DI SUSUN OLEH :
DEWI ZAKIYAH (20181420146013)
DOSEN PEMBIMBING :
Ns. Asri Kusyani,M.Kep
Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat taufik dan hidayah-Nya sehingga makalah ini selesai tepat pada waktunya.
Penulisan makalah yang berjudul “ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS PADA
GANGGUAN MIASTENIA GRAVIS DAN GBS”, bertujuan untuk memenuhi
tugas Kritis
Kami menyadari bahwa banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini, itu
dikarenakan kemampuan yang terbatas.Namun berkat dorongan dan bimbingan
dari berbagai pihak, akhirnya pembuatan makalah ini tepat pada waktunya. Kami
berharap dalam penulisan makalah ini dapat bermanfaat bagi kami sebagai
penyusun sendiri dan bagi para pembaca pada umumnya serta semoga dapat
menjadi bahan pertimbangan untuk mengembangkan atau meningkatkan prestasi
di masa yang akan datang.
Penyusun
1
DAFTAR ISI
Cove
r
Kata pengantar.......................................................................................................1
Daftar isi..................................................................................................................2
BAB I Pendahuluan...............................................................................................3
1.1 Latar belakang.............................................................................................3
1.2 Rumusan masalah........................................................................................4
1.3 Tujuan..........................................................................................................4
1.4 Manfaat........................................................................................................4
BAB II Tinjauan Teori..........................................................................................5
2.1 Definisi Miastenia Gravis............................................................................5
2.2 Definisi GBS.............................................................................................17
BAB III Asuhan keperawatan.............................................................................25
3.1 Pengkajian.................................................................................................25
3.2 Analisa Data..............................................................................................28
3.3 Diagnosa keperawatan...............................................................................28
3.4 Intervensi keperawatan..............................................................................28
3.5 Implementasi.............................................................................................30
3.6 Evaluasi.....................................................................................................30
BAB IV Penutup...................................................................................................31
4.1 Kesimpulan................................................................................................31
Daftar pustaka......................................................................................................32
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Myastenia gravis adalah salah satu karakteristik penyakit autoimun pada
manusia. Selama beberapa dekade terakhir telah dilakukan penelitian tentang
gejala myastenia pada kelinci yang diimunisasi dengan acetylcholine receptor
(AchR). Sedangkan pada manusia yang menderita myastenia gravis,
ditemukan adanya defisiensi dari acetylcholine receptor (AchR) pada
neuromuscular junction. Pada tahun 1977, karakteristik autoimun pada
myastenia gravis dan peran patogenik dari antibodi AchR telah berhasil
ditemukan melalui beberapa penelitian. Hal ini meliputi demonstrasi tentang
sirkulasi antibodi AchR pada hampir 90% penderita myastenia gravis,
transfer pasif IgG pada beberapa bentuk penyakit dari manusia ke tikus,
lokalisasi imun kompleks (IgG dan komplemen) pada membran post sinaptik,
dan efek menguntungkan dari plasmaparesis.
1.3 Tujuan
1. Menjelaskan tentang penyakit Miastenia Gravis dan GBS
2. Mennjelaskan mengenai konsep asuhan keperawatan pada Miastenia
Gravis dan GBS
1.4 Manfaat
Mengetahui konsep asuhan keperawatan pada pasin dengan gangguan
Miastenia Gravis dan GBS.
BAB II
LANDASAN TEORI
Penyakit autoimun itu sendiri adalah suatu jenis penyakit dimana antibodi
menyerang jaringan-jaringannya sendiri. Myasthenia Gravis dapat menyerang
otot apa saja, tapi yang paling umum terserang adalah otot yang mengontrol
gerakan mata, kelopak mata, mengunyah, menelan, batuk dan ekspresi wajah.
Bahu, pinggul, leher, otot yg mengontrol gerakan badan serta otot yang
membantu pernafasan juga dapat terserang.
2.1.2 Etiologi
Otot-otot dari seluruh tubuh dikontrol oleh impul syaraf yang timbul
dalam otak. Impul-impul syaraf ini berjalan turun melewati syaraf-syaraf
menuju tempat dimana syaraf-syaraf bertemu dengan serabut otot. Serabut
syaraf tidak benar-benar berhubungan dengan serabut otot. Ada tempat atau
jarak antara keduanya, tempat ini disebut neuromuskular junction.
