Anda di halaman 1dari 28

CASE REPORT

SEORANG WANITA 35 TAHUN DENGAN EPILEPSY

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Pendidikan Profesi Dokter Umum


Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pembimbing :
dr. Edy Rahardjo, Sp.S.
dr. Listyo Assist Pujarini, M.Sc, Sp.S.

Disusun Oleh :
Fahmi Maulana Iqbal, S. Ked
J510155074

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARANGANYAR
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2016
CASE REPORT
SEORANG WANITA 35 TAHUN DENGAN EPILEPSY

Diajukan Oleh :
Fahmi Maulana Iqbal, S.Ked

J510155074

Telah disetujui dan disahkan oleh Bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pada hari..................., ....................................... 2016

Pembimbing
dr. Edy Rahardjo, Sp.S.

(.................................)

dr. Listyo Assist Pujarini, M.Sc, Sp.S.

(.................................)

Disahkan Ketua Program Profesi :


dr. D. Dewi Nirlawati

(.................................)

BAB I
STATUS PASIEN
A. Identitas Pasien
Nama
Umur

: Ny. L
: 35 th

Jenis Kelamin
: Perempuan
Status perkawinan : Menikah
Pekerjaan
: Tidak bekerja
Alamat
: Kemuning, Ngargoyoso, Karanganyar
Agama
: Islam
No RM
: 299xxx
MRS
: 12 Januari 2016
B. Anamnesis
Autoanamnsis dan aloanamnesis pada tanggal 16 Januari 2016.
Keluhan Utama
Kejang.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke RSUD Karanganyar dengan keluhan kejang diseluruh bagian
tubuh, ketika kejang pasien tidak menyadari jika sedang kejang. Pasien bercerita jika
sebelum kejang ia kaget mendengar kabar jika anaknya jatuh, lalu tiba-tiba pasien
mendadak kejang dan tidak sadar. Lalu pasien dibawa ke Puskesmas Ngargoyoso
setelahnya pasien dirujuk ke RSUD Karanganyar.
Pasien mengaku jika sebelum kejang pasien mengeluh pusing berputar serta nyeri
kepala. Keluhan pasien juga disertai mual namun tidak muntah. Pasien juga mengaku
jika sudah satu bulan ini tidak mengkonsumsi obat epilepsy karena obatnya sulit untuk
didapatkan, lalu selama 1 bulan ini pasien mengaku mengkonsumsi obat herbal.
Pasien mengaku jika kejangnya akan timbul saat kaget, terlalu banyak pikiran dan
ketika sulit untuk tidur.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat Sakit Serupa dan pengobatan : Diakui
Pasien mengaku sudah 6 tahun kejang dan kambuh kambuhan meskipun sudah
mengkonsumsi obat kejang dari dokter kadang dalam 1 bulan pasien bisa kejang lebih
dari sekali namun kadang juga tidak kejang selama sebulan. Pasien juga mengaku dokter
yang telah merawatnya 6th ini sering menaikan atau menurunkan dosis obat anti
kejangnya.
Riwayat Diabetes Melitus
: disangkal
Riwayat Hipertensi
: disangkal
Riwayat Trauma
: diakui
Pasien mengaku pernah jatuh kebelakang ketika usia 18 th setelah itu pasien jadi
sering pusing namun tidak sampai kejang.
Riwayat Alergi Obat
: disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga:

Riwayat Sakit Serupa

: diakui (Dari 10 bersauadra keempat saudaranya

dan pasien mengaku jika menderita sakit yang sama)


Riwayat Diabetes Melitus
: disangkal
Riwayat Hipertensi
: disangkal
Riwayat Alergi Obat
: disangkal
Anamnesis Sistem:
-

Sistem serebrospinal: penurunan kesadaran (-), pusing gliyer (+)


Sistem kardiovaskuler: DBN
Sistem respirasi: DBN
Sistem gastrointestinal: nausea (+)
Sistem muskuloskeletal: DBN
Sistem integumen: DBN
Sistem urogenital: DBN

Resume Anamnesis:
Dari hasil alloanamnesis didapatkan bahwa pasien dibawa ke IGD karena kejang
diseluruh tubuh. Ketika kjang pasin tidak sadar, riwayat kejang kambuh-kambuhan
dan sejak 6 tahun lalu dan konsumsi obat terus, namun 1 bulan trakhir ini putus obat
anti kejang karena obat sulit untuk didapatkan. Sebelum kejang pasien mengaku jika
meraa pusing terlebih dahulu.Kejang dirasakan diseluruh tubuh namun kadang
disebagin tubuh, serta saat kejang pasien terkadang sadar namun kadang juga tidak
sadar. Saat minum obat rutin kejang masih sering didapatkan.
Pemeriksaan Fisik
1. Status Generalis
TD = 120/80mmHg
N = 86 x/menit
RR = 18 x/menit
S = 37,2 C
Keadaan Umum: tampak sakit berat
Status gizi: gizi baik
Kepala: bentuk dan ukuran normal
Mata: konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil (2mm/2mm), pupil
(isokor, isokor)
Leher: Pembesaran kelenjar getah bening (-/-), simetris, tekanan vena
jugularis tidak terlihat
Paru-paru:
o

Inspeksi: pengembangan paru simetri antara kanan dan kiri, tidak ada

gerakan yang tertinggal, retraksi dada +/+, SIC melebar


Palpasi: fremitus kanan dan kiri sama, tidak ada gerakan yang

tertinggal.
Perkusi: sonor (+/+)

Auskultasi: SDV (+/+), wheezing (-/-), ronkhi (-/-).

Jantung:
o
o
o
o

Inspeksi: ictus cordis tidak tampak.


Palpasi: ictus cordis teraba di SIC V LMCS, kuat angkat
Perkusi: batas jantung tidak melebar
Auskultasi: bunyi jantung I dan II murni, reguler, bising (-), gallop
(-), murmur (-).

