Disusun oleh :
Maria Yulia Rosari Saryono, S.Ked
2008020008
Pembimbing :
dr. Yuliana Imelda Ora Adja, M.Biomed, Sp.N
dr. Johana Herlin, Sp.N
i
HALAMAN PENGESAHAN
Laporan kasus ini telah disusun dan dibacakan di hadapan pembimbing klinik dalam rangka
memenuhi salah satu syarat mengikuti ujian kepaniteraan klinik di SMF/Bagian Ilmu Penyakit
Saraf RSUD. Prof. Dr. W.Z. Johannes, Kupang.
Pembimbing Klinik :
Ditetapkan di : Kupang
Tanggal : Juni 2021
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Pengasih dan Penyayang atas rahmat dan kasih-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan pembuatan presentasi laporan kasus yang berjudul
“Toxoplasmosis Cerebri pada Pasien HIV-AIDS” ini. Laporan kasus ini disusun dalam rangka
memenuhi tugas kepaniteraan klinik bagian Neurologi Program Studi Pendidikan Dokter
Saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para pengajar di SMF
Neurologi, khususnya dr. Johana Herlin Sp.N dan dr. Imelda Ora Adja, Sp.N, M.Biomed atas
bimbingan yang diberikan selama berlangsungnya pendidikan di bagian Neurologi ini sehingga
Saya menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna, maka saya mengharapkan
kritik dan saran yang membangun untuk memperbaiki laporan kasus ini sehingga boleh menjadi
Demikian yang dapat saya sampaikan, semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi para
Penulis
iii
DAFTAR ISI
iv
DAFTAR SINGKATAN
v
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.2 Hasil CT-scan kepala tanpa kontras ...........................Error! Bookmark not defined.
Gambar 2.3 Hasil CT-scan kepala dengan kontras ........................Error! Bookmark not defined.
vi
DAFTAR TABEL
vii
1
BAB 1
PENDAHULUAN
dunia yang menyebabkan kondisi kronis di mana sebagian besar kasus tidak menunjukkan gejala
dan tetap tidak terdeteksi. Toksoplasmosis serebri menjadi penyebab paling umum dari lesi otak
yang luas pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Prevalensi dan beban infeksi Toxoplasma
gondii (T. gondii) pada ODHA menunjukkan variabilitas geografis dan biasanya mengikuti
bervariasi dari 3% hingga 97%. Seroprevalensi toksoplasmosis di Asia Tenggara tercatat rendah
di negara-negara yang beriklim tropis, seperti Thailand tetapi di Malaysia 59,7% penduduk
berbagai daerah, misalnya di Surabaya prevalensinya sebesar 63%, di Jakarta sebesar 75%, di
Pada pasien dengan infeksi HIV, T. gondii menyebabkan infeksi oportunistik yang berat
sehingga diperlukan penatalaksanaan yang tepat dan sesegera mungkin. Pada individu sehat
(immunokompeten) parasit ini menyebabkan infeksi kronik persisten yang asimptomatik, namun
pada immunocompromised akan terjadi reaktivasi sehingga menimbulkan gejala klinis.2 Pasien
HIV Toksoplasma-seropositif dengan CD4 < 100 yang tidak dalam terapi profilaksis,
berkemungkinan reaktivasi kembali setinggi 30%. Dalam praktik sehari-hari, gambaran klinis dan
menjadi penyebab paling umum dari lesi otak fokal dan penyebab penting morbiditas dan
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Toksoplasmosis serebri merupakan suatu infeksi yang mengenai jaringan otak dan
disebabkan oleh protozoa yaitu Toksoplasma gondii. Host definitive dari Toksoplasma
