Anda di halaman 1dari 37

TINJAUAN PUSTAKA

PERAWATAN KRITIS MULTIPLE SCLEROSIS DI ICU

Oleh:

I Made Ananda Prajna P.S. (2202612044)


Daniel Sulung Urama Siringo Ringo (2202612050)
Putu Audrey Audina Putri Jayanti (2202612066)
Hilda Saranova (2202612091)
Matthew (2202612098)

Pembimbing:
dr. I Wayan Widyantara, M.Biomed, Sp.N(K)

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK


MADYA DEPARTEMEN/KSM NEUROLOGI
RSUP PROF. IGNG NGOERAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
2024
TINJAUAN PUSTAKA
PERAWATAN KRITIS MULTIPLE SCLEROSIS DI ICU

Oleh:

I Made Ananda Prajna P.S. (2202612044)


Daniel Sulung Urama Siringo Ringo (2202612050)
Putu Audrey Audina Putri Jayanti (2202612066)
Hilda Saranova (2202612091)
Matthew (2202612098)

Pembimbing:
dr. I Wayan Widyantara, M.Biomed, Sp.N(K)

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK


MADYA DEPARTEMEN/KSM NEUROLOGI
RSUP PROF. IGNG NGOERAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
2024
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

TATALAKSANA MULTIPLE SCLEROSIS DI ICU

Lembar Persetujuan Pembimbing

TINJAUAN SISTEMATIS INI TELAH DISETUJUI

TANGGAL……………….

Pembimbing,

dr. I Wayan Widyantara, M.Biomed, Sp.N(K)


NIP 198503192018011001

Mengetahui,
Ketua Departemen/KSM Neurologi
FK UNUD/RSUP Prof. IGNG Ngoerah Denpasar

Prof. Dr. dr. I Made Oka Adnyana, Sp. S(K)


NIP. 195610101983121001
TATALAKSANA MULTIPLE SCLEROSIS DI ICU

Lembar Persetujuan Pembimbing

TINJAUAN SISTEMATIS INI TELAH DISETUJUI UNTUK


DIPRESENTASIKAN PADA TANGGAL…………..

Pembimbing,

dr. I Wayan Widyantara, M.Biomed, Sp.N(K)


NIP 198503192018011001

Mengetahui Penanggung Jawab Pendidikan Dokter Muda


Departemen/KSM Neurologi
FK UNUD/RSUP Prof. IGNG Ngoerah Denpasar,

Dr. dr. Kumara Tini, Sp.S (K), FINS, FINA


NIP. 197301122010122001
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
tinjuan pustaka dengan judul “Perawatan Kritis Multiple Sclerosis di ICU”
dengan lancar dan tepat waktu. Tinjauan Pustaka ini disusun dalam rangka
mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya Departemen/KSM Neurologi RSUP Prof.
IGNG Ngoerah. Penyusunan tinjauan pustaka ini tidak lepas dari bantuan
berbagai pihak, maka dari itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. dr. I Made Oka Adnyana, Sp. S(K), selaku Ketua
Departemen Neurologi FK Unud/RSUP Prof IGNG Ngoerah,
Denpasar yang telah memfasilitasi dan memberikan penulis
kesempatan selama proses pembelajaran.
2. Dr. dr. Kumara Tini, Sp.S(K), FINS, FINA, selaku Koordinator
Pendidikan Neurologi FK Unud/RSUP Prof IGNG Ngoerah,
Denpasar yang telah memberikan kesempatan dan membantu penulis
selama proses pembelajaran.
3. dr. I Wayan Widyantara, M.Biomed, Sp.N(K), selaku pembimbing
dalam penyusunan Tinjauan Pustaka yang telah memberikan saran
dan masukan dalam penyempurnaan tugas ini;
4. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang
telah membantu dalam penyusunan tinjauan pustaka ini.
Penulis menyadari terdapat banyak kekurangan pada tinjauan pustaka ini.
Oleh karena itu, penulis mohon maaf apabila terdapat hal yang kurang berkenan.
Penulis mengharapkan adanya masukan dari pembaca berupa kritik dan saran
yang membangun agar penulisan selanjutnya menjadi lebih baik.
Denpasar, 29 Februari 2024

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN SAMPUL............................................................................................1
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING..........................................................2
KATA PENGANTAR.............................................................................................4
DAFTAR ISI............................................................................................................5
DAFTAR GAMBAR...............................................................................................6
DAFTAR TABEL....................................................................................................7
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................
1.1 Epidemiologi.............................................................................................2
1.2 Patofisiologi...............................................................................................2
1.3 Gejala.........................................................................................................5
1.3.1. Pemeriksaan Penunjang..........................................................................6
1.3.2. Kriteria MC-Donald................................................................................8
1.4 Terapi.........................................................................................................9
1.4.1. Manajemen MS akut...............................................................................9
1.4.2 Manajemen MS Jangka Panjang..............................................................9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................15
2.1 Indikasi Masuk ICU................................................................................15
2.2 Prediktif Masuk ICU...............................................................................18
BAB III SIMPULAN.............................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................26
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 1. 1 Respon Imun......................................................................................4
Gambar 1. 2 Lesi juxtacortical/kortikal, periventrikular, sumsum tulang
belakang, dan batang otak pada multiple sclerosis. A (koronal) dan B (aksial):
Gambar kontras MRI T1 menunjukkan peningkatan pada segmen intraorbital
saraf optik sesuai dengan neuritis optik kanan (panah). C: Lesi periventrikular
posterior kanan pada T2-FLAIR aksial (panah). D: Lesi demielinisasi meduler
ventral pada T2-FLAIR (panah). E: MR STIR sagital korda serviks menunjukkan
lesi demielinasi C2-3, C4, dan C7 (panah). F: T2-FLAIR aksial dengan lesi
demielinasi pada brachium pontis kiri (panah). G (sagital) dan H (aksial): Gambar
T2-FLAIR menunjukkan lesi demielinasi juksta kortikal kiri (panah)....................7
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1.1 Perubahan penanda-penanda CSF pada MS............................................6
Tabel 1.2 Kriteria McDonald 2017 untuk diagnosis MS........................................8
Tabel 1.3 DMT pilihan untuk MS dan informasi dasar........................................10