Abdomen:
o

Inspeksi: darm contour (-), darm steiffung (-), simetri, tidak ada

bekas luka.
o Auskultasi: peristaltik usus normal.
o Palpasi: nyeri tekan (-), tidak ada pembesaran hepar dan lien.
o Perkusi: timpani di seluruh kuadran abdomen.
2. Status Neurologik
Kesadaran: Compos Mentis
Kuantitatif: GCS (E4, V5, M6)
Kualitatif:
o Tingkah laku: baik
o Perasaan hati: cukup baik
o Orientasi: baik (tempat, waktu, orang, sekitar)
o Jalan pikiran: bik
o Kecerdasan: cukup bik
o Daya ingat kejadian: baik (baru dan lama)
o Kemampuan bicara: cukup baik
o Sikap tubuh: baik
o Cara berjalan: tidak ada kelaianan
o Gerakan abnormal: baik
3. Kepala:
o Bentuk: mesochepal
o Ukuran: normal
o Simetri: (+)
o Nyeri tekan: (-)
4. Leher:
o Sikap: normal
o Gerakan: norml
o Kaku kuduk: (-)
o Bentuk vertebra: normal
o Nyeri tekan vertebra: tidak diperiksa
o Tes Brudzinki: (-)
5. N. Cranialis
o N. I (olfaktorius)
Daya Pembau

Kanan
DBN

Kiri
DBN

N. II

Daya penglihatan
Pengenalan warna
Medan penglihatan
Fundus okuli
Papil
Retina
Arteri/vena
Perdarahan
o N. III (okulomotorius)
Ptosis
Gerakan mata ke medial
Gerakan mata ke atas
Gerakan mata ke bawah
Ukuran pupil
Bentuk pupil
Reflek cahaya langsung
Reflek cahaya konsekuil
Reflek akomodatif
Strabismus divergen
Diplopia
o N. IV (trokhlraris)
Gerakan

mata

ke

lateral

bawah
Strabismus konvergen
Diplopia
o

Kanan
Visus :6/60
Baik
DBN
Tidak dilakukan
Tidak ada papil oedem
Tidak dilakukan
-

Kiri
Visus:6/60
Baik
DBN
Tidak dilakukan
Tidak ada papil oedem
Tidak dilakukan
-

Kanan
Tidak ada
DBN
DBN
DBN
2 mm
Isokor
+
Tidak dilakukan
tidak dilakukanpemeriksaan
Tidak didapatkan

Kiri
Tidak ada
DBN
DBN
DBN
2 mm
Isokor
+
Tidak dilakukan

Kanan
DBN

Kiri
DBN

tidak dilakukan
tidak didapatkan

N. V (trigeminus)

Menggigit
Membuka mulut
Sensibilitas muka atas
Sensibilitas muka tengah
Sensibilitas muka bawah
Reflek kornea
Reflek bersin
Reflek maseter
Reflek zigomatkus
Trismus
o N. VI (abducens)
Gerakan mata ke lateral

Kanan
+
+
+
+
+
+
+
+
tidak dilakukan
Kanan
+

Kiri
+
+
+
+
+
+
+
+
Tidak dilakukan
Kiri
+

Strabismus konvergen
Diplopia
o N. VII (fasialis)
Kerutan kulit dahi
Kedipan mata
Lipatan naso-labial
Sudut mulut
Mengerutkan dahi
Mengerutkan alis
Menutup mata
Meringis
Mengembungkan pipi
o N. VIII (akustikus)

tidak dilakukan
Kanan
+
+
+
DBN
+
+
+
+
+

Kiri
+
+
+
DBN
+
+
+
+
+

Kanan

Kiri

Mendengar suara berisik


Mendengar suara detik
arloji
Tes weber
Tes rinne
Tes schwabah
o N. IX (glosofaringeus)
Kanan
+
+
+
-

Arkus faring
Daya kecap lidah 1/3 belakang
Reflek muntah
Sengau
Tersedak
o N. X (vagus)
Arkus faring
Nadi
Bersuara
Menelan
o N. XI (aksesorius)

Kanan
+
reguler
+
+

Kiri
+
Regular
+
+

Kanan
+
+
+
N

Memalingkan kepala
Sikap bahu
Mengangkat bahu
Trofi otot bahu
o N. XII (hipoglosus)
Sikap lidah
Artikulasi

Kiri
+
+
+
-

Kanan
DBN
DBN

Kiri
+
+
+
N
Kiri
DBN
DBN

Tremor lidah
Menjulurkan lidah
Kekuatan lidah
Trofi otot lidah

+
5
Normal

+
5
Normal

6. Badan
o Trofi otot punggung: normal
o Trofi otot dada: normal
o Nyeri membungkukkan badan: tidak didapatkan
o Palpasi dinding perut: supel, nyeri (-)
o Reflek kremaster: (-)
7. Anggota gerak Atas
Inspeksi:
Drop hand
Pitchers hand
Warna kulit
Claw hand
Kontraktur
Palpasi: tidak ada kelainan

Kanan
Coklat
-

Kiri
Coklat
-

Kanan
Bebas
5
+
N

Kiri
Bebas
5
+
N

Kanan
Bebas
5
+
N

Kiri
Bebas
5
+
N

Kanan
Bebas
5
N
N

Kiri
Bebas
5
N
N

Lengan atas:
Gerakan
Kekuatan
Tonus
Trofi
Lengan bawah:
Gerakan
Kekuatan
Tonus
Trofi
Tangan:
Gerakan
Kekuatan
Tonus
Trofi
Sensibilitas:

Nyeri
Termis

Lengan

Lengan

Lengan

Lengan

Tangan

Tangan

atas kiri

atas

bawah

bawah

kiri

kanan

+
+

kanan
+
+

kiri
+
+

kanan
+
+

+
+

+
+

Taktil
Diskriminasi
Posisi
Vibrasi

+
+
+
+

+
+
+
+

+
+
+
+

+
+
+
+

+
+
+
+

Biceps
+/+
-/-/-

Reflek fisiologis
Perluasan reflek
Reflek silang
Anggota Gerak Bawah
Inspeksi:
Drop foot
Udem
Warna kulit
Kontraktur
Palpasi: tidak ada kelainan
Tungkai atas:

+
+
+
+

Triceps
+/+
-/-/-

Kanan
Coklat
-

Gerakan
Kekuatan
Tonus
Trofi

Kiri
Coklat
-

Kanan
Bebas
5
N
N

Kiri
Bebas
5
N
N

Kanan
Bebas
5
N
N

Kiri
Bebas
5
N
N

Kanan
Bebas
5
N
N

Kiri
Bebas
5
N
N

Tungkai bawah:
Gerakan
Kekuatan
Tonus
Trofi
Kaki:
Gerakan
Kekuatan
Tonus
Trofi
Sensibilitas:

