Oleh:
Pembimbing:
Pembimbing,
Mengetahui,
Ketua Departemen/KSM Neurologi
FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar,
KATA PENGANTAR
iii
Om Swastyastu,
Puja dan puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat-
Nya tinjauan sistematis dengan judul “Terapi Magnessium Sulfat Pada Tetanus” ini selesai
pada waktunya. Tinjauan sistematis ini disusun sebagai salah satu syarat mengikuti
Kepaniteraan Klinik Madya di Departemen/KSM Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah
Denpasar.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah
membantu penyelesaian tinjauan sistematis ini. Ucapan terima kasih penulis sampaikan
kepada:
Penulis
iii
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL..................................................................................................i
LEMBAR PERSETUJUAN ..................................................................................ii
KATA PENGANTAR...........................................................................................iii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................10
2.1 Definisi Tetanus..................................................................................10
2.2 Epidemiologi Tetanus.........................................................................13
2.3 Etiologi Tetabus..................................................................................15
2.4 Patofisiologi Vertigo...........................................................................18
2.5 Manifestasi Klinis Vertigo………......................................................20
2.6 Diagnosis…………………………………………………………….22
2.7 Diangnosis Banding……………………………………………….....24
2.8 Penatalaksanaan……………………………………………………...25
2.9 Pencegahan…………………………………………………………..26
BAB III KESIMPULAN.........................................................................................27
DAFTAR PUSTAKA……….................................................................................28
iii
ABSTRAK
Tetanus adalah suatu penyakit akut yang disebabkan oleh neurotoksin (tetanospasmin)
yang dihasilkan oleh Clostridium tetani, yang berkembang pada keadaan anaerob seperti luka
yang kotor dan nekrotik. Pada manifestasi tetanus yang berat, penderita memerlukan perawatan
di ruang terapi intensif. Perawatan pasien tetanus di ruang terapi intensif memungkinkan
perawatan terpadu dan pemberian obat-obatan yang memerlukan pemantauan ketat untuk efek
sampingnya, diantaranya adalah magnesium sulfat. Artikel ini melaporkan salah satu kasus
tetanus generalisata yang dirawat di ruang terapi intensif rumah sakit umum pusat Sanglah
Denpasar, dapat melewati masa kritis dan memberikan hasil yang baik.
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Meskipun saat ini kasus tetanus jarang ditemukan di dunia barat, dengan jumlah hanya
35 kasus pada tahun 2000 di Amerika Serikat, tetanus tetap merupakan permasalahan yang
sering ditemukan di negara berkembang, dimana 80% kasusnya terjadi di Afrika dan Asia
Tenggara. Tetanus secara geografis lazim terjadi pada daerah pedesaan dengan kebersihan
lingkungan dan fasilitas kesehatan yang buruk. Tetanus terjadi di seluruh dunia dan masih
merupakan penyebab kematian yang penting dengan perkiraan jumlah kematian 800.000 –
1.000.000 orang per tahunnya. Pada negara berkembang sebagian besar kasus kematian karena
tetanus terjadi pada neonatus, dan tetanus pada neonatus adalah penyebab kematian kedua di
seluruh dunia pada penyakit-penyakit yang dapat dicegah melalui vaksinasi. Diperkirakan
kematian tetanus pada neonatus sebesar 248.000 kematian per tahun.
Di negara sedang berkembang seperti Indonesia, insiden dan angka kematian dari
penyakit tetanus masih cukup tinggi. Oleh karena itu tetanus masih merupakan masalah
kesehatan. Akhir–akhir ini dengan adanya penyebarluasan program imunisasi di seluruh dunia,
maka angka kesakitan dan angka kematian telah menurun secara drastis.
Tetanus tidak ditularkan dari pasien ke pasien. Infeksi terjadi bila spora C. tetani spores
masuk melalui luka akibat trauma, pembedahan dan injeksi atau luka kronik pada kulit, atau
lesi dan infeksi pada kulit kuli. Hal ini disebabkan oleh luka yang tidak mendpatkan perawatan
medis. 2 Periode inkubasi dari tetanus antara 3 sampai 21 hari (rata-rata 7 hari). Periode
inkubasi terpendek (<7 day). Keterlambatan penanganan di hubungkan dengan hasil yang fatal.
Karakteristik dari tetanus adalah muscle rigidity dan painful muscle spasms. Bentuk
tetanus secara umum, kekakuan dan nyeri pada saat membuka mulut (trismus or “lock jaw”)
dan atau leher, bahu dan otot perut. Bagian awal dari penyakit ini berupa spasme yang dipicu
oleh stimulus sensory seperti sentuhan, suara keras dan cahaya terang. Sebagai progres dari
penyakit ini kejang umum yang terjadi secara spontan (tetanospasms develop). Pada kasus
tanpa ketersediaan ventilator, kematian selalu di akibatkan oleh kegagalan repirasi. Autonomic
dysfunction, termasuk hypertension and tachycardia.
iii
Tetanus toxoid tersedia dalam vaksin antigen tunggal (TT), and dapat dikombinasikan
dengan diptheria toxoid dan/atau pertussis vaccine (DT, Td, DTwP, DTaP ordTap). Dosis pada
pediatric untuk vaksin diphtheria (D) dan pertussis (P) tidak direkomendasikan untuk
digunakan pada usia 7 tahun atau lebih, bagaimanapun DT dapat di
berikan untuk semua usia bila Td tidak tersedia. Tetanus dengan bradikardia dan hipotensi bisa
menunjukkan tetanus yang berat dan di hubngkan dengan prognosis yang buruk.
