Anda di halaman 1dari 34

SMF/ BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF LAPORAN KASUS

RSUD PROF. DR. W. Z. JOHANNES JUNI 2021


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA

TOXOPLASMOSIS CEREBRI PADA HIV-AIDS

Disusun oleh :
Maria Yulia Rosari Saryono, S.Ked
2008020008

Pembimbing :
dr. Yuliana Imelda Ora Adja, M.Biomed, Sp.N
dr. Johana Herlin, Sp.N

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


SMF/ BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF
RSUD PROF. DR. W. Z. JOHANNES
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2021

i
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan kasus ini diajukan oleh:


Nama : Maria Yulia Rosari Saryono, S.Ked
NIM : 2008020008
Fakultas : Kedokteran Universitas Nusa Cendana Kupang
Bagian : Ilmu Penyakit Saraf RSUD. Prof. Dr. W.Z. Johannes Kupang
Judul : Toxoplasmosis Cerebri pada Pasien HIV-AIDS

Laporan kasus ini telah disusun dan dibacakan di hadapan pembimbing klinik dalam rangka
memenuhi salah satu syarat mengikuti ujian kepaniteraan klinik di SMF/Bagian Ilmu Penyakit
Saraf RSUD. Prof. Dr. W.Z. Johannes, Kupang.

Pembimbing Klinik :

1. dr. Imelda Ora Adja, Sp.N, M.Biomed (..................................)

2. dr. Johana Herlin, Sp.N (..................................)

Ditetapkan di : Kupang
Tanggal : Juni 2021

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Pengasih dan Penyayang atas rahmat dan kasih-Nya

sehingga saya dapat menyelesaikan pembuatan presentasi laporan kasus yang berjudul

“Toxoplasmosis Cerebri pada Pasien HIV-AIDS” ini. Laporan kasus ini disusun dalam rangka

memenuhi tugas kepaniteraan klinik bagian Neurologi Program Studi Pendidikan Dokter

Universitas Nusa Cendana di RSUD Prof.W.Z.Johannes Kupang.

Saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para pengajar di SMF

Neurologi, khususnya dr. Johana Herlin Sp.N dan dr. Imelda Ora Adja, Sp.N, M.Biomed atas

bimbingan yang diberikan selama berlangsungnya pendidikan di bagian Neurologi ini sehingga

saya dapat menyelesaikan tugas ini.

Saya menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna, maka saya mengharapkan

kritik dan saran yang membangun untuk memperbaiki laporan kasus ini sehingga boleh menjadi

referensi yang dibutuhkan untuk memperdalam pengetahuan mengenai “Toxoplasmosis Cerebri

pada Pasien HIV-AIDS”.

Demikian yang dapat saya sampaikan, semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi para

pembaca, khususnya bagi rekan sejawat yang sedang menempuh pendidikan.

Kupang, Juni 2021

Penulis

iii
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI................................................................................................................................ iiv


BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................................................ 1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................................... 2
2.1 Definisi ................................................................................................................................ 2
2.2 Etiologi ................................................................................................................................ 2
2.3 Morfologi ............................................................................................................................ 3
2.4 Daur Hidup .......................................................................................................................... 4
2.5 Patogenesis dan Respon Imun ............................................................................................. 6
2.6 Gejala Klinis...................................................................................................................... 14
2.7 Diagnosis ........................................................................................................................... 16
2.8 Penatalaksanaan .............................................................................................................. 211
2.9 Prognosis ......................................................................................................................... 224
BAB 3 KESIMPULAN ............................................................................................................. 255
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................ 266

iv
DAFTAR SINGKATAN

BAB : buang air besar


BAK : buang air kecil
CNS : central nervous system
DM : diabetes mellitus
ET : ensefalitis toxoplasma
GCS : Glasgow Comma Scale
HIV : Humman Immunodeficiency Virus
HT : hipertensi
ICS : intercostalis
IGD : Instalasi Gawat Darurat
IVFD :
MRS : masuk rumah sakit
NAPZA : narkotika, psikotropika, dan zat aditif lainnya
RL : ringer laktat
RM : rekam medik
RSUD : Rumah Sakit Umum Daerah
SOL :
T.gondii : Toxoplasmosis gondii

v
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Hasil rontgen thorax ...................................................Error! Bookmark not defined.

Gambar 2.2 Hasil CT-scan kepala tanpa kontras ...........................Error! Bookmark not defined.

Gambar 2.3 Hasil CT-scan kepala dengan kontras ........................Error! Bookmark not defined.

Gambar 3.1 Gambaran ookista pada T. gondii..............................................................................24

Gambar 3.2 Gambaran takizoit pada T. gondii ............................................................................... 3

Gambar 3.3 Gambaran kista pada T. gondii ................................................................................... 4

Gambar 3.4 Siklus hidup T. gondii10 .............................................................................................. 5

Gambar 3.5 Patogenesis toksoplasmosis ........................................................................................ 8

Gambar 3.6 Siklus hidup virus HIV ............................................................................................. 14

Gambar 3.7 Gambaran histopatologi T.gondii ............................................................................. 19

Gambar 3.8 Gambaran Ct-scan dengan kontras pada ET ............................................................. 20

Gambar 3.9 Gambaran potongan coronal MRI pada toksoplasmosis........................................... 21

vi
DAFTAR TABEL

Tabel 1 Hasil laboratorium darah ..................................................Error! Bookmark not defined.


Tabel 2 Rekomendasi tatalaksana medikamentosa pada TE ........................................................ 24

vii
1

BAB 1

PENDAHULUAN

Toksoplasmosis dianggap sebagai masalah kesehatan masyarakat yang signifikan di seluruh

dunia yang menyebabkan kondisi kronis di mana sebagian besar kasus tidak menunjukkan gejala

dan tetap tidak terdeteksi. Toksoplasmosis serebri menjadi penyebab paling umum dari lesi otak

yang luas pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Prevalensi dan beban infeksi Toxoplasma

gondii (T. gondii) pada ODHA menunjukkan variabilitas geografis dan biasanya mengikuti

prevalensi T. gondii pada populasi umum.1

Tingkat prevalensi infeksi Toksoplasma di antara orang HIV-positif di seluruh dunia,

bervariasi dari 3% hingga 97%. Seroprevalensi toksoplasmosis di Asia Tenggara tercatat rendah

di negara-negara yang beriklim tropis, seperti Thailand tetapi di Malaysia 59,7% penduduk

seropositif T. gondii. Seroprevalensi toksoplasmosis di Indonesia juga tampak bervariasi di

berbagai daerah, misalnya di Surabaya prevalensinya sebesar 63%, di Jakarta sebesar 75%, di

Yogyakarta sebesar 61,5%, dan di Jawa Tengah sebesar 62,54%.

