Nama
Pembimbing
Seorang laki-laki usia 43 tahun, dirawat di Ruang Perawatan Ilmu Penyakit Saraf (R. Angsana) RSHS Bandung
pada tanggal 28 Juli 14 Agustus 2015 dengan Diagnosis Kerja Tetanus Umum grade III, Neglected Vulnus
Punctum a/r cruris sinistra. Pasien pulang dengan Diagnosis Akhir Tetanus Umum grade III + Disotonom
perbaikan, Neglected Vulnus Punctum a/r cruris sinistra post debridement, Stress Ulcer Perbaikan.
I. ANAMNESIS
KU
Abdomen
Extremitas
Pulmo/ VBS kiri=kanan, ronkhi -/- , wheezing -/: Perut papan (+) hepar dan lien sdn, BU (+) normal
: Edema -/- , sianosis -/-
Status lokalis:
Status lokalis: a/r cruris sinistra: pada 1/3 medial tampak luka insisi terjahit, panjang 2cm, edema
(-), hematome (-), Nyeri tekan (+).
III.
STATUS NEUROLOGIS
RM
: Kuduk Kaku (+), KK sdn, L/K tidak terbatas, B I/II/III/IV (-/-/-/-)
SO
: Pupil bulat isokor, ODS 3 mm, RC +/+
Fc : papil batas tegas. A/V 2/3, Perdarahan (-). Eksudat (-).
GBM
: baik ke segala arah
NVII
: Simetris. Risus Sardonicus (+)
NXII
: sdn. Trismus (+)
Motorik
: lateralisasi (-) 5/5
5/5
Sens/Veg/FL : baik/baik/baik
RF
: BTR (+/+) KPR (+/+) APR (+/+)
RP
: -/Tanda tetanus
Trismus (+) < 1 jari
Risus Sardonicus (+)
Opistotonus (+)
Perut papan (+)
Kejang spontan (+)
Kejang rangsang (+)
Tanda disotonom
Unstable BP (-)
Tachycardia (+)
Tachypneu (-)
Hiperhidrosis (+)
Kriteria Pattel Joag
Spasme lokal (+)
Spasme umum (+)
Inkubasi < 7 hari (-)
Onset < 48 jam (+)
Demam (-)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hb
Leukosit
Hematokrit
trombosit
ureum
kreatinin
GDS
Na
K
Ca
Mg
Ro. Thorax :
Nilai normal)
13,5-14 mg/dL
4400-1100/mm3
40-45%
150-450000/mm3
<140
4,7-5,2 mg/dL
1,7-2,55 mg/dL
14,9
9.200
42
306.000
58
0,76
108
133
4,0
4,99
2,34
Ro STL : dbn
EKG
: Irama Sinus, Axis Normal, HR = 82x/mnt axis normal, P wave 0.08, 0,1 mv, PR
Interval 0,16, QRS kompleks 0,08, Q Patologis (-), ST Segmen Isoelektrik, LVH (-), T
Inverted (-). QTc Interval: 0,38. DK/ EKG: Sinus Rhythm
Konsul bagian Bedah: dk/ Neglected Vulnus Laceratum a/r cruris sinistra
Th/ Debridement luka dengan cross incision dan cuci dengan betadine +H2O2
Konsul bagian THT: dk/: Tetanus umum grade 3
Th/: Acc Trakeostomi.
Konsul bagian Penyakit dalam: Saat ini tidak ditemukan tanda-tanda miokarditis.