Tabel 2.1 Gambaran klinis awal yang memengaruhi prognosis pada multiple
sclerosis.38-41 22
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Epidemiologi
Multipel sklerosis merupakan suatu penyakit peradangan idiopatik yang
ditandai dengan adanya demielinisasi dan degenerasi pada sistem saraf pusat. 1
Penyakit ini menyerang jaringan myelin otak dan medula spinalis yang
menyebabkan kerusakan myelin dan akson. Kerusakan tersebut selanjutnya
menyebabkan terjadinya gangguan transmisi konduksi sistem saraf. 2 Penyakit ini
umumnya mengenai kelompok pasien usia dewasa muda (antara 30 sampai 40
tahun), dengan prevalensi umum di seluruh dunia adalah 30 kasus per 100.000
populasi; dan hanya sekitar 2-5% penyakit ini terjadi pada usia kurang dari 18
tahun.3-5 Rerata usia saat munculan onset penyakit MS adalah 14 tahun. Insidensi
tahunan penyakit MS pada populasi anak bervariasi antara 0,07 hingga 2,9 tiap
100.000 anak. Rasio jenis kelamin perempuan berbanding laki – laki pada pasien
MS anak sekitar usia pubertas adalah 4-5 : 1; namun rasio ini mendekati 1:1 pada
populasi anak yang berusia lebih muda. di Indonesia prevalensi multiple sclerosis
belum diketahui. Pada umumnya prevalensi multiple sclerosis di negara-negara
Asia sangatlah rendah, kurang dari 5 per 100 000; bahkan ada anggapan bahwa
multiple sclerosis tidak diremukan di negara tropic.2
1.2 Patofisiologi
Peradangan sistem saraf pusat adalah penyebab utama kerusakan pada MS.
Unsur spesifik yang memicu peradangan ini masih belum diketahui. Penelitian
menunjukkan bahwa faktor genetik, lingkungan dan infeksi mungkin berperan dan
menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan MS. Banyak
penelitian imunologi telah dilakukan pada model hewan untuk MS manusia yang
dikenal sebagai eksperimental autoimun ensefalomielitis (EAE). Berdasarkan
model dan pengamatan MS pada manusia, peran beberapa jalur imunologi yang
terlibat dalam MS.
Ada dua tipe umum respon imun, yakni respon imun bawaan (innate respon
immune) dan respon imun adaptif (adaptive respon immune). Respon imun
bawaan diprakarsai oleh produk mikroba yang mengaktifkan reseptor spesifik,
terutama toll-like receptors (TLRs) dengan cara antigen nonspesifik. Aktivasi
subset spesifik TLR dilakukan oleh molekul terkait patogen yang unik untuk
kelompok patogen berbeda. Pengikatan molekul-molekul ini ke TLR
menghasilkan produksi sitokin yang memodulasi respon imun adaptif. 5 Sistem
imun bawaan berperan baik dalam inisiasi dan perkembangan MS dengan
mempengaruhi fungsi efektor sel T dan B. 5 Misalnya, ketika diaktifkan melalui
TLR, sel dendritik (DC) menjadi semi-mature dan menginduksi sel T regulator
untuk menghasilkan sitokin penghambat seperti IL-10 atau TGF-β.6 Ketika sel
dendritik sudah mature, mereka mulai mempolarisasi sel T CD4 + untuk
berdiferensiasi menjadi fenotip Th1, Th2, atau fenotip Th17. Ketika sel T
berdiferensiasi menjadi fenotip Th1, peradangan menjadi meningkat.7
Respon imun adaptif dimulai dengan presentasi antigen spesifik ke limfosit
T oleh antigen presenting cell (APC). Sel penyaji antigen ini meliputi sel B, sel
dendritik, mikroglia, dan makrofag. Interaksi antara APC dan sel T merupakan
komponen utama untuk memulai respon imun adaptif. Beberapa jenis sel T
termasuk fenotip CD4 + dan CD8 + dapat diaktifkan oleh APC. Sel Th1, Th2 dan
Th17 merupakan sel efektor CD4 + yang terpolarisasi sebagai respons terhadap
paparan interleukin tertentu. Setelah terpolarisasi menjadi Th1, Th2 atau Th17, sel
T efektor ini mengeluarkan sitokin spesifik. Sitokin yang dihasilkan oleh sel Th1
adalah sitokin proinflamasi seperti interferon gamma (IFNγ), sedangkan sel Th2
mengeluarkan sitokin antiinflamasi seperti IL-4 dan IL-13. Th17 adalah subset sel
CD4 + T yang baru dikenali yang menghasilkan IL-17, IL-21, IL-22 dan IL-26.
Seperti sel Th1, sel Th17 memicu peradangan pada MS. Pada penelitian lain,
reseptor IL-17 terlihat pada plak MS akut dan kronis. Selain itu, penelitian pada
tikus yang kekurangan IL-17 menunjukkan penurunan keparahan klinis.8
Gambar 1. 1 Respon Imun8

Selain keterlibatan sel T CD4+ dalam patogenesis MS, penelitian


menunjukkan bahwa sel T CD8+ terdapat pada lesi MS dan mungkin memiliki
fungsi pengaturan dalam perkembangan penyakit ini. Sel CD8+ memediasi
penekanan proliferasi sel T CD4+ melalui sekresi perforin, yang bersifat
sitotoksik pada sel T CD4+, yang menyebabkan inaktivasi sel tersebut. 6 Selain itu,
sel T CD8 + mentranseksi akson, meningkatkan permeabilitas pembuluh darah
dan mengaktifkan kematian oligodendrosit. 6 Semua kejadian ini terlihat pada lesi
MS.
Faktor genetik juga mempengaruhi kerentanan patogenesis dari MS.
Penelitian terhadap keluarga dan saudara kembar menunjukkan peningkatan
kerentanan 40 kali lipat di antara kerabat pasien MS, yang menunjukkan adanya
dasar genetik. Lokus HLA pada kromosom 6p21 yang mengandung antigen DR
telah dikaitkan dengan kerentanan MS. Haplotipe HLA-DRB1*1501-DQB1*0602
(DR2) telah berulang kali ditunjukkan pada populasi berisiko tinggi keturunan
Eropa Utara. Lokus kerentanan tambahan termasuk kromosom 10p15, 5p13, dan
1p36.9
Faktor lingkungan, seperti paparan agen infeksi serta paparan sinar
matahari/vitamin D juga berperan dalam perubahan risiko MS ketika seseorang
bermigrasi dari satu area berisiko ke area berisiko lainnya sebelum usia 15
tahun.10 Banyak penelitian terbaru yang menunjukkan adanya etiologi infeksi telah
dilakukan pada anak-anak dan remaja dengan MS. Di antara patogen yang
mungkin terlibat adalah virus herpes manusia tipe 6, virus Epstein Barr, dan
mycoplasma pneumoniae.11 Ada spekulasi bahwa salah satu cara patogen
menghasilkan MS adalah melalui mimikri molekuler. Patogen mungkin memiliki
peptida dengan homologi urutan langsung dengan komponen mielin.12

1.3 Gejala
MS adalah penyakit SSP yang ditandai dengan lesi demielinasi di berbagai
daerah termasuk saraf optik, batang otak, otak kecil, periventrikular, dan sumsum
tulang belakang. Gambaran klinis serangan MS bergantung pada area otak atau
sumsum tulang belakang yang terkena. Karena ini adalah kondisi peradangan,
timbulnya gejala serangan MS biasanya terjadi secara bertahap. Onset tiba-tiba
dengan gejala maksimal pada saat onset akan lebih mengarah pada kejadian
vaskular. Serangan klinis harus berlangsung setidaknya 24 jam tanpa adanya
demam atau infeksi. Pada MS progresif primer, gejala diperkirakan akan muncul
secara bertahap dan perlahan selama setidaknya 12 bulan pada saat diagnosis.13
Gambaran umum pertama dari MS adalah neuritis optik unilateral yang
ditandai dengan hilangnya penglihatan monokuler secara bertahap, nyeri saat
menggerakkan mata, dan perubahan penglihatan warna. Kehilangan penglihatan
jarang terjadi lebih dari 2 minggu setelah timbulnya penyakit. Pemulihan
penglihatan biasanya memakan waktu lebih dari 2 minggu dan mungkin tidak
pulih seperti semula. Pada pemeriksaan, ketajaman penglihatan biasanya
berkurang, mungkin terdapat kelainan pupil aferen relatif, skotoma sentral, atau
gangguan penglihatan warna. Pada funduskopi, diskus optikus mungkin tampak
normal (neuritis retrobulbar) atau membengkak secara akut, dan mungkin menjadi
pucat dan atrofi seiring berjalannya waktu setelah serangan.13
Lesi inflamasi pada sumsum tulang belakang menyebabkan mielitis yang
biasanya bersifat parsial dan timbul secara bertahap dengan gejala sensorik dan
motorik pada ekstremitas. Evolusi memakan waktu berjam-jam hingga berhari-
hari. Tingkat keparahan mielitis dapat bervariasi dari sindrom sensorik ringan
hingga serangan melumpuhkan parah yang menyebabkan tetraparesis. Lesi pada
korda serviks dapat menyebabkan fenomena Lhermitte, yaitu sensasi seperti
tersengat listrik di leher dan punggung saat leher difleksikan. Ini bisa menjadi
petunjuk berguna untuk diagnosis. Lesi pada sumsum tulang belakang dapat
menyebabkan sensasi seperti pita ketat di sekitar batang tubuh atau perut yang
sering digambarkan sebagai ‘MS hug'. Dalam kasus yang parah, hal ini disalah
artikan sebagai akibat penyakit jantung. Pada pemeriksaan, tanda-tandanya dapat
berupa tanda-tanda sensorik berupa berkurangnya sentuhan halus, rasa getaran,
dan rasa posisi sendi. Mungkin ada tingkat sensorik. Tanda-tanda motorik khas
dari lesi neuron motorik atas dengan peningkatan tonus atau spastisitas,
kelemahan piramidal, dan hiperrefleksia dengan respons ekstensor plantar.
Myelitis mungkin sebagian menyebabkan sindrom hemi-cord atau sebagian
Brown-Séquard.13
Sindrom batang otak dapat muncul dengan gejala diplopia, oscillopsia,
kehilangan sensorik wajah, vertigo, dan disartria. Temuan yang khas termasuk
kelumpuhan saraf keenam yang terisolasi, nistagmus yang ditimbulkan oleh
tatapan, atau oftalmoplegia internuklear. Oftalmoplegia internuklear bilateral
merupakan patognomonik MS.13