Pada pasien dengan infeksi HIV, T. gondii menyebabkan infeksi oportunistik yang berat

sehingga diperlukan penatalaksanaan yang tepat dan sesegera mungkin. Pada individu sehat

(immunokompeten) parasit ini menyebabkan infeksi kronik persisten yang asimptomatik, namun

pada immunocompromised akan terjadi reaktivasi sehingga menimbulkan gejala klinis.2 Pasien

HIV Toksoplasma-seropositif dengan CD4 < 100 yang tidak dalam terapi profilaksis,

berkemungkinan reaktivasi kembali setinggi 30%. Dalam praktik sehari-hari, gambaran klinis dan

neuroradiologis menegakkan diagnosis dugaan. Toksoplasmosis serebri pada HIV/AIDS terus

menjadi penyebab paling umum dari lesi otak fokal dan penyebab penting morbiditas dan

mortalitas pada ODHA di beberapa negara berpenghasilan rendah dan menengah.3


2

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Toksoplasmosis serebri merupakan suatu infeksi yang mengenai jaringan otak dan

disebabkan oleh protozoa yaitu Toksoplasma gondii. Host definitive dari Toksoplasma

gondii adalah kucing. Meskipun kucing dikaitkan dengan toksoplasmosis, prevalensi infeksi

tidak terkait dengan memiliki kucing. Penularan ke manusia dapat melalui kontak langsung

dengan faeces kucing atau melalui memakan makanan yang kurang matang atau daging

mentah yang mengandung kista toxoplasma tersebut dan dapat juga melalui air yang

terkontaminasi oleh ookista Toksoplasma gondii. Selain transmisi oral, toksoplasmosis juga

dapat ditularkan melalui plasenta dari ibu ke janin atau melalui transplantasi organ yang

terinfeksi.4,5

2.2. Etiologi

Toksoplasmosis disebabkan oleh infeksi parasit protozoa coccidian Toxoplasma gondii

yang termasuk anggota filum Apicomplexa, kelas Sporozoa, subkelas Coccidia, dan subordo

Eimeria. Protozoa ini mampu menginfeksi semua sel berinti, termasuk makrofag yang

seharusnya berfungsi memfagositosis dan mengeliminasi patogen.6 Setelah tertelan,

organisme membentuk kista dalam sel berinti dan dapat tinggal di dalam jaringan untuk

kehidupan inang (infeksi laten). Penyakit terjadi setelah reaktivasi infeksi laten karena

hilangnya imunitas seluler secara progresif. Hal ini dapat terjadi dalam pengaturan HIV

lanjut, setelah transplantasi sel padat atau sel induk, steroid berkepanjangan, penggunaan

antibodi monoklonal, atau kemoterapi.7


3

2.3. Morfologi

Parasit T. gondii terbagi menjadi 3 bentuk utama, yaitu ookista (mengandung sporozoit),

yang terdapat pada tubuh kebanyakan hewan berdarah panas, termasuk tinja manusia dan

buah/sayur mentah yang tidak dicuci bersih; takizoit (bentuk proliferatif); dan kista

(mengandung bradyzoite) yang sering ditemukan pada otot dan sistem saraf pusat (CNS),

termasuk pada daging mentah/kurang matang.5,8

Ookista berbentuk oval dengan ukuran 11–14 × 9–11 mikron. Ookista memiliki dinding,

berisi satu sporoblast yang terbelah menjadi dua sporoblast. Pada perkembangan selanjutnya,

sporoblast membentuk dinding sporokista. Setiap sporokista mengandung empat sporozoit

berukuran sekitar 8x2 mikron. Bentuk takizoit tampak seperti bulan sabit dengan titik

runcing, dan titik lainnya berbentuk bulat. Panjangnya 4–8 mikron, lebar 2-4 mikron,

memiliki sel membran dan satu inti di tengah. Kista terbentuk pada sel inang jika takizoit

yang membelah telah membentuk dinding. Kista memiliki ukuran yang bermacam-macam,

ada yang kecil hanya mengandung sedikit bradizoit dan ada yang 200 mikron mengandung

sekitar 3000 bradizoit.8

Gambar 2.1 Gambaran ookista pada T. gondii Gambar 2.2 Gambaran takizoit pada T. gondii
4

Gambar 2.3 Gambaran kista pada T. gondii

2.4. Daur Hidup

Toxoplasma gondii dapat menginfeksi dan bereplikasi di dalam sel vertebrata berinti.

Siklus hidup T. gondii dibagi menjadi dua tahap, yaitu fase aseksual yang terjadi di dalam

sel berinti, dan fase seksual yang terjadi di dalam saluran pencernaan kucing. Gamet yang

telah mengalami pembuahan diperoleh dari replikasi seksual di dalam usus halus kucing, dan

mengeluarkan ookista ke lingkungan hingga 18 bulan. Ketika telah tercerna, ookista dan/atau

jaringan dengan adanya kista akan pecah dan menyerang sel-sel pada dinding usus, dan

sporozoit (yang dilepaskan dari ookista) atau bradizoit (yang dilepaskan dari jaringan kista)

berdiferensiasi menjadi takizoit, yang merupakan bentuk replikasi versi cepat dari parasit

tersebut. Takizoit ini dapat terdeteksi pada leukosit dari host atau bersirkulasi secara bebas

di dalam peredaran darah.9


5

Gambar 2.4 Siklus hidup T. gondii10

Manusia umunya terinfeksi setelah mengonsumsi ookista T.gondii yang terdapat pada

daging yang tidak matang, air yang terkontaminasi feses kucing, atau pada sayuran yang

tidak dicuci. Ookista yang teringesti berubah menjadi takizoit, mengalami replikasi yang

sangat cepat, lalu menginvasi sel. Sel tersebut kemudian mati, namun takizoit terus menyebar

ke seluruh tubuh dan menyebabkan respon inflamasi sistemik.11

Pada keadaan imunokompeten, infeksi toksoplasma dikendalikan oleh sistem imunitas

selular. Terdeteksinya takizoit akan mengaktivasi sel T CD4+ untuk mengekspresikan