Dk/ sesuai TS Neuro
IV. DIAGNOSIS KERJA
Tetanus Umum grade III + Disotonom
Neglected Vulnus Punctum a/r cruris sinistra
V. TERAPI
Tindakan
Th/
Bedrest, NGT, Kateter
O2 3l/min
IVFD RL : D5%
2000cc/24 jam
Diet Cair
2000kkal/NGT/hari
Metronidazole
3x500mg I.V
Ceftriaxone 2x1gr IV
Diazepam drip 20
amp/24 jam
Ranitidine 2x1 amp
IV
Paracetamol
3x500mg/NGT
Propanolol
3x10mg/NGT
R/ Trakeostomi -----Keluarga pasien masih
menolak
Tanda disotonom
Unstable BP (-)
Tachycardia (+)
Tachypneu (-)
Hiperhidrosis (+)
Hasil Lab:
Hb
Ht
Leukosit
Trombosit
Troponin T
Na
Kalium
Ureum
Kreatinin
14,3
41
6800
363.000
negatif
132
3,9
28
0,71
Dk/ Tetap
30 Juli
2015
Rawat
3
Th/
TD : 110/70
N = HR = 96x/mnt
RR : 22 x/mnt ;
S : 37,0C
Status Neurologis : S.q.a
Tanda tetanus
Trismus (+) 1 jari
Risus Sardonicus (+)
Opistotonus (+)
Perut papan (+)
Kejang spontan (+)
Kejang rangsang (+)
Tanda disotonom
Unstable BP (-)
Tachycardia (-)
Tachypneu (-)
Hiperhidrosis (+) <<
31 Juli-2
Agustus
2015
Rawat
4-6
Dk/
Tetanus Umum grade III + Disotonom post TC
Neglected Vulnus Punctum a/r cruris sinistra
S = Kejang spontan frekuensi berkurang
NGT hitam
O=
Kesadaran : Composmentis
TD : 110/70
N = HR = 96x/mnt
RR : 22 x/mnt ;
S : 37,0C
Status Neurologis : S.q.a
Tanda tetanus
Trismus (+) 1 jari
Risus Sardonicus (+)
Opistotonus (+)
Perut papan (+)
Kejang spontan (+)
Kejang rangsang (+)
Tanda disotonom
Unstable BP (-)
Tachycardia (-)
Tachypneu (-)
Hiperhidrosis (+) <<
Dk/
3-9
Agustus
2015
Rawat:
7-13
Th/
Bedrest, NGT, Kateter
O2 3l/min
IVFD RL : D5%
2000cc/24 jam
Diet Cair
2000kkal/NGT/hari
Metronidazole
3x500mg I.V
Ceftriaxone 2x1gr IV
Diazepam drip 20
amp/24 jam --Diazepam injeksi
kosong persediaan.
Ganti Diazepam oral
8x10mg/NGT
Omeprazole 2x40mg
IV
Sucralfate
4x10cc/NGT
Paracetamol
3x500mg/NGT
Propanolol
3x10mg/NGT
Suction efektif berkala
Th/
Bedrest, NGT, Kateter
O2 3l/min
IVFD RL : D5%
2000cc/24 jam
Diet Cair
Tanda disotonom
Unstable BP (-)
Tachycardia (-)
Tachypneu (-)
Hiperhidrosis (+) <<
Dk/
10-12
Agustus
2015
Rawat
14-16
Tanda disotonom
Unstable BP (-)
Tachycardia (-)
Tachypneu (-)
Hiperhidrosis (-)
DK/ tetap
Rawat
17-18
13-14
Agustus
Th/
2000kkal/NGT/hari
Metronidazole
3x500mg I.V
Ceftriaxone 2x1gr IV
Diazepam
8x5mg/NGT
Omeprazole 2x40mg
IV
Sucralfate
4x10cc/NGT
Paracetamol
3x500mg/NGT
Suction efektif berkala
Mobilisasi duduk
Aff NGT
Aff Kateter
Aff Infus
Diet lunak
2000kkal/NGT/hari
Diazepam
8x5mg/NGT
Paracetamol
3x500mg/NGT
Latihan buka tutup
trakeostomi ---- jika
baik 2x24 jam R/
Dekanulasi
Th/
Diet lunak
2000kkal/NGT/hari
Diazepam
6x5mg/NGT
Paracetamol
3x500mg/NGT
Dekanulasi di poli
THT
Pasien Pulang perbaikan
tanggal 14 Agustus 2015
Diazepam 3x6mg
Cefixime 2x100mg PO
Paracetamol 3x500mg PO
Ranitidine 2x1tab
IX. Prognosis
X. ANJURAN
Minum obat teratur, kontrol ke Poli Saraf
XI. PERMASALAHAN
1.
