Anda di halaman 1dari 27

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA REFERAT
FEBRUARI 2021
HYPERTROPHIC PYLORIC STENOSIS

Disusun oleh :

Yoseph Mariano Aprio Ngga, S.Ked

2008020058

Pembimbing :

dr. Woro Indri Padmosiwi, SpA

Dr. dr. Simplicia.M.Anggrahini, SpA (K)

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK


SMF/BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS NUSA CENDANA
RSUD PROF. DR. W.Z.JOHANNES
2021
REFERAT
HYPERTROPIC PYLORIC STENOSIS
Yoseph Mariano Aprio Ngga, S.Ked
SMF ILMU KESEHATAN ANAK
RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang
Fakultas Kedokteran Universitas Nusa Cendana Kupang
dr. Woro Indri Padmosiwi, SpA
Dr. dr. Simplicia.M.Anggrahini, SpA (K)

PENDAHULUAN
Hypertrophic pyloric stenosis (HSP) adalah suatu kondisi yang terjadi

pada bayi dengan lambung bagian pylorus mengalami penebalan yang abnormal

dimana terjadi hipertropi pada otot pylorus atau gastric outlet sehingga
(1,2)
menyebabkan obstruksi dan mengalami spasme saat lambung kosong. HPS

paling sering terjadi pada usia 2 – 10 minggu ditandai dengan muntah berat tanpa

disertai cairan empedu yang kemudian mengalami progresifitas menjadi menjadi

muntah proyektil, hilangnya asam hidroklorida dan berkembang menjadi

hipokloremi, alkalosis metabolik dan dehidrasi dan dapat menyebabkan kematian

pada lebih dari 50% pasien terkena.(3)

Hypertrophic Pyloric Stenosis (HSP) pertama kali dideskripsikan oleh

Hischprung pada tahun 1888. Anak laki-laki lebih banyak menderita HPS

dibandingkan dengan perempuan 4:1. Penyebab lebih banyak pada laki-laki belum
(4,5)
diketahui penyebabnya. Prevalensi berdasarkan penelitian di Amerika Serikat,

kelainan ini terjadi pada sekitar 2-4 per 1000 kelahiran. Kejadian ini jarang

ditemui pada ras Asia dan Afrika. Angka kejadian di Indonesia khususnya Irian

hanya 0,075 per 1000 kelahiran.(5)


3

Etiologinya belum diketahui secara pasti, namun berdasarkan beberapa

penelitian diduga berhubungan abnormalitas immuno histokimia, teori genetik,

teori infeksi dan teori hiperasiditas. Bukti mengenai faktor genetik antara lain

variabilitas ras, dominan pada laki-laki, peningkatan resiko terhadap bayi yang

memiliki riwayat keluarga HPS.(5) Beberapa faktor resiko lain diduga

berhubungan dengan kejadian HPD seperti kelahiran bayi pertama, penggunaan

macrolid.(4) Kelainan ini banyak diwariskan dari orangtuanya. Ibu yang menderita

kelainan ini cenderung melahirkan anak yang memiliki risiko menderita kelainan

yang sama empat kali lebih tinggi dan apabila terdapat saudara kandung dari

pasien dengan kejadian serupa cenderung 15 kali lebih mungkin untuk terkena

kondisi ini.(6)

Karena bukaan lambung tersumbat, makanan tidak dapat masuk ke dalam

usus. Hal ini menyebabkan bayi dengan HPS mengalami muntah segera setelah

makan. Akibat muntah beberapa masalah bisa muncul. Masalah paling serius

adalah dehidrasi dan eletrolit yang dibutuhkan tubuh seperti natrium dan kalium

hilang melalui muntah. Sehingga, tatalaksana awal pada Hypertrophic Pyloric

Stenosis adalah memastikan status hidrasi pasien. Pemasangan jalur intravena,

koreksi gangguan elektrolit merupakan hal pertama untuk stabilisasi pasien

dnegan HPS. Untuk terapi definitif dari Hypertrophic Pyloric Stenosis adalah

dengan pyloromyotomy. Pasien HPD yang dilakukan pyloromyotomi memiliki

luaran jangka panjang dan jangka pendek yang baik.(4)


4

DEFINISI
Hypertrophic pyloric stenosis (HPS) adalah suatu kondisi yang terjadi

pada bayi dengan lambung bagian pylorus mengalami penebalan yang abnormal

dimana terjadi hipertropi pada otot pylorus atau gastric outlet sehingga

menyebabkan obstruksi dan mengalami spasme saat lambung kosong ditandai

dengan muntah berat tanpa disertai cairan empedu yang kemudian mengalami

progresifitas menjadi menjadi muntah proyektil, hilangnya asam hidroklorida dan

berkembang menjadi hipokloremi, alkalosis metabolik dan dehidrasi dan dapat

menyebabkan kematian pada lebih dari 50% pasien terkena.(1,2,3)

