Disusun oleh :
Pembimbing :
dr. Johana Herlin, Sp.N
dr. Yuliana Imelda W. Ora Adja, M.Biomed, Sp.N
Ditetapkan di : Kupang
Tanggal : Juli 2023
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul
“Sindrom Kauda Equina” sesuai dengan waktu yang telah ditentukan, dalam
Kupang.
dalam penulisan referat ini. Terutama pada para pengajar dan staf di SMF
1. dr. Johana Herlin, Sp.N, dr. Yuliana Imelda Ora Adja, M.Biomed, Sp.N, dr.
Pauline A. Leyloh, Sp.N, dr. Astari A.C. Goller, Sp.N yang telah
Penulis menyadari bahwa penulisan Referat ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
Penulis
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN.........................................................................................................ii
KATA PENGANTAR....................................................................................................................iii
DAFTAR ISI..................................................................................................................................iv
DAFTAR GAMBAR.......................................................................................................................v
DAFTAR TABEL...........................................................................................................................vi
DAFTAR SINGKATAN...............................................................................................................vii
BAB 1..............................................................................................................................................1
PENDAHULUAN...........................................................................................................................1
BAB 2..............................................................................................................................................2
PEMBAHASAN..............................................................................................................................2
2.1 Definisi.....................................................................................................................................2
2.2 Epidemiologi.............................................................................................................................2
2.3 Anatomi.....................................................................................................................................3
a. Letak.........................................................................................................................................7
b. Vaskularisasi............................................................................................................................8
2.4 Etiologi....................................................................................................................................8
2.5 Patogenesis............................................................................................................................10
2.6 Patofisiologi..........................................................................................................................11
2.7 Manifestasi Klinis.................................................................................................................13
2.8 Klasifikasi.............................................................................................................................13
2.9 Diagnosis...............................................................................................................................14
2.10 Tatalaksana...........................................................................................................................15
2.11 Prognosis...............................................................................................................................17
2.12 Diskusi Kasus........................................................................................................................18
BAB 3............................................................................................................................................22
PENUTUP.....................................................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................23
iv
DAFTAR GAMBAR
v
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR SINGKATAN
vii
BAB 1
PENDAHULUAN
Spinal cord adalah kelanjutan dari batang otak yang berakhir pada konus
medularis. Bungkus saraf spinal dan akar saraf spinal dimulai dari konus
medularis dan membentuk cauda equina. Cauda equina terdiri dari pasangan saraf
lumbal kedua (L2) hingga kelima (L5), semua pasangan saraf sakral (S1-S5), dan
Salah satu gangguan yang paling umum terjadi pada cauda equina adalah
Sindrom Cauda Equina (CES). Sindrom cauda equina adalah penyakit saraf
langka dan serius yang disebabkan oleh tekanan pada cauda equina. Tekanan ini
lumbar disk herniation (LDH). CES akibat LDH merupakan 1-3% dari semua
herniasi diskus. Ada juga penyebab lain yang menyebabkan CES seperti trauma
samping obat, dan lesi vaskular. Pasien umumnya mengalami gejala seperti nyeri
gangguan kandung kemih, kelemahan otot pada kaki, dan hilangnya sensasi di
Banyak pasien tidak mengalami semua gejala ini, dan gejala dapat muncul
kelemahan otot). Jika gejala muncul secara tiba-tiba, operasi harus dilakukan
1
dalam waktu 48 jam berikutnya. Setelah periode tersebut, jumlah disfungsi
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Sindrom Cauda Equina adalah sekelompok gejala yang muncul akibat gangguan fungsi
cauda equina. Ini merupakan kondisi langka terkait dengan prolapsus cakram lumbar yang masif.
Sindrom Cauda Equina dibagi menjadi CES-I (Cauda Equina Incomplete), atau CES-R(Cauda
Equina Retention). Kedua jenis ini dibedakan berdasarkan pengaruhnya pada kandung kemih.
