Anda di halaman 1dari 21

Kasus II / Tahun I

Nama

: dr. Frans Jobeth

Pembimbing

: Dr .dr. P. Anam Ong SpS (K)

Seorang laki-laki usia 43 tahun, dirawat di Ruang Perawatan Ilmu Penyakit Saraf (R. Angsana) RSHS Bandung
pada tanggal 28 Juli 14 Agustus 2015 dengan Diagnosis Kerja Tetanus Umum grade III, Neglected Vulnus
Punctum a/r cruris sinistra. Pasien pulang dengan Diagnosis Akhir Tetanus Umum grade III + Disotonom
perbaikan, Neglected Vulnus Punctum a/r cruris sinistra post debridement, Stress Ulcer Perbaikan.
I. ANAMNESIS

KU

: Kejang Seluruh Tubuh

Riwayat Penyakit Sekarang


Sejak 5 hari SMRS, Pasien mengeluh kejang seluruh tubuh dengan bentuk kaku seluruh
tubuh. Badan melenting (+), perut dan punggung terasa tegang. Lama kejang 1-2 menit dengan
frekuensi 10x/jam. Selama, sebelum, dan sesudah kejang pasien sadar. 8 hari SMRS pasien
mengeluhkan sulit membuka mulut dan rahang menjadi kaku yang diikuti keluhan perut tegang dan
keras seperti papan. Keringat banyak (+), keluar air liur banyak (-). Pasien tetap sadar, muntah (-),
kejang (-). Kelemahan anggota gerak sesisi/ mulut mencong/ bicara rero/ baal sesisi tubuh (-).Keluhan
pandangan ganda, gelap sesaat, telinga berdenging, pusing berputar, telinga berdenging dan baal
seputar mulut (-). 18 hari SMRS pasien tertusuk tusukan sate di kaki kiri saat sedang di kali. Saat itu
pasien tidak ada keluhan. 10 hari kemudian pasien mengeluh tungkai kiri bengkak diikuti rahang
mulai kaku dan sulit dibuka.
Pasien lalu berobat ke RS di majalaya, dikatakan masih ada sisa tusukan sate dan dilakukan operasi.
Pasien dirawat di RSUD majalaya dari tanggal 21 juli sampai 27 juli 2015. Mendapat terapi Tetagam
500IU, TT 0,5cc, Tetrasiklin 4x500mg, Metronidazole 3x500mg IV, Ceftriaxone 2x1gr IV. Dirujuk ke
RSHS untuk dilakukan trakeostomi.
Riwayat Penyakit Dahulu
R/ Suntik atau immunisasi tetanus sebelumnya (-).
R/ panas badan tidak diketahui dengan jelas.
R/ Sulit membuka mulut sebelumnya (-), kejang sebelumnya (-).
R/ penyakit Jantung/ penyakit ginjal/DM/kolesterol meningkat / asam urat meningkat disangkal
R/ keluar cairan berbau dari telinga/ gigi berlubang dikorek-korek (-)
R/ Demam/batuk lama/penurunan BB/keringat malam (-)
R/ Nyeri kepala kronis progresif (-)/perubahan tingkah laku (-)
II. PEMERIKSAAN FISIK
Kesadaran : Composmentis ; TD : 160/100 mmHg ; N = HR : 120x/mnt,; R : 24x/mnt ; S :
37,00C
STATUS INTERNA
Kepala
: Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pulsasi A. Temporalis
kiri=kanan, bruit -/Leher
: Leher: aKGB tidak teraba teraba membesar, pulsasi A. Karotis kiri=kanan, bruit
-/-, JVP tak meninggi, KGB tak membesar
Thorax
: Bentuk dan gerak simetris
Cor/ batas kiri LMCS, batas kanan LSD, BJ murni reguler
1

Abdomen
Extremitas

Pulmo/ VBS kiri=kanan, ronkhi -/- , wheezing -/: Perut papan (+) hepar dan lien sdn, BU (+) normal
: Edema -/- , sianosis -/-

Status lokalis:
Status lokalis: a/r cruris sinistra: pada 1/3 medial tampak luka insisi terjahit, panjang 2cm, edema
(-), hematome (-), Nyeri tekan (+).

III.

STATUS NEUROLOGIS
RM
: Kuduk Kaku (+), KK sdn, L/K tidak terbatas, B I/II/III/IV (-/-/-/-)
SO
: Pupil bulat isokor, ODS 3 mm, RC +/+
Fc : papil batas tegas. A/V 2/3, Perdarahan (-). Eksudat (-).
GBM
: baik ke segala arah
NVII
: Simetris. Risus Sardonicus (+)
NXII
: sdn. Trismus (+)
Motorik
: lateralisasi (-) 5/5
5/5
Sens/Veg/FL : baik/baik/baik
RF
: BTR (+/+) KPR (+/+) APR (+/+)
RP
: -/Tanda tetanus
Trismus (+) < 1 jari
Risus Sardonicus (+)
Opistotonus (+)
Perut papan (+)
Kejang spontan (+)
Kejang rangsang (+)
Tanda disotonom
Unstable BP (-)
Tachycardia (+)
Tachypneu (-)
Hiperhidrosis (+)
Kriteria Pattel Joag
Spasme lokal (+)
Spasme umum (+)
Inkubasi < 7 hari (-)
Onset < 48 jam (+)
Demam (-)
PEMERIKSAAN PENUNJANG

Hb
Leukosit
Hematokrit
trombosit
ureum
kreatinin
GDS
Na
K
Ca
Mg
Ro. Thorax :

Nilai normal)
13,5-14 mg/dL
4400-1100/mm3
40-45%
150-450000/mm3

<140

4,7-5,2 mg/dL
1,7-2,55 mg/dL

14,9
9.200
42
306.000
58
0,76
108
133
4,0
4,99
2,34

kardiomegali tanpa bendungan paru/ tidak tampak tb paru aktif


2

Ro STL : dbn

EKG

: Irama Sinus, Axis Normal, HR = 82x/mnt axis normal, P wave 0.08, 0,1 mv, PR
Interval 0,16, QRS kompleks 0,08, Q Patologis (-), ST Segmen Isoelektrik, LVH (-), T
Inverted (-). QTc Interval: 0,38. DK/ EKG: Sinus Rhythm