1.3.1. Pemeriksaan Penunjang


a. Cairan serebrospinal
MS dianggap sebagai penyakit inflamasi SSP dengan kerusakan
fokal pada BBB, maka terdapat penanda-penanda yang mengalami
perubahan pada CSF. Perubahan penanda ini meliputi perubahan jumlah
leukosit CSF sebagai indikator peradangan (selain peningkatan kadar
imunoglobulin), dan konsentrasi total protein atau albumin sebagai indikator
gangguan BBB (Tabel 1.1).14

Tabel 1. 1 Perubahan penanda-penanda CSF pada MS14

Penanda CSF Perubahan

Total protein Normal, pada kasus jarang sedikit


meningkat

Rasio CSF:glukosa Normal

Jumlah leukosit Pleositosis ringan pada 50% pasien


Kurang dari 50 sel/uL pada 98%
Sitologi Didominasi oleh limfosit (90%),
beberapa monosit. Jarang makrofag, sel
plasma, granulosit

Imunoglobulin kuantitatif Konsentrasi IgG dengan formula linier


atau non-linier meningkat pada 60-70%
pasien, sintesis IgA dan IgM mungkin
lebih jarang ditemukan

Imunoglobulin kualitatif Pita oligoklonal pada 95% kasus MS


definitif, 85% pada CIS

b. Radiologi
Pemeriksaan radiologis yang dapat dilakukan untuk mendukung
diagnosis MS antara lain MRI otak dan tulang belakang. Pada pemeriksaan
ini dapat terlihat lesi MS di setidaknya dua dari empat lokasi berikut:
kortikal/juxtacortical, periventrikular, infratentorial, dan sumsum tulang
belakang.15 Contoh lesi MS ini ditunjukkan pada Gambar 1.2.16

Gambar 1. 2 Lesi juxtacortical/kortikal, periventrikular, sumsum tulang belakang, dan


batang otak pada multiple sclerosis. A (koronal) dan B (aksial): Gambar kontras MRI
T1 menunjukkan peningkatan pada segmen intraorbital saraf optik sesuai dengan
neuritis optik kanan (panah). C: Lesi periventrikular posterior kanan pada T2-FLAIR
aksial (panah). D: Lesi demielinisasi meduler ventral pada T2-FLAIR (panah). E: MR
STIR sagital korda serviks menunjukkan lesi demielinasi C2-3, C4, dan C7 (panah). F:
T2-FLAIR aksial dengan lesi demielinasi pada brachium pontis kiri (panah). G (sagital)
dan H (aksial): Gambar T2-FLAIR menunjukkan lesi demielinasi juksta kortikal kiri
(panah). 16

1.3.2. Kriteria MC-Donald


Kriteria diagnostik untuk MS telah dikembangkan sejak deskripsi pertama
MS sebagai 'La sclérose en plakat disséminées' oleh Charcot pada tahun 1868
dimana Charcot menggambarkan dalam trias yaitu nistagmus, tremor, dan
gangguan berbicara. Dengan semakin berkembangnya pemeriksaan penunjang
dan meluasnya ketersediaan MRI, dikembangkan kriteria McDonald pada tahun
2001 yang memberikan bobot pada MRI dalam diagnosis penyakit MS. Kriteria
McDonald mengalami revisi terakhir pada tahun 2017 yang dapat dilihat pada
tabel 1.2.17
Tabel 1. 2 Kriteria McDonald 2017 untuk diagnosis MS17

Jumlah Jumlah Syarat tambahan untuk diagnosis MS


serangan lesi

≥2 ≥2 -

≥2 1 Bukti jelas adanya serangan sebelumnya dengan


lesi di lokasi anatomi yang berbeda

≥2 1 Penyebaran dalam ruang:


1) Serangan klinis tambahan di lokasi SSP yang
berbeda ATAU
2) Bukti MRI adanya lesi T2-weighted di ≥2 dari
4 area (periventrikular, kortikal/juxtacortical,
infratentorial, dan sumsum tulang belakang)

1 ≥2 Penyebaran dalam waktu:


1) Serangan klinis tambahan ATAU
2) Bukti MRI adanya lesi yang meningkatkan
gadolinium dan nongadolinium ATAU
3) pita oligoklonal CSF

1 1 Penyebaran dalam ruang DAN penyebaran dalam


waktu

0 1 >1 tahun perkembangan penyakit DAN 2 hal


berikut:
1) Lesi hiperintens berbobot T2 pada 1 dari 3 area
otak (periventrikular, kortikal/juktakortikal,
dan infratentorial)
2) Lesi hiperintens T2-weighted di ≥2 area
sumsum tulang belakang 3) Pita oligoklonal

1.4 Terapi
1.4.1. Manajemen MS akut
Serangan akut pada pasien MS berhubungan dengan gejala baru atau
gejala lama yang semakin memburuk. Sebagian besar pasien dengan serangan MS
tidak memerlukan perawatan darurat kecuali mereka mengalami gangguan
kekuatan, gaya berjalan, atau penglihatan. Penggunaan kortikosteroid intravena
(IV) (misalnya, 1.000 mg metilprednisolon IV setiap hari selama 3-5 hari) hari)
dapat mempersingkat durasi kekambuhan, namun hal ini tidak berdampak pada
hasil kecacatan secara keseluruhan. Satu pengecualian adalah neuritis optik,
dimana Uji Coba Pengobatan Neuritis Optik menemukan bahwa pasien yang
diobati dengan steroid dosis tinggi memiliki hasil penglihatan yang lebih baik
dalam waktu 6 bulan. . Prednison oral dengan dosis 1.250 mg setiap hari dapat
menggantikan 1 g metilprednisolon IV. Pertukaran plasma dapat dipertimbangkan
untuk pasien dengan gejala yang refrakter terhadap steroid IV.51 Monoterapi
imunoglobin IV dapat dipertimbangkan dalam kasus kekambuhan MS akut pada
pasien dengan kontraindikasi plasmapheresis dan terapi steroid IV, meskipun
terdapat sedikit bukti yang mendukung ini.17

1.4.2 Manajemen MS Jangka Panjang


Pada bulan Maret 2023, 24 Disease Modifying Therapies (DMTs) berbeda
telah disetujui untuk pengobatan MS, termasuk obat suntik, oral, dan infus. 18
Penelitian baru-baru ini menyarankan terapi dengan efikasi tinggi yang dimulai
dalam waktu 2 tahun setelah timbulnya penyakit, karena hal ini dikaitkan dengan
berkurangnya kecacatan setelah 6-10 tahun dibandingkan dengan menunda terapi
tersebut.19 Dalam sebuah studi perbandingan pasien yang menjalani terapi dengan
efikasi tinggi dibanding dengan mereka yang menjalani terapi dengan efikasi
sedang, 68% dan 52% pasien tidak terdapat bukti aktivitas penyakit masing-
masing dalam 1 tahun, dan 52% dan 19% dalam 2 tahun. 20 Namun, tidak semua
pasien memerlukan terapi dengan efikasi tinggi; pasien yang stabil secara klinis
dan menjalani terapi dengan kemanjuran ringan atau sedang tidak perlu mengubah
rejimen pengobatannya. Demikian pula, pasien dengan lesi yang relatif sedikit
atau pasien MS yang lebih tua tidak memerlukan obat efikasi tinggi. Perbandingan
pilihan pengobatan dengan tingkat efikasi rendah, sedang, dan tinggi dirangkum
dalam Tabel 1.3.21
Tabel 1. 3 DMT pilihan untuk MS dan informasi dasar21

