Anda di halaman 1dari 31

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Pendahuluan
Kehamilan ektopik terganggu adalah termasuk kehamilan dengan resiko
tinggi yang dapat ditandai oleh pendarahan baik berupa bercak maupun sedang
yang dapat mengancam jiwa ibu (Lomboan, Mamengko & Wantania 2015).
Kehamilan ektopik merupakan kehamilan yang berbahaya karena tempat
implantasinya tidak memberikan kesempatan untuk tumbuh kembang mencapai
aterm dan merupakan keadaan emergensi yang menjadi penyebab kematian
maternal selama trimester pertama, karena janin pada kehamilan ektopik secara
nyata bertanggung jawab terhadap kematian ibu, maka para dokter menyarankan
untuk mengakhiri kehamilan. Istilah kehamilan ektopik lebih tepat digunakan
daripada istilah kehamilan ekstrauterin, karena terdapat beberapa jenis kehamilan
ektopik yang terjadi di dalam uterus tetapi tidak pada tempat yang normal seperti
kehamilan yang terjadi pada pars interstitialis tuba dan serviks uteri (Logor,
Wagey & Loho, 2011).
Kehamilan ektopik terganggu adalah kehamilan yang berakhir dengan
abortus dan ruptur yang menyebabkan penurunan keadaan umum pasien. Resiko
kehamilan ektopik sangat besar karena kehamilan ini tidak bisa menjadi normal.
Bila telur tersebut tetap tumbuh dan besar di saluran tuba maka suatu saat tuba
tersebut akan pecah dan dapat menyebabkan perdarahan yang sangat hebat dan
mematikan. Apabila seseorang mengalami kehamilan ektopik maka kehamilan
tersebut harus cepat diakhiri karena besarnya risiko yang ditanggungnya.

Prinsip dasarnya jika pada wanita dalam masa reproduksi dengan


gangguan atau keterlambatan haid yang disertai dengan nyeri perut bagian bawah,
perlu difikirkan kehamilan ektopik terganggu. Gambaran klinik kehamilan ektopik
yang terganggu amat beragam. Sekitar 10 29% pasien yang pernah mengalami
kehamilan ektopik, mempunyai kemungkinan untuk terjadi lagi. Kira-kira
sepertiga sampai separuh dari pasien dengan kehamilan ektopik mempunyai
riwayat infeksi pelvis sebelumnya.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1. Definisi
Kehamilan ektopik didefinisikan sebagai setiap kehamilan yang terjadi di
luar kavum uteri, yaitu bila sel telur yang dibuahi berimplantasi dan tumbuh di
luar endometrium kavum uteri. Kehamilan ekstrauterin tidak sinonim dengan
kehamilan ektopik karena kehamilan pada pars interstitialis tuba dan kanalis
servikalis masih termasuk dalam uterus tetapi jelas bersifat ektopik (Cuningham,
2005).
Kehamilan ektopik adalah kehamilan yang tempat implantasi/ nidasi/
melekatnya buah kehamilan di luar tempat yang normal, yakni di luar rongga
rahim. Sedangkan yang disebut sebagai kehamilan ektopik terganggu adalah suatu
kehamilan ektopik yang mengalami abortus ruptur pada dinding tuba (Fatmir,
2010).

Gambar 2.1 Kehamilan ektopik

2. 2. Epidemiologi
Frekuensi dari kehamilan ektopik dan kehamilan intrauteri dalam satu
konsepsi yang spontan terjadi dalam 1 dalam 30.000 atau kurang. Angka
kehamilan ektopik per 1000 diagnosis konsepsi, kehamilan atau kelahiran hidup
telah dilaporkan berkisar antara 2,7 hingga 12,9. Angka kejadian kehamilan
ektopik dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Diantara faktor-faktor yang
terlibat adalah meningkatnya pemakaian alat kontrasepsi dalam rahim, penyakit
radang panggul, usia ibu yang lanjut, pembedahan pada tuba, dan pengobatan
infertilitas dengan terapi induksi superovulasi (Yulaikh, 2009).
Angka kejadian kehamilan ektopik di Amerika Serikat meningkat dalam
dekade terakhir yaitu dari 4,5 per 1000 kehamilan pada tahun 1970 menjadi 19,7
per 1000 kehamilan pada tahun 1992. Kehamilan ektopik masih menjadi
penyebab kematian utama pada ibu hamil di Kanada yaitu berkisar 4% dari 20
kematian ibu pertahun. Sebagian besar wanita yang mengalami kehamilan ektopik
berumur antara 20-40 tahun dengan umur rata-rata 30 tahun. Frekuensi kehamilan
ektopik yang berulang dilaporkan berkisar antara 0-14,6% (Pricillia, 2015).
Didapatkan 2% dari keseluruhan kehamilan merupakan kehamilan ektopik.
Pada kehamilan ektopik ini merupakan penyebab utama kematian pada trimester
pertama, serta bertanggung jawab atas 9% dari seluruh kematian yang terjadi pada
ibu hamil (Pricillia, 2015).

2. 3. Etiologi
Etiologi kehamilan ektopik terganggu telah banyak diselidiki, tetapi
sebagian besar penyebabnya tidak diketahui. Beberapa faktor yang berhubungan
dengan penyebab kehamilan ektopik terganggu antara lain (Prawirohardjo, 2005):
1. Faktor Mekanis
Hal-hal yang mengakibatkan terhambatnya perjalanan ovum yang dibuahi
ke dalam kavum uteri, antara lain:

Salpingitis, terutama endosalpingitis yang menyebabkan aglutinasi silia


lipatan mukosa tuba dengan penyempitan saluran atau pembentukan kantongkantong buntu. Berkurangnya silia mukosa tuba sebagai akibat infeksi juga
menyebabkan implantasi hasil zigot pada tuba falopii.

Adhesi peritubal setelah infeksi pasca abortus/ infeksi pasca nifas, apendisitis,
atau endometriosis, yang menyebabkan tertekuknya tuba atau penyempitan
lumen.

Kelainan pertumbuhan tuba, terutama divertikulum, ostium asesorius dan


hipoplasi.

