Anda di halaman 1dari 28

MIASTENIA GRAVIS

Oleh:
Kadek Denik Suastini (2002612018)
Putu Srinata Dampati (2002612116)
Nicole Anne Teng Ai Ming (2002612128)
Ervina Cindranela (2002612170)

Pembimbing:
dr. Ni Putu Ayu Putri Mahadewi, M. Biomed, Sp. N

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


DEPARTEMEN/KSM NEUROLOGI
FK UNUD/RSUP SANGLAH DENPASAR
2021
MIASTENIA GRAVIS

Oleh:
Kadek Denik Suastini (2002612018)
Putu Srinata Dampati (2002612116)
Nicole Anne Teng Ai Ming (2002612128)
Ervina Cindranela (2002612170)

Pembimbing:
dr. Ni Putu Ayu Putri Mahadewi, M. Biomed, Sp. N

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


DEPARTEMEN/KSM NEUROLOGI
FK UNUD/RSUP SANGLAH DENPASAR
2021

i
MIASTENIA GRAVIS

Lembar Persetujian Pembimbing

TINJAUAN SISTEMATIS INI TELAH DISETUJUI

TANGGAL JULI 2021

Pembimbing,

dr. Ni Putu Ayu Putri Mahadewi, M. Biomed, Sp. N


NIP. 19880415 202012 2 007

Mengetahui,
Ketua Departemen / KSM Neurologi
FK UNUD / RSUP Sanglah Denpasar

Dr. dr. I Made Oka Adnyana, Sp. S(K)


NIP. 19561010 198312 1 001

DEPARTEMEN/KSM NEUROLOGI
PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER
FK UNUD/RSUP SANGLAH DENPASAR

ii
Lembar Persetujuan Pembimbing

PAPER INI TELAH DISETUJUI UNTUK DI PRESENTASIKAN PADA


TANGGAL JULI 2021

Dosen Pembimbing

dr. Ni Putu Ayu Putri Mahadewi, M. Biomed, Sp. N


NIP. 19880415 202012 2 007

Mengetahui Penanggung Jawab Pendidikan Dokter Muda


Departemen/KSM Neurologi
FK Unud/RSUP Sanglah Denpasar

dr. Ida Ayu Sri Indrayani, Sp. S


NIP. 19750621 200312 2 004

iii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena
atas karunia- Nya, tinjauan Pustaka yang berjudul “MIASTENIA GRAVIS” ini
dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Tinjauan Pustaka ini disusun dalam
rangka mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di Departemen / KSM Neurologi
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana / RSUP Sanglah Denpasar.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada
berbagai pihak yang telah membantu menyelesaikan tinjauan Pustaka sistematis
ini. Ucapan terima aksih penulis sampaikan kepada :
1. Dr. dr. I Made Oka Adnyana, Sp. S(K), selaku Ketua Departemen/KSM
Neurologi FK UNUD/ RSUP Sanglah Denpasar yang telah memfasilitasi dan
memberikan penulis kesempatan selama proses pembelajaran di bagian ini,
2. dr. Ida Ayu Sri Indrayani, Sp. S, selaku Penanggung Jawab Pendidikan
Dokter Muda Departemen/KSM Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah
Denpasar yang telah memberikan penulis kesempatan dan membantu penulis
selama proses pembelajaran di bagian ini,
3. dr. Ni Putu Ayu Putri Mahadewi, M. Biomed, Sp. N, selaku pembimbing
dalam pembuatan tinjauan sistematis ini yang telah memberikan saran, dan
masukan dalam penyempurnaan tinjauan sistematis ini, dan
4. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas dukungan dan
bantuan yang telah diberikan dalam penyelesaian laporan ini.
Penulis menyadari bahwa tinjauan sistematis ini jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dangan penulis harapkan.
Semoga tinjauan sistematis ini dapat memberikan sumbangan ilmiah dalam
masalah Kesehatan dan memberikan manfaat bagi masyarakat.

Denpasar, 24 Juli 2021

Penulis

iv
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL …………………………………………..…………………. i


LEMBAR PENGESAHAN …………………………………...…………..……...
ii
LEMBAR PERSETUJUAN UJIAN …………………...…………………...……
iii
KATA PENGANTAR ……………………………………..………..…………...
iv
DAFTAR ISI ………………………………………...…...…………...…………..
v
BAB 1 PENDAHULUAN ……………………………..………………………....
1
BAB II PEMBAHASAN ……………………………...……………………..…...
3
2.1 Definisi ………………………………………….……………...……………..
3
2.2 Epidemiologi ………………………………….……………………...……….
3
2.3 Patofisiologi ……………..…………………..…………………………..……
4
2.4 Tanda dan Gejala ………………………….……………………………...…..
6
2.5 Klasifikasi Miastenia Gravis ...…………….……………………………….....
8
2.6 Diagnosis dan Diagnosis Banding ………………………………………..…...
9
2.7 Penatalaksanaan …………………………...…………………..…………….
13
2.8 Komplikasi …………………………….………..………...…………………
17

v
2.9 Prognosis …………………………..………………………...………………
17
BAB III KESIMPULAN …………...……………..………………...…………...
18
DAFTAR PUSTAKA ………………………….………………………………..
19

