Anda di halaman 1dari 16

REFERAT

KEGAWATAN OBSTETRI GINEKOLOGI : KEHAMILAN EKTOPIK


TERGANGGU

Oleh :
Ahmad Dzulfikar Haq 160070200011073
Jordanio Atmaja B 160070200011088
Noor Ariyanti Putri 160070200011069

Pembimbing :
dr. Farah Nurdiana, Sp.Rad

LABORATORIUM / SMF ILMU RADIOLOGI


RUMAH SAKIT UMUM DR. SAIFUL ANWAR
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kehamilan ektopik adalah proses pembuahan atau kehamilan yang terjadi di


luar dari kavum uteri. Kehamilan ini merupakan salah satu kegawat daruratan akibat
adanya pendarahan masif dan merupakan insiden yang terus meningkat serta
membutuhkan diagnosis yang pasti dalam penanganannya. Kehamilan ektopik
sudah dikenal sejak abad ke-11. Walaupun demikian, angka kematian pascaoperasi
pada abad ke-18 masih sangat tinggi. Hal tersebut dibuktikan dengan angka harapan
hidup pasien yang melakukan operasi kehamilan ektopik lebih kecil dibandingkan
dengan pasien yang tidak dilakukan penanganan operasi. Pada abad ke-20, dengan
adanya peningkatan dibidang anestesi, obat-obat antibiotik, dan transfusi darah,
angka kematian menurun dengan drastis. Pada tahun 1970-1989, angka kematian
kehamilan ektopik turun dari 35,5% menjadi 2,6% setiap 1000 kasus yang ada

Etiologi kehamilan ektopik masih belum jelas meski sejumlah faktor risiko
telah diidentifikasi. Diagnosis dari kehamilan ektopik dapat ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan lainnya, seperti pemeriksaan
laboratorium, pemeriksaan ginekologi, dan pemeriksaan radiologi. Namun, dalam
mendiagnosis kehamilan ektopik gold standard yang digunakan adalah USG
transvaginal transabdominal dan pemeriksaan laboratorium kadar ß-HCG.

1.2 Tujuan
Tujuan penulisan referat ini adalah untuk:
1. Mengetahui jenis jenis pencitraan pada payudara
2. Mengetahui kelebihan dan kekurangan, indikasi dan kontra indikasi, persiapan
pasien, prosedur pemeriksaan, dan interpretasi dari pencitraan yang digunakan

1.3 Manfaat
Referat ini bertujuan membahas jenis jenis pencitraan yang digunakan dalam kasus
kehamilan ektopik. Referat ini juga bertujuan untuk mengetahui kelebihan dan
kekurangan, indikasi dan kontra indikasi, persiapan pasien, prosedur pemeriksaan,
dan interpretasi dari pencitraan yang digunakan sehingga diharapkan dapat
membantu meningkatkan pengetahuan dokter muda tentang pencitraan yang
digunakan pada kasus kehamilan ektopik.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Kehamilan ektopik ialah suatu kehamilan yang pertumbuhan sel telur yang telah
dibuahi tidak menempel pada dinding endometrium kavum uteri. Lebih dari 95%
kehamilan ektopik berada di saluran telur (tuba fallopii) (Prawirohardjo, 2009).
Berdasarkan lokasi terjadinya, kehamilan ektopik dapat dibagi menjadi 5 yaitu:
• Kehamilan tuba, meliputi >95% yang terdiri atas:
Pars ampularis (55%), pars isthmus (25%), pars fimbriae (17%), dan pars
interstisial (2%).
• Kehamilan ektopik lain (<5%) antara lain terjadi di serviks uterus, ovarium,
atau abdominal. Untuk kehamilan abdominal lebih sering merupakan
kehamilan abdominal sekunder yang awalnya merupakan kehamilan tuba
kemudian abortus dan meluncur ke abdomen dari ostium tuba pars
abdominalis (abortus tubaria) yang kemudian embrio mengalami
reimplantasi di kavum abdomen, misalnya di mesenterium
• Kehamilan intraligamenter namun sangat jarang
• Kehamilan heterotopik, merupakan kehamilan ganda dimana satu janin
berada di kavum uteri sedangkan yang lainnya merupakan kehamilan ektopik
• Kehamilan ektopik bilateral (Prawirohardjo, 2009).