CD154, menstimulasi sel dendritik dan makrofag untuk mensekresi interleukin (IL)-12, serta

meningkatkan produksi interferon gamma (IFN-γ). Sitokin ini akan menstimulasi makrofag

dan sel nonfagositik untuk bereaksi terhadap infeksi. Sebagai respon, takizoit

bertransformasi menjadi bradizoit, yang secara morfologis serupa namun memiliki laju

replikasi lebih rendah dari takizoit. Bila terjadi kondisi imunosupresi pada tubuh pejamu,
6

toksoplasma dapat kembali bertransformasi menjadi takizoit dan bermanifestasi sebagai

infeksi sistemik.11

2.5. Patogenesis dan Respon Imun

2.5.1. Patogenesis Toksoplasmosis

Toksoplasmosis bisa berlangsung secara akut atau kronis. Infeksi akut

berhubungan dengan bentuk proliferatif (takizoit), sedangkan infeksi kronis

berhubungan dengan bentuk kista jaringan. Selama proses akut, tachyzoite menyerang

semua sel dalam tubuh kecuali sel berinti inang seperti sel darah merah. Takizoit

memasuki sel inang melalui penetrasi aktif ke dalam plasmalemma inang atau melalui

fagositosis. Parasit yang menempel pada mikronema mampu mengenali dan

menargetkan sel, menghasilkan enzim untuk mematangkan vakuola parasitophorus

rhoptries. Replikasi in vitro tachyzoite intraseluler terjadi setiap 6-9 jam. Setelah

mengumpulkan 64–128 parasit di setiap sel, parasit akan keluar untuk menginfeksi sel

sekitarnya. Dengan sistem kekebalan tubuh inang, takizoit dapat berubah menjadi

subpopulasi bradizoit. Makrofag, sel NK, fibroblas, sel epitel dan sel endotel menjadi

teraktivasi oleh infeksi T.gondii pada tubuh inang, sehingga dapat menghambat

perkembangbiakan parasit.12

Respon imun non spesifik bergantung pada kemampuan IL-12 yang diproduksi

oleh makrofag dan sel dendritik untuk merangsang sel NK memproduksi IFN-γ. TNF-

α juga meningkatkan kemampuan IL-12 untuk menginduksi sel NK untuk

memproduksi IFN-γ. IFN -γ menghambat replikasi parasit karena menyebabkan

makrofag melepaskan oksida nitrat (NO), yang membunuh parasit. IFN-γ juga
7

meningkatkan aktivitas indoleamine 2,3 dioxygenase yang menghancurkan triptofan

yang merupakan zat yang diperlukan untuk pertumbuhan parasit.12

Parasit ini akan menginduksi imunitas 4 jenis sel T, yaitu respon imun yang

diperantarai sel karena T.gondii adalah parasit intraseluler. IL-12 yang diproduksi oleh

makrofag juga memperkuat kerja sel CD4+ yang memproduksi IFN - γ. Sel CD8+

juga menginduksi pelepasan IFN-γ, berperan dalam pembentukan kista dengan cara

menghambat replikasi pada makrofag takizoit dan menginduksi antigen spesifik untuk

bradizoit. Sistem kekebalan humoral memiliki peran kecil dalam melawan

toksoplasmosis tetapi sangat penting dalam diagnosis toksoplasmosis pada manusia.

Antibodi yang dihasilkan oleh sistem imun humoral mampu membunuh T.gondii

ekstraseluler dalam dan melalui aktivitas komplemennya dapat menghambat

multiplikasi parasit.12
8

Gambar 2.5 Patogenesis Toksoplasmosis

Transmisi

Toksoplasma masuk ke dalam tubuh manusia dalam bentuk oosit (stadium

infektif) dan di usus halus kemudian berubah menjadi bentuk takizoid yang kemudian

dapat menginvasi berbagai jaringan tubuh, seperti otot, otak, hati, paru dan plasenta.

T. gondii yang masuk ke dalam sel epitel usus kemudian bereplikasi. Penyebaran

kuman T. gondii dalam tubuh manusia adalah melalui migrasi antar jaringan secara

langsung ataupun melalui darah, serta “menumpang” pada leukosit atau dikenal juga

dengan prinsip Kuda Trojan.13

Plasenta, otak dan mata merupakan target utama dari patogen pada toxoplasmosis

di manusia. Hal ini diduga karena profil imunologis dari organ tersebut yang dapat
9

menarik patogen. Interleukin 1 (IL-1) kemungkinan besar berperan dalam proses

migrasi leukosit dari pembuluh darah ke jaringan inflamasi. IL-1 ditemukan lebih

banyak jumlahnya pada pasien dengan toxoplasmosis okular dibandingkan dengan

toxoplasmosis tanpa gejala.14

Imunitas selular yang dimediasi oleh limfosit T, makrofag dan sitokin-sitokin

spesifik lainnya dapat menekan infeksi dari T. gondii. Pada penderita

imunokompromais, seperti HIV-AIDS, kelemahan sistem imun dapat membuat

peningkatan patogenisitas dan severitas dari toxoplasmosis sebagai infeksi

oportunistik.15

Toksoplasmosis serebral

Infeksi serebral didapatkan dari 2 tempat masuknya patogen ke otak, yaitu sawar

darah-otak (BBB atau blood-brain barrier) atau secara tidak langsung infeksi pleksus

koroid ke liquor cerebrospinalis (LCS). Pada pasien AIDS dengan toxoplasmosis

serebral akut, plexus koroid ditemukan terjadi infeksi, sehingga kemungkinan LCS

juga terlibat dalam transmisi parasit ini.13 Pada kondisi CD4 di bawah 200

sel/mikroliter, terutama pada kondisi di bawah 50 sel/mikroliter, infeksi sistem saraf

pusat oleh Toksoplasma sering ditemukan.16

Infeksi akuisata yang akut pada manusia imunokompeten secara umum bersifat

asimtomatik, self-limiting dan/atau dapat berakhir sebagai infeksi kronis (fase laten).

Pada individu yang mengalami penurunan sistem imun (imunokompromais), seperti

pada pasien AIDS, reaktivasi dari infeksi kronis ini dapat menjadi kondisi infeksi

sistem saraf pusat yang akut dan fulminan.17


10

Toxoplasmosis dapat menyerang berbagai bagian dari sistem saraf pusat.

