Anda di halaman 1dari 24

ASPEK KLINIS DAN TATALAKSANA

MIASTENIA GRAVIS

Oleh:

Alif Hakim Alamsyah (1902611087)

I Made Agus Satrya Wibawa (1902611201)

Presanavathy P.Tharmalingam (1902612010)

Pembimbing

Dr. dr. I Made Oka Adnyana, Sp.S(K)

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA

DI DEPARTEMEN/KSM NEUROLOGI

FK UNUD / RSUP SANGLAH DENPASAR

TAHUN 2020
Lembar Persetujuan Pembimbing

ASPEK KLINIS DAN TATALAKSANA MIASTENIA GRAVIS

TINJAUAN PUSTAKA INI TELAH DISETUJUI

TANGGAL, 17 MARET 2020

Pembimbing

Dr. dr. I Made Oka Adnyana, Sp.S (K)


NIP. 195610101983121001

Mengetahui,

Ketua Departemen/ KSM Neurologi

FK Unud/ RSUP Sanglah Denpasar,

Dr.dr. I Made Oka Adnyana, Sp.S(K)


NIP. 195610101983121001

ii
KATA PENGANTAR

Puja dan puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat rahmat-Nya tinjauan pustaka dengan judul “Aspek Klinis dan Tatalaksana
Miastenia Gravis” ini selesai pada waktunya. Tinjauan pustaka ini disusun sebagai
salah satu syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di Departemen/KSM
Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada berbagai
pihak yang telah membantu penyelesaian tinjauan sistematis ini. Ucapan terima
kasih penulis sampaikan kepada:
1. Dr. dr. I Made Oka Adnyana, Sp.S(K), selaku Ketua Departemen/KSM
Neurologi FK Unud/RSUP Sanglah Denpasar yang telah memfasilitasi dan
memberikan penulis kesempatan selama proses pembelajaran di bagian ini.
Begitu juga selaku pembimbing dalam pembuatan tinjauan pustaka ini yang
telah memberikan saran, dan masukkan dalam penyempurnaan tinjauan
pustaka ini.
2. dr. Ida Ayu Sri Indrayani, Sp.S selaku Penanggung Jawab Pendidikan
Dokter Muda Departemen/KSM Neurologi FK Unud/RSUP Denpasar yang
telah memberikan penulis kesempatan dan membantu penulis selama proses
pembelajaran di bagian ini.
3. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
membantu dalam penyusunan tinjauan sistematis ini.

Penulis menyadari tinjauan sistematis ini masih jauh dari kata sempurna sehingga
saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan untuk
kesempurnaan tinjauan sistematis ini. Semoga tinjauan sistematis ini dapat
bermanfaat bagi pembaca.

Denpasar, Maret 2020

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ------------------------------------------------------------ i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ---------------------------------- ii

KATA PENGANTAR ------------------------------------------------------------- iii

DAFTAR ISI ------------------------------------------------------------------------ iv

DAFTAR GAMBAR -------------------------------------------------------------- v

DAFTAR GRAFIK ---------------------------------------------------------------- vi

BAB I PENDAHULUAN -------------------------------------------------------- 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ------------------------------------------------- 2

2.1. Definisi ------------------------------------------------------------------ 3

2.2. Etiologi ------------------------------------------------------------------ 4

2.3. Epidemiologi ----------------------------------------------------------- 4

2.4. Klasifikasi --------------------------------------------------------------- 5

2.5. Patogenesis ------------------------------------------------------------- 8

2.6. Diagnosis ---------------------------------------------------------------- 9

2.7. Diagnosis Banding ----------------------------------------------------- 13

2.8. Penatalaksanaan -------------------------------------------------------- 13

2.9. Prognosis ---------------------------------------------------------------- 15

2.10. Komplikasi ------------------------------------------------------------ 16

BAB III RINGKASAN ----------------------------------------------------------- 17

DAFTAR ISI ------------------------------------------------------------------------ 18

iv
BAB I

PENDAHULUAN

Miastenia Gravis (MG) adalah sebuah penyakit autoimun yang cukup jarang
terjadi. MG merupakan suatu bentuk kelainan pada paut saraf-otot yang paling
sering terjadi. Kelainan paut saraf-otot yang dimaksud adalah kelainan pada
perbatasan antara sel saraf dan sel otot yang dipersarafi, atau daerah ini lebih
dikenal dengan nama neuromuscular junction (NMJ). Pada MG, terjadi gangguan
transmisi pada serat pos sinaps, bagian yang terganggu adalah reseptor dari
asetilolin (AChR) dimana terdapat anti-bodi terhadap reseptor tersebut sehingga
tidak terjadinya transmisi impuls antara serabut saraf pre sinaps dengan serabut otot
post sinaps sehingga tidak terjadi kontraksi otot.1

Secara global, insiden dari kejadian MG diestimasikan antara 2 sampai 5


kasus per 1.000.000 penduduk pertahunnya sedangkan prevalensi dari kejadian MG
diestimasikan berada diantara 7 sampai 20 kasus dari 100.000 penduduk. Di
Amerika Serikat, sensus yang dilakukan oleh departemen kesehatan menyatakan
bahwa kejadian MG diestimasikan antara 5 sampai 14 kasus dari 100.000 ribu
penduduk. Di Indonesia sendiri, berdasarkan laporan Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) pada tahun 2010, insiden MG di Indonesia diperkirakan 1 kasus per
100.000.2