2.2 Etiologi
Etiologi kehamilan ektopik sudah banyak disebutkan karena secara
patofisiologi mudah dimengerti sesuai dengan proses awal kehamilan sejak
pembuahan sampai nidasi. Bila nidasi terjadi di luar kavum uteri atau di luar
endometrium, maka terjadilah kehamilan ektopik. Dengan demikian, faktor-faktor
yang menyebabkan terjadinya hambatan dalam nidasi embrio ke endometrium
menjadi penyebab kehamilan ektopik ini. Adapun faktor-faktor risiko antara lain
(Prawirohardjo, 2009):
• Faktor Tuba
Adanya peradangan atau infeksi pada tuba menyebabkan lumen tuba menyempit
atau buntu. Faktor tuba lainnya adalah kelainan endometriosis tuba atau divertikel
saluran tuba yang bersifat kongenital. Selain itu, adanya tumor di sekitar saluran
tuba, misalnya mioma uteri atau tumor ovarium yang menyebabkan perubahan
bentuk dan patensi tuba, juga dapat menjadi etiologi kehamilan ektopik.
• Faktor abnormalitas dari zigot
Apabila tumbuh terlalu cepat atau tumbuh dengan ukuran besar, maka zigot akan
tersendat dalam perjalanan pada saat melalui tuba, kemudian terhenti dan tumbuh di
dalam saluran tuba.
• Faktor Ovarium
Bila ovarium memproduksi ovum dan ditangkap oleh tuba yang kontralateral, dapat
membutuhkan proses khusus atau waktu yang lebih panjang sehingga kemungkinan
terjadinya kehamilan ektopik lebih besar.
• Faktor Hormon
Pada akseptor, pil KB yang hanya mengandung progesteron dapat mengakibatkan
gerakan tuba melambat. Apabila terjadi pembuahan dapat meyebabkan terjadinya
kehamilan ektopik.
• Faktor Lain
Termasuk di sini antara lain adalah pemakaian IUD di mana proses peradangan
yang dapat timbul pada endometrium dan endosalping dapat menyebabkan
terjadinya kehamilan ektopik. Faktor umur penderita yang sudah menua dan faktor
perokok juga sering dihubungkan dengan terjadinya kehamilan ektopik. Infertilitas
juga meningkatkan resiko terjadinya kehamilan ektopik (Prawirohardjo, 2009).

2.3 Faktor Risiko


Ada berbagai macam faktor yang dapat menyebabkan kehamilan ektopik. Namun
perlu diingat bahwa kehamilan ektopik dapat terjadi pada wanita tanpa faktor risiko.
Faktor risiko kehamilan ektopik adalah :
• Riwayat kehamilan ektopik sebelumnya
Risiko paling besar untuk kehamilan ektopik. Angka kekambuhan sebesar 15%
setalah kehamilan ektopik pertama dan meningkat sebanyak 30% setelah kehamilan
ektopik yang kedua (Wiknjosastro, 2002).
• Penggunaan kontrasepsi spiral (IUD) dan pil progesteron
Kehamilan ektopik meningkat apabila ketika hamil, masih menggunakan kontrasepsi
spiral (3-4%). Pil yang mengandung hormon progesteron juga meningkatkan
kehamilan ektopik. Karena pil progesteron dapat mengganggu pergerakan sel
rambut silia di saluran tuba yang membawa sel telur yang sudah dibuahi untuk
berimplantasi ke dalam rahim (Wiknjosastro, 2002).
• Kerusakan dari saluran tuba
Telur yang sudah dibuahi mengalami kesulitan melalui saluran tersebut sehingga
menyebabkan telur melekat dan tumbuh di dalam saluran tuba. Beberapa faktor
risiko yang dapat menyebabkan gangguan saluran tuba diantaranya adalah:
- Merokok: Kehamilan ektopik meningkat sebesar 1,6-3,5 kali dibandingkan
wanita yang tidak merokok. Hal ini disebabkan karena merokok menyebabkan
penundaan masa ovulasi (keluarnya telur dari indung telur), gangguan pergerakan
sel rambut silia di saluran tuba, dan penurunan kekebalan tubuh.
- Penyakit radang panggul: Menyebabkan perlekatan didalam salura tuba,
gangguan pergerakan sel rambut silia yang dapat terjadi karena infeksi kuman TBC,
klamidia, dan gonorhea.
- Endometriosis: Dapat menyebabkan jaringan parut disekitar saluran tuba
- Tindakan medis: Seperti operasi saluran tuba atau operasi daerah panggul,
pengobatan infertilitas seperti bayi tabung dapat menyebabkan jaringan parut pada
rahim dan saluran tuba (Anthonius, 2001).

