Anda di halaman 1dari 33

REFERAT

PREEKLAMPSIA BERAT

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Dokter Muda


di SMF Obstetri dan Ginekologi RSUD Wlingi

OLEH:
Ahmad Ikbal Purnawarman 160070200011066
Ayu Novita Kartikaningtyas 160070200011086
Dian Triana Putri 160070201011025
Gumilang Arya Yudha 170070201111008
Nadinne Ilma Zahra 170070201111009

SMF/LABORATORIUM OBSTETRI GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
RUMAH SAKIT UMUM DR.SAIFUL ANWAR MALANG
2018
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sekitar delapan juta perempuan setiap tahun mengalami komplikasi


kehamilan dan lebih dari setengah juta diantaranya meninggal dunia, dimana
99% terjadi di negara berkembang. Angka kematian akibat komplikasi kehamilan
dan persalinan di negara maju yaitu 1 dari 5000 perempuan, dimana angka ini
jauh lebih rendah dibandingkan di negara berkembang, yaitu 1 dari 11
perempuan meninggal akibat komplikasi kehamilan dan persalinan (Perkumpulan
Obstetri Dan Ginekologi Indonesia, 2016). Tiga penyebab utama kematian ibu
adalah perdarahan (30%), hipertensi dalam kehamilan (25%), daninfeksi
(12%).Preeklampsia, yang didefinisikan sebagai hipertensi disertai dengan
proteinuria, merupakan gangguan multisistem yang berkembang pada kehamilan
(biasanya terjadi pada usia kehamilan lebih dari 20 minggu sampai 2 minggu
post-partum) dan mempersulit 2-8% dari seluruh kehamilan (Young et al., 2010).

Penyakit hipertensi dalam kehamilan merupakan penyebab tersering


kedua morbiditas dan mortalitas perinatal. Bayi dengan berat badan lahir rendah
atau mengalami pertumbuhan janin terhambat juga memiliki risiko penyakit
metabolik pada saat dewasa. Penanganan preeklampsia dan kualitasnya di
Indonesia masih beragam di antara praktisi dan rumah sakit. Hal ini disebabkan
bukan hanya karena belum ada teori yang mampu menjelaskan patogenesis
penyakit ini secara jelas, namun juga akibat kurangnya kesiapan sarana dan
prasarana di daerah (Perkumpulan Obstetri Dan Ginekologi Indonesia, 2016).

Di Indonesia, berdasarkan data Survei Demografi dan Kesehatan


Indonesia (SDKI) tahun 2012, diperoleh Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia
sebesar 359 per 100.000 kelahiran hidup sedangkan Angka Kematian Bayi
(AKB) sebesar 32 bayi per 1.000 kelahiran hidup. Angka ini masih cukup jauh
dari target yang harus dicapai dalam Millennium Development Goals (MDGs)
pada tahun 2015, yaitu sebesar 102 kematian per 100.000 kelahiran hidup untuk
AKI dan 17 per 1.000 kelahiran hidup untuk AKB (Kementrian Kesehatan RI,
2013). Secara nasional, angka kejadian preeklampsia dan eklampsia di
Indonesia berkisar antara 27,1% pada tahun 2013. Ini merupakan bukti bahwa

2
preeklampsia merupakan penyebab kematian ibu terbanyak kedua pada
kehamilan setelah perdarahan (30,3%)(Kemenkes RI, 2013).Mengingat berbagai
masalah yang bisa muncul akibat preeklampsia, maka penting bagi mahasiswa
kedokteran untuk memahami tentang penyakit tersebut. Sehingga disusun
laporan kasus ini sebagai upaya penulis dalam meningkatkan keilmuannya.

1.2 Tujuan
Laporan kasus ini bertujuan untuk membahas satu pasien dengan
diagnosa preeklampsia berat di RSUD Ngudi Waluyo Wlingi, sehingga diketahui:
a. Prosedur penegakan diagnosis preeklampsia berat yang benar.
b. Manajemen penatalaksanaan preeklampsia berat dan prognosisnya

1.3 Manfaat

Penulisan laporan kasus ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan


dan pemahaman dokter muda mengenai preeklampsia berat dalam hal
pelaksanaan anamnesa dan diagnosis, penanganan awal, serta merujuk yang
benar

3
BAB 2

LAPORAN KASUS

2.1 Identitas
No Reg : 218xxx
Nama : Ny. NF
Umur : 38 tahun
Agama : Islam
Suku : Jawa
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Status : Menikah 2x
Lama Menikah : Pernikahan pertama selama 4 tahun, pernikahan kedua
selama 6 tahun
Suami : Tn. H
Umur : 41 tahun
Agama : Islam
Suku : Jawa
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Purworejo 5/1 Sanan Kulon
Tanggal MRS : 11 Januari 2018

2.2 Subjektif
Ny. NF/ 38 tahun/ menikah 2x, pernikahan pertama selama 4 tahun dan
pernikahan kedua selama 6 tahun/G3P2002Ab000 / KB : lepas IUD 1 tahun yang
lalu/ HPHT 13 April 2017 ∞ 39-40 minggu/TP: 20 Januari 2018
2.2.1 Keluhan Utama
“Kenceng-Kenceng”
2.2.2 Perjalanan Penyakit
11-1-2018 12.30 Pasien mengeluh kencang-kencang, lalu pasien pergi
ke puskesmas
Di puskesmas, dilakukan VT dengan pembukaan 3 cm, lalu
diobservasi 2 jam pembukaan menjadi 6 cm

4
11-1-2018 19.00 diobservasi kembali,pembukaan 6 cm  rujuk RSUD
Wlingi.
Keluhan berupa pusing, pandangan kabur, dan nyeri ulu hati
disangkal.

Hari Pertama Haid Terakhir (HPHT) : 13 April 2017


Taksiran Persalinan : 20 Januari2018
Menarche : 12 tahun
Siklus Haid : 28 hari
Lama Haid : 7 hari
ANC : 5x di bidan
Sp.OG -
Alergi Obat dan Makanan : Tidak ada

2.2.3 Riwayat Pernikahan


Menikah 2 kali, pernikahan pertama selama 4 tahun, pernikahan kedua
selama6 tahun

2.2.4 Riwayat Kehamilan/Persalinan


1. Laki-laki/ 2900 gr/ 6 thn/ SpOG/ H
2. Laki-laki/ 2900 gr/ SCTP a/i fetal compromised/ 4thn/H
3. Hamil ini

2.2.5 Riwayat Kontrasepsi


Menggunakan IUD, dilepas 1 tahun yang lalu

2.2.6 Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien menyatakan tekanan darahnya pernah tinggi saat usia
kehamilan 4 bulan, namun tidak pernah dikontrol dan diobati , riwayat
kencing manis disangkal, riwayat kejang disangkal, kaki bengkak di
sangkal.

5
2.2.7 Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat tekanan darah tinggi dan kencing manis dalam keluarga
disangkal.

2.2.8 Riwayat Pengobatan


Pasien menjalani ANC sebanyak 5x di bidan.