vi
BAB 1
PENDAHULUAN

Miastenia Gravis (MG) merupakan penyakit neuromuskular yang ditandai


dengan kelemahan dan kelelahan otot. Penyakit ini diawali dengan gangguan dari
sinaps transmission atau pada neuromuscular junction, kekuatan otot akan pulih
kembali apabila penderita melakukan istirahat yang cukup. 1 Miastenia gravis
adalah penyakit yang relatif jarang dijumpai, diperkirakan angka kejadiannya
berkisar 5.3 per satu juta orang pertahun dan prevalensi rata-rata 77.7 per satu juta
orang.2 Penyakit ini lebih sering ditemukan pada perempuan dibandingkan pada
laki-laki. Perempuan yang menderita miastenia gravis cenderung berada pada usia
dewasa muda, sedangkan pada laki-laki biasanya dijumpai pada usia lebih dari 50
tahun.1,2
Gambaran klinis yang khas pada miastenia gravis adalah kelemahan pada
otot skeletal yang rentan dan spesifik. Keluhan yang dirasakan pasien biasanya
bersifat fluktuatif, diperberat dengan aktivitas serta membaik ketika istirahat dan
dengan pemberian obat antikolinesterase. Ptosis merupakan gejala paling sering
dan paling awal terjadi pada penderita miastenia gravis.3 Miastenia gravis
umumnya disebabkan karena auto antibodi terhadap nicotinic acetylcholine
receptor (AChR).4 Asetilkolin adalah neurotransmiter eksitatorik yang memiliki
peran sebagai neurotransmiter utama dalam pengendalian otot. Ketika proses
depolarisasi, kanal kalsium di membran pre sinaps akan terbuka dan mencetuskan
pelepasan asetilkolin ke celah sinaps yang selanjutnya akan berikatan dengan
reseptor asetilkolin (AChR) di membran post sinaps. Sebagian besar pasien
miastenia gravis (hingga 85%) memiliki anti-AChR, sehingga dapat dikatakan
sebagai antibodi utama pada patogenesis penyakit.2
Penilaian mengenai tingkat keparahan miastenia gravis merupakan hal
yang penting sebab terkait dengan prognosis pasien. Penilaian tingkat keparahan
pada penderita miastenia gravis dapat menggunakan beberapa macam
pemeriksaan yaitu Myasthenia Gravis Foundation of America Class (MGFA),
Quantitative Myasthenia Gravis Score (QMGS) dan Myasthenia Gravis-Manual
Muscle Testing (MG-MMT).2 Diagnosis miastenia gravis dapat ditegakkan

1
berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik, dan prosedur konfirmasi
diagnostik.

1
2

Strategi dalam pengobatan penderita miastenia gravis bersifat individual


dan sangat tergantung kepada kondisi masing-masing. Miastenia gravis diterapi
dengan antikolinesterase, terapi imunomodulasi, terapi simtomatik
(piridostigmin), imunosupresan (steroid maupun non steroid), terapi intravena
immunoglobulin, plasma exchange dan timektomi.2 Prognosis penderita
miasthenia gravis dapat menjadi baik apabila penderita mendapatkan pengobatan
dengan adekuat. Maka dari itu, penulis tertarik untuk mengangkat topik mengenai
miastenia gravis agar penyakit ini bisa dikenali lebih awal dan mendapat
penanganan yang tepat sehingga kualitas hidup pasien bisa lebih baik.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 DEFINISI
Miastenia gravis (MG) adalah suatu kondisi autoimun yang menyebabkan
terjadinya kelemahan abnormal serta progresif pada seluruh atau sebagian otot
rangka yang sering digunakan secara berulang dan terus menerus disertai dengan
kelelahan saat melakukan aktivitas. Miastenia gravis ini disebabkan karena
adanya gangguan dari neuromuscular junction atau sinaps transmission. Dalam
keadaan istirahat, kelemahan otot yang dirasakan penderita akan pulih kembali.5

2.2 EPIDEMIOLOGI
Miastenia gravis merupakan penyakit yang jarang ditemukan. Angka
insidennya 5,3 per 1.000.000 penduduk per tahun dan prevalensinya 77,7 per
1.000.000 penduduk per tahun.1 Jumlah pasien MG yang tercatat di Departemen
kesehatan Amerika Serikat diestimasikan sebanyak 5 hingga 14 dari 100.000
orang populasi pada seluruh etnis ataupun jenis kelamin. 6 Data akurat mengenai
angka kejadian MG di Indonesia belum ditemukan. Populasi terkait miastenia
gravis dapat dikatakan cukup kecil apabila dibandingan dengan jumlah seluruh
penduduk Indonesia. Meskipun dalam jumlah yang kecil, penderita tetap akan
merasakan berbagai dampak fisik maupun psikososial yang muncul akibat dari
proses perjalanan penyakit.7 Penyakit ini biasanya menyerang orang dalam rentang
usia 20 – 50 tahun. Dalam beberapa penelitian menyebutkan bahwa penyakit ini
dapat ditemukan baik pada laki-laki maupun perempuan dengan perbandingan
perempuan dibanding laki-laki yaitu 3:2.7 Angka kematian akibat MG berkisar
antara 0,06-0,89 per 1.000.000 penduduk per tahun.1