Obat Golongan Efikasi Dosis Tes skrining

Ocrelizumab Anti-CD20 Tinggi 300 mg IV 2 • Skrining tes


monoclonal dosis dengan laboratorium:
antibody selang waktu CBC, CMP,
2 minggu, imunoglobulin,
kemudian Quantiferon
600 mg Gold, antigen
setiap 24 permukaan
minggu hepatitis B dan
antibodi
• Tes
laboratorium
opsional meliputi
HIV, sifilis,
hepatitis C, IgG
VZV, sel B dan T
awal
• Pemantauan
pemeriksaan
laboratorium
meliputi
pemeriksaan
CBC, CMP,
imunoglobulin,
dan jumlah CD20
setiap 6 bulan

Ofatumumab Anti-CD20 Tinggi 20 mg SC Skrining dan


monoclonal setiap pemantauan tes
antibody minggu pada laboratorium
minggu 0, 1, sama seperti
2, lalu 20 mg untuk
setiap 4 ocrelizumab
minggu
dimulai pada
minggu ke 4

Natalizumab α4β1-integrin Tinggi 300mg IV CBC,CMP, dan


High sekali JCV index setiap
binder sebulan. 3–6 bulan
Opsional
untuk setiap
6 minggu
setelah 24
minggu
menjalani
terapi

Alemtuzumab Anti-CD52 Tinggi Tahun •Dasar: CBC,


monoclonal pertama 5 kreatinin, LFT,
antibody hari 12 mg UA, rasio protein
IV setiap hari terhadap kreatin
dengan urin, TSH,
steroid, pemeriksaan kulit
Tahun kedua •Pemeriksaan
3 hari 12 mg laboratorium
IV setiap hari bulanan (CBC
dengan dengan
steroid diferensial, CMP,
dan UA) selama
48 bulan setelah
pengobatan
terakhir
•TSH setiap 3
bulan
•Pemeriksaan
kulit tahunan

Fingolimod s1p inhibitor Sedang 0,5 mg PO •Dasar: CBC,


hingga setiap hari CMP,
tinggi Quantiferon
Gold, antigen dan
antibodi hepatitis
B
•EKG
•Oftalmologis
dasar dan
pemeriksaan
dermatologis
• CBC dengan
diferensial, CMP
setiap
6 bulan
• Pemeriksaan
oftalmologi untuk
skrining
untuk edema
makula 3 bulan
setelah
memulai
pengobatan dan
kemudian setiap
tahun
• Pemeriksaan
dermatologis
tahunan

Siponimod s1p inhibitor Sedang Initial: 0,25 •Dasar: CBC,


hingga mg PO sekali CMP,
tinggi sehari pada Quantiferon
hari 1 dan 2; Gold, antigen dan
0,5 mg pada antibodi hepatitis
hari ke 3; B,
0,75 mg pada CYP2C9*3/*3,
hari ke 4; EKG
1,25 mg pada • CBC dengan
hari ke 5 diferensial, CMP
Maintenance setiap 6 bulan
: 2 mg sekali •Pemantauan 6
sehari, jam dosis
dimulai pada pertama
hari ke 6 direkomendasika
n untuk pasien
dengan kondisi
jantung tertentu
yang sudah ada
sebelumnya,
diantaranya sinus
bradikardia (HR
<55 bpm), blok
AV derajat satu
atau dua (Mobitz
tipe 1), atau
riwayat MI atau
gagal jantung

Ozanimod Sedang Initial: 0,23 CBC dengan


hingga mg sekali diferensial setiap
tinggi sehari pada 6 bulan, EKG,
hari 1–4, CMP setiap 6
0,46 mg pada bulan,
hari 5–7, lalu Quantiferon
0,92 mg Gold, serta
setiap hari antigen dan
antibodi hepatitis
B

Cladribine Adenosine Sedang 2 program • LFT dan CBC


nucleoside analog hingga pengobatan dengan
tinggi oral, masing- diferensial
masing sebelum memulai
sekitar 5 hari pengobatan
dan selang • CBC tahunan
waktu 1 dengan
tahun Dosis diferensial untuk
total 3,5 memantau
mg/kg (1,75 limfopenia saat
mg/kg per menerima
program pengobatan
pengobatan) • Skrining pasien
untuk mengetahui
adanya infeksi
laten;
memvaksinasi
pasien dengan
antibodi VZV
negatif sebelum
memulai
pengobatan
•Jika limfosit
<200 sel/mm3,
berikan
profilaksis
antiherpes

Dimethyl Fumarate Sedang initial: 120 CBC dengan


fumarate mg PO 2 kali diferensial,
sehari LFT setiap 6
kemudian bulan
setelah 7 hari
ditingkatkan
menjadi
dosis
maintenance
240 mg 2
kali sehari
Diminum
bersama
makanan

INF β-1α Immunomodulato Renda Rebif 44 mcg CBC, CMP pada


(Avonex, r h SC tiga kali 3 bulan, 6 bulan,
Rebif, seminggu, dan kemudian
Plegridy) dan Avonex 30 setiap tahun
INF beta-1b mcg IM
(Betaseron) seminggu
sekali,
Plegridy 125
mcg IM
setiap 2
minggu
sekali,
Betaseron
0,3 mg SC
dua hari
sekali

Teriflunomid Pyrimidine Renda 14 mg PO CBC, CMP,


e synthesis inhibitor h setiap hari Quantiferon
Gold, LFT
bulanan selama 6
bulan pertama

GA Receptor decoy Renda 20 mg SC Tidak diperlukan


h setiap hari pemantauan
atau 40 mg laboratorium
PO 3 kali
sehari
CBC, complete blood count; CMP, comprehensive metabolic panel; HSV, herpes simplex virus; IM,
intramuscular; ITP, immune thrombocytopenia; IV, intravenous; JCV, John Cunningham virus; LFT, liver
function tests; PML, progressive multifocal leukoencephalopathy; PO, per oral; SQ, subcutaneous; TB,
tuberculosis; UA, urinalysis; VZV, varicella zoster virus.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Indikasi Masuk ICU


