarankan pada pasien dengan infeksi menular seksual

atau dengan risiko tinggi infeksi menular seksual adalah penggunaan kondom yang

konsisten dan benar. Penggunaan kondom yang konsisten dan benar adalah salah

satu metode pencegahan transmisi infeksi menular seksual paling efektif.

Penggunaan alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR) diperbolehkan untuk digunakan

pada pasien dengan infeksi menular seksual yang sudah diperiksa dan diobati secara

adekuat. AKDR yang disarankan adalah Cu-IUD dan Levonorgestrel-IUD.22

Pada pasien ini, dilakukan pemeriksaan rapid test RPR di puskesmas sebagai

bentuk skrining di kunjungan antenatal dan didapatkan hasil reaktif. Pasien

menyangkal riwayat luka pada kelamin, bercak kemerahan pada kedua telapak

tangan dan kaki serta pada tubuh pasien dan pasangan, riwayat keputihan pada

pasien dan kencing nanah pada suami, selain keputihan yang kadang timbul setelah

menstruasi, dan riwayat bintil-bintil pada kelamin pasien dan pasangan disangkal.

Rapid test kemudian diulang keesokan harinya dan didapatkan hasil negatif. Untuk

penegakkan diagnosis, dilakukan pemeriksaan treponema VDRL dan TPHA di RS


29

Hasan Sadikin dan didapatkan hasil non-reaktif. Sehingga dapat disimpulkan

bahwa pemeriksaan rapid test sifilis pertama pada pasien ini adalah false positive.

2. Bagaimana antenatal care pada pasien infeksi menular seksual?

Antenatal care (ANC) menurut WHO adalah perawatan yang diberikan oleh

profesional kesehatan yang terampil kepada wanita hamil untuk memastikan

kondisi kesehatan terbaik bagi ibu dan bayi selama kehamilan. Komponen ANC

meliputi identifikasi risiko, pencegahan dan manajemen penyakit yang

berhubungan dengan kehamilan dan pendidikan kesehatan serta promosi

kesehatan.23

Kontak seorang wanita dengan penyedia layanan antenatal harus lebih dari

sekedar kunjungan melainkan berupa penyediaan perawatan dan dukungan selama

kehamilan. Rekomendasi WHO tentang ANC selama kehamilan sebanyak delapan

kali kontak, untuk mendeteksi komplikasi, meningkatkan komunikasi antara

penyedia layanan kesehatan dan wanita hamil, dan meningkatkan kemungkinan

hasil kehamilan yang positif. Wanita hamil dianjurkan untuk melakukan kontak

pertama mereka dalam kehamilan 12 minggu pertama dan kontak berikutnya pada

kehamilan 20, 26, 30, 34, 36, 38, dan 40 minggu.23

World Health Organization memperkirakan insidensi infeksi menular seksual

hingga 1 juta kasus per harinya, terutama infeksi klamidia, gonorea, sifilis, dan

trikomonas. Pencegahan primer infeksi menular seksual yang dapat dilakukan

adalah melalui penilaian risiko perilaku berupa penilaian perilaku seksual dan risiko

biologis seperti pemeriksaan penanda HIV. Untuk menanyakan riwayat seksual dan
30

risikonya harus memastikan kerahasiaan dokter-pasien, bersikap sensitif dan tidak

menghakimi, menggunakan bahasa yang mudah dimengerti, tidak berasumsi dan

mengulang anamnesis riwayat risiko seksual setiap tahunnya. 10,24,25

Sebuah studi di Afrika menyarankan pemeriksaan tiga infeksi menular

seksual yang memiliki prevalensi tertinggi pada pasien dengan wanita HIV positif.

Ketiga infeksi menular seksual tersebut adalah pemeriksaan klamidia, gonorea,

trikomonas.26

Pemeriksaan klamidia dan gonorea direkomendasikan untuk dilakukan pada

kunjungan antenatal pertama dan awal trimester ketiga. Spesimen yang dibutuhkan

berasal dari urin ataupun genital. Pemeriksaan yang dilakukan adalah nucleic acid

amplification test (NAAT) dengan sensitivitas >90% dan spesifisitas ≥99%.

