MIASTENIA GRAVIS
Oleh:
Pembimbing
DI DEPARTEMEN/KSM NEUROLOGI
TAHUN 2020
Lembar Persetujuan Pembimbing
Pembimbing
Mengetahui,
ii
KATA PENGANTAR
Puja dan puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat rahmat-Nya tinjauan pustaka dengan judul “Aspek Klinis dan Tatalaksana
Miastenia Gravis” ini selesai pada waktunya. Tinjauan pustaka ini disusun sebagai
salah satu syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di Departemen/KSM
Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada berbagai
pihak yang telah membantu penyelesaian tinjauan sistematis ini. Ucapan terima
kasih penulis sampaikan kepada:
1. Dr. dr. I Made Oka Adnyana, Sp.S(K), selaku Ketua Departemen/KSM
Neurologi FK Unud/RSUP Sanglah Denpasar yang telah memfasilitasi dan
memberikan penulis kesempatan selama proses pembelajaran di bagian ini.
Begitu juga selaku pembimbing dalam pembuatan tinjauan pustaka ini yang
telah memberikan saran, dan masukkan dalam penyempurnaan tinjauan
pustaka ini.
2. dr. Ida Ayu Sri Indrayani, Sp.S selaku Penanggung Jawab Pendidikan
Dokter Muda Departemen/KSM Neurologi FK Unud/RSUP Denpasar yang
telah memberikan penulis kesempatan dan membantu penulis selama proses
pembelajaran di bagian ini.
3. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
membantu dalam penyusunan tinjauan sistematis ini.
Penulis menyadari tinjauan sistematis ini masih jauh dari kata sempurna sehingga
saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan untuk
kesempurnaan tinjauan sistematis ini. Semoga tinjauan sistematis ini dapat
bermanfaat bagi pembaca.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
iv
BAB I
PENDAHULUAN
Miastenia Gravis (MG) adalah sebuah penyakit autoimun yang cukup jarang
terjadi. MG merupakan suatu bentuk kelainan pada paut saraf-otot yang paling
sering terjadi. Kelainan paut saraf-otot yang dimaksud adalah kelainan pada
perbatasan antara sel saraf dan sel otot yang dipersarafi, atau daerah ini lebih
dikenal dengan nama neuromuscular junction (NMJ). Pada MG, terjadi gangguan
transmisi pada serat pos sinaps, bagian yang terganggu adalah reseptor dari
asetilolin (AChR) dimana terdapat anti-bodi terhadap reseptor tersebut sehingga
tidak terjadinya transmisi impuls antara serabut saraf pre sinaps dengan serabut otot
post sinaps sehingga tidak terjadi kontraksi otot.1
Gejala klinis khas pada miastenia gravis adalah kelemahan yang sering terkait
dengan otot tertentu. Pasien sering mengeluhkan kelemahan otot memburuk dengan
aktivitas dan membaik dengan istirahat. Pasien dapat mempunyai gejala seperti
ptosis, diplopia, disfagia, disartria, kelemahan otot wajah, kelemahan tungkai atau
aksial, hingga mengeluhkan terjadinya dispnea. Kelemahan pada MG dapat
memiliki tingkat keparahan yang berbeda, bergantung terhadap paut saraf-otot yang
terlibat.3
1
2
dengan tepat. Sehingga anamnesis dan pemeriksaan fisik yang tepat dan benar akan
sangat membantu dalam mendiagnosa kasus ini.4 Penatalaksanaan MG, dapat
berupa medikamentosa dan atau non-medikamentosa, hal ini disesuaikan dengan
kelas dari MG yang terjadi dan juga ketersediaan peralatan yang diperlukan.5
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definsi
MG dikemukakan pertama kali pada tahun 1950, dimana nama ini diambil
dari bahasa latin. Miastenia dalam bahasa latin artinya kelemahan otot dan gravis
artinya parah. MG adalah suatu bentuk kelainan pada transmisi neuromuskular yang
terjadi pada taut antara serat saraf dan serat otot/ neuromuscular junction (NMJ).