2.
fokus infeksi?
3.
Bagaimana tatalaksana pada pasien ini?
4.
Apa saja komplikasi pada tetanus?
XII. PEMBAHASAN
1. Bagaimana dasar diagnosis pada pasien ini?
Pasien datang dengan dengan keluhan utama kejang seluruh tubuh. Diagnosis banding
yang perlu dipikirkan adalah tetanus, kejang epileptik. Pada kejang epileptik dengan
bentuk umum (kejang seluruh tubuh) biasanya diikuti dengan gangguan kesadaran, namun
tidak didapatkan pada pasien ini. Selain itu pada kejang epileptik tidak diikuti gejala-gejala
seperti trismus, opistotonus ataupun risus sardonicus seperti pada tetanus yang didapatkan
pada pasien ini. Pasien ini juga awalnya mengeluh sulit membuka mulut. Differential
diagnosis yang harus dipikirkan pada pasien dengan keluhan utama trismus adalah adanya
tetanus, infeksi pada gigi dan mulut, fraktur mandibula, zygomatikum, tumor rongga
mulut, dll. Pada pasien ini riwayat trauma tidak didapatkan, benjolan pada rongga mulut
tidak didapatkan. Keluhan sulit membuka mulut juga disertai kekakuan pada otot bagian
leher dan perut sehingga dapat dipikirkan kemungkinan adanya tetanus.1
Diagnosis tetanus didasarkan pada gejala klinis. Masa inkubasi bervariasi antara 3
samapi 21 hari, biasanya sekitar 8 hari. Tergantung pada lokasi dan jarak antara luka
dengan sistem saraf sehingga lokasi luka yang jauh dapat menyebabkan masa inkubasi
yang lebih lama. Masa inkubasi yang pendek mempunyai angka kematian yang cukup
tinggi.2,5
Pada pasien ini, awalnya didapatkan keluhan sulit membuka
mulut yang disertai perut tegang dan keras seperti papan dan 3
dipergunakan,
yaitu Patel Joag, Abletts dan Udwandia. 2,3 Penentuan derajat penyakit pada
gerak) dengan frekuensi 10x/jam. Masa inkubasi pada pasien ini
tetanus
penting
dilakukan
untukdimana
menentukan
prognosis
dan menentukan
seberapa
agresif
adalah
sekitar
10hari,
masa
inkubasi
adalah waktu
yang
terapi
yang mesti bagi
dilakukan.
dibutuhkan
Clostridium tetani mulai dari terjadi luka hingga
Kriteria
Pattel Joag, yaitu:
menimbulkan
gejala klinis yang pertama. Periode onset pada
pasien ini 1 hari, dimana periode
onset adalah waktu yang
Kriteri
Keterangan
dibutuhkan
dari mulai terjadinya gejala klinis yang pertama
a
1
trismus
hingga
timbulnya spasme otot. (Keluhan sulit membuka mulut
2
3
4
5
Keterangan
t
I
II
Ringan
Sedang
III
Berat
Sangat
IV
berat
V
: (-)
Keterangan
kasus tanpa disfagia dan gangguan respirasi
kasus dengan spastisitas nyata, gangguan menelan (disfagia dan
Berat
Sangat
gangguan respirasi)
kasus dengan spastisitas berat disertai spasme berat
sama dengan tingkat III disertai adanya aktifitas simpatis
berat
berlebihan
(disotonom)
Udwandia (1994) memodifikasi kriteria Abletts diatas serta membagi penyakit tetanus
dalam 4 tingkat, yaitu3 :
Tingkat
I
Ringan
Keterangan
trismus ringan dan sedang dengan kekakuan umum. Tidak
disertai
II
Sedang
Berat
IV
Sangat
berat
Kriteria
Udwandia
memenuhi
tingkat
karena
didapatkan
keluhan
trismus
berat
2. Bagaimana
patogenesis
Tetanus
pada pasien
ini?disertai spasme dan kejang
spontan Tetanus
yang diikuti peningkatan aktivitas saraf otonom yaitu
Patofisiologi
11
Contohnya,
tetanus yang hanya
melibatkan satu
tungkai.