Untuk pasien tetanus yang berat sehingga membutuhkan ventilasi mekanik, kontrol
spasme dengan sedasi yang kuat dan obat-obatan dengan batas keamanan yang sempit seperti
magnesium sulfat, perawatan di ruang terapi intensif mutlak diperlukan. Magnesium sulfat
merupakan terapi tambahan yang efektif untuk memberikan sedasi, relaksasi dan mengontrol
gangguan otonom pada pasien tetanus.
Strategi terapi melibatkan tiga prinsip penatalaksanaan: organisme yang terdapat dalam
tubuh hendaknya dihancurkan untuk mencegah pelepasan toksin lebih lanjut; toksin yang
terdapat dalam tubuh, di luar sistem saraf pusat hendaknya dinetralisasi; dan efek dari toksin
yang telah terikat pada sistem saraf pusat diminimisasi.
Magnesium sulfat pada penanganan tetanus masih jarang digunakan. Observasi ketat
gejala overdosis obat ini serta kontrol kadar magnesium darah berkala adalah beberapa alasan
dari keterbatasan pemakaian obat ini. Laporan kasus ini diharapkan dapat semakin
meningkatkan penggunaan magnesium pada penanganan tetanus.
iii
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Tetanus adalah penyakit akut yang mengenai sistem saraf, yang disebabkan oleh
eksotoksin yang dihasilkan oleh bakteri Clostridium tetani. Ditandai dengan kekakuan dan
kejang otot rangka. Kekakuan otot biasanya melibatkan rahang (lockjaw), leher dan kemudian
menjadi seluruh tubuh.1 Gejala klinis tetanus hampir selalu berhubungan dengan kerja
eksotoksin (tetanospasmin) pada sinaps ganglion sambungan sumsum tulang belakang,
sambungan neuromuskular (neuro muscular junction) dan saraf otonom.2
2.2 Epidemiologi
Bakteri Clostridium tetani ditemukan di seluruh dunia, di tanah, pada benda mati, di
kotoran hewan, dan terkadang dalam kotoran manusia. Tetanus merupakan penyakit dominan
negara-negara belum berkembang, di negara-negara tanpa program imunisasi yang
komprehensif. Tetanus terutama terjadi pada neonatus dan anak-anak. Tetanus merupakan
penyakit target Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Expanded Program on Immunization.
Secara keseluruhan, kejadian tahunan tetanus adalah 0,5-1.000.000 kasus.3
Tetanus terjadi secara sporadis dan hampir selalu menimpa individu nonimun, individu
dengan imunitas penuh dan kemudian gagal mempertahankan imunitas secara adekuat dengan
vaksinasi ulangan. Walaupun tetanus dapat dicegah dengan imunisasi, tetanus
masih merupakan penyakit yang membebani di seluruh dunia. Pada tahun 2002, jumlah
estimasi yang berhubungan dengan kematian pada semua kelompok adalah 213.000, yang
terdiri dari tetanus neonatorum sebanyak 180.000 (85%). Tetanus neonatorum menyebabkan
50% kematian perinatal dan menyumbangkan 20% kematian bayi. Angka kejadian 6-7/100
kelahiran hidup di perkotaan dan 11-23/100 kelahiran hidup di pedesaan. Sedangkan
angka kejadian tetanus pada anak di rumah sakit 7-40kasus/tahun, 50% terjadi pada kelompok
5-9 tahun, 30% kelompok 1-4 tahun,18% kelompok > 10 tahun, dan sisanya pada bayi.
iii
Di Amerika Serikat sebagian besar kasus tetanus terjadi akibat trauma
akut, seperti luka tusuk, laserasi atau abrasi. Tetanus didapatkan akibat trauma di dalam rumah
atau selama bertani, berkebun dan aktivitas luar ruangan yang lain. Trauma yang
menyebabkan tetanus bisa berupa lukabesar tetapi dapat juga berupa luka kecil, sehingga pasien
tidak mencari pertolongan medis, bahkan pada beberapa kasus pasien tidak dapat
diidentifikasi adanya trauma. Tetanus dapat pula berkaitan dengan luka bakar, infeksi teling
tengah, pembedahan, aborsi, dan persalinan. Resiko terjadinya tetanus paling tinggi pada
populasi usia tua. Survey serologis skala luas terhadap antibodi tetanus dan difteri yang
dilakukan antara tahun 1988-1994 menunjukkan bahwa secara keseluruhan, 72% penduduk
AmerikaSerikat di atas 6 tahun terlindungi terhadap tetanus. Sedangkan pada anakantara 6-
11 tahun sebesar 91%, persentase ini menurun denganbertambahnya usia; hanya 30% individu
berusia di atas 70 tahun (pria 45%,wanita 21%) yang mempunyai tingkat antibodi yang
adekuat.2 Di Indonesia sendiri, belum ada jumlah pasti insiden kejadian tetanus.