gondii adalah kucing. Meskipun kucing dikaitkan dengan toksoplasmosis, prevalensi infeksi
tidak terkait dengan memiliki kucing. Penularan ke manusia dapat melalui kontak langsung
dengan faeces kucing atau melalui memakan makanan yang kurang matang atau daging
mentah yang mengandung kista toxoplasma tersebut dan dapat juga melalui air yang
terkontaminasi oleh ookista Toksoplasma gondii. Selain transmisi oral, toksoplasmosis juga
dapat ditularkan melalui plasenta dari ibu ke janin atau melalui transplantasi organ yang
terinfeksi.4,5
2.2. Etiologi
yang termasuk anggota filum Apicomplexa, kelas Sporozoa, subkelas Coccidia, dan subordo
Eimeria. Protozoa ini mampu menginfeksi semua sel berinti, termasuk makrofag yang
organisme membentuk kista dalam sel berinti dan dapat tinggal di dalam jaringan untuk
kehidupan inang (infeksi laten). Penyakit terjadi setelah reaktivasi infeksi laten karena
hilangnya imunitas seluler secara progresif. Hal ini dapat terjadi dalam pengaturan HIV
lanjut, setelah transplantasi sel padat atau sel induk, steroid berkepanjangan, penggunaan
2.3. Morfologi
Parasit T. gondii terbagi menjadi 3 bentuk utama, yaitu ookista (mengandung sporozoit),
yang terdapat pada tubuh kebanyakan hewan berdarah panas, termasuk tinja manusia dan
buah/sayur mentah yang tidak dicuci bersih; takizoit (bentuk proliferatif); dan kista
(mengandung bradyzoite) yang sering ditemukan pada otot dan sistem saraf pusat (CNS),
Ookista berbentuk oval dengan ukuran 11–14 × 9–11 mikron. Ookista memiliki dinding,
berisi satu sporoblast yang terbelah menjadi dua sporoblast. Pada perkembangan selanjutnya,
berukuran sekitar 8x2 mikron. Bentuk takizoit tampak seperti bulan sabit dengan titik
runcing, dan titik lainnya berbentuk bulat. Panjangnya 4–8 mikron, lebar 2-4 mikron,
memiliki sel membran dan satu inti di tengah. Kista terbentuk pada sel inang jika takizoit
yang membelah telah membentuk dinding. Kista memiliki ukuran yang bermacam-macam,
ada yang kecil hanya mengandung sedikit bradizoit dan ada yang 200 mikron mengandung
Gambar 2.1 Gambaran ookista pada T. gondii Gambar 2.2 Gambaran takizoit pada T. gondii
4
Toxoplasma gondii dapat menginfeksi dan bereplikasi di dalam sel vertebrata berinti.
Siklus hidup T. gondii dibagi menjadi dua tahap, yaitu fase aseksual yang terjadi di dalam
sel berinti, dan fase seksual yang terjadi di dalam saluran pencernaan kucing. Gamet yang
telah mengalami pembuahan diperoleh dari replikasi seksual di dalam usus halus kucing, dan
mengeluarkan ookista ke lingkungan hingga 18 bulan. Ketika telah tercerna, ookista dan/atau
jaringan dengan adanya kista akan pecah dan menyerang sel-sel pada dinding usus, dan
sporozoit (yang dilepaskan dari ookista) atau bradizoit (yang dilepaskan dari jaringan kista)
berdiferensiasi menjadi takizoit, yang merupakan bentuk replikasi versi cepat dari parasit
tersebut. Takizoit ini dapat terdeteksi pada leukosit dari host atau bersirkulasi secara bebas
Manusia umunya terinfeksi setelah mengonsumsi ookista T.gondii yang terdapat pada
daging yang tidak matang, air yang terkontaminasi feses kucing, atau pada sayuran yang
tidak dicuci. Ookista yang teringesti berubah menjadi takizoit, mengalami replikasi yang