Manifestasi klinisnya antara lain abses serebri baik fokal maupun multifokal, dan

ensefalitis difusa. Pada abses serebri pada pasien AIDS, sering ditemui abses terjadi

pada basal ganglia, sehingga sering bermanifestasi pada gangguan motorik. Ensefalitis

dapat timbul secara subakut dan memiliki manifestasi klinis seperti gangguan

kesadaran dan kognitif serta kejang.18

2.5.2. Patogenesis HIV-AIDS

Patofisiologi HIV (human immunodeficiency virus) dimulai dari transmisi virus ke

dalam tubuh yang menyebabkan infeksi yang terjadi dalam 3 fase: serokonversi,

asimtomatik, dan acquired immunodeficiency syndrome (AIDS).

Transmisi

HIV ditransmisikan melalui cairan tubuh dari orang yang terinfeksi HIV, seperti

darah, ASI, semen dan sekret vagina. Virus masuk ke dalam tubuh manusia melalui

port d’entree yang terdapat pada tubuh, umumnya kemungkinan ini meningkat

melalui perilaku berisiko yang dilakukan. Virus kemudian masuk ke dalam sel dengan

menempel pada reseptor CD4 melalui pembungkus glikoprotein. Sebagai retrovirus,

HIV menggunakan enzim reverse-transcriptase, memungkinkan terbentuknya DNA-

copy, untuk terbentuk dari RNA-virus. Virus kemudian menempel dan merusak CD4,

sehingga terjadi deplesi nilai CD4 dalam darah, seiring dengan terjadinya peningkatan

replikasi virus yang direfleksikan dari hasil nilai viral load yang tinggi, menandakan

tingkat virulensi yang tinggi.19

Fase serokonversi
11

Fase serokonversi terjadi di masa awal infeksi HIV. Pada fase ini, terjadi viremia

plasma dengan penyebaran yang luas dalam tubuh, selama 4-11 hari setelah virus

masuk melalui mukosa tubuh. Kondisi ini dapat bertahan selama beberapa minggu,

dengan gejala yang cukup ringan dan tidak spesifik, umumnya berupa demam, flu-like

syndrome, limfadenopati dan ruam-ruam. Kemudian, keluhan akan berkurang dan

bertahan tanpa gejala mengganggu. Pada masa ini, umumnya akan mulai terjadi

penurunan nilai CD4, dan peningkatan viral-load.19

Fase asimtomatik

Pada fase asimtomatik, HIV sudah dapat terdeteksi melalui pemeriksaan darah.

Penderita infeksi HIV dapat hidup bebas gejala hingga 5-10 tahun walau tanpa

intervensi pengobatan. Pada fase ini, replikasi virus terus berjalan, virulensi tinggi,

viral load stabil tinggi, serta terjadi penurunan CD4 secara konstan.19

AIDS

Pada fase AIDS, umumnya viral-load tetap berada dalam kadar yang tinggi. CD4

dapat menurun hingga lebih rendah dari 200/µl. Infeksi oportunistik mulai muncul

secara signifikan. Infeksi oportunistik ini bersifat berat, meliputi dan mengganggu

berbagai fungsi organ dan sistem dalam tubuh. Menurunnya CD4 mempermudah

infeksi dan perubahan seluler menjadi keganasan. Infeksi oportunistik berupa emam

>2 minggu, tuberkulosis paru, tuberkulosis ekstra paru, sarkoma kaposi, herpes

rekuren, limfadenopati, candidiasis orofaring, dan wasting syndrome.19

Seperti halnya jenis virus lain, virus HIV pun hanya dapat bertahan hidup dan

memperbanyak diri dalam sel. Dengan demikian daur hidup virus berlangsung dalam

sel. Daur hidup virus HIV dapat dibedakan dalam 4 tahap:20


12

a. Tahap masuknya virus dalam sel

Tahap masuknya virus dalam sel inang berkaitan dengan struktur permukaan virus

dan inangnya, penempelan berlangsung karena adanya muatan listrik yang

berlawanan antara molekul gp120 yang memiliki muatan positif dengan

proteoglikan dari lektin permukaan sel yang bermuatan negatif, setelah terjadi

penempelan, gp120 akan melakukan ikatan spesifik dengan molekul CD4 yang

dimiliki sel inang, ikatan ini akan memicu berbagai perubahan struktur molekul

(konfirmasi) gp120, diantaranya membentuk tempat ikatan untuk molekul

koreseptor kemokin dari jenis C-C Chemokin eReceptor type 5(CCR5) atau C-X-

C Chemokine Receptor type 4(CXCR4), koreseptor dibutuhkan untuk

menginduksi konformasi gp41 yang berada dalam membran dwilapis virus, dan

struktur tersebut akan memaparkan peptida fusi dari molekul gp41 yang akan

disusul penyisipan peptida tersebut dalam membran sel inang (sel TCD4+)

b. Tahap transkripsi mundur dan integrasi genom

Dalam memanfaatkan kelengkapan yang dimiliki sel, genom virus harus

digabungkan dengan genom sel inang dengan cara diintegrasikan melalui

penyisipan dalam molekul DNA yang dimiliki inti sel inang. Tetapi karena genom

retrovirus dalam bentuk RNA, maka sebelum diintegrasikan dalam genom sel

inang, molekul RNA harus ditranskripsi mundur menjadi molekul DNA. Itulah

sebabnya dalam inti retrovirus dilengkapi dengan enzim reverse transcriptase

yang diperlukan untuk transkripsi mundur. Dua untaian RNA virus ditranskripsi

mundur menjadi dua untaian complementary Deoxyribonucleic Acid (cDNA).

Pasangan DNA virus ini kemudian pindah dari sitoplasma sel ke dalam intinya dan
13

disisipkan kedalam DNA inang dengan bantuan enzim integrase. Genom virus

yang telah menyatu dengan genom sel inang dapat berada dalam keadaan laten

atau aktif. cDNA yang aktif disebut sebagai provirus. Provirus digunakan sebagai

pola cetakan transkripsi menjadi untainan RNA dalam proses replikasi atau

biosintesis protein virus yang diperlukan dalam partikel virus baru.

c. Tahap replikasi

Seperti juga virus lain, untuk dapat memperbanyak diri HIV membutuhkan sel

inang yang mempunyai kelengkapan untuk sistesis protein. Replikasi salinan virus

dimulai dengan proses transkripsi, splicing messenger Ribonucleic Acid (mRNA)

dalam inti, dan translasi pada ribosom dari roughendoplasmic reticulum (rER)

menjadi peptida yang diselesaikan dalam kompleks golgi.

d. Tahap perakitan dan pendewasaan virus

Perakitan partikel virus baru pada prinsipnya berlangsung pada membran sel inang

yang terinfeksi. Perakitan komponen-komponen virus bergantung pada protein sel

inang yang disebut HBG8 yang akan mengikat protein p55 dan mendorong

pembentukan inti virus yang belum dewasa. Protein struktural lain dari virus

berkumpul di membran sel bersama dua untaian genom RNA. Enzim reverse

transcriptase, protease dan integrase diintegrasikan menjadi virus yang belum

dewasa. Protein struktural utama yaitu p6, menghubungkan daerah membran

plasma yang merupakan tempat berlangsungnya pembentukan partikel virus baru.