Pada CES-I, terjadi masalah urinasi dengan penurunan sensasi kandung kemih dan kesulitan
buang air kecil. Gejala lain dari sindrom cauda equina, seperti sciatica, kelemahan anggota badan
bagian bawah, dan anestesi sadel juga dapat terjadi. Sedangkan, pada CES-R, kondisinya telah
berkembang hingga mencapai tahap di mana terjadi retensi urin lengkap dan inkontinensia
overflow. Gejala lain dari sindrom cauda equina juga muncul, meskipun anestesi sadel
Ada dua kategori tambahan yang diusulkan, yaitu CESS (Cauda Equina Syndrome
Suspected) dan CESC (Cauda Equina Syndrome Complete). Kategori-kategori ini dapat
membantu dalam menentukan jalur pengobatan dan pada kasus-kasus yang dicurigai, membantu
dalam urgensi investigasi. Sindrom Cauda Equina adalah kondisi yang mempengaruhi tungkai-
tungkai, baik secara unilateral maupun bilateral, dengan gejala nyeri punggung, tetapi yang
paling penting adalah pada onset akut terdapat gangguan fungsi kandung kemih.(3)
2
2.2 Epidemiologi
Sindrom kauda equina adalah kondisi yang jarang terjadi, dengan kejadian sekitar 5-10
kasus per 8 juta orang setiap tahun dan prevalensi berkisar antara 1:100.000 hingga 1:33.000
orang. Dilaporkan bahwa sindrom ini berkembang sekitar 2-3% dari seluruh kejadian herniasi
diskus lumbal dan 2-6% dari semua dekompresi tulang belakang lumbal yang dilakukan untuk
herniasi diskus terkait dengan sindrom kauda equina. Insiden sindrom kauda equina paling tinggi
a. Anatomi
Medula spinalis seperti otak, terdiri atas substansia grisea dan substansia alba.
Substansia alba mengandung traktus serabut asenden dan desenden, sedangkan substansia
grisea mengandung berbagai jenis neuron; kornu anterior terutama mengandung motor
neuron, kornu lateralis terutama mengandung neuron otonom dan kornu posterior
aferen yang berbeda. Selain itu, medula spinalis mengandung aparatus neural intrinsik
yang terdiri atas interneuron, neuron asosiasi, dan neuron komisural, yang prosesusnya
Medula spinalis terdiri dari 5 segmen, yaitu segmen servikal (8), torakal (12),
lumbal (5), sacral (5), dan koksigeus (1). Medula spinalis berakhir pada konus medularis
(atau konus terminalis) setinggi level L1 atau L2 (jarang pada L3) Di bawah level ini, sakus
lumbalis(teka) hanya mengandung filamen radiks saraf, yang disebut kauda equina (“ekor
kuda”).(6,7)
Pada dua tempat medulla spinalis terlihat membesar, yang disebut dengan
3
pembesaran servikal dan lumbal. Pembesaran servikal mengandung segmen untuk
lumbosakralis.(6)
Arteri spinal anterior berjalan ke bagian depan sepanjang medula spinalis dan
perdarahi 2/3 bagian depan medula spinalis (termasuk traktus kortikospinal), sedangkan
4
1/3 bagian belakang (termasuk kolom dorsal) diperdarahi oleh sepasang arteri spinal
posterior. Suplai darah juga berasal dari cabang thyrocervical melalui arteri-arteri
memperdarahi servikal secara berurutan pada berbagai tingkat ketika masuk ke kanal
anastomosis antara T9 dan T12 pada kebanyakan individu adalah arteri radikulomedular
memperdarahi medula spinalis bagian anterior dari titik masuknya di bagian bawah
Drainase vena medula spinalis dimulai dari vena spinal dorsal dan vena spinal
ventral menuju pleksus vena internal dan eksternal yang berdekatan dengan kantung dura
dan badan vertebra. Dari sana, darah vena diangkut ke sinus vena dura mater.
c. Dermatom(6)
Anatomi Dermatom
5
Dermatom adalah area kulit yang dipersarafi terutama oleh satu saraf spinalis. Ada 8 saraf
servikal, 12 saraf torakal, 5 saraf lumbal dan 5 saraf sakral. Masing masing saraf menyampaikan
rangsangan dari kulit yang dipersarafinya ke otak. Sepanjang dada dan perut dermatom seperti
tumpukan cakram yang dipersarafi oleh saraf spinal yang berbeda. Sepanjang lengan dan kaki,
pola ini berbeda karena dermatom berjalan secara longitudinal sepanjang anggota badan.
Manfaat Klinik
gejala bukan penyebab dari dari masalah yang mendasari, operasi tidak boleh
Peta Dermatom
Dermatom ini semua terletak di lengan. C5 meliputi lengan bagian lateral dan superior
siku. C6 meliputi lengan bawah dan radius (ibu jari). C7 meliputi jari tengah, C8
meliputi bagian lateral tangan, dan T1 mencakup sisi medial lengan bawah.