Bekas operasi tuba memperbaiki fungsi tuba atau terkadang kegagalan usaha
untuk memperbaiki patensi tuba pada sterilisasi.

Tumor yang merubah bentuk tuba seperti mioma uteri dan adanya benjolan
pada adneksia.

Penggunaan IUD.

2. Factor Fungsional

Migrasi eksternal ovum terutama pada kasus perkembangan duktus mulleri


yang abnormal

Refluks menstruasi

Berubahnya motilitas tuba karena perubahan kadar hormon estrogen dan


progesteron

3. Peningkatan daya penerimaan mukosa tuba terhadap ovum yang dibuahi


4. Hal lainnya, seperti riwayat KET dan riwayat abortus induksi sebelumnya.
Sebagian besar kehamilan ektopik berlokasi di tuba. Sangat jarang terjadi
implantasi pada ovarium, rongga perut, kanalis servikalis uteri, tanduk uterus
yang rudimenter, dan divertikel pada uterus. Berdasarkan implantasi hasil
konsepsi pada tuba, terdapat kehamilan pars interstisialis tuba, kehamilan pars
ismika tuba, kehamilan pars ampullaris tuba dan kehamilan infundibulum tuba
(Prawirohardjo, 2005).
Etiologi kehamilan ektopik telah banyak diselidiki, tetapi sebagian besar
penyebabnya tidak diketahui. Tiap kehamilan dimulai dengan pembuahan telur
dibagian ampulla tuba, dan dalam perjalanan ke uterus telur mengalami hambatan
sehingga pada saat nidasi masih di tuba, atau nidasinya di tuba dipermudah
(Prawirohardjo, 2005).
Beberapa pembagian yang berbeda mengenai factor-faktor yang memegang
peranan dalam hal ini adalah sebagai berikut (Prawiroharjo, 2007):

1. Factor dalam lumen tuba


a. Endosalpingitis dapat menyebabkan perlekatan endosalping, sehingga lumen
tuba menyempit atau membentuk kantong buntu.
b. Pada hipoplasia uteri lumen tuba sempit dan berlekuk-lekuk dan hal ini sering
disertai gangguan fungsi silia endosalping.
c. Operasi plastic tuba dan sterilisasi yang tak sempurna dapat menjadi sebab
lumen tuba menyempit.
2. Faktor pada dinding tuba
a. Endometriosis tuba dapat mempermudahkan implantasi telur yang dibuahi
dalam tuba;
b. Divertikel tuba congenital atau ostium assesorius tubae dapat menahan telur
yang dibuahi di tempat ini.
3. Factor di luar dinding tuba
a. Perlekatan peritubal dengan distorsi atau lekukan tuba dapat menghambat
perjalanan telur.
b. Tumor yang menekan dinding tuba dapat menyempitkan lumen tuba.
4. Factor lain
a. Migrasi luar ovum, yaitu perjalanan dari ovarium kanan ke tuba kiri atau
sebaliknya dapat memperpanjang perjalanan telur yang dibuahi ke uterus;
pertumbuhan telur yang terlalu cepat dapat menyebabkan implantasi
premature.
b. Fertilisasi in vitro.

2.4. Determinan
a) Usia
Umur merupakan faktor resiko yang penting terhadap terjadinya kehamilan
ektopik. Sebagian besar wanita mengalami kehamilan ektopik berumur 20-40
tahun dengan umur rata-rata 30 tahun. Menurut Linardakis (1998) 40% dari
kehamilan ektopik terjadi antara umur 20-29 tahun.
b) Paritas
Insiden kehamilan ektopik meningkat seiring dengan pertambahan paritas.
Kejadian ini lebih banyak terjadi pada multipara. Terdapat laporan yang
menyebutkan kejadiannya satu dalam 2600 kehamilan.
c) Ras/Suku
Menurut Philip Kotler, banyak faktor yang mempengaruhi perilaku seseorang,
salah satunya adalah faktor sosial dan kebudayaan. Suku termasuk bagian dari
budaya yang tentunya akan mempengaruhi perilaku dalam menggunakan
pelayanan kesehatan termasuk pelayanan kebidanan. Kehamilan ektopik lebih
sering di temukan pada wanita kulit hitam dari pada wanita kulit putih. Perbedaan
ini diperkirakan karena peradangan pelvis lebih banyak ditemukan pada golongan
wanita kulit hitam.
d) Agama
Agama merupakan salah satu faktor sosio demografi yang mempengaruhi
penggunaann pelayanan kesehatan termasuk pelayanan kebidanan yang
merupakan salah satu bentuk dari pelayanan kesehatan yang bertujuan untuk
menjamin agar setiap wanita hamil dan menyusui dapat memelihara kesehatannya

sesempurna mungkin, dapat melahirkan bayi yang sehat tanpa gangguan apapun
dan dapat merawatnya dengan baik.
e) Tingkat Pendidikan
Ibu dengan pendidikan lebih tinggi cenderung lebih memperhatikan
kesehatannya selama kehamilan bila dibanding dengan ibu yang tingkat
pendidikannya lebih rendah. Pendidikan ibu merupakan salah satu faktor penting
dalam usaha menjaga kesehatan ibu, anak dan juga keluarga. Semakin tinggi
pendidikan formal seorang ibu diharapkan semakin meningkat pengetahuan dan
kesadarannya

dalam

mengantisipasi

kesulitan

dalam

kehamilan

dan

persalinannya, sehingga timbul dorongan untuk melakukan pengawasan


kehamilan secara berkala dan teratur.
f) Pekerjaan
Derajat sosio ekonomi masyarakat akan menunjukkan tingkat kesejahteraan
dan kesempatannya dalam menggunakan dan menerima pelayanan kesehatan.
Jenis pekerjaan ibu maupun suaminya akan mencerminkan keadaan sosio
ekonomi keluarga. Kehamilan ektopik lebih sering terjadi pada keadaan sosio
ekonomi yang rendah.
g) Riwayat Penyakit Terdahulu
Riwayat penyakit yang berhubungan dengan resiko kehamilan ektopik adalah
infeksi, tumor yang mengganggu keutuhan saluran telur, dan keadaan infertil.
h) Riwayat Kehamilan Jelek
Riwayat kehamilan yang berhubungan dengan resiko kehamilan ektopik
adalah kehamilan ektopik, induksi abortus berulang dan mola. Sekali pasien