2.4 Patofisiologi
Tempat-tempat implantasi kehamilan ektopik antara lain ampula tuba (lokasi
tersering), isthmus, fimbriae, pars interstitialis, kornu uteri, ovarium, rongga
abdomen, serviks, dan ligamentum cardinal. Zigot dapat berimplantasi tepat pada sel
kolumnar tuba maupun secara interkolumnar. Pada keadaan yang pertama, zigot
melekat pada ujung atau sisi jonjot endosalfing yang relatif sedikit mendapat suplai
darah, sehingga zigot mati dan kemudian diresorbsi. Pada implantasi interkolumnar,
zigot menempel diantara dua jonjot. Zigot yang telah bernidasi kemudian tertutup
oleh jaringan endosalfing yang menyerupai desidua yang disebut pseudokapsul
(Wiknjosastro, 2007).
Villi korialis dengan mudah menembus endosalping dan mencapai lapisan
miosalping dengan merusak integritas pembuluh darah di tempat tersebut.
Selanjutnya, hasil konsepsi berkembang, dan perkembangannya tersebut
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu tempat implantasi, ketebalan tempat
implantasi, dan banyaknya perdarahan akibat invasi trofoblas (Wiknjosastro, 2007).
Seperti kehamilan normal, uterus pada kehamilan ektopik mengalami hipertrofi akibat
pengaruh hormon estrogen dan progesteron, sehingga tanda-tanda kehamilanpun
ditemukan. Endometrium berubah menjadi desidua, meskipun tanpa trofoblas. Sel-
sel epitel endometrium menjadi hipertrofi, intinya menjadi lobular dan sitoplasmanya
bervakuol (Wiknjosastro, 2007).
Karena tempat implantasi pada kehamilan ektopik tidak ideal untuk
berlangsungnya kehamilan, maka pertumbuhan dapat mengalami beberapa
perubahan dalam bentuk yaitu (Prawirohardjo, 2009):
1. Hasil konsepsi mati dini dan diresorbsi
Pada implantasi secara kolumner, ovum yang dibuahi cepat mati karena
vaskularisasi kurang, dan dengan mudah terjadi resorbsi total. Dalam keadaan ini
penderita tidak mengeluh apa-apa, hanya haidnya saja yang terlambat untuk
beberapa hari (Prawirohardjo, 2009).
2. Abortus ke dalam lumen tuba
Perdarahan yang terjadi karena pembukaan pembuluh-pembuluh darah oleh
villi korialis pada dinding tuba di tempat implantasi dapat melepaskan mudigah dari
koriales pada dinding tersebut bersama-sama dengan robeknya pseudokapsularis.
Pelepasan ini dapat terjadi sebagian atau seluruhnya, tergantung dari derajat
perdarahan yang timbul. Bila pelepasan menyeluruh, mudigah dengan selaputnya
dikeluarkan dalam lumen tuba dan kemudian didorong oleh darah kearah ostium
tuba abdominale. Frekuensi abortus dalam tuba tergantung pada implantasi telur
yang dibuahi. Abortus tuba lebih umum terjadi pada kehamilan tuba pars ampullaris,
sedangkan penembusan dinding tuba oleh villi koriales kea rah peritoneum biasanya
terjadi pada kehamilan pars isthmika. Perbedaan ini disebabkan karena lumen pars
amoullaris lebih luas, sehingga dapat mengikuti lebih mudah pertumbuhan hasil
konsepsi dibandingkan dengan bagian isthmus dengan lumen sempit (Prawirohardjo,
2009).
Pada pelepasan hasil konsepsi yang tidak sempurna pada abortus,
perdarahan akan terus berlangsung, dari sedikit-sedikit oleh darah, sampai berubah
menjadi mola kruenta. Perdarahan akan keluar melalui fimbriae dan masuk rongga
abdomen dan terkumpul secara khas di kavum Douglas dan akan membentuk
hematokel retrouterina. Bila fimbriae tertutup, tuba fallopii dapat membesar karena
darah dan membentuk hematosalping (Prawirohardjo, 2009).
3. Ruptur dinding tuba
Penyusupan, dan perluasan hasil konsepsi dapat mengakibatkan rupture
pada saluran lahir pada beberapa tempat. Sebelum metode pengukuran kadar
korionik gonadotropin tersedia, banyak kasus kehamilan tuba berakhir pada trimester
pertama oleh rupture intraperitoneal. Pada kejadian ini lebih sering terjadi bila ovum
berimplantasi pada isthmus dan biasanya muncul pada kehamilan muda, sedangkan
bila berimplantasi di pars intersisialis, maka muncul pada kehamilan yang lebih
lanjut. Ruptur dapat terjadi secara spontan, atau karena trauma ringan seperti koitus
atau pemeriksaan vagina (Prawirohardjo, 2009).
Ruptur sekunder dapat terjadi bila terjadi abortus dalam tuba dan ostium tuba
tertutup. Dalam hal ini dinding tuba yang sudah menipis karena invasi dari trofoblas,
akan pecah karena tekanan darah dalam tuba. Kadang-kadang ruptur terjadi diarah
ligamentum latum dan terbentuk hematoma intraligamenter. Jika janin hidup terus,
terdapat kehamilan intraligamenter. Pada ruptur ke rongga perut, seluruh janin dapat
keluar dari tuba, tetapi bila robekan kecil, perdarahan terjadi tanpa hasil konsepsi
dikeluarkan dari tuba. Bila pasien tidak mati dan meninggal karena perdarahan,
nasib janin bergantung pada kerusakan yang diderita dan tuanya kehamilan. Bila
janin mati dan masih kecil, dapat diresorbsi kembali, namun bila besar, kelak dapat
diubah menjadi litopedion. Bila janin yang dikeluarkan tidak mati dengan masih
diselubungi oleh kantong amnion dan dengan plasenta yang utuh, kemungkinan
tumbuh terus dalam rongga abdomen sehingga terjadi kehamilan abdominal
sekunder (Prawirohardjo, 2009).