3
4

2.3 PATOFISIOLOGI
Miastenia Gravis (MG) adalah penyakit autoimun pada neuromuscular
junction (NMJ). Pada MG, autoantibodi menyerang komponen yang terdapat pada
NMJ, seperti acetylcholine receptors (AChR) dan muscle-specific kinase
(MuSKyang selanjutnya menimbulkan berbagai mekanisme patogen yang dapat
mengubah struktur jaringan dan mengurangi densitas atau fungsi AChR,
mengurangi transmisi neuromuskular, sehingga timbul kelemahan otot skeletal
yang parah.8 Patofisiologi MG terbagi menjadi 3 jalur mekanisme, yaitu:
A. Defek transmisi neuromuskular
Kelemahan otot rangka muncul akibat adanya gangguan pada proses
transmisi neuromuskular. Dalam kondisi normal, transmisi sinaptik pada
neuromuscular junction dimulai ketika sebuah potensial aksi mencapai terminal
prasinaptik dari neuron motorik, yang selanjutnya mengaktifkan kanal ion dan
memungkinkan ion kalsium memasuki neuron. Ion kalsium memicu pelepasan
neurotransmitter Ach dari neuron motorik ke dalam celah sinaptik yang kemudian
berdifusi melintasi celah sinaptik dan berikatan dengan reseptor nikotinik
asetilkolin pada post sinaps. Pengikatan asetilkolin ke reseptor dapat
mendepolarisasi serat otot, yang pada akhirnya akan menghasilkan kontraksi otot.
Pada MG, ada pengurangan jumlah AchRs yang tersedia di motor endplate,
sehingga depolarisasi yang terjadi pada motor endplate lebih sedikit dan tidak
dapat menimbulkan potensial aksi. Hal ini akhirnya mengakibatkan
tergangguanya transmisi neuromuskular.9
B. Autoantibodi
Autoantibodi yang paling sering ditemukan pada MG adalah antibodi
terhadap reseptor ACh nikotinik pada otot rangka. Antibodi AChR akan
mengaktifkan rangkaian komplemen yang menyebabkan trauma pada post-sinaps
permukaan otot. Selanjutnya antibodi AChR akan bereaksi silang dengan AChR
sehingga meningkatkan endositosis dan degradasi. Lalu antibodi AChR akan
menghambat aktivasi AChR dengan cara memblokade binding site AChR. atau
menghambat pembukaan kanal ion (Gambar 2.1).10
5

Gambar 2.1 Patofisiologi terjadinya Miastenia Gravis karena terjadi


kerusakan AChR oleh autoantibodi.11
Seperti AChR, MuSK adalah komponen transmembran di postsinaps NMJ.
MuSK berperan dalam perkembangan dan pemeliharaan NMJ khususnya pada
proses clustering dari AChRs. Antibodi yang menyerang MuSK dapat
menimbulkan berkurangnya AChRs di postsinaps, sehingga menganggu proses
berikatannya asetilkolin dengan reseptornya di postsinaps dan menggangu proses
transmisi neuromuskular. Setelah pengaktifan postsinaps, asetikolin biasanya
dihidrolisa oleh enzim asetikolinsterase (AChE), yang terletak pada celah sinaps
tapi terikat dengan MuSK pada membran postsinaps. Antibodi MuSK
6

menghambat ikatan MuSK pada AChE, yang dapat membuat rendahnya


akumulasi dari AChE. Proses ini dapat menjelaskan mengapa pasien dengan
antibodi positif MuSK miastenia gravis memiliki respon yang rendah pada AChE
inhibitor.11
C. Patologi timus
Pada kasus MG sering ditemukan abnormalitas pada timus. Antibodi
AChR dapat muncul dari germinal center pada timus. Sekitar 60% pasien
miastenia gravis dengan antibodi AChR positif mengalami pembesaran timus, dan
10 % mengalami timoma, yaitu tumor pada sel epitel timus. Sebagian besar
timoma memiliki kemampuan untuk memilih sel T yang mengenali AChR dan
antigen otot lainnya. Selain timoma, ditemukan juga hiperplasia timus folikular
pada pasien MG tipe awitan dini dan atropi timus pada pasien MG dengan awitan
lambat.12

2.4 TANDA DAN GEJALA


Umumnya MG memiliki ciri kelelahan dan kelemahan pada otot. Sering
kali pasien akan mengeluh kelemahan meningkat sepanjang hari, diperburuk
dengan aktivitas dan mengalami perbaikan dengan istirahat. Beberapa gejala MG
yaitu ptosis, diplopia, disartria, disfagia, serta kelemahan otot pernapasan dan
anggota gerak. Sekitar 50% pasien MG memiliki keluhan pada bagian okular.
Pasien lain dapat mengeluhkan gangguan pada pernapasan, disartria dan disfagia.
Kelemahan otot okular bisa terjadi bilateral dan asimetris serta dapat
menimbulkan diplopia, ptosis atau juga keduanya. Distribusi kelemahan yang
terjadi pada anggota gerak dan tubuh lebih banyak terjadi pada bagian proksimal
dibanding bagian distal. Otot kuadriseps, triseps, dan ekstensor leher umumnya
lebih dulu terkena.8
Gejala yang paling serius adalah gangguan pernapasan yang diakibatkan
kelemahan otot diafragma dan interkostal. Gejala MG yang sudah disertai
gangguan pernapasan dapat disebut sebagai krisis miastenik, dimana kondisi ini
membutuhkan ventilasi mekanik. Krisis miastenik adalah salah satu komplikasi
MG yang mengancam nyawa yang memerlukan perawatan intensif. Gejala
kelemahan yang terjadi pada MG dapat berkembang dalam beberapa menit hingga
7