2.2.9 Riwayat Sosial


Pasien seorang ibu rumah tangga

2.3 Obyektif
KU : Cukup, CM
TB: 140 cm
BB : 64 kg
TD : 170/110 mmHg
N: 80x/m
RR :20 x/m
Tax: 36 C
K/L : an (-/-) ict -/-
Th: C/ S1-S2 tunggal murmur (-)
P/ rh ≡│≡ , wh ≡│≡
Abd: TFU : 33 cm , letak bujur U, TBJ: 3255 gr DJJ: 145x/mnt His : (+) 10” 4
30-40’
VT : Ø 6 cm, eff 100% , H1, ketuban (-), presentasi kepala, denominator
sutura sagitalis melintang, UPD relatif sempit

Lab:
DL : 14,4/24.300/41,9/326.000

USG:
Tampak janin intrauterine T/H
Letak bujur kepala dbawah
BPD : 9,28 cm (37w5d)
AC : 31.,39 cm (36w2d)
FL : 7,62 cm (39w0d)

6
AFI : 12
EFW : 3107 gram
Plasenta implantasi di corpus posterior
Maturasi grade 3

CTG :
Baseline : 140x/menit
Variability : 5-25 bpm
Acc (+)
Dec (-)
Kategori I

Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium (11 Januari 2018)
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai rujukan
Hematologi
Hemoglobin 13.30 g/dL 11.4-15.1
Leukosit 12,17 103/µL 4.700 -11.300
Hematokrit 36,40 % 38-42
Trombosit 242 103/µL 142-424
Faal Ginjal
Ureum 14 mg/dL 20-45

Creatinin 1,61 mg/dL 0,5-1,5


Faal Hati
SGOT 33 U/L <37
SGPT 26 U/L <41
Albumin 3,26 gr% 3,8-5,0
Metabolisme Glukosa
GDA 126 mg/dL 70-120

Urinalisis (11Januari 2018)


Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai rujukan
Urinalisis
Kekeruhan Keruh Jernih
Warna Kuning Kuning
Glukosa Negatif Negatif
Protein ++ Negatif
Keton ++ Negatif

7
2.4 Assessment
G3P2002Ab000 part 39-40 mgg T/H
+ kala I fase aktif memanjang
+ AOD e.c CPD
+ PEB
+ Bekas SC

2.5 Planning
PDx :Darah Lengkap, Faal Hepar, LDH, Urine Lengkap, CTG, USG
PTx :
-Bolus MgSO4 4 gram 20% IV pelan, lanjut MgSO4 6 gram dalam 1
gram/jam s.d 24jam post OP

- Nifedipin 3x10 mg IV

- Metildopa 2x500 mg IV

-Pro terminasi dengan SCTP + MOW


PMo : Observasi vital sign, keluhan, his, kemajuan persalinan, DJJ
PEd : KIE (Komunikasi, Infomasi, Edukasi) pasien dan keluarga tentang:
- Kondisi pasien
- Prosedur tindakan medis yang akan dilakukan
- Efek samping dan komplikasi dari tindakan yang dilakukan
- Prognosis

2.6 Outcome
Bayi lahir dengan jenis kelamin perempuan pada tanggal 11 Januari 2018, pukul
23.20 WIB. Berat bayi 3000 gram, panjang 48 cm, dengan APGAR score 6-7.

8
2.7 Follow Up

Tanggal/Ja S O A P
m
12-01-2018 Nyeri luka KU : Cukup, CM P3003Ab000 post PDx : DL 2
00.30 post TB : 140 cm SC+IUD H0 a.i. jam post SC
operasi BB : 64 kg KIFA PTx
TD : 170/110 mmHg memanjang+AO  Drip
N : 80x/m D e.c. oxytocin 28
RR : 20 x/m CPD+PEB+BSC tpm s.d. 12
Tax : 36 C jam post
SC
K/L : an (-/-) ict -/-
 Injeksi
Th : C/ S1-S2 tunggal
ketorolac
murmur (-) 3x10 mg IV
P/ rh ≡│≡ , wh ≡│≡ (pukul
Abd: TFU : setinggi 08.00)
pusat  Injeksi
Kalnex
3x500 mg
IV) (pukul
08.00)
 Injeksi
ceftriaxone
2x1 gram
IV (pukul
09.00)
 Injeksi
ranitidine
2x50 mg IV
(pukul
09.00)
 Infus SM 6
gram dalam
RD 5% 1
gram/jam
(I) (pukul
03.00) s.d.
24 jam post
sc
 Injeksi
metoclopra
mie 3x1
gram
12-01-2018 Nyeri luka KU : Cukup, CM P3003Ab000 post Terapi
post TB : 140 cm SC+IUD H1 a.i. IVOral
operasi BB : 64 kg KIFA  Cefadroxil
TD : 110/80 mmHg memanjang+AO 3x1
N : 80x/m D e.c.  Asam
RR : 20 x/m CPD+PEB+BSC Mefenamat
Tax : 36 C 3x500 mg
K/L : an (-/-) ict -/-  Roboransia
Th : C/ S1-S2 tunggal 1x1
murmur (-)  Metergin
3x1
P/ rh ≡│≡ , wh ≡│≡
Abd: TFU : 2 jari

9
dibawah pusat
GE : flux (-), lochia (+),
kontraksi (+) baik

13-01-2018 Nyeri luka KU : Cukup, CM P3003Ab000 post PDx : UL


post TB : 140 cm SC+IUD H2 a.i. PTx :
operasi BB : 64 kg KIFA Terapi
TD : 120/80 mmHg memanjang+AO IVOral
N : 80x/m D e.c.  Cefadroxil
RR : 20 x/m CPD+PEB+BSC 3x1
Tax : 36 C  Asam
K/L : an (-/-) ict -/- Mefenamat
3x500 mg
Th : C/ S1-S2 tunggal
 Roboransia
murmur (-)
1x1
P/ rh ≡│≡ , wh ≡│≡
 Methergin
Abd: luka op tertutup 3x1
kasa kering
GE : flux (-), lochia (+), Boleh pulang
kontraksi (+) baik setelah hasil
UL keluar
14-01-2018 Nyeri luka KU : Cukup, CM P3003Ab000 post Pasien KRS
post TB : 140 cm SC+IUD H3 a.i. PTx
operasi BB : 64 kg KIFA  Cefadroxil
TD : 120/80 mmHg memanjang+AO 3x1
N : 80x/m D e.c.  Asam
RR : 20 x/m CPD+PEB+BSC Mefenamat
Tax : 36 C 3x500 mg
K/L : an (-/-) ict -/-  Roboransia
1x1
Th : C/ S1-S2 tunggal
 Methergin
murmur (-)
3x1
P/ rh ≡│≡ , wh ≡│≡
Abd: luka op tertutup
kasa kering
GE : flux (-), lochia (+),
kontraksi (+) baik

DL :
10,9/22.800/34,5/278.0
00

UL :
Warna kuning agak
keruh, albumin (+),
keton (-)

10
BAB 3

PERMASALAHAN

1. Apa saja faktor risiko terjadinya preeklampsia berat pada pasien ini?

2.Bagaimana penegakkan diagnosis preeklampsia beratpada pasien ini?

3.Bagaimana manajemen penatalaksanaan preeklampsia beratpada pasien ini?

4.Apa komplikasi preeklampsia beratpada pasien ini?

5. Bagaimana prognosis preeklampsia berat pada pasien ini?

11
BAB 4

TINJAUAN PUSTAKA

4.1 DiagnosisPreeklampsia

4.1.1 Definisi

Preeklampsia merupakan kondisi spesifik pada kehamilan yang ditandai


dengan adanya disfungsi plasenta dan respon maternal terhadap adanya
inflamasi sistemik dengan aktifasi endotel dan koagulasi. Adapun definisi lain,
preeklampsia adalah suatu keadaan hipertensi (tekanan darah lebih dari 140/90
mmHg) yang terjadi pada usia kehamilan 20 minggu atau lebih disertai dengan
proteinuria. Apabila Preeklampsia disertai dengan beberapa gejala klinis yang
meningkatkan morbiditas dan mortalitas, maka dikategorikan sebagai
pemberatan preeklampsia atau preeklampsia berat(Perkumpulan Obstetri Dan
Ginekologi Indonesia, 2016). Penderita preeklampsia yang disertai beberapa
gejala seperti nyeri kepala hebat, gangguan visus, muntah-muntah, nyeri
epigastrium dan kenaikan tekanan darah yang progesif disebut dengan
impending eklampsi (Norwitz, 2008).