Sedangkan pemeriksaan sifilis membutuhkan sampel darah untuk diperiksa

serologi dengan RPR atau TP-PA.24

Salah satu rangkaian dalam pedoman kunjungan antenatal di Indonesia adalah

melakukan pemeriksaan penunjang, baik secara rutin maupun atas indikasi.

Pemeriksaan rutin untuk semua ibu hamil yang dilakukan pada kunjungan antenatal

pertama adalah pemeriksaan kadar hemoglobin, golongan darah ABO dan rhesus,

tes HIV yang ditawarkan pada ibu hamil dengan infeksi menular seksual dan

tuberkulosis dan pemeriksaan rapid test untuk malaria pada daerah endemis.

Sedangkan pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi adalah urinalisis pada pasien

hipertensi, pemeriksaan hemoglobin di trimester ketiga jika dicurigai anemia,

pemeriksaan sputum bakteri tahan asam untuk ibu dengan riwayat defisiensi imun,

batuk >2 minggu atau lingkar lengan atas <23,5 cm, pemeriksaan sifilis dan gula
31

darah puasa. CDC menyarankan pemeriksaan sifilis untuk rutin dilaksanakan pada

kunjungan pertama antenatal dan saat persalinan. Pemeriksaan serologi dapat

diulang pada saat ditegakkan diagnosis infeksi menular seksual lainnya dan

pasangan seksual baru.10,27

Pemeriksaan infeksi menular seksual pada pasangan ibu hamil dengan

pekerjaan risiko tinggi akan transmisi infeksi seperti supir truk jarak jauh, pekerja

pelabuhan, pelaut dan pengendara taksi juga disarankan. Penelitian pada populasi

pekerjaan risiko tinggi di Indonesia menunjukkan bahwa supir truk memiliki

prevalensi infeksi menular seksual sebanyak 20,7% dari populasi penelitian. Infeksi

sifilis menempati prevalensi tertinggi kejadian infeksi menular seksual, sebanyak

5,7% kasus dari total populasi penelitian. Salah satu faktor risiko transmisi berasal

dari hubungan seksual dengan pekerja seks komersial yang pernah dilakukan oleh

70,1% supir truk. Dari populasi supir truk tersebut, hanya 5,6% yang menggunakan

alat kontrasepsi kondom dengan konsisten saat berhubungan seksual dengan

pekerja seks komersial.28

Kehamilan dengan masalah kesehatan seperti infeksi menular seksual

membutuhkan rujukan untuk konsultasi dan kerjasama di fasilitas pelayanan

kesehatan yang lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan Peraturan Kementerian

Kesehatan Republik Indonesia No. 97 tahun 2014, terdapat daftar kasus yang

memerlukan penanganan rujukan ke fasilitas kesehatan yang lebih tinggi, yaitu:29

a. Ibu hamil dengan perdarahan antepartum

b. Ibu hamil dengan demam >2 hari yang tidak sembuh setelah pemberian

antipiretik
32

c. Ibu hamil dengan hipertensi berat

d. Ibu hamil dengan preeklampsia

e. Ibu hamil dengan berat badan kurang atau risiko kekurangan energi

kronis

f. Ibu hamil dengan berat badan lebih

g. Tinggi fundus uteri tidak sesuai dengan umur kehamilan

h. Kelainan letak janin pada trimester 3

i. Gawat janin

j. Ibu hamil dengan anemia, diabetes melitus, malaria, tuberkulosis, infeksi

menular seksual, dan HIV

k. Ibu hamil kemungkinan ada masalah kejiwaan

l. Ibu hamil yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga


33

Gambar
Gambar 6 Kartu Skor Poedji Rochjati 6
Perencanaan Persalinan Aman 27

Kehamilan berisiko tinggi dapat dideteksi menggunakan kartu skor “Poedji

Rochjati Perencanaan Persalinan Aman” sehingga dapat menentukan apakah pasien

tersebut membutuhkan rujukan ke fasilitas kesehatan yang lebih tinggi atau tidak.
34

Apabila skor 2 maka pasien dapat ditangani oleh bidan, skor 6-10 membutuhkan

perawatan kolaborasi bidan dan dokter sehingga butuh rujukan ke rumah sakit, dan

skor ≥12 hanya boleh ditangani oleh dokter sehingga harus segera dirujuk ke RS.