hari serta dapat menimbulkan tetraparesis flaksid dan imobilitas, dispnea berat,
insufisiensi pernapasan, dan aspirasi. 13
Selain krisis miastenik, pasien yang menderita MG juga dapat mengalami
komplikasi lain, yaitu krisis kolinergik. Krisis kolinergik dapat terjadi akibat
stimulasi berlebihan pada reseptor nikotinik dan muskarinik yang terdapat pada
neuromuscular junction. Kondisi ini biasanya ditemukan pada pasien MG yang
menerima terapi acetylcholinesterase inhibitors dosis tinggi, pasien pasca anestesi
umum yang menerima acetylcholinesterase inhibitors dosis tinggi, dan pasien
yang terpapar bahan kimia seperti organofosfat (pestisida dan insektisida) yang
menyebabkan inaktivasi dari acetylcholinesterase. Akumulasi asetilkolin yang
berlebihan pada neuromuscular junction dan celah sinaps menyebabkan gejala
toksisitas muskarinik dan nikotinik. Efek muskarinik dari asetilkolin yaitu berupa
miosis pupil dan pandangan kabur. Pada sistem gastrointestinal dapat terjadi
gejala mual, muntah, dan diare. Pada sistem respirasi dapat terjadi
bronkokonstriksi dan bronkorrhea. Pada sistem kardiovaskular dapat
menimbulkan bradikardia. Efek muskarinik juga meningkatkan frekuensi dan
urgensi buang air kecil. Selain efek muskarinik, terdapat juga efek nikotinik yang
menimbulkan gejala seperti kelemahan otot (flaccid), hipertensi, dan takikardia.14
Miastenia gravis juga bisa terjadi pada wanita hamil. Miastenia gravis
pada wanita hamil bisa terjadi kapan saja pada trimester pertama, hingga trimester
ketiga. Miastenia gravis pada kehamilan lebih sering mengalami perburukan pada
trimester pertama dan 1 bulan setelah persalinan, sedangkan perbaikan gejala
biasanya ditemukan pada trimester kedua dan ketiga yang kemungkinan
berhubungan dengan kondisi imunosupresi akibat kehamilan yang bisanya terjadi
pada trimester ini. Penyebab utama terajadinya eksaserbasi miastenia gravis
selama kehamilan antara lain karena adanya hipoventilasi akibat kelemahan otot-
otot pernapasan dan peningkatan posisi diafragma, infeksi di masa puerpurium,
obat-obatan, serta stres saat proses persalinan dan pasca persalinan. 15
8

2.5 KLASIFIKASI
Berdasarkan Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA)
Miastenia Gravis (MG) dibagi menjadi 5 kelas berdasarkan gambaran klinis dan
tingkat keparahannya.8
a) Kelas I: Melibatkan kelemahan otot mata, termasuk kelemahan penutupan
mata. Semua kelompok otot lainnya normal.
b) Kelas II: Melibatkan kelemahan ringan otot selain otot mata. Kelemahan
otot mata dengan tingkat keparahan apa pun mungkin ada.
c) Kelas IIa: Melibatkan kelemahan dominan pada ekstremitas, otot aksial,
atau keduanya. Ini mungkin juga melibatkan otot-otot orofaringeal pada
tingkat yang lebih rendah.
d) Kelas IIb: Melibatkan sebagian besar orofaringeal, otot pernapasan, atau
keduanya. Ini dapat melibatkan anggota tubuh, otot aksial, atau keduanya
pada tingkat yang lebih rendah.
e) Kelas III: Melibatkan otot-otot selain otot mata. Kelemahan otot mata
dengan tingkat keparahan apa pun dapat terjadi.
f) Kelas IIIa: Melibatkan ekstremitas, otot aksial, atau keduanya secara
dominan. Otot orofaringeal dapat terlibat pada tingkat yang lebih rendah.
g) Kelas IIIb: Melibatkan orofaringeal, otot pernapasan, atau keduanya secara
dominan. Ekstremitas, otot aksial, atau keduanya dapat memiliki
keterlibatan yang lebih kecil atau sama.
h) Kelas IV: Melibatkan kelemahan parah pada otot yang terkena.
Kelemahan otot mata dengan tingkat keparahan apa pun dapat terjadi.
i) Kelas IVa: Melibatkan ekstremitas, otot aksial, atau keduanya secara
dominan. Otot orofaringeal dapat terlibat pada tingkat yang lebih rendah.
j) Kelas IVb: Melibatkan orofaringeal, otot pernapasan, atau keduanya
secara dominan. Ekstremitas, otot aksial, atau keduanya dapat memiliki
keterlibatan yang lebih kecil atau sama. Ini juga termasuk pasien yang
membutuhkan selang makanan tanpa intubasi.
k) Kelas V: Melibatkan intubasi dengan atau tanpa ventilasi mekanik, kecuali
bila digunakan selama manajemen rutin pascaoperasi.
9

Klasifikasi Osserman digunakan untuk mengetahui tingkat keparahan


penyakit MG, responsnya terhadap pengobatan dan mortalitasnya.16
a) Kelompok I MG Okular : Hanya menyerang otot-otot okular, disertai
ptosis dan diplopia.
b) Kelompok II A : MG umum ringan : Progres lambat, biasanya pada mata ,
kemudian menyebar ke otot-otot rangka dan bulbar. Sistem pernafasan
tidak terjejas. Respon terhadap otot baik.
c) Kelompok II B : MG umum sedang : Kelemahan hebat di otot-otot skelet
dan bulbar, respon terhadap obat tidak memuaskan
d) Kelompok III:MG fulminan akut : progres yang cepat dengan kelemahan
otot-otot rangka dan bulbar yang berat disertai mulai terserangnya otot-
otot pernafasan. Biasanya penyakit berkembang maksimal dalam waktu 6
bulan. Dalam kelompok ini, persentase thymoma paling tinggi. Respon
terhadap obat buruk.
e) Kelompok IV : MG berat lanjut : timbul paling sedikit 2 tahun sesudah
progress gejala-gejala kelompok I atau II. Respon terhadap obat buruk dan
mortalitas tinggi.