Nyeri
Termis
Taktil
Diskriminasi
Posisi

Tungkai

Tungkai

Tungkai

Tungkai

Kaki

Kaki

atas kiri

atas

bawah

bawah

kiri

kanan

+
+
+
+
+

kanan
+
+
+
+
+

kiri
+
+
+
+
+

kanan
+
+
+
+
+

+
+
+
+
+

+
+
+
+
+

Vibrasi

Patela
+/+
-/-/-

Reflek fisiologis
Perluasan reflek
Reflek silang

Babinski
Chaddock
Oppenheim
Gordon
Schaeffer
Rossolimo
Mendel Bechterew
Tes Lasegue
Tes OConnel
Tes Patrick
Tes Kontra Patrick
Tes Gaenslen
Tes Kernig
Klonus paha
Klonus kaki

Kanan
Kanan
+

+
Achilles
+/+
-/-/-

Kiri
Kiri
+

8. Koordinasi, langkah, dan keseimbangan:


o Cara berjalan: DBN
o Tes Romberg: (-)
o Ataksia: (-)
o Diskiadokhokinesis: (-)
o Rebound fenomen: (-)
o Nistagmus: (-)
o Dismetri:
Tes telunjuk hidung: (-)
Tes hidung-telunjuk-hidung: (-)
Tes telunjuk-telunjuk: (-)
o Gerakan abnormal: (-)
9. Fungsi Vegetatif:
a. Miksi: inkontinensia (-), retensi urin (-), anuria (-), poliuria (-)
b. Defekasi: inkontinensia alvi (-), retensio alvi (-)
C. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan
Hemoglobin

Angka
13.3

Satuan
gr/dl

Nilai Normal
Lk : 13,0 16,0

Eritrosit

4.08

106ul

Pr : 12,0 14,0
Lk : 4.5 5,5

Hematokrit

39.5

Pr : 4,0 5,0
Lk : 40 48

MCV
MCH
MCHC
Leukosit
Trombosit
Eosinofil
Basofil
Limfosit
Monosit
GDS

96.9
32.6
33.6
8.15
289
1.0
0.5
17.6
7.7
113

Pf
Pg
%
103ul
103ul
%
%
%
%
Mg/dL

Pr : 37 43
82 92
27 -31
32 36
5,0 10,0
150 400
13
01
20 40
28
70-150

D. Resume Pemeriksaan
KU: tampak sakit berat
Kesadaran: koma, GCS: E4V5M6
Nn. cranialis: tidak ada kelainan
Rflek batang otak: reflek kornea (-), reflek pupil -/-, dolls eye phenomenon (-)
Tanda meningeal: (-)
Kaku kuduk: (-)

Gerakan
Kekuatan Otot
Reflek Fisiologis
Reflek Patologis
Tonus otot
Klonus
Trofi otot
Sensibilitas

Kanan
Bebas
Bebas
5
5
+
+
+
N
+
N
N
+
+

E. Diagnosis
Diagnosis klinis: kejang, nausea, dizzines
Diagnosis topis: Diagnosis etiologi: epilepsy parsial organik
F. Diagnosis Banding
Observasi kejang DD Epilepsy
SOP
G. Usulan Pemeriksaan Penunjang
- Head CT scan

Kiri
Bebas
Bebas
5
5
+
+
+
N
+
N
N
+
+

- Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG)


H. Terapi:
Medikamentosa:
Inf Rl 20 tpm
Inj Ranitidin 1A/12jam
Inf Diazepam - 1 ampul jika kejang i.v pelan
Clobasam 10mg 0-0-1
Phenitoin 200mg 2x1
Anemolat 2x1
Antasyd syr 3xC1
I. Prognosa
Death: ad bonam
Disease: dubia ad bonam
Disability: dubia ad bonam
Discomfort: dubia ad bonam
Disatisfication: dubia ad bonam
Follow Up
16-01-2016
S

5-11-2015

Pasien

mengeluh

melayang-

Pasien

mengeluh

melayang-

Pasien

layang,

mual(+),

muntah(+),

layang,

mual(+),

muntah(+),

layang, mual(+), muntah(+), ,

kejang(+)
O

4-11-2015

siang,

pusing (+), malam susah tidur

malam susah tidur


KU: tampak sakt sedang

KU: tampak sakt sedang

KU: tampak sakt sedang

Kesadaran: CM, GCS E4V5M6

Kesadaran: CM, GCS E4V5M6

Kesadaran: CM, GCS E4V5M6

TD: 120/90, N: 86, RR: 18, S:

TD: 110/70, N: 86, RR: 18, S:

TD: 120/80, N: 84, RR: 18, S:

37,1

37,1

37,1

Nn. cranialis: DBN

Nn. cranialis: DBN

Nn. cranialis: DBN

Tanda meningeal: (-)

Tanda meningeal: (-)

Tanda meningeal: (-)

Kekuatan
Otot
Reflek
Fisiologi
Reflek
Patologis
Tonus otot
Klonus
Trofi otot
Sensibilitas

Ka
B
B
5
5

Ki
B
B
5
5

+
+

+
+

+
-

N
N
+
N
N
+
+

N
N
+
N
N
+
+

(+),

melayang-

pusing (+), malam susah tidur

Gerakan

pusing

mengeluh

Gerakan
Kekuatan
Otot
Reflek
Fisiologi
Reflek
Patologis
Tonus otot
Klonus
Trofi otot
Sensibilitas

Ka
B
B
5
5

Ki
B
B
5
5

+
+

+
+

+
-

N
N
+
N
N
+
+

N
N
+
N
N
+
+

Gerakan
Kekuatan
Otot
Reflek
Fisiologi
Reflek
Patologis
Tonus otot
Klonus
Trofi otot
Sensibilitas