4.1.2 Klasifikasi Preeklampsia

Preeklamsia dan eklamsia dikelompokkan oleh Kementerian Kesehatan


Republik Indonesia menjadi 4 kelompok yaitu:

a. Preeklampsia ringan
Preeklamsia ringan didiagnosis bila tekanan darah maternal > 140/90
mmHg pada usia kehamilan > 20 minggu dan tes dipstick menunjukkan
proteinuria +1 atau pemeriksaan protein kuantitatif menunjukkan hasil >300
mg/24 jam.
b. Preeklampsia berat
Preeklamsia berat didiagnosis bila tekanan darah maternal > 160/110
mmHg pada usia kehamilan > 20 minggu, tes dipstick menunjukkan
proteinuria > +2 atau pemeriksaan kuantitatif menunjukkan hasil > 5g/24
jam, atau disertai keterlibatan organ lain seperti trombositopenia (<100.000
sel/uL), hemolisis mikroangiopati, peningkatan SGOT/SGPT, nyeri

12
abdomen kuadran atas, nyeri kepala, skotoma penglihatan, pertumbuhan
janin terhambat, oligohidramnion, edema paru/gagal jantung kongestif,
oligouria (<500ml/24 jam), dan kreatinin > 1,2 mg/dL.
c. Superimposed preeklamsia pada hipertensi kronik
Superimposed preeklampsia pada hipertensi kronik didiagnosis bila
maternal memiliki riwayat hipertensi kronik (sudah ada sebelum usia
kehamilan 20 minggu) dan tes dipstick menunjukkan proteinuria >+1 atau
trombosit < 100.000 sel/uL pada usia kehamilan > 20 minggu.
d. Eklampsia
Eklampsia didiagnosa bila maternal mengalami kejang umum dan/atau
koma, ada gejala preeklamsia, dan tidak ada kemungkinan penyebab lain
(misalnya epilepsi, perdarahan subaraknoid, dan meningitis).

4.1.3 Patofisiologi

Banyak teori telah dikemukakan tentang terjadinya hipertensi dalam


kehamilan, tetapi tidak ada satu pun teori tersebut yang dianggap mutlak benar,
teori-teori yang sekarang banyak dianut adalah:
 Teori kelainan vaskularisasi plasenta
 Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel
 Teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin
 Teori adaptasi kardiovaskular
 Teori genetik
 Teori defisiensi gizi
 Teori inflamasi (Prawirohardjo, 2011).

Selama kehamilan normal, vili sitotrofoblas masuk ke sepertiga bagian


dalam miometrium, dan spiral arteri kehilangan endotelium dan sebagian besar
serabut otot mereka. Modifikasi struktural tersebut berhubungan dengan
perubahan fungsional, sehingga spiral arteri menjadi pembuluh resistensi
rendah, dan dengan demikian kurang sensitif, atau bahkan tidak sensitif,
terhadap zat vasokonstriksi (Uzan, J et al., 2011). Akibatnya, aliran darah ke
janin cukup banyak dan perfusi jaringan juga meningkat, sehingga dapat
menjamin pertumbuhan janin dengan baik (Prawirohardjo, 2011).

Preeklampsia memiliki patofisiologi yang kompleks, penyebab utamanya


adalah plasentasi yang abnormal. Gangguan invasi dari arteri spiralis oleh sel

13
sitotrofoblas diamati selama pra-eklampsia. Studi terbaru menunjukkan bahwa
invasi sitotrofoblas pada rahim sebenarnya merupakan jalur diferensiasi yang
unik di mana sel-sel janin mengambil sifat tertentu dari endotelium maternal yang
biasanya mereka ganti. Pada pre-eklampsia, terdapat kesalahan dalam proses
diferensiasi ini. Kelainan mungkin berhubungan dengan jalur nitric oxide, yang
memberi kontribusi besar terhadap pengendalian tonus pembuluh darah. Selain
itu, penghambatan sintesis oksida nitrat maternal mencegah terjadinya implantasi
embrio. Peningkatan resistensi arteri uterus meningkatkan sensitivitas terhadap
vasokonstriksi, sehingga menyebabkan iskemia plasenta kronis dan stres
oksidatif. Iskemia plasenta kronis ini menyebabkan komplikasi pada janin,
termasuk retardasi pertumbuhan intrauterine dan kematian intrauterin. Secara
paralel, stres oksidatif menginduksi pelepasan dari zat-zat seperti radikal bebas,
lipid teroksidasi, sitokin, dan faktor pertumbuhan endotel vascular yang dapat
terlarut dalam serum ke dalam sirkulasi maternal. Kelainan ini bertanggung jawab
atas disfungsi endotel vaskular dengan hiperpermeabilitas, trombofilia, dan
hipertensi, hal ini ditujukan untuk mengimbangi penurunan aliran arteri uterus
akibat vasokonstriksi perifer (Cunningham, et al., 2010; Uzan, J et al., 2011).

Gambar 4.1 Patofisiologi Preeklamsia

Disfungsi endotel bertanggung jawab terhadap tanda-tanda klinis pada


ibu, seperti kerusakan pada endotel hepar yang berkonstribusi pada sindrom
HELLP (Hemolysis, Elevated Liver enzymes and Low Platelet count), kerusakan
pada endotel serebri menyebabkan gangguan neurologis refrakter, atau bahkan

14
eclampsia. Berkurangnya faktor pertumbuhan endotel vaskular pada podosit
menyebabkan endoteliosis lebih bisa memblok diafragma slit pada membrana
basalis, menyebabkan penurunan lebih lanjut terhadap filtrasi glomerulus dan
menyebabkan proteinuria (Uzan, J et al., 2011).

Dua teori umum yang tampaknya saling terkait, yaitu, teori genetik dan
teori imunologi. Adanya beberapa gen yang rentan mungkin merupakan
penyebab pre-eklampsia. Gen ini mungkin berinteraksi dalam sistem hemostatik
dan kardiovaskular, serta dalam respon inflamasi. Beberapa telah diidentifikasi,
dan dalam beberapa studi kandidat gen telah memberikan bukti adanya kaitan
(pre-eklamsia) terhadap beberapa gen, termasuk angiotensinogen pada 1-q42-
43 dan eNOS pada 7q36; lokus penting utama lainnya adalah 2p12, 2p25, 9p13,
dan 10q22. (Uzan, J et al., 2011).

Pre-eklampsia dapat dianggap sebagai gangguan dari sistem kekebalan


tubuh ibu yang mencegahnya untuk mengenali unit fetoplasenta. Produksi
berlebihan dari sel-sel kekebalan tubuh menyebabkan sekresi tumor necrosis
factor alpha yang menginduksi apoptosis dari sitotrofoblas ekstravili. Sistem
antigen leukosit manusia (HLA) juga tampaknya memainkan peran dalam invasi
yang tidak sempurna dari arteri spiralis, pada wanita dengan pre-eklampsia
menunjukkan kurangnya tingkat HLA-G dan HLA-E. Selama kehamilan normal,
interaksi antara sel-sel ini dan trofoblas adalah karena sekresi faktor
pertumbuhan endotel vaskular dan faktor pertumbuhan plasenta oleh sel-sel
pembunuh alami (NK). Tingginya kadar larut fms-like tyrosine kinase 1 (sFlt-1),
antagonis faktor pertumbuhan endotel vaskular dan faktor pertumbuhan
plasenta, telah ditemukan pada wanita dengan pre-eklampsia. Oleh karena itu,
tes dari sFlt-1, faktor pertumbuhan plasenta, endoglin, dan faktor pertumbuhan
endotel vaskular, semuanya meningkat 4-8 minggu sebelum timbulnya penyakit,
hal ini mungkin berguna sebagai indikator dari pre-eklampsia. Data terbaru
menunjukkan peran protektif dari heme oxygenase 1 dan metabolitnya, karbon
monoksida, pada kehamilan, dan mengidentifikasi hal ini sebagai target potensial
dalam pengobatan pre-eklampsia (Uzan, J et al., 2011).

