Oleh :
Ahmad Dzulfikar Haq 160070200011073
Jordanio Atmaja B 160070200011088
Noor Ariyanti Putri 160070200011069
Pembimbing :
dr. Farah Nurdiana, Sp.Rad
PENDAHULUAN
Etiologi kehamilan ektopik masih belum jelas meski sejumlah faktor risiko
telah diidentifikasi. Diagnosis dari kehamilan ektopik dapat ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan lainnya, seperti pemeriksaan
laboratorium, pemeriksaan ginekologi, dan pemeriksaan radiologi. Namun, dalam
mendiagnosis kehamilan ektopik gold standard yang digunakan adalah USG
transvaginal transabdominal dan pemeriksaan laboratorium kadar ß-HCG.
1.2 Tujuan
Tujuan penulisan referat ini adalah untuk:
1. Mengetahui jenis jenis pencitraan pada payudara
2. Mengetahui kelebihan dan kekurangan, indikasi dan kontra indikasi, persiapan
pasien, prosedur pemeriksaan, dan interpretasi dari pencitraan yang digunakan
1.3 Manfaat
Referat ini bertujuan membahas jenis jenis pencitraan yang digunakan dalam kasus
kehamilan ektopik. Referat ini juga bertujuan untuk mengetahui kelebihan dan
kekurangan, indikasi dan kontra indikasi, persiapan pasien, prosedur pemeriksaan,
dan interpretasi dari pencitraan yang digunakan sehingga diharapkan dapat
membantu meningkatkan pengetahuan dokter muda tentang pencitraan yang
digunakan pada kasus kehamilan ektopik.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Kehamilan ektopik ialah suatu kehamilan yang pertumbuhan sel telur yang telah
dibuahi tidak menempel pada dinding endometrium kavum uteri. Lebih dari 95%
kehamilan ektopik berada di saluran telur (tuba fallopii) (Prawirohardjo, 2009).
Berdasarkan lokasi terjadinya, kehamilan ektopik dapat dibagi menjadi 5 yaitu:
• Kehamilan tuba, meliputi >95% yang terdiri atas:
Pars ampularis (55%), pars isthmus (25%), pars fimbriae (17%), dan pars
interstisial (2%).
• Kehamilan ektopik lain (<5%) antara lain terjadi di serviks uterus, ovarium,
atau abdominal. Untuk kehamilan abdominal lebih sering merupakan
kehamilan abdominal sekunder yang awalnya merupakan kehamilan tuba
kemudian abortus dan meluncur ke abdomen dari ostium tuba pars
abdominalis (abortus tubaria) yang kemudian embrio mengalami
reimplantasi di kavum abdomen, misalnya di mesenterium
• Kehamilan intraligamenter namun sangat jarang
• Kehamilan heterotopik, merupakan kehamilan ganda dimana satu janin
berada di kavum uteri sedangkan yang lainnya merupakan kehamilan ektopik
• Kehamilan ektopik bilateral (Prawirohardjo, 2009).
2.2 Etiologi
Etiologi kehamilan ektopik sudah banyak disebutkan karena secara
patofisiologi mudah dimengerti sesuai dengan proses awal kehamilan sejak
pembuahan sampai nidasi. Bila nidasi terjadi di luar kavum uteri atau di luar
endometrium, maka terjadilah kehamilan ektopik. Dengan demikian, faktor-faktor
yang menyebabkan terjadinya hambatan dalam nidasi embrio ke endometrium
menjadi penyebab kehamilan ektopik ini. Adapun faktor-faktor risiko antara lain
(Prawirohardjo, 2009):
• Faktor Tuba
Adanya peradangan atau infeksi pada tuba menyebabkan lumen tuba menyempit
atau buntu. Faktor tuba lainnya adalah kelainan endometriosis tuba atau divertikel
saluran tuba yang bersifat kongenital. Selain itu, adanya tumor di sekitar saluran
tuba, misalnya mioma uteri atau tumor ovarium yang menyebabkan perubahan
bentuk dan patensi tuba, juga dapat menjadi etiologi kehamilan ektopik.
• Faktor abnormalitas dari zigot
Apabila tumbuh terlalu cepat atau tumbuh dengan ukuran besar, maka zigot akan
tersendat dalam perjalanan pada saat melalui tuba, kemudian terhenti dan tumbuh di
dalam saluran tuba.
• Faktor Ovarium
Bila ovarium memproduksi ovum dan ditangkap oleh tuba yang kontralateral, dapat
membutuhkan proses khusus atau waktu yang lebih panjang sehingga kemungkinan
terjadinya kehamilan ektopik lebih besar.