10

pernah mengalami kehamilan ektopik ia mempunyai kemungkinan 10 sampai


25% untuk terjadi lagi. Hanya 60% dari wanita yang pernah mengalami
kehamilan ektopik menjadi hamil lagi, walaupun angka kemandulannya akan jadi
lebih tinggi. Angka kehamilan ektopik yang berulang dilaporkan berkisar antara
0-14.6%. Sebagai konsekuensinya, beberapa pasien melaporkan kehamilan
ektopik sebelumnya dan mengenal gejala-gejala sekarang yang serupa.
i) Riwayat infeksi pelvis
Kira-kira sepertiga sampai separuh dari pasien dengan kehamilan ektopik
mempunyai riwayat infeksi pelvis sebelumnya. Calon ibu menderita infeksi akibat
penyakit GO (gonorrhea) ataupun radang panggul. Hal inilah yang menyebabkan
ibu yang menderita keputihan harus melakukan pemeriksaan untuk memastikan
gejala yang di deritanya adalah tanda infeksi atau hanya keputihan yang bersifat
fisiologis.
j) Riwayat kontrasepsi
Riwayat kontrasepsi membantu dalam penilaian kemungkinan kehamilan
ektopik. Pada kasus-kasus kegagalan kontrasepsi pada wanita yang menggunakan
kontrasepsi oral atau dengan alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR), rasio
kehamilan ektopik dibandingkan dengan kehamilan intrauterin adalah lebih besar
daripada wanita-wanita yang tidak menggunakan metode kontrasepsi. Kejadian
kehamilan ektopik pada akseptor AKDR dilaporkan 12 kali lebih tinggi
dibandingkan dengan pemakai kondom. Diperkirakan terjadi 2 kehamilan ektopik
per 1000 akseptor AKDR setiap tahun. Akseptor pil yang berisi hanya progestagen
dilaporkan mempunyai insiden yang tinggi terhadap kehamilan ektopik apabila

11

terjadi kehamilan selagi menjadi akseptor yaitu 5 kali lebih tinggi dibandingkan
dengan insidennya yang biasa. Pada pemakai pil mini 4-6% dari kehamilannya
dilaporkan adalah ektopik, akan tetapi dilaporkan tidak terjadi perubahan insiden
pada akseptor pil kombinasi.
k) Riwayat operasi tuba
Adanya riwayat pembedahan tuba sebelumnya baik prosedur sterilisasi yang
gagal maupun usaha untuk memperbaiki infertilitas tuba semakin umum sebagai
faktor resiko terjadinya kehamilan ektopik.
l) Merokok
Merokok pada waktu terjadi konsepsi meningkatkan meningkatkan insiden
kehamilan ektopik yang diperkirakan sebagai akibat perubahan jumlah dan
afinitas reseptor andrenergik dalam tuba.

2. 5. Faktor Resiko
Ada berbagai macam faktor yang dapat menyebabkan kehamilan ektopik.
Namun kehamilan ektopik juga dapat terjadi pada wanita tanpa faktor risiko.
Lebih dari setengah kehamilan ektopik yang berhasil diidentifikasi ditemukan
pada wanita tanpa ada faktor resiko. Faktor risiko kehamilan ektopik adalah
(Prawirohardjo, 2005):
a. Riwayat kehamilan ektopik sebelumnya
Merupakan faktor risiko paling besar untuk kehamilan ektopik. Angka
kekambuhan sebesar 15% setelah kehamilan ektopik pertama dan meningkat
sebanyak 30% setelah kehamilan ektopik kedua.

12

b. Penggunaan kontrasepsi spiral dan pil progesteron


Kehamilan ektopik meningkat apabila ketika hamil masih menggunakan
kontrasepsi spiral (3-4%). Pil yang mengandung hormon progesteron juga
meningkatkan kehamilan ektopik karena dapat mengganggu pergerakan sel
rambut silia di saluran tuba yang membawa sel telur yang sudah dibuahi untuk
berimplantasi ke dalam rahim.
c. Kerusakan dari saluran tuba

2. 6. Patofisiologi
Proses implantasi ovum yang dibuahi yang terjadi di tuba pada dasarnya
sama dengan halnya di kavum uteri. Telur di tuba bernidasi secara kolumner atau
interkolumner. Implantasi secara kolumner yaitu telur berimplantasi pada ujung
atau sisi jonjot endosalping. Perkembangan telur selanjutnya dibatasi oleh
kurangnya vaskularisasi dan biasanya telur mati secara dini dan kemudian
diresorpsi (Kurt, 2009).
Nidasi secara interkolumner terjadi telur bernidasi antara dua jonjot
endosalping. Setelah tempat nidasi tertutup, maka telur dipisahkan dari lumen
tuba oleh lapisan jaringan yang menyerupai desidua dan dinamakan
pseudokapsularis. Karena pembentukan desidua di tuba tidak sempurna, dengan
mudah vili korialis menembus endosalping dan masuk ke dalam lapisan otot-otot
tuba dengan merusak jaringan dan pembuluh darah. Perkembangan janin
selanjutnya bergantung pada beberapa faktor, seperti tempat implantasi, tebalnya

13

dinding tuba dan banyaknya perdarahan yang terjadi oleh invasi trofoblas (Kurt,
2009).
Di bawah pengaruh hormon estrogen dan progesteron dari korpus luteum
graviditas dan trofoblas, uterus menjadi besar dan lembek. Endometrium dapat
pula berubah menjadi desidua. Setelah janin mati, desidua dalam uterus
mengalami degenerasi dan kemudian dikeluarkan berkeping-keping atau
dilepaskan secara utuh. Perdarahan pervaginam yang dijumpai pada kehamilan
ektopik terganggu berasal dari uterus dan disebabkan oleh pelepasan desidua yang
degenerative (Kurt, 2009).
Tuba bukanlah tempat untuk pertumbuhan hasil konsepsi, sehingga tidak
mungkin janin tumbuh secara utuh seperti dalam uterus. Sebagian besar
kehamilan tuba terganggu pada umur kehamilan antara 6 sampai 10 minggu.
Terdapat beberapa kemungkinan mengenai nasib kehamilan dalam tuba yaitu
(Cuningham, 2005):
1. Hasil konsepsi mati dini dan direasorpsi
Pada implantasi secara kolumner, ovum yang dibuahi cepat mati
karena vaskularisasi kurang dan dengan mudah terjadi resorpsi total.
Dalam keadaan ini penderita tidak mengeluh apa-apa dan haidnya
terlambat untuk beberapa hari (Cuningham, 2005).

