Oleh:
Kadek Denik Suastini (2002612018)
Putu Srinata Dampati (2002612116)
Nicole Anne Teng Ai Ming (2002612128)
Ervina Cindranela (2002612170)
Pembimbing:
dr. Ni Putu Ayu Putri Mahadewi, M. Biomed, Sp. N
Oleh:
Kadek Denik Suastini (2002612018)
Putu Srinata Dampati (2002612116)
Nicole Anne Teng Ai Ming (2002612128)
Ervina Cindranela (2002612170)
Pembimbing:
dr. Ni Putu Ayu Putri Mahadewi, M. Biomed, Sp. N
i
MIASTENIA GRAVIS
Pembimbing,
Mengetahui,
Ketua Departemen / KSM Neurologi
FK UNUD / RSUP Sanglah Denpasar
DEPARTEMEN/KSM NEUROLOGI
PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER
FK UNUD/RSUP SANGLAH DENPASAR
ii
Lembar Persetujuan Pembimbing
Dosen Pembimbing
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena
atas karunia- Nya, tinjauan Pustaka yang berjudul “MIASTENIA GRAVIS” ini
dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Tinjauan Pustaka ini disusun dalam
rangka mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di Departemen / KSM Neurologi
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana / RSUP Sanglah Denpasar.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada
berbagai pihak yang telah membantu menyelesaikan tinjauan Pustaka sistematis
ini. Ucapan terima aksih penulis sampaikan kepada :
1. Dr. dr. I Made Oka Adnyana, Sp. S(K), selaku Ketua Departemen/KSM
Neurologi FK UNUD/ RSUP Sanglah Denpasar yang telah memfasilitasi dan
memberikan penulis kesempatan selama proses pembelajaran di bagian ini,
2. dr. Ida Ayu Sri Indrayani, Sp. S, selaku Penanggung Jawab Pendidikan
Dokter Muda Departemen/KSM Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah
Denpasar yang telah memberikan penulis kesempatan dan membantu penulis
selama proses pembelajaran di bagian ini,
3. dr. Ni Putu Ayu Putri Mahadewi, M. Biomed, Sp. N, selaku pembimbing
dalam pembuatan tinjauan sistematis ini yang telah memberikan saran, dan
masukan dalam penyempurnaan tinjauan sistematis ini, dan
4. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas dukungan dan
bantuan yang telah diberikan dalam penyelesaian laporan ini.
Penulis menyadari bahwa tinjauan sistematis ini jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dangan penulis harapkan.
Semoga tinjauan sistematis ini dapat memberikan sumbangan ilmiah dalam
masalah Kesehatan dan memberikan manfaat bagi masyarakat.
Penulis
iv
DAFTAR ISI
v
2.9 Prognosis …………………………..………………………...………………
17
BAB III KESIMPULAN …………...……………..………………...…………...
18
DAFTAR PUSTAKA ………………………….………………………………..
19
vi
BAB 1
PENDAHULUAN
1
berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik, dan prosedur konfirmasi
diagnostik.
1
2
2.1 DEFINISI
Miastenia gravis (MG) adalah suatu kondisi autoimun yang menyebabkan
terjadinya kelemahan abnormal serta progresif pada seluruh atau sebagian otot
rangka yang sering digunakan secara berulang dan terus menerus disertai dengan
kelelahan saat melakukan aktivitas. Miastenia gravis ini disebabkan karena
adanya gangguan dari neuromuscular junction atau sinaps transmission. Dalam
keadaan istirahat, kelemahan otot yang dirasakan penderita akan pulih kembali.5
2.2 EPIDEMIOLOGI
Miastenia gravis merupakan penyakit yang jarang ditemukan. Angka
insidennya 5,3 per 1.000.000 penduduk per tahun dan prevalensinya 77,7 per
1.000.000 penduduk per tahun.1 Jumlah pasien MG yang tercatat di Departemen
kesehatan Amerika Serikat diestimasikan sebanyak 5 hingga 14 dari 100.000
orang populasi pada seluruh etnis ataupun jenis kelamin. 6 Data akurat mengenai
angka kejadian MG di Indonesia belum ditemukan. Populasi terkait miastenia
gravis dapat dikatakan cukup kecil apabila dibandingan dengan jumlah seluruh
penduduk Indonesia. Meskipun dalam jumlah yang kecil, penderita tetap akan
merasakan berbagai dampak fisik maupun psikososial yang muncul akibat dari
proses perjalanan penyakit.7 Penyakit ini biasanya menyerang orang dalam rentang
usia 20 – 50 tahun. Dalam beberapa penelitian menyebutkan bahwa penyakit ini
dapat ditemukan baik pada laki-laki maupun perempuan dengan perbandingan
perempuan dibanding laki-laki yaitu 3:2.7 Angka kematian akibat MG berkisar
antara 0,06-0,89 per 1.000.000 penduduk per tahun.1
3
4
2.3 PATOFISIOLOGI
Miastenia Gravis (MG) adalah penyakit autoimun pada neuromuscular
junction (NMJ). Pada MG, autoantibodi menyerang komponen yang terdapat pada
