Mean Arterial Pressure (MAP) atau Tekanan Rata-rata Arteri berasal dari Tekanan
Darah Sistolik (TDS) dan Tekanan Darah Diastolik (TDD). MAP sering digunakan sebagai
indikator pengganti dari aliran darah dan dipercaya sebagai indikator yang lebih baik untuk
perfusi jaringan dibanding TDS.
MAP yang terukur 60 mmHg atau lebih dipercaya perlu untuk mempertahankan perfusi
jaringan. Karena MAP adalah produk dari Cardiac Output (CO) atau curah jantung dan
Systemic Vascular Resistance (SVR) atau Resistensi Vaskular Sistemik [MAP = CO x SVR],
variasi dari SVR membuat hubungan antara MAP dan CO sering tidak dapat dipercaya
(sebagai contoh, seorang pasien dengan CO yang rendah tetapi SVR yang tinggi misalnya
pada dengan syok kardiogenik yang mungkin memiliki MAP yang normal tetapi CO yang
ada terlalu rendah untuk memberikan perfusi jaringan yang adekuat.
Tekanan Arterial Rata-rata dapat dihitung pada semua pasien yang tekanan darahnya
sudah diperiksa. Pengaturan target tekanan darah perlu untuk diperhatikan sehingga dapat
meningkatkan outcome dari beberapa kondisi. Beberapa kondisi itu diantaranya adalah sepsis,
trauma, stroke, perdarahan intrakranial, dan hipertensi emergensi.
MAP harus dihitung ketika suatu kondisi klinis menunjukkan perlunya penyesuaian
tekanan darah berdasarkan MAP daripada TDS, begitu pula pada penanganan pasien dengan
kondisi akut ketika perlu perhatian khusus terhadap perfusi organ yang adekuat.
Pasien dengan MAP dibawah atau diatas dari nilai yang ditargetkan harus diterapi
dengan cairan, produk darah, vasopresor, inotropik, atau vasodilator tergantung pada skenario
klinis pasien. Managemen tekanan darah yang spesifik dan target MAP akan sangat
bergantung pada etiologi dari tinggi atau rendahnya MAP dan harus dioptimalkan untuk
mencegah kondisi yang membahayakan.1
Tekanan arterial rata-rata (Mean Arterial Pressure, MAP) diatur oleh perubahan pada
curah jantung (cardiac output, CO) dan resistensi vaskular sistemik (Systemic Vascular
Resistance). Skema dibawah ini merangkum faktor-faktor yang meregulasi curah jantung dan
resistensi vaskular sistemik (gambar 1).
Gambar 1. Faktor-faktor yang meregulasi curah jantung dan resistensi vaskular sistemik 2
Curah jantung atau cardiac output dipengaruhi oleh produk dari volume sekuncup
(stroke volume) dan denyut jantung (heart rate). Stroke volume dipengaruhi oleh kemampuan
inotropik jantung dan preload venrikel. Preload ventrikel dapat berubah akibat volume darah
dan kemampuan vena (venous compliance). Penurunan kemampuan vena (venous
compliance), sebagaimana terjadi ketika vena mengalami konstriksi, meningkatkan preload
ventrikel dengan meningkatkan tekanan vena sentral. Volume total darah di regulasi oleh
fungsi ginjal, dan disisi lain ginjal mengontrol kadar cairan dan garam dalam tubuh. Denyut
jantung, inotropik, venous complaiance, dan fungsi ginjal seluruhnya dipengaruhi oleh
mekanisme neurohumoral.
Resistensi vaskular sistemik dipengaruhi oleh anatomi dari pembuluh darah. Secara
umum, struktur vaskular relatif tidak dapat diubah; meskipun demikian kondisi patologis
tertentu seperti trombosis vaskular dapat mempengaruhi jumlah perfusi pembuluh darah.
Pada hipertensi terjadi penurunan dalam jumlah arteriol dan kapiler secara anatomis.