Pada
kondisi
ini
toksin mencapai
medula spinalis
melalui jalur saraf
regional.
2. Tetanus sefalik
Tetanus
yang
diawali
luka
trauma kepala.
Toksin mencapai
nuklai mototrik
batang
otak
melalui regional
axonal pathway.
3. Tetanus
ascending
Tetanus
yang
awalnya
menyerang
tungkai
lalu
menyebar
ke
seluruh
tubuh.
Pada kondisi ini
kemungkinan
besar
toksin
masuk
melalui
jalur
saraf
regional
lalu
menyebar
ke
jalur saraf umum.
4. Tetanus umum
Tetanus yang secara cepat menyerang seluruh tubuh. Dikenal juga sebagai
descending tetanus. Diawali dengan trismus, lalu otot-otot wajah dan leher, batang
tubuh dan ekstremitas. Pada kondisi ini toksin menyebar melalui jalur persarafan
umum menuju SSP, dengan panjang persarafan yang berbeda-beda. Persarafan
yang terpendek adalah Saraf yang menghubungkan otot rahang, wajah dan leher
dengan nuklues motoriknya di batang otak, sehingga toksin mencapai daerah
tersebut lebih cepat. Efek dari toksin tetanus pertamakali bermanifestasi di sini,
berikutnya ke area lain dengan persarafan yang lebih panjang seperti batang tubuh
dan ekstremitas.
12
Gambar 1.
juml
ah
22,5
%
7,5
%
7,5
%
7,5
%
52,5
%
2,5
%
juml
ah
15
13
Luka tusuk
infeksi
%
32,5
%
52,5
%
Fokus infeksi yang terdapat pada pasien ini yaitu, Vulnus Punctum a/r cruris
sinistra.
Seperti dapat dilihat profil tetanus pada salah satu Rumah Sakit di Indonesia,
lokasi luka yang kedua paling sering selain infeksi telinga menyebabkan tetanus
adalah luka dari lutut ke bawah. Jenis luka yang paling sering menjadi port
dentry adalah luka tusuk (vulnus punctum), apalagi jika luka itu kotor atau
rentan terkena infeksi.
Pada pasien ini juga sudah dicari sumber por dentry yang lain seperti pada
telinga ataupun gigi, namun tidak ada luka yang diduga sebagai port dentry
setelah dikonsulkan ke bagian terkait.
14
dari akson. Sistem inhibisi dari GABA mencegah potesial aksi yang berlebihan/ terus
menerus dari suatu sistem saraf, seperti yang terjadi pada epilepsi.
d. Mekanisme kerja toksin tetanus di presinaptik
Bagaimana toksin tetanus dapat memblok lepasnya neurotransmiter saraf inhibitor di
celah sinap, belum diketahui dengan pasti.
3. Bagaimana penatalaksanaan pada pasien ini?
Thwaites (2003) merangkum penatalaksanaan tetanus berupa eradikasi bakteri kausatif,
netralisasi antitoksin yang belum terikat, terapi suportif selama fase akut, rehabilitasi dan
imunisasi.10
a. Eradikasi bakteri kausatif
Thwaites menganjurkan penggunan antibiotik metronidazol 500 mg per oral atau intra
vena setiap 6 jam selama 7-10 hari. Udwandia merekomendasikan penisilin dengan
dosis 2 mega unit iv setiap 6 jam selama 8 hari. Pada pasien yang alergi penisilin
disarankan untuk menggunakan tetrasiklin atau eritromisin.2,4,11
Pengobatan dengan antibiotik ditujukan untuk bentuk vegetatif Clostridium tetani, jadi
sebagai pengobatan radikal, yaitu untuk membunuh kuman tetanus yang masih ada
dalam tubuh sehingga tidak ada lagi sumber eksitoksin.