EPIDEMIOLOGI
Hypertrophic Pyloric Stenosis sering terjadi pada bayi dengan usia

kehidupan 2 – 10 minggu. Sekitar 95% kasus stenosis pilorus hipertrofik infantil

didiagnosis pada mereka yang berusia 3-12 minggu dan sangat jarang lebih dari

12 minggu. Bayi prematur umumnya mengalami gejala lebih lambat dari bayi

cukup bulan, yang dapat menyebabkan keterlambatan diagnosis. Presentasi HPS

yang terlambat jarang terjadi dengan prevalensi 1:100.000 kelahiran. (7,8) Insidensi

HPS sering terjadi pada kulit putih, 2–4 per 1000 bayi lahir hidup tetapi pada

populasi Asia dan Afrika lebih rendah. Angka kejadian di Indonesia khususnya

Irian hanya 0,075 per 1000 kelahiran.(5,9,10) Bayi laki-laki lebih banyak terkena

dari pada perempuan dengan perbandingan 4:1. Alasan kenapa lebih banyak pada

laki-laki tidak diketahui. Terdapat beberapa eviden kejadian HPD 30% meningkat

pada kelahiran anak pertama dan 7% terjadi pada keluarga yang mempunyai

riwayat serupa.(4,5,10) Kematian akibat HPS jarang terjadi dan tidak terduga. Angka
5

kematian dilaporkan sangat renadah dan biasanya disebabkan oleh keterlambatan

diagnosis dengan dehidrasi dan syok.

ETIOLOGI
Penyebab Hypertrophic Pyloric Stenosis belum diketahui secara jelas

tetapi diduga penyebabnya multifaktorial. Beberapa teori diduga berhubungan

dengan etiologi HSP seperti abnormalitas imuno histokimia, faktor genetik, teori

infeksi, teori hiperasiditas, hipergastrinemia neonatus, defisiensi Nitrit Oksida

Sintase (NOS) dan faktor lingkungan. Anak yang lahir dari ibu yang menderita

kelaianan ini memiliki resiko menderita kelainan yang sama empat kali lebih

tinggi dan apabila terdapat saudara kandung dari pasien dengan kejadian serupa

cenderung 15 kali lebih mungkin untuk terkena kondisi ini daripada anak yang

tidak memiliki riwayat keluarga. Sedangkan faktor lingkungan dapat dikaitkan

dengan HPS antara lain faktor pemberian asupan seperti pemberian susu formula,

variabilitas musiman, paparan eritromisin dan azritomisin, dan pemberian

makanan transpilorik pada bayi prematur.(5,8) Selain itu, kelainan berbagai

komponen otot pilorus, seperti sel otot polos, faktor pertumbuhan, elemen matriks

ektraseluler, sel saraf dan ganglion, dan sel interstisial Cajal telah dilaporkan.

Studi molekuler menyimpulkan bahwa sel-sel otot polos tidak dipersarafi dengan

baik pada kondisi ini.(7)

Faktor Resiko Hypertrophic Pyloric Stenosis :(2,6)


 Jenis kelamin
Kejadiannya lebih sering pada anak laki-laki terutama anak pertama

dibandingkan dengan anak perempuan.


6

 Ras
Lebih sering terjadi pada orang kulit putih keturunan Eropa Utara dan lebih

jarang pada orang kulit hitam dan Asia.

 Prematuritas
Lebih sering terjadi pada bayi yang lahir prematur daripada bayi cukup bulan.

 Riwayat keluarga
Studi menunjukkan pengaruh yang lebih tinggi dalam hubungan keluarga.

Terjadi pada 20% anak laki-laki dan 10% anak perempuan dari ibu yang

menderita HPS.

 Merokok selama masa kehamilan.

 Penggunaan antibiotik dini


Bayi yang diberi antibiotik tertentuk pada mingu-minggu awal kehidupan,

misalnya eritromisin untuk mengobati batuk rejan, azitromisin, macrolid,

memiliki peningkatan resiko HPS. Selain itu, bayi yang lahir dari ibu yang

mengonsumsi antibiotik tertentu pada akhir kehamilan mungkin memiliki

peningkatan risiko HPS. Antibiotik golongan macrolid seperti eritromisin dan

azitromisin memiliki aktivitas prokinetik yang menyerupai motilin terhadap

motilitas saluran cerna, bekerja sebagai agonis motilin dan memiliki afinitias

tinggi terhadap reseptor motilin pada antrum dan duodenum bagian atas

sehingga meningkatkan kontraksi pada bagian antrum untuk pengosongan

lambung sehingga dapat menyebabkan hipertrofi pilorus.

 Pemberian susu botol


Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemberian susu botol daripada

menyusui dapat meningkatkan risiko HPS. Sebagian besar orang yang

berpartisipasi dalam penelitian ini menggunakan susu formula daripada ASI,


7

jadi tidak jelas apakah peningkatan risiko terkait dengan susu formula atau

mekanisme pemberian susu botol.