Intensive Care Unit (ICU) yang juga dikenal sebagai unit perawatan kritis
merupakan spesialisasi multidisiplin dan interprofesional yang didedikasikan
untuk manajemen komprehensif pasien yang memiliki, atau berisiko
mengembangkan disfungsi organ akut yang mengancam jiwa. Perawatan intensif
menyediakan dukungan bagi sistem organ yang gagal, terutama paru-paru, sistem
kardiobaskular, dan ginjal. Tujuan utama perawatan intensif adalah mencegah
penurunan fisik yang lebih lanjut bersamaan dengan pengobatan penyakit yang
mendasari.22 Terdapat beberapa faktor yang dapat dipertimbangkan ketika menilai
kesesuaian untuk masuk ke perawatan intensif, diantaranya diagnosis, keparahan
penyakit, usia, penyakit yang telah ada sebelumnya, ketersediaan pengobatan
yang sesuai, respons terhadap pengobatan, adanya serangan jantung sebelumnya,
dan keinginan pasien. Rujukan dini meningkatkan peluang pemulihan,
mengurangi potensi disfungsi organ, dapat mengurangi lama rawat inap di
perawatan intensif dan rumah sakit, dan dapat mengurangi biaya perawatan
intensif.23
Multiple sclerosis (MS) merupakan penyakit autoimun kronis pada sistem
saraf pusat yang diakui sebagai penyebab utama kecacatan pada orang dewasa
usia kerja. Keterbatasan gerak, keterlibatan struktur neurologis vital yang dapat
menyebabkan disfagia dan disfungsi pernapasan, serta obat-obatan MS saat ini
menimbulkan risiko potensial untuk pengembangan komplikasi fatal. Pasien
dengan MS lebih mungkin dirawat di ICU baik karena komplikasi yang timbul
dari penyakit dan terapi atau karena komplikasi yang tidak berhubungan langsung
dengan MS. Terdapat dua kategori alasan penerimaan pasien dengan MS di ICU
yaitu penerimaan yang direncanakan sebelumnya (untuk intervensi terapeutik
intensif) atau penerimaan yang tidak direncanakan sebelumnya yang berkaitan
dengan penyakit kritis yang mempersulit MS seperti disfungsi pernapasan
termasuk infeksi, penyakit kardiovaskular, penyakit neuro-psikiatri, dan infeksi
non-paru.24
Studi oleh Karamyan dkk. pada tahun 2016 menyatakan bahwa alasan
tersering pasien dengan MS dirawat di ICU adalah karena insufiensi pernapasan
yang terkait dengan infeksi. Laporan dari Marrie dkk. juga menyatakan bahwa
infeksi merupakan penyebab paling umum dari penerimaan pasien dengan MS di
ICU. Pasien dengan MS, terutama pada tahap lanjut, akan lebih sering
meunjukkan kejadian disfungsi pernapasan.24 Selain itu, komplikasi MS lainnya
seperti neurogenik bladder dan keterbatasan gerak akan meningkatkan risiko
infeksi saluran kemih dan ulkus tekan. Pasien dengan MS yang masuk ke ICU
lebih sakit secara akut berdasarkan skor fisiologi akut APACHE II dibandingkan
pasien ICU lainnya, dan lebih mungkin memerlukan ventilasi mekanis.25
Indikasi perawatan pasien dengan MS ke ICU dapat bervariasi tergantung
gpada keparahan kondisi pasien dan komplikasi yang dialami. Beberapa indikasi
umum untuk perawatan ICU pada pasien MS meliputi:
1. Disfungsi pernapasan
Disfungsi pernapasan sering terjadi pada pasien MS stadium lanjut,
dan dapat bermanifestasi sebagai gagal napas akut atau kronis, gangguan
kontrol pernapasan, kelemahan otot pernapasan, gangguan pernapasan saat
tidur atau edema paru neurogenik. Tanda patofisiologis dari disfungsi
pernapasan dalam MS adalah adanya lesi demielinasi dalam sistem saraf
pusat. Lesi ini dapat melibatkan satu atau lebih lokasi yang terkait dengan
produksi atau penyebaran impuls saraf ke otot-otot pernapasan. Bergantung
pada lokasi dan luas lesi demielinasi, disfungsi pernapasan dapat terjadi
dengan gejala akibat kelemahan otot pernapasan dan batuk yang terganggu,
disfungsi otot bulbar, abnormalitas dalam pengendalian pernapasan, atau
kegagalan pernapasan. Faktor lainnya seperti obat-obatan, kelelahan terkait
penyakit, atau blok konduksi saraf akibat peningkatan suhu tubuh secara
independen juga dapat mengganggu fungsi otot pernapasan. Perawatan di
ruang ICU menggunakan ventilasi non-invasif mungkin diperlukan selama
episode kegagalan pernapasan akut yang berkaitan dengan infeksi
pernapasan, edema paru neurogenik, atau pascaoperasi setelah operasi
elektif.26
2. Infeksi
Infeksi pada pasien dengan MS dapat secara signifikan memperburuk
kondisi mereka dan berpotensi menyebabkan komplikasi yang parah
sehingga memerlukan perawatan di ruang ICU. Studi terdahulu
menunjukkan bahwa pasien dengan MS berisiko mengalami infeksi karena
pengobatan imunosupresif, fungsi pernapasan yang terganggu, dan
keterbatasan mobilitas. Perawatan intensif berupa pemantauan dan
managemen infeksi diperlukan pada kondisi tersebut untuk mencegah
perburukan kondisi pasien.27
3. Komplikasi neurologis
Demielinisasi yang terjadi pada MS akan mengganggu aliran impuls
listrik normal di sepanjang serat-serat saraf, menyebabkan berbagai gejala
dan komplikasi neurologis. MS dapat memengaruhi berbagai bagian sistem
saraf, termasuk otak, sumsum tulang belakang, dan saraf optik. Gejala
neurologis umum dari MS meliputi kelemahan otot, mati rasa atau sensasi
kesemutan, masalah koordinasi, kelelahan, dan gangguan penglihatan
seperti neuritis optik. Selain itu, MS dapat menyebabkan komplikasi
neurologis yang lebih parah seperti eksaserbasi akut, yang merupakan
episode tiba-tiba memburuknya gejala, dan disabilitas progresif akibat
kerusakan saraf yang berkelanjutan. Dalam beberapa kasus, MS dapat
menyebabkan komplikasi seperti kejang, disfungsi kandung kemih dan usus,
gangguan kognitif, dan gangguan mood. Komplikasi tersebut dapat
bervariasi dan memerlukan kombinasi dari pengobatan farmakologis dan
nonfarmalogis. Pemantauan oleh penyedia layanan kesehatan sangat
direkomendasikan untuk mencapai perawatan yang komprehensif.28
4. Komplikasi kardiovaskular
Disfungsi otonom terkait MS yang ditandai oleh regulasi yang tidak
normal dari sistem saraf simpatik dan parasimpatik dapat menyebabkan
pasien rentan terhadap berbagai kelainan kardiovaskular seperti aritmia,
hipotensi ortostatik, dan kelainan konduksi jantung. Selain itu, kurangnya
mobilitas akibat disabilitas terkait MS dapat berkontribusi terhadap stasis
vena dan meningkatkan trombosis vena dalam dan emboli paru. Dalam
beberapa kasus, pasien MS dapat mengalami peristiwa kardiovaskular akut
seperti infark miokard atau aritmia yang mungkin memerlukan intervensi
perawatan intensif untuk pemantauan jantung dan dukungan hemodinamik.28

2.2 Prediktif Masuk ICU


Prediktor pasien dengan MS yang dirawat di ICU dapat bervariasi dan
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu keparahan penyakit, disfungsi pernapasan,
komplikasi neurologis, komorbiditas, keadaan imunokompromis, dan perawatan
di ICU sebelumnya.
1. Keparahan penyakit
MS adalah kondisi neurodegeneratif yang ditandai dengan potensi kecacatan
yang mempengaruhi sistem saraf pusat. Meskipun otak manusia memiliki
mekanisme perbaikan diri dan potensi regeneratif, kemampuan tersebut tetap
terbatas. Oleh karena itu, intervensi yang tepat waktu untuk mencegah atau
memperlambat kerusakan otak menjadi sangat penting dalam pengobatan MS.
Penilaian yang akurat terhadap keparahan MS memainkan peran penting dalam
menentukan pendekatan pengobatan yang efektif, dengan sistem penilaian yang
luas digunakan untuk tujuan ini. Salah satu sistem penilaian ordinal yang umum
digunakan adalah Expanded Disability Status Scale (EDSS), yang sering
digunakan oleh penyedia layanan kesehatan untuk menilai kecacatan klinis pada
MS. Skala komprehensif ini mencakup beragam sistem fungsional, termasuk
fungsi piramidal, fungsi cerebellar, fungsi batang otak, fungsi sensorik, fungsi
usus dan kandung kemih, fungsi visual, fungsi serebral, dan ambulasi. Pasien
dengan kondisi MS yang lebih parah, yang ditandai dengan skor kecacatan yang
lebih tinggi atau perjalanan penyakit progresif cenderung memerlukan perawatan
di ICU karena komplikasi atau eksaserebrasi kondisi mereka.29
2. Disfungsi pernapasan
Disfungsi pernapasan dapat menjadi prediktor bagi pasien MS untuk dirawat
di ICU karena dapat menyebabkan komplikasi pernapasan yang lebih parah.
Manifestasi disfungsi pernapasan yang terkait dengan MS dapat berupa
kelemahan otot pernapasan, refleks batuk yang terganggu, atau pengendalian
pernapasan yang terganggu, yang memprediksi pasien rentan terhadap infeksi
pernapasan dan gagal napas. Pasien MS dengan fungsi pernapasan yang terganggu
berisiko tinggi mengalami komplikasi pernapasan yang memerlukan perawatan di
ICU. Studi terdahulu menunjukkan bahwa disfungsi pernapasan merupakan alasan
tersering pasien MS dirawat di ICU, yang menyoroti nilai prediktifnya dalam
mengidentifikasi pasien MS yang membutuhkan perawatan ICU. 30 Pemantauan
berkala terhadap fungsi pernapasan pada pasien MS sangat penting untuk
mengenali tanda-tanda awal komplikasi pernapasan dan memfasilitasi intervensi
tepat waktu.31
3. Komplikasi neurologis
Komplikasi neurologis dapat menjadi prediktor bagi pasien MS untuk
dirawat di ICU karena potensi komplikasi ini dapat menyebabkan penurunan
fungsi neurologis dan eksaserbasi akut yang memerlukan intervensi perawatan
intensif. omplikasi neurologis terkait MS dapat mencakup eksaserbasi akut yang
ditandai dengan memburuknya tiba-tiba gejala, seperti gangguan motorik, defisit
sensorik, atau disfungsi kognitif. Eksaserbasi ini dapat mengakibatkan kecacatan
atau gangguan fungsional yang signifikan, memerlukan pemantauan dan
manajemen intensif di ICU.32
4. Komorbiditas
Kehadiran kondisi komorbid, seperti penyakit kardiovaskular atau diabetes,
dapat memperburuk kondisi dan meningkatkan risiko komplikasi pasien dengan
MS. penyakit kardiovaskular dapat berkontribusi pada perkembangan aritmia atau
infark miokard, sedangkan diabetes dapat menyebabkan ketidakseimbangan
metabolisme atau memperburuk gejala neurologis. Masalah kesehatan mental
seperti depresi atau kecemasan juga dapat memengaruhi kesejahteraan secara
keseluruhan dan berkontribusi pada keparahan gejala MS. Pasien MS dengan
komorbiditas memiliki risiko lebih tinggi untuk masuk ke ICU karena kebutuhan
akan manajemen medis yang komprehensif, pemantauan ketat, dan intervensi
khusus untuk mengatasi komplikasi yang terkait dengan MS dan kondisi
komorbid.33
5. Keadaan imunokompromais
Pasien MS sering menjalani pengobatan imunosupresif yang dapat
mengganggu respons kekebalan tubuh mereka dan meningkatkan risiko infeksi.
Pasien MS yang imunosupresif mungkin lebih rentan terhadap infeksi oportunis
atau komplikasi terkait patogen umum, yang dapat memperparah penyakit. Pasien
MS dengan kondisi imunosupresif memiliki risiko lebih tinggi untuk masuk ke
ICU karena kebutuhan akan perawatan intensif terhadap infeksi dan pencegahan
komplikasi.34