Gejala klinis khas pada miastenia gravis adalah kelemahan yang sering terkait
dengan otot tertentu. Pasien sering mengeluhkan kelemahan otot memburuk dengan
aktivitas dan membaik dengan istirahat. Pasien dapat mempunyai gejala seperti
ptosis, diplopia, disfagia, disartria, kelemahan otot wajah, kelemahan tungkai atau
aksial, hingga mengeluhkan terjadinya dispnea. Kelemahan pada MG dapat
memiliki tingkat keparahan yang berbeda, bergantung terhadap paut saraf-otot yang
terlibat.3

MG berdasarkan Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA) dibagi


menjadi 5 kelas dan subkelas yang akan dibahas lebih lanjut pada bagian
selanjutnya.3 Untuk mendiagnosa MG, dapat dilakukan anamneis dan pemeriksaan
fisik. Dimana dari kedua modalitas tersebut, 90% pasien sudah dapat terdiagnosa

1
2

dengan tepat. Sehingga anamnesis dan pemeriksaan fisik yang tepat dan benar akan
sangat membantu dalam mendiagnosa kasus ini.4 Penatalaksanaan MG, dapat
berupa medikamentosa dan atau non-medikamentosa, hal ini disesuaikan dengan
kelas dari MG yang terjadi dan juga ketersediaan peralatan yang diperlukan.5

MG dalam Standar Kompetensi Dokter Indonesia masuk kedalam kategori


3B yang artinya dokter umum harus mampu mendiagnosis kasus ini dan juga
memberikan penanganan awal sebelum merujuk, oleh karena itu, dalam
kesempatan ini, kami akan membawakan materi mengenai MG. Pemaparan ini
nantinya diharapkan mampu menambah keilmuan kami selaku penulis dan juga
teman-teman semua selaku pembaca.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definsi

MG dikemukakan pertama kali pada tahun 1950, dimana nama ini diambil
dari bahasa latin. Miastenia dalam bahasa latin artinya kelemahan otot dan gravis
artinya parah. MG adalah suatu bentuk kelainan pada transmisi neuromuskular yang
terjadi pada taut antara serat saraf dan serat otot/ neuromuscular junction (NMJ).
Pada MG terjadi permasalahan transmisi yang mana terjadi inhibisi oleh antibodi
terhadap reseptor asetilkolin (AChR) di pos sinaps mengakibatkan tidak sampainya
impuls dari serat saraf ke serat otot (tidak terjadi kontraksi otot). MG ditandai oleh
kelemahan otot yang kembali memulih setelah istirahat.1

Gambar 1. Perbedaan pada paut saraf-otot normal dan miastenia gravis

3
4

2.2. Etiologi

MG biasanya idiopatik pada kebanyakan pasien. Meskipun penyebab utama


di balik berkembangnya kasus ini masih spekulatif, temuan terakhir menyatakan
bahwa terdapatnya gangguan dari system autoimun tubuh sebagai faktor penyebab
utama. MG merupakan penyakit autoimun dimana antibodi spesifik sebagai
penanda dari penyakit ini telah ditemukan seluruhnya. Sebanyak 90% kasus, IgG
ke AChR dapat ditemukan. Bahkan pada pasien yang tidak mengalami gangguan
secara klinis, antibodi anti-AChR terkadang dapat ditemukkan pada pemeriksaan.3,4

Beberapa penelitian mencoba menemukan pengaruh genetik terhadap


penyakit MG. Sejumlah temuan telah dikaitkan dengan MG. Misalnya, orang
dengan tipe human leukocyte antigen (HLA) tertentu memiliki kecenderungan
genetik terhadap penyakit autoimun (secara umum). Pemeriksaan histologi
kompleks untuk mengetahui profil dari HLA-A1, -A3, -B7, -B8, -DRw3, dan -
DQw2 (meskipun ini tidak terbukti terkait dengan bentuk okuler MG yang khas).
Namun, genotipe HLA tidak secara rutin digunakan dalam evaluasi pasien yang
diduga memiliki MG.3

Pengaruh obat juga diteliti, beberapa obat yang dapat menginduksi atau
meneksarsebasi MG adalah: antibiotic (aminoglikosid, polimiksin, siprofloksasin,
eritromisin, and ampisilin), penisilamin, litium, magnesium, prokainamid,
verapamil, quinidin, kloroquin, prednison, timolol.3

2.3. Epidemiologi

Secara global, insiden dari kejadian MG diestimasikan antara 2 sampai 5


kasus dalam 1.000.000 penduduk pertahunnya. Sedangkan prevalensi dari kejadian
MG diestimasikan berada diantara 7 sampai 20 kasus dari 100.000 penduduk. Di
Amerika Serikat, sensus yang dilakukan oleh departemen kesehatan menyatakan
bahwa kejadian MG diestimasikan antara 5 sampai 14 kasus dari 100.000 ribu
penduduk. Di Indonesia sendiri belum ada data yang akurat terkait kasus kejadian
MG, sebuah organisasi dengan nama Yayasan Myasathenia Gravis Indonesia
merencanakan pembuatan data tersebut yang ditargetkan rampung pada tahun ini.2
5

MG dapat terjadi pada semua usia. Insiden terjadinya MG pada wanita


memuncak pada usia 20-30 tahun, sedangkan insidensi pria memuncak pada usia
40-50 tahun. Usia onset rata-rata adalah 28 tahun pada wanita dan 42 tahun pada
pria. Keseluruhan perbandingan kejadian MG pada perempuan: laki-laki yaitu 3: 2,
dengan dominasi perempuan pada usia yang lebih muda (yaitu, pasien berusia 20-
30 tahun) dan sedikit dominasi laki-laki pada usia yang lebih tua (yaitu, pasien yang
lebih tua dari 40 tahun).2