Sebelum berlangsungnya pembentukan partikel virus, beberapa faktor restriksi

virus dalam sitoplasma seperti APOBEC3G dapat digabungkan dalam virion.


14

Bersamaan dengan pembentukan partikel virus muda dari membran sel, terjadi

proses proteolisis kapsid untuk pengembangan virus menjadi dewasa.

Gambar 2.6 Siklus hidup virus HIV

2.6. Gejala Klinis

2.6.1. Gejala klinis toksoplasmosis serebri

Toksoplasmosis serebri biasanya menunjukkan manifestasi subakut neurologis.

Namun, penyakit ini dapat menunjukkan penyakit yang berkembang pesat dan

ensefalitis difus yang fatal atau ventrikulitis tanpa bukti lesi otak fokal dalam studi

pencitraan atau bahkan gejala seperti stroke. Manifestasi klinis penyakit ini terutama

tergantung pada topografi dan jumlah lesi. Tanda dan gejala yang paling umum adalah

sakit kepala (38%-93%), defisit neurologis fokal (22%-80%), demam (35%-88%),

kebingungan mental (15%-52%), kejang (19%). -58%), perubahan psikomotor atau

perilaku (37%-42%), kelumpuhan saraf kranial (12%-28%), ataksia (2%-30%), dan

kelainan visual (8%-19%). Dengan demikian, spektrum manifestasi klinis yang luas
15

mengindikasikan untuk dilakukan brain imaging dengan tujuan mengevaluasi terapi

empiris.3

2.6.2. Gejala klinis HIV

Menurut Permenkes No. 87 tahun 2014, gejala klinis infeksi HIV dibagi ke dalam 4

stadium:21

a. Stadium 1

Stadium 1 infeksi HIV berupa sindrom serokonversi akut yang disertai dengan

limfadenopati persisten generalisata (muncul nodul-nodul tanpa rasa sakit pada 2

atau lebih lokasi yang tidak berdampingan dengan jarak lebih dari cm dan waktu

lebih dari 3 bulan). Pasien stadium ini dapat tetap asimtomatik hingga bertahun-

tahun tergantung pada pengobatan. Status performa 1: aktif penuh dan

asimtomatik.

b. Stadium 2

Pada stadium 2, pasien dapat kehilangan berat badan kurang dari 10% massa

tubuh. Risiko penyakit infeksi antara lain herpes zoster, manifestasi minor

mukokutan, infeksi saluran pernapasan atas rekuren. Status performa 2:

simtomatik namun hampir aktif penuh.

c. Stadium 3

Stadium 3 HIV akan menyebabkan pasien kehilangan berat badan lebih dari 10%

massa tubuh. Pasien juga akan mengalami beberapa infeksi atau gejala seperti:

diare kronik >1 bulan, demam prolong >1 bulan, kandidiasis oral, kandidiasis

vagina kronik, oral hairy leukoplakia, infeksi bakteri parah, dan tuberkulosis paru.

Status performa 3: berada di tempat tidur lebih dari 50% dalam satu bulan terakhir.
16

d. Stadium 4

Pasien HIV stadium 4 mengalami infeksi oportunistik yang juga dikenal sebagai

AIDS defining infections, antara lain tuberkulosis ekstrapulmoner, pneumonia

Pneumocystis jirovecii, meningitis kriptokokal, infeksi HSV lebih dari 1 bulan,

kandidiasis pulmoner dan esofageal, toksoplasmosis, kriptosporidiosis, CMV,

HIV wasting syndrome, ensefalopati HIV, sarkoma kaposi, limfoma, dan

pneumonia rekuren. Status performa 4: hanya dapat beraktivitas di atas tempat

tidur lebih dari 50% waktu keseharian.

2.7. Diagnosis

Penggunaan kategori diagnostik telah banyak diterapkan pada beberapa penyakit

neurologis oportunistik. Definisi kasus untuk toksoplasmosis serebri dapat berkontribusi pada

desain dan perbandingan studi, komunikasi ilmiah, dan bahkan pengelolaan penyakit. Kategori

diagnostik yang dimaksud, sebagai berikut:3

1. Toksoplasmosis serebri yang dikonfirmasi secara histologi, memerlukan sindrom klinis

yang tidak sesuai, identifikasi satu atau lebih lesi otak fokal luas dengan pencitraan, dan

biopsi otak (atau pemeriksaan postmortem) yang menunjukkan bukti T. gondii.

Demonstrasi histopatologi paling sering diperoleh dengan biopsi jarum yang dipandu

stereotactic computed tomography (CT). Pewarnaan hematoxylin dan eosin dapat

digunakan untuk menunjukkan takizoit T. gondii, terutama di pinggiran lesi, tetapi

sensitivitas meningkat secara signifikan jika pewarnaan imunoperoksidase digunakan.

2. Toksoplasmosis serebri yang dikonfirmasi di laboratorium, memerlukan sindrom klinis

yang kompatibel, identifikasi satu atau lebih lesi otak fokal yang luas dengan pencitraan,
17

dan bukti DNA T. gondii dalam cairan serebrospinal (CSF) dengan uji amplifikasi asam

nukleat.

3. Kemungkinan toksoplasmosis serebri, memerlukan sindrom klinis yang sesuai, identifikasi

satu atau lebih lesi massa dengan pencitraan, dan respons radiologis yang positif terhadap

10 - 14 hari antitoksoplasma sebagai terapi empiris.

4. Kemungkinan toksoplasmosis sereberi, memerlukan sindrom klinis yang sesuai,

identifikasi satu atau lebih lesi massa dengan pencitraan, adanya antibodi serum T. gondii

imunoglobulin G (IgG), dan tidak ada diagnosis alternatif lain.