Konsul bagian Bedah: dk/ Neglected Vulnus Laceratum a/r cruris sinistra
Th/ Debridement luka dengan cross incision dan cuci dengan betadine +H2O2
Konsul bagian THT: dk/: Tetanus umum grade 3
Th/: Acc Trakeostomi.
Konsul bagian Penyakit dalam: Saat ini tidak ditemukan tanda-tanda miokarditis.
Dk/ sesuai TS Neuro
IV. DIAGNOSIS KERJA
Tetanus Umum grade III + Disotonom
Neglected Vulnus Punctum a/r cruris sinistra
V. TERAPI

Bedrest, NGT, Kateter


O2 3l/min
IVFD RL : D5% 2000cc/24 jam
Diet Cair 2000kkal/NGT/hari
Metronidazole 3x500mg I.V
Ceftriaxone 2x1gr IV
Diazepam 18x1 amp I.V
Ranitidine 2x1 amp IV
Paracetamol 3x500mg/NGT
Propanolol 3x10mg/NGT
3

R/ Trakeostomi ------ Keluarga pasien masih menolak


Observasi kesadaran TTV, tanda-tanda disotonom

VI. FOLLOW UP DAN TINDAK LANJUT


Tgl/hari
Rawat
Pemeriksaaan
28-29 Juli
Rawat S = Kejang > 15x
2015
:1-2
O=
Kesadaran : Composmentis
TD : 120/80
N = HR = 110x/mnt
RR : 22 x/mnt ;
S : 37,8C
STATUS NEUROLOGIS
RM
: Kuduk Kaku (+), KK sdn, L/K tidak
terbatas, B I/II/III/IV (-/-/-/-)
SO
: Pupil bulat isokor, ODS 3 mm, RC +/+
GBM
: baik ke segala arah
NVII
: Simetris. Risus Sardonicus (+)
NXII
: sdn. Trismus (+)
Motorik
: lateralisasi (-) 5/5
5/5
Sens/Veg/FL : baik/baik/baik
RF
: BTR (+/+) KPR (+/+) APR (+/+)
RP
: -/Tanda tetanus
Trismus (+) < 1 jari
Risus Sardonicus (+)
Opistotonus (+)
Perut papan (+)
Kejang spontan (+)
Kejang rangsang (+)

Tindakan
Th/
Bedrest, NGT, Kateter
O2 3l/min
IVFD RL : D5%
2000cc/24 jam
Diet Cair
2000kkal/NGT/hari
Metronidazole
3x500mg I.V
Ceftriaxone 2x1gr IV
Diazepam drip 20
amp/24 jam
Ranitidine 2x1 amp
IV
Paracetamol
3x500mg/NGT
Propanolol
3x10mg/NGT
R/ Trakeostomi -----Keluarga pasien masih
menolak

Tanda disotonom
Unstable BP (-)
Tachycardia (+)
Tachypneu (-)
Hiperhidrosis (+)
Hasil Lab:
Hb
Ht
Leukosit
Trombosit
Troponin T
Na
Kalium
Ureum
Kreatinin

14,3
41
6800
363.000
negatif
132
3,9
28
0,71

Dk/ Tetap

30 Juli
2015

Rawat
3

S = Keluarga pasien setuju untuk dilakukan


trakeostomi
O=
Kesadaran : Composmentis

Th/

TD : 110/70
N = HR = 96x/mnt
RR : 22 x/mnt ;
S : 37,0C
Status Neurologis : S.q.a
Tanda tetanus
Trismus (+) 1 jari
Risus Sardonicus (+)
Opistotonus (+)
Perut papan (+)
Kejang spontan (+)
Kejang rangsang (+)
Tanda disotonom
Unstable BP (-)
Tachycardia (-)
Tachypneu (-)
Hiperhidrosis (+) <<

31 Juli-2
Agustus
2015

Rawat
4-6

Dk/
Tetanus Umum grade III + Disotonom post TC
Neglected Vulnus Punctum a/r cruris sinistra
S = Kejang spontan frekuensi berkurang
NGT hitam
O=
Kesadaran : Composmentis
TD : 110/70
N = HR = 96x/mnt
RR : 22 x/mnt ;
S : 37,0C
Status Neurologis : S.q.a
Tanda tetanus
Trismus (+) 1 jari
Risus Sardonicus (+)
Opistotonus (+)
Perut papan (+)
Kejang spontan (+)
Kejang rangsang (+)
Tanda disotonom
Unstable BP (-)
Tachycardia (-)
Tachypneu (-)
Hiperhidrosis (+) <<
Dk/

3-9
Agustus
2015

Rawat:
7-13

Tetanus Umum grade III + Disotonom post TC


Neglected Vulnus Punctum a/r cruris sinistra
Stress Ulcer

S = Kejang spontan (+)<<


O = NGT Hitam (-)
Kesadaran : Composmentis
TD : 110/70
N = HR = 96x/mnt
RR : 22 x/mnt ;
S : 37,0C
Status Neurologis : S.q.a
Tanda tetanus
Trismus (+) 1,5-2 jari
Risus Sardonicus (+)
Opistotonus (+)
Perut papan (+) <<
Kejang spontan (+) <<
Kejang rangsang (+)

Bedrest, NGT, Kateter


O2 3l/min
IVFD RL : D5%
2000cc/24 jam
Diet Cair
2000kkal/NGT/hari
Metronidazole
3x500mg I.V
Ceftriaxone 2x1gr IV
Diazepam drip 20
amp/24 jam
Ranitidine 2x1 amp
IV
Paracetamol
3x500mg/NGT
Propanolol
3x10mg/NGT
Suction efektif berkala

Th/
Bedrest, NGT, Kateter
O2 3l/min
IVFD RL : D5%
2000cc/24 jam
Diet Cair
2000kkal/NGT/hari
Metronidazole
3x500mg I.V
Ceftriaxone 2x1gr IV
Diazepam drip 20
amp/24 jam --Diazepam injeksi
kosong persediaan.
Ganti Diazepam oral
8x10mg/NGT
Omeprazole 2x40mg
IV
Sucralfate
4x10cc/NGT
Paracetamol
3x500mg/NGT
Propanolol
3x10mg/NGT
Suction efektif berkala
Th/
Bedrest, NGT, Kateter
O2 3l/min
IVFD RL : D5%
2000cc/24 jam
Diet Cair

Tanda disotonom
Unstable BP (-)
Tachycardia (-)
Tachypneu (-)
Hiperhidrosis (+) <<
Dk/