15
4.2 Faktor Resiko

Alladin (2012) menyebutkan bahwa faktor resiko preeklamsia antara lain


adalah:

1. Kehamilan pertama
2. Usia maternal < 18 tahun
3. Usia maternal > 35 tahun
4. Riwayat medis sebelumnya (hipertensi, diabetes mellitus, riwayat
preeklampsia, penyakit autoimun, penyakit polikista ovarii, dan
penyakit ginjal)
5. Obesitas
6. Ras maternal Afrika-Amerika
7. Riwayat keluarga

4.3Penegakan Diagnostik

4.3.1 Anamnesis
Sebagai bagian dari penyaringan prenatal, wanita hamil harus ditelaah
dari faktor resiko yang potensial membahayakan kehamilannya. Maka pada
kasus ini ditanyakan mengenai riwayat obstetri terutama terjadinya hipertensi
pada kehamilan sebelumnya.Riwayat kesehatan keseluruhan mutlak ditelusuri
dan diidentifikasi kondisi medis yang meningkatkan resiko terhadap kejadian
preeklampsia antara lain diabetes melitus, hipertensi, penyakit vaskuler, dan lain-
lain.Pada kunjungan antenatal setelah usia kehamilan 20 minggu, wanita hamil
harus ditanyakan terhadap timbulnya gejala khas seperti gangguan penglihatan,
nyeri kepala yang menetap, nyeri epigastrium atau nyeri perut bagian atas dan
edema yang berlebihan(Alladin,2012).

Beberapa gejala klinis meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada


preeklampsia, dan jika gejala tersebut didapatkan, akan dikategorikan menjadi
kondisi pemberatan preeclampsia atau disebut dengan preeklampsia berat.
Kriteria gejala dan kondisi yang menunjukkan kondisi pemberatan preeklampsia
atau preklampsia berat adalah salah satu dibawah ini; (American College of
Obstetricians and Gynecology, 2014)

16
1. Tekanan darah sekurang-kurangnya 160 mmHg sistolik atau 110 mmHg
diastolic pada dua kali pemeriksaan berjarak 15 menit menggunakan
lengan yang sama
2. Trombositopenia: trombosit < 100.000 / microliter
3. Gangguan ginjal: kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan
peningkatan kadar kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada
kelainan ginjal lainnya
4. Gangguan liver: peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal dan
atau adanya nyeri di daerah epigastrik / regio kanan atas abdomen
5. Edema Paru
6. Didapatkan gejala neurologis: stroke, nyeri kepala, gangguan visus
7. Gangguan pertumbuhan janin menjadi tanda gangguan sirkulasi
uteroplasenta

Beberapa penelitian terbaru menunjukkan rendahnya hubungan antara


kuantitas protein urin terhadap luaran preeklampsia, sehingga kondisi protein
urin masif (lebih dari 5 g) telah dieleminasi dari kriteria pemberatan preeklampsia
(preeklampsia berat). Kriteria terbaru tidak lagi mengkategorikan lagi
preeklampsia ringan, dikarenakan setiap preeclampsia merupakan kondisi yang
berbahaya dan dapat mengakibatkan peningkatan morbiditas dan mortalitas
secara signifikan dalam waktu singkat. (American College of Obstetricians and
Gynecology, 2014)

4.3.2 Pemeriksaan Fisik


Tekanan darah harus diperiksa pada setiap kunjungan antenatal.
Tekanan darah diukur setelah beristirahat 10 menit atau lebih, saat dilakukan
pengukuran tekanan darah, wanita hamil harus berada pada posisi terlentang
atau miring kekiri, atau pada posisi setengan duduk (Alladin,2012). Terdapat
kesepakatan bahwa tekanan darah sebesar 140/90 mmHg adalah abnormal,
karena tekanan darah arteri istirahat yang normal lebih rendah pada wanita hamil
daripada yang tidak hamil (Cunningham et. al, 2010).

Tinggi fundus uteri harus diukur pada setiap kunjungan antenatal, karena
pertumbuhan yang tidak sesuai dengan usia kehamilan dapat mengindikasikan
terjadinya IUGR atau Oligohidramnion. Kondisi ini mungkin dapat timbul terlebih
dahulu sebelum diagnosa preeklampsia ditegakkan (Berks, 2009).Peningkatan

17
edema pada muka serta penambahan berat badan yang berlebihan harus
mendapat perhatian karena retensi cairan seringkali berhubungan dengan
preeklamsia. Apabila ditemukan kondisi ini, dilakukan pemeriksaan terhadap
adanya hipertensi dan proteinuria. Edema yang terjadi pada tungkai bawah
merupakan kejadian yang dapat timbul pada semua kehamilan sehingga tidak
begitu penting dalam mendiagnosa preeklamsia.

4.3.3 Pemeriksaan Laboratorioum


Kadar asam urat dalam serum pernah digunakan sebagai indikator
terjadinya preeklamsia, namun kemudian diketahui memiliki sensitivitas dan
spesifikasi yang rendah (Frishman, 2006). Walaupun demikian peningkatan
asam urat dalam serum dapat digunakan untuk mengidentifikasi wanita hamil
dengan hipertensi kronis yang memiliki kecenderungan mengalami preeklamsia
superimposed.

Pemeriksaan laboratorium standar harus dilakukan lebih awal pada


kehamilan. Pada wanita yang beresiko tinggi mengalami preeklamsia.
Pemeriksaan tersebut meliputi pemeriksaan kadar enzym hepar, hitung
trombosit, kadar kreatinin serum dan pengumpulan urine 12 hingga 24 jam untuk
pengukuran kadar protein total. Pengukuran kadar protein juga dapat dilakukan
dengan menggunakan dipstick.

Setelah diagnosa preeklamsia ditegakkan, pemeriksaan laboratorium


lanjutan harus dilakukan. Pada preeklamsia yang tidak menunjukkan
progresifitas, uji laboratorium dapat dilakukan per minggu. Pada pre eklamsia
yang progresif pemeriksaan tersebut harus dilakukan lebih sering.

4.3.4 Pemeriksaan Penunjang Lain


Pemeriksaan Sonografi (USG) awal dipertimbangkan dilakukan pada usia
kehamilan 25 hingga 28 minggu untuk menilai pertumbuhan janin pada wanita
hamil yang berisiko tinggi mengalami preeklampsia. Pada wanita yang telah di
diagnosa mengalami preeklampsia, uji autepasilum seperti:non-stress test(NST),
profil biosfarik sebaiknya dilakukan setiap minggu, dimulai sejak ditegakkannya
diagnosa. Jika dicurigai terjadi IUGR atau oligo hidramnion, uji tersebut
sebaiknya dilakukan 2 kali dalam 1 minggu. Terminasi kehamilan
dipertimbangkan untuk dilakukan bila ditemukan kondisi fetal compromise.
Terminasi segera dilakukan juga bila dijumpai kecurigaan solusio plasenta dan
kesejahteraan janin yang terganggu.