• Faktor Hormon
Pada akseptor, pil KB yang hanya mengandung progesteron dapat mengakibatkan
gerakan tuba melambat. Apabila terjadi pembuahan dapat meyebabkan terjadinya
kehamilan ektopik.
• Faktor Lain
Termasuk di sini antara lain adalah pemakaian IUD di mana proses peradangan
yang dapat timbul pada endometrium dan endosalping dapat menyebabkan
terjadinya kehamilan ektopik. Faktor umur penderita yang sudah menua dan faktor
perokok juga sering dihubungkan dengan terjadinya kehamilan ektopik. Infertilitas
juga meningkatkan resiko terjadinya kehamilan ektopik (Prawirohardjo, 2009).
2.4 Patofisiologi
Tempat-tempat implantasi kehamilan ektopik antara lain ampula tuba (lokasi
tersering), isthmus, fimbriae, pars interstitialis, kornu uteri, ovarium, rongga
abdomen, serviks, dan ligamentum cardinal. Zigot dapat berimplantasi tepat pada sel
kolumnar tuba maupun secara interkolumnar. Pada keadaan yang pertama, zigot
melekat pada ujung atau sisi jonjot endosalfing yang relatif sedikit mendapat suplai
darah, sehingga zigot mati dan kemudian diresorbsi. Pada implantasi interkolumnar,
zigot menempel diantara dua jonjot. Zigot yang telah bernidasi kemudian tertutup
oleh jaringan endosalfing yang menyerupai desidua yang disebut pseudokapsul
(Wiknjosastro, 2007).
Villi korialis dengan mudah menembus endosalping dan mencapai lapisan
miosalping dengan merusak integritas pembuluh darah di tempat tersebut.
Selanjutnya, hasil konsepsi berkembang, dan perkembangannya tersebut
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu tempat implantasi, ketebalan tempat
implantasi, dan banyaknya perdarahan akibat invasi trofoblas (Wiknjosastro, 2007).
Seperti kehamilan normal, uterus pada kehamilan ektopik mengalami hipertrofi akibat
pengaruh hormon estrogen dan progesteron, sehingga tanda-tanda kehamilanpun
ditemukan. Endometrium berubah menjadi desidua, meskipun tanpa trofoblas. Sel-
sel epitel endometrium menjadi hipertrofi, intinya menjadi lobular dan sitoplasmanya
bervakuol (Wiknjosastro, 2007).
Karena tempat implantasi pada kehamilan ektopik tidak ideal untuk
berlangsungnya kehamilan, maka pertumbuhan dapat mengalami beberapa
perubahan dalam bentuk yaitu (Prawirohardjo, 2009):
1. Hasil konsepsi mati dini dan diresorbsi
Pada implantasi secara kolumner, ovum yang dibuahi cepat mati karena
vaskularisasi kurang, dan dengan mudah terjadi resorbsi total. Dalam keadaan ini
penderita tidak mengeluh apa-apa, hanya haidnya saja yang terlambat untuk
beberapa hari (Prawirohardjo, 2009).
2. Abortus ke dalam lumen tuba
Perdarahan yang terjadi karena pembukaan pembuluh-pembuluh darah oleh
villi korialis pada dinding tuba di tempat implantasi dapat melepaskan mudigah dari
koriales pada dinding tersebut bersama-sama dengan robeknya pseudokapsularis.
Pelepasan ini dapat terjadi sebagian atau seluruhnya, tergantung dari derajat
perdarahan yang timbul. Bila pelepasan menyeluruh, mudigah dengan selaputnya
dikeluarkan dalam lumen tuba dan kemudian didorong oleh darah kearah ostium
tuba abdominale. Frekuensi abortus dalam tuba tergantung pada implantasi telur
yang dibuahi. Abortus tuba lebih umum terjadi pada kehamilan tuba pars ampullaris,
sedangkan penembusan dinding tuba oleh villi koriales kea rah peritoneum biasanya
terjadi pada kehamilan pars isthmika. Perbedaan ini disebabkan karena lumen pars
amoullaris lebih luas, sehingga dapat mengikuti lebih mudah pertumbuhan hasil
konsepsi dibandingkan dengan bagian isthmus dengan lumen sempit (Prawirohardjo,
2009).