10-12
Agustus
2015

Rawat
14-16

Tetanus Umum grade III + Disotonom post TC


Neglected Vulnus Punctum a/r cruris sinistra
Stress Ulcer perbaikan

S = Kejang spontan (-)


Kejang Rangsang (-)
O=
Kesadaran : Composmentis
TD : 100/70
N = HR = 96x/mnt
RR : 20 x/mnt ;
S : 37,0C

Tanda disotonom
Unstable BP (-)
Tachycardia (-)
Tachypneu (-)
Hiperhidrosis (-)
DK/ tetap

Rawat
17-18

Status Neurologis : S.q.a


Tanda tetanus
Trismus (-)
Risus Sardonicus (-)
Opistotonus (-)
Perut papan (+) <<
Kejang spontan (-)
Kejang rangsang (-)

13-14
Agustus

Th/

2000kkal/NGT/hari
Metronidazole
3x500mg I.V
Ceftriaxone 2x1gr IV
Diazepam
8x5mg/NGT
Omeprazole 2x40mg
IV
Sucralfate
4x10cc/NGT
Paracetamol
3x500mg/NGT
Suction efektif berkala

Mobilisasi duduk
Aff NGT
Aff Kateter
Aff Infus
Diet lunak
2000kkal/NGT/hari
Diazepam
8x5mg/NGT
Paracetamol
3x500mg/NGT
Latihan buka tutup
trakeostomi ---- jika
baik 2x24 jam R/
Dekanulasi

S = Kejang spontan (-)


Kejang Rangsang (-)
O=
Kesadaran : Composmentis
TD : 100/70
N = HR = 96x/mnt
RR : 20 x/mnt ;
S : 37,0C
Status Neurologis : S.q.a
Tanda tetanus
Trismus (-)
Risus Sardonicus (-)
Opistotonus (-)
Perut papan (-)
Kejang spontan (-)
Kejang rangsang (-)
Tanda disotonom
Unstable BP (-)
Tachycardia (-)
Tachypneu (-)
Hiperhidrosis (-)
Dk/
Tetanus Umum grade III + Disotonom
perbaikan

Th/
Diet lunak
2000kkal/NGT/hari
Diazepam
6x5mg/NGT
Paracetamol
3x500mg/NGT
Dekanulasi di poli
THT
Pasien Pulang perbaikan
tanggal 14 Agustus 2015

Neglected Vulnus Punctum a/r cruris sinistra


post debridement
Stress Ulcer perbaikan

VII. DIAGNOSA AKHIR

Tetanus Umum grade III + Disotonom perbaikan

Vulnus Punctum a/r cruris sinistra post debridement

Stress Ulcer Perbaikan

VIII. TERAPI dan KONSULTASI

Diazepam 3x6mg

Cefixime 2x100mg PO

Paracetamol 3x500mg PO

Ranitidine 2x1tab

Kontrol 1 minggu kemudian ke poli saraf RSUD terdekat

Injeksi Tetanus toxoid tanggal 20 agustus 2015

IX. Prognosis

Quo ad vitam: ad bonam

Quo ad functionam: ad bonam

X. ANJURAN
Minum obat teratur, kontrol ke Poli Saraf

XI. PERMASALAHAN

1.
2.

Bagaimana dasar diagnosis pada pasien ini?


Bagaimana patogenesa Tetanus pada pasien ini, berdasarkan kemungkinan

fokus infeksi?
3.
Bagaimana tatalaksana pada pasien ini?
4.
Apa saja komplikasi pada tetanus?
XII. PEMBAHASAN
1. Bagaimana dasar diagnosis pada pasien ini?
Pasien datang dengan dengan keluhan utama kejang seluruh tubuh. Diagnosis banding
yang perlu dipikirkan adalah tetanus, kejang epileptik. Pada kejang epileptik dengan
bentuk umum (kejang seluruh tubuh) biasanya diikuti dengan gangguan kesadaran, namun
tidak didapatkan pada pasien ini. Selain itu pada kejang epileptik tidak diikuti gejala-gejala
seperti trismus, opistotonus ataupun risus sardonicus seperti pada tetanus yang didapatkan
pada pasien ini. Pasien ini juga awalnya mengeluh sulit membuka mulut. Differential
diagnosis yang harus dipikirkan pada pasien dengan keluhan utama trismus adalah adanya
tetanus, infeksi pada gigi dan mulut, fraktur mandibula, zygomatikum, tumor rongga
mulut, dll. Pada pasien ini riwayat trauma tidak didapatkan, benjolan pada rongga mulut
tidak didapatkan. Keluhan sulit membuka mulut juga disertai kekakuan pada otot bagian
leher dan perut sehingga dapat dipikirkan kemungkinan adanya tetanus.1
Diagnosis tetanus didasarkan pada gejala klinis. Masa inkubasi bervariasi antara 3
samapi 21 hari, biasanya sekitar 8 hari. Tergantung pada lokasi dan jarak antara luka
dengan sistem saraf sehingga lokasi luka yang jauh dapat menyebabkan masa inkubasi
yang lebih lama. Masa inkubasi yang pendek mempunyai angka kematian yang cukup
tinggi.2,5
Pada pasien ini, awalnya didapatkan keluhan sulit membuka
mulut yang disertai perut tegang dan keras seperti papan dan 3

Untuk mendiagnosis Tetanus, didapatkan beberapa system grading yang sering

hari kemudian terdapat kejang seluruh tubuh (kaku ke 4 anggota

dipergunakan,
yaitu Patel Joag, Abletts dan Udwandia. 2,3 Penentuan derajat penyakit pada
gerak) dengan frekuensi 10x/jam. Masa inkubasi pada pasien ini
tetanus
penting
dilakukan
untukdimana
menentukan
prognosis
dan menentukan
seberapa
agresif
adalah
sekitar
10hari,
masa
inkubasi
adalah waktu
yang
terapi
yang mesti bagi
dilakukan.
dibutuhkan
Clostridium tetani mulai dari terjadi luka hingga
Kriteria
Pattel Joag, yaitu:
menimbulkan
gejala klinis yang pertama. Periode onset pada
pasien ini 1 hari, dimana periode
onset adalah waktu yang
Kriteri
Keterangan
dibutuhkan
dari mulai terjadinya gejala klinis yang pertama
a