18
4.4 Penatalaksanaan

4.4.1 Penatalaksanaan Preeklampsia Ringan


Hal yang perlu diperhatikan dalam penatalaksanaan preeklampsia
riangan adalah keselamatan dari ibu dan janin serta pemilihan cara persalinan.
Langkah-langkah penatalaksanaannya pun tergantung dari hasil evaluasi
keadaan ibu dan janin, usia kehamilan, ada tidaknya pecah ketuban, perdarahan
vagina, dan permintaan dari pasien sendiri (American College of Obstetricians
and Gynecology, 2014; Royal College of Physicians of Ireland, 2013).

Tujuan utama dari penatalakasanaan preeklampsia ringan adalah


mencegah kejang, perdarahan intrakranial, gangguan fungsi organ vital sehingga
dapat melahirkan bayi yang sehat (Prawirohardjo, 2011).
a. Penatalaksanaan Antepartum
Pasien dapat dirawat secara rawat jalan. Ketika pasien mulai terdiagnosis
sampai pasien melahirkan, maka perlu dilakukan monitoring ketat
mengenai terhadap keluhan terutama yang mengarah ke tanda-tanda
adanya preeklampsia berat (impending eclampsia) seperti ada tidaknya
nyeri kepala hebat, pengelihatan kabur, nyeri epigastrik, dan sesak napas.
Keluhan mengenai gerakan janin juga perlu ditanyakan. Pasien diminta
melakukan ANC secara rutin untuk mengetahui status janin dan jika perlu
USG untuk mengetahui pertumbuhannya. Pengukuran tekanan darah 2 kali
seminggu dan penghitungan jumlah trombosit, enzim liver, dan
ureum/kreatinin secara mingguan perlu dilakukan (American College of
Obstetricians and Gynecology, 2014; Royal College of Physicians of
Ireland, 2013; Prawirohardjo, 2011).

Pasien diberikan KIE untuk banyak istirahat dengan tidur miring namun
tirah baring lama tidak dianjurkan karena dapat meningkatkan resiko
tromboemboli. Obat anti hipertensi juga tidak perlu diberikan dan tidak ada
batasan jumlah garam dalam konsumsi makanan selama fungsi ginjalnya
masih bagus. Pasien disarankan banyak makan cukup protein, rendah
karbohidrat, lemak, garam secukupnya dan diberikan tambahan roboransia
pranatal (American College of Obstetricians and Gynecology, 2014; Royal
College of Physicians of Ireland, 2013; Prawirohardjo, 2011).

Pada keadaan tertentu, pasien perlu dirawat di rumah sakit. Kriteria untuk
rawat inap antara lain bila tidak ada perbaikan tekanan darah dan kadar

19
proteinuri selama 2 minggu dan adanya satu atau lebih gejala dan tanda-
tanda preeklampsia berat.

b. Penatalaksanaan Intrapartum
Jika pasien sudah menunjukkan tanda-tanda in partu dan usia kehamilan
memasuki atau lebih dari 37-38 minggu atau apabila usia kehamilan 34-35
minggu atau lebih dengan tanda-tanda perburukan maka dapat dilakukan
induksi persalinan. Pada kehamilan aterm (> 37 minggu),persalinan
ditunggu sampai terjadi onset persalinan dan dipertimbangkan untuk
melakukan induksi pada taksiran tanggal persalinan. Persalinan dapat
dilakukan secara spontan (American College of Obstetricians and
Gynecology, 2014; Prawirohardjo, 2011).
Pada kehamilan preterm (< 37 minggu) apabila tidak didapatkan tanda-
tanda perburukan maka observasi dapat dilanjutkan dan induksi persalinan
dapat dilakukan setelah usia kehamilan aterm (American College of
Obstetricians and Gynecology, 2014; Prawirohardjo, 2011)
Pemberian profilaksis magnesium sulfat hanya diberikan apabila ada
keluhan seperti nyeri kepala, perubahan status mental, pandangan kabur,
stomata, klonus, dan nyeri perut di kuadran kanan atas (American College
of Obstetricians and Gynecology, 2014)

Gambar 4.2 Penatalaksanaan Preeklampsia Ringan Intrapartum

20
(Perkumpulan Obstetri Dan Ginekologi Indonesia, 2016)

4.4.2 Penatalaksanaan Preeklampsia Berat


Pada penatalaksanaan preeklampsia berat maka perlu diperhatikan
mengenai usia kehamilannya. Penatalaksanaan preeklampsia mencakup
pencegahan kejang, pengobatan hipertensi, pengelolaan cairan, pelayanan
suportif terhadap penyulit organ yang terlibat, dan saat yang tepat untuk
persalinan (Prawirohardjo,2011).

Pasien dengan preeklampsia berat harus segera masuk ke rumah sakit


dilanjurkan tirah baring miring ke kiri. Secara umum perlu dilakukan monitoring
ketat terhadap tanda-tanda vital dan produksi urin serta saturasi oksigen.
Keadaan janin dipantau menggunakan CTG. Pemeriksaan laboratorium diulang
setiap 12 jam. Apabila ditemukan hasil yang abnormal, pemeriksaan dapat
diulang setiap 4-8 jam. Pemeriksaan yang diperlukan antara lain darah lengkap,
faal hati, faal hemostasis, dan serum elektrolit. (Royal College of Physicians of
Ireland, 2013).

Untuk mencegah kejang dapat diberikan obat anti kejang. Magnesium


sulfat (SM) sampai saat ini tetap menjadi pilihan pertama. Cara pemberiannya
sebagai berikut:
- Loading dose: initial dose4 gram SMIV (40% dalam 10 cc) selama 15
menit
- Maintenance dose: Diberikan infus 6 gram dalam larutan ringer/6 jam atau
diberikan 4 atau 5 gram IM selanjutnya diberikan 4 gram IM tiap 4-6 jam
- Syarat-syarat pemberian yaitu tersedia Ca glukonas sebagai antidotum,
refleks patella (+) kuat, dan RR > 16 kali/menit
- Dihentikan bila terdapat tanda-tanda intoksikasi atau setelah 24 jam
pasca persalinan atau 24 jam setelah kejang terakhir
- Bila terjadi refrakter dapat diberikan salah satu obat berikut yaitu tiopental
sodium, sodium amobarbital, diazepam, atau fenitoin (Prawirohardjo,
2011).

Pada pasien preeklampsia berat, dianjurkan untuk menggunakan obat


antihipertensi. Tujuan terapi pada wanita tanpa penyakit penyerta sebelumnya
adalah sistolik antara 130-155 mmHg dan diastolik 80-105 mmHg. Pada wanita
dengan penyakit penyerta sebelumnya seperti diabetes atau gangguan ginjal,

21
maka sistolik antara 130-139 mmHg dan diastolik 80-89 mmHg. Pemberian obat
dilakukan satu jenis terlebih dahulu kemudian ditingkatkan dosisnya hingga dosis
maksimal sampai mencapai tujuan tekanan darah yang diinginkan. Apabila tidak
tercapai, dapat diberikan dua jenis obat secara bersamaan (Royal College of
Physicians of Ireland, 2013; Prawirohardjo, 2011).