Manajemen
luka
Pada pasien
ini, telah diberikan antibiotik yang sesuai yaitu Metronidazol 3x500
Pasien tetanus dengan luka sebagai port dentry harus mendapatkan perawatan luka.
mg intravena dan ceftriaxone 2x1 gram intravena
Luka dapat digolongkan menjadi luka yang rentan mengalami tetanus atau luka yang
tidak rentan tetanus, dengan kriteria :2,5,6,7
Luka rentan tetanus
>6-8 jam
Kedalaman > 1cm
Terkontaminasi
Bentuk stelat, avulse, atau hancur (ireguler)
Denervasi, iskemik
Terinfeksi (purulen, jaringan nekrotik)
Tetani, kemungkinan besar berasal dari vulnus punctum a/r cruris sinistra.
Luka tersebut digolongkan ke dalam luka yang rentan tetanus karena lama > 8
jam, Kedalaman > 1cm, terkontaminasi. Untuk manajemen luka pada pasien
ini sudah dilakukan debridemen luka dengan cross insisi dan pembersihan luka
dengan larutan betadine dan H2O2. Tetanus toksoid juga sudah diberikan pada
pasien ini.
b. Netralisasi antitoksin yang belum terikat 2
Tetanospasmin akan terikat secara irreversible dengan jaringan dan hanya toksin yang
tidak terikat saja yang dapat dinetralisir. Imunisasi pasif dengan Human Tetanus
Immuneglobulin (HTIG) akan memperpendek perjalanan penyakit tetanus dan
meningkat survival rate, dosis yang dianjurkan adalah 500 unit HTIG diberikan secara
intramuskuler segera setelah diagnosis tetanus ditegakkan.
Pada pasien ini saat keluhan awal muncul, pasien sempat dirawat di rumah
sakit majalaya dan sudah diberikan injeksi Tetagam (Human Tetanus
Immunoglobulin) 500 unit sebagai imunisasi pasif dan antitoksin pada kasus
tetanus.
c. Terapi suportif selama fase akut2
- Kekakuan otot dan rigiditas/spasme otot
Terapi untuk rigiditas dan spasme muskular pada pasien tetanus sangat penting,
karena gejala ini dapat berpengaruh terhadap respirasi yang paling mungkin
menyebabkan kematian. Selain itu, spasme dan rigiditas juga menyebabkan nyeri
yang hebat. Relaksasi otot bisa didapat dengan : (8)
1. Obat golongan Benzodiazepine, yang memperbesar efek GABA pada reseptor
GABA-A di lower motor neuron. Obat yang biasa digunakan adalah diazepam
dengan dosis :
Spasme ringan : 5-20 mg per oral setiap 8 jam bila perlu.
Spasme sedang : 5-10 mg intravena bila perlu, tidak melebihi dosis 80-120 mg
dalam 24 jam, atau dalam bentuk drip.
Spasme berat : 50-100 mg dalam Dextrose 5% 500 ml dan diinfuskan dengan
kecepatan 10-15mg/jam, drip kontinyu selama 24 jam. (1,8,13)
2. Baclofen, yang bekerja pada reseptor GABA B juga efektif, apabila diberikan
secara intratekal, efek sedatif dapat dihindarkan. Dosis yang dianjurkan adalah
500-2000 g per hari. (1,8)
3. Pasien yang dirawat di ruang intensif, Propofol, suatu jenis modulator reseptor
GABA-A, dapat digunakan. (8)
4.