ANATOMI DAN FISIOLOGI LAMBUNG


Lambung terdiri dari empat bagian besar yaitu cardia, fundus, corpus dan

pylorus. Cardia merupakan bagian lambung yang berbatasan dengan esophagus,

sedangkan fundus adalah bagian berbentuk kubah yang berada diatas sebelah kiri

dari cardia dan meluas ke superior melebihi tinggi gastroeofageal junction. Bagian

utama lambung yaitu corpus merupakan 2/3 bagian dari lambung dan berada

dibawah fundus sampai ke bagian paling bawah yang melengkung ke kanan.

Pylorus merupakan bagian berbentuk seperti tabung yang menghubungkan antara

corpus lambung dengan duodenum. Terdiri dari antrum pilori, adalah bagian 1/3

distal lambung dan spinchter pylorus merupakan bagian tubulus paling distal dari

lambung. Bagian sphincter pilori secara keseluruhan dikelilingi oleh lapisan otot

yang tebal dan berfungsi mengontrol lewatnya makanan ke duodenum.(4)

Muskularis eksterna terdiri dari 3 lapisan yaitu longitudinal luar, sirkuler

dalam, dan oblik yang paling dalam.

Gambar 1.1 Anatomi Lambung


8

Lambung memiliki tiga fungsi utama :(11)


1. Menyimpan makanan yang masuk sampai makanan dapat disalurkan ke usu

halus dengan kecepatan yang sesuai untuk pencernaan dan penyerapan

optimal.

2. Mengeluarkan HCl dan enzim yang memulai pencernaan protein.

3. Melalui gerakan mencampur lambung, makan yang tertelan dihaluskan dan

dicampurkan dengan sekreasi lambung (kimus = campuran cairan kental).

Makanan yang masuk ke dalam lambung disimpan dibagian korpus yang

relatif tenang tanpa mengalami pencampuran. Daerah fundus tidak menyimpan

makanan, sehingga hanya mengandung gas. Makanan secara bertahap disalurkan

dari korpus ke antrum, tempat berlangsungnya pencampuran. Kontraksi peristaltik

antrum yang kuat mencampur makanan dengan sekresi lambung (kimus). Setiap

gelombang peristaltik anturm mendorong kimus maju menuju sfingter pilorus.

Dari 30 ml kimus yang dapat ditampung antrum, hanya beberapa mililiter saja

yang terdorong ke duodenum pada setiap gelombang peristaltik. Laju

pengosongan lambung dipengaruhi oleh jumlah kimus dilambung dan derajat

fluiditas kimus dilambung, dimana semakin encer maka semakin cepat isi

lambung dikosongkan. Getah pencernaan lambung disekresikan oleh kelenjar

yang terletak di dasar foveola gastrica.(11)


9

Gambar 1.2 Fisiologi Gaster

PATOFISIOLOGI
Meskipun Hypertrophic Pylorus Stenosis (HPS) pada bayi adalah kondisi

paling umum yang membutuhkan pembedahan dalam beberapa bulan pertama

kehidupan, namun patogenesisnya tidak sepenuhnya diketahui. Pada HPS bagian

pilorus dari lambung mengalami penebalan pada dua lapisan otot (sirkuler dan

longitudinal) yang menjadikan ruang pilorus menjadi sempit dan memanjang.

Ruang lambung yang menyempit menyebabkan kompensasi dilatasi, hipertrofi

dan hiperperistaltis dari lambung.(4,7) Para peneliti telah melalukan penelitian

terhadap kemungkinan berbagai faktor penyebab Hypertrophic Pyloric Stenosis

(HPS), perkembangan terbaru patogenesisis HPS pada bayi antara lain adanya

bukti menunjukkan sel-sel otot polos di HPS pada bayi tidak mempunyai inervasi

yang baik, karena saraf non-adrenergik, non-kolinergik merupakan mediator

relaksasi otot halus, sehingga terdapat kemungkinan tidak adanya saraf ini di otot
10

pilorus menyebabkan kontraksi berlebihan dan terjadi hipertrofik otot sirkuler

pilorus, defisiensi dari Nitrit Oksida Sintase (NOS), inervasi abnormal dari plexus

myenterikus, hipergastrinemia, paparan dari penggunaan antibiotik sepertti

golongan makrolid, terdapat sejumlah protein matriks ekstraseluler yang abnormal

dalam otot pilorus dimana sel otot sirkuler pada HPS secara aktif mensintesis

kolagen dan hal ini bertanggung jawab terhadap karakter dari tumor pilorus,

peningkatan ekspresi insuline-like growth factor-I, transforming growth factor-

beta 1, dan platelet derived growth factor-BB dan reseptor oto hipertrofik pilorus