sangat cepat, lalu menginvasi sel. Sel tersebut kemudian mati, namun takizoit terus menyebar
CD154, menstimulasi sel dendritik dan makrofag untuk mensekresi interleukin (IL)-12, serta
meningkatkan produksi interferon gamma (IFN-γ). Sitokin ini akan menstimulasi makrofag
dan sel nonfagositik untuk bereaksi terhadap infeksi. Sebagai respon, takizoit
bertransformasi menjadi bradizoit, yang secara morfologis serupa namun memiliki laju
replikasi lebih rendah dari takizoit. Bila terjadi kondisi imunosupresi pada tubuh pejamu,
6
infeksi sistemik.11
berhubungan dengan bentuk kista jaringan. Selama proses akut, tachyzoite menyerang
semua sel dalam tubuh kecuali sel berinti inang seperti sel darah merah. Takizoit
memasuki sel inang melalui penetrasi aktif ke dalam plasmalemma inang atau melalui
rhoptries. Replikasi in vitro tachyzoite intraseluler terjadi setiap 6-9 jam. Setelah
mengumpulkan 64–128 parasit di setiap sel, parasit akan keluar untuk menginfeksi sel
sekitarnya. Dengan sistem kekebalan tubuh inang, takizoit dapat berubah menjadi
subpopulasi bradizoit. Makrofag, sel NK, fibroblas, sel epitel dan sel endotel menjadi
teraktivasi oleh infeksi T.gondii pada tubuh inang, sehingga dapat menghambat
perkembangbiakan parasit.12
Respon imun non spesifik bergantung pada kemampuan IL-12 yang diproduksi
oleh makrofag dan sel dendritik untuk merangsang sel NK memproduksi IFN-γ. TNF-
makrofag melepaskan oksida nitrat (NO), yang membunuh parasit. IFN-γ juga
7
Parasit ini akan menginduksi imunitas 4 jenis sel T, yaitu respon imun yang
diperantarai sel karena T.gondii adalah parasit intraseluler. IL-12 yang diproduksi oleh
makrofag juga memperkuat kerja sel CD4+ yang memproduksi IFN - γ. Sel CD8+
juga menginduksi pelepasan IFN-γ, berperan dalam pembentukan kista dengan cara
menghambat replikasi pada makrofag takizoit dan menginduksi antigen spesifik untuk
Antibodi yang dihasilkan oleh sistem imun humoral mampu membunuh T.gondii
multiplikasi parasit.12
8
Transmisi
infektif) dan di usus halus kemudian berubah menjadi bentuk takizoid yang kemudian
dapat menginvasi berbagai jaringan tubuh, seperti otot, otak, hati, paru dan plasenta.
T. gondii yang masuk ke dalam sel epitel usus kemudian bereplikasi. Penyebaran
kuman T. gondii dalam tubuh manusia adalah melalui migrasi antar jaringan secara
langsung ataupun melalui darah, serta “menumpang” pada leukosit atau dikenal juga
Plasenta, otak dan mata merupakan target utama dari patogen pada toxoplasmosis
di manusia. Hal ini diduga karena profil imunologis dari organ tersebut yang dapat
9
migrasi leukosit dari pembuluh darah ke jaringan inflamasi. IL-1 ditemukan lebih
oportunistik.15
Toksoplasmosis serebral
Infeksi serebral didapatkan dari 2 tempat masuknya patogen ke otak, yaitu sawar
darah-otak (BBB atau blood-brain barrier) atau secara tidak langsung infeksi pleksus
serebral akut, plexus koroid ditemukan terjadi infeksi, sehingga kemungkinan LCS
juga terlibat dalam transmisi parasit ini.13 Pada kondisi CD4 di bawah 200
Infeksi akuisata yang akut pada manusia imunokompeten secara umum bersifat
asimtomatik, self-limiting dan/atau dapat berakhir sebagai infeksi kronis (fase laten).