6
Dermatom kulit yang mewakili daerah pinggul dan daerah inguinal dipersarafi oleh
L1. L2 dan L3 mencakup bagian anterior femur. L4 dan L5 mencakup bagian medial
S1 meliputi tumit dan kaki tengah bagian belakang. S2 menutupi bagian belakang
femur. S3 menutupi sisi medial dari gluteus dan S4-S5 meliputi daerah perineum.
7
a. Letak
Medula spinalis berjalan dari medulla oblongata hingga ke tingkat T12-L1. Bagian
selanjutnya dari medula spinalis disebut konus medularis. Kauda equina dimulai dari konus
medularis dan terdiri dari nervus spinal L2-L5, S1-S5, dan saraf koksigeal. Saraf-saraf ini terdiri
dari radiks saraf sensorik (bagian posterior) dan radiks saraf motorik (bagian anterior), dan
berfungsi untuk inervasi sensorik area saddle, kontrol volunter permukaan luar rektum dan
sfingter urin, serta inervasi sensorik dan motorik regio ekstremitas bawah. Kauda equina berada
dalam rongga tertutup, yang disebut kantong thecal, dan terdapat cairan cerebrospinal dalam
ruang subaraknoid.
b. Vaskularisasi
Vaskularisasi medula spinalis berasal dari arteri spinal anterior dan dua arteri spinal
posterior. Sirkulasi pada sebagian besar medula spinalis dipengaruhi oleh arteri-arteri radikular
anterior dan posterior, serta arteri-arteri parsial yang terletak di samping saraf-saraf spinal.
Arteri-arteri ini berasal dari arteri servikal, spinal, interkostal posterior, dan lumbar.
Vaskularisasi pada cauda equina berhubungan dengan arteri-arteri yang menyertai radiks
saraf anterior dan posterior dari cauda equina. Setiap saraf memiliki setidaknya satu arteri kecil
yang berdekatan. Bagian penting dari sirkulasi darah pada cauda equina yaitu, arteri-arteri
radikular. Adanya tekanan atau penyumbatan pada arteri-arteri radikular dapat menyebabkan
masalah dalam sirkulasi darah cauda equina (misalnya iskemia pada bagian radiks saraf). Arteri
iliolumbar mengalir ke arteri lumbalis kelima, yang berasal dari arteri iliaka dan juga aorta.
Sebagian besar arteri pada cauda equina adalah “end arteries”, karena tidak memiliki cabang
anastomosis.
2.5 Etiologi(8)
8
1. Herniasi diskus
Herniasi diskus adalah penyebab paling umum dari Sindrom Cauda Equina (CES) dan
sering membutuhkan pembedahan dekompresi. Lokasi paling sering terjadi herniasi diskus
adalah pada tingkat L4/5. Herniasi nukleus pulposus yang akut dan masif menyebabkan iritasi
kimiawi dan kompresi mekanis pada jaringan saraf. Pada sebagian besar kasus herniasi diskus,
pengobatan awal bersifat konservatif. Namun, pada kasus CES, terapi definitif adalah
2. Stenosis spinal
Stenosis spinal adalah etiologi paling umum dari kompresi kantung thekal (lapisan
pelindung yang mengelilingi sumsum tulang belakang dan cairan cerebrospinal) pada orang tua.
Namun, CES yang menimbulkan gejala muncul hanya pada kelompok minoritas. Hal ini karena
perkembangan stenosis spinal berlangsung lambat, memberi kesempatan bagi jaringan saraf
untuk beradaptasi dalam kondisi tersebut. Meskipun demikian, stenosis spinal yang progresif dan
Spondilolistesis (kondisi saat satu vertebra bergeser maju atau mundur relatif terhadap tulang
belakang di bawahnya) berhubungan dengan stenosis secara klinis dan juga menjadi faktor risiko
CES.
3. Trauma
Fraktur tulang belakang dapat menyebabkan Sindrom Cauda Equina (CES). Fraktur
vertebra dengan penyempitan kanal, fraktur lamina, robekan cakram, hematoma dapat
menyebabkan penekanan pada kantung thekal dan menyebabkan CES. Koreksi segera
diperlukan.
menyebabkan CES. Insidensinya bervariasi, dengan metastasis lebih sering terjadi daripada
tumor primer.