menunjukkan peningkatan sintesis lokal dari faktor pertumbuhan dan mungkin

memainkan peran penting dalam hipertrofi otot polos HPS.(7) Penelitian lebih

lanjut telah melaporkan hubungan ini bersama dengan peningkatan risiko

pengembangan Hypertrophic Pyloric Stenosis setelah konsumsi eritromisin dan

azitromisin, terutama dalam 14 hari pertama kehidupan.(12) Nitrit Oksida Sintase

(NOS) diduga menyebabkan HPS karena memediasi relaksasi otot polos non

kolinergik non adrenergik sepanjang usus yang menyebabkan lapisan otot sirkuler

dari lambung dan pilorus menjadi hipertrofi sebagai kompensasi dari lemahnya

gerakan peristaltik sehingga menyebabkan disfungsi lambung. Hal ini

menyebabkan gangguan pengosongan isi gaster ke duodenum. Semua makanan

yang dicerna dan disekresi oleh gaster akan dimuntahkan kembali. Makanan yang

dimuntahkan tidak mengandung cairan empedu karena makanan hanya

tertampung dalam gaster saja dan tidak sampai ke duodenum. Hal ini

menyebabkan hilangnya asam lambung dan akhinrya menyebabkan terjadinya


11

hipokloremia yang mengganggu kemampuan kerja lambung untuk mensekresikan

bikarbonat.(10)

DIAGNOSIS
Gejala Klinis
Diagnosis HPS sulit dibedakan dengan gastoesofageal reflux pada masa

awal penyakit, sehingga kadang menimbulkan salah diagnosis. Manifestasi klinis

biasanya timbul pada usia 2 – 8 minggu dan jarang dijumpai setelah bayi berusia 3

bulan. Muntah tanpa empedu merupakan gejala awal stenosis pilorus.(2)

1. Muntah setelah makan/ menyusui


Muntah tanpa empedu (non bilious) merupakan gejala awal HPS. Bayi

bisa saja muntah dengan kuat, mengeluarkan ASI atau susu formula atau

makanan yang dimakan hingga beberapa kaki jauhnya (muntah proyektil).

Muntah mungkin ringan pada awalnya dan secara bertahap menjadi lebih

parah saat lubang pilorus menyempit. Muntahan terkadang mengandung

darah sehingga berwarna kecoklatan disebabkan oleh pecahnya kapiler

pada mukosa gaster akibat gastritis atau esofagitis. Karena muntah terus

menerus terjadilah kehilangan cairan, ion hydrogen dan klorida secara

progresif, sehingga menyebabkan alkalosis metabolik, hiperkloremik.(6)

2. Lapar terus menerus


Bayi yang menderita HPS seringkali ingin makan segera setelah muntah.(6)

3. Kontraksi perut
Mungkin dapat terlihat kontraksi seperti gelombang peristaltik yang

mengalir di perut bagian atas bayi segera setelah menyusu atau makan
12

tetapi sebelum muntah. Hal ini disebabkan oleh otot perut yang menciba

memaksa makanan melalui pilorus menyempit.(6)

4. Dehidrasi
Bayi mungkin menangis tanpa air mata atau menjadi lesu. Buang air kecil

lebih jarang atau buang air besar lebih sedikit.(6)

5. Masalah berat badan


HPS dapat menyebabkan masalah penambahan berat badan dan terkadang

dapat menyebabkan penurunan berat badan. Hal ini disebabkan karena

masukan yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan karena banyak muntah.
(6)

Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan klinis didapatkan gambarna yang bervariasi. Bayi

datang ke klinisi bisa masih dalam hidrasi baik maupun sudah mengalami

dehidrasi berat. Namun bayi sering datang dengan tanda dehidrasi berupa berat

badan rendah dan nafsu makan yang tak terpuaskan sehingga tampak kening muka

berkerut dan keriput.(2)

Tanda utama yang ditemukan pada pemeriksaan fisik :


1. Kontour dan peristalsis lambung terlihat di abdomen bagian atas

2. Teraba “tumor” di daerah epigastrium atau hipokondrium kanan.(8,11)

Diagnosis ditegakkan dengan palpasi massa di pilorus. Massa ini kenyal,

bisa digerakkan, panjangnya sekitar 2 cm, berbentuk seperti buah zaitun, keras,

paling baik diraba dari sisi kiri, dan terletak di atas dan kanan umbilikus di

midepigastrium di bawah tepi hati. Pada bayi yang sehat, makan dapat membantu

diagnosis. Setelah makan, mungkin ada gelombang peristaltik lambung yang


13

terlihat berjalan menyilang perut. Setelah bayi muntah, otot perut lebih relaks dan

bentuk seperti “buah zaitun” (olive sign) lebih mudah diraba. Tanda klinis

dehidrasi dan gizi kurang bahkan buruk dapat ditemukan pada pasien dengan HPS

karena sedikit cairan/ makanan yang masuk ke usus untuk di absorbsi berupa

fontanel yang tertekan, selaput lendir kering, turgor kulit yang buruk dan

kelesuan.(4,10)