2. Abortus ke dalam lumen tuba


Perdarahan yang terjadi karena pembukaan pembuluh-pembuluh darah
oleh villi koriales pada dinding tuba di tempat implantasi dapat melepaskan
mudigah dari dinding tersebut bersama-sama dengan robeknya pseudokapsularis.

14

Pelepasan ini dapat terjadi sebagian atau seluruhnya. Bila pelepasan menyeluruh,
mudigah dan selaputnya dikeluarkan dalam lumen tuba dan kemudian didorong
oleh darah ke arah ostium tuba abdominale. Perdarahan yang berlangsung terus
menyebabkan tuba membesar dan kebiru-biruan (Hematosalping) dan selanjutnya
darah mengalir ke rongga perut melalui ostium tuba, berkumpul di kavum douglas
dan akan membentuk hematokel retrouterina (Cuningham, 2005).
3. Ruptur dinding tuba
Ruptur tuba sering terjadi bila ovum berimplantasi pada ismus dan
biasanya pada kehamilan muda. Sebaliknya ruptur pada pars interstitialis terjadi
pada kehamilan yang lebih lanjut. Faktor utama yang menyebabkan ruptur ialah
penembusan villi koriales ke dalam lapisan muskularis tuba terus ke peritoneum.
Ruptur dapat terjadi secara spontan atau karena trauma ringan. Darah dapat
mengalir ke dalam rongga perut melalui ostium tuba abdominale. Bila ostium tuba
tersumbat, ruptur sekunder dapat terjadi. Dalam hal ini, dinding tuba yang telah
menipis oleh invasi trofoblas, pecah karena tekanan darah dalam tuba. Kadangkadang ruptur terjadi di arah ligamentum latum dan terbentuk hematoma
intraligamenter antara 2 lapisan ligamentum tersebut. Jika janin hidup terus, dapat
terjadi kehamilan intraligamenter (Kurt, 2009).
Pada ruptur ke rongga perut, seluruh janin dapat keluar dari tuba, tetapi
bila robekan tuba kecil, perdarahan terjadi tanpa hasil konsepsi dikeluarkan dari
tuba. Nasib janin bergantung pada tuanya kehamilan dan kerusakan yang diderita.
Bila janin mati dan masih kecil, dapat diresorpsi seluruhnya, dan bila besar dapat
diubah menjadi litopedion (Kurt, 2009).

15

Janin yang dikeluarkan dari tuba dengan masih diselubungi oleh kantong
amnion dan dengan plasenta masih utuh kemungkinan tumbuh terus dalam rongga
perut, sehingga terjadi kehamilan ektopik lanjut atau kehamilan abdominal
sekunder. Untuk mencukupi kebutuhan makanan bagi janin, plasenta dari tuba
akan meluaskan implantasinya ke jaringan sekitarnya misalnya ke sebagian
uterus, ligamentum latum, dasar panggul dan usus (Kurt, 2009).

2. 7. Jenis Kehamilan Ektopik


1) Kehamilan Pars Interstisialis Tuba
Kehamilan ektopik ini terjadi bila ovum bernidasi pada pars interstisialis
tuba. Keadaan ini jarang terjadi dan hanya satu persen dari semua kehamilan tuba.
Rupture pada keadaan ini terjadi pada kehamilan lebih tua, dapat mencapai akhir
bulan keempat. Perdarahan yang terjadi sangat banyak dan bila tidak segera
dioperasi akan menyebabkan kematian (Winkjosastro, 1999).

Gambar 2.2 Kehamilan Tuba


Tindakan operasi yang dilakukan adalah laparatomi untuk membersihkan
isi kavum abdomen dari darah dan sisa jaringan konsepsi serta menutup sumber

16

perdarahan dengan melakukan irisan baji (wegde resection) pada kornu uteri
dimana tuba pars interstisialis berada (Winkjosastro, 1999).
2) Kehamilan ektopik ganda
Sangat jarang kehamilan ektopik berlangsung bersamaan dengan
kehamilan intrauterine. Keadaan ini disebut kehamilan ektopik ganda (combined
ectopic pregnancy). Frekuensinya berkisar 1 di antara 15.000 40.000 persalinan.
Di Indonesia sudah dilaporkan beberapa kasus (Manuaba, 2007).
Pada umumnya diagnosis kehamilan dibuat pada waktu operasi kehamilan
ektopik yang terganggu. Pada laparotomi ditemukan uterus yang membesar sesuai
dengan tuanya kehamilan dan 2 korpora lutea (Manuaba, 2007).
3) Kehamilan Ovarial
Kehamilan ovarial primer sangat jarang terjadi. Diagnosis kehamilan
tersebut ditegakkan atas dasar 4 kriteria dari Spiegelberg, yakni (Manuaba, 2007):
a. Tuba pada sisi kehamilan harus normal
b. Kantong janin harus berlokasi pada ovarium
c. Kantong janin dihubungkan dengan uterus oleh ligamentum ovary proprium
d. Jaringan ovarium yang nyata harus ditemukan dalam dinding kantong janin
Diagnosis yang pasti diperoleh bila kantong janin kecil dikelilingi oleh
jaringan ovarium dengan trofoblas memasuki alat tersebut. Pada kehamilan
ovarial biasanya terjadi rupture pada kehamilan muda dengan akibat perdarahan
dalam perut. Hasil konsepsi dapat pula mengalami kematian sebelumnya sehingga
tidak terjadi rupture, ditemukan benjolan dengan berbagai ukuran yang terdiri atas