2.3 Perawatan di ICU

Multiple sclerosis (MS) merupakan penyakit neurologis kronis yang


umumnya tidak memerlukan perawatan intensif secara rutin di unit perawatan
intensif (ICU). Namun, terdapat beberapa situasi yang memungkinkan pasien
dengan MS membutuhkan perawatan intensif, terutama jika mereka mengalami
komplikasi serius atau eksaserbasi akut yang mengancam nyawa. Perawatan
intensif untuk pasien dengan multiple sclerosis (MS) biasanya diperlukan dalam
beberapa kondisi tertentu yang memengaruhi fungsi vital pasien atau
menimbulkan komplikasi serius lainnya yang membutuhkan intervensi medis
intensif. Perawatan intensif untuk pasien MS dapat mencakup penggunaan
ventilator mekanis untuk masalah pernapasan, terapi obat intravena untuk
mengurangi peradangan atau mengatasi eksaserbasi, serta monitoring ketat
terhadap status neurologis dan tanda-tanda vital. Adapun beberapa kondisi yang
dapat menjadi indikasi bagi pasien dengan MS untuk dilakukan perawatan di ICU,
antara lain:35,36
1. Eksaserbasi Akut: Pasien dengan MS dapat mengalami eksaserbasi
akut dengan gejala seperti kelemahan otot yang signifikan, gangguan
penglihatan, ataupun gangguan neurologis yang parah lainnya. Jika
kondisi ini mengancam fungsi vital seperti pernapasan atau sirkulasi,
maka perawatan intensif di ICU mungkin diperlukan untuk stabilisasi
dan manajemen gejala.
2. Komplikasi Medis: Pasien dengan MS memiliki risiko lebih tinggi
untuk mengalami komplikasi medis, seperti infeksi paru-paru, infeksi
saluran kemih, atau gangguan kardiovaskular yang signifikan. Jika
komplikasi-komplikasi ini berkembang menjadi kondisi yang
mengancam nyawa, perawatan intensif di ICU diperlukan untuk
manajemen yang tepat.
3. Reaksi Terhadap Terapi: Beberapa terapi yang digunakan untuk
mengobati MS dapat memiliki efek samping serius atau menyebabkan
reaksi alergi yang membutuhkan perawatan medis darurat. Jika pasien
mengalami reaksi yang mengancam nyawa terhadap terapi MS,
perawatan intensif di ICU mungkin diperlukan.
4. Komplikasi Neurologis: Pasien dengan MS juga memiliki risiko
lebih tinggi untuk mengembangkan gangguan neurologis lainnya,
seperti kejang, gangguan pernapasan, masalah pengaturan suhu tubuh,
atau gangguan fungsi autonim lainnya. Jika komplikasi-komplikasi ini
mengancam fungsi vital, pasien mungkin memerlukan perawatan
intensif di ICU.
Ketika pasien dengan MS memerlukan perawatan intensif di ICU, penting halnya
bagi tim perawatan kesehatan untuk bekerja sama dan memahami kebutuhan
khusus pasien MS dan merancang rencana perawatan yang sesuai untuk
memastikan pasien mendapatkan perawatan yang optimal. Ini dapat mencakup
komponen seperti stabilisasi medis, terapi obat intravena, ventilasi mekanik, dan
monitoring yang ketat terhadap status neurologis dan tanda-tanda vital pasien:35,36
1. Evaluasi dan Stabilisasi Medis: Pasien yang memerlukan perawatan
intensif akan dievaluasi secara menyeluruh untuk menentukan
penyebab kondisi mereka. Stabilisasi medis dilakukan untuk
memastikan fungsi vital seperti pernapasan, sirkulasi, dan neurologis
tetap terjaga. Pasien dengan eksaserbasi akut atau komplikasi serius
lainnya mungkin memerlukan stabilisasi medis terlebih dahulu,
meliputi pemberian oksigen, pemantauan ketat terhadap tanda-tanda
vital, dan pengelolaan gejala seperti kejang atau gangguan pernapasan.
2. Terapi Obat: Perawatan intensif untuk MS dapat mencakup
penggunaan terapi obat intravena seperti kortikosteroid untuk
mengurangi peradangan dan mempercepat pemulihan selama
eksaserbasi akut. Dalam beberapa kasus, terapi imunosupresif lainnya
juga dapat diberikan untuk mengendalikan sistem kekebalan tubuh
yang hiperaktif.
3. Manajemen Gejala: Pasien dengan MS yang memerlukan perawatan
intensif mungkin mengalami berbagai gejala, termasuk gangguan
neurologis, gangguan kardiovaskular, atau masalah pernapasan.
Perawatan intensif mencakup manajemen aktif terhadap gejala-gejala
ini untuk memastikan kenyamanan dan keamanan pasien.
4. Pemantauan Neurologis: Monitoring neurologis yang ketat
diperlukan untuk memantau perkembangan kondisi pasien dan
memastikan tidak ada komplikasi neurologis tambahan yang muncul
selama perawatan intensif.
5. Rehabilitasi: Setelah pasien stabil, program rehabilitasi dapat
direncanakan untuk membantu pemulihan fisik dan fungsional. Ini
dapat mencakup fisioterapi, terapi okupasi, dan bimbingan psikologis
untuk membantu pasien mengatasi dampak fisik dan emosional dari
episode MS yang parah.