Ka
B
B
5
5

Ki
B
B
5
5

+
+

+
+

+
-

N
N
+
N
N
+
+

N
N
+
N
N
+
+

Dx. klinis: kejang, nausea,

Dx. klinis: kejang, nausea,

dizzines
Dx topis: Dx. etiologi: epilepsy parsial

dizzines
Dx topis: Dx. etiologi: epilepsy parsial

dizzines
Dx topis: Dx. etiologi:

organik
Inf Rl 20 tpm
Inj Ranitidin 1A/12jam
Inf Diazepam - 1 ampul

organik
Inf Rl 20 tpm
Inj Ranitidin 1A/12jam
Inf Diazepam - 1

parsial organic
Inf Rl 20 tpm
Inj Ranitidin 1A/12jam
Inf Diazepam - 1

ampul jika kejang i.v

ampul jika kejang i.v

pelan
Clobasam 10mg 0-0-1
Phenitoin 200mg 2x1
Anemolat 2x1
Antasyd syr 3xC1

pelan
Clobasam 10mg 0-0-1
Phenitoin 200mg 2x1
Anemolat 2x1

jika kejang i.v pelan


Clobasam 10mg 0-0-1
Phenitoin 200mg 2x1
Anemolat 2x1
Antasyd syr 3xC1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi

Dx. klinis: kejang, nausea,

Antasyd syr 3xC1

epilepsy

Epilepsi merupakan salah satu kelainan neurologis yang paling umum terjadi dan
mengenai sekitar 50 juta orang di dunia. Epilepsi berupa suatu kondisi yang berbedabeda ditandai dengan kejang yang tiba-tiba dan berulang. Tidak ada perbedaan usia,
jenis kelamin, atau ras, meskipun kejadian kejang epilepsi yang pertama mempunyai
dua pembagian, dengan puncaknya pada saat masa kanakkanak dan setelah usia 60
tahun (WHO, 2012).
Kejang berasal dari bahasa Latin, sacire, yang berarti untuk mengambil alih.
Kejang adalah suatu kejadian tiba-tiba yang disebabkan oleh lepasnya agregat dari selsel saraf di sistem saraf pusat yang abnormal dan berlebihan (Lowenstein, 2010).
Bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis dari bangkitan serupa yang
berlebihan dan abnormal, berlangsung secara mendadak dan sementara, dengan atau
tanpa perubahan kesadaran, disebabkan oleh hiperaktifitas listrik sekelompok sel saraf
di otak yang bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut. Lepasnya muatan listrik
yang berlebihan ini dapat terjadi di berbagai bagian pada otak dan menimbulkan gejala
seperti berkurangnya perhatian dan kehilangan ingatan jangka pendek, halusinasi
sensoris, atau kejangnya seluruh tubuh (Miller, 2009).
Sindrom epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda klinis epilepsi yang terjadi
bersama-sama meliputi berbagai etiologi, umur, onset, jenis serangan, faktor pencetus
dan kronisitas (Engel Jr, 2006).
B. Epidemiologi
WHO melaporkan sebanyak sekitar 43 juta orang dengan epilepsi berasal dari
108 negara yang mencakup 85,4% dari populasi dunia. Angka rata-rata orang dengan
epilepsi per 1000 populasi adalah 8,93 dari 105 negara. Angka rata-rata orang dengan
epilepsi per 1000 populasi bervariasi di seluruh wilayah. Amerika mempunyai angka
rata-rata 12,59, 11,29 di Afrika, 9,4 di Mediterania Timur, 8,23 di Eropa, dan 3,66 di
Pasifik Barat. Sementara itu, Asia Tenggara memiliki angka rata-rata sebanyak 9,97
(WHO, 2005).
Prevalensi epilepsi aktif dalam sejumlah besar studi membuktikan keseragaman
pada angka 4-10 per 1000 penduduk. Insidensi epilepsi di negara maju adalah 24-53
per 100.000 populasi. Terdapat beberapa studi kejadian epilepsi di negara
berkembang, tetapi tidak ada yang cukup prospektif. Mereka menunjukkan 49,3-190
per 100.000 populasi. Tingkat insidensi tinggi di negara berkembang yang dianggap
sebagai akibat dari infeksi parasit terutama neurosistiserkosis, HIV, trauma, dan

morbiditas perinatal sulit untuk ditafsirkan karena masalah metodologis, terutama


kurangnya penyesuaian usia, yang penting karena epilepsi memiliki dua bimodal
terkait usia. Sedangkan di negara maju, insidensi di kalangan orang tua meningkat dan
menurun di kalangan anak-anak.
Hal ini diakibatkan karena meningkatnya risiko penyakit serebrovaskular.
Sebaliknya, perawatan obstetrik yang lebih baik dan pengendalian infeksi dapat
mengurangi angka kejadian pada anak-anak. Tingkat insidensi di dunia lebih besar
pada pria dibandingkan wanita (WHO, 2005).
Berapa banyak pasien epilepsi di Indonesia, sampai sekarang belum diketahui.
Meskipun di Indonesia belum ada data pasti tentang prevalensi maupun insidensi, tapi
sebagai suatu negara berkembang yang penduduknya berkisar 220 juta, maka
diperkirakan jumlah orang dengan epilepsi yang masih mengalami bangkitan dan
membutuhkan pengobatan berkisar 1,8 juta orang (Hawari, 2011).
C. Etiologi
Penyebab epilepsi pada berbagai kelompok usia:
1. Neonatal
Kelainan kongenital, kelainan saat persalinan, anoksia, kelainan metabolik
(hipokalsemia,

hipoglisemia,

defisiensi

vitamin

B6,

defisiensi

biotinidase,fenilketonuria).
2. Bayi (1-6 bulan)
Kelainan kongenital, kelainan saat persalinan, anoksia, kelainan metabolik,
spasme infantil, Sindroma West.
3. Anak (6 bulan 3 tahun)
Spasme

infantil,

kejang

demam,

kelainan

saat

persalinan

dan

anoksia,infeksi, trauma, kelainan metabolik, disgenesis kortikal, keracunan


obatobatan.
4. Anak (3-10 tahun)
Anoksia perinatal, trauma saat persalinan atau setelahnya, infeksi,
thrombosis arteri atau vena serebral, kelainan metabolik, Sindroma Lennox
Gastaut, Rolandic epilepsi.
5. Remaja (10-18 tahun)
Epilepsi idiopatik, termasuk yang diturunkan secara genetik, epilepsi
mioklonik juvenile, trauma, obat-obatan.