17

ovarium yang mengandung darah, vili korialis dan mungkin juga selaput mudigah
(Manuaba, 2007).
4) Kehamilan servikal
Kehamilan servikal juga sangat jarang terjadi. Bila ovum berimplantasi
dalam kavum servikalis, maka akan terjadi perdarahan tanpa nyeri pada kehamilan
muda. Jika kehamilan berlangsung terus, serviks membesar dengan ostium uteri
eksternum terbuka sebagian. Kehamilan servikal jarang melampaui 12 minggu
dan biasanya diakhiri secara operatif oleh karena perdarahan. Pengeluaran hasil
konsepsi pervaginam dapat menyebabkan banyak perdarahan, sehingga untuk
menghentikan perdarahan diperlukan histerektomi totalis (Manuaba, 2007).
5) Kehamilan ektopik lanjut
Merupakan kehamilan ektopik dimana janin dapat tumbuh terus karena
mendapat cukup zat-zat makanan dan oksigen dari plasenta yang meluaskan
implantasinya ke jaringan sekitar misalnya ligamentum latum, uterus, dasar
panggul, usus dan sebagainya. Dalam keadaan demikian, anatomi sudah kabur.
Kehamilan ektopik lanjut biasanya terjadi sekunder dari kehamilan tuba yang
mengalami abortus atau ruptur dan janin dikeluarkan dari tuba dalam keadaan
masih diselubungi oleh kantung ketuban dengan plasenta yang masih utuh yang
akan terus tumbuh terus di tempat implantasinya yang baru (Manuaba, 2007).
2. 8. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis secara umum tergantung dari lokasi terjadinya. Tanda dan
gejalanya sangat bervariasi tergantung pada ruptur atau tidaknya kehamilan

18

tersebut. Adapun gejala dan hasil pemeriksaan laboratorium antara lain (Murray,
2011) :
a. Keluhan gastrointestinal
Keluhan yang paling sering dikemukakan oleh pasien kehamilan ektopik
terganggu adalah nyeri pelvis. Dorfman menekankan pentingnya keluhan
gastrointestinal dan vertigo atau rasa pening. Semua keluhan tersebut mempunyai
keragaman dalam hal insiden terjadinya akibat kecepatan dan taraf perdarahannya
di samping keterlambatan diagnosis (Murray, 2011)
b. Nyeri tekan abdomen dan pelvis
Nyeri tekan yang timbul pada palpasi abdomen dan pemeriksaan,
khususnya dengan menggerakkan servik, dijumpai pada lebih dari tiga per empat
kasus kehamilan ektopik sudah atau sedang mengalami ruptur, tetapi kadangkadang tidak terlihat sebelum rupture terjadinya (Murray, 2011)
c. Amenore
Riwayat amenore tidak ditemukan pada seperempat kasus atau lebih. Salah
satu sebabnya adalah karena pasien menganggap perdarahan pervaginam yang
lazim pada kehamilan ektopik sebagai periode haid yang normal, dengan
demikian memberikan tanggal haid terakhir yang keliru (Murray, 2011)
d. Spotting atau perdarahan vaginal
Selama fungsi endokrin plasenta masih bertahan, perdarahan uterus
biasanya tidak ditemukan, namun bila dukungan endokrin dari endometrium
sudah tidak memadai lagi, mukosa uterus akan mengalami perdarahan. Perdarahan

19

tersebut biasanya sedikit-sedikit, bewarna cokelat gelap dan dapat terputus-putus


atau terus-menerus (Murray, 2011)
e. Perubahan Uterus
Uterus pada kehamilan etopik dapat terdorong ke salah satu sisi oleh masa
ektopik tersebut. Pada kehamilan ligamentum latum atau ligamentum latum terisi
darah, uterus dapat mengalami pergeseran hebat. Uterine cast akan dieksresikan
oleh sebagian kecil pasien, mungkin 5% atau 10% pasien. Eksresi uterine cast ini
dapat disertai oleh gejala kram yang serupa dengan peristiwa ekspulsi spontan
jaringan abortus dari kavum uteri (Cuningham, 2005).
f. Tekanan darah dan denyut nadi
Reaksi awal pada perdarahan sedang tidak menunjukkan perubahan pada
denyut nadi dan tekanan darah, atau reaksinya kadang-kadang sama seperti yang
terlihat pada tindakan flebotomi untuk menjadi donor darah yaitu kenaikan ringan
tekanan darah atau respon vasovagal disertai bradikardi serta hipotensi (Murray,
2011).
g. Hipovolemi
Penurunan nyata tekanan darah dan kenaikan denyut nadi dalam posisi
duduk merupakan tanda yang paling sering menunjukkan adanya penurunan
volume darah yang cukup banyak. Semua perubahan tersebut mungkin baru
terjadi setelah timbul hipovolemi yang serius (Cuningham, 2005).
h. Suhu tubuh
Setelah terjadi perdarahan akut, suhu tubuh dapat tetap normal atau
bahkan menurun. Suhu yang lebih tinggi jarang dijumpai dalam keadaan tanpa

20

adanya infeksi. Karena itu panas merupakan gambaran yang penting untuk
membedakan antara kehamilan tuba yang mengalami ruptura dengan salpingitis
akut, dimana pada keadaan ini suhu tubuh umumnya diatas 38 C (Murray, 2011).
i. Masa pelvis
Masa pelvis dapat teraba pada 20% pasien. Masa tersebut mempunyai
ukuran, konsistensi serta posisi yang bervariasi. Biasanya masa ini berukuran 5-15
cm, sering teraba lunak dan elastis. Akan tetapi dengan terjadinya infiltrasi
dinding tuba yang luas oleh darah masa tersebut dapat teraba keras. Hampir selalu
masa pelvis ditemukan di sebelah posterior atau lateral uterus. Keluhan nyeri dan
nyeri tekan kerap kali mendahului terabanya masa pelvis dalam tindakan palpasi
(Schwart, 2000).
j. Hematokel pelvik
Pada kehamilan tuba, kerusakan dinding tuba yang terjadi bertahap akan
diukuti oleh perembesan darah secara perlahan-lahan ke dalam lumen tuba, kavum
peritonium atau keduanya. Gejala perdarahan aktif tidak terdapat dan bahkan
keluhan yang ringan dapat mereda, namun darah yang terus merembes akan
berkumpul dalam panggul, kurang lebih terbungkus dengan adanya perlekatan dan
akhirnya membentuk hematokel pelvis (Schwart, 2000).
Gejala-gejala kehamilan ektopik terganggu beraneka ragam, sehingga
pembuatan diagnosis kadang-kadang menimbulkan kesulitan, khususnya pada
kasus-kasus kehamilan ektopik yang belum mengalami atau ruptur pada dinding
tuba sulit untuk dibuat diagnosis (Rachimhadi, 2005).