2.5 Diagnosis
Kehamilan ektopik ini sulit didiagnosis secara pasti. Namun diagnostik
kehamilan ektopik terganggu pada jenis mendadak tidak banyak mengalami
kesukaran, tetapi pada jenis menahun atau atipik bisa sulit sekali ditegakkan. Alat
bantu diagnostik yang dapat digunakan ialah USG, laparoskopi, atau kuldoskopi.
Selain itu anamnesis juga diperlukan dalam proses penegakan diagnosis, yaitu
adanya riwayat amenorea, nyeri abdomen bagian bawah, dan perdarahan dari
uterus. Nyeri abdomen umumnya mendahului keluhan perdarahan pervaginam,
biasanya dimulai dari salah satu sisi abdomen bawah, dan dengan cepat menyebar
ke seluruh abdomen yang disebabkan oleh terkumpulnya darah di rongga abdomen.
Periode amenorea umumnya 6-8 minggu. Pemeriksaan klinik ditandai dengan
hipotensi bahkan syok, takikardi, dan distensi abdomen. Pada pemeriksaan bimanual
ditemukan nyeri goyang portio digerakkan, forniks posterior vagina menonjol karena
darah terkumpul di kavum douglas, atau teraba massa di salah satu sisi uterus
(Anwar, 2011).
Pemeriksaan laboratorium dilakukan dengan pemeriksaan hemoglobin dan
jumlah sel darah merah berguna dalam menegakkan diagnosis kehamilan ektopik
terganggu terutama bila ada tanda-tanda perdarahan dalam rongga perut.
Pemeriksaan hemoglobin dan hematokrit dapat dilakukan secara serial dengan jarak
satu jam selama 3 kali berturut-turut. Bila terjadi penurunan hemoglobin dan
hematokrit dapat mendukung diagnosis kehamilan ektopik terganggu. Pada kasus
kehamilan ektopik yang tidak mendadak biasanya disertai dengan adanya anemia
tetapi harus diingat bahwa penurunan hemoglobin baru terlihat setelah 24 jam
(Prawirohardjo, 2009).
Untuk membedakan kehamilan ektopik dari infeksi pelvis, dapat diperhatikan
jumlah leukosit. Jumlah leukosit yang melebihi 20.000 biasanya menunjuk pada
keadaan yang terakhir. Tes kehamilan berguna apabila hasilnya positif. Akan tetapi
tes negatif tidak menyingkirkan kemungkinan kehamilan ektopik terganggu karena
kematian hasil konsepsi dan degenerasi trofoblas meyebabkan produksi human
chorionic gonadotropin menurun dan menyebabkan tes negatif (Prawirohardjo,
2009).
Kuldosentesis adalah suatu cara pemeriksaan untuk mengetahui apakah
dalam kavum douglasi ada darah. Cara ini sangat berguna dalam membantu
membuat diagnois kehamilan ektopik terganggu (Prawirohardjo, 2009).