Kelompok berisiko tinggi lebih baik mendapat pengawasan ketat di spesialis

obstetri dan ginekologi. Dalam setiap kunjungan ini, risiko mereka akan dinilai

kembali apakah tetap berisiko tinggi atau menjadi berisiko rendah. Jika rendah,

maka intensitas perawatan mereka dapat dikurangi. Kehamilan yang berisiko tinggi

memerlukan kunjungan antenatal lebih sering, yaitu setiap 1 sampai 2 minggu. Pada

trimester tiga, kunjungan antenatal dilakukan lebih sering lagi yaitu setiap 7 hari

atau setiap 3 sampai 4 hari. Skor pada pasien ini adalah 6 yang berasal dari skor

awal (2) ditambah dengan penyakit menular seksual (4) sehingga membutuhkan

kolaborasi bidan dengan dokter spesialis obstetri dan ginekologi. 27

Kunjungan antenatal yang dilakukan oleh pasien ini sudah adekuat secara

kuantitas dan belum adekuat secara kualitas. Pasien melakukan kunjungan antenatal

sebanyak 6 kali, namun tidak melakukan kunjungan antenatal ke fasilitas kesehatan

yang lebih tinggi untuk penatalaksanaan infeksi sifilis yang dideritanya. Seharusnya

pasien melakukan kunjungan antenatal lanjutan ke poli Ilmu Kesehatan Kulit dan

Kelamin untuk penegakkan diagnosis dan tatalaksana selanjutnya. Penapisan awal

infeksi menular seksual yang dilakukan juga sebaiknya meliputi infeksi lain seperti

HIV dan Hepatitis B, sesuai dengan tripel eliminasi.


35

3. Apakah pada bayi tersebut dapat dilakukan pemberian ASI?

Payudara atau kelenjar mammae dewasa terdiri dari 15-25 lobus yang

tersusun secara radial dan terpisahkan dari satu sama lain oleh lemak dengan jumlah

yang bervariasi. Pada setiap lobus, terdapat beberapa lobulus yang terdiri atas

sejumlah alveolus. Alveolus ini berhubungan antar satu sama lain oleh duktus untuk

membentuk satu duktus yang lebih besar menjadi duktus laktiferus. Ujung-ujung

duktus laktiferus akan terbuka secara terpisah di puting. Pada permukaan alveolus

terdapat epitel sekretori yang mensintesis berbagai komponen air susu ibu (ASI).

ASI ibu terdiri atas komponon imunologi protektif yang meliputi IgA dan growth

factors. Berdasarkan Centers for Disease Control and Prevention (CDC), ASI

dapat menurunkan insidensi infeksi telinga, saluran pernafasan, saluran pencernaan,

enterokolitis, dan sindrom kematian bayi mendadak. ASI berisikan sel limfosit T

dan B yang memiliki antigen membran spesifik. 8

Kelenjar mammae adalah organ eksokrin yang dapat melalui pertumbuhan

siklus yang berulang, diferensiasi fungsi, dan regresi yang bergantung pada proses

reproduksi. Perkembangan kelenjar mammae dimulai pada kehidupan janin,

berkembang sedikit ketika siklus estrogen dimulai dan mammogenesis selesai pada

saat kehamilan dan menjadi berfungsi setelah melahirkan untuk memberikan nutrisi

optimal bagi bayi yang baru lahir. Setelah anak disapih, jaringan mammae akan

mengalami involusi dan dapat re-diferensiasi ketika terjadi kehamilan selanjutnya.

Semua perkembangan fisiologis ini diatur oleh hormon sistemik dan faktor lokal.