NMJ, seperti acetylcholine receptors (AChR) dan muscle-specific kinase
(MuSKyang selanjutnya menimbulkan berbagai mekanisme patogen yang dapat
mengubah struktur jaringan dan mengurangi densitas atau fungsi AChR,
mengurangi transmisi neuromuskular, sehingga timbul kelemahan otot skeletal
yang parah.8 Patofisiologi MG terbagi menjadi 3 jalur mekanisme, yaitu:
A. Defek transmisi neuromuskular
Kelemahan otot rangka muncul akibat adanya gangguan pada proses
transmisi neuromuskular. Dalam kondisi normal, transmisi sinaptik pada
neuromuscular junction dimulai ketika sebuah potensial aksi mencapai terminal
prasinaptik dari neuron motorik, yang selanjutnya mengaktifkan kanal ion dan
memungkinkan ion kalsium memasuki neuron. Ion kalsium memicu pelepasan
neurotransmitter Ach dari neuron motorik ke dalam celah sinaptik yang kemudian
berdifusi melintasi celah sinaptik dan berikatan dengan reseptor nikotinik
asetilkolin pada post sinaps. Pengikatan asetilkolin ke reseptor dapat
mendepolarisasi serat otot, yang pada akhirnya akan menghasilkan kontraksi otot.
Pada MG, ada pengurangan jumlah AchRs yang tersedia di motor endplate,
sehingga depolarisasi yang terjadi pada motor endplate lebih sedikit dan tidak
dapat menimbulkan potensial aksi. Hal ini akhirnya mengakibatkan
tergangguanya transmisi neuromuskular.9
B. Autoantibodi
Autoantibodi yang paling sering ditemukan pada MG adalah antibodi
terhadap reseptor ACh nikotinik pada otot rangka. Antibodi AChR akan
mengaktifkan rangkaian komplemen yang menyebabkan trauma pada post-sinaps
permukaan otot. Selanjutnya antibodi AChR akan bereaksi silang dengan AChR
sehingga meningkatkan endositosis dan degradasi. Lalu antibodi AChR akan
menghambat aktivasi AChR dengan cara memblokade binding site AChR. atau
menghambat pembukaan kanal ion (Gambar 2.1).10
5
hari serta dapat menimbulkan tetraparesis flaksid dan imobilitas, dispnea berat,
insufisiensi pernapasan, dan aspirasi. 13
Selain krisis miastenik, pasien yang menderita MG juga dapat mengalami
komplikasi lain, yaitu krisis kolinergik. Krisis kolinergik dapat terjadi akibat
stimulasi berlebihan pada reseptor nikotinik dan muskarinik yang terdapat pada
neuromuscular junction. Kondisi ini biasanya ditemukan pada pasien MG yang
menerima terapi acetylcholinesterase inhibitors dosis tinggi, pasien pasca anestesi
umum yang menerima acetylcholinesterase inhibitors dosis tinggi, dan pasien
yang terpapar bahan kimia seperti organofosfat (pestisida dan insektisida) yang
menyebabkan inaktivasi dari acetylcholinesterase. Akumulasi asetilkolin yang
berlebihan pada neuromuscular junction dan celah sinaps menyebabkan gejala
toksisitas muskarinik dan nikotinik. Efek muskarinik dari asetilkolin yaitu berupa
miosis pupil dan pandangan kabur. Pada sistem gastrointestinal dapat terjadi
gejala mual, muntah, dan diare. Pada sistem respirasi dapat terjadi
bronkokonstriksi dan bronkorrhea. Pada sistem kardiovaskular dapat
menimbulkan bradikardia. Efek muskarinik juga meningkatkan frekuensi dan
urgensi buang air kecil. Selain efek muskarinik, terdapat juga efek nikotinik yang
menimbulkan gejala seperti kelemahan otot (flaccid), hipertensi, dan takikardia.14
Miastenia gravis juga bisa terjadi pada wanita hamil. Miastenia gravis
pada wanita hamil bisa terjadi kapan saja pada trimester pertama, hingga trimester
ketiga. Miastenia gravis pada kehamilan lebih sering mengalami perburukan pada
trimester pertama dan 1 bulan setelah persalinan, sedangkan perbaikan gejala
biasanya ditemukan pada trimester kedua dan ketiga yang kemungkinan
berhubungan dengan kondisi imunosupresi akibat kehamilan yang bisanya terjadi
pada trimester ini. Penyebab utama terajadinya eksaserbasi miastenia gravis
selama kehamilan antara lain karena adanya hipoventilasi akibat kelemahan otot-
otot pernapasan dan peningkatan posisi diafragma, infeksi di masa puerpurium,
obat-obatan, serta stres saat proses persalinan dan pasca persalinan. 15
8
2.5 KLASIFIKASI
Berdasarkan Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA)
Miastenia Gravis (MG) dibagi menjadi 5 kelas berdasarkan gambaran klinis dan
tingkat keparahannya.8
a) Kelas I: Melibatkan kelemahan otot mata, termasuk kelemahan penutupan
mata. Semua kelompok otot lainnya normal.