Gambar 4.1 Teknik Kuldosentesis (Prawirohardjo, 2009)

Pada kehamilan ektopik, laparoskopi digunakan sebagai alat bantu diagnostik


terakhir untuk kehamilan ektopik apabila hasil penilaian prosedur diagnostik yang lain
meragukan. Melalui prosedur ini, alat kandungan bagian dalam dapat dinilai
(Prawirohardjo, 2009).

2.6 Pencitraan pada kehamilan ektopik


Dahulu kala, sebelum USG rutin digunakan, diagnosis kehamilan
ektopik ditegakkan pada saat operasi. Sebelum tahun 1970, lebih dari 80%
kehamilan ektopik baru terdiagnosis setelah mengalami ruptur dan hampir 50% di
antaranya datang ke rumah sakit dalam kondisi syok. Sebagai akibatnya, hampir
seluruh wanita langsung di antar menuju ruang operasi segera setelah diagnosis
ditegakkan. Untungnya, dengan berkembangnya TVS (Transvaginal
ultrasonography) beresolusi tinggi dan pemeriksaan hCG yang semakin sensitif,
mayoritas pasien tidak lagi datang ke rumah sakit dalam kondisi syok. (Winder, et
al.,2015)
Sebagai alat diagnosis, TVS menggantikan laparoskopi sebagai baku
emas / gold standard untuk diagnosis EP. Karena TVS semakin mudah dijangkau,
lebih dari 80% kehamilan ektopik saat ini terdeteksi sebelum ruptur dan 50% di
antaranya terdiagnosis pada wanita yang asimptomatis (diagnosis ditegakkan
berdasarkan pemeriksaan USG saja). Diagnosis awal, pada wanita yang masih
stabil, memungkinkan untuk terapi konservatif dengan manajemen medis
(methotrexate / MTX) dan observasi (“wait and see”). Faktanya, penggunaan
transvaginal ultrasound beresolusi tinggi telah menciptakan revolusi dalam
manajemen non-operasi untuk kehamilan ektopik. (Winder, et al.,2015)
4.6.1 Temuan ultrasonografi pada kehamilan ektopik
USG transabdominal dan transvaginal adalah baku emas / gold
standard untuk mendeteksi adanya kehamilan ektopik. Pada pemeriksaan
ultrasonografi, uterus dan adnexa diperiksa dengan orientasi sagittal dan transverse,
yang memungkinkan evaluasi secara langsung dan pengukuran secara 3-dimensi
terhadap masa ekstra-uterin yang ditemukan. Pengukuran ini penting untuk tujuan
terapi. Bagaimanapun juga, kira-kira 15-35% kehamilan ektopik tidak akan
menunjukkan masa ekstra-uterin yang dapat diidentifikasi pada pemeriksaan
transvaginal ultrasonography. Pemeriksaan dengan USG harus meliputi
pemeriksaan untuk melihat adanya cairan bebas dengan cara menskrining bagian
cul-de-sac, dan juga area sekitar ginjal, pericolic gutters, perihepatic, dan perisplenic
untuk melihat adanya hemoperitoneum luas. Color doppler imaging juga diperiksa
untuk menilai ada atau tidaknya pola aliran darah yang abnormal. (Chanana, et al.,
2017)