2.4. Klasifikasi

Telah dikenal sejak dahulu, subtipe dari MG berdasarkan gambaran klinis dan
pathogenesis. MG diklasifikasikan menjadi:6

1. early onset MG/ MG onset dini. MG subtipe ini secara klinis terjadi pada
pasien dengan usia dibawah 50 tahun, lebih sering terjadi pada wanita,
terjadi hiperplasia timus.
2. Late onset MG/ MG onset lama. MG subtipe ini secara klinis terjadi pada
pasien dengan usia diatas 50 tahun, umumnya terjadi ada laki-laki, terjadi
atropi timus.
3. Thymoma associated MG/ MG terkait timoma. 10-15% pasien MG
mengalami timoma, sebaliknya 20-40% pasien timoma mengalami MG.
MG dengan timoma selalu memiliki antibodi AChR pada serum darah.
4. MG dengan anti MUSK antibody. Pasien biasanya memiliki gambaran
klinis MG yang parah, karena MG tipe ini menyerang paut saraf-otot wajah,
paut saraf-otot leher, serta paut saraf-otot sistem pernapasan.
5. MG Okular. MG subtipe ini hanya menyerang otot okular saja. Sehingga
hanya memunculkan gejala pada bagian ocular.
6. Antibodies negative MG/ MG dengan antibody negatif.6

Klasifikasi subtipe atau subkelas diatas telah digunakan secara global sejak
lama. Beberapa klasifikasi baru telah dibentuk untuk menggambarkan klinis MG
secara lebih akurat dan menyesuaikan dengan penatalakasanaan yang akan
diberikan. Klasifikasi oleh Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA)
menklasifikasikan MG menjadi 5 kelas dan beberapa subkelas, klasifikasi sebagai
berikut:3,7
6

Kelas I:
• Adanya kelemahan otot-otot okular
• Dapat ditemukan kelemahan pada saat menutup mata
• Kekuatan otot lain normal
Kelas II:
• Kelemahan ringan pada otot-otot lain selain otot okular
• Dapat ditemukan kelemahan otot okular dengan tingkat keparahan
bervariasi
Kelas IIa:
• Kelemahan ringan mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau
keduanya
• Dapat juga terdapat kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan
Kelas IIb:
• Kelemahan ringan mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan
atau keduanya
• Dapat juga terdapat kelemahan yang lebih ringan atau setara (dengan
subkelas IIa) pada otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial atau keduanya
Kelas III:
• Kelemahan sedang pada otot-otot selain otot okular
• Dapat ditemukan kelemahan otot okular dengan tingkat keparahan
bervariasi
Kelas IIIa:
• Kelemahan sedang mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial
atau keduanya secara predominan
• Terdapat kelemahan otot orofaringeal yang lebih ringan
Kelas IIIb:
• Kelemahan sedang mempengaruhi otot faringeal, otot-otot pernapasan, atau
keduanya secara predominan.
• Dapat juga terdapat kelemahan yang lebih ringan atau setara (dengan
subkelas IIIa) pada otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial atau keduanya
Kelas IV:
• Kelemahan berat pada otot-otot selain otot okular
7

• Dapat ditemukan kelemahan otot okular dengan tingkat keparahan


bervariasi
Kelas IVa:
• Kelemahan berat mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial
atau keduanya secara predominan
• Terdapat kelemahan otot orofaringeal yang lebih ringan
Kelas IV b:
• Kelemahan berat mempengaruhi otot faringeal, otot-otot pernapasan, atau
keduanya secara predominan.
• Dapat juga terdapat kelemahan yang lebih ringan atau setara (dengan
subkelas IVa) pada otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial atau keduanya
• Penderita menggunakan feeding tube tanpa dilakukan intubasi.
Kelas V: penderita terintubasi dengan atau tanpa ventilasi mekanik.3,7

Selain klasifikasi tersebut, terdapat juga klasifikasi Osserman dimana


klasfikasi ini banyak dikaitkan dengan MG timoma dan penatalaksanaanya serta
kemungkinan terjadinya remisi pada MG. Pada klasifikasi Osserman, miastenia
gravis dibagi menjadi:8

1. Ocular miastenia: terkenanya otot-otot mata saja, dengan ptosis dan diplopia
sangat ringan dan tidak ada kematian
2. Generalized miastenia.
a. Mild generalized miastenia. Permulaan lambat, sering terkena otot
mata, pelan-pelan meluas ke otot-otot skelet dan bulber.System
pernafasan tidak terkena. Respon terhadap otot baik.
b. Moderate generalized miastenia. Kelemahan hebat dari otot-otot
skelet dan bulbar, respon terhadap obat tidak memuaskan
3. Severe generalized miastenia
a. Acute fulmating miastenia: permulaan cepat, kelemahan hebat dari
otot-otot pernapasan, progresi penyakit biasanya komplit dalam 6
bulan. Respon terhadap obat kurang memuaskan, aktivitas penderita
terbatas dan mortalitas tinggi.
8

b. Late severe miastenia: timbul paling sedikit 2 tahun setelah


kelompok I dan II progresif dari miastenia gravis dapat pelanpelan
atau mendadak, presentase thymoma kedua paling tinggi. Respon
terhadap obat dan prognosis buruk.8