Dalam praktik klinis, ODHA dengan gangguan imun berat (jumlah CD4 limfosit <200

sel/mm3) dengan temuan klinis dan radiologis toksoplasmosis serebri yang kompatibel harus

menerima terapi antitoksoplasma. Kecurigaan dini dan pengobatan segera selama fase awal

toksoplasmosis serebral mengurangi risiko gejala sisa neurologis dan kematian.3

2.7.1. Tes serologi

IgG dapat diperiksa dengan teknik sabin Fieldman DT (standar emas), antibodi

fluoresen tidak langsung (IFA) atau ELISA. IgG muncul dalam 1-2 minggu pertama infeksi

dan biasanya dapat bertahan selama bertahun-tahun atau seumur hidup. Namun pada pasien

immunocompromised kadar IgG tidak dapat dideteksi. IgG positif menunjukkan bahwa

pasien telah terpajan oleh T.gondii tetapi tidak dapat menunjukkan apakah pasien tersebut

baru terinfeksi atau infeksi jangka panjang. IgG avidity telah banyak digunakan sebagai tes

tambahan untuk menentukan apakah infeksi yang sedang berlangsung bersifat akut atau

kronis. Titer IgG aviditas tinggi menunjukkan bahwa infeksi berlangsung kira-kira 4 bulan

lebih awal sedangkan titer yang rendah menunjukkan infeksi akut.12


18

IgM dapat diperiksa dengan teknik double sandwich ELISA, IFA dan immunosorbent

agglutination assay (ISAGA). IgM muncul segera setelah infeksi dan menghilang dalam

beberapa bulan. Pada beberapa kasus IgM dapat terdeteksi selama >12 tahun, oleh karena

itu hasil positif IgM serum masih perlu dilakukan pemeriksaan lain untuk mengetahui

apakah infeksi tersebut berlangsung akut atau kronis. Sensitivitas dan spesifisitas serologi

sangat bervariasi tergantung pada laboratorium dan teknik yang digunakan. Sebuah studi

yang membandingkan 6 tes IgM ELISA menemukan bahwa sensitivitas berkisar antara 93-

100%, dan spesifisitas 99,1%.12

2.7.2. Analisis cairan otak

Pungsi lumbal umumnya dikerjakan pada pasien HIV dengan CD4 <100 sel/μL

yang memiliki kecurigaan infeksi otak lain atau pada pasien dengan kecurigaan

toksoplasma yang tidak berespon baik setelah pemberian terapi empirik. Polymerase

chain reaction (PCR) toksoplasma pada cairan serebrospinal dapat dikerjakan untuk

mengetahui adanya infeksi toksoplasma, namun hal ini tidak dikerjakan secara rutin.11

Pada pasien dengan ensefalitis toksoplasma, sensitivitas PCR di cairan

serebrospinal sekitar 50-60%, spesifisitas sekitar 100%. Adanya PCR yang positif

tidak berarti terdapat infeksi aktif karena kista T.gondii dapat bertahan lama berada di

otak setelah infeksi akut. PCR pada darah mempunyai sensitifitas yang rendah untuk

diagnosis pada penderita AIDS.12

2.7.3. Pemeriksaan histopatologi

Teknik pewarnaan imunoperoksidase dapat menunjukkan pembentukan takizoit

pada bagian jaringan atau cairan tubuh yang terinfeksi. Kista jaringan multipel dengan
19

peradangan nekrotik di sekitarnya dapat menunjukkan adanya infeksi akut atau

reaktivasi kembali infeksi laten. Pemeriksaan ini tidak rutin dilakukan.12

Gambar 2.7 Gambaran histopatologi T.gondii

2.7.4. Pencitraan Radiologi

Magnetic resonance imaging (MRI) memiliki sensitivitas yang lebih tinggi daripada CT

scan untuk diagnosis radiologis toksoplasmosis serebri dan dapat memengaruhi diagnosis

dan pengobatan sebagian pasien. Namun, CT adalah teknik yang paling umum tersedia di

sebagian besar layanan gawat darurat. MRI tidak lebih spesifik dibandingkan CT dalam

membedakan etiologi lesi otak luas pada ODHA.3

Temuan CT dan MRI yang khas pada pasien dengan toksoplasmosis serebral adalah lesi

multipel yang ditandai dengan ring-enhancing di ganglia basal (48%), lobus frontal (37%),

dan lobus parietal (37%) dengan edema di sekitarnya. Selain itu, lobus oksipital (19%),

lobus temporal (18%), dan batang otak/serebelum (5-15%) dapat terpengaruh. Sekitar 15-

40% pasien dengan toksoplasmosis serebri memiliki lesi tunggal yang terlihat pada studi

CT dan MRI. Toksoplasmosis serebri merupakan penyebab paling sering dari lesi tunggal

supratentorial atau infratentorial pada ODHA. Pada gambar CT, meskipun lesi ring-
20

enhancing dengan edema disekitarnya menjadi pola yang paling umum (44% -82%), lesi

nodular-enhancing dengan edema perilesional (3-33%) dan lesi non-enhancing dengan

efek ekspansif (6%-20%) dapat terlihat. Ada 2 tanda pencitraan dengan sensitivitas rendah

tetapi spesifisitas tinggi untuk diagnosis toksoplasmosis serebri pada ODHA. Pertama,

"tanda target eksentrik," zona peningkatan perifer berbentuk cincin (pada CT pasca kontras

atau MRI dengan pembobotan T1) dengan nodul eksentrik kecil di sepanjang dinding,

diamati pada <30% kasus. Kedua, "tanda target konsentris" adalah tanda MRI yang baru-

baru ini dijelaskan pada pencitraan T2 dari toksoplasmosis serebral dengan zona hipo dan

hiperintensitas konsentris yang bergantian. Hal ini diyakini lebih spesifik daripada "tanda

target eksentrik" dalam diagnosis toksoplasmosis serebri pada ODHA.3

Gambar 2.8 Gambaran Ct-Scan dengan Kontras dan Non-Kontras pada Toksoplasmosis Serebri
21

Gambar 2.9 Gambaran Potongan Coronal MRI pada Toksoplasmosis Serebri

2.8. Penatalaksanaan
2.8.1. Tatalaksana fase akut

Terapi fase akut adalah kombinasi pirimetamin dan sulfadiazin. Kedua obat ini

dapat melalui sawar darah otak dengan baik walaupun tidak ditemui inflamasi.