Pada MG terjadi permasalahan transmisi yang mana terjadi inhibisi oleh antibodi
terhadap reseptor asetilkolin (AChR) di pos sinaps mengakibatkan tidak sampainya
impuls dari serat saraf ke serat otot (tidak terjadi kontraksi otot). MG ditandai oleh
kelemahan otot yang kembali memulih setelah istirahat.1
3
4
2.2. Etiologi
Pengaruh obat juga diteliti, beberapa obat yang dapat menginduksi atau
meneksarsebasi MG adalah: antibiotic (aminoglikosid, polimiksin, siprofloksasin,
eritromisin, and ampisilin), penisilamin, litium, magnesium, prokainamid,
verapamil, quinidin, kloroquin, prednison, timolol.3
2.3. Epidemiologi
2.4. Klasifikasi
Telah dikenal sejak dahulu, subtipe dari MG berdasarkan gambaran klinis dan
pathogenesis. MG diklasifikasikan menjadi:6
1. early onset MG/ MG onset dini. MG subtipe ini secara klinis terjadi pada
pasien dengan usia dibawah 50 tahun, lebih sering terjadi pada wanita,
terjadi hiperplasia timus.
2. Late onset MG/ MG onset lama. MG subtipe ini secara klinis terjadi pada
pasien dengan usia diatas 50 tahun, umumnya terjadi ada laki-laki, terjadi
atropi timus.
3. Thymoma associated MG/ MG terkait timoma. 10-15% pasien MG
mengalami timoma, sebaliknya 20-40% pasien timoma mengalami MG.
MG dengan timoma selalu memiliki antibodi AChR pada serum darah.
4. MG dengan anti MUSK antibody. Pasien biasanya memiliki gambaran
klinis MG yang parah, karena MG tipe ini menyerang paut saraf-otot wajah,
paut saraf-otot leher, serta paut saraf-otot sistem pernapasan.
5. MG Okular. MG subtipe ini hanya menyerang otot okular saja. Sehingga
hanya memunculkan gejala pada bagian ocular.
6. Antibodies negative MG/ MG dengan antibody negatif.6
Klasifikasi subtipe atau subkelas diatas telah digunakan secara global sejak
lama. Beberapa klasifikasi baru telah dibentuk untuk menggambarkan klinis MG
secara lebih akurat dan menyesuaikan dengan penatalakasanaan yang akan
diberikan. Klasifikasi oleh Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA)
menklasifikasikan MG menjadi 5 kelas dan beberapa subkelas, klasifikasi sebagai
berikut:3,7
6
Kelas I:
• Adanya kelemahan otot-otot okular
• Dapat ditemukan kelemahan pada saat menutup mata
• Kekuatan otot lain normal
Kelas II:
• Kelemahan ringan pada otot-otot lain selain otot okular
• Dapat ditemukan kelemahan otot okular dengan tingkat keparahan
bervariasi
Kelas IIa:
• Kelemahan ringan mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau
keduanya
• Dapat juga terdapat kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan
Kelas IIb:
• Kelemahan ringan mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan
atau keduanya
• Dapat juga terdapat kelemahan yang lebih ringan atau setara (dengan
subkelas IIa) pada otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial atau keduanya
Kelas III:
• Kelemahan sedang pada otot-otot selain otot okular
• Dapat ditemukan kelemahan otot okular dengan tingkat keparahan
bervariasi
Kelas IIIa:
• Kelemahan sedang mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial
atau keduanya secara predominan
• Terdapat kelemahan otot orofaringeal yang lebih ringan
Kelas IIIb:
• Kelemahan sedang mempengaruhi otot faringeal, otot-otot pernapasan, atau
keduanya secara predominan.
• Dapat juga terdapat kelemahan yang lebih ringan atau setara (dengan
subkelas IIIa) pada otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial atau keduanya
Kelas IV:
• Kelemahan berat pada otot-otot selain otot okular
7
1. Ocular miastenia: terkenanya otot-otot mata saja, dengan ptosis dan diplopia
sangat ringan dan tidak ada kematian
2. Generalized miastenia.
a. Mild generalized miastenia. Permulaan lambat, sering terkena otot
mata, pelan-pelan meluas ke otot-otot skelet dan bulber.System
pernafasan tidak terkena. Respon terhadap otot baik.
b. Moderate generalized miastenia. Kelemahan hebat dari otot-otot
skelet dan bulbar, respon terhadap obat tidak memuaskan
3. Severe generalized miastenia
a. Acute fulmating miastenia: permulaan cepat, kelemahan hebat dari
otot-otot pernapasan, progresi penyakit biasanya komplit dalam 6
bulan. Respon terhadap obat kurang memuaskan, aktivitas penderita
terbatas dan mortalitas tinggi.
8
2.5. Patogenesis
Pada paut saraf-otot normal, di ujung saraf motorik terdapat sebuah terminal
yang dinamakan terminal bulb. Terminal bulb ini dinamakan juga sebagai
membrane pre sinaps yang bersama dengan membran pos sinaps dan celah sinaps
membentuk paut saraf-otot/neuromuscular junction (NMJ). Membran pre sinaps
mengandung Asetilkolin (ACh) yang disimpan dalam bentuk vesikel. Apabila
terjadi potensial aksi, akan mengakibatkan terkativasinya kanal kalsium.