2.5. Patogenesis

Pada paut saraf-otot normal, di ujung saraf motorik terdapat sebuah terminal
yang dinamakan terminal bulb. Terminal bulb ini dinamakan juga sebagai
membrane pre sinaps yang bersama dengan membran pos sinaps dan celah sinaps
membentuk paut saraf-otot/neuromuscular junction (NMJ). Membran pre sinaps
mengandung Asetilkolin (ACh) yang disimpan dalam bentuk vesikel. Apabila
terjadi potensial aksi, akan mengakibatkan terkativasinya kanal kalsium.
Teraktivasinya kanal kalsium akan mengakibatkan terjadinya influx kalsium dan
menggerakan vesikel Ach ke tepi membran. Di tepi membran, vesikel ACh akan
mengalami pengkaitan/docking sehingga melepaskan ACh ke celah sinaps. ACh
akan ditangkap oleh reseptor ACh (AChR) di membran pos sinaps. Ikatan antara
ACh dan AChR di membran pos sinaps menyebabkan terbukanya kanal natrium
(Na+) dan menyebabkan influx dari Na+. Influx Na+ akan menyebabkan terjadinya
depolarisasi, yang jika mencapai ambang tertentu akan menyebabkan terjadinya
potensial aksi. Potensial aksi yang terjadi akan menyebabkan terjadinya kontraksi
dari otot. Selanjutnya, ACh yang berikatan pada AChR akan dihidrolisis oleh
asetilkolinestarese (AChE) menjadi kolin dan asam laktat. Kolin akan kembali ke
membran pre sinaps dan membentuk ACh kembali. Hidrolisis oleh AChE ini
berfungsi agar tidak terjadinya kontraksi yang terus menerus akibat ikatan ACh dan
AChR.9

Pada MG, terjadi gangguan pada membran pos sinaps khususnya pada AChR.
AChR yang menurun menyebabkan ACh yang dilepaskan kecelah pos sinaps tidak
dapat berikatan dengan membran pos sinaps, sehingga tidak menyebabkan
terjadinya kontraksi otot dan terjadi kelemahan pada otot. Kerusakan atau gangguan
pada AChR ini pada beberapa studi diterangkan bahwa diakibatkan oleh autoimun
dalam tubuh yang membentuk antibodi terhadap AChR (anti-AChR bodi).10
9

Antibodi menyerang reseptor Penurunan jumlah tempat reseptor


asetilkolin pada ujung motorik (ACH) di persimpangan neuromuskuler

Mencegah neurotransmitter
(ACh) menempel dan
merangsang kontraksi otot

Mengakibatkan hilangnya kekuatan


otot

Grafik 1. Patogenesis Miastenia Gravis

2.6. Diagnosis

Diagnosis MG sering tertunda berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun


(dalam kasus yang paling ringan). Distribusi yang tidak biasa dan gejala yang
berfluktuasi sering menunjukkan keluhan menyerupai gangguan kejiwaan. Pasien
dengan ptosis, diplopia dan kesulitan berbicara atau gejala menelan menunjukkan
patologi intrakranial dan sering mengarah pada evaluasi untuk stroke, tumor otak
atau multiple sclerosis.11 Pasien dengan MG anti-MuSK-antibodi positif mungkin
memiliki kelemahan fokal atau regional dan atrofi otot yang lebih menunjukkan
penyakit motor neuron atau membran otot (miopati).12

2.6.1. Anamnesis & Pemeriksaan Fisik

Pada anamnesis seperti penyakit lainnya kita dapat lakukan dengan basic 4 &
fundamental 7, pasien MG biasanya datang dengan keluhan utama yaitu
ketidakmampuan untuk membuka mata atau ptosis dan atau terjadinya pandangan
ganda atau diplopia. Kelemahan otot tersebut dapat terjadi beberapa hari atau
minggu sebelum akhirnya datang untuk mencari pengobatan. Kelemahan otot dapat
terjadi secara bilateral namun asimetris antara bagian kanan dan kiri. Keluhan
biasanya semakin parah seiring waktu dan membaik dengan istirahat. Keluhan
lainnya yang dapat dirasakan seperti: ketidakseimbangan pada saat berjalan akibat
10

melemahnya otot ekstremitas bawah, perubahan pada ekspresi wajah akibat


melemahnya otot wajah, kesulitan dalam menelan, menimbulkan suara yang
abnormal, gangguan bicara (disartria), dan pasien tidak mampu menutup mulut,
yang dinamakan sebagai tanda rahang menggantung. Keluhan lain yang dapat juga
dijumpai adalah keluhan nafas pendek, dan kelemahan pada ekstremitas atas hingga
leher. Bila penyakit hanya terbatas pada otot-otot mata saja, maka perjalanan
penyakitnya sangat ringan dan tidak akan menyebabkan kematian.13,14

Pemeriksaan fisik dapat dilakukan dengan pertama melakukan pemeriksaan


tanda vital terlebih dahulu, lalu melakukan pemeriksaan head to toe dilanjutkan
dengan pemeriksaan neurologis. Pemeriksaan neurologis dimulai dari pemeriksaan
kesan umum (GCS), lalu dilanjutkan dengan pemeriksaan nervus kranialis guna
melihat apakah ada kelemahan pada otot yang dipersarafi oleh nervus kranialis.
Dilanjutkand dengan pemeriksaan motorik (tenaga, tonus, tropik, refleks) pada
otot-otot wajah, ekstermitas dan badan, khususnya pada otot dikeluhakan atau
dijumpai mengalami kelemahan. Kelemahan umumnya terjadi pada area wajah
dimana dapat dijumpai ptosis dan senyum yang horizontal, kelainan ini dinamakan
myasthenic sneer. Selalin itu dapat dijumpai pula kelemahan pada otot-otot palatum
sehingga menyebabkan suara penderita seperti berada di hidung serta adanya
regurgitasi utamanya cairan ke rongga hidung penderita. Penting juga untuk
melakukan pemeriksaan sensoris guna menyingkirkan diagnosis lain yang menjadi
diagnosis banding dari MG.14

