Oleh:
Pembimbing:
dr. I Wayan Widyantara, M.Biomed, Sp.N(K)
Oleh:
Pembimbing:
dr. I Wayan Widyantara, M.Biomed, Sp.N(K)
TANGGAL……………….
Pembimbing,
Mengetahui,
Ketua Departemen/KSM Neurologi
FK UNUD/RSUP Prof. IGNG Ngoerah Denpasar
Pembimbing,
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
tinjuan pustaka dengan judul “Perawatan Kritis Multiple Sclerosis di ICU”
dengan lancar dan tepat waktu. Tinjauan Pustaka ini disusun dalam rangka
mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya Departemen/KSM Neurologi RSUP Prof.
IGNG Ngoerah. Penyusunan tinjauan pustaka ini tidak lepas dari bantuan
berbagai pihak, maka dari itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. dr. I Made Oka Adnyana, Sp. S(K), selaku Ketua
Departemen Neurologi FK Unud/RSUP Prof IGNG Ngoerah,
Denpasar yang telah memfasilitasi dan memberikan penulis
kesempatan selama proses pembelajaran.
2. Dr. dr. Kumara Tini, Sp.S(K), FINS, FINA, selaku Koordinator
Pendidikan Neurologi FK Unud/RSUP Prof IGNG Ngoerah,
Denpasar yang telah memberikan kesempatan dan membantu penulis
selama proses pembelajaran.
3. dr. I Wayan Widyantara, M.Biomed, Sp.N(K), selaku pembimbing
dalam penyusunan Tinjauan Pustaka yang telah memberikan saran
dan masukan dalam penyempurnaan tugas ini;
4. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang
telah membantu dalam penyusunan tinjauan pustaka ini.
Penulis menyadari terdapat banyak kekurangan pada tinjauan pustaka ini.
Oleh karena itu, penulis mohon maaf apabila terdapat hal yang kurang berkenan.
Penulis mengharapkan adanya masukan dari pembaca berupa kritik dan saran
yang membangun agar penulisan selanjutnya menjadi lebih baik.
Denpasar, 29 Februari 2024
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN SAMPUL............................................................................................1
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING..........................................................2
KATA PENGANTAR.............................................................................................4
DAFTAR ISI............................................................................................................5
DAFTAR GAMBAR...............................................................................................6
DAFTAR TABEL....................................................................................................7
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................
1.1 Epidemiologi.............................................................................................2
1.2 Patofisiologi...............................................................................................2
1.3 Gejala.........................................................................................................5
1.3.1. Pemeriksaan Penunjang..........................................................................6
1.3.2. Kriteria MC-Donald................................................................................8
1.4 Terapi.........................................................................................................9
1.4.1. Manajemen MS akut...............................................................................9
1.4.2 Manajemen MS Jangka Panjang..............................................................9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................15
2.1 Indikasi Masuk ICU................................................................................15
2.2 Prediktif Masuk ICU...............................................................................18
BAB III SIMPULAN.............................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................26
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. 1 Respon Imun......................................................................................4
Gambar 1. 2 Lesi juxtacortical/kortikal, periventrikular, sumsum tulang
belakang, dan batang otak pada multiple sclerosis. A (koronal) dan B (aksial):
Gambar kontras MRI T1 menunjukkan peningkatan pada segmen intraorbital
saraf optik sesuai dengan neuritis optik kanan (panah). C: Lesi periventrikular
posterior kanan pada T2-FLAIR aksial (panah). D: Lesi demielinisasi meduler
ventral pada T2-FLAIR (panah). E: MR STIR sagital korda serviks menunjukkan