1
trismus
hingga
timbulnya spasme otot. (Keluhan sulit membuka mulut
2
3

spasme, tanpa memandang beratnya spasme


inkubasi antara 7 hari atau kurang

4
5

waktu onset 48 jam atau kurang


kenaikan suhu rectal sampai 1000F atau aksila sampai 990F (37,60C)

Dari kriteria diatas dibuat tingkatan derajat tetanus sebagai berikut :


Deraja

Keterangan

t
I
II

Ringan
Sedang

minimal 1 kriteria (K1 atau K2). Mortalitas 0 %


minimal 2 kriteria (K1 dan K2), dengan masa inkubasi lebih dari

III

Berat

7 hari dan onset lebih dari 2 hari. Mortalitas 10 %


minimal 3 kriteria dengan inkubasi kurang dari 7 hari, onset

Sangat

kurang dari 2 hari. Mortalitas 32 %


minimal 4 kriteria. Mortalitas 60 %

IV

berat
V

bila terdapat 5 kriteria, termasuk tetanus neonatorum dan tetanus


puerperium. Mortalitas 84 %

Pada pasien ini, dinilai berdasarkan Patel Joag didapatkan:


- Masa inkubasi < 7 hr : (-)
- Periode onset <48 jam : (1)

Spasme lokal : (1) Suhu > 37,60C


Spasme umum : (1)

: (-)

Memenuhi 3 kriteria sehingga pasien didiagnosa sebagai Tetanus umum grade 3.


Dimana tingkat mortalitas pasien sekitar 32%

Menurut Abletts kriteria tetanus ini dibagi menjadi 3 tingkatan, yaitu:


Tingkat
I
Ringan
II
Sedang
IIIa
IIIb

Keterangan
kasus tanpa disfagia dan gangguan respirasi
kasus dengan spastisitas nyata, gangguan menelan (disfagia dan

Berat
Sangat

gangguan respirasi)
kasus dengan spastisitas berat disertai spasme berat
sama dengan tingkat III disertai adanya aktifitas simpatis

berat

berlebihan

(disotonom)

Udwandia (1994) memodifikasi kriteria Abletts diatas serta membagi penyakit tetanus
dalam 4 tingkat, yaitu3 :
Tingkat
I
Ringan

Keterangan
trismus ringan dan sedang dengan kekakuan umum. Tidak
disertai

II

Sedang

kejang, gangguan respirasi dengan sedikit atau

tanpa gangguan menelan.


trismus sedang, kaku disertai spasme kejang ringan sampai
9

sedang yang berlangsung singkat disertai disfagia ringan dan


III

Berat

takipnoe > 30-35x/menit


trismus berat, kekakuan umum, spasme dan kejang spontan yang
berlangsung lama. Gangguan pernafasan dengan takipnoe >
40x/menit kadang apnoe, disfagia berat, dan takikardi > 120
x/menit. Terdapat peningkatan aktifitas saraf otonom yang

IV

Sangat

moderat dan menetap


gambaran tingkat III disertai gangguan saraf otonom berat yang

berat

dikenal dengan autonomic storm.

Pada pasien ini, dinilai berdasarkan Kriteria Abletts memenuhi


tingkat IIIb karena didapatkan keluhan spastisitas yang berat
disertai tanda disotonom.
Berdasarkan

Kriteria

Udwandia

memenuhi

tingkat

karena

didapatkan
keluhan
trismus
berat
2. Bagaimana
patogenesis
Tetanus
pada pasien
ini?disertai spasme dan kejang
spontan Tetanus
yang diikuti peningkatan aktivitas saraf otonom yaitu
Patofisiologi

Clostridium Tetani, memproduksi 2 toksin, tetanolisin dan tetanospasmin. Secara


klinis yang dimaksud tetanus toksin adalah tetanospasmin, yaitu suatu neurotoksin yang
dapat mencapai sistem saraf dan yang bertanggungjawab terhadap munculnya gejala klinis
pada penyakit ini1.
Clostridium Tetani bersifat anaerob, dalam upaya bergerminasi, multiplikasi dan
memproduksi eksotoksin, diperlukan lingkungan dengan kadar oksigen rendah. Luka yang
memiliki area nekrosis, iskemik, atau luka yang terkontaminasi tanah, pupuk atau benda
asing memiliki kandungan oksigen rendah, dapat mencetuskan germinasi spora tetanus.
Toksin tetanus hanya dapat dihasilkan setelah proses autolisis terjadi1.
Sekitar 20% dari pasien tetanus tidak memiliki riwayat luka. Umumnya riwayat luka
yang dialami begitu diremehkan sehingga banyak terlupakan. Tidak ada luka yang secara
komplit terbebas dari resiko tetanus1.
Masa inkubasi tetanus rata-rata 6-14 hari, tapi dapat bervariasi dari 2 hari sampai
beberapa minggu. Masa inkubasi dan keparahan penyakit dipengaruhi oleh kondisi luka.
Tingkat keparahan di pengaruhi jumlah dan kecepatan toksin diproduksi serta jumlah dan
kecepatan toksin mencapai susunan saraf pusat (SSP). Periode onset adalah masa antara
simptom pertama sampai terjadinya reflek spasme yang pertama. Masa ini tergantung
jumlah dan kecepatan toksin mencapai SSP. Hubungan antara gambaran klinis dengan
patogenesis, jalur masuk dan mekanisme kerja toksin tetanus, masih banyak diperdebatkan
para ahli.1.
Penyebaran toksin
10