6. Dewasa muda (18-25 tahun)


Epilepsi idiopatik, trauma, neoplasma, keracunan alkohol atau obat sedasi
lainnya.
7. Dewasa (35-60 tahun)
Trauma, neoplasma, keracunan alkohol atau obat lainnya.
8. Usia lanjut (>60 tahun)
Penyakit vascular (biasanya pasca infark), tumor, abses, penyakit
degeneratif, trauma.
Meningitis atau ensefalitis dan komplikasinya mungkin adalah penyebab kejang
di semua kelompok usia. Hal ini dikarenakan adanya gangguan metabolik yang berat.
Pada negara tropis dan subtropis, infeksi parasit pada sistem saraf pusat adalah
penyebab umum kejang.
D. Klasifikasi
Klasifikasi bangkitan epilepsi menurut International League Against Epilepsi
(1981):
1) Bangkitan parsial
a. Bangkitan parsial sederhana
1. Motorik
2. Sensorik
3. Otonom
4. Psikis
b. Bangkitan parsial kompleks
1. Bangkitan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran
2. Bangkitan parsial disertai gangguan kesadaran saat awal
bangkitan
c. Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder
1. Parsial sederhana menjadi umum tonik-klonik
2. Parsial kompleks menjadi umum tonik-klonik
3. Parsial sederhana menjadi parsial kompleks kemudian menjadi
umum tonik-klonik
2) Bangkitan umum
a. Absans (lena)
b. Mioklonik

c. Klonik
d. Tonik
e. Tonik-klonik
f. Atonik
3) Tak tergolongkan
Klasifikasi sindroma epilepsi menurut ILAE 1989 (Rudzinski dan Shih, 2011):
A. Berkaitan dengan letak fokus
a. Idiopatik (primer)
1. Epilepsi anak benigna dengan gelombang paku di sentrotemporal
(Rolandik benigna)
2. Epilepsi pada anak dengan paroksismal oksipital
3. Primary reading epilepsy
b. Simtomatik (sekunder)
1. Epilepsi kronik progresif parsialis kontinua pada anak
(Sindrom Kojewnikow)
2. Epilepsi lobus temporalis
3. Epilepsi lobus frontalis
4. Epilepsi lobus parietalis
5. Epilepsi lobus oksipitalis
c. Kriptogenik
B. Umum
a. Idiopatik (primer)
1. Kejang neonatus familial benigna
2. Kejang neonatus benigna
3. Epilepsi mioklonik benigna pada bayi
4. Epilepsi absans pada anak
5. Epilepsi absans pada remaja
6. Epilepsi mioklonik pada remaja
7. Epilepsi dengan serangan tonik klonik pada saat terjaga
8. Epilepsi tonik klonik dengan serangan acak
b. Kriptogenik atau simtomatik
1. Sindroma West (spasme infantil dan hipsaritmia)
2. Sindroma Lennox Gastaut
3. Epilepsi dengan kejang mioklonik astatik

4. Epilepsi dengan absans mioklonik


c. Simtomatik
1. Etiologi non spesifik
- Ensefalopati mioklonik neonatal
- Sindrom Ohtahara
2. Etiologi atau sindroma spesifik
- Malformasi serebral
- Gangguan metabolism
4)

Epilepsi dan sindroma yang tidak dapat ditentukan


a. Serangan umum fokal
1. Kejang neonatal
2. Epilepsi mioklonik berat pada bayi
3. Sindroma Taissinare
4. Sindroma Landau Kleffner
b. Tanpa gambaran tegas fokal atau umum

5) Epilepsi berkaitan dengan situasi


a. Kejang demam
b. Berkaitan dengan alkohol
c. Berkaitan dengan obat-obatan
d. Eklamsi
e. Serangan berkaitan dengan pencetus spesifik (reflek epilepsi)
E. Patofisiologi
Telah diketahui bahwa neuron memiliki potensial membran, hal ini terjadi karena
adanya perbedaan muatan ion-ion yang terdapat di dalam dan di luar neuron.
Perbedaan jumlah muatan ion-ion ini menimbulkan polarisasi pada membran dengan
bagian intraneuron yang lebih negatif. Neuron bersinaps dengan neuron lain melalui
akson dan dendrit. Suatu masukan melalui sinapsis yang bersifat eksitasi akan
menyebabkan terjadinya depolarisasi membran yang berlangsung singkat, kemudian
inhibisi akan menyebabkan hiperpolarisasi membran. Bila eksitasi cukup besar dan
inhibisi kecil, akson mulai terangsang, suatu potensial aksi akan dikirim sepanjang
akson, untuk merangsang atau menghambat neuron lain.
Patofisiologi utama terjadinya epilepsi meliputi mekanisme yang terlibat dalam
munculnya kejang (iktogenesis), dan juga mekanisme yang terlibat dalam perubahan
otak yang normal menjadi otak yang mudah-kejang (epileptogenesis).

1. Mekanisme iktogenesis
Hipereksitasi adalah faktor utama terjadinya iktogenesis. Eksitasi yang
berlebihan dapat berasal dari neuron itu sendiri, lingkungan neuron, atau
jaringan neuron.
- Sifat eksitasi dari neuron sendiri dapat timbul akibat adanya perubahan
fungsional dan struktural pada membran postsinaptik; perubahan pada tipe,
jumlah, dan distribusi kanal ion gerbang-voltase dan gerbang-ligan; atau
perubahan biokimiawi pada reseptor yang meningkatkan permeabilitas
terhadap Ca2+, mendukung perkembangan depolarisasi berkepanjangan
yang mengawali kejang.
- Sifat eksitasi yang timbul dari lingkungan neuron dapat berasal dari
perubahan fisiologis dan struktural. Perubahan fisiologis meliputi perubahan
konsentrasi ion, perubahan metabolik, dan kadar neurotransmitter.
Perubahan struktural dapat terjadi pada neuron dan sel glia. Konsentrasi
Ca2+ ekstraseluler menurun sebanyak 85% selama kejang, yang mendahului
perubahan pada konsentasi K2+. Bagaimanapun, kadar Ca2+ lebih cepat
kembali normal daripada kadar K2+.
- Perubahan pada jaringan neuron dapat memudahkan sifat eksitasi di
sepanjang sel granul akson pada girus dentata; kehilangan neuron inhibisi;
atau kehilangan neuron eksitasi yang diperlukan untuk aktivasi neuron
inhibisi.
2. Mekanisme epileptogenesis
- Mekanisme nonsinaptik
Perubahan konsentrasi ion terlihat selama hipereksitasi, peningkatan kadar
K2+ ekstrasel atau penurunan kadar Ca2+ ekstrasel. Kegagalan pompa Na+K+ akibat hipoksia atau iskemia diketahui menyebabkan epileptogenesis, dan
keikutsertaan angkutan Cl--K+, yang mengatur kadar Cl- intrasel dan aliran
Cl- inhibisi yang diaktivasi oleh GABA, dapat menimbulkan peningkatan
eksitasi. Sifat eksitasi dari ujung sinaps bergantung pada lamanya depolarisasi
dan jumlah neurotransmitter yang dilepaskan. Keselarasan rentetan ujung
runcing abnormal pada cabang akson di sel penggantian talamokortikal
memainkan peran penting pada epileptogenesis.
- Mekanisme sinaptik
Patofisiologi sinaptik utama dari epilepsi melibatkan penurunan inhibisi