Gambar 1.3 Manifestasi Klinik HPS

Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah rutin. Terdapat gambaran anemia, gambaran gangguan

elektrolit, yang disebabkan seringnya vomitus dan menyebabkan kehilangan

garam-garam Na, K, Cl, dan alkalosis metabolik hipokloremik karena hilangnya

asam klorida. Gangguan fungsi ginjal yang berat mungkin sebagai akibat stenosis
14

pilorus, dan pada dehidrasi akan didapatkan kenaikan kadar ureum dalam darah,

oleh karena itu perlu pemeriksaan kadar ureum.(2,4)

2. Pemeriksaan Radiologi
a. Foto Polos Abdomen
Pada Radiografi abdomen bisa menunjukkan perut berisi cairan atau

udara, pada perut yang membesar, dapat menandakan adanya obstruksi

lambung. Adanya tanda pembesaran perut dengan incisura yang melebar

(caterpillar sign) dapat dilihat, dan dapat juga menandakan adanya

peningkatan peristaltik lambung pada pasien. Distensi lambung masif

(diameter > 7 cm) dengan isi cairan atau udara dengan gambaran gas di

intestinal minimal yang disebut sebagai single bubble umumnya

mendukung diagnosis HPS. Namun temuan tersebut tidak spesifik. Karena

jika sebelum dilakukan foto polos pasien muntah, sehingga lambung

tampak tidak terlalu distensi.(4,13)

Gambar 1.4 Posisi supine pada bayi yang muntah menunjukkan caterpillar
sign dari hiperperistaltis lambung yang aktif
15

b. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)


Kegagalan untuk memilih pemeriksaan radiologis terbaik pada bayi, jika

diminta untuk melakukan pencitraan meskipun pada palpasi ditemukan tanda

klinis olive sign dan anak stabil, konfirmasikan dengan pemeriksaan USG. USG

menjadi modalitas pilihan untuk diagnosis HPS. Selain sensitifitas dan spesifitas

yang tinggi, USG bebas dari radiasi dan dapat mengikuti visualisasi dari muskulus

pilorus secara langsung.(13)

Ketika seseorang di suspect dengan HPS (Hypertrophic Pyloric Stenosis)

tetapi tidak tampak massa berbentuk olive pada daerah hipokondrium kanan,

maka ultrasound digunakan untuk melihat penebalan dari otot pilorus, dan

mempunyai predictive value sampai 90%. Ultrasonografi dilakukan dengan

transduser 7,5 - 13,5 MHz-linear dengan posisi supine pada anak. Ketika massa

berbentuk olive telah teridentifikasi dan ditemukan panjang canalis pyloricum

lebih besar dari 17 mm dan tebal dinding otot lebih besar dari 4 mm maka dapat

dipastikan bahwa diagnostiknya adalah HPS (Hypertrophic Pyloric Stenosis).(7,13)

Gambaran ultrasonografi pada HPS adalah :

1) Target sign pada potongan transversal dari pylorus

Gambar 1.5 Potongan Transversal pada pasien dengan HPS


menunjukkan Target Sign dan lapisan otot yang heterogen
16

2) Antral Nipple Sign pada potongan longitudinal dari pilorus.


Sebuah prolaps mukosa ke dalam antrum yang menyebabkan

pseudomass.

Gambar 1.6 Potongan Longitudinal pada pasien dengan HPS


menunjukkan penebalan mukosa yang memberkan gambaran
antral nipple sign

c. Pemeriksaan Barium UGI (Upper Gastrointestinal Track)


Sebelum sonografi popular digunakan, pemeriksaan UGI dengan kontras

menjadi andalan diagnosis gangguan Gastric Outlet Obstruction selama bertahun-

tahun. Pemeriksaan UGI dengan kontras pada HPS menunjukkan tanda tidak

langsung berupa adanya efek pilorus pada lumen. Pada kasus-kasus yang

meragukan pada pemeriksaan USG diperlukan pemeriksaan UGI dengan kontras

untuk memastikan diagnosis. Selama pemeriksaan UGI dengan kontras lambung

harus dikosongkan melalui selang NGT sebelum dan sesudah dilakukan

pemeriksaan agar tidak terjadi refluks dari isi lambung. Kriteria primer diagnosis

HPS pemeriksaan UGI dengan kontras adalah adanya penyempitan saluran

pilorus, elongasi saluran pilorus ke lambung dan duodenum. Bahan kontras yang

melalui saluran pilorus menyebabkan lumen kanal terurai, pada beberapa kasus

bahan kontras terlihat melalui lebih dari satu saluran dengan lipatan mukosa, yang

dikenal sebagai double atau triple track sign. Gambaran lain yang ditemukan
17

adalah string sign yang disebabkan karena penyempitan saluran pilorus

menyebabkan kontras yang lewat hanya sedikit dan shoulder sign yang

disebabkan karena adanya efek massa dari pilorus yang mengalami hipertropi

pada antrum. Gambaran teat sign merupakan puncak dari kontras di sisi curvatura

minor antrum akibat adanya peristaltik sedang beak sign merupakan gambaran

puncak kontras yang masuk ke dalam saluran pilorus yang menyempit. Dasar dari

bulbus terindentasi oleh penebalan muskulus pilorus menimbulkan gambaran

mashroom sign atau umbrella sign. Temuan tambahan yang lain adalah adanya

hiperperistaltik lambung (caterpillar sign), volume residu lambung yang besar

dan pengosongan lambung yang terlambat. Namun pengosongan lambung yang

terlambat bukan indikator HPS karena dapat terjadi pada kasus pylorospasme,

hipotonia lambung, sepsis dan ileus.