a. Masuk ke dalam otot


Toksin langsung memasuki otot sekitar luka dan menyebar ke jaringan otot
sekitarnya.
b. Menyebar melalui sistem limfatik
Toksin dari depot, menyebar ke kelenjar getah bening regional, kemudian berdrainase
melalui sistem limfatik ke aliran darah.
c. Menyebar melalui aliran darah
Toksin yang memasuki aliran darah umumnya berasal dari sistem limfatik, namun
dapat pula berasal langsung dari kapiler sekitar depot toksin. Pada manusia, toksin
akan terserap dan memasuki aliran darah dalam jumlah yang banyak. Walaupun
termasuk rute yang penting, namun bukan merupakan hal utama dalam
berkembangnya kasus tetanus yang lethal, yang biasanya disebabkan tersebarnya
toksin melalui jalur persarafan.Toksin tetanus mungkin dapat di netralkan atau di blok
melalui pemberian antitoksin secara intravena. Karena adanya sawar darah otak, dari
aliran darah, toksin tidak akan dapat mencapai SSP dalam jumlah yang signifikan.
Namun penyebaran toksin melalui aliran darah ke jaringan otot sekitar, merupakan hal
yang penting, karena penyebaran toksin ke SSP dimulai dari otot.
d. Masuk ke dalam SSP
Dahulu diyakini bahwa toksin masuk ke SSP langsung melalui aliran darah. Namun
hal ini tidak ada dasar penelitiannya.
e. Masuk melalui jalur persarafan (neural pathway) menuju SSP
Umumnya para ahli saat ini meyakini bahwa masuknya toksin tetanus ke SSP adalah
melalui retrograde transport sepanjang jalur axonal neural pathways. Toksin yang
berada di luka awalnya menyebar melalui aliran darah ke seluruh otot tubuh termasuk
wajah, kepala dan leher lalu terikat pada reseptor ganglioside yang berada di
membran presinaptik saraf terminal otot. Didalam akson saraf perifer otot , toksin
berjalan naik menuju kornu anterior untuk mencapai badan sel alfa saraf motorik di
medula spinalis dan nukleus motorik batang otak. Toksin juga ditransportasikan
secara retrograd melalui saraf sensori dan autonom. Transportasi toksin melalui saraf
sensoris berakumulasi di ganglion radik posterior, lalu melalui saraf adrenergik
memasuki subtansi grisea bagian lateral medulla spinalis bagian torakal, lokasi
dimana badan sel saraf simpatis berada1.
Dalam medula spinalis dan batang otak, toksin keluar dari badan sel alfa saraf
motorik medula spinalis dan nukleus motorik batang otak, menyebrang celah sinap
menuju reseptor ganglioside membran presinapsinaptik saraf inhibitor. Hal yang
masih belum jelas hingga saat ini adalah, setelah mencapai medula spinalis lalu
menyebrang celah sinap dan menempel pada membran presinaptik saraf terminal,
apakah toksin dapat terus berjalan lebih jauh lagi menuju SSP atau tidak.

Variasi gambaran klinis penyakit tetanus, berhubungan dengan cara penyebaran


toksin1:
1. Tetanus lokal

Gambar 1: Retrograde intra axonal transport dan lokasi utama


dari kerja toksin tetanus di SSP. Toksin berjalan
mundur/retrograd sepanjang akson saraf perifer menuju
badan sel alpha motor neuron di medula spinalis. Lalu
menyebrang celah sinap menuju terminal dari presinaptik

11

Contohnya,
tetanus yang hanya
melibatkan satu
tungkai.
Pada
kondisi
ini
toksin mencapai
medula spinalis
melalui jalur saraf
regional.
2. Tetanus sefalik
Tetanus
yang
diawali
luka
trauma kepala.
Toksin mencapai
nuklai mototrik
batang
otak
melalui regional
axonal pathway.
3. Tetanus
ascending
Tetanus
yang
awalnya
menyerang
tungkai
lalu
menyebar
ke
seluruh
tubuh.
Pada kondisi ini
kemungkinan
besar
toksin
masuk
melalui
jalur
saraf
regional
lalu
menyebar
ke
jalur saraf umum.
4. Tetanus umum
Tetanus yang secara cepat menyerang seluruh tubuh. Dikenal juga sebagai
descending tetanus. Diawali dengan trismus, lalu otot-otot wajah dan leher, batang
tubuh dan ekstremitas. Pada kondisi ini toksin menyebar melalui jalur persarafan
umum menuju SSP, dengan panjang persarafan yang berbeda-beda. Persarafan
yang terpendek adalah Saraf yang menghubungkan otot rahang, wajah dan leher
dengan nuklues motoriknya di batang otak, sehingga toksin mencapai daerah
tersebut lebih cepat. Efek dari toksin tetanus pertamakali bermanifestasi di sini,
berikutnya ke area lain dengan persarafan yang lebih panjang seperti batang tubuh
dan ekstremitas.

12

Gambar 1.

Tabel 1. Lokasi luka sebagai portd entree tetanus


Lokasi dan tipe luka
Luka Lutut ke bawah
Luka lutut ke atas
Luka tangan
Luka kepala
Infeksi telinga
Tidak teridentifikasi

juml
ah
22,5
%
7,5
%
7,5
%
7,5
%
52,5
%
2,5
%

(sumber: profil kasus tetanus di RS kandau periode 2002-2012)

Tabel 2. Tipe luka sebagai portd entree tetanus


Tipe luka
Luka laserasi

juml
ah
15
13

Luka tusuk
infeksi

%
32,5
%
52,5
%

(sumber: profil kasus tetanus di RS kandau periode 2002-2012)

Fokus infeksi yang terdapat pada pasien ini yaitu, Vulnus Punctum a/r cruris
sinistra.
Seperti dapat dilihat profil tetanus pada salah satu Rumah Sakit di Indonesia,
lokasi luka yang kedua paling sering selain infeksi telinga menyebabkan tetanus
adalah luka dari lutut ke bawah. Jenis luka yang paling sering menjadi port
dentry adalah luka tusuk (vulnus punctum), apalagi jika luka itu kotor atau
rentan terkena infeksi.
Pada pasien ini juga sudah dicari sumber por dentry yang lain seperti pada
telinga ataupun gigi, namun tidak ada luka yang diduga sebagai port dentry
setelah dikonsulkan ke bagian terkait.