pada pasien AIDS, reaktivasi dari infeksi kronis ini dapat menjadi kondisi infeksi
Manifestasi klinisnya antara lain abses serebri baik fokal maupun multifokal, dan
ensefalitis difusa. Pada abses serebri pada pasien AIDS, sering ditemui abses terjadi
pada basal ganglia, sehingga sering bermanifestasi pada gangguan motorik. Ensefalitis
dapat timbul secara subakut dan memiliki manifestasi klinis seperti gangguan
dalam tubuh yang menyebabkan infeksi yang terjadi dalam 3 fase: serokonversi,
Transmisi
HIV ditransmisikan melalui cairan tubuh dari orang yang terinfeksi HIV, seperti
darah, ASI, semen dan sekret vagina. Virus masuk ke dalam tubuh manusia melalui
port d’entree yang terdapat pada tubuh, umumnya kemungkinan ini meningkat
melalui perilaku berisiko yang dilakukan. Virus kemudian masuk ke dalam sel dengan
copy, untuk terbentuk dari RNA-virus. Virus kemudian menempel dan merusak CD4,
sehingga terjadi deplesi nilai CD4 dalam darah, seiring dengan terjadinya peningkatan
replikasi virus yang direfleksikan dari hasil nilai viral load yang tinggi, menandakan
Fase serokonversi
11
Fase serokonversi terjadi di masa awal infeksi HIV. Pada fase ini, terjadi viremia
plasma dengan penyebaran yang luas dalam tubuh, selama 4-11 hari setelah virus
masuk melalui mukosa tubuh. Kondisi ini dapat bertahan selama beberapa minggu,
dengan gejala yang cukup ringan dan tidak spesifik, umumnya berupa demam, flu-like
bertahan tanpa gejala mengganggu. Pada masa ini, umumnya akan mulai terjadi
Fase asimtomatik
Pada fase asimtomatik, HIV sudah dapat terdeteksi melalui pemeriksaan darah.
Penderita infeksi HIV dapat hidup bebas gejala hingga 5-10 tahun walau tanpa
intervensi pengobatan. Pada fase ini, replikasi virus terus berjalan, virulensi tinggi,
viral load stabil tinggi, serta terjadi penurunan CD4 secara konstan.19
AIDS
Pada fase AIDS, umumnya viral-load tetap berada dalam kadar yang tinggi. CD4
dapat menurun hingga lebih rendah dari 200/µl. Infeksi oportunistik mulai muncul
secara signifikan. Infeksi oportunistik ini bersifat berat, meliputi dan mengganggu
berbagai fungsi organ dan sistem dalam tubuh. Menurunnya CD4 mempermudah
infeksi dan perubahan seluler menjadi keganasan. Infeksi oportunistik berupa emam
>2 minggu, tuberkulosis paru, tuberkulosis ekstra paru, sarkoma kaposi, herpes
Seperti halnya jenis virus lain, virus HIV pun hanya dapat bertahan hidup dan
memperbanyak diri dalam sel. Dengan demikian daur hidup virus berlangsung dalam
Tahap masuknya virus dalam sel inang berkaitan dengan struktur permukaan virus
proteoglikan dari lektin permukaan sel yang bermuatan negatif, setelah terjadi
penempelan, gp120 akan melakukan ikatan spesifik dengan molekul CD4 yang
dimiliki sel inang, ikatan ini akan memicu berbagai perubahan struktur molekul
koreseptor kemokin dari jenis C-C Chemokin eReceptor type 5(CCR5) atau C-X-
menginduksi konformasi gp41 yang berada dalam membran dwilapis virus, dan
struktur tersebut akan memaparkan peptida fusi dari molekul gp41 yang akan
disusul penyisipan peptida tersebut dalam membran sel inang (sel TCD4+)
penyisipan dalam molekul DNA yang dimiliki inti sel inang. Tetapi karena genom
retrovirus dalam bentuk RNA, maka sebelum diintegrasikan dalam genom sel