T.gondii membutuhkan vitamin B untuk hidup. Pirimetamin menghambat

pemerolehan vitamin B oleh T. gondii sedangkan sulfadiazin akan menghambat

penggunaannya. Kombinasi pirimetamin dan sulfadiazin dapat memberikan efek yang

tidak diharapkan berupa penghambatan sekuensial terhadap enzim yang membantu

pembentukan asam folat. Oleh karena itu, pemberian asam folat 5- 10 mg perhari

diindikasikan untuk mencegah depresi sumsum tulang.22

Terapi alternatif yang direkomendasikan pada pasien yang tidak dapat menerima

sulfadiazin atau tidak berespons terhadap terapi lini pertama adalah pirimetamin,

klindamisin, dan leukovorin. Namun kombinasi ini tidak dapat sekaligus menjadi

profilaksis PCP, sehingga tetap perlu penambahan obat. Pasien umumnya memberikan

respons klinis yang baik setelah 14 hari terapi fase akut. Pemberian terapi akut

sebaiknya tidak dihentikan selama minimal 3-6 minggu.11


22

2.8.2. Tatalaksana fase rumatan

Setelah melaksanakan terapi akut, pasien sebaiknya melanjutkan dengan dosis

rumatan kronik. Dosis rumatan kronik yang direkomendasikan adalah setengah dari

dosis yang diberikan saat terapi fase akut. Terapi rumatan diberikan hingga CD4 >200

sel/μL selama 6 bulan berturut-turut setelah pemberian ARV. Hingga saat ini, belum

ada rekomendasi waktu yang tepat untuk memulai ARV pada pasien TE. Para klinisi

umumnya memulai inisiasi ARV pada 2-3 minggu setelah diagnosis.11

Penelitian menyebutkan bahwa 50- 80% pasien HIV yang tidak menerima terapi

rumatan akan mengalami kekambuhan. Melihat panjangnya durasi terapi pada kasus

toksoplasmosis serebri, kepatuhan pasien dalam terapi toksoplasmosis serebri sangat

diperlukan, 60% pasien yang menghentikan pengobatan sebelum waktunya akan

mengalami relaps.22

Pemberian kortikosteroid bukan merupakan terapi yang rutin digunakan. Namun

penggunaannya perlu dipikirkan pada pasien yang terus mengalami perburukan klinis

dalam 48 jam atau pasien yang secara radiologis diketahui mengalami midline shift

dan menunjukkan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial. Kortikosteroid yang

umum digunakan pada keadaan tersebut adalah dexamethasone dengan dosis 4 mg

diberikan tiap 6 jam kemudian diturunkan dosisnya secara cepat selama beberapa hari

selanjutnya. Pemberian steroid perlu dilakukan secara hati-hati pada pasien dengan

infeksi HIV karena akan memperbesar kemungkinan terjadinya infeksi oportunistik

sekaligus memberikan masking-effect dari infeksi tersebut.22


23

2.8.3. Pemberian profilaksis3

Pasien HIV dengan limfosit CD4 <100 sel/μL atau <200 sel/μL dengan serologi

toksoplasma yang positif perlu mendapatkan profilaksis primer, yaitu trimetoprim-

sulfametoksazol (TMP-SMX) 960 mg 1 x sehari, yang juga efektif sebagai profilaksis

pneumocystis jirovecii pneumonia (PCP). Pengobatan diperikan dengan periode minimal

dengan viremia tidak terdeteksi dengan jelas, selama > 3 sampai 6 bulan. Pasien dengan

jumlah CD4 limfosit antara 100 dan 200 dan viral load HIV di bawah batas deteksi dapat

dipertimbangkan untuk menghentikan profilaksis primer. Untuk pasien dengan jumlah

CD4 limfosit antara 100 dan 200 dengan viral load HIV di atas batas deteksi, profilaksis

primer harus diberikan kembali. Tiap hari mengkonsumsi TMP-SMX adalah pengobatan

pilihan. Jika pasien tidak dapat mentoleransi TMP-SMX, pengobatan alternatifnya adalah

dapson-pirimetamin plus leucovorin atau atovaquone dengan atau tanpa

pirimetamin/leucovorin.

Semua terapi antitoksoplasma yang digunakan dalam praktik klinis aktif melawan

bentuk takizoit dari T. gondii, tetapi tidak pada bentuk kista jaringan, penghentian terapi

setelah fase induksi pengobatan biasanya menyebabkan penyakit kambuh kembali.

Rekomendasi pilihan saat ini untuk profilaksis sekunder dari toksoplasmosis serebral

terdiri dari kombinasi pirimetamin dengan sulfadiazin dan leucovorin. Pirimetamin

dikombinasikan dengan klindamisin biasanya digunakan untuk pasien dengan intoleransi

terhadap obat sulfa, tetapi pengobatan ini tidak memberikan perlindungan terhadap PCP.

Pasien dengan jumlah CD4 limfosit >200 sel/mm3 selama >6 bulan sebagai respons

terhadap pengobatan direkomendasikan untuk menghentikan profilaksis sekunder. Pasien


24

dengan jumlah CD4 limfosit <200 sel/mm3 harus memulai kembali profilaksis sekunder

terlepas dari viral load HIV.

Berikut merupakan tabel rekomendasi tatalaksana medikamentosa pada pasien

toksoplasma serebri:

Tabel 1 Rekomendasi tatalaksana medikamentosa pada Toksopasma Serebri

Nama Obat Dosis Awal Dosis Rumatan Efek Samping


Ruam kulit, demam,
Trimetoprin- 960 mg/12 jam
leukopenia,
sulfametoksazol (sediaan tablet 480 960/12 jam
trombositopenia,
(TMP-SMX) mg)
gangguan fungsi hati
1-2 g/ 6 jam Gangguan fungsi hati,
1-2 g/ 6 jam
Sulfadiazin (sediaan tablet 500 fungsi ginjal, &
selama 6 minggu
mg) gangguan hematologi
BB ≤60 kg:
200 mg, satu kali
50mg/hari Ruam kulit, depresi
Pirimetamin (sediaan tablet 25
BB >60 kg: sumsum tulang
mg)
75mg/hari
600 mg/6 jam Demam, ruam kulit,
Klindamisin (sediaan tablet 300 600 mg/6 jam muntah, diare (kolitis
mg) pseudomembran)
10-20 mg/hari
Asam folinat (sediaan tablet 5 10-20 mg/hari Alergi
dan 10 mg)