Relaksan otot lain seperti Pancuronium dan Pipecuronium, yang bekerja
langsung pada motor end plate otot sebagai antagonis pada Acetylcholine
binding site. (8)
16
5. Magnesium, suatu antagonis calcium yang bekerja dengan dua cara yaitu
mengurangi pelepasan asetilkolin dan dengan mengurangi respon otot terhadap
asetilkolin, mungkin efektif untuk menurunkan spasme dan rigiditas. Magnesium
juga dapat menurunkan disfungsi otonom, yang penting, karena obat-obat anti
adrenergic, terutama beta bloker, dapat menyebabkan efek yang tidak
menguntungkan, termasuk cardiac arrest.
Pada pasien ini, saat awal diberikan drip Diazepam 20 ampul/24 jam intravena
karena frekuensi kejang spontan dan rangsang yang sering dan spastisitas yang
berat. Seiring dengan berkurangnya frekuensi kejang spontan dan rangsang dan
klinis yang perbaikan, dosis diazepam perlahan diturunkan hingga ke dosis oral.
Perawatan hari ke 14 di RSHS sudah tidak didapatkan lagi kejang spontan dan
kejang rangsang pada pasien. Pasien pulang dengan obat diazepam 3x5mg per
oral, karena masih terdapat spastisitas yang minimal.
17
7.
8.
menyebabkan
kerusakan
otot
jantung
yang
menyebabkan
dilated
transfuse darah.
10. Gangguan renal dan elektrolit2
Gangguan ginjal seringkli disebabkan oleh kondisi hipovolemia dan kehilangan
darah yang dapat dikoreksi dengan infuse intravena atau transfuse darah. Gangguan
elektrolit yang dapat terjadi adalah hipokalemia yang dapat dikoreksi dengan
pemberian infuse lambat KCl 20-80 mEq dalam 24 jam. Hiponatremi dikoreksi
dengan pemberian normal saline pada excessive salt loss atau restriksi cairan
danmenghindari pemberian diuretic pada hiponatremi delusional.
11. Komplikasi lainnya2
18
Penurunan berat badan sangat sering terjadi pada pasien tetanus akibat disfagia,
perubahan fungsi gastrointestinal dan peningkatan kecepatan metabolic. Diet
diberikan 3500-4500 kkal/hari melalui nasogastrik tube.
d. Imunisasi
Udwandia (1994) memberikan serum anti tetanus 10.000 unit iv, sebelum pemberian
dilakukan uji kulit. Pemberian HITG (Human Tetanus Imunoglobulin) lebih baik
dibanding serum kuda karena tidak menyebabkan reaksi hipersensitivitas.
Penggunaan toksoid tetanus diberikan sesuai keadaan luka dan riwayat imunisasi
sebelumnya. Pada luka kecil/minor dan tidak terinfeksi serta tidak diketahui riwayat
imunisasinya atau pada pasien dengan imunisasi adekuat tetapi telah lebih dari 10
tahun, diberikan 0,5 ml antitetanus toksoid (ATT). Jika luka besar/mayor dan terinfeksi
dan riwayat imunisasi terakhir telah lewat dari 5 tahun, ATT harus diberikan (dosis
sama dengan pada luka minor).
Pada pasien ini, telah diberikan ATS/TT
Penatalaksanaan standar pasien tetanus di Bagian Ilmu penyakit Saraf RS. Dr. Hasan
Sadikin Bandung adalah : 2
1. Serum anti tetanus (ATS) 10.000 unit intramuskuler
2. Tetanus toksoid 0,5 ml intramuskuler, diulang 1 bulan kemudian
3. Antibiotika : tetrasiklin 2gram/hari dan metronidazol 3x500mg mg/hari.
Antibiotik lain sesuai kebutuhan.
4. Sedative/obat relaksan otot: Diazepam 10mg, intravena sesuai kebutuhan
5. Tindakan perawatan berupa : pemasangan selang nasogastrik, trakeostomi,
perawatan luka, dll
6. Pemeriksaan laboratorium: Hb, lekosit, kimia darah, pemeriksaan urin, analisa
gas darah sesuai kebutuhan.