inang, molekul RNA harus ditranskripsi mundur menjadi molekul DNA. Itulah
yang diperlukan untuk transkripsi mundur. Dua untaian RNA virus ditranskripsi
Pasangan DNA virus ini kemudian pindah dari sitoplasma sel ke dalam intinya dan
13
disisipkan kedalam DNA inang dengan bantuan enzim integrase. Genom virus
yang telah menyatu dengan genom sel inang dapat berada dalam keadaan laten
atau aktif. cDNA yang aktif disebut sebagai provirus. Provirus digunakan sebagai
pola cetakan transkripsi menjadi untainan RNA dalam proses replikasi atau
c. Tahap replikasi
Seperti juga virus lain, untuk dapat memperbanyak diri HIV membutuhkan sel
inang yang mempunyai kelengkapan untuk sistesis protein. Replikasi salinan virus
dalam inti, dan translasi pada ribosom dari roughendoplasmic reticulum (rER)
Perakitan partikel virus baru pada prinsipnya berlangsung pada membran sel inang
inang yang disebut HBG8 yang akan mengikat protein p55 dan mendorong
pembentukan inti virus yang belum dewasa. Protein struktural lain dari virus
berkumpul di membran sel bersama dua untaian genom RNA. Enzim reverse
Bersamaan dengan pembentukan partikel virus muda dari membran sel, terjadi
Namun, penyakit ini dapat menunjukkan penyakit yang berkembang pesat dan
ensefalitis difus yang fatal atau ventrikulitis tanpa bukti lesi otak fokal dalam studi
pencitraan atau bahkan gejala seperti stroke. Manifestasi klinis penyakit ini terutama
tergantung pada topografi dan jumlah lesi. Tanda dan gejala yang paling umum adalah
kelainan visual (8%-19%). Dengan demikian, spektrum manifestasi klinis yang luas
15
empiris.3
Menurut Permenkes No. 87 tahun 2014, gejala klinis infeksi HIV dibagi ke dalam 4
stadium:21
a. Stadium 1
Stadium 1 infeksi HIV berupa sindrom serokonversi akut yang disertai dengan
atau lebih lokasi yang tidak berdampingan dengan jarak lebih dari cm dan waktu
lebih dari 3 bulan). Pasien stadium ini dapat tetap asimtomatik hingga bertahun-
asimtomatik.
b. Stadium 2
Pada stadium 2, pasien dapat kehilangan berat badan kurang dari 10% massa
tubuh. Risiko penyakit infeksi antara lain herpes zoster, manifestasi minor
c. Stadium 3
Stadium 3 HIV akan menyebabkan pasien kehilangan berat badan lebih dari 10%
massa tubuh. Pasien juga akan mengalami beberapa infeksi atau gejala seperti:
diare kronik >1 bulan, demam prolong >1 bulan, kandidiasis oral, kandidiasis
vagina kronik, oral hairy leukoplakia, infeksi bakteri parah, dan tuberkulosis paru.
Status performa 3: berada di tempat tidur lebih dari 50% dalam satu bulan terakhir.
16
d. Stadium 4
Pasien HIV stadium 4 mengalami infeksi oportunistik yang juga dikenal sebagai
2.7. Diagnosis
neurologis oportunistik. Definisi kasus untuk toksoplasmosis serebri dapat berkontribusi pada
desain dan perbandingan studi, komunikasi ilmiah, dan bahkan pengelolaan penyakit. Kategori
yang tidak sesuai, identifikasi satu atau lebih lesi otak fokal luas dengan pencitraan, dan
Demonstrasi histopatologi paling sering diperoleh dengan biopsi jarum yang dipandu
yang kompatibel, identifikasi satu atau lebih lesi otak fokal yang luas dengan pencitraan,
17
dan bukti DNA T. gondii dalam cairan serebrospinal (CSF) dengan uji amplifikasi asam
nukleat.