GABAergik dan peningkatan eksitasi glutamatergik.


o GABA
Kadar

GABA

yang

menunjukkan

penurunan

pada

CSS

(cairan

serebrospinal) pasien dengan jenis epilepsi tertentu, dan pada potongan


jaringan epileptik dari pasien dengan epilepsi yang resisten terhadap obat,
memperkirakan bahwa pasien ini mengalami penurunan inhibisi.
o Glutamat
Rekaman hipokampus dari otak manusia yang sadar menunjukkan
peningkatan kadar glutamat ekstrasel yang terus-menerus selama dan
mendahului kejang. Kadar GABA tetap rendah pada hipokampus yang
epileptogenetik, tapi selama kejang, konsentrasi GABA meningkat,
meskipun pada kebanyakan hipokampus yang non-epileptogenetik. Hal ini
mengarah pada peningkatan toksik di glutamat ekstrasel akibat
Tabel 2.1 Manifestasi Klinis Bangkitan Epilepsi
Tipe Kejang
Kejang Parsial
Parsial sederhana

Ciri Khas
Adanya gejala motorik, somatosensorik, sensorik,
otonom, atau kejiwaan.

Parsial kompleks
Kejang umum
Tonik-klonik

Kesadran normal
Adanya gejala motorik, somatosensorik, sensorik,
Kekakuan

klonik

yang

diikiuti

oleh

sentakan

ekstremitas yang sinkron.


Dapat disertai inkontinensia.
Absans

Diikuti dengan kebingungan pasca kejang.


Hilangnya kesadaran yang singkat (biasanya

< 10

detik) dengan terhnetinya aktivitas yang sedang


Mioklonik

berlangsung.
Adanya satu atau banyak sentakan otot.
Kesadaran normal.

Atonik
Tonik
Klonik

Biasanya bilateral dan simetris.


Hilangnya tonus otot yang singkat
Kontraksi otot yang berkepanjangan
Pergantian sentakan dan relaksasi ekstremitas secara

berulang-ulang
Sumber : (Miller, 2009)

F. Penegakan Diagnosa
Epilepsi dapat ditegakkan setelah pasien mengalami dua atau lebih kejang yang
tidak dipicu (Rudzinski dan Shih, 2011). Diagnosis pasti dapat ditegakkan hanya jika
kejang terjadi selama perekaman EEG atau jika muatan listrik dapat dihubungkan
dengan tanda dan gejala pasien. Oleh karena itu, diagnosis kejang tetap yang paling
utama (Miller, 2009).
Diagnosis epilepsi merupakan masalah tersendiri karena membuat diagnosis
epilepsi secara rutin memerlukan pengetahuan klinis dan keterampilan yang khusus.
Pada kebanyakan pasien epilepsi, diagnosis dapat dibuat dengan mengetahui secara
lengkap

riwayat

penyakit,

pemeriksaan

fisik

dan

neurologi,

pemeriksaan

elektroensefalografi, dan pencitraan otak (Sunaryo, 2006).


1. Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci, dan menyeluruh karena
pemeriksa hampir tidak pernah menyaksikan serangan yang dialami penderita.
Anamnesis dapat berupa autoanamnesis maupun aloanamnesis, meliputi:
a. Pola atau bentuk serangan
b. Lama serangan
c. Gejala sebelum, selama, dan sesudah serangan
d. Frekuensi serangan
e. Faktor pencetus
f. Ada tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
g. Usia saat serangan pertama
h. Riwayat kehamilan, persalinan, dan perkembangan
i. Riwayat penyakit, penyebab, dan terapi sebelumnya
j. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
2. Pemeriksaan fisik dan neurologi
Melihat adanya tanda-tanda infeksi, seperti demam, infeksi telinga, tanda
meningeal, atau bukti adanya trauma kepala. Pemeriksaan fisikk harus
menepis sebab-sebab terjadinya serangan dengan menggunakan umur dan
riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada anak-anak, pemeriksa harus
memperhatikan

adanya

keterlambatan

perkembangan,

organomegali,

perbedaan ukuran antara anggota tubuh yang dapat menunjukkan awal


gangguan pertumubuhan otak unilateral. Pemeriksaan neurologis lengkap dan
rinci adalah penting, khususnya untuk mencari tanda-tanda fokal atau lateral.

3. Pemeriksaan penunjang
a. Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan
merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk
menegakkan diagnosis epilepsi dan tipe kejang lainnya yang tepat dan
bahkan sindrom epilepsi (Markand, 2009). EEG juga dapat membantu
pemilihan obat anti epilepsi dan prediksi prognosis pasien (Smith, 2005).
Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi
struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG
menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik.
Pemeriksaan EEG rutin sebaiknya dilakukan perekaman pada waktu
sadar dalam keadaan istirahat dan pada waktu tidur (Sunaryo, 2006).
Gambaran EEG pasien epilepsi menunjukkan gambaran epileptiform,
misalnya gelombang tajam (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan
gelombang lambat yang timbul secara paroksismal.
b. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah pencitraan otak
(neuroimaging) bertujuan untuk melihat struktur otak dengan melengkapi
data EEG. Pada pencitraan struktural, MRI merupakan pilihan utama,
lebih unggul dibandingkan CT scan, karena MRI dapat mendeteksi dan
menggambarkan lesi epileptogenik. Pencitraan fungsional seperti Single
Photon Emission Computerised Tomography