Gambar 1.7 Gambaran lateral dari studi gastrointestinal atas menunjukkan


double track sign.

Gambar 1.8 Pemeriksaan UGI menunjukkan adanya obstruksi pilorus


dengan string sign. Temuan ini konsisten dengan HPS.
18

Gambar 1.9 Penyempitan pilorus dengan shoulder sign prominen (kepala


panah tertutup) dan pengosongan lambung yang terlambat pada pasien
dengan HPS.

Gambar 1.10 Mushroom sign/ Umbrella sign pada HPS

DIAGNOSIS BANDING
Adapun diagnosis banding dari Hypertrophic Pyloric Stenosis adalah :
1. Spasme pilorus

2. Refluks gastro-esofagus
Meskipun jarang, refluks gastro-esofagus, dengan atau tanpa hernia hiatus,

dapat terancukan dengan stenosis pilorus.

3. Trauma serebral-meningitis

4. Infeksi, seperti septikemia dan kelainan traktus urogenitalis

5. Hirscprung Disease
Keterlambatan pengeluaran mekonium pertama yang >24 jam yang

kemudian diikuti dengan kembung dan muntah.


19

6. Aklasia Esofagus
Muntah persisten dan pada foto thorax sering ditemukan pneumonia

dengan aspirasi. Biasanya menimbulkan muntah pada minggu pertama

setelah lahir dan dapat dibedakan dengan stenosis pilorus dengan palpasi

dan gambaran foto rontgen.

7. Bezoar
Muntah intermiten, sering disebabkan karena menelan nasi/pisang pada

bayi yang baru lahir atau termakan rambut

8. Obstruksi Duodenum

Atresia, stenosis atau malrotasi duodenum. Bayi baru lahir dengan muntah

bilier dan persisten sejak lahir menyebabkan gambaran klinis yang sama

dengan stenosis pilorus tetapi mungkin tidak ada massa yang bisa diraba.

9. Atresia Jejunum
Tampak beberapa gelembung udara.

10. Intususepsi
Masuknya segmen proksimal usus (intususeptum) ke dalam lumen usus

distal (intususepien). MK: sakit perut bagian atas, defekasi darah dan

lendir, muntah, teraba tumor di abdomen, bayi tampak pucat

11. Inborn Errors of Metabolism


Kesalahan metabolisme kongential bisa menyebabkan muntah berulang

dengan alkalosis (siklus urea) atau asidosis (asidemia organic) dan letargi,

koma, atau kejang.

12. Insufisiensi Adrenal

Insufisiensi adrenal bisa menyerupai stenosis pilorus, tetapi tidak adanya

tumor yang bisa diraba, asidosis metabolik, serta peninggian kalium serum
20

dan kadar natrium urin pada insufisiensi adrenal membantu dalam

diferensiasi.

Untuk memastikan diagnosis palpasi untuk meraba “tumor” yang

merupakan pylorus yang hipertrofi. Bila tumor sulit diraba pemeriksaan dengan

barium meal memastikan memberikan informasi yang konklusif. Bayi yang sangat

reaktif terhadap rangsang dari luar, yang diberi makan oleh perawat yang tidak

berpengalaman, akan mengalami muntah pada minggu-minggu pertama sehingga

gejalanya mirip dengan stenosis pilorus. Muntah dengan diare memberi kesan

gastroenteritis, tetapi kadang-kadang penderita dengan stenosis pilorus juga

menderita diare. Sangat jarang membran pilorus atau duplikasi pilorus bisa

menyebabkan muntah proyektil yang bisa terlihat dan pada kasus duplikasi suatu

massa yang bisa diraba. (7,10)

PENATALAKSANAAN
1. Perbaikan Keadaan Umum :
Terapi awal dari HPS adalah memastikan status hidrasi pasien. Pemasangan

jalur intravena, koreksi gangguan elektrolit merupakan hal pertama untuk

stabilisasi pasien.(4)

 Lambung dibilas dengan larutan NaCl untuk mengeluarkan sisa barium bila

bayi dilakukan foto barium-meal

 Koreksi untuk keadaan dehidrasi, hipokalemi, hipokloremi, dan alkalosisnya.