2.3 Etiologi
Tetanus dapat diperoleh di luar ruangan serta dalam ruangan. Sumber infeksi biasanya
luka (sekitar 65% dari kasus), yang sering adalah luka kecil (misalnya, dari kayu atau logam
serpihan atau duri). Tetanus bisa menjadi komplikasi dari kondisi kronis seperti abses dan
gangren. Mungkin menginfeksi jaringan yang rusak oleh luka bakar, radang dingin, infeksi
telinga tengah, prosedur gigi atau bedah, aborsi, melahirkan, dan intravena (IV) atau subkutan
penggunaan narkoba. Selain itu, mungkin sumber biasanya tidak berhubungan dengan tetanus
meliputi intranasal dan benda asing lainnya dan lecet kornea. 3 Kuman yang menghasilkan
toksin adalah Clostridridium tetani, dengan ciri-ciri: 2
• Basil Gram-positif dengan spora pada pada salah satu ujungnya sehingga
membentuk gambaran pemukul genderang
• Obligat anaerob (berbentuk vegetatif apabila berada dalam lingkungan anaerob) dan
dapat bergerak dengan menggunakan flagella
iii
• Mampu membentuk spora (terminal spore) yang mampu bertahan dalam suhu tinggi
249,8 ° F (121 ° C) selama 10-15 menit.,kekeringan dan desinfektans.
• Kuman hidup di tanah dan di dalam usus binatang, terutama pada tanah di daerah
pertanian/peternakan. Spora dapat menyebar kemana-mana, mencemari lingkungan
secara fisik dan biologik. Spora mampu bertahan dalam keadaan yang tidak
menguntungkan selama bertahun-tahun, dalam lingkungan yang anaerob dapat
berubahmenjadi bentuk vegetative yang akan menghasilkan eksotoksin.2 idai
iii
Gambar 2.1 Clostridium tetani.4
Port d’entre tak selalu dapat diketahui dengan pasti, namun diduga melalui:
1. luka tusuk, patah tulang, komplikasi kecelakaan, gigitan binatang, luka bakar yang luas
2. Luka operasi, luka yang tak dibersihkan (debridemant) dengan baik
Otitis media, karies gigi, luka kronik
3. Pemotongan tali pusat yang tidak steril, pembubuhan puntung tali pusat dengan kotoran
binatang, bubuk kopi, bubuk ramuan dan daun-daunan adalah penyebab utama tetanus
neonatorum.
2.4 Patofisiologis
Racun yang diproduksi dan disebarkan melalui darah dan limfatik. Racun bertindak di
beberapa tempat dalam sistem saraf pusat, termasuk motor endplate, sumsum tulang belakang,
dan otak, dan di saraf simpatis.1 Transport terjadi pertama kali di saraf motorik, lalu ke saraf
sensorik dan saraf autonom. Jika toksin telah masuk ke dalam sel, ia akan berdifusi keluar dan
akan masuk dan mempengaruhi ke neuron di dekatnya. Apabila interneuron inhibitor spinal
terpengaruh, gejala-gejala tetanus akan muncul. Transpor interneuron retrogard lebih jauh
terjadi dengan menyebarnya toksin ke batang otak dan otak tengah. Penyebaran ini meliputi
transfer melewati celah sinaps dengan mekanisme yang tidak jelas.5
Toksin ini mempunyai efek dominan pada neuron inhibitori, dimana setelah toksin
menyebrangi sinaps untuk mencapai presinaps, ia akan memblokade pelepasan
neurotransmitter inhibitori yaitu glisin dan asam aminobutirat (GABA). Interneuron yang
iii
menghambat neuron motorik alfa yang pertama kali dipengaruhi, sehingga neuron motorik ini
kehilangan fungsi inhibisinya. Lalu karena jalur yang lebih panjang, neuron simpatetik
preganglion pada ujung lateral dan pusat parasimpatik juga dipengaruhi. Neuron motorik juga
dipengaruhi dengan cara yang sama, dan pelepasan asetilkolin ke dalam celah neuromuskular
dikurangi.5 Dengan hilangnya inhibisi sentral, terjadi hiperaktif otonom serta kontraksi otot
yang tidak terkontrol (kejang) dalam menanggapi rangsangan yang normal seperti suara atau
lampu.2,3 Spasme otot rahang, wajah dan kepala sering terlihat pertama kali karena jalur
aksonalnaya lebih pendek. Tubuh dan anggota tubuh mengikuti, sedangkan otot-otot
perifer tangan dan kaki relatif jarang terlibat.5
Setelah toksin menetap di neuron, toksin tidak dapat lagi dinetralkan dengan antitoksin.
Pemulihan fungsi saraf dari racun tetanus membutuhkan tumbuhnya terminal saraf baru dan
pembentukan sinapsis baru. Tetanus lokal berkembang ketika hanya saraf yang memasok otot
yang terkena terlibat. Genelized Tetanus terjadi ketika racun dirilis pada luka menyebar melalui
sistem limfatik dan darah ke terminal saraf.
iii
Gambar 2.2 Patofisiologis tetanus
Masa inkubasi berkisar antara 3 sampai 21 hari, biasanya sekitar 8 hari. Secara umum,
semakin pendek masa inkubasi angka kematian akibat tetanus kesempatan semakin tinggi.