Perawatan intensif untuk MS seringkali melibatkan tim multidisiplin yang


terdiri dari dokter spesialis neurologi, perawat, fisioterapis, terapis okupasi, dan
ahli lainnya sesuai kebutuhan, dengan tujuan utama untuk memastikan pasien
mendapatkan perawatan yang komprehensif dan terkoordinasi untuk
memaksimalkan peluang pemulihan dan mengurangi risiko komplikasi.35,36

2.4 Prognosis
Multiple sclerosis ditandai dengan variasi prognosis yang signifikan antar
pasien. Kurang dari 5% pasien mengalami kecacatan yang sangat parah dalam 5
tahun pertama setelah timbulnya penyakit, dan 10–20% pasien tetap tidak
mengalami gangguan tanpa terapi selama lebih dari 20 tahun. 35 Pada era sebelum
DMT, waktu rata-rata dari timbulnya penyakit hingga kebutuhan bantuan tongkat,
status rawat inap, dan kematian, secara kasar adalah 15, 26, dan 41 tahun secara
berurutan.35 Waktu kelangsungan hidup rata-rata adalah sekitar 5–10 tahun lebih
pendek untuk pasien MS dibandingkan untuk populasi umum dengan usia yang
sama.36 Sejauh mana DMT mengubah jangka waktu progresi ini masih perlu
ditentukan.37 Gambaran klinis awal MS yang dilaporkan memengaruhi prognosis
tercantum pada Tabel 2.1.38-41

Tabel 2. 1 Gambaran klinis awal yang memengaruhi prognosis pada multiple


sclerosis.38-41

Prognosis Baik Prognosis Buruk

Neuritis optik atau gejala sensorik Sistem saraf eferen yang terpengaruh
terisolasi seperti CIS pada CIS atau CIS 'multifokal'
Perjalanan awal yang kambuh Tingkat kekambuhan yang tinggi dalam
2–5 tahun pertama
Interval panjang hingga
kekambuhan kedua

Tidak ada kecacatan setelah 5 tahun Kecacatan substansial setelah 5 tahun

MRI awal normal MRI awal yang abnormal dengan beban


lesi besar
Jenis kelamin perempuan Jenis kelamin laki-laki

Usia yang lebih muda saat Usia yang lebih tua saat timbulnya
timbulnya penyakit penyakit
Pemulihan total dari episode Pemulihan inkomplit setelah periode
neurologis pertama relaps
Bila tidak diberikan terapi, sekitar 30% pasien MS akan mengalami
disabilitas fisik pada 20-25 tahun setelah onset pertama. Pada fenotip MS yang
lebih ringan, < 10% pasien yang mengalami progresivitas menjadi disabilitas fisik
yang bermakna. Prognosis terburuk dapat ditemukan pada pasien laki-laki dengan
tipe MS progresif primer yang sering kali tidak memberikan respon baik terhadap
drug modifying therapy (DMT). Lesi pada medulla spinalis juga merupakan faktor
prognosis yang berhubungan dengan terjadinya disabilitas fisik yang lebih cepat.
Pada Primary Progressive MS (PPMS) dan bentuk MS progresif lainnya, waktu
rata-rata dari timbulnya penyakit hingga mencapai skor kecacatan permanen
secara signifikan lebih awal dibandingkan dengan Relapsing Remitting MS
(RRMS), dengan sebagian besar pasien telah mengalami kecacatan ringan hingga
sedang pada saat diagnosis.35 Gangguan kognitif terjadi pada semua tahap dan
subtipe MS, dengan tingkat gangguan kognitif yang lebih parah terjadi pada fase
progresif.42 Profil gangguan yang umum terjadi adalah pada kecepatan
pemrosesan informasi, ingatan, dan keterampilan eksekutif. Hal ini sering kali
memengaruhi kemampuan kerja pasien MS, bahkan ketika disabilitas fisiknya
tergolong rendah, dan harus menjadi faktor lain yang dipertimbangkan terkait
masalah akhir hidup.
BAB III
SIMPULAN

Multipel sklerosis merupakan suatu penyakit peradangan idiopatik yang


ditandai dengan adanya demielinisasi dan degenerasi pada sistem saraf pusat.
Penyakit ini menyerang jaringan myelin otak dan medula spinalis yang
menyebabkan kerusakan myelin dan akson. Kerusakan tersebut selanjutnya
menyebabkan terjadinya gangguan transmisi konduksi sistem saraf.
Peradangan sistem saraf pusat adalah penyebab utama kerusakan pada MS,
Sistem imun bawaan berperan baik dalam inisiasi dan perkembangan MS dengan
mempengaruhi fungsi efektor sel T dan B. Selain keterlibatan sel T CD4+ dalam
patogenesis MS, penelitian menunjukkan bahwa sel T CD8+ terdapat pada lesi
MS dan mungkin memiliki fungsi pengaturan dalam perkembangan penyakit ini.
Faktor genetik juga mempengaruhi kerentanan patogenesis dari MS. Penelitian
terhadap keluarga dan saudara kembar menunjukkan peningkatan kerentanan 40
kali lipat di antara kerabat pasien MS, yang menunjukkan adanya dasar genetik.
Faktor lingkungan, seperti paparan agen infeksi serta paparan sinar
matahari/vitamin D juga berperan dalam perubahan risiko MS ketika seseorang
bermigrasi dari satu area berisiko ke area berisiko lainnya sebelum usia 15 tahun.
MS adalah penyakit SSP yang ditandai dengan lesi demielinasi di berbagai
daerah termasuk saraf optik yang pertama kemudian menuju batang otak, otak
kecil, periventrikular, dan sumsum tulang belakang. Gambaran klinis serangan
MS bergantung pada area otak atau sumsum tulang belakang yang terkena.
Serangan klinis harus berlangsung setidaknya 24 jam tanpa adanya demam atau
infeksi. Metode pemeriksaan penunjang pada MS dapat dilakukan melalui analisis
dari cairan cerebrospinal dan MRI. MS sendiri memiliki kriteria diagnosis brupa
kriteria Mc-Donald dimana terdapat faktor seperti jumlah serangan, jumlah lesim
serangan sebelumnya, penyebaran dalam ruang, penyebaran dalam waktu, dan
perkembangan penyakit dalam waktu lebih dari satu tahun. manajemen MS
sendiri terbagi menjadi manajemen akut dan manajemen jangka panjang
Indikasi pasien MS untuk masuk ke ICU bergantung pada keparahan
kondisi pasien yang meliputi indikasi seperti disfungsi pernafasan, infeksi, dan
komplikasi neurologis. prognosis klinis pada pasien MS Bila tidak diberikan
terapi adalah sekitar 30% akan mengalami disabilitas fisik pada 20-25 tahun
setelah onset pertama. Pada fenotip MS yang lebih ringan, < 10% pasien yang
mengalami progresivitas menjadi disabilitas fisik yang bermakna. Prognosis
terburuk dapat ditemukan pada pasien laki-laki dengan tipe MS progresif primer
yang sering kali tidak memberikan respon baik terhadap drug modifying therapy
(DMT).
DAFTAR PUSTAKA

1. Chou IJ, Wang HS, Whitehouse WP, Constantinescu CS. Paediatric


multiple sclerosis: update on diagnostic criteria, imaging, histopathology
and treatment choices. Curr Neurol Neurosci Rep. 2016:16:1-12.

2. Sandi D, Berg E, Biernacki T, Vörös E, Klivényi P, Bereczki C. Pediatric


multiple sclerosis and fulminant disease course: Features and approaches to
treatment – A case report and review of the literature. J Clin Neurosci.
2018;53:13-9.

3. Ekmekci O. Pediatric multiple sclerosis and cognition: a review of clinical,


neuropsychologic, and neuroradiologic features. Behavioural Neurology.
2017:1-11.

4. Jancic J, Nikolic B, Ivancevic N, Djuric V, Zaletel I, Stevanovic D, dkk.


Multiple sclerosis in pediatrics: current concepts and treatment options.
NeurolTher. 2016;5:131–43.

5. Gandhi R, Laroni A, Weiner HL. Role of the innate immune system in the
pathogenesis of multiple sclerosis. J. Neuroimmunol. 2009;221:7–14.

6. Kasper L, Shoemaker J. Multiple sclerosis immunology: The healthy


immune system vs. the MS immune system. Neurology. 2010;74:S2–S8.