Pada awal kehamilan terjadi proliferasi sel alveolus dan sel duktus yang terjadi

bersamaan dengan berkurangnya jumlah lemak, hal ini menghasilkan sistem


36

percabangan duktus yang luas dengan jumlah alveolus yang banyak. Stroma dan sel

mioepitel memberikan penanda keberlangsungan, proliferasi dan diferensiasi sel

epitel mammae; mammary epithelial cells (MEC). Perkembangan sel MEC tidak

hanya dengan peningkatan jumlah, tetapi juga pembesaran ukuran yang disebabkan

oleh pembesaran sitoplasma. Modifikasi ini diatur oleh hormon sistemik yang

meliputi estrogen, progesteron, prolaktin, growth hormone, insulin, glukokortikoid

dan protein yang berhubungan dengan hormon paratiroid, serta faktor lokal seperti

insulin-like growth factor 1 (IGF-1), epithelial growth factor (EGF), dan fibroblast

growth factor (FGF) yang kemungkinan besar dihasilkan oleh sel stroma. Selain itu

sel MEC dan sel stroma menghasilkan komponen matriks ekstraseluler seperti

proteoglikan, hialuronan, fibronektin, dan laminin yang penting untuk pertumbuhan

dan perkembangan kelenjar mammae. Struktur dari percabangan duktus sudah

selesai berkembang pada setengah awal kehamilan, dan perkembangan hingga

proses persalinan adalah kelanjutan proses perkembangan dan pembentukan

alveolus. Sehingga, terdapat produk sekresi dalam jumlah kecil (kolostrum) yang

dapat dilihat di lumen alveolus dan duktus, menandakan diferensiasi sekretori MEC

fungsional (atau disebut juga sebagai laktogenesis I). Pada trimester terakhir,

terdapat penurunan proliferasi alveolus baru dan peningkatan pembesaran ukuran

MEC karena distensi lumen akibat akumulasi kolostrum. Perkembangan ini terjadi

akibat pengaruh progesteron, prolaktin, dan human placental lactogen (hPL).

Sebagai kompensasi peningkatan aktivitas metabolik MEC, aliran darah pada

jaringan mammae meningkat dua kali lipat dalam voluem selama kehamilan dan

bertahan selama menyusui, dan berakhir saat penyapihan.30


37

Laktogenesis adalah diferensiasi sekretori dari MEC alveolus yang dimulai

pada pertengahan kehamilan dan terbagi ke dalam 2 fase: inisiasi atau laktogenesis

I dan aktivasi atau laktogenesis II. Fase-fase ini diatur oleh hormon dan ekspresi

gen. Pada fase laktogenesis I, MEC berdiferensiasi secara morfologis dan dapat

menghasilkan komponen susu yang disebut sebagai kolostrum akibat aktivasi

ekspresi gen protein susu dan enzim biosintesis, serta produksi laktosa dan

akumulasi droplet lipid. Namun, produksi komponen ASI ini terbatas pada

sejumlah MEC alveolus. Karena kolostrum tidak dihisap melalui suckling,

komponennya direabsorbsi ke dalam darah melalui jalur paraseluler. Pada akhir

kehamilan, sekresi ASI dihambat oleh konsentrasi progesteron dan estrogen yang

tinggi hingga persalinan. Setelah persalinan, pelepasan plasenta menyebabkan

withdrawal progesteron, estrogen dan hPL pada 4-6 hari setelah persalinan,

sedangkan konstentrasi prolaktin tetap tinggi bersama dengan kadar insulin dan

kortisol yang memicu fase laktogenesis II. Produksi kolostrum mencapai

puncaknya pada 4 hari pasca melahirkan, dan diikuti dengan periode transisi sekresi