Pada pelepasan hasil konsepsi yang tidak sempurna pada abortus,
perdarahan akan terus berlangsung, dari sedikit-sedikit oleh darah, sampai berubah
menjadi mola kruenta. Perdarahan akan keluar melalui fimbriae dan masuk rongga
abdomen dan terkumpul secara khas di kavum Douglas dan akan membentuk
hematokel retrouterina. Bila fimbriae tertutup, tuba fallopii dapat membesar karena
darah dan membentuk hematosalping (Prawirohardjo, 2009).
3. Ruptur dinding tuba
Penyusupan, dan perluasan hasil konsepsi dapat mengakibatkan rupture
pada saluran lahir pada beberapa tempat. Sebelum metode pengukuran kadar
korionik gonadotropin tersedia, banyak kasus kehamilan tuba berakhir pada trimester
pertama oleh rupture intraperitoneal. Pada kejadian ini lebih sering terjadi bila ovum
berimplantasi pada isthmus dan biasanya muncul pada kehamilan muda, sedangkan
bila berimplantasi di pars intersisialis, maka muncul pada kehamilan yang lebih
lanjut. Ruptur dapat terjadi secara spontan, atau karena trauma ringan seperti koitus
atau pemeriksaan vagina (Prawirohardjo, 2009).
Ruptur sekunder dapat terjadi bila terjadi abortus dalam tuba dan ostium tuba
tertutup. Dalam hal ini dinding tuba yang sudah menipis karena invasi dari trofoblas,
akan pecah karena tekanan darah dalam tuba. Kadang-kadang ruptur terjadi diarah
ligamentum latum dan terbentuk hematoma intraligamenter. Jika janin hidup terus,
terdapat kehamilan intraligamenter. Pada ruptur ke rongga perut, seluruh janin dapat
keluar dari tuba, tetapi bila robekan kecil, perdarahan terjadi tanpa hasil konsepsi
dikeluarkan dari tuba. Bila pasien tidak mati dan meninggal karena perdarahan,
nasib janin bergantung pada kerusakan yang diderita dan tuanya kehamilan. Bila
janin mati dan masih kecil, dapat diresorbsi kembali, namun bila besar, kelak dapat
diubah menjadi litopedion. Bila janin yang dikeluarkan tidak mati dengan masih
diselubungi oleh kantong amnion dan dengan plasenta yang utuh, kemungkinan
tumbuh terus dalam rongga abdomen sehingga terjadi kehamilan abdominal
sekunder (Prawirohardjo, 2009).
2.5 Diagnosis
Kehamilan ektopik ini sulit didiagnosis secara pasti. Namun diagnostik
kehamilan ektopik terganggu pada jenis mendadak tidak banyak mengalami
kesukaran, tetapi pada jenis menahun atau atipik bisa sulit sekali ditegakkan. Alat
bantu diagnostik yang dapat digunakan ialah USG, laparoskopi, atau kuldoskopi.
Selain itu anamnesis juga diperlukan dalam proses penegakan diagnosis, yaitu
adanya riwayat amenorea, nyeri abdomen bagian bawah, dan perdarahan dari
uterus. Nyeri abdomen umumnya mendahului keluhan perdarahan pervaginam,
biasanya dimulai dari salah satu sisi abdomen bawah, dan dengan cepat menyebar
ke seluruh abdomen yang disebabkan oleh terkumpulnya darah di rongga abdomen.
Periode amenorea umumnya 6-8 minggu. Pemeriksaan klinik ditandai dengan
hipotensi bahkan syok, takikardi, dan distensi abdomen. Pada pemeriksaan bimanual
ditemukan nyeri goyang portio digerakkan, forniks posterior vagina menonjol karena
darah terkumpul di kavum douglas, atau teraba massa di salah satu sisi uterus
(Anwar, 2011).
Pemeriksaan laboratorium dilakukan dengan pemeriksaan hemoglobin dan
jumlah sel darah merah berguna dalam menegakkan diagnosis kehamilan ektopik
terganggu terutama bila ada tanda-tanda perdarahan dalam rongga perut.
Pemeriksaan hemoglobin dan hematokrit dapat dilakukan secara serial dengan jarak
satu jam selama 3 kali berturut-turut. Bila terjadi penurunan hemoglobin dan
hematokrit dapat mendukung diagnosis kehamilan ektopik terganggu. Pada kasus
kehamilan ektopik yang tidak mendadak biasanya disertai dengan adanya anemia
tetapi harus diingat bahwa penurunan hemoglobin baru terlihat setelah 24 jam
(Prawirohardjo, 2009).