lesi demielinasi C2-3, C4, dan C7 (panah). F: T2-FLAIR aksial dengan lesi
demielinasi pada brachium pontis kiri (panah). G (sagital) dan H (aksial): Gambar
T2-FLAIR menunjukkan lesi demielinasi juksta kortikal kiri (panah)....................7
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1.1 Perubahan penanda-penanda CSF pada MS............................................6
Tabel 1.2 Kriteria McDonald 2017 untuk diagnosis MS........................................8
Tabel 1.3 DMT pilihan untuk MS dan informasi dasar........................................10
Tabel 2.1 Gambaran klinis awal yang memengaruhi prognosis pada multiple
sclerosis.38-41 22
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Epidemiologi
Multipel sklerosis merupakan suatu penyakit peradangan idiopatik yang
ditandai dengan adanya demielinisasi dan degenerasi pada sistem saraf pusat. 1
Penyakit ini menyerang jaringan myelin otak dan medula spinalis yang
menyebabkan kerusakan myelin dan akson. Kerusakan tersebut selanjutnya
menyebabkan terjadinya gangguan transmisi konduksi sistem saraf. 2 Penyakit ini
umumnya mengenai kelompok pasien usia dewasa muda (antara 30 sampai 40
tahun), dengan prevalensi umum di seluruh dunia adalah 30 kasus per 100.000
populasi; dan hanya sekitar 2-5% penyakit ini terjadi pada usia kurang dari 18
tahun.3-5 Rerata usia saat munculan onset penyakit MS adalah 14 tahun. Insidensi
tahunan penyakit MS pada populasi anak bervariasi antara 0,07 hingga 2,9 tiap
100.000 anak. Rasio jenis kelamin perempuan berbanding laki – laki pada pasien
MS anak sekitar usia pubertas adalah 4-5 : 1; namun rasio ini mendekati 1:1 pada
populasi anak yang berusia lebih muda. di Indonesia prevalensi multiple sclerosis
belum diketahui. Pada umumnya prevalensi multiple sclerosis di negara-negara
Asia sangatlah rendah, kurang dari 5 per 100 000; bahkan ada anggapan bahwa
multiple sclerosis tidak diremukan di negara tropic.2
1.2 Patofisiologi
Peradangan sistem saraf pusat adalah penyebab utama kerusakan pada MS.
Unsur spesifik yang memicu peradangan ini masih belum diketahui. Penelitian
menunjukkan bahwa faktor genetik, lingkungan dan infeksi mungkin berperan dan
menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan MS. Banyak
penelitian imunologi telah dilakukan pada model hewan untuk MS manusia yang
dikenal sebagai eksperimental autoimun ensefalomielitis (EAE). Berdasarkan
model dan pengamatan MS pada manusia, peran beberapa jalur imunologi yang
terlibat dalam MS.
Ada dua tipe umum respon imun, yakni respon imun bawaan (innate respon
immune) dan respon imun adaptif (adaptive respon immune). Respon imun
bawaan diprakarsai oleh produk mikroba yang mengaktifkan reseptor spesifik,
terutama toll-like receptors (TLRs) dengan cara antigen nonspesifik. Aktivasi
subset spesifik TLR dilakukan oleh molekul terkait patogen yang unik untuk
kelompok patogen berbeda. Pengikatan molekul-molekul ini ke TLR
menghasilkan produksi sitokin yang memodulasi respon imun adaptif. 5 Sistem
imun bawaan berperan baik dalam inisiasi dan perkembangan MS dengan
mempengaruhi fungsi efektor sel T dan B. 5 Misalnya, ketika diaktifkan melalui
TLR, sel dendritik (DC) menjadi semi-mature dan menginduksi sel T regulator
untuk menghasilkan sitokin penghambat seperti IL-10 atau TGF-β.6 Ketika sel
dendritik sudah mature, mereka mulai mempolarisasi sel T CD4 + untuk
berdiferensiasi menjadi fenotip Th1, Th2, atau fenotip Th17. Ketika sel T
berdiferensiasi menjadi fenotip Th1, peradangan menjadi meningkat.7
Respon imun adaptif dimulai dengan presentasi antigen spesifik ke limfosit
T oleh antigen presenting cell (APC). Sel penyaji antigen ini meliputi sel B, sel
dendritik, mikroglia, dan makrofag. Interaksi antara APC dan sel T merupakan
komponen utama untuk memulai respon imun adaptif. Beberapa jenis sel T
termasuk fenotip CD4 + dan CD8 + dapat diaktifkan oleh APC. Sel Th1, Th2 dan
Th17 merupakan sel efektor CD4 + yang terpolarisasi sebagai respons terhadap
paparan interleukin tertentu. Setelah terpolarisasi menjadi Th1, Th2 atau Th17, sel
T efektor ini mengeluarkan sitokin spesifik. Sitokin yang dihasilkan oleh sel Th1
adalah sitokin proinflamasi seperti interferon gamma (IFNγ), sedangkan sel Th2
mengeluarkan sitokin antiinflamasi seperti IL-4 dan IL-13. Th17 adalah subset sel
CD4 + T yang baru dikenali yang menghasilkan IL-17, IL-21, IL-22 dan IL-26.