Ketika impul syaraf yang berasal dari otak sampai pada syaraf bagian
akhir, syaraf bagian akhir ini mengeluarkan bahan kimia yang disebut
asetilkolin. Asetilkolin berjalan menyeberangi jarak yang ada diantara serabut
syaraf dan serabut otot (neuromuscular junction) menuju serabut otot dimana
banyak diikat oleh reseptor asetilkolin. Otot menutup atau mengkerut ketika
reseptor telah digiatkan oleh asetilkolin. Pada Myasthenia Gravis, ada
sebanyak 80 % penurunan pada angka reseptor asetilkolin. Penurunan ini
disebabkan oleh antibodi yang menghancurkan dan merintangi reseptor
asetilkolin.
2.1.4 Klasifikasi
(1) Class I Kelemahan otot okular dan Gangguan menutup mata, Otot
lain masih normal
(2) Class II Kelemahan ringan pada otot selain okular, Otot okular
meningkat kelemahannya
(3) Class IIa Mempengaruhi ekstrimitas, Sedikit mempengaruhi otot-
otot oropharyngeal
(4) Class IIb Mempengaruhi otot-otot oropharyngeal dan pernapasan,
Juga mempengaruhi ekstrimitas
(5) Class III Kelemahan sedang pada otot selain okuler, Meningkatnya
kelemahan pada otot okuler
(6) Class IIIa Mempengaruhi ektrimitas , Sedikit mempengaruhi otot-
otot oropharyngeal
(7) Class IIIb Mempengaruhi otot-otot oropharyngeal dan pernapasan,
Juga mempengaruhi ekstrimitas
(8) Class IV Kelemahan berat pada selain otot okuler, Kelemahan berat
pada otot okuler
(9) Class IVa Mempengaruhi ekstrimitas, Sedikit pengaruh pada otot-
otot oropharyngeal
(10)Class IVb Terutama mempengaruhi otot-otot pernapasan dan
oropharyngeal, Juga mempengruhi otot-otot ekstrimitas
(11)Class V Pasien yang membutuhkan intubasi (kecuali pada kasus post-
operative)
1) Test Wartenberg
Bila gejala-gejala pada kelopak mata tidak jelas, dapat dicoba test
Wartenberg. Penderita diminta untuk menatap tanpa kedip kepada suatu
benda yang terletak diatas dan diantara bidang kedua mata untuk
beberapa waktu lamanya. Pada Myasthenia Gravis, kelopak mata yang
terkena akan menunjukkan ptosis.
2) Uji Tensilon (edrophonium chloride)
Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena, bila tidak
terdapat reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8 mg tensilon secara
intravena. Segera setelah tensilon disuntikkankita harus memperhatikan
otot-otot yang lemah seperti misalnya kelopak mata yang memperlihatkan
adanya ptosis. Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis,
maka ptosis itu akan segera lenyap. Pada uji ini kelopak mata yang
lemah harus diperhatikan dengan sangat seksama, karena efektivitas
tensilon sangat singkat.
3) Uji Prostigmin (neostigmin)
Pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin methylsulfat secara
intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin ¼ atau ½ mg). Bila
kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis maka gejala-gejala
seperti misalnya ptosis, strabismus atau kelemahan lain tidak lama
kemudian akan lenyap.
4) Uji Kinin
Diberikan 3 tablet kinina masing-masing 200 mg. 3 jam kemudian
diberikan 3 tablet lagi (masing-masing 200 mg per tablet). Untuk uji ini,
sebaiknya disiapkan juga injeksi prostigmin, agar gejala-gejala miastenik
tidak bertambah berat.Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh
miastenia gravis, maka gejala seperti ptosis, strabismus, dan lain-lain
akan bertambah berat.
5) Laboratorium (Tes darah)
Antistriated muscle (anti-SM) antibody : Tes ini menunjukkan hasil
positif pada sekitar 84% pasien yang menderita timoma dalam usia
kurang dari 40 tahun.Sehingga merupakan salah satu tes yang
pentingpada penderita miastenia gravis. Pada pasien tanpa timomaanti-
SM Antibodi dapat menunjukkan hasil positif pada pasien dengan usia
lebih dari 40 tahun,.
6) Computed Tomography Scan (CT Scan) atau Magnetic Resonance Imaging
(MRI)
Digunakan untuk mengidentifikasi kelenjar thymus yang tidak normal
atau keberadaan dari thymoma.