Rekomendasi obat yang dapat diberikan antara lain:


a. Nifedipin dengan dosis awal 10-20 mg diulangi 30 menit bila perlu. Dosis
maksimal 120 mg/ 24 jam. Obat ini merupakan antihipertensi poten dan
pemberiannya tidak boleh dilakukan sublingual karena menyebabkan
penurunan darah yang cepat sehingga dapat menimbulkan fetal distress
b. Labetolol dengan dosis awal 100 mg 2-3x/hari sampai maksimal 2,4 gr
(600 mg 4x/hari). Kontraindikasi pada pasien asma.
c. Metildopa dengan dosis 250mg 3x/hari ditingkatkan sampai maksimal 1 gr
3x/hari. Efek terapeutik baru muncul setelah 24 jam. Obat ini
menimbulkan efek samping berupa sedasi dan depresi.

Resiko terjadinya edema paru dan oligouria pada pasien preeklampsia


berat tinggi sehingga perlu dilakukan pengelolaan cairan yang tepat dengan
memonitoring input dan output cairan. Cairan yang dapat diberikan RD5 <125
cc/jam atau infus D5 yang setiap 1 liternya diselingi dengan RL 60-125 cc/jam.
Untuk memonitorng output cairan dapat dipasang Foley catheter (Prawirohardjo,
2011). Pasien dengan preeklampsia beresiko tinggi untuk terkena penyakit
tromboemboli. Oleh karena itu, semua pasien seharusnya mendapatkan heparin
baik saat sebelum maupun setelah pasien mobilisasi penuh pasca melahirkan
(Royal College of Physicians of Ireland, 2013). Apabila terjadi edema paru atau
payah jantung kongestif maupun anasarka dapat diberikan diuretik furosemid.
Pemberian glukokortikoid digunakan untuk pematangan paru janin.
Glukokortikoid diberikan pada kehamilan 32-34 minggu (Prawirohardjo, 2011).

Berdasarkan Williams Obstetrics, ditinjau dari umur kehamilan dan


perkembangan gejala-gejala preeklampsia berat selama perawatan, maka sikap
terhadap kehamilannya dibagi menjadi:
- Aktif (aggresive management) artinya kehamilan segera diakhiri
bersamaan dengan pemberian pengobatan medikamentosa

22
- Konservatif (ekspektatif) artinya kehamilan tetap dipertahankan
bersamaan dengan pemberian pengobatan medikamentosa
(Prawirohardjo, 2011)

Indikasi perawatan aktif ialah bila didapatkan satu/ lebih keadaan di bawah ini:
a. Pada ibu
- Umur kehamilan ≥ 37 minggu
- Adanya tanda/ gejala impending eclampsia
- Kegagalan terapi pada perawatan konservatif antara lain keadaan
klinik dan laboratorium memburuk
- Diduga terjadi solusio plasenta
- Timbul onset persalinan, ketuban pecah, atau perdarahan
b. Pada janin
- Tanda-tanda fetal distress
- Tanda-tanda IUGR
- NST nonreaktif dengan profil biofisik abnormal
- Oligohidroamnion
c. Hasil laboratorium
- Tanda-tanda sindroma HELLP, khususnya menurunnya trombosit
dengan cepat (Prawirohardjo, 2011)

Indikasi perawatan konservatif ialah bila kehamilan preterm ≤ 37 minggu


tanpa disertai tanda-tanda impending eclampsia dengan keadaan janin baik.
Pada perawatan ini, pengobatan yang diberikan sama saat pengelolaan secara
aktif. Loading dose SM cukup diberikan IM saja. Observasi dan evaluasi tetap
dilakukan. SMdihentikan bila ibu sudah mencapai tanda-tanda preeklampsia
ringan selambat-lambatnya dalam waktu 24 jam. Bila setelah 24 jam tidak ada
perbaikan, maka dianggap sebagai kegagalan dan harus dilakukan terminasi.
Pasien boleh dipulangkan jika penderita kembali ke gejala atau tanda
preeklampsia ringan (Prawirohardjo, 2011).

23
Gambar 4.3 Penatalaksanaan Preeklampsia Berat
(Perkumpulan Obstetri Dan Ginekologi Indonesia, 2016).

4.5 Komplikasi

4.5.1 Komplikasi pada Ibu


- Eklampsia
Eklampsia merupakan kasus akut pada penderita preeklampsia yang
disertai dengan kejang menyeluruh dan koma. Komplikasi ini dapat timbul
pada ante, intra, maupun post partum. Eklampsia post partum umumnya
hanya terjadi 24 jam pertama setelah persalinan. Eklampsia selalu didahului
oleh preeklampsia(Prawirohardjo, 2011).
Kejang dimulai dengan kejang tonik selama 15-30 detik kemudian
disusul dengan kejang klonik kurang lebih 1 menit. Kontraksi kemudian
berangsur-angsur melemah dan akhirnya berhenti serta penderita jatuh ke
dalam keadaan koma (Prawirohardjo, 2011).

24
- Sindrom HELLP
Sindroma HELLP ialah preeklampsia-eklampsia disertai timbulnya
hemolisis, peningkatan enzim hepar, disfungsi hepar, dan trombositopenia.
Hemolisis ditandai dengan kenaikan LDH, AST, dan bilirubin indirek. Disfungsi
hepar ditandai dengan kenaikan ALT, AST, dan LDH. Trombositopenia
apabila trombosit ≤ 150.000/ml (Prawirohardjo, 2011).
Berdasarkan kadar trombositnya maka sindroma HELLP diklasifikasi
dengan nama Klasifikasi Mississippi:
1. Kelas 1: Kadar trombosit ≤ 50.000/ml
LDH ≥ 600 IU/l
AST dan/atau ALT ≥ 40 IU/l
2. Kelas 2: Kadar trombosit > 50.000/ml dan ≤ 100.000/ml
LDH ≥ 600 IU/l
AST dan/atau ALT ≥ 40 IU/l
3. Kelas 2: Kadar trombosit > 100.000/ml dan ≤ 150.000/ml
LDH ≥ 600 IU/l
AST dan/atau ALT ≥ 40 IU/l
- Gangguan pada organ lain
o Gangguan sistem saraf pusat: perdarahan intrakranial, trombosis vena
sentral, hipertensi ensefalopati, edema serebri, edema retina, makular
atau retina detachment dan kebutaan korteks
o Gangguan gastrointestinal-hepatik: subskapular hematoma hepar, ruptur
kapsul hepar
o Gangguan ginjal: gagal ginjal akut, nekrosis tubular akut.
o Gangguan hematologi: DIC, trombositopeni, dan hematoma luka operasi
o Gangguan kardiopulmonar: edema paru kardiogenik atau nonkardiogenik,
depresi atau arrest pernapasan, henti jantung, dan iskemia miokardium
o Lain-lain: asites, edema laring, hipertensi yang tidak terkendalikan
(Prawirohardjo,2011).

4.5.2 Komplikasi pada Janin


Komplikasi pada janin berupa abnormalitas pada fetal heart rate,
oligohidroamnion, intrauterine fetal growth restriction (IUGR), sindroma distres
napas, kematian janin intrauterin, kematian neonatal perdarahan intraventrikular,
necrotizing enterocolitis, sepsis, dan cerebral palsy d (Prawirohardjo, 2011).

25
4.5.3 Prognosis

Bila penderita tidak terlambat dalam pemberian pengobatan maka gejala


perbaikan akan tampak jelas setelah kehamilannya diakhiri. Segera setelah
persalinan berakhir perubahan patofisiologik akan segera pula mengalami
perbaikan. Diuresis terjadi 12 jam kemudian setelah persalinan. Keadaan ini
merupakan tanda prognosis yang baik karena hal ini merupakan gejala pertama
penyembuhan. Tekanan darah kembali normal dalam beberapa jam kemudian
(Prawirohardjo, 2011).