5. Spondilitis
Spondilitis tuberkulosis dan spondilitis piogenik sering disertai dengan abses epidural
dan fraktur patologis. Kondisi-kondisi ini dapat menekan kantung thekal dan menyebabkan CES.
Pengobatan anti-tuberkulosis atau anti-biotik yang tepat harus dilakukan bersamaan dengan
intervensi bedah.
6. Penyakit neuro-inflamasi
Setelah anestesi epidural atau anestesi spinal, gejalan CES dapat terjadi.
2.6 Patogenesis
Patogenesis sindrom kauda equina masih belum sepenuhnya dipahami. Terdapat dua
hipotesis utama: kompresi mekanis pada akar saraf lumbar dan kerusakan iskemik pada kauda
equina. Menurut hipotesis pertama, sindrom ini disebabkan oleh kompresi massif pada akar saraf
lumbar yang disebabkan oleh herniasi diskus besar selama manipulasi medula spinalis atau lebih
jarang terjadi, oleh hematoma epidural akibat pecahnya pembuluh darah yang disebabkan oleh
trauma. Pada hipotesis kedua, kerusakan neurologis disebabkan oleh iskemia pada pembuluh
10
Kompresi mekanis pada akar nervus lumbar menyebabkan iskemia dan kongesti vena,
yang mengganggu status nutrisi cauda equina (melalui penurunan aliran darah dan difusi nutrisi
dari cairan serebrospinal). Akhirnya, kompresi menyebabkan pembengkakan pada akar saraf
(edema intraneural). Ketika tekanan intraneural melebihi tekanan perfusi akar saraf, terjadi
iskemia dan cedera lebih lanjut melalui mekanisme yang mirip sindrom kompartemen
2.7 Patofisiologi
setinggi level L1 atau L2 (jarang pada L3). Di bawah level ini, sakus lumbalis
(teka) hanya mengandung filamen radiks saraf, yang disebut kauda equina (“ekor
kuda”). (6)
11
Gambar 2. 4 Kaudal medula spinalis. (1) Konus medularis, (2) Filum Terminalis, (3) Cauda
Equina
Sumber Gambar : 2019 American Journal of Emergency Medicine
dengan ekor kuda, yang mengakibatkan dinamai sebagai cauda equina. Radiks
saraf ini mencakup radiks saraf naik (ascending) dan turun (descending) dari L2
bagian bawah (L2-S2), fungsi sensorik pada anggota tubuh bagian bawah (L2-S3),
sensibilitas pada alat kelamin eksternal dan perianal (S2-S4), serta fungsi sensorik
pada segmen koksigeal (S4, S5, dan saraf koksigeal). Radiks saraf ini berjalan di
dalam kanalis vertebralis dan dikelilingi oleh lengkungan saraf, vertebra dan
12
diskus vertebra, proses spinosus, ligamentum flavum, ligamen longitudinal
posterior, dan sendi facet, yang berfungsi melindungi radiks saraf tersebut. CES
terjadi karena adanya kompresi pada radiks saraf cauda equina di sepanjang jalur
Fungsi penting yang terganggu dalam CES meliputi buang air kecil, buang air
besar, dan fungsi seksual. Inervasi kandung kemih dipersarafi melalui pelvic
splanchnic nerves(S2-S4), dengan input sensoris dari saraf hipogastrik, pelvis, dan
Kerusakan pada saraf-saraf ini menyebabkan atoni kandung kemih dengan retensi
urin dan kehilangan kontrol volunter. Proses defekasi dikendalikan oleh sfingter
anal internal (involunter) dan eksternal (volunter). Stimulasi rektum oleh tinja
kegagalan aktivitas sfingter. Gejala awal dapat berupa konstipasi, diikuti oleh
dapat terpengaruh pada penderita CES. Pada pria, ereksi dikendalikan oleh sistem
disfungsi ereksi.(2)
13
2.8 Manifestasi Klinis
Pasien awalnya mengeluhkan nyeri radikular pada distribusi nervus iskiadikus, dan nyeri
hebat pada kandung kemih yang memberat saat batuk dan bersin. Kemudian, defisit sensorik
radikular dengan berat yang bervariasi, mengenai semua modalitas sensorik, timbul pada tingkat
L4 atau di bawahnya. Lesi yang mengenai bagian atas kauda equina menimbulkan defisit pada
tungkai dan area saddle. Dapat terjadi paresis flaksid pada ekstremitas bawah dengan arefleksia;
juga terjadi inkontinensia urin dan alvi, bersamaan dengan menurunnya fungsi seksual. Pada lesi
di bawah bagian kauda equina, defisit sensorik hanya terdapat pada area saddle (S3-S5), dan
tidak terjadi kelemahan tungkai, tetapi fungsi miksi, defekasi, dan fungsi seksual terganggu.