Gambar 4.2 Perempuan berusia 29-tahun HPHT 8 minggu yang lalu, datang dengan
keluhan nyeri perut bagian bawah onset akut dan hipotensi. Gambaran ultrasound
pelvis transabdominal longitudinal menunjukkan kavitas endometrium yang kosong
(panah biru), dengan distensi struktur tuba (kotak hijau), posterior dari uterus.
Terdapat sejumlah echogenitas campuran di cul-de-sac (oval kuning), konsisten
dengan gambaran clot/darah. Temuan ini sangat mengarah pada kehamilan ektopik
terganggu. Gambar kotak merah adalah pembesaran pada kehamilan ektopik di
tuba. (Chanana, et al., 2017)
4.6.1.1 Kehamilan ektopik tuba pada USG
Kehamilan ektopik di tuba merupakan tipe kehamilan ektopik yang paling
sering ditemukan, yang merupakan kira-kira 95% dari seluruh kehamilan ektopik.
Mayoritasnya berada di ampulla (75 – 80%) dan lebih jarang pada isthmus (12%)
dan fimbria (5%). (Chanana, et al., 2017)

Gambar 4.3. Perempuan 32 tahun HPHT 9 minggu yang lalu dengan nyeri perut
kanan bawah. (a) Sonogram pelvis transvaginal midsagital tidak menunjukkan
gestation sac. Cairan dan clot pada cul-de-sac (tanda bintang merah). (b) Sonogram
parasagittal kanan menunjukkan struktur adneksa dextra yang homogen (lingkaran
kuning), signifikan terhadap kehamilan ektopik tuba. (c) Pencitraan Color Doppler
(Diperbesar) menunjukkan adanya aliran darah pada kutub fetal dengan gerakan
jantung. (d) Transverse Spectral Doppler menunjukkan gestational sac (panah putih)
dengan embryo (panah bengkok biru) pada bagian isthmus tuba falopi dekstra
dengan gerakan jantung yang intak. (Chanana, et al., 2017)

4.6.1.2 Kehamilan ektopik interstisial pada USG


Implantasi blastokis pada bagian myometrium tuba falopi merupakan
penyebab kehamilan ektopik yang lebih jarang (2% -4% kasus). Faktor risikonya di
antara lain adalah pelvic inflammatory disease (PID), riwayat salpingectomy,
fertilisasi in vitro. (Chanana, et al., 2017).
Gambar 4.4 Seorang perempuan hispanik (Amerika-latin) dengan hasil pemeriksan
β-hCG urin positif, datang dengan nyeri di perut kanan bawah onset akut. HPHT
pasien adalah 9 minggu yang lalu. (a) Transvaginal USG transverse dan (b) Doppler
pada fundus uterus menunjukkan gestational sac abnormal (panah merah), merubah
kontur uterus eksternal (panah biru) dengan penipisan bagian myometrium,
konsisten dengan kehamilan ektopik interstisial. Kavum endometrium adalah kosong
(panah kuning). (Chanana, et al., 2017)

4.6.1.3 Kehamilan ektopik serviks pada USG


Kehamilan ektopik serviks merupakan tipe yang sangat jarang (<1 %). Tetapi
tipe ini harus dikenali karena dapat menyebabkan perdarahan-yang-mengancam-
nyawa bila dilakukan dilatasi-kuretase. Gestational sac pada serviks memberikan
konfigurasi seperti jam-pasir di uterus [Gbr 4.5]. Diagnosis banding kehamilan
ektopik serviks yang terutama adalah abortus insipien dengan gestational sac yang
berada di kanal serviks. Tanda pembeda yang paling penting adalah tidak adanya
cincin trophoblastic hipervaskular pada abortus insipient, yang disebabkan karena
tidak adanya jaringan trofoblastik di sekitar gestational sac yang mengalami aborsi,
yang mekanisme sliding sign. Sliding sign dapat dimunculkan / diobservasi pada saat
melakukan pemeriksaan USG transvaginal dan merupakan sliding dari gestational
sac di kanal serviks ketika operator USG memberikan sedikit tekanan dengan probe
USG. (Chanana, et al., 2017)
Gambar 4.5 Seorang wanita 25 tahun dengan nyeri pada perut bawah bagian
tengah. HPHT pasien adalah 12 minggu yang lain. Pemeriksaan dengan USG
transabdominal longitudinal (a dan b) menunjukkan kavum endometrium yang
kosong (panah hijau) dan low-lying gestational sac (oval kuning). Distensi serviks
menyebabkan konfigurasi “hourglass / jam pasir (gambaran jam pasir dengan warna
oranye). USG transvaginal (c dan d) menunjukkan gestational sac dengan embryo
(tanda bintang merah) dan yolk sac (panah putih) yang berimplantasi di serviks
(caliper pada gambar d). (Chanana, et al., 2017)