b) Kelas II: Melibatkan kelemahan ringan otot selain otot mata. Kelemahan
otot mata dengan tingkat keparahan apa pun mungkin ada.
c) Kelas IIa: Melibatkan kelemahan dominan pada ekstremitas, otot aksial,
atau keduanya. Ini mungkin juga melibatkan otot-otot orofaringeal pada
tingkat yang lebih rendah.
d) Kelas IIb: Melibatkan sebagian besar orofaringeal, otot pernapasan, atau
keduanya. Ini dapat melibatkan anggota tubuh, otot aksial, atau keduanya
pada tingkat yang lebih rendah.
e) Kelas III: Melibatkan otot-otot selain otot mata. Kelemahan otot mata
dengan tingkat keparahan apa pun dapat terjadi.
f) Kelas IIIa: Melibatkan ekstremitas, otot aksial, atau keduanya secara
dominan. Otot orofaringeal dapat terlibat pada tingkat yang lebih rendah.
g) Kelas IIIb: Melibatkan orofaringeal, otot pernapasan, atau keduanya secara
dominan. Ekstremitas, otot aksial, atau keduanya dapat memiliki
keterlibatan yang lebih kecil atau sama.
h) Kelas IV: Melibatkan kelemahan parah pada otot yang terkena.
Kelemahan otot mata dengan tingkat keparahan apa pun dapat terjadi.
i) Kelas IVa: Melibatkan ekstremitas, otot aksial, atau keduanya secara
dominan. Otot orofaringeal dapat terlibat pada tingkat yang lebih rendah.
j) Kelas IVb: Melibatkan orofaringeal, otot pernapasan, atau keduanya
secara dominan. Ekstremitas, otot aksial, atau keduanya dapat memiliki
keterlibatan yang lebih kecil atau sama. Ini juga termasuk pasien yang
membutuhkan selang makanan tanpa intubasi.
k) Kelas V: Melibatkan intubasi dengan atau tanpa ventilasi mekanik, kecuali
bila digunakan selama manajemen rutin pascaoperasi.
9
Selain itu, beberapa pemeriksaan penunjang lain juga dapat dilakukan untuk
membantu dalam penegakkan diagnosis miastenia gravis, antara lain:
1. Laboratorium
a. Anti-asetilkolin reseptor antibodi
Tes anti-asetilkolin resptor antibodi telah teruji sensitif dan spesifik dalam
mendiagnosis miastenia gravis. Hasil positif ditemukan pada 90% pasien
dengan miastenia generalisata, namun hanya 50%-70% yang menunjukkan
hasil positif pada miastenia gravis okuler. 17,18
b. Anti-muscle specific kinase (MuSK) antibodies
Pemeriksaan anti-MuSK umumnya ditemukan positif pada asien yang
seronegatif anti-AChR. Pasien dengan MG Anti-MuSk positif umumnya
mengalami kelemahan bulbar, leher, bahu, respiratori, lidah, dan atrofi
wajah tanpa adanya kelemahan okuler. Pasien-pasien anti-MuSK positif
pada umumnya tidak menunjukkan respon terhadap terapi inhibitor
asetilkolin esterase. 17,18
c. Anti-striated muscle (anti-SM) antibody
12
Hasil positif ditemukan pada sekitar 84% pasien yang menderita timoma
dalam usia kurang dari 40 tahun, sehingga merupakan salah satu tes yang
penting pada penderita miastena gravis. 17,18
2. Elektrodiagnostik
Pemeriksaan elektrodiagnostik dapat dilakukan untuk melihat defek pada
transmisi neuromuskular.17,18 Pemeriksaan ini dapat dilakukan melalui 2 teknik,
yaitu:
a. Single-fiber Electromyography (SFEMG)
Pemeriksaan ini menggunakan jarum single-fiber yang memiliki
permukaan kecil untuk merekam serat otot pasien. Pemeriksaan ini dapat
menunjukkan adanya inkonsistensi pada variasi interval atau blockade
total antara unit motoris dan serabut otot. 17, 18
b. Repetitive Nerve Stimulation (RNS)
Pada pemeriksaan ini, pasien diberikan impuls listrik untuk
menghasilkan kontraksi otot. Pada pasien myasthenia gravis akan terjadi
penurunan suatu potensial aksi akibat adanya penurunan jumlah
asetilkolin.17, 18
3. Radiologi
Pemeriksaan radiologi diakukan untuk mengidentifikasi adanya timoma.