(SPECT), Positron

Emission Tomography (PET), dan MRI fungsional digunakan lebih lanjut


untuk menentukan lokasi lesi epileptogenik sebelum pembedahan jika
pencitraan struktural meragukan. MRI fungsional juga dapat membantu
menentukan lokasi area fungsional spesifik sebelum pembedahan
(Consensus Guidelines on the Management of Epilepsy, 2010).
G. Diagnosis Banding
Diagnosis Banding epilepsi yaitu:
1.Pada neonatus : jittring dan apneic spell
2. Pada anak : breath holding spells, sinkope, migrain, bangkitan psikogenik/konversi,
Prolonged QT syndrome, Night terror, Tics, Hypercianotic attack (pada tetralogi
fallot)

3. Pada dewasa : sinkope (vasovagal attack, sinkope kardiogenik, sinkope


hipovolemik, sinkope hipotensi, dan sinkop saaat miksi (micturition sinkope),
serangan iskemik sepintas (TIA), vertigo, Transint Global Amnesia, Narkolepsi,
Bangkitan Panic, psikogenik

H. Penatalaksanaan
Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah membuat orang dengan epilepsi (ODE)
terbebas dari serangan epilepsinya, terutama terbebas dari serangan kejang sedini
mungkin. Setiap kali terjadi serangan kejang yang berlangsung sampai beberapa menit
maka akan menimbulkan kerusakan sampai kematian sejumlah sel-sel otak. Apabila
hal ini terus-menerus terjadi, maka dapat mengakibatkan menurunnya kemampuan
intelegensi penderita. Pengobatan epilepsi dinilai berhasil dan ODE dikatakan sembuh
apabila serangan epilepsi dapat dicegah atau penyakit ini menjadi terkontrol dengan
obat-obatan.
Penatalaksanaan untuk semua jenis epilepsi dapat dibagi menjadi 4 bagian:
penggunaan obat antiepilepsi (OAE), pembedahan fokus epilepsi, penghilangan faktor
penyebab dan faktor pencetus, serta pengaturan aktivitas fisik dan mental. Tapi secara
umum, penatalaksanaan epilepsi dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Terapi medikamentosa
Terapi medikamentosa adalah terapi lini pertama yang dipilih dalam
menangani penderita epilepsi yang baru terdiagnosa. Ketika memulai pengobatan,
pendekatan yang mulai dengan rendah, lanjutkan dengan lambat (start low, go
slow) akan mengurangi risiko intoleransi obat (Smith dan Chadwick, 2001).
Penatalaksanaan epilepsi sering membutuhkan pengobatan jangka panjang.
Monoterapi lebih dipilih ketika mengobati pasien epilepsi, memberikan
keberhasilan yang sama dan tolerabilitas yang unggul dibandingkan politerapi
(Louis, Rosenfeld, Bramley, 2009). Pemilihan OAE yang dapat diberikan dapat
dilihat pada tabel 2.2.
Tabel 2.2 Daftar OAE yang umum digunakan dan indikasinya
Tipe Kejang
Kejang parsial
Parsial kompleks,

Lini Pertama

Lini Kedua

Carbamazepine

Acetazolamide

parsial kompleks,

Lamotrigine

Clonazepam

Umum sekunder

Levatiracetam

Gabapentin

Oxarbazepine

Phenobarbitone

Topiramate

Phenytoin

Valporate
Kejang umum
Tonik-klonik,

Carbamazepine

Acetazolamide

Konik

Lamotrigine

Levatiracetam

Topiramate

Phenobarbitone

Valporate
Ethosuximide

Phenytoin
Acetazolamide

Lamotrigine

Clonazepam

Valporate
Valporate

Acetazolamide

Absans

Absans atipikal,
Atonik,

Clonazepam

Tonik

Lamotrigine
Phenytoin

Mioklonik

Valporate

Topiramate
Acetazolamide
Clonazepam
Lamotrigine
Levatiracetam
Phenobarbitone

Piracetam
Sumber: (Consensus Guidelines onn the Management og Epilepsy, 2010)
2. Terapi bedah epilepsi
Tujuan terapi bedah epilepsi adalah mengendalikan kejang dan meningkatkan
kualitas hidup pasien epilepsi yang refrakter. Pasien epilepsi dikatakan refrakter
apabila kejang menetap meskipun telah diterapi selama 2 tahun dengan
sedikitnya 2 OAE yang paling sesuai untuk jenis kejangnya atau jika terapi
medikamentosa menghasilkan efek samping yang tidak dapat diterima. Terapi
bedah epilepsi dilakukan dengan membuang atau memisahkan seluruh daerah
epileptogenik tanpa mengakibatkan risiko kerusakan jaringan otak normal
didekatnya (Consensus Guidelines on the Management of Epilepsy, 2010).
I. Prognosis
Prognosis epilepsi bergantung pada beberapa hal, diantaranya jenis epilepsi,
faktor penyebab, saat pengobatan dimulai, dan keteraturan minum obat. Pada

umumnya prognosis epilepsi cukup baik.


Pada 50-70% penderita epilepsi, serangan dapat dicegah dengan obat-obat,
sedangkan sekitar 50% pada suatu waktu dapat berhenti minum obat. Serangan
epilepsi primer, baik yang bersifat kejang umum maupun serangan lena atau melamun
atau absence mempunyai prognosis baik.
Sebaliknya epilepsi yang seranagn pertamanya mulai pada usia 3 tahun atau yang
disertai kelainan neurologik dan atau retardasi mental mempunyai prognosis relatif
jelek. Pada epilepsi dengan tipe bangkitan mioklonik, prognosisnya sangat buruk jika
ia disebabkan oleh anoksia.