Pada tetanus neonatal, gejala biasanya muncul 4-14 hari setelah lahir, rata-rata sekitar 7 hari.1
Ada beberapa jenis klinis tetanus, biasanya ditunjuk sebagai generalized, local, dan cephalic.
a. Generalized Tetanus ini adalah bentuk paling umum. Mungkin dimulai sebagai tetanus
lokal yang menjadi umum setelah beberapa hari, atau mungkin menyebar dari awal.
Trismus sering merupakan manifestasi pertama. Dalam beberapa kasus didahului oleh
rasa kaku pada rahang atau leher, demam, dan gejala umum infeksi. Kekakuan otot lokal
dan kejang menyebar dengan cepat ke otot bulbar, leher, batang tubuh, dan anggota
badan. Timbul gejala kekakuan pada semua bagian seperti trismus, risus sardonicus
(Dahi mengkerut, mata agak tertutup, sudut mulut tertarik ke luar dan ke bawah), mulut
mencucu, opistotonus (kekakuan yang menunjang tubuh seperti: otot punggung, otot
leher, otot badan, trunk muscle), perut seperti papan. Bila kekakuan semakin berat, akan
timbul kejang yang terjadi secara spontan atau direspon terhadap stimulus eksternal.
Pada tetanus yang berat terjadi kejang terus menerus atau kekuan pada otot laring yang
menimbulkan apnea atau mati lemas. Pengaruh toksin pada saraf otonom menyebabkan
gangguan sirkulasi (gangguan irama jantung atau kelainan pembuluh darah). Kematian
biasanya disebabkan oleh asfiksia dari laringospasme, gagal jantung, atau shock, yang
dihasilkan dari toksin pada hipotalamus dan sistem saraf simpatik.2,5,6 Terdapat trias klinis
berupa rigiditas, spasme otot dan apabila berat disfungsiotonomik.5\
b. Local Tetanus adalah bentuk yang paling jinak. Gejala awal adalah kekakuan, sesak,
dan nyeri di otot-otot sekitar luka, diikuti oleh twitchings dan kejang singkat dari otot
yang terkena. Tetanus lokal terjadi paling sering dalam kaitannya dengan luka tangan
atau lengan bawah, jarang di perut atau otot paravertebral. Bisa terjadi sedikit trismus
yang berguna untuk menegakkan diagnosis. Gejala dapat bertahan dalam beberapa
iii
Gambar 2.3 Trismus dan Risus sardonicus Gambar 2.4 Opistotonus
minggu atau bulan. Secara bertahap kejang menjadi kurang dan akhirnya menghilang
tanpa residu. Prognosis tetanus ini baik.1,3,5,6
c. Cephalic tetanus merupakan bentuk tetanus lokal pada luka pada wajah dan kepala.
Masa inkubasi pendek, 1 atau 2 hari. Otot yang terkena (paling sering wajah) menjadi
lemah atau lumpuh. Bisa terjadi kejang wajah, lidah dan tenggorokan, dengan disartria,
disfonia, dan disfagia. Banyak kasus fatal.6
Klasifikasi tetanus berdasarkan derajat panyakit menurut modifikasi dari klasifikasi Ablett’s
dapat dibagi menjadi IV diantaranya, yaitu
a. Derajat 1 (ringan): Trismus ringan sampai sedang, Kekakuan umum: kaku kuduk,
opistotonus, perut papan, tidak dijumpai disfagia atau ringan, tidak dijumpai kejang,
tidak dijumpai gangguan respirasi
b. Derajat II (sedang): Trismus sedang, rigiditas/kekakuan yang tampak jelas, spasme
singkat ringan sampai sedang, gangguan pernafasan sedang dengan frekuensi
pernafasan lebih dari 30 x/ menit disfagia ringan.
c. Derajat III (berat): Trismus berat, spastisitas generalisata: otot spastis, kejang
spontan,spasme reflex berkepanjangan frekuensi pernafasan lebih dari 40x/
menit, serangan apneu disfagia berat dan takikardia lebih dari 120.
iii
d. Derajat IV (sangat berat): derajat III ditambah dengan gangguan otonomik berat
melibatkan sistem kardiovaskuler. Hipertensi berat dengan takikardia terjadi
berselingan dengan hipotensi dan bradikardia, salah satunya dapat menetap.
2.6 Diagnosis
a. Anamnesa
Apakah dijumpai luka tusuk, luka kecelakaan atau patah tulang terbuka,
lukadengan nanah atau gigitan binatang?
Apakah pernah keluar nanah dari telinga?
Apakah sedang menderita gigi berlubang?
Apakah sudah mendapatkan imunisasi DT atau TT, kapan melakukan imunisasi
yang terakhir?