Untuk penegakan diagnosis miastenia gravis, pada pemeriksaan fisik, dapat


dilakukan pemeriksaan dengan cara penderita ditugaskan untuk berbicara dengan
suara yang keras. Lama kelamaan suara penderita MG akan bertambah lemah dan
menjadi kurang jelas. Penderita menjadi anartris dan afonis. Setelah itu, penderita
ditugaskan untuk mengedipkan matanya secara terus-menerus dan lama kelamaan
akan timbul ptosis. Setelah suara penderita menjadi parau atau tampak ada ptosis,
maka penderita disuruh beristirahat. Kemudian tampak bahwa suaranya akan
kembali baik dan ptosis juga tidak tampak lagi.14
11

2.6.2. Pemeriksaan Penunjang

Setelah anamnesis dan pemeriksaan fisik dapat pula dilakukan pemeriksaan


penunjang guna mendiagnosis MG dan menyingkirkan diagnosis banding dari MG.
Beberapa pemeriksaan dapat dilakukan secara sederhana dengan peralatan minim
hingga pemeriksaan yang dilakukan dengan peralatan lengkap. Pemeriksaan
penunjang yang dapat diusulkan pada penyakit MG adalah:14,15

1. Ice Pack Test


Pemeriksaan sederhana yang dapat dilakukan untuk membedakan ptosis yang
terjadi pada MG dengan ptosis yang terjadi pada penyakit lainnya adalah
dengan menggunakan test ice pack. Pendinginan akan memperbaiki transmisi
pada paut saraf-otot, oleh karena itu pada MG, tes ini akan menyebabkan
membaiknya ptosis yang terjadi.
2. Tes Laboratorium
Sesuai dengan patogenesis dari MG, maka semua pasien yang dicurigai
menderita MG harus dilakukan tes laboratorium. Tes laboratorium paling
utama untuk dilakukan adalah pemeriksaan anti-AChR, oleh karena pada
hampir 90% pasien MG akan memperlihatkan peningkatan pada kadar anti
AChR tersebur. Pada 5-10% kasus akan didapatkan anti-AChR negatif, yang
pada kasus tersebut maka antibodi anti-MuSK harus dikerjakan. Pada
beberapa kasus, kedua antibodi tersebut didapatkan negatif, hal ini
dikarenakan supresi terhadap sistem imun dapat mengakibatkan hilangnya
antibodi yang diperlukan untuk menegakan diagnosis MG.
3. Tes Elektrodiagnostik
Repetitive Nerve Stimulation (RNS) adalah tes eletrodiagnostik pertama yang
digunakan untuk mengetahui kelainan yang terjadi pada paut saraf-otot.
Untuk melakukan tes ini, pasien perlu menghentikan konsumsi obat
asetilkolin inhibitor selama kurang lebih 5-7 hari sebelunya. Terdapat 2
prosedur dari RNS, yaitu RNS perlahan dan RNS cepat. RNS perlahan
dilakukan dengan pemberian 3-5 stimulus dengan frekuensi 2-3 Hz.
Normalnya, kontraksi otot akan tetap dapat dilakukan, sedangkan pada pasien
MG, stimulus yang terjadi menyebabkan potensial aksi tidak melewati
ambang batas potensial, sehingga kontraksi otot tidak muncul. Pada RNS
12

cepat, dilakukan pemberian stimulus selama 2-10 detik dengan frekuensi 20-
50 Hz. Normalnya, kontraksi otot akan semakin meningkat, pada MG justru
sebaliknya, kontraksi justru menghilang dan terjadi kelemahan.
Selain RNS, terdapat pula Single-fibre electromyography (SFEMG) tes
elektrodiagnostik ini merupakan tes paling sensitif untuk mendiagnosa MG.
SFEMG normal, pada otot yang lemah dapat menyingkirkan diagnose MG.
SFEMG menggunakan fiber tunggal dimana fiber ini memiliki kemampuan
untuk merekam fiber otot secara lebih spesifik dibandingkan dengan
menggunakan elektroda pada RNS.
4. Tes Farmakologikal
Sesuai patogenesis dari MG, dimana AChR mengalami gangguan sehingga
tidak dapat berikatan dengan ACh, dan ACh yang telah berikatan dengan
AChR dihidrolisis oleh AChE, maka pemberian AChE inhibitor akan
meningkatkan lama waktu ikatan antara ACh dan AChR di membran pos
sinaps, sehingga membuat kontraksi otot tetap terjadi, hal tersebut lah yang
mendasari dilakukannya tes ini. Edrofonium adalah obat AChE inhibitor,
sehingga administrasi dari edrofonium akan menyebabkan membaiknya
kelemahan otot yang terjadi pada pasien MG. Tes ini mengevaluasi
kelemahan sebelum dan sesudah administrasi dari edrofonium pada pasien
MG.
Perlu diperhatikan bahwa pemberian AChE inhibitor memberikan efek
samping yang berbahaya pada beberapa individu, efek samping berupa:
salivasi, lakrimasi, berkeringat, flushing, fasikulasi perioral, bradikardi, blok
konduksi jantung, fibrilasi ventrikel, dan asistol. Atropin harus selalu
disediakan sebagai antidotum dari pemberian edrofonium.
5. Tes Radiologi
Seperti penjelasan sebelumnya, bahwa MG dan timoma adalah penyakit yang
kaitannya erat dalam statistic, oleh karena itu semua penderita MG harus
dilakukan CT-Scan dan MRI thoraks untuk melihat ada atau tidaknya timoma
atau hiperplasia timus. Beberapa studi merekomendasikan untuk
dilakukannya pencitraan ulang pada MG berulang setelah periode penyakit
13

stabil untuk mengeksklusi timoma, yang dapat terjadi pada episode penyakit
MG berikutnya.14,15