2.6 DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING


2.6.1 Diagnosis
Diagnosis miastenia gravis dapat ditegakkan melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis, keluhan pasien
seperti kelemahan yang terjadi secara fluktuatif dapat membantu dalam
penegakkan diagnosis. Pada miastenia gravis timbul keluhan yang cenderung
memberat setelah melakukan aktivitas dan membaik setelah istirahat. Pada
pemeriksaan fisik dapat dilakukan Tes Wartenberg (Gambar 2.2), dimana pasien
diminta untuk menatap objek di atas bidang antara kedua bola mata selama sekitar
lebih dari 30 detik, lama kelamaan akan timbul ptosis. Pasien juga dapat diminta
untuk berkedip secara terus menerus, maka lama kelamaan akan terjadi ptosis.
Selain itu, dapat dilakukan tes pita suara dengan cara meminta pasien untuk
menghitung dengan suara keras dari 1 hingga 100, lama kelamaan suaranya akan
10

bertambah lemah. Setelah pasien diminta untuk beristirahat, keluhan-keluhannya


ini akan membaik.17,18

Gambar 2.2 Tes Wartenberg 18


Pada keluhan ptosis, dapat dilakukan Ice Pack Test (Gambar 2.3), dengan
cara meletakkan ice pack selama 2-5 menit pada palpebra. Hasil positif
menunjukkan perbaikan gejala ptosis sebanyak 2 mm hingga lebih. Untuk
mengevaluasi adanya disartria dan gangguan pernapasan dapat dilakukan single
breath count test, dimana pasien diminta untuk menghitung dengan suara keras
setelah inspirasi maksimal. Jika pasien hanya dapat menghitung hingga kurang
dari 25 maka kemungkinan terjadi kelemahan pada otot pernapasan pasien.17, 18

Gambar 2.3 Ice pack test 18


Selain itu, untuk memastikan diagnosis Miastenia Gravis dapat dilakukan
beberapa tes, yaitu:
a. Uji Tensilon (edrophonium chloride)
Tes ini dilakukan dengan cara menyuntikkan 2 mg tensilon secara
intravena, dimana pada otot yang mengalami kelemahan seperti misalnya
pada otot kelopak mata, maka akan terjadi perbaikan pada ptosis. Apabila
tidak menunjukan reaksi, tensilon dapat disuntikkan lagi sebanyak 8 mg. Pada
uji ini kelopak mata yang lemah harus diperhatikan dengan seksama, karena
efektivitas tensilon sangat singkat.17-19
11

b. Uji Prostigmin (neostigmine)


Tes ini dilakukan dengan menyuntikkan 3cc atau 1,5 mg prostigmin
metilsulfat secara intramuskular (bila perlu, dapat diberikan atropine ¼ atau
½ mg). Setelah penyuntikkan, kelemahan yang disebabkan oleh miastenia
gravis akan membaik. 17-19
c. Uji Kinin
Tes ini dilakukan dengan cara memberikan pasien 3 tablet kinin masing-
masing 200 mg. 3 jam kemudian diberikan 3 tablet lagi masing-masing 200
mg per tablet. Kelemahan yang disebakan miastenia gravis akan bertambah
berat setelah pemberian kinin. Untuk uji ini, sebaiknya dipersiakan injeksi
prostigmin untuk mengatasi gejala-gejala miastenik yang bertambah berat.17-19

Selain itu, beberapa pemeriksaan penunjang lain juga dapat dilakukan untuk
membantu dalam penegakkan diagnosis miastenia gravis, antara lain:
1. Laboratorium
a. Anti-asetilkolin reseptor antibodi
Tes anti-asetilkolin resptor antibodi telah teruji sensitif dan spesifik dalam
mendiagnosis miastenia gravis. Hasil positif ditemukan pada 90% pasien
dengan miastenia generalisata, namun hanya 50%-70% yang menunjukkan
hasil positif pada miastenia gravis okuler. 17,18
b. Anti-muscle specific kinase (MuSK) antibodies
Pemeriksaan anti-MuSK umumnya ditemukan positif pada asien yang
seronegatif anti-AChR. Pasien dengan MG Anti-MuSk positif umumnya
mengalami kelemahan bulbar, leher, bahu, respiratori, lidah, dan atrofi
wajah tanpa adanya kelemahan okuler. Pasien-pasien anti-MuSK positif
pada umumnya tidak menunjukkan respon terhadap terapi inhibitor
asetilkolin esterase. 17,18
c. Anti-striated muscle (anti-SM) antibody
12

Hasil positif ditemukan pada sekitar 84% pasien yang menderita timoma
dalam usia kurang dari 40 tahun, sehingga merupakan salah satu tes yang
penting pada penderita miastena gravis. 17,18

2. Elektrodiagnostik
Pemeriksaan elektrodiagnostik dapat dilakukan untuk melihat defek pada
transmisi neuromuskular.17,18 Pemeriksaan ini dapat dilakukan melalui 2 teknik,
yaitu:
a. Single-fiber Electromyography (SFEMG)
Pemeriksaan ini menggunakan jarum single-fiber yang memiliki
permukaan kecil untuk merekam serat otot pasien. Pemeriksaan ini dapat
menunjukkan adanya inkonsistensi pada variasi interval atau blockade
total antara unit motoris dan serabut otot. 17, 18
b. Repetitive Nerve Stimulation (RNS)
Pada pemeriksaan ini, pasien diberikan impuls listrik untuk
menghasilkan kontraksi otot. Pada pasien myasthenia gravis akan terjadi
penurunan suatu potensial aksi akibat adanya penurunan jumlah
asetilkolin.17, 18
3. Radiologi
Pemeriksaan radiologi diakukan untuk mengidentifikasi adanya timoma.
Hasil negatif yang ditemukan pada pemeriksaan rontgen belum tentu dapat
menyingkirkan adanya timoma ukuran kecil, sehingga perlu dilakukan
pemeriksaan CT-scan untuk mengidentifikasi timoma. Selain itu, dapat pula
dilakukan pemeriksaan MRI untuk mencari penyebab defisit pada saraf otak
apabila diagnosis miastenia gravis tidak dapat ditegakkan dengan pemeriksaan
penunjang lainnya. 17, 18