ASI selama 10-15 hari dan dilanjutkan dengan produksi ASI matang yang banyak

(setelah 15 hari). Komposisi ASI berubah-ubah, konsentrasi natrium dan klorida

menurun sedangkan laktosa dan IgA, laktoferin meningkat pada produksi ASI

matang. Perubahan ini selesai pada 72 jam pasca persalinan dan sebelumnya

didahului oleh peningkatan volume ASI akibat diferensiasi final MEC alveolus

menjadi laktosit. Perubahan ini disebabkan oleh ekspresi gen ASI (a-lactalbumin),

dan enzim biosintetis (karboksilase asetil-KoA dan sintetase asam lemak)., yang

didukung dengan reorganisasi alveolus meliputi polarisasi apikobasal organel,


38

ekspansi mitokondria dan retikulum endoplasma kasar, pematangan apparatus

Golgi, adanya vesikel sekretori yang berisi misel kasein dan mikrovilus pada

membran plasma apikal, peningkatan jumlah droplet lipid dan penutupan tight

junctions (TJ) sehingga ion seperti natrium dan klorida tidak lagi dapat pindah dari

interstisial ke lumen alveolus sehingga harus disekresi melalui rute seluler. Setelah

mencapai kelenjar mammae melalui sistem peredaran darah ataupun sistem

limfatik, nutrien dan komponen ASI lainnya akan berdifusi di interstisial dan

mencapai membran plasma basal dari MEC. Bergantung pada struktur molekulnya,

komponen ini akan memasuki MEC dan disekresikan dengan berbagai rute: jalur

paraseluler, jalur transeluler, jalur transporter membran, transitosis, dan jalur

sekresi protein, jalur sekresi lipid. Sedangkan pelepasan komponen ASI melalui dua

mekanisme berbeda, yaitu eksositosis dan budding yang tersingkronisasi saat

suckling. Transportasi komponen plasma, dan terkadang leukosit, terjadi melalui

jalur paraseluler (1) yang hanya terjadi pada kehamilan, awal menyusui sebelum

penutupan tight junctions, dan involusi, atau saat terjadi inflamasi. (2) Transport

membran memperbolehkan perpindahan ion, air, dan glukosa melalui membran

plasma basal dan membran plasma apikal dari MEC. Beberapa protein plasma

seperti imunoglobulin dan prolaktin mencapai lumen setelah melewati MEC

melalui transitosis vesikel (3). Protein susu, laktosa, kalsium dan komponen larut

air lainnya akan ditransportasikan dalam vesikel sekretori (4) dan dilepaskan

setelah eksositosis. Droplet lipid dibentuk did retikulum endoplasma dan

berkembang dalam perpindahannya menuju apeks dimana mereka dilepaskan


39

sebagai milk fat globule (MFG) dengan budding yang dilapisi oleh membran plasma

apikal dari MEC (5).30

Gambar 7 Mekanisme Transportasi Molekul Laktogenesis30

Menyusui dikontraindikasikan pada wanita yang mengonsumsi narkotika dan

tidak membatasi konsumsi alkohol, atau pada bayi dengan galaktosemia, dengan

infeksi HIV, sedang terinfeksi tuberkulosis aktif, mengonsumsi obat-obatan tertenu

atau sedang dalam penatalaksanaan kanker payudara. Hanya terdapat beberapa obat

yang merupakan kontraindikasi absolut menyusui, yaitu obat sitotoksik seperti

siklofosfami, siklosporin, doksorubisin, metotreksat, dan mikofenolat. Sifilis

adalah infeksi spiroseta yang menyebabkan gangguan pada beberapa sistem organ

sekaligus. Transmisinya melalui lesi terbuka dari kulit/membran mukosa dari

individu yang terinfeksi Treponema pallidum. Sifilis kongenital dapat terjadi

karena infeksi melewati plasenta (plasentitis) pada masa kehamilan atau kontak

dengan bakteri spiroseta pada saat persalinan pervaginam. Pada stadium apapun
40

dari penyakitnya (primer, sekunder, tersier), dapat terjadi infeksi dari ibu ke janin.