Seperti sel Th1, sel Th17 memicu peradangan pada MS. Pada penelitian lain,
reseptor IL-17 terlihat pada plak MS akut dan kronis. Selain itu, penelitian pada
tikus yang kekurangan IL-17 menunjukkan penurunan keparahan klinis.8
Gambar 1. 1 Respon Imun8
1.3 Gejala
MS adalah penyakit SSP yang ditandai dengan lesi demielinasi di berbagai
daerah termasuk saraf optik, batang otak, otak kecil, periventrikular, dan sumsum
tulang belakang. Gambaran klinis serangan MS bergantung pada area otak atau
sumsum tulang belakang yang terkena. Karena ini adalah kondisi peradangan,
timbulnya gejala serangan MS biasanya terjadi secara bertahap. Onset tiba-tiba
dengan gejala maksimal pada saat onset akan lebih mengarah pada kejadian
vaskular. Serangan klinis harus berlangsung setidaknya 24 jam tanpa adanya
demam atau infeksi. Pada MS progresif primer, gejala diperkirakan akan muncul
secara bertahap dan perlahan selama setidaknya 12 bulan pada saat diagnosis.13
Gambaran umum pertama dari MS adalah neuritis optik unilateral yang
ditandai dengan hilangnya penglihatan monokuler secara bertahap, nyeri saat
menggerakkan mata, dan perubahan penglihatan warna. Kehilangan penglihatan
jarang terjadi lebih dari 2 minggu setelah timbulnya penyakit. Pemulihan
penglihatan biasanya memakan waktu lebih dari 2 minggu dan mungkin tidak
pulih seperti semula. Pada pemeriksaan, ketajaman penglihatan biasanya
berkurang, mungkin terdapat kelainan pupil aferen relatif, skotoma sentral, atau
gangguan penglihatan warna. Pada funduskopi, diskus optikus mungkin tampak
normal (neuritis retrobulbar) atau membengkak secara akut, dan mungkin menjadi
pucat dan atrofi seiring berjalannya waktu setelah serangan.13
Lesi inflamasi pada sumsum tulang belakang menyebabkan mielitis yang
biasanya bersifat parsial dan timbul secara bertahap dengan gejala sensorik dan
motorik pada ekstremitas. Evolusi memakan waktu berjam-jam hingga berhari-
hari. Tingkat keparahan mielitis dapat bervariasi dari sindrom sensorik ringan
hingga serangan melumpuhkan parah yang menyebabkan tetraparesis. Lesi pada
korda serviks dapat menyebabkan fenomena Lhermitte, yaitu sensasi seperti
tersengat listrik di leher dan punggung saat leher difleksikan. Ini bisa menjadi
petunjuk berguna untuk diagnosis. Lesi pada sumsum tulang belakang dapat
menyebabkan sensasi seperti pita ketat di sekitar batang tubuh atau perut yang
sering digambarkan sebagai ‘MS hug'. Dalam kasus yang parah, hal ini disalah
artikan sebagai akibat penyakit jantung. Pada pemeriksaan, tanda-tandanya dapat
berupa tanda-tanda sensorik berupa berkurangnya sentuhan halus, rasa getaran,
dan rasa posisi sendi. Mungkin ada tingkat sensorik. Tanda-tanda motorik khas
dari lesi neuron motorik atas dengan peningkatan tonus atau spastisitas,
kelemahan piramidal, dan hiperrefleksia dengan respons ekstensor plantar.