Penelitian dari Berks et al. Pada 2009 menunjukkan bahwa tingkat


keparahan dari preeklampsia dan interval waktu antara diagnosis dan terminasi
kehamilan berhubungan dengan waktu resolusi dari hipertensi dan proteinuria
yang terjadi. Resolusi dapat membutuhkan waktu hingga 2 tahun. Oleh karena
itu, menurut penelitian ini diagnosis invasif lebih lanjut untuk mencari penyakit
ginjal sebaiknya ditunda hingga 2 tahun post partum.

Hasil penelitian Cochrane yang membandingkan efek penggunaan rutin


dari obat antihipertensi dengan yang tanpa menggunakan obat menunjukkan
bahwa penggunaan rutin dari furosemid atau nifedipin dianjurkan pada hipertensi
post partum yang berat disertai preeklampsia sebelumnya. Pada wanita yang
telah menggunakan obat anti hipertensi sebelum melahirkan maka
direkomendasikan untuk melanjutkan pengobatannya (WHO, 2011).

26
BAB 5

PEMBAHASAN

5.1 Faktor Resiko

Faktor resiko hipertensi dalam kehamilan diantaranya adalah:

1. Primigravida, primipaternitas
2. Hiperplasentosis, misalnya mola hidatidosa, kehamilan multiple, diabetes
mellitus, hidrops fetalis, bayi besar
3. Umur yang ekstrem
4. Riwayat keluarga pernah preeklampsia/eklampsia
5. Penyakit-penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum hamil
6. Obesitas

Pada kasus ini didapatkan faktor resiko hipertensi dalam kehamilan


berupa: usia pasien > 35 tahun, dan indeks massa tubuh yang berlebih
(overweight)

5.2 Diagnosis

Diagnosis dari kasus ini didapat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan


fisik, dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis, didapatkan pasien berusia
38 tahun dengan status obstetri G3P2002Ab000 dengan umur kehamilan sekitar
39-40 minggu datang ke RSSA dengan keluhan kenceng-kenceng disertai
pusing, pandangan kabur. Pasien menyangkal adanya tekanan darah tinggi
sebelum hamildan selama hamil sebelumnya, namun Pasien menyatakan
tekanan darahnya pernah tinggi saat usia kehamilan 4 bulan, tetapi tidak
pernah dikontrol dan diobati. Pada pemeriksaan fisik, didapatkan keadaan
umum pasien tampak sakit sedang dengan derajat kesadaran compos mentis,
GCS 456. Pasien saat ini memiliki berat badan64 kg dengan tinggi badan
140cm, sebelum hamil berat badan pasien 62 kg, BMI sebesar 27,55 kg/m2,
sehingga pasien dikategorikan dalam berat badan berlebih. Tekanan darah
170/110mmHg Pada kepala, leher, thoraks, dan ekstremitas tidak ditemukan
kelainan. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan tinggi fundus uteri 33 cm
dengan TBJ 3255 gram.

27
Dari pemeriksaan penunjang urinalisis, didapatkan proteinuria sebesar
+2, dan ketonuria sebesar +2. Hasil tersebut menandakan adanya
peningkatan permeabilitas membran basalis glomerulus sehingga terjadi
kebocoran dan mengakibatkan proteinuria.

Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang,


pasien didiagnosis pre eklampsia beratdengan impending eclampsia, karena
pasien memiliki keluhan pusing, pandangan kabur, disertai tekanan darah
tinggi, dan proteinuria +3 pada hasil urinalisis.

5.3 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pada preeklampsia berat tergantung pada usia


kehamilannya. Tujuan pengelolaan pre eklampsia berat mencakup
pencegahan kejang, pengobatan hipertensi, pengelolaan cairan, pelayanan
suportif terhadap penyulit organ yang terlibat, dan mengetahui saat yang tepat
untuk persalinan (Sarwono,2011).
Pasien dengan preeklampsia berat harus segera masuk ke rumah sakit
dilanjurkan tirah baring miring ke kiri. Secara umum perlu dilakukan monitoring
ketat terhadap tanda-tanda vital dan produksi urin serta saturasi oksigen.
Keadaan janin dipantau menggunakan CTG. Pemeriksaan laboratorium
diulang setiap 12 jam. Apabila ditemukan hasil yang abnormal, pemeriksaan
dapat diulang setiap 4-8 jam. Pemeriksaan yang diperlukan antara lain darah
lengkap, faal hati, faal hemostasis, dan serum elektrolit. (Royal College of
Physicians of Ireland, 2013).
Untuk mencegah kejang dapat diberikan obat anti kejang. Magnesium
sulfat (SM) sampai saat ini tetap menjadi pilihan pertama. SM diberikan
sebanyak dua kali yaitu initial dose dan maintenance dose. Menurut Sarwono,
initial dose diberikan 4 gram SM IV (Mg SO4 40% dilarutkan dalam dalam 10
cc aquades) diberikan iv pelan selama 15 menit. Pada pasien ini, SM yang
diberikan menggunakan 4 gram SM 20% sehingga yang diberikan sebanyak
20 cc bolus pelan. Ini dilakukan untuk mengurangi efek samping rasa panas
yang diakibatkan oleh kepekatan dari SM. Selanjutnya maintenance dose,
diberikan berupa infus 6 gr dalam larutan ringer dengan kecepatan 1gr/jam
atau diberikan 4 atau 5 gr secara IM kemudian selanjutnya 4 gr IM tiap 6 jam.

28
Pada pasien ini diberikan SM 40% dalam RD5 500cc dengan kecepatan
1gr/jam selama 6 jam, kemudian dilanjutkan hingga 24 jam pasca persalinan.
Pada pasien preeklampsia berat, dianjurkan untuk menggunakan obat
antihipertensi. Tujuan terapi pada wanita tanpa penyakit penyerta sebelumnya
adalah sistolik antara 130-155 mmHg dan diastolik 80-105 mmHg. Nifedipin
dengan dosis awal 10-20 mg diulangi 30 menit bila perlu. Dosis maksimal 120
mg/ 24 jam. Obat ini merupakan antihipertensi poten dan pemberiannya tidak
boleh dilakukan sublingual karena menyebabkan penurunan darah yang cepat
sehingga dapat menimbulkan fetal distress.Selain itu obat antihipertensi lain
yang bisa diberikanmetildopa 2 x 250-500 mg maksimum 2000 mg/hari
(Kemenkes, 2013)Pada pasein ini diberikan obat antihipertensi Nifedipin
3x10 mg IV n Metyldopa 3 x 500 mg IV.
Sikap terhadap persalinan ditentukan oleh derajat tekanan darah dan
perjalanan klinik. Bila didapatkan tekanan darah yang terkendali, perjalanan
kehamilan normal, maka dapat diteruskan sampai aterm (Parkland Memorial
Hospital, Dallas). Bila terjadi komplikasi dan kesehatan janin bertambah
buruk, maka segera diterminasi dengan induksi persalinan, tanpa memandang
umur kehamilan. Persalinan dilakukan secara SCTP dengan anestesi general.
Pasien melahirkan bayi tanggal 11Januari 2018 pada pukul 23.20 WIB. Bayi
lahir dengan jenis kelamin perempuan dengan berat bayi 3000 gram panjang
48 cm AS :6-7.
Premedikasi yang dibutuhkan sebelum dilakukan SC cito yakni ranitidine
dengan dosis 50 mg IV 30 menit sebelum operasi dilakukan, hal ini
dikarenakan pada wanita hamil terjadi peningkatan asam lambung yang lebih
banyak dibanding wanita yang tidak hamil. Progesteron yang tinggi dapat
menyebabkan relaksasi muskulus gastro-esophageal junction dan terjadi
penundaan pengosongan lambung. Ranitide bekerja sebagai antasida
profilaksis untuk mengurangi risiko aspirasi pada Obstetric anaesthesia
(Escolano, F Sierra, p., Ortiz, J.C., et al, 2011).
Selain ranitide pemberian metoclopramide juga diperlukan untuk
premedikasi sebelum operasi. Metoclopramide merupakan salah satu obat
yang bekerja sebagai agen prokinetik. Kerja dari agen prokinetik adalah untuk
meningkatkan motilitas gaster dan meningkatkan tonus sfingter esophageal
dengan meningkatkan pelepasan asetilkolin pada kelompok saraf yang
mengontrol motilitas gastrointestinal bagian atas. Sehingga dapat

29
meingkatkan pengosongan lambung dan mencegah terjadinya esophageal
reflux. Dosis metoclopramide yang diberikan 10 mg IV (Sotonye Fyneface-
Organ, 2012).