Teraktivasinya kanal kalsium akan mengakibatkan terjadinya influx kalsium dan
menggerakan vesikel Ach ke tepi membran. Di tepi membran, vesikel ACh akan
mengalami pengkaitan/docking sehingga melepaskan ACh ke celah sinaps. ACh
akan ditangkap oleh reseptor ACh (AChR) di membran pos sinaps. Ikatan antara
ACh dan AChR di membran pos sinaps menyebabkan terbukanya kanal natrium
(Na+) dan menyebabkan influx dari Na+. Influx Na+ akan menyebabkan terjadinya
depolarisasi, yang jika mencapai ambang tertentu akan menyebabkan terjadinya
potensial aksi. Potensial aksi yang terjadi akan menyebabkan terjadinya kontraksi
dari otot. Selanjutnya, ACh yang berikatan pada AChR akan dihidrolisis oleh
asetilkolinestarese (AChE) menjadi kolin dan asam laktat. Kolin akan kembali ke
membran pre sinaps dan membentuk ACh kembali. Hidrolisis oleh AChE ini
berfungsi agar tidak terjadinya kontraksi yang terus menerus akibat ikatan ACh dan
AChR.9
Pada MG, terjadi gangguan pada membran pos sinaps khususnya pada AChR.
AChR yang menurun menyebabkan ACh yang dilepaskan kecelah pos sinaps tidak
dapat berikatan dengan membran pos sinaps, sehingga tidak menyebabkan
terjadinya kontraksi otot dan terjadi kelemahan pada otot. Kerusakan atau gangguan
pada AChR ini pada beberapa studi diterangkan bahwa diakibatkan oleh autoimun
dalam tubuh yang membentuk antibodi terhadap AChR (anti-AChR bodi).10
9
Mencegah neurotransmitter
(ACh) menempel dan
merangsang kontraksi otot
2.6. Diagnosis
Pada anamnesis seperti penyakit lainnya kita dapat lakukan dengan basic 4 &
fundamental 7, pasien MG biasanya datang dengan keluhan utama yaitu
ketidakmampuan untuk membuka mata atau ptosis dan atau terjadinya pandangan
ganda atau diplopia. Kelemahan otot tersebut dapat terjadi beberapa hari atau
minggu sebelum akhirnya datang untuk mencari pengobatan. Kelemahan otot dapat
terjadi secara bilateral namun asimetris antara bagian kanan dan kiri. Keluhan
biasanya semakin parah seiring waktu dan membaik dengan istirahat. Keluhan
lainnya yang dapat dirasakan seperti: ketidakseimbangan pada saat berjalan akibat
10
cepat, dilakukan pemberian stimulus selama 2-10 detik dengan frekuensi 20-
50 Hz. Normalnya, kontraksi otot akan semakin meningkat, pada MG justru
sebaliknya, kontraksi justru menghilang dan terjadi kelemahan.
Selain RNS, terdapat pula Single-fibre electromyography (SFEMG) tes
elektrodiagnostik ini merupakan tes paling sensitif untuk mendiagnosa MG.
SFEMG normal, pada otot yang lemah dapat menyingkirkan diagnose MG.
SFEMG menggunakan fiber tunggal dimana fiber ini memiliki kemampuan
untuk merekam fiber otot secara lebih spesifik dibandingkan dengan
menggunakan elektroda pada RNS.
4. Tes Farmakologikal
Sesuai patogenesis dari MG, dimana AChR mengalami gangguan sehingga
tidak dapat berikatan dengan ACh, dan ACh yang telah berikatan dengan
AChR dihidrolisis oleh AChE, maka pemberian AChE inhibitor akan
meningkatkan lama waktu ikatan antara ACh dan AChR di membran pos
sinaps, sehingga membuat kontraksi otot tetap terjadi, hal tersebut lah yang
mendasari dilakukannya tes ini. Edrofonium adalah obat AChE inhibitor,
sehingga administrasi dari edrofonium akan menyebabkan membaiknya
kelemahan otot yang terjadi pada pasien MG. Tes ini mengevaluasi
kelemahan sebelum dan sesudah administrasi dari edrofonium pada pasien
MG.
Perlu diperhatikan bahwa pemberian AChE inhibitor memberikan efek
samping yang berbahaya pada beberapa individu, efek samping berupa:
salivasi, lakrimasi, berkeringat, flushing, fasikulasi perioral, bradikardi, blok
konduksi jantung, fibrilasi ventrikel, dan asistol. Atropin harus selalu
disediakan sebagai antidotum dari pemberian edrofonium.