Myelitis mungkin sebagian menyebabkan sindrom hemi-cord atau sebagian
Brown-Séquard.13
Sindrom batang otak dapat muncul dengan gejala diplopia, oscillopsia,
kehilangan sensorik wajah, vertigo, dan disartria. Temuan yang khas termasuk
kelumpuhan saraf keenam yang terisolasi, nistagmus yang ditimbulkan oleh
tatapan, atau oftalmoplegia internuklear. Oftalmoplegia internuklear bilateral
merupakan patognomonik MS.13
b. Radiologi
Pemeriksaan radiologis yang dapat dilakukan untuk mendukung
diagnosis MS antara lain MRI otak dan tulang belakang. Pada pemeriksaan
ini dapat terlihat lesi MS di setidaknya dua dari empat lokasi berikut:
kortikal/juxtacortical, periventrikular, infratentorial, dan sumsum tulang
belakang.15 Contoh lesi MS ini ditunjukkan pada Gambar 1.2.16
≥2 ≥2 -
1.4 Terapi
1.4.1. Manajemen MS akut
Serangan akut pada pasien MS berhubungan dengan gejala baru atau
gejala lama yang semakin memburuk. Sebagian besar pasien dengan serangan MS
tidak memerlukan perawatan darurat kecuali mereka mengalami gangguan
kekuatan, gaya berjalan, atau penglihatan. Penggunaan kortikosteroid intravena
(IV) (misalnya, 1.000 mg metilprednisolon IV setiap hari selama 3-5 hari) hari)
dapat mempersingkat durasi kekambuhan, namun hal ini tidak berdampak pada
hasil kecacatan secara keseluruhan. Satu pengecualian adalah neuritis optik,
dimana Uji Coba Pengobatan Neuritis Optik menemukan bahwa pasien yang
diobati dengan steroid dosis tinggi memiliki hasil penglihatan yang lebih baik
dalam waktu 6 bulan. . Prednison oral dengan dosis 1.250 mg setiap hari dapat
menggantikan 1 g metilprednisolon IV. Pertukaran plasma dapat dipertimbangkan
untuk pasien dengan gejala yang refrakter terhadap steroid IV.51 Monoterapi
imunoglobin IV dapat dipertimbangkan dalam kasus kekambuhan MS akut pada
pasien dengan kontraindikasi plasmapheresis dan terapi steroid IV, meskipun
terdapat sedikit bukti yang mendukung ini.17
2.4 Prognosis
Multiple sclerosis ditandai dengan variasi prognosis yang signifikan antar
pasien. Kurang dari 5% pasien mengalami kecacatan yang sangat parah dalam 5
tahun pertama setelah timbulnya penyakit, dan 10–20% pasien tetap tidak
mengalami gangguan tanpa terapi selama lebih dari 20 tahun. 35 Pada era sebelum
DMT, waktu rata-rata dari timbulnya penyakit hingga kebutuhan bantuan tongkat,
status rawat inap, dan kematian, secara kasar adalah 15, 26, dan 41 tahun secara
berurutan.35 Waktu kelangsungan hidup rata-rata adalah sekitar 5–10 tahun lebih
pendek untuk pasien MS dibandingkan untuk populasi umum dengan usia yang
sama.36 Sejauh mana DMT mengubah jangka waktu progresi ini masih perlu
ditentukan.37 Gambaran klinis awal MS yang dilaporkan memengaruhi prognosis
tercantum pada Tabel 2.1.38-41
Neuritis optik atau gejala sensorik Sistem saraf eferen yang terpengaruh
terisolasi seperti CIS pada CIS atau CIS 'multifokal'
Perjalanan awal yang kambuh Tingkat kekambuhan yang tinggi dalam
2–5 tahun pertama
Interval panjang hingga
kekambuhan kedua
Usia yang lebih muda saat Usia yang lebih tua saat timbulnya
timbulnya penyakit penyakit
Pemulihan total dari episode Pemulihan inkomplit setelah periode
neurologis pertama relaps
Bila tidak diberikan terapi, sekitar 30% pasien MS akan mengalami
disabilitas fisik pada 20-25 tahun setelah onset pertama. Pada fenotip MS yang
lebih ringan, < 10% pasien yang mengalami progresivitas menjadi disabilitas fisik
yang bermakna. Prognosis terburuk dapat ditemukan pada pasien laki-laki dengan
tipe MS progresif primer yang sering kali tidak memberikan respon baik terhadap
drug modifying therapy (DMT). Lesi pada medulla spinalis juga merupakan faktor
prognosis yang berhubungan dengan terjadinya disabilitas fisik yang lebih cepat.