Transfusi darah dan atau plasma/albumin bila terdapat anemia atau defisiensi

protein serum. Bayi harus menerima cairan awal bolus (20 mL/kg) kristaloid

isotonik.
21

 Dekompresi naso gastrik. Setelah diagnosis HPS ditegakkan, semua makanan

di stop dan dilakukan aspirasi semua isi lambung melalui NGT. Biasanya isi

lambung berupa susu yang telah menggumpal sehingga dilakukan lavage

dengan saline sampai evakuasi lambung adekuat. Setelah isi lambung kosong,

NGT dikeluarkan untuk mencegah perburukan gangguan elektrolit karena

aspirasi dari isi lambung.

Pengobatan prabedah ditujukan langsung pada koreksi cairan, asam basa,

dan kehilangan elektrolit. Pemberian cairan intravena dimulai dengan dekstrosa

5% dalam NaCl 0,45%, dengan penambahan kalium klorida dengan kadar 20

mEq/L. Terapi cairan harus dilanjutkan sampai bayi mengalami rehidrasi dan

kadar bikarbonat serum kurang dari 30 mEq/L, yang menyatakan bahwa alkalosis

sudah terkoreksi. Koreksi terhadap alkalosis sangat penting untuk mencegah

apnea pasca bedah, yang mungkin merupakan akibat dari anastesi. Kebanyakan

bayi bisa berhasil rehidrasi dalam waktu 24 jam. Muntah biasanya berhenti bila

lambung kosong, dan kadang-kadang saja bayi membutuhkan pengisapan

nasogastrik.(2,10)

2. Pembedahan
Perawatan definitif untuk HPS adalah operasi korektif. Prosedur bedah

pilihan adalah piloromiotomi Ramstedt. Prosedur ini dilakukan melalui insisi

pendek melintang atau dengan laparaskopi. Massa pilorus di bawah mukosa

dipotong tanpa memotong mukosa dan irisan ditutup kembali.(4)


22

Gambar 1.11 Piloromiotomi Ramstedt

Beberapa ahli melaporkan piloromiotomi laparoskopi memiliki waktu

pemulihan yang jauh lebih singkat dibandingkan dengan piloromiotomi terbuka,

komplikasi yang lebih sedikit, mengurangi waktu makan oenuh dan lama tinggal

di rumah sakit. Untuk segi kosmetik jangka pangjang lebih bagus pada

laparoskopi karena meninggalkan luka sayatan yang lebih kecil.(10)

Gambar 1.12 Diagram lambung normal, lambung dengan HPS pra bedah
dan pasca bedah
23

Setelah pembedahan tidak boleh memberikan apapun melalui mulut

selama 2 jam pertama setelah operasi. Lanjutkan cairan rumatan IV sampai bayi

mampu mentolerir makanan enteral. Dalam kebanyakan kasus, pemberian makan

dapat dimulai dalam 8 jam setelah operasi. Target pemberian makan bertingkat

biasanya dapat dimulai setiap 3 jam sekitar 2-4 ons atau berdasarkan jumlah yang

disarankan oleh dokter. Tidak perlu melakukan pemeriksaan USG dan Barium

UGI karena selalu menunjukkan pilorus yang sudah berubah bentuk dan hasilnya

sulit ditafsirkan. Bayi sudah bisa mulai diberikan ASI dalam 12-24 jam. Beberapa

kasus muntah bisa berlanjut selama beberapa hari adalah hal normal, sehinga

pemberian makan dapat tetap dilakukan. Namun jika muntah masih berlanjut,

hentikan pemberian makan selama 2 jam, kemudian berikan lagi. Bayi dapat

dipulangkan jika target pemberian makan 3 kali berturut-turut dapat ditoleransi.

Namun jika bayi muntah sebagian besar atau semua saat menyusu atau makan

lebih dari 2 kali sehari, hubungi dokter. Sayatan pada bayi harus tetap bersih dan

kering, dan tidak boleh dimandikan di bak selama 1 minggu. Perban dibiarkan

tetap pada tempatnya dan hanya dilepaskan sesuai dengan petunjuk ahli. Biasanya

dibiarkan selama 7 sampai 10 hari.(6,7)

Untuk terapi konservatif HPS berdasarkan penelitian dengan pemberian

atropin baik secara Intravena maupun oral dengan tujual pengobatan untuk

menghentikan muntah proyektil. Berdasarkan penelitian tingkat keberhasilan

bervariasi antara 76 – 100% dengan lama rawat inap rata-rata selama 13 hari.