7. Indikasi masuk ICU jika spasme hebat tidak teratasi dengan sedative, untuk
pemakaian ventilator dan jika terjadi disotonom
8. Pemberian terapi medikamentosa untuk mengatasi disotonomia sesuai dengan
gejala yang timbul. 3,4,5,6
4. Komplikasi pada tetanus?
Komplikasi yang sering terjadi pada pasien-pasien dengan tetanus antara lain:8,9
1. Laringospasme (spasme pita suara) dan atau spasme otot-otot pernafasan yang
mengakibatkan gangguan bernafas
2. Fraktur vertebra atau tulang panjang yang diakibatkan kontraksi yang berlebih ataupun
kejang yang kuat
3. Dislokasi sendi glenohumerale dan temporomandibular
4. Hiperaktivitas system saraf otonom yang dapat menyebabkan hipertensi dan atau
denyut jantung yang tidak normal
19
5. Infeksi nasokomial, sering terjadi karena perawatan dirumah sakit yang lama. Infeksi
sekunder dapat berupa sepsis, akibat pemasangan kateter, hospital acquired pneumonia
dan ulkus dekubitus.
6. Emboli paru, terutama merupakan masalah pada pasien dengan penggunaan obatobatan dan orang tua
7. Aspirasi pneumonia, merupakan komplikasi lanjut tetanus yang paling sering,
ditemukan pada 50 %-70% kasus.
8. Ileus paralitik, luka akibat tekanan dan retensi urin
9. Malnutrisi dan stress ulcers.
XIII. KESIMPULAN
Telah dibahas kasus seorang laki-laki berusia 43 tahun yang dirawat R.Angsana RS
Hasan Sadikin Bandung dari tanggal
Diagnosis kerja Tetanus Umum grade III + Disotonom perbaikan, Neglected Vulnus Punctum
a/r cruris sinistra. Pasien pulang dengan Diagnosis Akhir Tetanus Umum grade III +
Disotonom perbaikan, Neglected Vulnus Punctum a/r cruris sinistra post debridement, Stress
Ulcer perbaikan.
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Udwandia Farckh Erach. Tetanus. Oxford University Press:1994
2. Kegawatdaruratan Neurologi : Tetanus, Ed 2, 2009, p17-31
3. Dhanrajani PJ and O. Jonaidel. Trismus:Aetiology, Differential Diagnosis and
Treatment. Dental Update : March,2002
4. Hassel,Bjonar. Tetanus: Phatophisiology, Treatment and the possibility of using
Botulinum toxin against Tetanus-induced Rigidity and Spasm. Switzerland;2012
5. Newcombe, Paul. Treating and Preventing Tetanus in A&E. London:2004
6. Harrison: Tetanus in : Principles of Internal Medicine, volume 2, ed 13th,
McGrawHill. Inc,New York,1994. P 577-579
7. Adams. R.D, et al: Tetanus in: Principles of Neurology, McGrawHill,ed 1997.p12051207
8. CDC (Centers for Disease Control and Prevention). Tetanus in : epidemiology and
Prevention of Vaccine-Preventable Diseases The Pink Book Course Textbook. 8th
edition. Department of Health ang Human Services Public health Foundation.
2004:65-73
9. Suparman D. Syamsudin T. Faktor-faktor Penyebab kematian tetanus di bagian/SMF
Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran RS Dr. Hasan
Sadikin Bandung 1 Januari 1995-31 Desember 1996. Tesis. Bandung. 1998
10. Thwaites CL, Farrar JJ. Preventing and Treating Tetanus. In The Challenge Continues
in the face of Neglect and lack of research. Editorial. BMJ. Vol 326. 2003:117-8
11. Davey Parrick. Vaskulitis. At a Glance Medicine. Jakarta 2006. Hal 292-293.
12. Scheld WM, Whitley, J Richard, Marra CM. Infection of the Central Nervous System.
4th Edition. Wolters Kluwer. Philadelphia, 2014;634-647.
21