Untuk membedakan kehamilan ektopik dari infeksi pelvis, dapat diperhatikan
jumlah leukosit. Jumlah leukosit yang melebihi 20.000 biasanya menunjuk pada
keadaan yang terakhir. Tes kehamilan berguna apabila hasilnya positif. Akan tetapi
tes negatif tidak menyingkirkan kemungkinan kehamilan ektopik terganggu karena
kematian hasil konsepsi dan degenerasi trofoblas meyebabkan produksi human
chorionic gonadotropin menurun dan menyebabkan tes negatif (Prawirohardjo,
2009).
Kuldosentesis adalah suatu cara pemeriksaan untuk mengetahui apakah
dalam kavum douglasi ada darah. Cara ini sangat berguna dalam membantu
membuat diagnois kehamilan ektopik terganggu (Prawirohardjo, 2009).
Gambar 4.2 Perempuan berusia 29-tahun HPHT 8 minggu yang lalu, datang dengan
keluhan nyeri perut bagian bawah onset akut dan hipotensi. Gambaran ultrasound
pelvis transabdominal longitudinal menunjukkan kavitas endometrium yang kosong
(panah biru), dengan distensi struktur tuba (kotak hijau), posterior dari uterus.
Terdapat sejumlah echogenitas campuran di cul-de-sac (oval kuning), konsisten
dengan gambaran clot/darah. Temuan ini sangat mengarah pada kehamilan ektopik
terganggu. Gambar kotak merah adalah pembesaran pada kehamilan ektopik di
tuba. (Chanana, et al., 2017)
4.6.1.1 Kehamilan ektopik tuba pada USG
Kehamilan ektopik di tuba merupakan tipe kehamilan ektopik yang paling
sering ditemukan, yang merupakan kira-kira 95% dari seluruh kehamilan ektopik.
Mayoritasnya berada di ampulla (75 – 80%) dan lebih jarang pada isthmus (12%)
dan fimbria (5%). (Chanana, et al., 2017)
Gambar 4.3. Perempuan 32 tahun HPHT 9 minggu yang lalu dengan nyeri perut
kanan bawah. (a) Sonogram pelvis transvaginal midsagital tidak menunjukkan
gestation sac. Cairan dan clot pada cul-de-sac (tanda bintang merah). (b) Sonogram
parasagittal kanan menunjukkan struktur adneksa dextra yang homogen (lingkaran
kuning), signifikan terhadap kehamilan ektopik tuba. (c) Pencitraan Color Doppler
(Diperbesar) menunjukkan adanya aliran darah pada kutub fetal dengan gerakan
jantung. (d) Transverse Spectral Doppler menunjukkan gestational sac (panah putih)
dengan embryo (panah bengkok biru) pada bagian isthmus tuba falopi dekstra
dengan gerakan jantung yang intak. (Chanana, et al., 2017)
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kehamilan ektopik ialah suatu kehamilan yang pertumbuhan sel telur yang
telah dibuahi tidak menempel pada dinding endometrium kavum uteri, yaitu bisa
terjadi di tuba fallopi, serviks ovarium maupun abdominal. Etiologi penyakit ini yaitu
bila nidasi terjadi di luar kavum uteri atau di luar endometrium, maka terjadilah
kehamilan ektopik. Adapun faktor resikonya adalah faktor kehamilan ektopik
sebelumnya, faktor tuba yang mana bila terjadi infeksi lumennya dapat menyempit,
selain itu faktor abnormalitas zigot, faktor ovarium, faktor hormon dan faktor lainnya
dapat mempengaruhi terjadinya kehamilan ektopik.
Anamnesis diperlukan dalam proses penegakan diagnosis, yaitu adanya
riwayat amenorea, nyeri abdomen bagian bawah, dan perdarahan dari uterus. Selain
itu, alat bantu diagnostik yang dapat digunakan ialah USG, laparoskopi, atau
kuldoskopi. Sebagai alat diagnosis, TVS (Transvaginal ultrasonography) beresolusi
tinggi menggantikan laparoskopi sebagai baku emas / gold standard untuk diagnosis
Kehamilan Ektopik. Kondisi penyerta dan komplikasi dari kehamilan ektopik dapat
dievaluasi lebih baik dengan menggunakan MRI atau mungkin terdeteksi secara
tidak sengaja (accidental) dengan MRI ketika dicurigai diagnosis yang lain.
Penanganan kehamilan ektopik pada umumnya adalah laparotomi. Namun,
harus diperhatikan dan dipertimbangkan kondisi penderita saat itu, keinginan
penderita akan fungsi organ reproduksinya, lokasi kehamilan ektopik, kondisi
anatomi organ pelvis dan lainnya. Tindakan pembedahan yang bisa dilakukan antara
lain salpingostomi atau dengan salpingektomi.