21

Gambaran klinik kehamilan tuba yang belum terganggu tidak khas dan
penderita maupun dokter biasanya tidak mengetahui adanya kelainan dalam
kehamilan, sampai terjadinya abortus tuba atau ruptur tuba (Rachimhadi, 2005).
1. Kehamilan ektopik belum terganggu
Kehamilan ektopik yang belum terganggu atau belum mengalami ruptur
sulit untuk diketahui, karena penderita tidak menyampaikan keluhan yang khas.
Amenorea atau gangguan haid dilaporkan oleh 75-95% penderita. Lamanya
amenore tergantung pada kehidupan janin, sehingga dapat bervariasi. Sebagian
penderita tidak mengalami amenore karena kematian janin terjadi sebelum haid
berikutnya. Tanda-tanda kehamilan muda seperti nausea dilaporkan oleh 10-25%
kasus (Murray, 2011).
Di samping gangguan haid, keluhan yang paling sering disampaikan ialah
nyeri di perut bawah yang tidak khas, walaupun kehamilan ektopik belum
mengalami ruptur. Kadang-kadang teraba tumor di samping uterus dengan batas
yang sukar ditentukan. Keadaan ini juga masih harus dipastikan dengan alat bantu
diagnostik yang lain seperti ultrasonografi (USG) dan laparoskopi (Murray, 2011).
Mengingat bahwa setiap kehamilan ektopik akan berakhir dengan abortus
atau ruptur yang disertai perdarahan dalam rongga perut, maka pada setiap wanita
dengan gangguan haid dan setelah diperiksa dicurigai adanya kehamilan ektopik
harus ditangani dengan sungguh-sungguh menggunakan alat diagnostik yang ada
sampai diperoleh kepastian diagnostik kehamilan ektopik karena jika terlambat
diatasi dapat membahayakan jiwa penderita (Murray, 2011).
2. Kehamilan ektopik terganggu

22

Gejala dan tanda kehamilan tuba terganggu sangat berbeda-beda dari


perdarahan banyak yang tiba-tiba dalam rongga perut sampai terdapatnya gejala
yang tidak jelas. Gejala dan tanda bergantung pada lamanya kehamilan ektopik
terganggu, abortus atau ruptur tuba, tuanya kehamilan, derajat perdarahan yang
terjadi dan keadaan umum penderita sebelum hamil (Winkjosastro, 1999).
Diagnosis kehamilan ektopik terganggu pada jenis yang mendadak atau
akut biasanya tidak sulit. Nyeri merupakan keluhan utama pada kehamilan ektopik
terganggu (KET). Pada ruptur tuba, nyeri perut bagian bawah terjadi secara tibatiba dan intensitasnya disertai dengan perdarahan yang menyebabkan penderita
pingsan, tekanan darah dapat menurun dan nadi meningkat serta perdarahan yang
lebih banyak dapat menimbulkan syok, ujung ekstremitas pucat, basah dan dingin.
Rasa nyeri mula-mula terdapat dalam satu sisi, tetapi setelah darah masuk ke
dalam rongga perut, rasa nyeri menjalar ke bagian tengah atau keseluruh perut
bawah dan bila membentuk hematokel retrouterina menyebabkan defekasi nyeri
(Winkjosastro, 1999).
Perdarahan pervaginam merupakan tanda penting kedua pada kehamilan
ektopik terganggu. Hal ini menunjukkan kematian janin dan berasal dari kavum
uteri karena pelepasan desidua. Perdarahan dari uterus biasanya tidak banyak dan
berwarna coklat tua. Frekuensi perdarahan ditemukan dari 51-93%. Perdarahan
berarti gangguan pembentukan Hcg (human chorionic gonadotropin) (Murray,
2011).
Gejala yang menonjol ialah penderita tampak kesakitan, pucat dan pada
pemeriksaan ditemukan tanda-tanda syok serta perdarahan rongga perut. Pada

23

pemeriksaan ginekologik ditemukan serviks yang nyeri bila digerakkan dan


kavum Douglas yang menonjol dan nyeri raba. Pada abortus tubabiasanya teraba
dengan jelas suatu tumor di samping uterus dalam berbagai ukuran dengan
konsistensi agak lunak. Hematokel retouterina dapat diraba sebagai tumor di
kavum Douglas (Cuningham, 2005).
Kesulitan diagnosis biasanya terjadi pada kehamilan ektopik terganggu
jenis atipik atau menahun. Kelambatan haid tidak jelas, tanda dan gejala
kehamilan muda tidak jelas, demikian pula nyeri perut tidak nyata dan sering
penderita tampak tidak terlalu pucat. Hal ini dapat terjadi apabila perdarahan pada
kehamilan ektopik yang terganggu berlangsung lambat. Dalam keadaan yang
demikian, alat bantu diagnostik sangat diperlukan untuk memastikan diagnosis
(Cuningham, 2005).
2. 9. Diagnosis
Kesukaran membuat diagnosis yang pasti pada kehamilan ektopik belum
terganggu demikian besarnya sehingga sebagian besar penderita mengalami
abortus tuba atau ruptur ruba sebelum keadaan menjadi jelas. Alat bantu
diagnostik yang dapat digunakan ialah ultrasonografi (USG), laparoskopi atau
kuldoskopi (Murray, 2011).
a. Anamnesis
Haid biasanya terlambat untuk beberapa waktu, dan kadang-kadang
terdapat gejala subyektif kehamilan muda. Nyeri abdominal terutama bagian
bawah dan perdarahan pervaginam pada trimester pertama kehamilan merupakan
tanda dan gejala klinis yang mengarah ke diagnosis kehamilan ektopik. Gejala-