satu atau lebih lesi massa dengan pencitraan, dan respons radiologis yang positif terhadap
identifikasi satu atau lebih lesi massa dengan pencitraan, adanya antibodi serum T. gondii
Dalam praktik klinis, ODHA dengan gangguan imun berat (jumlah CD4 limfosit <200
sel/mm3) dengan temuan klinis dan radiologis toksoplasmosis serebri yang kompatibel harus
menerima terapi antitoksoplasma. Kecurigaan dini dan pengobatan segera selama fase awal
IgG dapat diperiksa dengan teknik sabin Fieldman DT (standar emas), antibodi
fluoresen tidak langsung (IFA) atau ELISA. IgG muncul dalam 1-2 minggu pertama infeksi
dan biasanya dapat bertahan selama bertahun-tahun atau seumur hidup. Namun pada pasien
immunocompromised kadar IgG tidak dapat dideteksi. IgG positif menunjukkan bahwa
pasien telah terpajan oleh T.gondii tetapi tidak dapat menunjukkan apakah pasien tersebut
baru terinfeksi atau infeksi jangka panjang. IgG avidity telah banyak digunakan sebagai tes
tambahan untuk menentukan apakah infeksi yang sedang berlangsung bersifat akut atau
kronis. Titer IgG aviditas tinggi menunjukkan bahwa infeksi berlangsung kira-kira 4 bulan
IgM dapat diperiksa dengan teknik double sandwich ELISA, IFA dan immunosorbent
agglutination assay (ISAGA). IgM muncul segera setelah infeksi dan menghilang dalam
beberapa bulan. Pada beberapa kasus IgM dapat terdeteksi selama >12 tahun, oleh karena
itu hasil positif IgM serum masih perlu dilakukan pemeriksaan lain untuk mengetahui
apakah infeksi tersebut berlangsung akut atau kronis. Sensitivitas dan spesifisitas serologi
sangat bervariasi tergantung pada laboratorium dan teknik yang digunakan. Sebuah studi
yang membandingkan 6 tes IgM ELISA menemukan bahwa sensitivitas berkisar antara 93-
Pungsi lumbal umumnya dikerjakan pada pasien HIV dengan CD4 <100 sel/μL
yang memiliki kecurigaan infeksi otak lain atau pada pasien dengan kecurigaan
toksoplasma yang tidak berespon baik setelah pemberian terapi empirik. Polymerase
chain reaction (PCR) toksoplasma pada cairan serebrospinal dapat dikerjakan untuk
mengetahui adanya infeksi toksoplasma, namun hal ini tidak dikerjakan secara rutin.11
serebrospinal sekitar 50-60%, spesifisitas sekitar 100%. Adanya PCR yang positif
tidak berarti terdapat infeksi aktif karena kista T.gondii dapat bertahan lama berada di
otak setelah infeksi akut. PCR pada darah mempunyai sensitifitas yang rendah untuk
pada bagian jaringan atau cairan tubuh yang terinfeksi. Kista jaringan multipel dengan
19
Magnetic resonance imaging (MRI) memiliki sensitivitas yang lebih tinggi daripada CT
scan untuk diagnosis radiologis toksoplasmosis serebri dan dapat memengaruhi diagnosis
dan pengobatan sebagian pasien. Namun, CT adalah teknik yang paling umum tersedia di
sebagian besar layanan gawat darurat. MRI tidak lebih spesifik dibandingkan CT dalam
Temuan CT dan MRI yang khas pada pasien dengan toksoplasmosis serebral adalah lesi
multipel yang ditandai dengan ring-enhancing di ganglia basal (48%), lobus frontal (37%),
dan lobus parietal (37%) dengan edema di sekitarnya. Selain itu, lobus oksipital (19%),
lobus temporal (18%), dan batang otak/serebelum (5-15%) dapat terpengaruh. Sekitar 15-
40% pasien dengan toksoplasmosis serebri memiliki lesi tunggal yang terlihat pada studi
CT dan MRI. Toksoplasmosis serebri merupakan penyebab paling sering dari lesi tunggal