2.7. Diagnosis Banding

Beberapa diagnosis banding dari MG adalah:

2.7.1. Sindrom Miastenia Kongenital.

Dibedakan dengan MG, melalui onset klinis dimana pada penyakit ini
biasanya terjadi pada bayi dan anak-anak. Pada pemeriksaan laboratorium akan
didapatkan antibodi yang negatif dan umumnya tidak merespon terhadap
imunoterapi.16,17

2.7.2. Sindrom Guillain-Barre (GBS)

Tampilan klinis GBS adalah adanya keterlibatan dari jaras asenden pada
kelemahan otot. Pada GBS akan ditemukan adanya gangguan pada sistem saraf
otonom, didapatkan arefleksia dan terdapat gangguan sensoris.17

2.7.3. Sindrom Miasthenia Lambert-Eaten (LEMS)

LEMS memiliki gambaran yang sangat mirip dengan MG, bahkan klinis awal
pada penderita LEMS tidak dapat dibedakan dengan penderita MG. Beberapa
gambaran klinis yang dapat membedakan LEMS dengan MG dapat dilihat dari otot
yang mengalami kelemahan dimana LEMS biasnya mengalami kelemahan pada
bagian proksimal dari ekstremitas bawah. Patogenesis dari kedua penyakit ini
berbeda, dimana LEMS mengalami gangguan pada membran pre sinaps akibat
antibodi VGCC sedangkan MG pada membran pos sinaps akibat antibodi AChR.18

2.8. Penatalaksanaan

MG merupakan kelainan neurologik yang paling dapat diobati.


Antikolinesterase (asetilkolinesterase inhibitor) dan terapi imunomudulasi
merupakan penatalaksanaan utama pada MG. Antikolinesterase biasanya
digunakan pada MG yang ringan. Sedangkan pada pasien dengan MG generalisata,
perlu dilakukan terapi imunomudulasi yang rutin.19,20
14

2.8.1. Asetilkolinesterase inhibitor

Dapat diberikan piridostigmin bromida (mestinon) 30-120 mg/3-4 jam/oral.


Dosis parenteral 3-6 mg/4-6 jam/ iv tiap hari akan membantu pasien untuk
mengunyah, menelan, dan beberapa aktivitas sehari-hari. Pada malam hari, dapat
diberikan mestinon long-acting 180 mg. Apabila diperlukan, neostigmin bromida
(prostigmine ): 7,5-45 mg/2-6 jam/oral. Dosis parenteral: 0,5-1 mg/4 jam/iv atau
im. Neostigmin dapat menginaktifkan atau menghancurkan kolinesterase sehingga
asetilkolin tidak segera dihancurkan. Akibatnya aktifitas otot dapat dipulihkan
mendekati normal, sedikitnya 80-90% dari kekuatan dan daya tahan semula.
Pemberian antikolinesterase akan sangat bermanfaat pada MG golongan IIA dan
IIB. Efek samping pemberian antikolinesterase disebabkan oleh stimulasi
parasimpatis,termasuk konstriksi pupil, kolik, diare, salivasi berkebihan,
berkeringat, lakrimasi, dan sekresi bronkial berlebihan. Efek samping
gastrointestinal (efek samping muskarinik) berupa kram atau diare dapat diatasi
dengan pemberian propantelin bromida atau atropin. 19, 20, 21, 22

2.8.2. Kortikosteroid

Dapat diberikan prednison dimulai dengan dosis rawal 10-20 mg, dinaikkan
bertahap (5-10 mg/minggu) 1x sehari selang sehari, maksimal 120 mg/6 jam/oral,
kemudian diturunkan sampai dosis minimal efektif. Efek sampingnya dapat berupa:
peningkatan berat badan, hiperglikemia, osteopenia, ulkus gaster dan duodenum,
katarak. 19, 20, 21,22

2.8.3. Azatioprin

Azatioprin merupakan suatu obat imunosupresif, juga memberikan hasil yang


baik, efek sampingnya sedikit jika dibandingkan dengan steroid dan terutama
berupa gangguan saluran cerna,peningkatan enzim hati, dan leukopenia. Obat ini
diberikan dengan dosis 2-3 mg/kg BB/hari/oralselama 8 minggu pertama. Setiap
minggu harus dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan fungsi hati. Sesudah itu
pemeriksaan laboratorium dikerjakan setiap bulan sekali. Pemberian prednisolon
bersama-sama dengan azatioprin sangat dianjurkan. 19, 21
15

2.8.4. Plasma Exchange (PE)

PE paling efektif digunakan pada situasi dimana terapi jangka pendek yang
menguntungkan menjadi prioritas.Dasar terapi dengan PE adalah pemindahan anti-
asetilkolin secara efektif. Respon dari terapi ini adalah menurunnya titer antibodi.
Dimana pasienyang mendapat tindakan berupa hospitalisasi dan intubasi dalam
waktu yang lama serta trakeostomi, dapat diminimalisasikan karena efek dramatis
dari PE.Terapi ini digunakan pada pasien yang akan memasuki atau sedang
mengalami masa krisis. PE dapat memaksimalkan tenaga pasien yang akan
menjalani timektomi atau pasien yang kesulitan menjalani periode pasca operasi.
Jumlah dan volume dari penggantian yang dibutuhkan kadang-kadang berbeda
tetapi umumnya 3-4 liter sebanyak 5x dalam 2 minggu.21,22,23