2.6.2 Diagnosis Banding


Beberapa diagnosis banding untuk miasthenia gravis antara lain:
a. Munculnya ptosis atau strabismus kemungkinan dapat diakibatkan oleh
adanya lesi pada N. III yang dapat ditimbulkan oleh penyakit seperti
Meningitis basalis (tuberkulosa atau leutika), infiltrasi karsinoma
13

anaplastik dari nasofaring, aneurisma di sirkulus arteriosus Willis, paralisis


pasca difteri, dan pseudoptosis pada trakoma.19
b. Bila gejala yang muncul berupa diplopia transient maka kemungkinan
disebabkan oleh penyakit multiple sklerosis.19
c. Sindrom Eaton-Lambert (Lambert-Eaton Myasthenic Syndrome)
Penyakit ini menunjukkan gejala klinis yang hampir mirip dengan
miastenia gravis, namun lokasi kelainannya berbeda. Pada miastenia
gravis kelainan terjadi pada bagian post-sinaps sedangkan pada Sindrom
Eaton-Lambert kelainan terjadi pada bagian pre-sinaps.19 Adapun
perbedaan lainnya dapat dilihat pada tabel 2.1.18

Tabel 2.1. Perbedaan Miastenia Gravis dan Sindrom Eaton-Lambert 18

2.7 PENATALAKSANAAN
Sebelum memulai terapi pada miastenia gravis, beberapa faktor seperti
tingkat keparahan, distribusi, dan kecepatan perkembangan penyakit perlu
dipertimbangkan.17, 18 Pilihan terapi yang dapat diberikan antara lain:
a. Acetylcholinesterase inhibitors
Acetylcholinesterase inhibitors menghambat enzim asetilkolinesterase
sehingga dapat menurunkan proses degradasi asetilkolin. Hal ini akan
meningkatkan aktivitas asetilkolin pada celah sinaps sehingga dapat
berikatan dengan reseptornya yang berada di post-sinaps. Pemberian
acetylcholinesterase inhibitors efektif pada miastenia gravis golongan IIA
14

dan IIB sedangkan pada pasien krisis myasthenia gravis tata laksana
diberikan secara intravena di ICU. Pilihan terapinya antara lain
piridostigmin yang diberikan dengan dosis 30-120 mg per oral tiap 3 jam
atau neostigmine bromide 15-45 mg per oral tiap 3 jam. Efek samping yang
dapat timbul setelah pemberian acetylcholinesterase inhibitor antara lain
kontriksi pupil, kolik, diare, hipersalivasi, berkeringat, lakrimasi, dan
sekresi bronkial berlebihan, dimana gejala-gejala ini disebabkan karena
adanya stimulasi parasimpatis.17, 18
b. Kortikosteroid
Kortikosteroid merupakan suatu agen anti-inflamasi dan
imunomodulasi yang sering digunakan untuk mengobati penyakit idiopatik
dan gangguan autoimun. Kortikosteroid bekerja dengan menghambat
aktivasi sel T dengan cara menghalangi proses aktivasinya di inti sel.
Kortikosteroid akan menggangu fungsi sel monosit-makrofag dengan
menghambat pemrosesan antigen dan menurunkan jumlah sel T dalam
sirkulasi, sehingga antibodi yang menargetkan reseptor asetilkolin di post-
sinaps dapat berkurang. 17, 18
Kortikosteroid biasanya digunakan pada kasus miastenia gravis
sedang atau berat. Pilihan terapi kortikosteroid yang paling sering
digunakan yaitu prednison, dimana pemberian obat ini menunjukkan
perbaikan yang signifikan pada sebagian besar pasien miastenia gravis
okular dan generalisata. Respon pengobatan biasanya akan mulai muncul
dalam kurun waktu 2-3 minggu setelah inisiasi terapi. 17, 18, 20
Prednison diberikan sekali sehari secara selang-seling untuk
menghindari efek samping. Dimulai dengan dosis kecil (10 mg) dan
dinaikkan secara bertahap (5-10 mg/minggu) untuk menghindari
eksaserbasi. Pada kasus yang berat, prednison dapat diberikan dengan dosis
awal yang tinggi, setiap hari, dengan tetap memperhatikan efek samping.
Disarankan agar diberi tambahan preparat kalsium (1,5 gram/hari) dan
vitamin D (400-800 IU/hari). Apabila sudah ada perbaikan klinis maka
dosis diturunkan secara perlahan-lahan (5 mg/bulan) dengan tujuan
memperoleh dosis minimal yang efektif, lalu dilanjutkan dengan dosis
15

maintenance sebanyak 5 mg/hari. Perubahan pemberian prednison secara


mendadak harus dihindari. 17, 18, 20
c. Agen Imunosupresif
Agen imunosupresif seperti azatioprin dapat diberikan dengan dosis
2,5 mg/kg BB selama 8 minggu pertama. Obat ini memberikan hasil yang
baik dengan efek samping sedikit dibandingkan dengan steroid. Pemberian
obat ini bisa dikombinasikan dengan kortikosteroid sebagai steroid-sparing
medications. Perbaikan maksimal dicapai dalam waktu 1-2 tahun, karena
kerja azatioprin yang lebih lambat daripada kortikosteroid. 17, 18
d. Plasma Exchange
Pada plasma exchange plasma pasien dikeluarkan dan diganti dengan
fresh plasma atau albumin dengan tujuan untuk menghilangkan autoantibodi
terhadap reseptor asetilkolin. Pengobatan ini menghasilkan perbaikan
jangka pendek pada transmisi di neuromuscular junction sehingga dapat
meningkatkan kontraksi otot. Terapi ini efektif pada kondisi akut seperti
pada kasus krisis miastenik.17, 18
e. Intravenous Immunoglobulin (IVIG)
IVIG dapat digunakan sebagai terapi akut pada miastenia gravis
generalisata, maintenance therapy pada pasien dengan miastenia gravis
refrakter, juvenile MG, dan krisis miastenik. Dosis standar IVIG adalah 400
mg/kgBB/hari pada 5 hari pertama, dilanjutkan 1 gram/kgBB/hari selama 2
hari. IVIG dilaporkan memiliki keuntungan klinis berupa penurunan level
anti-asetilkolin reseptor yang dimulai sejak 10 hingga 15 hari sejak
dilakukan pemasangan infus Efek samping dari terapi dengan menggunakan
IVIG adalah flulike symdrome seperti demam, menggigil, mual, muntah,
sakit kepala, dan malaise dapat terjadi pada 24 jam pertama. Nyeri kepala
yang hebat, serta rasa mual selama pemasangan infus, sehingga tetesan infus
menjadi lebih lambat.17, 18
f. Timektomi
Pada pasien MG dengan kelainan timus dapat dilakukan operasi
timektomi. Timektomi dianggap sebagai prosedur yang efektif dalam
menangani miastenia gravis tipe generalisata pada pasien dengan usia
16