Infeksi pasca persalinan dapat terjadi melalui kontak dengan lesi terbuka dan

lembab dari kulit atau membran mukosa ibu atau individu yang terinfeksi lainnya

Apabila lesi pada ibu terdapat di payudara atau puring, maka menyusui ASI adalah

kontraindikasi hingga pengobatan ibu selesai dan lesinya sembuh. Saat ini tidak ada

bukti bahwa terdapat transmisi sifilis melalui ASI tanpa adanya lesi pada payudara

dan puting, sehingga apabila ibu tidak memiliki lesi payudara dapat memberikan

ASi selama terapi untuk kecurigaan sifilis atau bahkan diagnosis sifilis yang sudah

tegak telah dimulai untuk bayi dan ibunya.8,31

Tatalaksana utama sifilis untuk ibu hamil adalah penisilin, dengan alternatif

tatalaksana lain bagi ibu dengan alergi penisilin berupa eritromisin, azitromisin dan

ceftriaxone. Penisilin adalah antibiotik beta-laktam dengan mekanisme utama

pencegahan sintesis dinding sel bakteri, memiliki efek toksisitas seluler yang sangat

rendah sehingga aman untuk digunakan oleh ibu hamil dan anak-anak. Penggunaan

penisilin selama menyusui aman, dengan kadar penisilin yang mencapai ASI sangat

rendah. Ceftriaxone adalah antibiotik sefalosporin generasi tiga yang dapat

digunakan secara parenteral. Setelah pemberian ceftriaxone 1 gram secara

intravena, konsentasi obat di dalam ASI adalah sekitar 0,7 µg/mL, dan bertahan

hingga 24 jam setelah injeksi. Berdasarkan rekomendasi American Academy of

Pediactric (AAP), ceftriaxone aman untuk digunakan selama menyusui.

Azitromisin dan eritromisin adalah antibiotik bakteriostatik yang berfungsi melalui

mekanisme penghambatan sintesis protein subunit 50S dari ribosom bakteri.

Penggunaan eritromisin selama menyusui memberikan pertimbangan yang


41

kontradiktif, karena ditemukan bayi-bayi yang menyusui dari ibu yang

mengonsumsi eritromisin mengalami stenosis pilorus, walaupun begitu AAP

merekomendasikan bahwa eritromisin dapat digunakan selama menyusui apabila

obat tersebut diindikasikan dan tidak ada obat lain yang lebih aman. Azitromisin

juga melewati ASI, namun tidak menimbulkan efek samping bagi bayi sehingga

aman untuk digunakan selama menyusui.32

Pada pasien ini tidak terdapat lesi pada payudara ibu dan kecurigaan infeksi

sifilis tidak terbukti karena telah dilakukan pemeriksaan penunjang lanjutan berupa

tes treponema VDRL dan TPHA dengan hasil non-reaktif sehingga pasien dapat

menyusui bayinya.
42

V. KESIMPULAN

1. Pada pasien ini, dilakukan pemeriksaan rapid test RPR di puskesmas

sebagai bentuk skrining di kunjungan antenatal dan didapatkan hasil

reaktif. Pasien menyangkal riwayat luka pada kelamin, bercak

kemerahan pada kedua telapak tangan dan kaki serta pada tubuh

pasien dan pasangan, riwayat keputihan pada pasien dan kencing

nanah pada suami, selain keputihan yang kadang timbul setelah

menstruasi, dan riwayat bintil-bintil pada kelamin pasien dan

pasangan disangkal. Rapid test kemudian diulang keesokan harinya

dan didapatkan hasil negatif. Untuk penegakkan diagnosis,

dilakukan pemeriksaan treponema VDRL dan TPHA di RS Hasan

Sadikin dan didapatkan hasil non-reaktif. Sehingga dapat

disimpulkan bahwa pemeriksaan rapid test sifilis pertama pada

pasien ini adalah false positive.

2. Kunjungan antenatal yang dilakukan oleh pasien ini sudah adekuat

secara kuantitas dan belum adekuat secara kualitas. Pasien

melakukan kunjungan antenatal sebanyak 6 kali, namun tidak

melakukan kunjungan antenatal ke fasilitas kesehatan yang lebih

tinggi untuk penatalaksanaan infeksi sifilis yang dideritanya.