5. Tes Radiologi
Seperti penjelasan sebelumnya, bahwa MG dan timoma adalah penyakit yang
kaitannya erat dalam statistic, oleh karena itu semua penderita MG harus
dilakukan CT-Scan dan MRI thoraks untuk melihat ada atau tidaknya timoma
atau hiperplasia timus. Beberapa studi merekomendasikan untuk
dilakukannya pencitraan ulang pada MG berulang setelah periode penyakit
13
stabil untuk mengeksklusi timoma, yang dapat terjadi pada episode penyakit
MG berikutnya.14,15
Dibedakan dengan MG, melalui onset klinis dimana pada penyakit ini
biasanya terjadi pada bayi dan anak-anak. Pada pemeriksaan laboratorium akan
didapatkan antibodi yang negatif dan umumnya tidak merespon terhadap
imunoterapi.16,17
Tampilan klinis GBS adalah adanya keterlibatan dari jaras asenden pada
kelemahan otot. Pada GBS akan ditemukan adanya gangguan pada sistem saraf
otonom, didapatkan arefleksia dan terdapat gangguan sensoris.17
LEMS memiliki gambaran yang sangat mirip dengan MG, bahkan klinis awal
pada penderita LEMS tidak dapat dibedakan dengan penderita MG. Beberapa
gambaran klinis yang dapat membedakan LEMS dengan MG dapat dilihat dari otot
yang mengalami kelemahan dimana LEMS biasnya mengalami kelemahan pada
bagian proksimal dari ekstremitas bawah. Patogenesis dari kedua penyakit ini
berbeda, dimana LEMS mengalami gangguan pada membran pre sinaps akibat
antibodi VGCC sedangkan MG pada membran pos sinaps akibat antibodi AChR.18
2.8. Penatalaksanaan
2.8.2. Kortikosteroid
Dapat diberikan prednison dimulai dengan dosis rawal 10-20 mg, dinaikkan
bertahap (5-10 mg/minggu) 1x sehari selang sehari, maksimal 120 mg/6 jam/oral,
kemudian diturunkan sampai dosis minimal efektif. Efek sampingnya dapat berupa:
peningkatan berat badan, hiperglikemia, osteopenia, ulkus gaster dan duodenum,
katarak. 19, 20, 21,22
2.8.3. Azatioprin
PE paling efektif digunakan pada situasi dimana terapi jangka pendek yang
menguntungkan menjadi prioritas.Dasar terapi dengan PE adalah pemindahan anti-
asetilkolin secara efektif. Respon dari terapi ini adalah menurunnya titer antibodi.
Dimana pasienyang mendapat tindakan berupa hospitalisasi dan intubasi dalam
waktu yang lama serta trakeostomi, dapat diminimalisasikan karena efek dramatis
dari PE.Terapi ini digunakan pada pasien yang akan memasuki atau sedang
mengalami masa krisis. PE dapat memaksimalkan tenaga pasien yang akan
menjalani timektomi atau pasien yang kesulitan menjalani periode pasca operasi.
Jumlah dan volume dari penggantian yang dibutuhkan kadang-kadang berbeda
tetapi umumnya 3-4 liter sebanyak 5x dalam 2 minggu.21,22,23
Dosis standar IVIG adalah 400 mg/kgbb/hari pada 5 hari pertama, dilanjutkan
1 gram/kgbb/hari selama 2 hari.19, 20,21
2.8.6. Timektomi
2.9. Prognosis
Gejala awal yang dialami hampir 80% pasien adalah kelemahan otot-otot
ekstraokuler, yang biasanya terjadi pada beberapa bulan hingga satu tahun pertama.
Dari jumlah tersebut 80-85% akan mengalami kelemahan pada otot-otot
ekstremitas beberapa tahun berikutnya. Tingkat keparahan yang berat (krisis
miastenia) dapat ditemukan saat tahun pertama pada hampir dua pertiga pasien.
Gejala bisa diperberat dengan adanya kondisi sistemik yang menyertai, contohnya
gangguan tiroid dan infeksi saluran pernapasan atas. Pada fase awal penyakit, gejala
bisa berfluktuasi dan membaik, walaupun perbaikan jarang yang bersifat permanen.
MG berulang biasanya terjadi dalam kurun waktu sekitar tujuh tahun, diikuti fase
16
2.10. Komplikasi
RINGKASAN
17
DAFTAR PUSTAKA
1. Statland JM, Ciafaloni E. MG: Five new things. Neurol Clin Pract.
2013;3(2):126–133. doi:10.1212/CPJ.0b013e31828d9fec
2. Romi F, Gilhus NE, Aarli JA. MG: clinical, immunological, and therapeutic
advances. Acta Neurol Scand. 2015; 111: 134-141.