2.8.5. Intravenous Immunoglobulin (IVIG)

Dosis standar IVIG adalah 400 mg/kgbb/hari pada 5 hari pertama, dilanjutkan
1 gram/kgbb/hari selama 2 hari.19, 20,21

2.8.6. Timektomi

Timektomi umumnya dianjurkan pada pasienumur 10-55 tahun dengan


MGgeneralisata. Walaupun timektomi merupakan terapi standar di berbagai pusat
pengobatan namun keeefektivitasannya belum dapat dipastikan oleh penelitian
prospektif yang terkontrol. Timektomi diindikasi pada terapi awal pasien dengan
keterlibatan ekstremitas bawah dan bulbar.21, 24

2.9. Prognosis

Gejala awal yang dialami hampir 80% pasien adalah kelemahan otot-otot
ekstraokuler, yang biasanya terjadi pada beberapa bulan hingga satu tahun pertama.
Dari jumlah tersebut 80-85% akan mengalami kelemahan pada otot-otot
ekstremitas beberapa tahun berikutnya. Tingkat keparahan yang berat (krisis
miastenia) dapat ditemukan saat tahun pertama pada hampir dua pertiga pasien.
Gejala bisa diperberat dengan adanya kondisi sistemik yang menyertai, contohnya
gangguan tiroid dan infeksi saluran pernapasan atas. Pada fase awal penyakit, gejala
bisa berfluktuasi dan membaik, walaupun perbaikan jarang yang bersifat permanen.
MG berulang biasanya terjadi dalam kurun waktu sekitar tujuh tahun, diikuti fase
16

inaktif selama sekitar sepuluh tahun. Adanya perkembangan panatalaksanaan


terbaru berupa imunoterapi dan perkembangan alat-alat terapi intensif, menurunkan
resiko kematian akibat MG menjadi kurang dari 5%.25

2.10. Komplikasi

2.10.1 Krisis Miastenia

Krisis miastenia adalah komplikasi dari MG yang ditandai dengan adanya


kelemahan otot yang semakin parah, menyebabkan gagal nafas dan memerlukan
intubasi serta ventilator untuk bernapas. Krisis miastenia dikaitkan dengan
pengobatan yang kurang efektif sehingga gejala kelemahan otot semakin parah.
Ketika hal ini terjadi, maka penggunaan AChE inhibitor harus dihentikan karena
dapat meningkatkan sekresi saliva dan menghambat saluran pernapasan. Gejala lain
berupa: meningkatnya denyut jantung, tekanan darah dan laju napas; inkontinesia;
hilangnya refleks batuk dan menelan; dan menurunnya ekskresi urin.26

2.10.2 Krisis Kolinergik

Krisis kolinergik adalah komplikasi dari MG yang terjadi akibat konsumsi


AChE inhibitor terlalu banyak sehingga kadar ACh, baik nikotinik ataupun
muskarinik, menjadi tinggi. Gejala yang ditimbulkan berupa gejala-gejala akibat
ACh tinggi seperti: meningkatnya eksresi keringat; meningkatnya sekresi lakrimal,
saliva dan pulmonal; mual dan muntah; bradicardi; dan fasikulasi otot. Sama seperti
krisis miastenia, obat AChE inhibitor harus diturunkan atau dihentikan terlebih
dahulu guna menghentikan sekresi pulmonal berlebihan sehingga menyebabkan
distres napas.27
BAB III

RINGKASAN

Miastenia Gravis (MG) adalah suatu bentuk kelainan pada transmisi


neuromuskular yang terjadi pada taut antara serat saraf dan serat otot/
neuromuscular junction (NMJ). Studi mengkaitkan MG diakibatkan oleh autoimun,
walau faktor genetik dan obat-obatan dapat juga menjadi faktor pencetus. Secara
global, insiden dari kejadian MG diestimasikan antara 2 sampai 5 kasus dalam
1.000.000 penduduk pertahunnya. Sedangkan prevalensi dari kejadian MG
diestimasikan berada diantara 7 sampai 20 kasus dari 100.000 penduduk. MG
diklasifikasikan berdasarkan klasifikasi klasik, klasifikasi klinis MGFA dan
klasifikasi Osserman. Pada MG terjadi permasalahan transmisi yang mana terjadi
inhibisi oleh antibodi terhadap reseptor asetilkolin (AChR) di pos sinaps
mengakibatkan tidak sampainya impuls dari serat saraf ke serat otot (tidak terjadi
kontraksi otot). Diagnosis MG ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan elektrodiagnostik SFEMG menjadi
pemeriksaan MG yang paling sensitif.