4.6.1.4 Kehamilan ektopik ovarium pada USG


Kehamilan ektopik ovarium terjadi ketika ovum di fertilisasi di bagian tuba
falopi distal dan kemudian mengalami implantasi di ovarium. Kasus ini adalah jarang,
merupakan 1-3% dari seluruh kehamilan ektopik . Tipe ini sangat berhubungan
dengan pemasangan IUD dan PID. Pada pemeriksaan ultrasound, gestational sac
terlihat di ovarium [Gbr 4.6]. (Chanana, et al., 2017)
Gambar 4.6 Seorang perempuan 35 tahun sedang diterapi untuk ART (assisted
reproductive technique), datang dengan hasil pemeriksaan urin positif untuk
kehamilan dan nyeri pada perut kanan bawah. Pemeriksaan USG transvaginal
transverse (a) dan color Doppler (b) menunjukkan lesi kistik pada ovarium dekstra,
dengan komponen echo eksentrik. Pasien di operasi karena kecurigaan tinggi akan
kehamilan ektopik ovarium dan terbukti bahwa pasien mengalami kehamilan ektopik
di ovarium. (Chanana, et al., 2017)

4.6.2 Pencitraan lain pada kehamilan ektopik


Walaupun ultrasound merupakan modalitas utama yang digunakan untuk
mendiagnosis kehamilan ektopik, berbagai kondisi penyerta dan komplikasi dari
kehamilan ektopik dapat dievaluasi lebih baik dengan menggunakan MRI atau
mungkin terdeteksi secara tidak sengaja (accidental) dengan CT atau MRI ketika
dicurigai diagnosis yang lain. (Kao, et al., 2014)
Banyak tanda-tanda klasik kehamilan ektopik di USG yang berhubungan
dengan CT dan MRI. Pada kasus dimana pasien dengan kehamilan ektopik
menjalani pemeriksaan dengan CT atau MRI, pengetahuan mengenai bagaimana
keserupaan manifestasi sonografis kehamilan ektopik dengan manifestasi pada CT
dan MRI dapat membantu diagnosis dan terapi yang tepat. (Kao, et al., 2014)
Kehamilan ektopik tuba pada MRI dapat menunjukkan adanya
hematosalphinx, massa hemoragik atau heterogen, bloody ascites, dilatasi tuba,
penyengatan dinding (wall enhancement), dan yang paling spesifik ditemukan adalah
gestational sac ekstrauterin. CT juga menunjukkan adanya tanda perdarahan
dengan berbagai densitas bergantung pada usia dan lokasi. (Kao, et al., 2014)
MRI dapat membantu diagnosis kehamilan ektopik interstisial dengan
menentukan lokasi gestational sac terhadap endometrium, serupa dengan USG,
diagnosis kehamilan ektopik interstisial harus dicurigai ketika gestational sac berada
di lateral fundus uterus dan terlapisi myometrium kurang dari mm pada bagian lateral
uterus. Pada CT scan, ditemukan suatu massa cincin bulat-menyengat yang
membatasi fundus uterus di bagian cornus. (Kao, et al., 2014)
MRI pada kehamilan ektopik ovarium menunjukkan gestational sac pada
ovarium, sering kali berisi hematoma dengan intensitas rendah pada T2 weighted
images. Pada CT ditemukan massa heterogen pada ovarium. (Kao, et al., 2014)
MRI pada kehamilan ektopik serviks menunjukkan gambaran massa berlobul
dan sinyal intensitas yang bervariasi dengan partial atau rim enhancement. (Kao, et
al., 2014)
2.7 Penatalaksanaan
Penanganan kehamilan ektopik pada umumnya adalah laparotomi. Dalam
tindakan demikian, beberapa hal harus diperhatikan dan dipertimbangkan yaitu;
kondisi penderita saat itu, keinginan penderita akan fungsi organ reproduksinya,
lokasi kehamilan ektopik, kondisi anatomi organ pelvis, kemampuan teknik bedah
mikro dokter operator, dan kemampuan teknologi fertilisasi in vitro setempat. Hasil
pertimbangan ini menentukan apakah perlu dilakukan salpingektomi pada kehamilan