Seharusnya pasien melakukan kunjungan antenatal lanjutan ke poli

Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin untuk penegakkan diagnosis dan

tatalaksana selanjutnya. Penapisan awal infeksi menular seksual


yang dilakukan juga sebaiknya meliputi infeksi lain seperti HIV dan

Hepatitis B, sesuai dengan tripel eliminasi.

3. Pada pasien ini tidak terdapat lesi pada payudara ibu dan kecurigaan

infeksi sifilis tidak terbukti karena telah dilakukan pemeriksaan

penunjang lanjutan berupa tes treponema VDRL dan TPHA dengan

hasil non-reaktif sehingga pasien dapat menyusui bayinya.

VI. SARAN

1. Penyuluhan kepada bidan dan dokter di fasilitas pelayanan kesehatan

primer terkait penapisan dan penatalaksanaan tripel eliminasi infeksi

menular seksual yang meliputi sifilis, HIV dan hepatitis B.

2. Sosialisasi kepada masyarakat terkait tanda dan gejala, komplikasi,

penapisan dan pengobatan infeksi menular seksual dalam kehamilan

sehingga tingkat kesadaran masyarakat tentang kesehatan

meningkat.

3. Penyuluhan kepada masyarakat terkait pentingnya ASI ekslusif serta

kontraindikasi menyusui bayi secara langsung (direct breastfeeding)

43
DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization. Global Health Sector Strategy on Sexually

Transmitted Infections 2016-2021. World Heal Organ. 2016;1(June):1–63.

2. World Health Organization. The Global Elimination of Congenital Syphilis:

Rationale and Strategy for Action. World Heal Organ. 2007;1:1–46.

3. Chan R. Sexually transmitted infections in Asia and the Pacific - An

epidemiological snapshot. Sex Transm Infect. 2011;87(SUPPL. 2):2010–1.

4. Korenromp EL, Mahiané SG, Nagelkerke N, Taylor MM, Williams R, Chico

RM, et al. Syphilis prevalence trends in adult women in 132 countries –

estimations using the Spectrum Sexually Transmitted Infections model. Sci

Rep. 2018;8(1):1–10.

5. Kojima N, Klausner JD. An Update on the Global Epidemiology of Syphilis.

Curr Epidemiol Reports. 2018 Mar 19;5(1):24–38.

6. World Health Organization. Casting light on old shadows : ending sexually

transmitted infection epidemics as public health concerns by 2030. World

Heal Organ. 2017;10(12):1–8.

7. Januarto AK, Hidaya YM, Wiweko B, Alamsyah M, Yenni CM, Makmur S.

Manajemen Tripel Eliminasi Hepatitis B, HIV, Sifilis. 1st ed. Jakarta:

Perkumpulan Obstetri Ginekologi Indonesia; 2019. 43–53 p.

8. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Spong C, Dashe JS, Hoffman BL,

et al. William Obstetric. 25th ed. Mc Graw Hill Education. McGraw Hill

Education; 2018. 3072 p.

9. Peeling RW, Mabey D, Kamb ML, Chen X, David J, Benzaken A-1030656.

44
pdfel. S, et al. Syphilis. Nat Rev Dis Prim. 2018;3(17073):49.

10. New York City Department of Health T, Hygiene Bureau of Sexually

Transmitted Infections M. The Diagnosis, Management and Prevention of

Syphilis An Update and Review STD HIV PREVENTION TRAINING

CENTER. 2019;(March 2019).

11. Ho EL, Lukehart SA. Syphilis: Using modern approaches to understand an

old disease. J Clin Invest. 2011;121(12):4584–92.

12. Hook EW. Syphilis. Lancet. 2017;389:1550–7.

13. Nevin W. Syphilis: diagnosis and management options. Pharm J. 2018;1–11.

14. De Santis M, De Luca C, Mappa I, Spagnuolo T, Licameli A, Straface G, et

al. Syphilis infection during pregnancy: Fetal risks and clinical management.

Infect Dis Obstet Gynecol. 2012;2012.