Tumor yang mengenai kauda equina, tidak seperti tumor konus, menimbulkan manifestasi klinis
dengan progresivitas lambat dan iregular, masing-masing radiks saraf dapat terkena dengan
kecepatan yang berbeda, dan beberapa di antaranya tidak mengalami kerusakan hingga akhir
perjalanan penyakit.(6)
2.9 Klasifikasi
Klasifikasi CES berdasarkan kondisi klinis pasien.(10)
2.10 Diagnosis
Diagnosis sindrom kauda equina memerlukan anamnesis lengkap dan pemeriksaan fisik.
Standar baku dalam proses diagnosis meliputi berbagai faktor seperti onset gejala, sifat atau
karakteristik keluhan, disfungsi seksual dan kandung kemih (retensi urin), mekanisme cedera,
riwayat pengobatan, dan riwayat operasi. Pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan fungsi
sensorik dan sfingter perineum (retensi tinja), kekuatan otot, anestesia saddle, serta adanya nyeri
punggung bawah dan sciatica. Pemeriksaan fungsi kandung kemih dengan memeriksa daerah
suprapubik juga dilakukan. Uji urodinamik membantu dalam diagnosis dini sindrom kauda
equina. Pemeriksaan motorik untuk mengetahu adanya kelemahan otot secara unilateral atau
bilateral pada setiap distribusi radiks saraf lumbosakral. Namun, otot-otot yang diinervasi oleh
saraf L5 hingga S2 lebih sering terpengaruh daripada otot-otot yang diinervasi oleh saraf lumbar
bagian atas. Pemeriksaan neurologis menyeluruh pada pasien dengan suspek sindrom kauda
equina harus dilakukan karena banyak gejala yang juga dapat disebabkan oleh lesi pada tingkat
Terdapat dua refleks yang harus diperiksa, yaitu refleks anal wink (refleks superfisial)
dan refleks bulbokavernosus. Pada refleks pertama, dilakukan pemeriksaan inspeksi pada tonus
sfingter dan area perianal lalu diberikan stimulasi pada area tersebut. Pemeriksaan ini
15
menyebabkan kontraksi involunter anus. Refleks kedua dipicu dengan memberikan tekanan pada
glans penis atau klitoris, atau melalui tarikan pada kateter Foley, sehingga menyebabkan reaksi
Pemeriksaan penunjang dalam mengidentifikasi sindrom kauda equina (CES) adalah MRI
dan CT scan. MRI dilakukan untuk memastikan adanya kompresi pada kantong thecal. MRI
merupakan pemeriksaan gold standard pada medula spinalis bagi pasien dengan gejala CES.
Herniasi diskus lumbal, tumor, hematoma, dan infeksi terlihat dalam hasil MRI. Pada kasus
infeksi atau etiologi neoplastik CES, pemberian kontras intravena memberikan detail yang lebih
jelas pada hasil pencitraan. Namun, metode ini memiliki beberapa kelemahan. Pasien yang
menderita klaustrofobia tidak dapat berada di dalam tabung MRI dalam waktu lama. Selain itu,
MRI harus dihindari dalam beberapa kasus, seperti adanya pacemaker, klip aneurisma, dan
fragmen logam di dekat mata atau struktur vital. CT mielografi adalah prosedur alternatif ketika
Gambar 2. 5 Potongan MRI mid-sagital yang menunjukkan herniasi diskus L4/5 dengan stenosis
kanal pada potongan aksial(4)
Sumber Gambar : 2021 American Journal of Medicine
2.11 Tatalaksana
primer. Pilihan terapi utama adalah dengan metode pembedahan dengan indikasi
16
sebagai berikut :
fungsi normal.
Jika terjadi gangguan berat pada fungsi kandung kemih dan usus, seperti
inkontinensia urin dan tinja, ini dapat menjadi indikasi untuk pembedahan.