Selang waktu antara timbulnya gejala klinis pertama (trismus atau spasme lokal)
dengan kejang yang pertama.2
b. Pemeriksaan fisik
Trismus yaitu kekakuan otot mengunyah (otot maseter) sehingga sukar
membuka mulut. Pada neonatus kekakuan ini menyebabkan mulut mencucut
seperti mulut ikan, sehingga bayi tidak dapat menyusui. Secara klinis untuk
menilai kemajuan kesembuhan, lebar membuka mulut diukur setiap hari.
Risus sardonicus terjadi sebagai akibat kekakuan otot mimik, sehingga
tampak dahi mengkerut, mata agak tertutup dan sudut mulut tertarik keluar dan
ke bawah
Opistotonus adalah kekakuan otot yang menunjang tubuh seperti otot
punggung,otot leher, otot badan dan trunk muscle. Kekakuan yang sangat berat
dapatmenyebabkan tubuh melengkung seperti busur
Perut papan
iii
Bila kekakuan semakin berat, akan timbul kejang umum yang awalnya hanya
terjadi setelah dirangsang, misalnya dicubit, digerakkan secara kasar atau
terkena sinar yang kuat. Lambat laun masa istirahat kejang semakin pendek
sehingga anak jatuh dalam status konvulsivus.
Pada tetanus yang berat akan terjadi gangguan pernafasan sebagai akibat kejang
yang terus-menerus atau oleh kekakuan otot laring yang dapat menimbulkan
anoksia dan kematian. Pengaruh toksin pada saraf autonom menyebabkan
gangguan sirkulasi dan dapat pula menyebabkan suhu badan yang tinggi atau
berkeringat banyak. Kekakuan otot sfingter dan otot polos lain sehingga terjadi
retentio alvi, retentio urinae, atau spasme laring. Patah tulang panjang dan
kompresi tulang belakang.2
c. Laboratorium
Hasil pemeriksaan laboratorium untuk penyakit tetanus tidak khas, yaitu:
Lekositosis ringan
Trombosit sedikit meningkat
Glukosa dan kalsium darah normal
Enzim otot serum mungkin meningkat-
Cairan serebrospinal normal tetapi tekanan dapat meningkat 5
d. Penunjang lainnya
EKG dan EEG normal
Kultur anaerob dan pemeriksaan mikroskopis nanah yang diambil dari luka
dapat membantu, tetapi Clostridium tetani sulit tumbuh dan batang gram positif
berbentuk tongkat penabuh drum seringnya tidak ditemukan.
iii
2.7 Penatalaksanaan
Tujuan terapi ini berupa: Memulai terapi suportif, debridement luka untuk membasmi
spora dan mengubah kondisi untuk perkecambahan, menghentikan produksi toksin dalam luka,
menetralkan racun terikat, mengendalikan manifestasi penyakit dan mengelola komplikasi.3
a. Jika mungkin bangsal / lokasi yang terpisah harus ditunjuk untuk pasien tetanus. Pasien
harus ditempatkan di daerah yang teduh tenang dan dilindungi dari sentuhan dan
pendengaran stimulasi sebanyak mungkin. Semua luka harus dibersihkan dan debridement
seperti yang ditunjukkan.7
Dosis anti tetanus serum (ATS) yang dianjuran adalah 100.000 IU dengan50.000 IU
intramuskular dan 50.000 IU intravena. Pemberian ATS harus berhari-hati akan reaksi
anafilaksis. Pada tetanus anak pemeberian anti serum dapatdisertai dengan imunisasi aktif
DT setelah anak pulang dari rumah sakit.8
c. Pengobatan antibiotik :
lini pertama yang digunakan metronidazole 500 mg setiap enam jam intravena atau
secara peroral selama 7-10 hari.2-6 Pada anak-anak diberikan dosis inisial 15
mg/kgBB secara IV/peroral dilanjutkan dengan dosisi 30 mg/kgBB setiap enam jam
selama 7-10 hari.1
Lini kedua yaitu Penisilin G 1,2 juta unit/ hari selama 10 hari. 5(100.000-200.000
IU / kg / hari intravena, diberikan dalam 2-4 dosis terbagi).
Tetrasiklin 2 gram/ hari, makrolida, klindamisin, sefalosporin dan kloramfenikol
juga efektif 3,6,7
iii
d. Kontrol kejang: benzodiazepin lebih disukai. Untuk orang dewasa, diazepam intravena
dapat diberikan secara bertahap dari 5 mg, atau lorazepam dalam kenaikan 2 mg, titrasi
untuk mencapai kontrol kejang tanpa sedasi berlebihan dan hipoventilasi (untuk anak-
anak, mulai dengan dosis 0,1-0,2 mg / kg setiap 2-6 jam, titrasi ke atas yang diperlukan).