supratentorial atau infratentorial pada ODHA. Pada gambar CT, meskipun lesi ring-
20
enhancing dengan edema disekitarnya menjadi pola yang paling umum (44% -82%), lesi
efek ekspansif (6%-20%) dapat terlihat. Ada 2 tanda pencitraan dengan sensitivitas rendah
tetapi spesifisitas tinggi untuk diagnosis toksoplasmosis serebri pada ODHA. Pertama,
"tanda target eksentrik," zona peningkatan perifer berbentuk cincin (pada CT pasca kontras
atau MRI dengan pembobotan T1) dengan nodul eksentrik kecil di sepanjang dinding,
diamati pada <30% kasus. Kedua, "tanda target konsentris" adalah tanda MRI yang baru-
baru ini dijelaskan pada pencitraan T2 dari toksoplasmosis serebral dengan zona hipo dan
hiperintensitas konsentris yang bergantian. Hal ini diyakini lebih spesifik daripada "tanda
Gambar 2.8 Gambaran Ct-Scan dengan Kontras dan Non-Kontras pada Toksoplasmosis Serebri
21
2.8. Penatalaksanaan
2.8.1. Tatalaksana fase akut
Terapi fase akut adalah kombinasi pirimetamin dan sulfadiazin. Kedua obat ini
dapat melalui sawar darah otak dengan baik walaupun tidak ditemui inflamasi.
pembentukan asam folat. Oleh karena itu, pemberian asam folat 5- 10 mg perhari
Terapi alternatif yang direkomendasikan pada pasien yang tidak dapat menerima
sulfadiazin atau tidak berespons terhadap terapi lini pertama adalah pirimetamin,
klindamisin, dan leukovorin. Namun kombinasi ini tidak dapat sekaligus menjadi
profilaksis PCP, sehingga tetap perlu penambahan obat. Pasien umumnya memberikan
respons klinis yang baik setelah 14 hari terapi fase akut. Pemberian terapi akut
rumatan kronik. Dosis rumatan kronik yang direkomendasikan adalah setengah dari
dosis yang diberikan saat terapi fase akut. Terapi rumatan diberikan hingga CD4 >200
sel/μL selama 6 bulan berturut-turut setelah pemberian ARV. Hingga saat ini, belum
ada rekomendasi waktu yang tepat untuk memulai ARV pada pasien TE. Para klinisi
Penelitian menyebutkan bahwa 50- 80% pasien HIV yang tidak menerima terapi
rumatan akan mengalami kekambuhan. Melihat panjangnya durasi terapi pada kasus
mengalami relaps.22
penggunaannya perlu dipikirkan pada pasien yang terus mengalami perburukan klinis
dalam 48 jam atau pasien yang secara radiologis diketahui mengalami midline shift
diberikan tiap 6 jam kemudian diturunkan dosisnya secara cepat selama beberapa hari
selanjutnya. Pemberian steroid perlu dilakukan secara hati-hati pada pasien dengan
Pasien HIV dengan limfosit CD4 <100 sel/μL atau <200 sel/μL dengan serologi
dengan viremia tidak terdeteksi dengan jelas, selama > 3 sampai 6 bulan. Pasien dengan
jumlah CD4 limfosit antara 100 dan 200 dan viral load HIV di bawah batas deteksi dapat
CD4 limfosit antara 100 dan 200 dengan viral load HIV di atas batas deteksi, profilaksis
primer harus diberikan kembali. Tiap hari mengkonsumsi TMP-SMX adalah pengobatan
pilihan. Jika pasien tidak dapat mentoleransi TMP-SMX, pengobatan alternatifnya adalah
pirimetamin/leucovorin.
Semua terapi antitoksoplasma yang digunakan dalam praktik klinis aktif melawan
bentuk takizoit dari T. gondii, tetapi tidak pada bentuk kista jaringan, penghentian terapi
Rekomendasi pilihan saat ini untuk profilaksis sekunder dari toksoplasmosis serebral
terhadap obat sulfa, tetapi pengobatan ini tidak memberikan perlindungan terhadap PCP.