24

gejala nyeri abdominal dan perdarahan pervaginam tidak terlalu spesifik atau juga
sensitif (Prawiroharjo, 2012).
b. Pemeriksaan umum
Penderita tampak kesakitan dan pucat. Pada perdarahan dalam rongga
perut tanda-tanda syok dapat ditemukan. Pada jenis tidak mendadak perut bagian
bawah hanya sedikit menggembung dan nyeri tekan. Kehamilan ektopik yang
belum terganggu tidak dapat didiagnosis secara tepat semata-mata atas adanya
gejala-gejala klinis dan pemeriksaan fisik (Prawiroharjo, 2012).
c. Pemeriksaan ginekologi
Tanda-tanda kehamilan muda mungkin ditemukan. Pergerakan serviks
menyebabkan rasa nyeri. Bila uterus dapat diraba, maka akan teraba sedikit
membesar dan kadang-kadang teraba tumor di samping uterus dengan batas yang
sukar ditentukan. Kavum Douglas yang menonjol dan nyeri-raba menunjukkan
adanya hematokel retrouterina. Suhu kadang-kadang naik sehingga menyukarkan
perbedaan dengan infeksi pelvik (Prawiroharjo, 2012).
Hampir semua kehamilan ektopik didiagnosis antara kehamilan 5 dan 12
minggu. Identifikasi dari tempat implantasi embrio lebih awal dari pada
kehamilan 5 minggu melampaui kemampuan teknik-teknik diagnostik yang ada.
Pada usia kehamilan 12 minggu, kehamilan ektopik telah memperlihatkan gejalagejala sekunder terhadap terjadinya ruptur atau uterus pada wanita dengan
kehamilan intrauteri yang normal telah mengalami pembesaran yang berbeda
dengan bentuk dari kehamilan ektopik (Prawiroharjo, 2012).
d. Pemeriksaan laboratorium

25

Pemeriksaan hemoglobin dan jumlah sel darah merah berguna dalam


menegakkan diagnosis kehamilan ektopik. terganggu, terutama bila ada tandatanda perdarahan dalam rongga perut. Pada kasus tidak mendadak biasanya
ditemukan anemia, tetapi harus diingat bahwa penurunan hemoglobin baru terlihat
setelah 24 jam. Perhitungan leukosit secara berturut menunjukkan adanya
perdarahan bila leukosit meningkat (leukositosis). Untuk membedakan kehamilan
ektopik dari infeksi pelvik dapat diperhaikan jumlah leukosit. Jumlah leukosit
yang lebih dari 20.000 biasanya menunjukkan infeksi pelvik (Murray, 2011).
Penting untuk mendiagnosis ada tidaknya kehamilan. Cara yang paling
mudah ialah dengan melakukan pemeriksaan konsentrasi hormon human
chorionic gonadotropin (-hCG) dalam urin atau serum. Hormon ini dapat
dideteksi paling awal pada satu minggu sebelum tanggal menstruasi berikutnya.
Konsentrasi serum yang sudah dapat dideteksi ialah 5 IU/L, sedangkan pada urin
ialah 2050 IU/L. Tes kehamilan negatif tidak menyingkirkan kemungkinan
kehamilan ektopik terganggu karena kematian hasil konsepsi dan degenerasi
trofoblas

menyebabkan

human

chorionic

gonadotropin

menurun

dan

menyebabkan tes negatif. Tes kehamilan positif juga tidak dapat mengidentifikasi
lokasi kantung gestasional. Meskipun demikian, wanita dengan kehamilan ektopik
cenderung memiliki level -hCG yang rendah dibandingkan kehamilan intrauterin
(Murray, 2011).
d. Kuldosentesis

26

Ialah suatu cara pemeriksaan untuk mengetahui apakah terdapat darah


dalam kavum Douglas. Cara ini sangat berguna untuk membuat diagnosis
kehamilan ektopik terganggu. Teknik kuldosentesis yaitu (Murray, 2011):
- Penderita dibaringkan dalam posisi litotomi.
- Vulva dan vagina dibersihkan dengan antiseptik
- Spekulum dipasang dan bibir belakang porsio dijepit dengan tenakulum,
kemudian dilakukan traksi ke depan sehingga forniks posterior ditampakkan.
- Jarum spinal no. 18 ditusukkan ke dalam kavum douglas dan dengan semprit 10
ml dilakukan pengisapan.
Hasil positif bila dikeluarkan darah berwarna coklat sampai hitam yang
tdak membeku atau berupa bekuan-bekuan kecil. Hasil negatif bila cairan yang
dihisap berupa :
- Cairan jernih yang mungkin berasal dari cairan peritoneum normal atau
kista ovarium yang pecah.
- Nanah yang mungkin berasal dari penyakit radang pelvis atau radang
appendiks yang pecah (nanah harus dikultur).
- Darah segar berwarna merah yang dalam beberapa menit akan membeku,
darah ini berasal dari arteri atau vena yang tertusuk.

e. Ultrasonografi
Cara yang paling efisien untuk mengeluarkan adanya kehamilan ektopik
adalah mendiagnosis suatu kehamilan intrauteri. Cara yang terbaik untuk

27

mengkonfirmasi satu kehamilan intrauteri adalah dengan menggunakan


ultrasonografi. Sensitivitas dan spesifisitas dari diagnosis kehamilan intrauteri
dengan menggunakan modalitas ini mencapai 100% pada kehamilan diatas 5,5
minggu. Sebaliknya identifikasi kehamilan ektopik dengan ultrasonografi lebih
sulit (kurang sensitif) dan kurang spesifik (Prawiroharjo, 2012).
f. Laparoskopi
Hanya digunakan sebagai alat bantu diagnostik terakhir untuk kehamilan
ektopik apabila hasil penilaian prosedur diagnostik yang lain meragukan. Melalui
prosedur laparoskopik, alat kandungan bagian dalam dapat dinilai. Secara
sistematis dinilai keadaan uterus, ovarium, tuba, kavum Douglas dan ligamentum
latum. Adanya darah dalam rongga pelvis mempersulit visualisasi alat kandungan
tetapi hal ini menjadi indikasi untuk dilakukan laparotomi (Prawiroharjo, 2012).