Mekanisme kerja toksin tetanus


Gambaran klinis penyakit tetanus, hampir seluruhnya diakibatkan efek toksin tetanus pada
SSP dan sistem saraf otonom, bukan pada sistem saraf perifer/otot. Ini dibuktikan melalui
penelitian dimana toksin tetanus terbukti dapat memblok pelepasan neurotransmiter inhibitor
di medula spinalis dan SSP lainnya, sehingga mengakibatkan eksitasi umum yang
menyebabkan rigiditas dan spasme.
a. Struktur toksin tetanus
Cl. Tetani menghasilkan tetanospasmin yang merupakan neurotoksin dan tetanolysin
yang merupakan haemolysin dan protease. Tetanolysin bersifat sitotoksik. Pada
konsentrasi yang tinggi tetanolysin dapat bersifat kardiotoksik, berpotensi neurotoksik
dan lethal. Secara klinis tetanospasmin lebih berperan pada penyakit tetanus,
dibanding tetanolysin.
b. Toksin tetanus dan reseptor di jaringan saraf
Toksin tetanus berikatan dengan reseptor ganglioside membran presinaptik baik di
perifer (neuromuskular junction) ataupun di SSP.
c. Mekanisme kerja toksin tetanus pada neurotransmiter
Lokasi kerja utama dari toksin tetanus adalah di presinap terminal saraf inhibitor,
mencegah dilepasnya neurotransmiter inhibitor seperti Glicine dan GABA (gamma
amino butiric acid). GABA adalah neurotransmiter inhibitor utama di SSP. Badan sel
dan akson inisial yang berada di hipokampus dan mesokorteks dikelilingi synaptic
terminal yang mengandung glutamic acid decarboxylase suatu enzym yang berperan
dalam produksi GABA dari glutamat. GABA bekerja pada reseptor di membran
somatik, melalui peningkatan konduksi Chlorida (Cl), memblok inisiasi potensial aksi

14

dari akson. Sistem inhibisi dari GABA mencegah potesial aksi yang berlebihan/ terus
menerus dari suatu sistem saraf, seperti yang terjadi pada epilepsi.
d. Mekanisme kerja toksin tetanus di presinaptik
Bagaimana toksin tetanus dapat memblok lepasnya neurotransmiter saraf inhibitor di
celah sinap, belum diketahui dengan pasti.
3. Bagaimana penatalaksanaan pada pasien ini?
Thwaites (2003) merangkum penatalaksanaan tetanus berupa eradikasi bakteri kausatif,
netralisasi antitoksin yang belum terikat, terapi suportif selama fase akut, rehabilitasi dan
imunisasi.10
a. Eradikasi bakteri kausatif
Thwaites menganjurkan penggunan antibiotik metronidazol 500 mg per oral atau intra
vena setiap 6 jam selama 7-10 hari. Udwandia merekomendasikan penisilin dengan
dosis 2 mega unit iv setiap 6 jam selama 8 hari. Pada pasien yang alergi penisilin
disarankan untuk menggunakan tetrasiklin atau eritromisin.2,4,11
Pengobatan dengan antibiotik ditujukan untuk bentuk vegetatif Clostridium tetani, jadi
sebagai pengobatan radikal, yaitu untuk membunuh kuman tetanus yang masih ada
dalam tubuh sehingga tidak ada lagi sumber eksitoksin.
Manajemen
luka
Pada pasien
ini, telah diberikan antibiotik yang sesuai yaitu Metronidazol 3x500
Pasien tetanus dengan luka sebagai port dentry harus mendapatkan perawatan luka.
mg intravena dan ceftriaxone 2x1 gram intravena
Luka dapat digolongkan menjadi luka yang rentan mengalami tetanus atau luka yang
tidak rentan tetanus, dengan kriteria :2,5,6,7
Luka rentan tetanus
>6-8 jam
Kedalaman > 1cm
Terkontaminasi
Bentuk stelat, avulse, atau hancur (ireguler)
Denervasi, iskemik
Terinfeksi (purulen, jaringan nekrotik)

Luka yg tidak rentan tetanus


< 6 jam
Superficial (<1cm)
Bersih
Bentuk linier, tepi tajam
Neuro/vaskuler intak
Tidak terinfeksi

Rekomendasi Management luka traumatik 2


1. Semua luka harus dibersihkan dan debridement sebaiknya dilakukan jika perlu
2. Dapatkan riwayat imunisasi tetanus pasien jika mungkin
3. Tetanus toksoid (Tt) harus diberikan jika riwayat booster terakhir lebih dari 10
tahun. Jika riwayat imunisasi tidak diketahui, Tt dapat diberikan
4. Jika riwayat imunisasi terakhir lebih dari 10 tahun yang lalu, maka Tetanus
Immune Globulin (TIG) harus diberikan. Keparahan luka bukan factor penentu
pemberian TIG.
Pada pasien ini sumber infeksi yang menjadi pintu masuknya bakteri Cl.
15

Tetani, kemungkinan besar berasal dari vulnus punctum a/r cruris sinistra.
Luka tersebut digolongkan ke dalam luka yang rentan tetanus karena lama > 8
jam, Kedalaman > 1cm, terkontaminasi. Untuk manajemen luka pada pasien
ini sudah dilakukan debridemen luka dengan cross insisi dan pembersihan luka
dengan larutan betadine dan H2O2. Tetanus toksoid juga sudah diberikan pada
pasien ini.
b. Netralisasi antitoksin yang belum terikat 2
Tetanospasmin akan terikat secara irreversible dengan jaringan dan hanya toksin yang
tidak terikat saja yang dapat dinetralisir. Imunisasi pasif dengan Human Tetanus
Immuneglobulin (HTIG) akan memperpendek perjalanan penyakit tetanus dan
meningkat survival rate, dosis yang dianjurkan adalah 500 unit HTIG diberikan secara
intramuskuler segera setelah diagnosis tetanus ditegakkan.

Pada pasien ini saat keluhan awal muncul, pasien sempat dirawat di rumah
sakit majalaya dan sudah diberikan injeksi Tetagam (Human Tetanus
Immunoglobulin) 500 unit sebagai imunisasi pasif dan antitoksin pada kasus
tetanus.
c. Terapi suportif selama fase akut2
- Kekakuan otot dan rigiditas/spasme otot
Terapi untuk rigiditas dan spasme muskular pada pasien tetanus sangat penting,
karena gejala ini dapat berpengaruh terhadap respirasi yang paling mungkin
menyebabkan kematian. Selain itu, spasme dan rigiditas juga menyebabkan nyeri
yang hebat. Relaksasi otot bisa didapat dengan : (8)
1. Obat golongan Benzodiazepine, yang memperbesar efek GABA pada reseptor
GABA-A di lower motor neuron. Obat yang biasa digunakan adalah diazepam
dengan dosis :
Spasme ringan : 5-20 mg per oral setiap 8 jam bila perlu.
Spasme sedang : 5-10 mg intravena bila perlu, tidak melebihi dosis 80-120 mg
dalam 24 jam, atau dalam bentuk drip.
Spasme berat : 50-100 mg dalam Dextrose 5% 500 ml dan diinfuskan dengan
kecepatan 10-15mg/jam, drip kontinyu selama 24 jam. (1,8,13)
2. Baclofen, yang bekerja pada reseptor GABA B juga efektif, apabila diberikan
secara intratekal, efek sedatif dapat dihindarkan. Dosis yang dianjurkan adalah
500-2000 g per hari. (1,8)
3. Pasien yang dirawat di ruang intensif, Propofol, suatu jenis modulator reseptor
GABA-A, dapat digunakan. (8)
4.
Relaksan otot lain seperti Pancuronium dan Pipecuronium, yang bekerja
langsung pada motor end plate otot sebagai antagonis pada Acetylcholine
binding site. (8)
16