pubertas sampai 55 tahun. Pendekatan operatif yang digunakan adalah


suprasternal karena paling sedikit memunculkan efek nyeri postoperatif dan
lebih tidak invasif. Operasi ini bersifat elektif dan tidak untuk digunakan
pada pasien yang sedang dalam perburukan akut miastenia gravis. 17, 18

Sebagian besar pasien miastenia gravis yang dalam kondisi stabil dan tidak
menunjukkan gejala gangguan pada otot pernapasan dapat di rawat di ruang rawat
inap atau dilakukan rawat jalan serta diberikan terapi farmakologi berdasarkan
pilihan terapi di atas sesuai indikasi. Apabila pasien menunjukkan gejala
kelemahan otot berat dengan keterlibatan bulbar dan adanya gagal napas dengan
hiperkapnea serta berisiko terjadi aspirasi, maka pasien harus dirawat di ruang
perawatan intensif dan dipertimbangkan untuk dilakukan intubasi. Pada pasien
dengan gangguan pernapasan ringan tanpa disertai keterlibatan bulbar, sadar dan
orientasi baik, serta tidak hiperkapnea dapat diberikan terapi ventilasi noninvasif
seperti pemberian Continuous Positive Airway Pressure (CPAP) disertai tindakan
suction untuk membersihkan rongga oral pasien.20
Pada pasien miastenia gravis terdapat beberapa jenis obat yang perlu
dihindari pemberiannya karena dapat memperparah keluhan pasien, antara lain
immune checkpoint inhibitors, penicillamine, tyrosine kinase inhibitors dan
interferon yang dapat memicu de novo MG melalui proses perubahan homeostasis
sistem imun. Selain itu, beberapa jenis antibiotik, anti-aritmia (kelas Ia), obat
penurun kolesterol (statin), magnesium, sedatif dan analgesik (benzodiazepine),
anestesi dan neuromuscular blockers (d-tubocurarine, pancuronium,
pipecuronium, dan doxacurium), anti-psikotik (chlorpromazine, pimozide,
thioridazine, clozapine, olanzapine, haloperidol, quetiapine, long-acting
risperidone and olanzapine), litium, anti-konvulsan (carbamazepine, gabapentin,
pregabalin), kortikotropin (ACTH) dan kortison, serta toksin botulinum juga harus
dihidari karena memiliki efek yang dapat mengganggu transmisi neuromuskular
sehingga memperparah keluhan kelemahan pada pasien miastenia gravis dan
dapat menimbulkan MG-like symptoms pada pasien yang tidak menderita
miastenia gravis, contohnya pada pasien gagal ginjal. Golongan antibiotik yang
perlu dihindari pemberiannya pada pasien miastenia gravis yaitu golongan
17

makrolid (eritromisin, azitromisin), fluorokuinolon (ciprofloxacin, ofloxacin,


moxifloxacin, levofloxacin), aminoglikosida (neomycin, gentamycin,
tobramycin), dan penisilin (ampisilin).21

2.8 KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi akibat miastenia gravis dapat berupa infeksi
sekunder baik karena jamur, tuberkulosis dan pneumonia serta stress akibat
pengobatan jangka panjang. Pengobatan miastenia gravis yang panjang juga bisa
memberikan efek samping seperti penggunaan kortikosteroid yang berakibat
terjadinya osteoporosis, hipergikemia, katarak, penambahan berat badan yang
signifikan, hipertensi dan nekrosis avaskular dari panggul. Selain itu komplikasi
yang dapat terjadi lainnya yaitu terjadinya krisis kolinergik yang disebabkan oleh
acetilkolin yang berlebihan pada reseptor nikotinik dan muskarinik akibat
penggunaan cholinesterase inhibitor. Gejala dari krisis kolinergik ini dapat berupa
kram, lakrimasi, peningkatan saliva, kelemahan otot, fasikulasi otot, kelumpuhan,
diare dan penglihatan kabur.8

2.9 PROGNOSIS
Pasien miastenia gravis rata- rata bisa menjalani hidup secara normal
dengan bantuan pengobatan jangka panjang, namun sebagian dari pasien MG
dapat mengalami kelemahan otot yang intermitten yang menyebabkan pneumonia
aspirasi, mengalami efek samping obat bahkan berujung kematian. Resiko
kekambuhan dapat berkurang oleh beberapa faktor diantaranya usia kurang dari
40 tahun, timektomi yang dilakukan segera, dan pemberian obat prednisolon.
Namun, pasien dengan imunitas rendah memiliki resiko kekambuhan yang tinggi.8
BAB III
KESIMPULAN