7. Weber MS, Prod'homme T, Youssef S, Dunn SE, Rundle C, Lee L,


Patarroyo JC, Stuve O, Sobel RA, Steinman L, Zam-vil SS. Type II
monocytes modulate T cell mediated central nervous system autoimmune
disease. Nat. Med. 2007;13:935–943.

8. Komiyama KJ, Nakae S, Matsuki T, Nambu A, Ishigame H, Kakuta S, Sudo


K, Iwakura Y. IL-17 plays an important role in the development of
experimental autoimmune encephalomyelitis. J. Immunol. 2006;177:566–
573.
9. Barcellos LF, Oksenberg JR, Begovich AB, Martin ER, Schmidt S,
Vittinghoff E, Goodin DS, Pelletier D, Lincoln RR, Bucher P, Swerdlin A,
Pericak-Vance MA, Haines JL, Hauser SL. HLA-DR2 dose effect on
susceptibility to multiple sclerosis and influence on disease course. Am. J.
Hum. Genet. 2003;72:710–716.

10. Milo R, Kahana E. Multiple sclerosis: geoepidemiology, gentics and the


environment. Autoimmun. Rev. 2010;9:A387–A394.

11. Fujinami RS, von Herath MG, Christen U, Whitton JL. Molecular mimicry,
bystander activation, or viral persistence: infections and autoimmune
disease. Clin. Microbiol. Rev. 2006;19:80–94.

12. Pierrot-Deseilligny C. Clinical implications of a possible role of vitamin D


in multiple sclerosis. J. Neurol. 2009;256:1468–1479.

13. Ford H. (2020). Clinical presentation and diagnosis of multiple sclerosis.


Clinical medicine (London, England), 20(4), 380–383.
https://doi.org/10.7861/clinmed.2020-0292

14. Deisenhammer F, Zetterberg H, Fitzner B and Zettl UK (2019) The


Cerebrospinal Fluid in Multiple Sclerosis. Front. Immunol. 10:726. doi:
10.3389/fimmu.2019.00726

15. Wattjes MP, Ciccarelli O, Reich DS, Banwell B, de Stefano N, Enz- inger
C, et al. 2021 MAGNIMS-CMSC-NAIMS consensus recom- mendations on
the use of MRI in patients with multiple sclerosis. Lancet Neurol
2021;20:653-670.

16. ThompsonAJ,BanwellBL,BarkhofF,CarrollWM,CoetzeeT,Comi G, et al.


Diagnosis of multiple sclerosis: 2017 revisions of the Mc- Donald criteria.
Lancet Neurol 2018;17:162-173.

17. Baskaran AB, Grebenciucova E, Shoemaker T, Graham EL. Current updates


on the diagnosis and management of multiple sclerosis for the general
neurologist. Journal of Clinical Neurology. 2023;19(3):217.
doi:10.3988/jcn.2022.0208

18. National MS Society. Disease-modifying therapies for MS [Inter- net].


National MS Society; 2023. Available
from:https://www.nationalmssociety.org/Programs-and-Services/Resources/
The-MS-Disease-Modifying-Medications-(-pdf ).
19. 8. He A, Merkel B, Brown JWL, Zhovits Ryerson L, Kister I, Malpas CB, et
al. Timing of high-efficacy therapy for multiple sclerosis: a retrospective
observational cohort study. Lancet Neurol 2020;19:307-316
20. 9. Simonsen CS, Flemmen HØ, Broch L, Brunborg C, Berg-Hansen P,
Moen SM, et al. Early high efficacy treatment in multiple sclerosis is the
best predictor of future disease activity over 1 and 2 years in a Norwegian
population-based registry. Front Neurol 2021;12:693017
21. 10. Samjoo IA, Worthington E, Drudge C, Zhao M, Cameron C, Häring
DA, et al. Efficacy classification of modern therapies in multiple sclerosis. J
Comp Eff Res 2021;10:495-507
22. Marshall JC, Bosco L, Adhikari NK, Connolly B, Diaz J V., Dorman T, et
al. What is an intensive care unit? A report of the task force of the World
Federation of Societies of Intensive and Critical Care Medicine. J Crit Care.
2017 Feb 1;37:270–6.
23. Smith G, Nielsen M. ABC of intensive care Criteria for admission. BMJ
[Internet]. 1999; Available from: www.bmj.com
24. Karamyan A, Dünser MW, Wiebe DJ, Pilz G, Wipfler P, Chroust V, et al.
Critical illness in patients with multiple sclerosis: A matched case-control
study. PLoS One. 2016 May 1;11(5).
25. Ann Marrie R, Bernstein CN, Peschken CA, Hitchon CA, Chen H, Fransoo
R, et al. Intensive care unit admission in multiple sclerosis Increased
incidence and increased mortality. 2014.
26. Tzelepis GE, McCool FD. Respiratory dysfunction in multiple sclerosis.
Vol. 109, Respiratory Medicine. W.B. Saunders Ltd; 2015. p. 671–9.
27. McGinley MP, Goldschmidt CH, Rae-Grant AD. Diagnosis and Treatment
of Multiple Sclerosis: A Review. Vol. 325, JAMA - Journal of the American
Medical Association. American Medical Association; 2021. p. 765–79.
28. Kaplan TB, Berkowitz AL, Samuels MA. Cardiovascular dysfunction in
multiple sclerosis. Vol. 20, Neurologist. Lippincott Williams and Wilkins;
2015. p. 108–14.

29. Zhang K, Lincoln JA, Jiang X, Bernstam E V, Shams S. Predicting multiple


sclerosis severity with multimodal deep neural networks. BMC Med Inform
Decis Mak [Internet]. 2023;23(1):255. Available from:
https://doi.org/10.1186/s12911-023-02354-6

30. Karamyan A, Dünser MW, Wiebe DJ, Pilz G, Wipfler P, Chroust V, et al.
Critical illness in patients with multiple sclerosis: A matched case-control
study. PLoS One. 2016 May 1;11(5).

31. Tzelepis GE, McCool FD. Respiratory dysfunction in multiple sclerosis.


Vol. 109, Respiratory Medicine. W.B. Saunders Ltd; 2015. p. 671–9.

32. McGinley MP, Goldschmidt CH, Rae-Grant AD. Diagnosis and Treatment
of Multiple Sclerosis: A Review. Vol. 325, JAMA - Journal of the American
Medical Association. American Medical Association; 2021. p. 765–79.

33. Magyari M, Sorensen PS. Comorbidity in Multiple Sclerosis. Vol. 11,


Frontiers in Neurology. Frontiers Media S.A.; 2020.

34. Ann Marrie R, Bernstein CN, Peschken CA, Hitchon CA, Chen H, Fransoo
R, et al. Intensive care unit admission in multiple sclerosis Increased
incidence and increased mortality. 2014

35. Scalfari A, Neuhaus A, Degenhardt A, et al. The natural history of multiple


sclerosis: a geographically based study 10: relapses and long-term disability.
Brain 2010;133:1914–29.
36. Bronnum-Hansen H, Koch-Henriksen N, Stenager E. Trends in survival and
cause of death in Danish patients with multiple sclerosis. Brain 2004;127(Pt
4):844–50.

37. Trojano M, Pellegrini F, Fuiani A, et al. New natural history of interferon-


beta-treated relapsing multiple sclerosis. Ann Neurol 2007;61:300–6.

38. Tintore M, Rovira A, Rio J, et al. Baseline MRI predicts future attacks and
disability in clinically isolated syndromes. Neurology 2006;67:968–72.

39. Brex PA, Ciccarelli O, O’Riordan JI, Sailer M, Thompson AJ, Miller DH. A
longitudinal study of abnormalities on MRI and disability from multiple
sclerosis. N Engl J Med 2002;346:158–64.

40. Confavreux C, Vukusic S, Moreau T, Adeleine P. Relapses and progression


of disability in multiple sclerosis. N Engl J Med 2000;343:1430–8.

41. Confavreux C, Vukusic S, Adeleine P. Early clinical predictors and


progression of irreversible disability in multiple sclerosis: an amnesic
process. Brain 2003;126(Pt 4):770–82.

42. Langdon DW. Cognition in multiple sclerosis. Curr Opin Neurol


2011;24:244–9.

Anda mungkin juga menyukai