Diagnosis banding MG dibentuk berdasarkan klinis kelemahan otot yang


terjadi, yaitu: sindrom miastenia kongenital, sindrom Guillain-Barre dan sindrom
miastenia Lambert-Eaten. Penatalaksanaan MG dapat dilakukan dengan
medikamentosa dan non-medikamentosa, yaitu: asetilkolinestarase inhibitor,
kortikosteroid, azatioprin, plasma exchange, intravenous immunoglobulin,dan
timektomi. Prognosis MG untuk hidup dapat dikatakan cukup baik, dimana angka
kematian dari MG hanya kurang dari 5%, untuk fungsi tubuh lainnya dapat
dikatakan cukup baik dimana MG biasanya menyerang otot tanpa menyerang organ
otonom lainnya, untuk sembuh sayangnya cukup sulit dimana MG dapat dikontrol
namun tidak dapat disembuhkan dan pada beberapa studi dapat berulang dalam 7-
10 tahun. Komplikasi dari MG yang paling sering ditemukan adalah krisis
miastenia, dimana MG menjadi semakin parah hingga mengganggu pernapasan
penderita. Selain itu terdapat juga krisis kolinergik akibat penggunan
asetilkonesterasi inhibitor yang terlalu berlebihan.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Statland JM, Ciafaloni E. MG: Five new things. Neurol Clin Pract.
2013;3(2):126–133. doi:10.1212/CPJ.0b013e31828d9fec
2. Romi F, Gilhus NE, Aarli JA. MG: clinical, immunological, and therapeutic
advances. Acta Neurol Scand. 2015; 111: 134-141.
3. Khadilkar SV, Sahni AO, Patil SG. Miastenia gravis. JAPI. 2016; 52:897-903
4. Vernino S., Lennon V.A., Autoantibody profiles and neurological
correlations of thymoma. Clin Cancer Res, 2014; 18: 678-80.
5. Engel A. Myasthenia gravis and myasthenia syndromes. Annals of
Neurology. 2004;16:519-534
6. Gilhus NE, Owe JF, Hoff JM, Romi F, Skeie GO, Aarli JA. Myasthenia
gravis: a review of available treatment approaches. Autoimmune Dis. 2011;
2011:847393. doi:10.4061/2011/847393
7. Jayam Trouth A, Dabi A, Solieman N, Kurukumbi M, Kalyanam J.
Myasthenia gravis: a review. Autoimmune Dis. 2012; 2012:874680.
doi:10.1155/2012/874680
8. Aydin Y, Colak A, Mutlu V, Eroglu A. Thymectomy in myasthenia gravis.
Eurasian J Med. 2017; 49: 48-52. doi:10.5152/eurasianjmed.2017.17009
9. Sieb, J. Myasthenia gravis: an update for the clinician. Clinical &
Experimental Immunology. 2014;175(3): pp.408-418.
10. Vissing, J., O'Brien, F., Wang, J. and Howard, J. Correlation between
Myasthenia gravis−activities of daily living (MG‐ADL) and quantitative
myasthenia gravis (QMG) assessments of anti−acetylcholine receptor
antibody−positive refractory generalized MG in the phase 3 regain study.
Muscle & Nerve. 2018:58(2); pp. E21-E22.
11. Phillips WD, Vincent A. Pathogenesis of myasthenia gravis: update on
disease types, models, and mechanisms. F1000Res. 2016;5:13-15
doi:10.12688/f1000research.8206.1
12. Homel, P. Development of generalized myasthenia gravis in patients with
ocular myasthenia gravis. Archives of Neurology. 2003:60(10); p.1492.

18
13. Venkataramaiah S, Sriganesh K. Management of myasthenia gravis. J
Neuroanaesthesiol Crit Care. 2019;6:153–159. doi: 10.1055/s-0039-
1689739 ISSN 2348-0548
14. Adnyana O, Widyadharma E, Anom A. Diagnosis dan tatalaksana miastenia
gravis. 2013. Diakses pada 15 Maret 2020 di
https://www.researchgate.net/publication/292931538_DIAGNOSIS_DAN_TATA_L
AKSANA_MIASTENIA_GRAVIS
15. Benatar M. A systemic review of diagnostic studies in myasthenia gravis.
Neuromuscular disord. 2016; 16(7): 459-67. ISSN: 0960-8966
16. Wijayanti S. Aspek klinis dan penatalaksanaan miastenisa gravis. 2016.
Diakses pada 15 Maret 2020 di:
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_pendidikan_dir/bccf7d50d5873e07c3211
e891fa2769c.pdf
17. Engstrom JW. Myasthenia gravis: diagnostic mimics. Semin neurol. 2014;
24(2): 141-7. doi: 10.1055/s-2004-830903
18. Kesner VG; Oh SJ; Dimachkie MM; Barohn RJ. Lambert-eaton myasthenic
syndrome. Neurol Clin. 2018; 36(2):379-394. ISSN: 1557-9875
19. Setiyohadi B. Miologi. In: Sudoyo AW, Setiyohadi, Bambang, Alwi, idrus,
Simadibrata K.,Marcellus, Setiati, Siti, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta: Interna Publishing; 2009.
20. Mumenthaler M, Mattle H. Fundamentals of neurology. in: myasthenia
gravis. Germany: Georg Thieme Verlag; 2006
21. Ilmu Penyakit Saraf S. Standar Pelayanan Medik. Makassar: Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin; 2014
22. Feldman EL, Grisold W, Russell JW, Zifko UA. Atlas of neuromuscular
diseases. in: myastenia gravis. Austria: SpringerWienNewYork; 2005:pp337-
44.
23. Ropper AH, Brown, Robert H. ,. Adam and victor's principles of neurology.
In: mg and related disorders of the neuromuscular junction 8 th ed. United
State of America: McGraw-Hill Medical Publishing Division; 2005.
24. Rohkamm R. Color atlas of neurology. in: myopathies. New York: Thieme
Verlag; 2004

19
20

25. Wang L, Zhang Y, He M. Clinical predictors for the prognosis of myasthenia


gravis. BMC Neurol. 2017; 17(77): 10-14 doi: 10.1186/s12883-017-0857-7
26. Wendell LC, Levine JM. Myasthenic crisis. Neurohospitalist. 2011; 1(1): 16–
22. doi: 10.1177/1941875210382918
27. Adeyinka A, Kondamudi NP. Cholinergic Crisis. Treasure Island (FL):
StatPearls Publishing; 2020. Diakses pada 15 maret 2020 di
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK482433/

Anda mungkin juga menyukai