Jika pasien mengalami nyeri hebat dan sulit dikendalikan, terutama jika
nyeri tersebut mengganggu kualitas hidup dan tidak merespons perawatan non-
Kelemahan otot yang signifikan dan gangguan refleks dapat menjadi tanda
bahwa ada tekanan masif pada saraf-saraf kauda equina. Pembedahan mungkin
5. Perburukan Gejala Jika gejala sindrom kauda equina semakin buruk dan
17
Tujuan dilakukan pembedahan adalah dekompresi kauda equina dan dapat
dicapai melalui laminektomi atau diskektomi. Tatalaksana CES dengan metode ini
munculnya gejala. Sebaliknya, ada dua kasus CES yang tidak harus diobati
spondylitis kronis.(1)
ankylosing spondylitis, atau antibiotik pada sindrom cauda equina akibat penyakit
infeksi. Selain itu, bisa dibutuhkan pemberian analgesik untuk meredakan nyeri,
rehabilitasi. Pada periode awal pascaoperasi awal volume residu kandung kemih
menjadi perhatian. Kandung kemih rentan meregang dan infeksi, yang harus
dicegah dengan teknik kateterisasi yang benar. Pasien akan memerlukan konseling
berbagai disiplin ilmu selama beberapa bulan diperlukan dengan bantuan urologi
18
2.12Prognosis
Tingkat disfungsi neurologis pada saat operasi (CESS atau CESI vs CESR)
dianggap sebagai faktor penentu prognosis yang paling penting untuk hasil pengobatan.
Onset dan durasi gejala juga merupakan faktor penting yang mempengaruhi
semua fungsi tanpa adanya gangguan jangka panjang. Bagi pasien dengan CESI
dicegah agar tidak ada gangguan fungsi usus dan kandung kemih yang parah
dalam jangka panjang setelah dekompresi. Untuk pasien dengan CESR, perbaikan
keseluruhan, pasien dengan sindrom kauda equina memiliki peluang sekitar 85%
untuk memperbaiki gejala radikuler, namun perbaikan nyeri punggung tidak dapat
diprediksi.(4)
anestesi saddle (yang menjadi indikator prognostik yang penting untuk pemulihan
2.13Diskusi Kasus(13)
Seorang tentara (pria) berusia 38 tahun datang ke rumah sakit militer level 1 pada 4 bulan
19
yang lalu dengan keluhan kelemahan kedua tungkai bawah dan nyeri punggung bawah yang
berat menjalar ke tungkai kanan selama 2 jam. Pasien juga mengeluh kesulitan saat akan buang
air kecil dan tidak bisa buang air besar. Pasien tidak memiliki riwayat medis atau riwayat operasi
yang signifikan dan telah dinyatakan sehat secara medis untuk ditempatkan di misi luar negeri.
Pada pemeriksaan, tes Lasegue menunjukkan hasil positif pada kedua tungkai. Tingkat
kekuatan otot berdasarkan Modified Medical Research Council (MMRC) untuk kedua tungkai
bagian bawah adalah 4/5 pada fleksor dan ekstensor paha, 3/5 pada pergelangan kaki, dan 3/5
pada ekstensor/fleksor hallucis longus (EHL/FHL). Tonus pada kedua tungkai bagian bawah
menurun. Dermatom L5/S1 pada tungkai kanan menunjukkan penurunan sensibilitas sentuhan
halus. Tanda Babinski tidak muncul pada kedua tungkai, serta refleks patella menurun. Namun,
sensibilitas sentuhan kasar, tekanan pada anggota tubuh, dan sensasi perineal dalam batas
normal.
Pada pemeriksaan berikutnya setelah 24 jam, kekuatan otot pada kedua tungkai bawah
adalah 0/5 dengan hipotonia, hiperrefleksia, dan sensibilitas 2/2 pada daerah L1-S1. Tonus anal
Dalam waktu 24 jam setelah munculnya gejala, pasien dirujuk ke rumah sakit dengan
fasilitas pemeriksaan penunjang yang lengkap dan perawatan bedah saraf. Pemeriksaan magnetic
imaging resonance (MRI) pada lumbosakral dengan skrining seluruh spinal menunjukkan
adanya herniasi disk yang masif pada L2/L3, dengan ukuran 2,3x1,2 cm serta stenosis yang
20
Gambar 2. 6 MRI potongan sagital T2 pada lumbosacral(13)
Sumber Gambar : 2023 Journal of the Nepal Medical Association
suntikan kortikosteroid intravena (IV) sebanyak 120 mg, dan suntikan morfin sesuai kebutuhan.