Pada Primary Progressive MS (PPMS) dan bentuk MS progresif lainnya, waktu
rata-rata dari timbulnya penyakit hingga mencapai skor kecacatan permanen
secara signifikan lebih awal dibandingkan dengan Relapsing Remitting MS
(RRMS), dengan sebagian besar pasien telah mengalami kecacatan ringan hingga
sedang pada saat diagnosis.35 Gangguan kognitif terjadi pada semua tahap dan
subtipe MS, dengan tingkat gangguan kognitif yang lebih parah terjadi pada fase
progresif.42 Profil gangguan yang umum terjadi adalah pada kecepatan
pemrosesan informasi, ingatan, dan keterampilan eksekutif. Hal ini sering kali
memengaruhi kemampuan kerja pasien MS, bahkan ketika disabilitas fisiknya
tergolong rendah, dan harus menjadi faktor lain yang dipertimbangkan terkait
masalah akhir hidup.
BAB III
SIMPULAN
5. Gandhi R, Laroni A, Weiner HL. Role of the innate immune system in the
pathogenesis of multiple sclerosis. J. Neuroimmunol. 2009;221:7–14.
11. Fujinami RS, von Herath MG, Christen U, Whitton JL. Molecular mimicry,
bystander activation, or viral persistence: infections and autoimmune
disease. Clin. Microbiol. Rev. 2006;19:80–94.
15. Wattjes MP, Ciccarelli O, Reich DS, Banwell B, de Stefano N, Enz- inger
C, et al. 2021 MAGNIMS-CMSC-NAIMS consensus recom- mendations on
the use of MRI in patients with multiple sclerosis. Lancet Neurol
2021;20:653-670.
30. Karamyan A, Dünser MW, Wiebe DJ, Pilz G, Wipfler P, Chroust V, et al.
Critical illness in patients with multiple sclerosis: A matched case-control
study. PLoS One. 2016 May 1;11(5).
32. McGinley MP, Goldschmidt CH, Rae-Grant AD. Diagnosis and Treatment
of Multiple Sclerosis: A Review. Vol. 325, JAMA - Journal of the American
Medical Association. American Medical Association; 2021. p. 765–79.
34. Ann Marrie R, Bernstein CN, Peschken CA, Hitchon CA, Chen H, Fransoo
R, et al. Intensive care unit admission in multiple sclerosis Increased
incidence and increased mortality. 2014
38. Tintore M, Rovira A, Rio J, et al. Baseline MRI predicts future attacks and
disability in clinically isolated syndromes. Neurology 2006;67:968–72.
39. Brex PA, Ciccarelli O, O’Riordan JI, Sailer M, Thompson AJ, Miller DH. A
longitudinal study of abnormalities on MRI and disability from multiple
sclerosis. N Engl J Med 2002;346:158–64.