15. Pessoa L, Galvao V. Clinical aspects of congenital syphilis with

Hutchinson’s triad. Case Reports. 2011 Dec 21;2011(dec21

1):bcr1120115130–bcr1120115130.

16. Cantor A, Nelson HD, Daeges M, Pappas M. Screening for Syphilis in

Nonpregnant Adolescents and Adults: Systematic Review to Update the

2004 U.S. Preventive Services Task Force Recommendation. US Prev Serv

Task Force Evid Synth Former Syst Evid Rev. 2016;(136).

17. Henao-Martinez AF, Johnson SC. Diagnostic tests for syphilis: New tests

and new algorithms. Neurol Clin Pract. 2014 Apr 1;4(2):114–22.

18. Matthias J, Klingler EJ, Schillinger JA, Keller G, Wilson C, Peterman TA.

Frequency and Characteristics of Biological False-Positive Test Results for

45
Syphilis Reported in Florida and New York City, USA, 2013 to 2017.

Munson E, editor. J Clin Microbiol. 2019 Aug 28;57(11):1–6.

19. Ratnam S. The Laboratory Diagnosis of Syphilis. Can J Infect Dis Med

Microbiol. 2005 Dec;16(1):45–51.

20. Clement ME, Okeke NL, Hicks CB. Treatment of Syphilis. JAMA. 2014

Nov 12;312(18):1905.

21. Rao A, Cuthbertson A, Cuthbertson A, Hollis P, Berner C, Bullen-bell R, et

al. Clinical Guideline : Management of Syphilis in Pregnancy. National

Health Services. 2018.

22. World Health Organization. Medical eligibility criteria for contraceptive use.

Geneva: World Health Organization; 2015.

23. WHO. WHO Recommendations on Antenatal Care for a Positive Pregnancy

Experience. Ultrasound in Obstetrics and Gynecology. 2013.

24. Lochner HJ, Maraqa NF. Sexually Transmitted Infections in Pregnant

Women: Integrating Screening and Treatment into Prenatal Care. Pediatr

Drugs. 2018;20(6):501–9.

25. Centers for Disease Control and Prevention. STD - CDC Guidelines.

2015;64(3).

26. Morikawa E, Mudau M, Olivier D, De Vos L, Joseph Davey D, Price C, et

al. Acceptability and Feasibility of Integrating Point-of-Care Diagnostic

Testing of Sexually Transmitted Infections into a South African Antenatal

Care Program for HIV-Infected Pregnant Women. Infect Dis Obstet

Gynecol. 2018;2018:1–7.

46
27. Indonesia Ministry of Health. Handbook on Maternal Health Service

Delivery in Primary Care and Referral Health Facilities. 1st ed. Jakarta:

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2013. 232–259 p.

28. Mustikawati DE, Morineau G, Nurhayati, Irmaningrum Y, Riono P,

Priohutomo S, et al. Sexual risk taking, sexually transmitted infections and

HIV prevalence among four “high-risk” occupational groups of Indonesian

men. Sex Transm Infect. 2009 Sep 1;85(5):391–6.

29. Kementerian Kesehatan RI. PMK No. 97 Tahun 2014 tentang Pelayanan

Kesheatan Masa Sebelum Hamil, Masa Hamil, Persalinan dan Masa Sesudah

Melahirkan, Penyelenggaraan Pelayanan Kontrasepsi, serta Pelayanan

Kesehatan Seksual. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Jakarta;

2014.

30. Truchet S, Honvo-Houéto E. Physiology of milk secretion. Best Pract Res

Clin Endocrinol Metab. 2017 Aug;31(4):367–84.

31. Lawrence RM. Transmission of Infectious Diseases Through Breast Milk

and Breastfeeding. In: Breastfeeding. Elsevier; 2011. p. 406–73.

32. de Sá Del Fiol F, Barberato-Filho S, de Cássia Bergamaschi C, Lopes LC,

Gauthier TP. Antibiotics and Breastfeeding. Chemotherapy.

2016;61(3):134–43.

47

Anda mungkin juga menyukai