5. Magnesium, suatu antagonis calcium yang bekerja dengan dua cara yaitu
mengurangi pelepasan asetilkolin dan dengan mengurangi respon otot terhadap
asetilkolin, mungkin efektif untuk menurunkan spasme dan rigiditas. Magnesium
juga dapat menurunkan disfungsi otonom, yang penting, karena obat-obat anti
adrenergic, terutama beta bloker, dapat menyebabkan efek yang tidak
menguntungkan, termasuk cardiac arrest.
Pada pasien ini, saat awal diberikan drip Diazepam 20 ampul/24 jam intravena
karena frekuensi kejang spontan dan rangsang yang sering dan spastisitas yang
berat. Seiring dengan berkurangnya frekuensi kejang spontan dan rangsang dan
klinis yang perbaikan, dosis diazepam perlahan diturunkan hingga ke dosis oral.
Perawatan hari ke 14 di RSHS sudah tidak didapatkan lagi kejang spontan dan
kejang rangsang pada pasien. Pasien pulang dengan obat diazepam 3x5mg per
oral, karena masih terdapat spastisitas yang minimal.

6. Kontrol disfungsi otonom2,4


Disotonom merupakan masalah yang sangat bermakna pada pasien dengan tetanus
dan obat-

obatan yang diberikan bertujuan untuk menstabilisasi system

kardiovaskuler dengan cara mekanisme kompensasi, yang menghindari kolaps yang


tiba-tiba dan kematian dengan cara memblok adrenergic atau untuk mencegah
pelepasan katekolamin dengan demikian mensupresi hiperaktivitas otonomik. Supresi
dari pelepasan katekolamin yang berlebihan yang menginduksi terjadinya disfungsi
autonomik dapat mengontrol disautonom. Penyekat dan adrenergik seperti
labetalol adalah pilihan terapi untuk kondisi hipersimpatis pada pasien tetanus.
Penyekat adrenergik saja tidak seharusnya digunakan. Penggunaan penyekat
reseptor (contoh: propanolol) sendiri harus dihindari karena dapat menyebabkan
kematian mendadak. Hal ini kemungkinan diakibatkan karena kegagalan otot jantung
(myocardium). Morfin sulfat juga umum digunakan untuk mengontrol disfungsi
autonom pada pasien tetanus sekaligus dapat digunakan sebagai sedasi. Magnesium
juga saat ini dapat digunakan sebagai terapi rutin untuk tetanus. Efeknya sebagai
vasodilator dengan bekerja secara langsung dim pembuluh darah dan juga dengan
menghambat katekolamin. Magnesium juga dapat mengurangi pelepasan katekolamin
dari medulla adrenal dan ujung-ujung saraf adrenergic (adrenergic nerve ending).
Pada pasien ini, diberikan propanolol 3x10 mg untuk mengontrol disotonom. Hal
ini karena ketertidaksediaan labetalol. Sementara penggunaan Morfin sulfat dan
Magnesium belum umum dan rutin digunakan sebagai pilihan terapi di ruangan.
Meskipun begitu penggunaan propanolol yang menjadi kontroversi mampu
mengontrol disotonom pada pasien ini.

17

7.

Komplikasi respirasi 2,5,10


Komplikasi ini sangat sering terjadi dan penting dalam mempengaruhi angka
morbiditas dan mortalitas. Hipoksia dan gagal nafas sering terjadi pada tetanus yang
berat. Rigiditas otot dan spasme dinding dada, diafragma dan perut menyebabkan
restriksi nafas, penurunan kemampuan batuk akibat rigiditas, spasme dan sedasi
menyebabkan atelektasis dan resiko pneumonia meningkat, ketidakmampuan
menelan saliva dan peningkatan tekanan intraabdomen menyebabkan peningkatan
resiko aspirasi. Ketidaksesuaian antara ventilasi dan perfusi dapat pula terjadi
sehingga menyebabkan hipoksia yang sering terjadi pada tetanus berat. Untuk
mengatasi resiko gangguan pernafasan, penggunaan ventilator dan perawatan ICU
sangat membantu menurunkan angka kematian. Trakeostomi dilakukan pada derajat

8.

III ke atas (criteria patel Joag)


Miokarditis dan gangguan vaskuler lain2
Miokarditis ditandai dengan pemanjangan segmen QTc pada pemeriksaan EKG,
didapatkan nilai > 0,46. Miokarditis merupakan respon infeksi terhadap otot jantung
yang

menyebabkan

kerusakan

otot

jantung

yang

menyebabkan

dilated

cardiomiopathy. Gejala klinis berupa mudah fatique, demam, dyspneu deffort,


takikardia, takipnea, dll. Terapi miokarditis disesuaikan dengan kelainan yang terjadi.
Beberapa ahli menggunakan ACE inhibitor untuk mengatasi hipertensi dan disfungsi
vetrikel kiri. Calcium channel blocker digunakan pada kasus congestive heart failure
dan miopati akibat miokarditis. Digoksin digunakan untuk menurunkan cardiac
9.

output dan menurunkan resistensi pembuluh darah perifer.