tuba, atau dapat dilakukan pembedahan konservatif dalam arti hanya dilakukan
salpingostomi atau reanastomosis tuba. Apabila kondisi penderita buruk, misalnya
dalam keadaan shock, lebih baik dilakukan salpingektomi (Prawirohardjo, 2009).
Pada kasus kehamilan ektopik di pars ampularis tuba yang belum pecah
pernah dicoba ditangani dengan menggunakan kemoterapi untuk menghindari
tindakan pembedahan. Kriteria kasus yang diobati dengan cara ini ialah: (1)
Kehamilan di pars ampularis tuba belum pecah; (2) diameter kantong gestasi ≤ 4cm;
(3) perdarahan dalam rongga perut ≤ 100 ml; (4) tanda vital baik dan stabil; (5) kadar
beta-hCG ≤ 10.000 mIU/ml. Obat yang digunakan ialah metotreksat 1 mg/kgBB I.V
dan faktor sitrovorum 0,1 mg/kgBB I.M, berselang-seling setiap hari selama 8 hari,
Dari seluruh 6 kasus yang diobati, satu kasus dilakukan salpingektomi pada hari ke-
12 karena gejala abdomen akut, sedangkan 5 kasus berhasil diobati dengan baik
(Prawirohardjo, 2009). Tindakan pembedahan yang bisa dilakukan antara lain
salpingostomi atau dengan salpingektomi. Salpingostomi adalah prosedur bedah
yang bertujuan untuk mengambil/ mengeluarkan kehamilan ektopik (produk
konsepsi) yang tidak terjadi ruptur dan melakukan rekonstruksi tuba, berukuran < 2
cm dan berlokasi di distal tuba fallopi. Natale dan associates (2003) melaporkan
bahwa pasien dengan kadar β-hCG > 6000 mIU/mL berisiko tinggi mengalami
kehamilan ektopik yang menembus sampai kelapisan muskularis serta ruptur tuba
(Cunningham, 2014; Anwar, 2011). Salpingektomi dapat dilakukan pada kehamilan
ektopik yang tidak terjadi ruptur maupun yang telah ruptur. Selain itu, salpingektomi
juga dilakukan jika tuba mengalami kerusakan hebat atau tuba kontralateral baik
(Anwar, 2011).
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Kehamilan ektopik ialah suatu kehamilan yang pertumbuhan sel telur yang
telah dibuahi tidak menempel pada dinding endometrium kavum uteri, yaitu bisa
terjadi di tuba fallopi, serviks ovarium maupun abdominal. Etiologi penyakit ini yaitu
bila nidasi terjadi di luar kavum uteri atau di luar endometrium, maka terjadilah
kehamilan ektopik. Adapun faktor resikonya adalah faktor kehamilan ektopik
sebelumnya, faktor tuba yang mana bila terjadi infeksi lumennya dapat menyempit,
selain itu faktor abnormalitas zigot, faktor ovarium, faktor hormon dan faktor lainnya
dapat mempengaruhi terjadinya kehamilan ektopik.
Anamnesis diperlukan dalam proses penegakan diagnosis, yaitu adanya
riwayat amenorea, nyeri abdomen bagian bawah, dan perdarahan dari uterus. Selain
itu, alat bantu diagnostik yang dapat digunakan ialah USG, laparoskopi, atau
kuldoskopi. Sebagai alat diagnosis, TVS (Transvaginal ultrasonography) beresolusi
tinggi menggantikan laparoskopi sebagai baku emas / gold standard untuk diagnosis
Kehamilan Ektopik. Kondisi penyerta dan komplikasi dari kehamilan ektopik dapat
dievaluasi lebih baik dengan menggunakan MRI atau mungkin terdeteksi secara
tidak sengaja (accidental) dengan MRI ketika dicurigai diagnosis yang lain.
Penanganan kehamilan ektopik pada umumnya adalah laparotomi. Namun,
harus diperhatikan dan dipertimbangkan kondisi penderita saat itu, keinginan
penderita akan fungsi organ reproduksinya, lokasi kehamilan ektopik, kondisi
anatomi organ pelvis dan lainnya. Tindakan pembedahan yang bisa dilakukan antara
lain salpingostomi atau dengan salpingektomi.

Anda mungkin juga menyukai