Dosis atropin untuk intravena untuk pengobatan HPS dalam penelitian berkisar

0,4 mg/kgBB/ hari dan diberikan selama 1-10 hari. Dilanjutkan dengan atropin
24

oral (0,8 mg/kgBB/hari) selama 2 minggu, setelah terapi IV dianggap berhasil,

selama 3 minggu sampai 4 bulan. Terapi ini dianggap gagal jika terdapat total 5

atau lebih episode muntah proyektil selama 72 jam pertama terapi atropin

intravena. Evaluasi ulang dengan keadaan klinis dan USG.(10)

PROGNOSIS
Prognosisnya sangat baik setelah pembedahan, bayi masih sekali-sekali

muntah, namun dapat sembuh sempurna. Sarankan orang tua untuk meningkatkan

volumen makanan dihari-hari setelah pulang. Kunjungan pascaoperasi diperlukan

untuk melihat penambahan berat badan. Gejala sisa jangka panjang dari

piloromiotomi hampir tidak pernah dilaporkan. Penelitian menunjukkan

pengembalian fungsi normal dalam beberapa bulan hingga tahun. Untuk

pengobatan rawat jalan yang diberikan biasanya adalah analgesik, biasanya

dengan acetaminophen.(4,10)

KOMPLIKASI
1) Perforasi mukosa. Pada kasus dimana perforasi mukosa tidak terdeteksi,

bayi biasanya mengalami demam, nyeri di perut dan perut kembung.

Pasien harus kembali dioperasi jika diduga terjadi perforasi.

2) Perdarahan. Pada kebanyakan kasus, vena yang mengalir dari myotomi

akan sembuh sendiri dan tidak terlalu diperhatikan pada periode pasca

operasi. Laporan perdarahan lanjutan sangat jarang terjadi namun bisa

terjadi, terutama pada anak0anak dengan koagulopati yang tidak

terdeteksi.
25

3) Muntah persisten. Piloromiotomi yang tidak lengkap jarang terjadi jika

dilakukan oleh ahli bedah anak yang berpengalaman. Namun tanda

biasanya muncul muntah-muntah terus menerus sampai setelah 7 hari

pasca operasi. Masalah ini susah dideteksi lagi jika dilakukan pemeriksaan

gambaran berulang karena gambarannya sudah berbeda setelah operasi,

sehingga perlu pengamatan yang baik saat setelah operasi.(7)


26

DAFTAR PUSTAKA
1. Ma’ruf F. Pemeriksaan Radiologi Pada Kasus Hipertrophy Pyloric Stenosis
(HPS). Jurnal Kedokteran. 2019;4(1):634.

2. Croteau L, Arkovits M, Berlin R, Joseps M. Pyloric Stenosis. Cincinnati


Childrens Hospital Medical Center. 2016 [cited 2021 Feb 2]; Available
from: https://www.cincinnatichildrens.org//

3. Resheed AS. Ultrasound Value in the Early Diagnosis and Exclusion of


Idiopathic Hypertrophic Pyloric Stenosis: 10 Years Experience at Babylon
Governorate. Journal of General Practice. 2017;05(04):2–5.

4. Nasrulloh MH, Jurnalis YD, Sayoeti Y. Laporan Kasus Hypertrophic


Pyloric Stenosis. Jurnal Kesehatan Andalas. 2019;8(4):279–84.

5. Marpaung WH, Sitorus P, Gaol LML, Agustriani N. Stenosis Pilorik


Hipertrofik: Suyono YJ, editor. Dalam: Ilmu Bedah Anak : Kasus Harian
UGD, Bangsal, & Kamar Operasi. Jakarta: EGC; 2016. p. 43–61.

6. Pruthi S, Hoecker JL, Mattke A. Pyloric Stenosis. Mayo Foundation for


Medical Education and Research. 2018 [cited 2021 Feb 2]. Available from:
http://www.mayoclinic.org//

7. Nazer H. Pediatric Hypertrophic Pyloric Stenosis. Medscape. 2017 [cited


2021 Feb 3]. Available from: https://emedicine.medscape.com/

8. Oussama S, Iskandarani F, Akoum M, Gerges R, Falou S, Merhi BA, et al.


Case Report of Late Onset Hypertrophic Pyloric Stenosis in Lebanese
Infant. SAR Journal Medical Case Report. 2020;1(3 (Mei-Juni)):29–31.
27

9. Marion RW, Levy PA. Stenosis Pilorus dan Anomali Lambung Kongenital
Lain: Bherman RE, Kliegman R, Arvin AM, Wahab AS, editors. Dalam:
Nelson Ilmu Kesehatan Anak. 15th ed. Jakarta: EGC; 2000. p. 1305–7.

10. Subramaniam S. Pediatric Pyloric Stenosis. Medscape. 2018 [cited 2021


Feb 3]. Available from: https://emedicine.medscape.com/

11. Juffrie M. Saluran Cerna yang Sehat : Anatomi dan Fisiologi. Anatomi dan
Fisiologi. 2018;(June):1–12.

12. Eberly M, Eide M, Thompson J, Nylund C. Azithromycin In Early Infancy


and Pyloric Stenosis. Medscape. 2015 [cited 2021 Feb 4]. Available from:
https://reference.medscape.com/medline/abstract/

13. Back, Susan J. Imaging in Hypertrophic Pyloric Stenosis. Medscape. 2018


[cited 2021 Feb 4]. Available from: https://emedicine.medscape.com/

Anda mungkin juga menyukai