3. Khadilkar SV, Sahni AO, Patil SG. Miastenia gravis. JAPI. 2016; 52:897-903
4. Vernino S., Lennon V.A., Autoantibody profiles and neurological
correlations of thymoma. Clin Cancer Res, 2014; 18: 678-80.
5. Engel A. Myasthenia gravis and myasthenia syndromes. Annals of
Neurology. 2004;16:519-534
6. Gilhus NE, Owe JF, Hoff JM, Romi F, Skeie GO, Aarli JA. Myasthenia
gravis: a review of available treatment approaches. Autoimmune Dis. 2011;
2011:847393. doi:10.4061/2011/847393
7. Jayam Trouth A, Dabi A, Solieman N, Kurukumbi M, Kalyanam J.
Myasthenia gravis: a review. Autoimmune Dis. 2012; 2012:874680.
doi:10.1155/2012/874680
8. Aydin Y, Colak A, Mutlu V, Eroglu A. Thymectomy in myasthenia gravis.
Eurasian J Med. 2017; 49: 48-52. doi:10.5152/eurasianjmed.2017.17009
9. Sieb, J. Myasthenia gravis: an update for the clinician. Clinical &
Experimental Immunology. 2014;175(3): pp.408-418.
10. Vissing, J., O'Brien, F., Wang, J. and Howard, J. Correlation between
Myasthenia gravis−activities of daily living (MG‐ADL) and quantitative
myasthenia gravis (QMG) assessments of anti−acetylcholine receptor
antibody−positive refractory generalized MG in the phase 3 regain study.
Muscle & Nerve. 2018:58(2); pp. E21-E22.
11. Phillips WD, Vincent A. Pathogenesis of myasthenia gravis: update on
disease types, models, and mechanisms. F1000Res. 2016;5:13-15
doi:10.12688/f1000research.8206.1
12. Homel, P. Development of generalized myasthenia gravis in patients with
ocular myasthenia gravis. Archives of Neurology. 2003:60(10); p.1492.
18
13. Venkataramaiah S, Sriganesh K. Management of myasthenia gravis. J
Neuroanaesthesiol Crit Care. 2019;6:153–159. doi: 10.1055/s-0039-
1689739 ISSN 2348-0548
14. Adnyana O, Widyadharma E, Anom A. Diagnosis dan tatalaksana miastenia
gravis. 2013. Diakses pada 15 Maret 2020 di
https://www.researchgate.net/publication/292931538_DIAGNOSIS_DAN_TATA_L
AKSANA_MIASTENIA_GRAVIS
15. Benatar M. A systemic review of diagnostic studies in myasthenia gravis.
Neuromuscular disord. 2016; 16(7): 459-67. ISSN: 0960-8966
16. Wijayanti S. Aspek klinis dan penatalaksanaan miastenisa gravis. 2016.
Diakses pada 15 Maret 2020 di:
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_pendidikan_dir/bccf7d50d5873e07c3211
e891fa2769c.pdf
17. Engstrom JW. Myasthenia gravis: diagnostic mimics. Semin neurol. 2014;
24(2): 141-7. doi: 10.1055/s-2004-830903
18. Kesner VG; Oh SJ; Dimachkie MM; Barohn RJ. Lambert-eaton myasthenic
syndrome. Neurol Clin. 2018; 36(2):379-394. ISSN: 1557-9875
19. Setiyohadi B. Miologi. In: Sudoyo AW, Setiyohadi, Bambang, Alwi, idrus,
Simadibrata K.,Marcellus, Setiati, Siti, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta: Interna Publishing; 2009.
20. Mumenthaler M, Mattle H. Fundamentals of neurology. in: myasthenia
gravis. Germany: Georg Thieme Verlag; 2006
21. Ilmu Penyakit Saraf S. Standar Pelayanan Medik. Makassar: Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin; 2014
22. Feldman EL, Grisold W, Russell JW, Zifko UA. Atlas of neuromuscular
diseases. in: myastenia gravis. Austria: SpringerWienNewYork; 2005:pp337-
44.
23. Ropper AH, Brown, Robert H. ,. Adam and victor's principles of neurology.
In: mg and related disorders of the neuromuscular junction 8 th ed. United
State of America: McGraw-Hill Medical Publishing Division; 2005.
24. Rohkamm R. Color atlas of neurology. in: myopathies. New York: Thieme
Verlag; 2004
19
20