Hasil negatif yang ditemukan pada pemeriksaan rontgen belum tentu dapat
menyingkirkan adanya timoma ukuran kecil, sehingga perlu dilakukan
pemeriksaan CT-scan untuk mengidentifikasi timoma. Selain itu, dapat pula
dilakukan pemeriksaan MRI untuk mencari penyebab defisit pada saraf otak
apabila diagnosis miastenia gravis tidak dapat ditegakkan dengan pemeriksaan
penunjang lainnya. 17, 18
2.7 PENATALAKSANAAN
Sebelum memulai terapi pada miastenia gravis, beberapa faktor seperti
tingkat keparahan, distribusi, dan kecepatan perkembangan penyakit perlu
dipertimbangkan.17, 18 Pilihan terapi yang dapat diberikan antara lain:
a. Acetylcholinesterase inhibitors
Acetylcholinesterase inhibitors menghambat enzim asetilkolinesterase
sehingga dapat menurunkan proses degradasi asetilkolin. Hal ini akan
meningkatkan aktivitas asetilkolin pada celah sinaps sehingga dapat
berikatan dengan reseptornya yang berada di post-sinaps. Pemberian
acetylcholinesterase inhibitors efektif pada miastenia gravis golongan IIA
14
dan IIB sedangkan pada pasien krisis myasthenia gravis tata laksana
diberikan secara intravena di ICU. Pilihan terapinya antara lain
piridostigmin yang diberikan dengan dosis 30-120 mg per oral tiap 3 jam
atau neostigmine bromide 15-45 mg per oral tiap 3 jam. Efek samping yang
dapat timbul setelah pemberian acetylcholinesterase inhibitor antara lain
kontriksi pupil, kolik, diare, hipersalivasi, berkeringat, lakrimasi, dan
sekresi bronkial berlebihan, dimana gejala-gejala ini disebabkan karena
adanya stimulasi parasimpatis.17, 18
b. Kortikosteroid
Kortikosteroid merupakan suatu agen anti-inflamasi dan
imunomodulasi yang sering digunakan untuk mengobati penyakit idiopatik
dan gangguan autoimun. Kortikosteroid bekerja dengan menghambat
aktivasi sel T dengan cara menghalangi proses aktivasinya di inti sel.
Kortikosteroid akan menggangu fungsi sel monosit-makrofag dengan
menghambat pemrosesan antigen dan menurunkan jumlah sel T dalam
sirkulasi, sehingga antibodi yang menargetkan reseptor asetilkolin di post-
sinaps dapat berkurang. 17, 18
Kortikosteroid biasanya digunakan pada kasus miastenia gravis
sedang atau berat. Pilihan terapi kortikosteroid yang paling sering
digunakan yaitu prednison, dimana pemberian obat ini menunjukkan
perbaikan yang signifikan pada sebagian besar pasien miastenia gravis
okular dan generalisata. Respon pengobatan biasanya akan mulai muncul
dalam kurun waktu 2-3 minggu setelah inisiasi terapi. 17, 18, 20
Prednison diberikan sekali sehari secara selang-seling untuk
menghindari efek samping. Dimulai dengan dosis kecil (10 mg) dan
dinaikkan secara bertahap (5-10 mg/minggu) untuk menghindari
eksaserbasi. Pada kasus yang berat, prednison dapat diberikan dengan dosis
awal yang tinggi, setiap hari, dengan tetap memperhatikan efek samping.