2.9. Prognosis

Prognosis bergantung kepada imunitas penderita. Pengobatan pada toksoplasma serebri

pada HIV/AIDS terbagi menjadi dua tahap yaitu, tahap fase akut dan rumatan. Hal ini

berguna bagi pasien karena sebagian besarnya mengalami perbaikan kondisi dan pencegahan

kekambuhan.1
25

BAB 3

KESIMPULAN

Toksoplasmosis serebri tetap menjadi penyebab paling umum dari lesi otak yang luas pada

orang yang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA). Infeksi ini sering mempengaruhi sistem saraf pusat

yang mengakibatkan situasi fatal pada pasien HIV, terutama pada stadium lanjut. Toksoplasmosis

serebri merupakan indikator prognosis buruk pada penderita AIDS dan memberikan kontribusi

sebesar 23% angka kematian pasien AIDS. Sekumpulan gejala penyakit pada AIDS disebabkan

oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang merupakan retro virus ditemukan pada pasien

AIDS di Afrika Tengah tahun 1986. Target utama diserang oleh virus ini adalah sel limfosit T

Cluster of Differentiation 4 (CD4).

Klinik praktis pengobatan toksoplasmosis serebri didasarkan diagnosis presumtif untuk

toksoplasmosis serebri. Diagnosis presumtif menurut CDC berdasarkan 3 kriteria, yaitu adanya

gejala fokal neurologis yang mengarah pada disfungsi (SSP) atau penurunan kesadaran, ada lesi

khas dalam otak yang dideteksi dengan CT, adanya lesi desak ruang pada gambaran pencitraan

radiologi dan atau adanya menyangat kontras berbentuk cincin (ring enchancement), adanya

serologis positif untuk antibodi (Ab) Immunoglobulin G (IgG) anti T. gondii atau adanya respon

yang baik setelah diberikan terapi empiris. Diagnosis definitif ditemukan adanya takisoit pada

biopsi otak dan isolasi T. gondii.

Toksoplasmosis serebri ini memiliki morbiditas dan mortalitas yang tinggi, terutama di

negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah. Perawatan dini adalah kunci untuk hasil yang

baik. Neuroepidemiologi lokal, derajat imunosupresi, dan fitur klinis, laboratorium, dan

neuroradiologi individu penting untuk evaluasi diagnosis alternatif yang tepat waktu.
26

DAFTAR PUSTAKA

1. Hassana DS, Hadisaputro S, Achsan M, Sofro U. Toxoplasmosis and Cerebral

Toxoplasmosis in HIV/AIDS Patients in Kariadi Hospital, Semarang. J Epidemiol Kesehat

Komunitas [Internet]. 2021;0(0):213–7. Available from:

https://ejournal2.undip.ac.id/index.php/jekk/article/view/7351

2. Yostila D, Armen A. Toxoplasmosis Cerebri Pada HIV AIDS. J Kesehat Andalas.

2018;7(Supplement 4):96–9.

3. Vidal JE. HIV-Related Cerebral Toxoplasmosis Revisited: Current Concepts and

Controversies of an Old Disease. [cited 2021 Jun 3]; Available from:

https://us.sagepub.com/en-us/nam/open-access-at-sage

4. Hamdan M, Machin A, RI W. Buku Ajar Ilmu Penyakit Saraf. Machfoed MH, editor.

Surabaya: Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair; 2011. 171-172 p.

5. Halimatunisa F, Prabowo AY. Diagnosis Toxoplasma Gondii Dan Toksoplasmosis.

Medula. 2018;8(1):127–30.

6. Manual Penyakit Hewan Mamalia. ISIKHNAS; 2019. p. 460–70.

7. Sonneville R, Magalhaes E, Meyfroidt G. Central nervous system infections in

immunocompromised patients. Vol. 23, Current Opinion in Critical Care. Lippincott

Williams and Wilkins; 2017. p. 128–33.

8. Yellita. Mekanisme Interaksi Toxoplasma gondii dengan Sel Host. In: Pengantar Falsafah

Sains Institut Pertanian Bogor. Bogor: Institut Pertanian Bogor; 2014. p. 1–12.

9. W CT, Fitri D, Hutami DR, Nida NU, P NOJ. Toksoplasmosis. Yogyakarta; 2018.

10. Toxoplasma gondii. In: CDC. USA: Centers for Disease Control and Prevention; 2018.
27

11. Mayza A, Safri AY, Rasyid A, Tiksnadi A, Budikayanti A, Imran D, et al. Buku Ajar

Neurologi (Jilid 1). Jakarta: Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia; 2017.

12. Yuliawati I, Nasronudin. Pathogenesis, Diagnostic and Management of Toxoplasmosis.

Indones J Trop Infect Dis. 2015;5(4):100–6.

13. Randall RM, Hunter CA. Parasite Dissemination and The Pathogenesis of Toxoplasmosis.

Eur J Microbiol Immunol. 2011;1(1):3–9.

14. Cordeiro CA, Vieira ELM, Castro VM. T Cell Immunoregulation in Active Ocular

Toxoplasmosis. Immunol Lett. 2017;184:84–91.

15. Sutisna NS. Patofisiologi Toxoplasmosis. Alomedika. 2019.

16. Basavaraju A. Toxoplasmosis in HIV Infection: An Overview. Trop Parasitrol.

2016;6(2):129–35.

17. Suzuki Y, Sa Q, Ochiai E. Cerebral Toxoplasmosis. 2014;755–96.

18. Bowen LN, Smith B, Reich D. HIV-associated Opportunistic CNS Infections:

Pathophysiology, Diagnosis and Treatment. Nat Rev Neurol. 2016;12:662–74.

19. Noya A. Patofisiologi HIV. Alomedika. 2018.

20. Dwiyanti D. Gambaran Hasil Pemeriksaan HIV (Human Immunodeficiency Virus) Pada

Pasien HIV di Puskesmas Rawat Inap Sukaraja Bandar Lampung Tahun 2017-2018.

Politeknik Kesehatan Tanjungkarang; 2019.

21. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Tatalaksana Terapi ARV. Indonesia: Permenkes

Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pengobatan Antiretroviral;

22. Lestari MD. Toksoplasmosis Serebri. PdfCookie; 2020. p. 1–21.

Anda mungkin juga menyukai