Setelah 48 jam, pasien menjalani laminotomi (L2-L3) dan diskektomi dari cakram
intervertebralis.
Pada hari kedua pascaoperasi, pasien stabil dan tonus anal normal pada pemeriksaan
rektal digital (DRE). Pasien mulai diberikan analgesik pascaoperasi, antibiotik intravena,
antikoagulan subkutan, fisioterapi, dan bladder training. Pada hari keenam pascaoperasi, pasien
mengalami spasme otot di tungkai bawah, dan diberikan relaksan otot. Setelah sebulan, pasien
dibawa ke Rumah Sakit Shree Birendra, Kathmandu, dan dirawat untuk fisioterapi dan
21
rehabilitasi. Kekuatan pada tungkai kiri bagian bawah adalah 0/5 dan pada sisi kanan adalah 1/5
dengan hipotonia, hiperrefleksia, dan sensasi sentuhan utuh. Sensasi perineal bilateral adalah 0/2.
Pada pemeriksaan berikutnya setelah 3 bulan, sensasi pada tungkai bawah normal dengan
kekuatan 2/5 pada tungkai bawah kanan, dan pada sisi kiri, terdapat fasikulasi dengan kekuatan
1/5. Sensibilitas pada kandung kemih ada, tetapi pasien masih mengalami inkontinensia fekal.
Pembahasan
berbagai gejala. Kasus ini, awalnya muncul dalam tahap CES suspected dengan
gejala nyeri punggung bawah yang menjalar ke tungkai bawah kanan, yang
saat akan berkemih. Tidak ada inkontinensia kandung kemih seperti yang terlihat
pada tahap retensi CES. Setelah 24 jam, paraparesis yang merupakan gejala dari
tahap lengkap CES mulai muncul, tetapi sensasi perineal baik, tonus anal normal,
sesegera mungkin, dalam 24-48 jam setelah gejala muncul. Mereka yang
dibandingkan dengan mereka yang menjalani bedah setelah 48 jam. Pada kasus
jam setelah awal munculnya gejala. Pada evaluasi setelah 3 bulan, sensasi pada
tungkai bawah normal. Kekuatan pada tungkai bawah kanan adalah MMRC grade
2/5, sementara di sisi kiri adalah grade 1/5. Sensasi kandung kemih (dorongan
untuk buang air kecil) ada, tetapi terdapat inkontinensia fekal. Hal ini
22
menunjukkan beberapa tanda pemulihan.
BAB 3
PENUTUP
Sindrom kauda equina adalah penyakit yang jarang terjadi tetapi dapat
23
oleh berbagai faktor, penyebab yang paling umum adalah herniasi diskus lumbar.
Di unit gawat darurat, riwayat dan pemeriksaan fisik yang fokus serta
untuk dekompresi.
DAFTAR PUSTAKA
24
2017;59(4):377–86.
from: https://doi.org/10.1016/j.ajem.2019.158402
4. Kuris EO, McDonald CL, Palumbo MA, Daniels AH. Evaluation and Management of
https://doi.org/10.1016/j.amjmed.2021.07.021
2021;27(1):205–24.
Gejala. 5th ed. Lestari wulan adinda, editor. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;
2016. 53 p.
7. Hardy TA. Spinal Cord Anatomy and Localization. Contin Lifelong Learn Neurol.
2021;27(1):12–29.
8. Hur JW, Park D-H, Lee J-B, Cho T-H, Park J-Y. Guidelines for Cauda Equina Syndrome
9. Tamburrelli FC, Genitiempo M, Logroscino CA. Cauda equina syndrome and spine
manipulation: Case report and review of the literature. Eur Spine J. 2011;20(SUPPL.
1):128–31.
https://doi.org/10.1016/j.msksp.2018.06.002
25
11. Aninditha T, Wiratman W. BUKU AJAR NEUROLOGI BUKU 2. Jakarta: Departemen
12. Eames N. Cauda equina syndrome: principles of management. Orthop Trauma [Internet].
13. Rai A, Ghimire K, Omkar KC, Pudasaini S, Rai S. Cauda Equina Syndrome in a Military
26