Disarankan agar diberi tambahan preparat kalsium (1,5 gram/hari) dan
vitamin D (400-800 IU/hari). Apabila sudah ada perbaikan klinis maka
dosis diturunkan secara perlahan-lahan (5 mg/bulan) dengan tujuan
memperoleh dosis minimal yang efektif, lalu dilanjutkan dengan dosis
15
Sebagian besar pasien miastenia gravis yang dalam kondisi stabil dan tidak
menunjukkan gejala gangguan pada otot pernapasan dapat di rawat di ruang rawat
inap atau dilakukan rawat jalan serta diberikan terapi farmakologi berdasarkan
pilihan terapi di atas sesuai indikasi. Apabila pasien menunjukkan gejala
kelemahan otot berat dengan keterlibatan bulbar dan adanya gagal napas dengan
hiperkapnea serta berisiko terjadi aspirasi, maka pasien harus dirawat di ruang
perawatan intensif dan dipertimbangkan untuk dilakukan intubasi. Pada pasien
dengan gangguan pernapasan ringan tanpa disertai keterlibatan bulbar, sadar dan
orientasi baik, serta tidak hiperkapnea dapat diberikan terapi ventilasi noninvasif
seperti pemberian Continuous Positive Airway Pressure (CPAP) disertai tindakan
suction untuk membersihkan rongga oral pasien.20
Pada pasien miastenia gravis terdapat beberapa jenis obat yang perlu
dihindari pemberiannya karena dapat memperparah keluhan pasien, antara lain
immune checkpoint inhibitors, penicillamine, tyrosine kinase inhibitors dan
interferon yang dapat memicu de novo MG melalui proses perubahan homeostasis
sistem imun. Selain itu, beberapa jenis antibiotik, anti-aritmia (kelas Ia), obat
penurun kolesterol (statin), magnesium, sedatif dan analgesik (benzodiazepine),
anestesi dan neuromuscular blockers (d-tubocurarine, pancuronium,
pipecuronium, dan doxacurium), anti-psikotik (chlorpromazine, pimozide,
thioridazine, clozapine, olanzapine, haloperidol, quetiapine, long-acting
risperidone and olanzapine), litium, anti-konvulsan (carbamazepine, gabapentin,
pregabalin), kortikotropin (ACTH) dan kortison, serta toksin botulinum juga harus
dihidari karena memiliki efek yang dapat mengganggu transmisi neuromuskular
sehingga memperparah keluhan kelemahan pada pasien miastenia gravis dan
dapat menimbulkan MG-like symptoms pada pasien yang tidak menderita
miastenia gravis, contohnya pada pasien gagal ginjal. Golongan antibiotik yang
perlu dihindari pemberiannya pada pasien miastenia gravis yaitu golongan
17
2.8 KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi akibat miastenia gravis dapat berupa infeksi
sekunder baik karena jamur, tuberkulosis dan pneumonia serta stress akibat
pengobatan jangka panjang. Pengobatan miastenia gravis yang panjang juga bisa
memberikan efek samping seperti penggunaan kortikosteroid yang berakibat
terjadinya osteoporosis, hipergikemia, katarak, penambahan berat badan yang
signifikan, hipertensi dan nekrosis avaskular dari panggul. Selain itu komplikasi
yang dapat terjadi lainnya yaitu terjadinya krisis kolinergik yang disebabkan oleh
acetilkolin yang berlebihan pada reseptor nikotinik dan muskarinik akibat
penggunaan cholinesterase inhibitor. Gejala dari krisis kolinergik ini dapat berupa
kram, lakrimasi, peningkatan saliva, kelemahan otot, fasikulasi otot, kelumpuhan,
diare dan penglihatan kabur.8
2.9 PROGNOSIS
Pasien miastenia gravis rata- rata bisa menjalani hidup secara normal
dengan bantuan pengobatan jangka panjang, namun sebagian dari pasien MG
dapat mengalami kelemahan otot yang intermitten yang menyebabkan pneumonia
aspirasi, mengalami efek samping obat bahkan berujung kematian. Resiko
kekambuhan dapat berkurang oleh beberapa faktor diantaranya usia kurang dari
40 tahun, timektomi yang dilakukan segera, dan pemberian obat prednisolon.
Namun, pasien dengan imunitas rendah memiliki resiko kekambuhan yang tinggi.8
BAB III
KESIMPULAN
18
19
DAFTAR PUSTAKA