jumlah besar mungkin diperlukan (sampai 600 mg / hari). sediaan oral dapat digunakan
tetapi harus disertai dengan pemantauan hati untuk menghindari depresi pernafasan atau
penangkapan. Magnesium sulfat dapat digunakan sendiri atau dalam kombinasi dengan
benzodiazepin untuk mengendalikan kejang dan disfungsi otonom: 5 gm (atau 75mg /
kg) dosis intravena, kemudian 2-3 gram per jam sampai kontrol kejang dicapai. Untuk
menghindari overdosis, memantau refleks patela sebagai arefleksia (Tidak adanya
patela reflex) terjadi di ujung atas dari rentang terapeutik (4mmol / L). Jika arefleksia
berkembang, dosis harus dikurangi. agen lain yang digunakan untuk mengendalikan
kejang termasuk baclofen, dantrolen (1-2 mg / kg intravena atau dengan mulut setiap 4
jam), barbiturat, sebaiknya short-acting (100-150 mg setiap 1-4 jam di orang dewasa;
6-10 mg / kg pada anak-anak), dan chlorpromazine (50-150 mg secara intramuskular
setiap 4-8 jam pada orang dewasa; 4-12 mg intramuskular setiap 4-8 jam di anak-
anak).3,7
e. Kontrol disfungsi otonom: magnesium sulfat seperti di atas; atau morfin. Catatan: β-
blocker seperti propranolol digunakan di masa lalu tetapi dapat menyebabkan hipotensi
dan kematian mendadak; hanya esmalol saat ini dianjurkan.3,5-7
f. Kontrol pernafasan: obat yang digunakan untuk mengontrol kejang dan memberikan
sedasi dapat mengakibatkan depresi pernafasan. Jika ventilasi mekanik tersedia, ini
adalah kurang dari masalah; jika tidak, pasien harus dipantau dengan cermat dan dosis
obat disesuaikan . Kontrol disfungsi otonom sambil menghindari kegagalan pernafasan.
ventilasi mekanik dianjurkan bila memungkinkan. trakeostomi untuk mencegah
terjadinya apneu. 3,5-7
iii
g. Cairan yang memadai dan gizi harus disediakan, seperti kejang tetanus mengakibatkan
metabolisme yang tinggi tuntutan dan keadaan katabolik. dukungan nutrisi akan
meningkatkan kemungkinan bertahan hidup. 2-7
2.8 Pencegahan
Pencegahan sangat penting mengingat perawatan kasus tetanus sulit dan mahal.Untuk
pencegahan, perlu dilakukan:
a. Perawatan luka. Perawatan luka harus segera dilakukan terutama pada luka
tusuk,luka kotor atau luka yang diduga tercemar dengan spora tetanus. Terutama
perawatan luka guna mencegah timbulnya jaringan anaerob.
b. Pemberian ATS dan tetanus toksoid pada luka. Profilaksis dengan pemberianATS
hanya efektif pada luka baru (kurang dari 6 jam) dan harus segeradilanjutkan dengan
imunisasi aktif.
c. Imunisasi aktif. Imuniasi aktif yang diberikan yaitu DPT, DT, atau tetanustoksoid.
Jenis imuniasi tergantung dari golongan umur dan jenis kelamin. VaksinDPT
diberikan sebagai imunisasi dasar sebanyak 3 kali, DPT IV pada usia 18bulan dan
DPT V pada usia 5 tahun dan saat usia 12 tahun diberikan DT. Tetanustoksoid
diberikan pada setiap wanita usia subur, perempuan usia 12 tahun dan ibuhamil.
DPT atau DT diberikan setelah pasien sembuh dan dilanjutkan imuniasiulangan
diberikan sesuai jadwal, oleh karena tetanus tidak menimbulkankekebalan yang
berlangsung lama.2
a. Meningitis, ensefalitis. Pada ketiga diagnosis tersebut tidak dijumpai adanya trismus,
rhisus sardonikus, dijumpai gangguan kesadaran dan kelainan cairanserebrospinal.b.
b. Tetani disebabkan oleh hipokalsemia, secara klinik dijumpai adanya
spasmekarpopedal.
c. Rabies, dijumpai gejala hidrofobia dan kesukaran menelan, sedangkan waktu anamnesa
diketahui digigit binatang pada waktu epidemi.
iii
d. Trismus oleh karena proses lokal, seperti mastoiditis, OMSK, abses tonsilar,biasanya
asimetris.2
2.10 Komplikasi
sepsis,
bronkopneumonia akibat infeksi sekunder bakteri,
kekakuan otot laring dan otot jalan nafas,
aspirasi lendir/ makanan/ minuman,
patah tulang belakang (fraktur kompresi).2,5
2.11 Prognosis
Prognosis tergantung pada masa inkubasi, onset, jenis luka dan status imunitas pasien. 2,3
Sebuah skala rating telah dikembangkan untuk menilai tingkat keparahan tetanus dan
menentukan prognosis. Pada skala ini, 1 poin diberikan untuk masing-masing sebagai berikut.:
iii
Cephalic tetanus selalu parah atau sangat parah.
Tetanus neonatal selalu sangat parah.3
iii
BAB III
ILUSTRASI KASUS
Pasien NS, lelaki 50 tahun, suku Bali, pekerjaan tukang bangunan, masuk ruang terapi
intensif (RTI) tanggal 17 Agustus 2014. Pasien merupakan rujukan dari rumah sakit (RS)
daerah, datang dengan keluhan kaku pada mulut, perut, dan kaki sejak satu hari sebelum masuk
rumah sakit. Ketika mulai terjadi kaku, pasien langsung ke RS daerah, dan dari RS tersebut
langsung dirujuk ke RS Sanglah tanpa diberi obat. Pasien juga mengeluhkan kurang lebih dua
minggu sebelumnya kaki pasien terluka dan bengkak sebesar bola pingpong saat sedang bekerja
di proyek. Pasien mencoba minum obat herbal untuk menghilangkan bengkak (nama obat tidak
diketahui), namun bengkak tidak juga membaik. Pasien kemudian berkunjung ke layanan
kesehatan untuk disuntik. Pasien diberi suntikan dua kali di pantat (nama obat tidak diketahui).