2. 9. Tatalaksana
Pada kehamilan ektopik terganggu, walaupun tidak selalu ada bahaya
terhadap jiwa penderita, dapat dilakukan terapi konservatif, tetapi sebaiknya tetap
dilakukan tindakan operasi. Kekurangan dari terapi konservatif (non-operatif)
yaitu walaupun darah berkumpul di rongga abdomen lambat laun dapat diresorbsi
atau untuk sebagian dapat dikeluarkan dengan kolpotomi (pengeluaran melalui
vagina dari darah di kavum Douglas), sisa darah dapat menyebabkan perlekatan
perlekatan dengan bahaya ileus. Operasi terdiri dari salpingektomi ataupun
salpingoooforektomi. Jika penderita sudah memiliki anak cukup dan terdapat
kelainan pada tuba tersebut dapat dipertimbangkan untuk mengangkat tuba.

28

Namun jika penderita belum mempunyai anak, maka kelainan tuba dapat
dipertimbangkan untuk dikoreksi supaya tuba berfungsi (Rachimhadi, 2005)..
Tindakan laparatomi dapat dilakukan pada ruptur tuba, kehamilan dalam
divertikulum uterus, kehamilan abdominal dan kehamilan tanduk rudimenter.
Perdarahan sedini mungkin dihentikan dengan menjepit bagian dari adneksia yang
menjadi sumber perdarahan. Keadaan umum penderita terus diperbaiki dan darah
dari rongga abdomen sebanyak mungkin dikeluarkan. Serta memberikan transfusi
darah (Rachimhadi, 2005).
Untuk kehamilan ektopik terganggu dini yang berlokasi di ovarium bila
dimungkinkan dirawat, namun apabila tidak menunjukkan perbaikan maka dapat
dilakukan tindakan sistektomi ataupun oovorektomi. Sedangkan kehamilan
ektopik terganggu berlokasi di servik uteri yang sering menngakibatkan
perdarahan dapat dilakukan histerektomi, tetapi pada nulipara yang ingin sekali
mempertahankan

fertilitasnya

diusahakan

melakukan

terapi

konservatif

(Rachimhadi, 2005)..

2. 10. Prognosis
Angka kematian ibu yang disebabkan oleh kehamilan ektopik terganggu
turun sejalan dengan ditegakkannya diagnosis dini dan persediaan darah yang
cukup. Kehamilan ektopik terganggu yang berlokasi di tuba pada umumnya
bersifat bilateral. Sebagian ibu menjadi steril (tidak dapat mempunyai keturunan)
setelah mengalami keadaan tersebut diatas, namun dapat juga mengalami
kehamilan ektopik terganggu lagi pada tuba yang lain (Prawiroharjo, 2012).

29

Ibu yang pernah mengalami kehamilan ektopik terganggu, mempunyai


resiko 10% untuk terjadinya kehamilan ektopik terganggu berulang. Ibu yang
sudah mengalami kehamilan ektopik terganggu sebanyak dua kali terdapat
kemungkinan

50%

mengalami

kehamilan

ektopik

terganggu

berulang

(Prawiroharjo, 2012).
Ruptur dengan perdarahan intraabdominal dapat mempengaruhi fertilitas
wanita. Dalam kasus-kasus kehamilan ektopik terganggu terdapat 50-60%
kemungkinan wanita steril. Dari sebanyak itu yang menjadi hamil kurang lebih
10% mengalami kehamilan ektopik berulang (Prawiroharjo, 2012).

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

30

Dari pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa kehamilan ektopik


adalah kehamilan dengan ovum yang dibuahi berimplantasi dan tumbuh di luar
endometrium kavum uteri, kehamilan ektopik dapat terjadi di luar rahim misalnya
dalam tuba, ovarium atau rongga perut.
Sebagian besar penyebabnya tidak di ketahui, namun ada beberapa factor
yang menghambat perjalanan ovum ke uterus sehingga mengadakan implantasi di
tuba, seperti migratio externa, hipoplasia lumen tuba sempit dan berkelok-kelok,
gangguan fungsi silia endosalping, operasi plastic tuba dan sterilisasi yang tak
sempurna, bekas radang pada tuba, kelainan bawaan pada tuba, dan abortus
buatan.
Sebagian besar kehamilan tuba terganggu pada umur kehamilan antara 6
sampai 10 minggu, dapat menyebabkan hasil konsepsi mati dini dan diresorbsi ,
abortus ke dalam lumen tuba, dan ruptur pada dinding tuba. Gejala dan tanda pada
kehamilan ektopik terganggu tergantung pada lamanya kehamilan ektopik
terganggu, abortus atau ruptur tuba, tuanya kehamilan ektopik terganggu, derajat
perdarahan yang terjadi dan keadaan umum penderita sebelum hamil. Namun
gejala yang paling sering terjadi diantaranya adalah nyeri perut, adanya amenorea,
perdarahan, shock karena hypovolemia, nyeri bahu dan leher, nyeri pada palpasi,
pembesaran uterus, pembesaran uterus.
Beberapa hal yang termasuk faktor risiko pada kehamilan ektopik adalah
umur ibu, paritas ibu dan riwayat abortus. Pemeriksaan untuk membantu
diagnosis kehamilan ektopik terganggu adalah lakukan tes kehamilan,
pemeriksaan

umum,

anamnesis,

26
pemeriksaan

ginekologi,

pemeriksaan

31

laboratorium, pemeriksaan kuldosentesis, pemeriksaan ultra sonografi, dan


pemeriksaan laparoskopi.
Penanganan kehamilan ektopik terganggu yaitu setelah diagnosis ditegakan,
segera lakukan persiapan untuk tindakan operatif gawat darurat dapat berupa
parsial salpingektomi dan salpingostomi (hanya dilakukan sebagai upaya
konservasi dimana tuba tersebut merupakan salah satu yang masih ada), berikan
anti biotik kombinasi atau tunggal dengan spektrum yang luas, berikan analgesic
untuk mengendalikan nyeri pasca tindakan dan atasi anemia dengan tablet besi
(SF) 600 mg per hari.

Anda mungkin juga menyukai