Mekanisme paling penting untuk mengubah resistensi vaskular sistemik adalah
perubahan pada diameter dari lumen pembuluh darah. Berdasarkan hubungan Poiseuille
disebutkan bahwa resistensi pembuluh darah berbanding terbalik empat kali dengan jari-jari
dari pembuluh darah. Pada hipertensi kronik, jari-jari pembuluh darah seringkali berkurang
akibat penebalan dari dinding pembuluh darah hal ini membuat pengurangan ukuran
lumennya. Faktor vaskular antara lain nitric oxide, endotelin dan prostasiklin memiliki
pengaruh yang penting terhadap diameter pembuluh darah. Lebih lanjut lagi mekanisme
miogenik sebagai faktor intrinsik dari otot polos vaskular juga dapat mempengaruhi diameter
pembuluh darah. Faktor jaringan misalnya adenosisn, ion kalium, ion hidrogen dan histamin
secara signifikan mempengaruhi diameter pembuluh darah. Secara umum, faktor jaringan
lebih mempengaruhi aliran darah terhadap organ daripada tekanan sistemik arterial.
Pada akhirmya, mekanisme neurohumoral memaikan peran yang paling penting dalam
meregulasi resistensi vaskular sistemik dan tekanan arterial, terutama pada hipertensi
sekunder. Mekanisme neurohumoral diregulasi oleh baroreseptor arterial dan kemoreseptor.
Tekanan darah arteri secara normal diregulasi dalam rentangan yang sempit, dengan
tekanan arteri rata-rata secara tipikal berkisar antara 85 hingga 100 mmHg pada orang
dewasa. Ini penting untuk di kontrol secara ketat untuk memastikan aliran darah yang adekuat
pada organ di seluruh tubuh. Keadaan ini diatur oleh sistem umpan balik negatif yang
diperantarai oleh sensor tekanan (baroreseptor) yang mendeteksi tekanan arterial (gambar 2).
Baroreseptor arterial yang paling penting berlokasi di sinus katoris (pada bifurkasio dari arteri
karotis internal dan eksternal serta pada arkus aorta. Reseptor ini memberikan respon berupa
peregangan dinding arterial sehingga ketika tekanan arteri tiba-tiba meningkat, dinding
pembuluh darah ini secara pasif melebar, dimana meningkatkan frekuensi firing level dari
potensial aksi reseptor. Jika tekanan darah mendadak turun, penurunan regangan dinding
pembuluh
darah
menunjukkan
penurunan
firing
level
dari
reseptor.
Gambar 2. Baroreseptor2
Baroreseptor sinus karotikus di inervasi oleh sinus nerve of Hering, yang merupakan
cabang dari saraf kranial ke-IX (glossopharyngeal). Sinaps dari nervus glosofaringeus berada
pada nucleus tractus solitarius (NTS) yang berlokasi pada medulla di batang otak.
Baroreseptor arkus aorta diinervasi oleh aortic nerve, yang kemudian bersama dengan nervus
vagus berjalan menuju NTS. Nucleus Tractus Solitarius (NTS) memodulasi aktivitas neuron
simpatis dan parasimpatis pada medulla, yang kemudian meregulasi kontrol autonomik dari
jantung dan pembuluh darah.
Diantara kedua baroreseptor ini, sinus karotikus memiliki peran yang secara kuantitatif
penting dalam pengaturan tekanan arterial. Sinus karotikus memberikan respon pada tekanan
dengan rentang 60 180 mmHg. Reseptor pada arkus aorta memiliki nilai ambang yang lebih
tinggi terhadap tekanan dan kurang sensitif bila dibandingkan dengan reseptor pada sinus
karotikus. Sensitivitas sinus karotis yang maksimal mendekati nilai normal tekanan arteri
rata-rata; oleh karena itu perubahan yang sangat kecil sekalipun pada tekanan arteri dapat
mempengaruhi reseptor ini sehingga mengaktifkan kontrol otonom untuk mengatasi kondisi
ini. Nilai ambang tekanan arterial ini dapat berubah pada kondisi hipertensi, gagal jantung,
maupun aktivitas. Perubahan nilai ambang (pergeseran ke kanan) menjelaskan bagaimana
tekanan arteri dapat meningkat pada hipertensi kronis (gambar 3).
1. Magder SA. The high and lows of blood pressure: toward meaningful clinical targets in
patients with shock. Crit Care Med. 2014; 42(5): 1241-1251 Di unduh dari
http://www.mdcalc.com/mean0arterial-pressure-map/#about-equation
2. Klabunde RE, Cardiovascular Physyology Concepts: Mean Arterial Pressure. 24 April
2014. Di unduh dari http://www.cvphysiology.com/Blood%20Pressure/BP006.htm