Bengkak lama kelamaan menjadi bernanah, dan satu minggu yang lalu pecah, sehingga luka
dirawat di Puskesmas. Riwayat demam dan diabetes disangkal oleh pasien.
Pasien (60kg) masuk RTI dalam keadaan sadar penuh, tekanan darah 115/60 mmHg,
nadi 105x/mnt, laju nafas 14 x/menit, suhu 36,8°C, tidak ditemukan kelainan pada jantung,
paru, abdomen, dan sistem urogenital. Pada pemeriksaaan didapatkan trismus (buka mulut 1
cm), opistotonus (+). Terapi yang sudah diberikan di instalasi rawat darurat bedah sebelum
masuk RTI yaitu debridemen dan eksplorasi luka dengan lokal anestesi, serta injeksi tetagam
3000 IU (single dose).
Pasien dirawat selama 16 hari di RTI (17 Agustus 2014 - 2 September 2014). Pada hari
perawatan awal, pasien mendapatkan terapi nutrisi kombinasi enteral (Entramix 250 cc -300 cc
@ 4 jam per NGT - 1334 Kkal non- protein/24 jam , protein 50 - 60 gram/24 jam) dan
parenteral (Aminofusin L- 600 500 ml – 400 Kkal non protein/24 jam, protein 50 gram/24 jam)
untuk mencukupi kebutuhannya dalam 24 jam yaitu 1800 Kkal, protein 60-90 gram. Diit per
oral berupa susu entramix mulai diberikan mulai hari ke-12 perawatan. Kadar natrium dan
kalium normal selama perawatan.
Analgetik fentanyl 500-700 mcg/24 jam dimulai pada hari perawatan kedua sampai
dengan hari perawatan ke-14 untuk mengatasi nyeri akibat spasme pada pasien ini. Bolus
fentanyl 50 mcg serta midazolam 5 mg diberikan setiap prosedur perawatan dan fisioterapi pada
iii
pasien. Antibiotik yang diberikan adalah ceftriaxon 1 gram tiap 12 jam (10 hari) dan
metronidazole 500 mg tiap 8 jam (14 hari). Perawatan luka dilakukan 2 kali selama pasien
dirawat di RTI, dan didapatkan keadaan luka bersih dan kering.
Sedasi dan kontrol spasme yang diberikan adalah midazolam 5 mg/jam dengan target
richmond agitation and sedation scale (RASS) 0 s/d -2 namun pasien masih dalam keadaan
teragitasi dengan RASS > +2 dengan frekuensi spasme spontan > 10 kali dalam 5 menit. Dosis
midazolam kemudian dinaikan menjadi 10 mg/jam dengan RASS 0 s/d +1, frekuensi kejang
spontan masih berkisar 8-10 kali dalam 5 menit pada hari ketiga perawatan. Pemberian MgSO4
dengan bolus 5 gr dalam 20 menit dilanjutkan dengan kecepatan 1-2 gram/jam dimulai pada
hari ketiga untuk mengatasi disfungsi otonom yang terjadi (Hipertensi 130-150/90-100mmHg,
takikardi 110-140x/ menit, suhu axilla 37,2-38°C). Selama pemberian magnesium sulfat, sedasi
pasien berkisar pada RASS -1 s/d -2, produksi urin 1-2,3 ml/kg/jam, refleks patella +/+, kadar
magnesium 2,5 mg/dl (12 jam setelah terapi) dan 3,9 mg/dl (7 hari setelah pemberian terapi),
dan calcium 7,8 mg/dl.
Disfungsi otonom serta spasme pada pasien ini mulai berkurang setelah dari dosis
MgSO4 dinaikan 2 gram/jam, dengan spasme spontan yang terjadi 2-3 kali dalam 10 menit,
TD 90-130/60-80 mmHg, dan nadi 100-110 x/menit. Efek samping yang terlihat adalah tingkat
sedasi pasien dengan RASS -2, dan hipotensi dengan TD 90/60 mmHg. Saat itu, dosis MgSO4
diturunkan menjadi 1 gram/jam dengan penghentian sementara pada keesokan harinya (hari ke-
4 perawatan, hari ke-7 dari onset). Terapi MgSO4 dilanjutkan kembali dengan kecepatan 1
gr/jam (setelah dosis bolus) pada hari ke -8 s/d hari ke 10 perawatan karena disfungsi otonom
terjadi kembali, dan spasme spontan bertambah.