5.4 Komplikasi
Komplikasi PEB yang bisa terjadi pada Ibu dan janin. Komplikasi PEB
pada janin berupa abnormalitas pada fetal heart rate, yang dapat
menyebabkan fetal compromised. Pada pasien ini, dilakukan pemeriksaan
CTG.
Selain itu komplikasi yang bisa terjadi pada Ibu adalah eklampsia dan
HELLP. Pada pasien tidak didapatkan tanda eklamsia dan HELLP.

5.5 Prognosis
Pada kasus ini, prognosa pada ibu adalah dubia ad bonam. Gejala
perbaikan akan tampak jelas setelah kehamilannya diakhiri setelah pemberian
terapi yang adekuat, monitoring, dan keputusan terminasi dengan cara SC
pada pasien ini. Dua jam post partum, tinggi fundus uteri didapatkan 2 jari di
bawah pusar yang menandakan kontraksi uterus baik dan tidak didapatkan
perlambatan penurunan uterus. Meskipun begitu, tekanan darah ibu dua jam
post partum didapatkan masih tinggi yaitu 150/85mmHg. Dibutuhkan
monitoring ketat diuresis pasien minimal 12 jam post partum untuk menilai
perbaikan kondisi dan diagnosa pasti pasien. Pada satu sampai dua jam
pertama post partum, produksi urin ibu sebanyak 100cc/jam. Keadaan ini
merupakan tanda prognosis yang baik karena hal ini merupakan gejala
pertama penyembuhan. Diharapkan tekanan darah dapat kembali normal
dalam beberapa jam kemudian (Sarwono, 2011).
Prognosa pada bayi dubia ad bonam. Dikatakan meragukan karena
berat badan bayi yang kecil yaitu sebesar 2425 gr dengan apgar score 6-8.
Namun tidak didapatkan kelainan kongenital pada bayi. Perawatan perinatal
yang baik dapat memperbaiki kondisi bayi.

30
BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, pasien


dalam laporan kasus ini mengalami Preeklampsia Beratdengan usia kehamilan
39-40 minggu. Didapatkan faktor resiko preeklampsia berat pada pasien ini yaitu
usia pasien > 35 tahun dan indeks massa tubuh yang berlebih (overweight).
Pasien diberi perawatan aktif dengan terminasi operasi sectio cesarealalu
dilanjutkan dengan monitoring intensif di kamar bersalin, pencegahan kejang
dengan pemberian MgSO4, dan pemberian anti-hipertensi dengan nifedipin
dengan target terapi tekanan darah sistolik 130-155 mmHg dan diastolik 80-105
mmHg.

6.2 Saran

1. Pentingnya KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi) tentang pentingnya


pencegahan terjadinya preeklampsia, dengan memperhatikan faktor risiko
yang dapat memicu terjadinya preeklamsi, seperti mengikuti program
keluarga berencana, menjaga berat badan tetap ideal, mengkonsumsi
makanan sehat dan bergizi seimbang.

2. Pentingnya KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi) tentang pentingnya


antenatal care (ANC) untuk mendeteksi dini preeklampsia supaya
perencanaan tatalaksana yang efektif dapat dilakukan.

31
DAFTAR PUSTAKA

American College of Obstetrician and Gynecologists (ACOG) Committee on


Obstetric Practice.2014. Hypertension in Pregnancy. Obstet Gynecol. 2:17–
18
Alladin AA, Harrison M. Preeclampsia systemic endothelial damage leading to
increased activation of the blood coagulation cascade. Journal of Biotech
Research. 2012; 4:26-43
Berks D, Steegers EA, Molas M, et al. Resolution of Hypertension and
Proteinuria After Preeclampsia. Obstet Gynecol. 2009 Dec; 114 (6): 1307-
14: 10.1097/AOG.0b013e3181c14e3e.
Cunningham FG, Leveno KJ. 2010. Management of preeclampsia. Dalam:
Marshall D, Lindheimer, Robert MJ, Cunningham G. Chesley’s
hypertensive disoders in pregnancy. Edisi ke-2. Stamford, Connecticut,
USA: Appleton & Lange. hlm. 543-80.
Escolano, F Sierra, p., Ortiz, J.C., et al, 2011. The Efficacy and Optimum time of
Administration of Ranitidine in the Prevention of the Acid Aspiration
Syndrome.Anaesthesia.2011;51:182-4
Frishman, WH et al., 2006. Pathophysiology and Medical Management of
Systemic Hypertension in Preeclampsia. Current Hypertension
Reports2006, 8:502–511
Kementerian Kesehatan Indonesia. 2013. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu
di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan. Edisi 1. 4: 109-117
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia Tahun
2014. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI: 2015
Norwitz ER, et al., 2008. Screening for and management of preeclampsia. Online
: http://www.uptodate.com, diakses 28 Oktober 2017.
Opitasari, C. Andayasari, L. 2014. Parity, education level and risk for (pre-)
eclampsia in selected hospitals in Jakarta. Volume 5.pp 35-36
Osungbade, KO. Ige, OK. 2011. Public Health Perspectives of Preeclampsia in
Developing Countries: Implication for Health System Strengthening. Journal
of Pregnancy. Hindawi Publishing Corporation. p: 1-4
Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia. 2016. Pedoman Nasional
Pelayanan Kedokteran Diagnosis dan Tata Laksana Pre-Eklamsia.
Tersedia Online: http://pogi.or.id/publish/download/pnpk-dan-ppk/ diakses
19Desember 2017
Prawirohardjo, Sarwono. 2011. Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT. Bina Pustaka
Royal College of Physicians of Ireland. 2013. The Diagnosis and Management of
Pre-eclampsia and Eclampsia. Clinical Practice Guideline.
Sotonye Fyneface-Organ. 2012.Anesthesia for Cesarean Section, Cesarean
Delivery, Dr. Raed Salim (Ed.), ISBN: 978-953-51-0638-8, In Tech,

32
Avalaible from: htt://www.intechopen.com/books/cesarean-
delivery/anaestheisa-for-cesarean-delivery.
Staff AC, Benton SJ, von Dadelszen P, Roberts JM, Taylor RN, Powers RW,
Charnock-Jones DS, Redman CW.Redefining preeclampsia using placenta-
derived biomarkers.Hypertension. 2013 May;61(5):932-42.
Uzan, J. et al. 2011. Pre-eclampsia: pathophysiology, diagnosis, and
management.Dove Medical Press. 7: 467-474
WHO. 2011. WHO Recommendations for Prevention and Treatment of Pre-
eclampsia and Eclampsia. Geneva
Young BC, Levine RJ, Karumanchi SA. Pathogenesis of preeclampsia. Annu Rev
Pathol.2010;5:173–192.

33

Anda mungkin juga menyukai