BAB III
ANALISA KASUS
Pada kasus diatas didapatkan keluhan pasien kejang pada seluruh tubuh, riwayat
kejang sudah 6th berobat rutin namun 1 bulan terakhir ini pasien mengaku jika putus
obat karena obat sulit untuk didapatkan. Pasien mengaku jika ia saat akan kejang
pasien akan merasa pusing terlebih dahulu. Penegakan diagnosis Epilepsi dapat

ditegakkan setelah pasien mengalami dua atau lebih kejang yang tidak dipicu
(Rudzinski dan Shih, 2011). Diagnosis pasti dapat ditegakkan hanya jika kejang terjadi
selama perekaman EEG atau jika muatan listrik dapat dihubungkan dengan tanda dan
gejala pasien. Oleh karena itu, diagnosis kejang tetap yang paling utama (Miller,
2009).
Diagnosis epilepsi merupakan masalah tersendiri karena membuat diagnosis
epilepsi secara rutin memerlukan pengetahuan klinis dan keterampilan yang khusus.
Pada kebanyakan pasien epilepsi, diagnosis dapat dibuat dengan mengetahui secara
lengkap

riwayat

penyakit,

pemeriksaan

fisik

dan

neurologi,

pemeriksaan

elektroensefalografi, dan pencitraan otak (Sunaryo, 2006).

DAFTAR PUSTAKA
Amira, T. Masri, 2008. Familiarity, Knowledge, and Attitudes towards Epilepsy among
Attendees of a Family Clinic in Amman, Jordan. Neurosciences 2008: Vol.13.
Ayapillai, Daniel Rajkumar, 2012. Pengetahuan dan Sikap Masyarakat tentang Penyakit
Epilepsi di Departemen Neurologi RSUP H. Adam Malik Medan. Skripsi Program
Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran. Universitas Sumatera Utara, Medan.
Bhattacharya, A. K., 2007. Epilepsy Awareness among Parents of School Children: A
Municipal Survey. Journal Indian Medical Association, 105: 243-246.
Engel Jr., Jerome, 2006. ILAE Classification of Epilepsy Syndromes. Epilepsy
Research, 70S: S5-S10.

Dewi,

Surya

Nirmala.

2014.

Diagnosis

Banding

Epilepsi.

Diunduh

dari

https://ml.scribd.com/doc/219617717/Diagnosis-Banding-Epilepsi-Full

pada

tanggal 5 Maret 2015


Eisai,

2012.

Pathophysiology

of

Epilepsy,

2.

Eisai

Inc.

Available

from

http://www.focusonepilepsy.com/pdfs/pathophys.pdf [Accessed 20 May 2013].


Haydar, E. Babikar, Islam, B. Abbas, 2011. Knowledge, Practice and Attitude toward
Epilepsy among Primary and Secondary School Teachers in South Gezira Locality,
Gezira State, Sudan. J Family Community Med. 18(1): 1721.
Hawari, Irawaty, 2012. Epilepsi di Indonesia. Available from: http://www.ina-epsy.org/
[Accessed 4 Maret 2015].
Hills, Michael D., 2007. The Psychological and Social Impact of Epilepsy. Neurology
Asia, 12: 10-12.
ILAE, 1981. Proposal for Revised Clinical and Electroencephalographic Classification of
Epileptic Seizures. From the Communication on Classification and Terminology of
the International League Against Epilepsy. Epilepsia, 22: 489-1981.
Institute of Medicine, 2012. Epilepsy across the Spectrum: Promoting Health and
Understanding. Washington, DC: The National Academies Press.
Lowenstein, Daniel H., 2010. Seizures and Epilepsy. In: Hauser, Stephen L. (Ed.).
Harrisons: Neurology and Clinical Medicine. 2nd Edition. USA: The McGraw-Hill
Companies, 222-245.
Malaysian Society of Neurosciences, 2010. Consensus Guidelines on the Management of
Epilepsy. Epilepsy Council.
Markand, Omkar N., 2009. Epilepsy in Adults. In: Biller, Jose (Ed.). Practical Neurology.
3rd Edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 511-542.
Miller, Laura C., 2009. Epilepsy. In: Savitz, Sean I. and Ronthal, Michael (Ed.).
Neurology Review for Psychiatrists. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins,
106-125.
Mustapha, A.F., Odu, O.O., Akande, O., 2012. Knowledge, Attitudes and Perceptions of
Epilepsy among Secondary School Teachers in Osogbo South-West Nigeria: A
Community Based Study. Nigerians Journal of Clinical Practice, 16: 12-18.
Notoatmodjo, Soekidjo, 2012. Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta:
Rineka Cipta.
Purba, S.J., 2008. Epilepsi: Permasalahan di Reseptor atau Neurotransmitter. Medicinus.
FKUI.

Putri, Mustika A., 2009. Prevalensi Epilepsi di Poliklinik Saraf RSUP Fatmawati Jakarta
pada Tahun 2004-2008. Skripsi Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
Jakarta.
Rambe, Aldy S. and Sjahrir, Hasan, 2002. Awareness, Attitudes, and Understanding
towards Epilepsy among School Teachers in Medan, Indonesia. Neurol J Southeast
Asia, 7: 77-80.
Rudzinski, Leslie A. and Shih, Jerry J., 2011. The Classification of Seizures and Epilepsy
Syndromes. Novel Aspects on Epilepsy: 69-88.
Ropper, Allan H. and Brown, Robert H., 2005. Epilepsy and Other Seizure Disorders. In:
Adams and Victors: Principles of Neurology. 8th Edition. USA: The McGraw-Hill
Companies, 271-301.
Saint Louis, Erik K., Rosenfeld, William E., Bramley, Thomas, 2009. Antiepileptic Drug
Monotherapy:

The

Initial

Approach

in

Epilepsy

Management.

Current

Neuropharmacology, 7: 77-82.
Smith, D. and Chadwick, D., 2001. The Management of Epilepsy. J Neurology
Neurosurgery Psychiatry, 70(suppl II): ii15-ii21.
Smith, S. J. M., 2005. EEG in the Diagnosis, Classification, and Management of Patients
with Epilepsy. J Neurology Neurosurgery Psychiatry, 76(suppl II): ii2-ii7.
Sunaryo, Utoyo, 2007. Diagnosis Epilepsi. Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya Kusuma, 1.
Suwarba, I Gusti N. M., 2011. Insidens dan Karakteristik Klinis Epilepsi pada Anak. Sari
Pediatri, 13 (2): 123-128.
WHO, 2005. Atlas: Epilepsy Care in the World. Geneva. WHO.
WHO, 2012. Neurological disorders: A Public Health Approach. WHO.

Anda mungkin juga menyukai