Pasien dengan jumlah CD4 limfosit >200 sel/mm3 selama >6 bulan sebagai respons
dengan jumlah CD4 limfosit <200 sel/mm3 harus memulai kembali profilaksis sekunder
toksoplasma serebri:
2.9. Prognosis
pada HIV/AIDS terbagi menjadi dua tahap yaitu, tahap fase akut dan rumatan. Hal ini
berguna bagi pasien karena sebagian besarnya mengalami perbaikan kondisi dan pencegahan
kekambuhan.1
25
BAB 3
KESIMPULAN
Toksoplasmosis serebri tetap menjadi penyebab paling umum dari lesi otak yang luas pada
orang yang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA). Infeksi ini sering mempengaruhi sistem saraf pusat
yang mengakibatkan situasi fatal pada pasien HIV, terutama pada stadium lanjut. Toksoplasmosis
serebri merupakan indikator prognosis buruk pada penderita AIDS dan memberikan kontribusi
sebesar 23% angka kematian pasien AIDS. Sekumpulan gejala penyakit pada AIDS disebabkan
oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang merupakan retro virus ditemukan pada pasien
AIDS di Afrika Tengah tahun 1986. Target utama diserang oleh virus ini adalah sel limfosit T
toksoplasmosis serebri. Diagnosis presumtif menurut CDC berdasarkan 3 kriteria, yaitu adanya
gejala fokal neurologis yang mengarah pada disfungsi (SSP) atau penurunan kesadaran, ada lesi
khas dalam otak yang dideteksi dengan CT, adanya lesi desak ruang pada gambaran pencitraan
radiologi dan atau adanya menyangat kontras berbentuk cincin (ring enchancement), adanya
serologis positif untuk antibodi (Ab) Immunoglobulin G (IgG) anti T. gondii atau adanya respon
yang baik setelah diberikan terapi empiris. Diagnosis definitif ditemukan adanya takisoit pada
Toksoplasmosis serebri ini memiliki morbiditas dan mortalitas yang tinggi, terutama di
negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah. Perawatan dini adalah kunci untuk hasil yang
baik. Neuroepidemiologi lokal, derajat imunosupresi, dan fitur klinis, laboratorium, dan
neuroradiologi individu penting untuk evaluasi diagnosis alternatif yang tepat waktu.
26
DAFTAR PUSTAKA
https://ejournal2.undip.ac.id/index.php/jekk/article/view/7351
2018;7(Supplement 4):96–9.
https://us.sagepub.com/en-us/nam/open-access-at-sage
4. Hamdan M, Machin A, RI W. Buku Ajar Ilmu Penyakit Saraf. Machfoed MH, editor.
Medula. 2018;8(1):127–30.
8. Yellita. Mekanisme Interaksi Toxoplasma gondii dengan Sel Host. In: Pengantar Falsafah
Sains Institut Pertanian Bogor. Bogor: Institut Pertanian Bogor; 2014. p. 1–12.
9. W CT, Fitri D, Hutami DR, Nida NU, P NOJ. Toksoplasmosis. Yogyakarta; 2018.
10. Toxoplasma gondii. In: CDC. USA: Centers for Disease Control and Prevention; 2018.
27
11. Mayza A, Safri AY, Rasyid A, Tiksnadi A, Budikayanti A, Imran D, et al. Buku Ajar
Indonesia; 2017.
13. Randall RM, Hunter CA. Parasite Dissemination and The Pathogenesis of Toxoplasmosis.
14. Cordeiro CA, Vieira ELM, Castro VM. T Cell Immunoregulation in Active Ocular
2016;6(2):129–35.
20. Dwiyanti D. Gambaran Hasil Pemeriksaan HIV (Human Immunodeficiency Virus) Pada
Pasien HIV di Puskesmas Rawat Inap Sukaraja Bandar Lampung Tahun 2017-2018.
21. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Tatalaksana Terapi ARV. Indonesia: Permenkes