Miastenia gravis (MG) adalah suatu kondisi autoimun yang menyebabkan


terjadinya kelemahan abnormal serta progresif pada seluruh atau sebagian otot
rangka yang sering digunakan secara berulang dan terus menerus disertai dengan
kelelahan saat melakukan aktivitas. Miastenia gravis ini disebabkan karena
adanya gangguan dari neuromuscular junction atau sinaps transmission.
Umumnya MG memiliki ciri kelelahan dan kelemahan pada otot, kelemahan
meningkat sepanjang hari, diperburuk dengan aktivitas dan mengalami perbaikan
dengan istirahat. Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA) membagi
MG menjadi 5 kelas berdasarkan gambaran klinis dan tingkat keparahan MG.
Menegakkan diagnosis Miastenia Gravis dapat dilakukan dengan beberapa tes,
yaitu Uji Tensilon, Uji Prostigmin dan Uji Kinin. diagnosis banding dari
miastenia gravis antara lain Meningitis basalis, multiple sclerosis dan Sindrom
Eaton-Lambert. Tatalaksana Miastenia gravis dapat diberikan
Acetylcholinesterase inhibitors, Kortikosteroid, Agen Imunosupresif, Plasma
Exchange, Intravenous Immunoglobulin (IVIG), Timektomi. Komplikasi yang
dapat terjadi berupa infeksi sekunder, efek samping seperti penggunaan
kortikosteroid dan krisis kolinergik. Pasien miastenia gravis rata- rata bisa
menjalani hidup secara normal dengan bantuan pengobatan jangka panjang.

18
19

DAFTAR PUSTAKA

1. Kamarudin S, Chairani L. TINJAUAN PUSTAKA: MIASTENIA


GRAVIS. Syifa’ MEDIKA. 2019;10(1):p63-71.
2. Hakim M, Tiara F, Yanuar A. Hubungan Kadar Antibodi Reseptor
Asetilkolin Dengan Derajat Keparahan Penyakit Miastenia Gravis di RS
Cipto Mangunkusumo. Neurona Jurnal. 2020;37(3).
3. Lenny, Hutagalung A F. Hubungan Kadar Antibodi Reseptor Asetilkolin
(AchR) Serum Dengan Severitas Miastenia Gravis. Universitas Andalas.
2020.
4. US Department of Health & Human Services. Myasthenia gravis. [serial
online] 2017 (Tersedia dari: http://www.
womenshealth.gov/a-z-topics/myasthenia-gravis.
5. Engel A. Miastenia gravis and miastenia syndromes. Annals of
Neurology. 2004;16(1):p519-534.
6. Fadel M, Yuliarni S, Lydia S. Gambaran Kualitas Hidup Pasien Miastenia
Gravis Di RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal Kesehatan Andalas.
2019;8(1):p43-49.
7. Gold C S, Hagenacker T, Melzer N, Ruck T. Understanding the burden of
refractory myasthenia gravis. SAGE Journal. 2019;12(1):p1-16.
8. Suresh A, Asuncion R. Myasthenia Gravis [Internet]. Ncbi.nlm.nih.gov.
2021 [cited 5 July 2021]. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK559331/
9. Koneczny I, Herbst R. Myasthenia Gravis: Pathogenic Effects of
Autoantibodies on Neuromuscular Architecture. Cells [Internet]. 2019
[cited 5 July 2021];8(7):671. Available from:
https://www.mdpi.com/2073-4409/8/7/
10. Cao M, Koneczny I, Vincent A. Myasthenia Gravis With Antibodies
Against Muscle Specific Kinase: An Update on Clinical Features,
Pathophysiology and Treatment. Frontiers in Molecular Neuroscience
[Internet]. 2020 [cited 9 July 2021];13. Available from:
https://www.frontiersin.org/articles/10.3389/fnmol.2020.00159/full
20

11. Yi J, Guptill J, Stathopoulos P, Nowak R, O’Connor K. B cells in the


pathophysiology of myasthenia gravis. Muscle & Nerve [Internet]. 2017
[cited 9 July 2021];57(2):172-184. Available:
https://www.frontiersin.org/articles/10.3389/fnmol.2020.00159/full
12. Cron M, Guillochon É, Kusner L, Le Panse R. Role of miRNAs in Normal
and Myasthenia Gravis Thymus. Frontiers in Immunology [Internet]. 2020
[cited 6 July 2021];11. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7297979/
13. Stetefeld H, Schroeter M. SOP myasthenic crisis. Neurological Research
and Practice. 2019;1(1).
14. Adeyinka A, Kondamudi NP. Cholinergic Crisis. Treasure Island (FL):
StatPearls Publishing; 2021 Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK482433/
15. Modi M, Bansal R, Goyal M. Management of myasthenia gravis during
pregnancy. Indian Journal of Pharmacology. 2018;50(6):302.
16. Malik Y, Dar J, Almadani A. Role of Myasthenia Gravis Auto-Antibodies
as Predictor of Myasthenic Crisis and Clinical Parameters. Journal of
Neurology and Neuroscience. 2019;10(1)
17. Jowkar A, Goldenberg W, K Shah A. Myasthenia Gravis: Practice
Essentials, Background, Anatomy [Internet]. Emedicine Medscape. 2018
[diakses pada: 8 July 2021]. Tersedia di:
https://emedicine.medscape.com/article/1171206-overview#a1
18. Jaber AL-Zwaini I, AL-Mayahi A. Introductory Chapter: Myasthenia
Gravis - An Overview. Selected Topics in Myasthenia Gravis. 2019
19. Ngoerah. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Saraf. 1st ed. Denpasar: Udayana
University Press; 2017.
20. Venkataramaiah S, Kamath S. Management of Myasthenia Gravis. J
Neuroanaesthesiol Crit Care. 2019;(6):153-159.
21. Sheikh S, Alvi U, Soliven B, Rezania K. Drugs That Induce or Cause
Deterioration of Myasthenia Gravis: An Update. Journal of Clinical
Medicine. 2021;10(7):1537.

Anda mungkin juga menyukai