Gangguan gastrointestinal2
Perdarahan lambung sering terjadi dan dapat diatasi dengan pemberian antasida
secara teratur pada semua tetanus berat. Ranitidine dapat pula diberikan dengan dosis
150mg tiap 8 jam sekali. Hilangnya darah massif dapat diganti dengan pemberian

transfuse darah.
10. Gangguan renal dan elektrolit2
Gangguan ginjal seringkli disebabkan oleh kondisi hipovolemia dan kehilangan
darah yang dapat dikoreksi dengan infuse intravena atau transfuse darah. Gangguan
elektrolit yang dapat terjadi adalah hipokalemia yang dapat dikoreksi dengan
pemberian infuse lambat KCl 20-80 mEq dalam 24 jam. Hiponatremi dikoreksi
dengan pemberian normal saline pada excessive salt loss atau restriksi cairan
danmenghindari pemberian diuretic pada hiponatremi delusional.
11. Komplikasi lainnya2

18

Penurunan berat badan sangat sering terjadi pada pasien tetanus akibat disfagia,
perubahan fungsi gastrointestinal dan peningkatan kecepatan metabolic. Diet
diberikan 3500-4500 kkal/hari melalui nasogastrik tube.
d. Imunisasi
Udwandia (1994) memberikan serum anti tetanus 10.000 unit iv, sebelum pemberian
dilakukan uji kulit. Pemberian HITG (Human Tetanus Imunoglobulin) lebih baik
dibanding serum kuda karena tidak menyebabkan reaksi hipersensitivitas.
Penggunaan toksoid tetanus diberikan sesuai keadaan luka dan riwayat imunisasi
sebelumnya. Pada luka kecil/minor dan tidak terinfeksi serta tidak diketahui riwayat
imunisasinya atau pada pasien dengan imunisasi adekuat tetapi telah lebih dari 10
tahun, diberikan 0,5 ml antitetanus toksoid (ATT). Jika luka besar/mayor dan terinfeksi
dan riwayat imunisasi terakhir telah lewat dari 5 tahun, ATT harus diberikan (dosis
sama dengan pada luka minor).
Pada pasien ini, telah diberikan ATS/TT

Penatalaksanaan standar pasien tetanus di Bagian Ilmu penyakit Saraf RS. Dr. Hasan
Sadikin Bandung adalah : 2
1. Serum anti tetanus (ATS) 10.000 unit intramuskuler
2. Tetanus toksoid 0,5 ml intramuskuler, diulang 1 bulan kemudian
3. Antibiotika : tetrasiklin 2gram/hari dan metronidazol 3x500mg mg/hari.
Antibiotik lain sesuai kebutuhan.
4. Sedative/obat relaksan otot: Diazepam 10mg, intravena sesuai kebutuhan
5. Tindakan perawatan berupa : pemasangan selang nasogastrik, trakeostomi,
perawatan luka, dll
6. Pemeriksaan laboratorium: Hb, lekosit, kimia darah, pemeriksaan urin, analisa
gas darah sesuai kebutuhan.
7. Indikasi masuk ICU jika spasme hebat tidak teratasi dengan sedative, untuk
pemakaian ventilator dan jika terjadi disotonom
8. Pemberian terapi medikamentosa untuk mengatasi disotonomia sesuai dengan
gejala yang timbul. 3,4,5,6
4. Komplikasi pada tetanus?
Komplikasi yang sering terjadi pada pasien-pasien dengan tetanus antara lain:8,9
1. Laringospasme (spasme pita suara) dan atau spasme otot-otot pernafasan yang
mengakibatkan gangguan bernafas
2. Fraktur vertebra atau tulang panjang yang diakibatkan kontraksi yang berlebih ataupun
kejang yang kuat
3. Dislokasi sendi glenohumerale dan temporomandibular
4. Hiperaktivitas system saraf otonom yang dapat menyebabkan hipertensi dan atau
denyut jantung yang tidak normal

19

5. Infeksi nasokomial, sering terjadi karena perawatan dirumah sakit yang lama. Infeksi
sekunder dapat berupa sepsis, akibat pemasangan kateter, hospital acquired pneumonia
dan ulkus dekubitus.
6. Emboli paru, terutama merupakan masalah pada pasien dengan penggunaan obatobatan dan orang tua
7. Aspirasi pneumonia, merupakan komplikasi lanjut tetanus yang paling sering,
ditemukan pada 50 %-70% kasus.
8. Ileus paralitik, luka akibat tekanan dan retensi urin
9. Malnutrisi dan stress ulcers.
XIII. KESIMPULAN
Telah dibahas kasus seorang laki-laki berusia 43 tahun yang dirawat R.Angsana RS
Hasan Sadikin Bandung dari tanggal

28 Juli 2015 sampai

14 Agustus 2015 dengan

Diagnosis kerja Tetanus Umum grade III + Disotonom perbaikan, Neglected Vulnus Punctum
a/r cruris sinistra. Pasien pulang dengan Diagnosis Akhir Tetanus Umum grade III +
Disotonom perbaikan, Neglected Vulnus Punctum a/r cruris sinistra post debridement, Stress
Ulcer perbaikan.

20

DAFTAR PUSTAKA
1. Udwandia Farckh Erach. Tetanus. Oxford University Press:1994
2. Kegawatdaruratan Neurologi : Tetanus, Ed 2, 2009, p17-31
3. Dhanrajani PJ and O. Jonaidel. Trismus:Aetiology, Differential Diagnosis and
Treatment. Dental Update : March,2002
4. Hassel,Bjonar. Tetanus: Phatophisiology, Treatment and the possibility of using
Botulinum toxin against Tetanus-induced Rigidity and Spasm. Switzerland;2012
5. Newcombe, Paul. Treating and Preventing Tetanus in A&E. London:2004
6. Harrison: Tetanus in : Principles of Internal Medicine, volume 2, ed 13th,
McGrawHill. Inc,New York,1994. P 577-579
7. Adams. R.D, et al: Tetanus in: Principles of Neurology, McGrawHill,ed 1997.p12051207
8. CDC (Centers for Disease Control and Prevention). Tetanus in : epidemiology and
Prevention of Vaccine-Preventable Diseases The Pink Book Course Textbook. 8th
edition. Department of Health ang Human Services Public health Foundation.
2004:65-73
9. Suparman D. Syamsudin T. Faktor-faktor Penyebab kematian tetanus di bagian/SMF
Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran RS Dr. Hasan
Sadikin Bandung 1 Januari 1995-31 Desember 1996. Tesis. Bandung. 1998
10. Thwaites CL, Farrar JJ. Preventing and Treating Tetanus. In The Challenge Continues
in the face of Neglect and lack of research. Editorial. BMJ. Vol 326. 2003:117-8
11. Davey Parrick. Vaskulitis. At a Glance Medicine. Jakarta 2006. Hal 292-293.
12. Scheld WM, Whitley, J Richard, Marra CM. Infection of the Central Nervous System.
4th Edition. Wolters Kluwer. Philadelphia, 2014;634-647.

21

Anda mungkin juga menyukai