Fisioterapi dimulai pada hari awal (hari keempat perawatan) berupa fisioterapi dada,
dan pasien ini dikonsulkan pada departemen rehabilitasi medik setelah 7 hari perawatan, saat
spasme akibat rangsangan sudah berkurang. Pasien menggunakan kasur dekubitus selama
perawatan. Pemberian profilaksis deep vein thrombosis (DVT) diberikan sejak hari ke-4 yaitu
dengan heparin 5000 IU @ 12 jam, pemantauan kadar platelet (hari ke 5,8,10,13) dan faal
hemostasis pada hari ke-6 dan 11 perawatan. Sebagai anti ulserasi diberikan omeprazole dengan
dosis 40 mg @ 12 jam. Parameter pasien dipindahkan ke ruang rawat non-intensif dalam
iii
keadaan compos mentis, hemodinamik stabil, tidak demam, tidak ada spasme tanpa diberikan
sedasi.
iii
DISKUSI
Tatalaksana umum untuk pasien di RTI adalah kecukupan cairan dan nutrisi, menjaga
saluran nafas tetap bebas (bila pasien terintubasi lebih dari 10 hari trakeostomi sebaiknya
dilakukan),3,7 analgesia yang adekuat, mengurangi dan mengatasi spasme dengan pemberian
sedasi (diazepam atau midazolam) maupun magnesium sulfat (beberapa studi menyarankan
penggunaan propofol untuk sedasi), pencegahan tromboemboli, sandaran kepala maupun
profilaksis ulkus akibat stress (stress ulcer prophylaxis). Magnesium sulfat menghambat
presinaps neuromuskuler, pelepasan katekolamin dari saraf dan medulla adrenal, serta
mengurangi respon reseptor terhadap katekolamin. Dengan mengantagonis metabolisme
kalsium, overdosis magnesium sulfat menyebabkan kelemahan dan paralisis otot. Obat ini
dapat digunakan dengan atau tanpa kombinasi dengan benzodiazepine untuk mengontrol
spasme dan disfungsi otonom dengan dosis awal intravena 5 gram (75 mg/kg) diteruskan
dengan peningkatan 2-3 gram per jam hingga tercapai kontrol spasme. Untuk menghindari
overdosis maka diperlukan pemantauan refleks patella; dimana hilangnya refleks patella akan
terjadi pada batas atas kadar magnesium yaitu 4 mmol/L, jika arefleksia ini terus terjadi, dosis
terapi harus diturunkan.
Selain tatalaksana umum diatas, untuk pasien tetanus perlu mendapatkan anti tetanus
serum (100,000 IU) atau human tetanus immunoglobulin (HTIG) (3,000-6,000IU im);
intravenous Immunoglonulin (IVIG) yang mengandung antitoksin tetanus dapat digunakan jika
HTIG tidak tersedia. Pemberian antibiotika berguna untuk mengurangi kuman C. tetani.
Antibiotika yang direkomendasikan adalah metronidazole (15 mg/ kgbb IV tiap 6 jam) selama
7-10 hari; dan sebagai lini kedua, penisilin prokain 50,000-100,000 U/ kgBB/hari dapat
diberikan selama 7-10 hari.
iii
BAB IV
KESIMPULAN
Tetanus adalah penyakit akut yang mengenai sistem saraf, yang disebabkan oleh
eksotoksin yang dihasilkan oleh bakteri Clostridium tetani. Ditandai dengan kekakuan dan
kejang otot rangka. Gejala klinis tetanus hampir selalu berhubungan dengan kerja eksotoksin
(tetanospasmin) pada sinaps ganglion sambungan sumsum tulang belakang, sambungan
neuromuskular (neuro muscular junction) dan saraf otonom.
Melihat dari penanganan yang sudah dilakukan, tatalaksana tetanus di ruang intensif
pada pasien ini telah sesuai dengan panduan/teori yang ada. Penyulit utama pada pasien tetanus
adalah penanganan disfungsi otonom dan komplikasi tirah baring lama yang sering terjadi.
Pemberian MgSO4 yang dikombinasikan dengan midazolam dapat mengurangi disfungsi
otonom dan mengontrol kejang dengan lebih baik, namun memerlukan pemantauan dan kontrol
yang lebih ketat.
iii
DAFTAR PUSTAKA
Elias Abrutyn: Tetanus. Dalam : Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS, Longo DL, Hauser SL,
Jameson JL, penyunting. Principles of lnternal Medicine, volume 2, ed. 17 th, New
York: McGrawHill. Inc; 2008 h. 840-842. 2.
Hinfey PB, dkk. Tetanus. 2008 [diakses: 26 Agustus 2014].Diunduh dari:
www.emedicine.medscape.com/ article/229594. 3.
Lubis CP. Penatalaksanaan Tetanus Pada Anak. Revisi 2008. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia; 2008. 4.
Clark TA. Tetanus Surveillance – United States 20012008.2011. [diakses: 26 Agustus 2014].
Diunduh dari:http://www.medscape.com/viewarticle/740555. 5.
Quasim Seema. World Anesthesia Tutorial of the Week: Management of
Tetanus.2011.[diakses: 26 Agustus 2014]. Diunduh
dari:www.anesthesiauk.com/worldanesthesia 6.
NN. Current recommendations for treatment of tetanus during humanitarian emergencies.
WHO; 2010. 7.
Patrick B dkk. Tetanus Treatment and Management. Last updated Mar 26, 2014. [diakses: 27
Agustus 2014]. Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/ article/229594-
treatment#showall.
iii