7) Pulmory Function Test (Test Fungsi Paru-Paru)
Test mengukur kekuatan pernafasan untuk memprediksikan apakah
pernafasan akan gagal dan membawa kepada krisis Myasthenia.
2.1.7 Penatalaksanaan
Myasthenia gravis merupakan kelainan neurologik yang paling dapat
diobati. Antikolinesterase (asetilkolinesterase inhibitor) dan terapi
imunomudulasi merupakan penatalaksanaan utama pada myasthenia gravis.
Antikolinesterase biasanya digunakan pada myasthenia gravis yang ringan.
Sedangkan pada pasien dengan myasthenia gravis generalisata, perlu
dilakukan terapi imunomudulasi yang rutin. Penatalaksanaan myastenia
gravis dapat dilakukan dengan obat-obatan, timomektomi ataupun dengan
imunomodulasi dan imunosupresif terapi yang dapat memberikan prognosis
yang baik pada kesembuhan miastenia gravis.
2.1.8 Komplikasi
1) Myasthenic Crisis
2.2.2 Etiologi
Etiologi GBS sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti
penyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan/
penyakit yang mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya
SGB, antara lain:
1) Infeksi : Misal radang tenggorokan atau radang lainnya.
2) Iinfeksi Virus : Misal Measles, Mumps, Rubela, Influenza A,
Influenza B, Varicella zoster, Infections mono nucleosis (vaccinia,
variola, hepatitis inf, coxakie)
3) Infeksi Lain : Mycoplasma Pneumonia, Salmonella Thyposa,
Brucellosis, Campylobacter Jejuni pada enteritis .
4) Vaksinasi : Rabies, Swine flu
5) Pembedahan
6) Penyakit sistematik:
(1) Keganasan ; Hodgkin’s Disease, Carcinoma,Lymphoma.
(2) Systemic lupus erythematosus
(3) Tiroiditis
(4) Penyakit Addison
7) Kehamilan terutama pada trimester ketiga atau dalam masa nifas.
2.2.3 Patofisiologi
Pasien dengan GBS umumnya hanya akan mengalami satu kali serangan
yang berlangsung selama beberapa minggu, kemudian berhenti spontan untuk
kemudian pulih kembali.Perjalanan penyakit GBS dapat dibagi menjadi 3
fase:
1) Fase progresif.
Umumnya berlangsung 2-3 minggu, sejak timbulnya gejala awal
sampai gejala menetap, dikenal sebagai ‘titik nadir’. Pada fase ini akan
timbul nyeri, kelemahan progresif dan gangguan sensorik; derajat
keparahan gejala bervariasi tergantung seberapa berat serangan pada
penderita. Kasus GBS yang ringan mencapai nadir klinis pada waktu
yang sama dengan GBS yang lebih berat. Terapi secepatnya akan
mempersingkat transisi menuju fase penyembuhan, dan mengurangi
resiko kerusakan fisik yang permanen. Terapi berfokus pada pengurangan
nyeri serta gejala.
2) Fase plateau.
Fase infeksi akan diikuti oleh fase plateau yang stabil, dimana tidak
didapati baik perburukan ataupun perbaikan gejala. Serangan telah
berhenti, namun derajat kelemahan tetap ada sampai dimulai fase
penyembuhan. Terapi ditujukan terutama dalam memperbaiki fungsi yang
hilang atau mempertahankan fungsi yang masih ada. Perlu dilakukan
monitoring tekanan darah, irama jantung, pernafasan, nutrisi,
keseimbangan cairan, serta status generalis. Imunoterapi dapat dimulai di
fase ini. Penderita umumnya sangat lemah dan membutuhkan istirahat,
perawatan khusus, serta fisioterapi. Pada pasien biasanya didapati nyeri
hebat akibat saraf yang meradang serta kekakuan otot dan sendi; namun
nyeri ini akan hilang begitu proses penyembuhan dimulai. Lama fase ini
tidak dapat diprediksikan; beberapa pasien langsung mencapai fase
penyembuhan setelah fase infeksi, sementara pasien lain mungkin
bertahan di fase plateau selama beberapa bulan, sebelum dimulainya fase
penyembuhan.
3) Fase penyembuhan .
Akhirnya, fase penyembuhan yang ditunggu terjadi, dengan
perbaikan dan penyembuhan spontan. Sistem imun berhenti memproduksi
antibody yang menghancurkan myelin, dan gejala berangsur-angsur
menghilang, penyembuhan saraf mulai terjadi. Terapi pada fase ini
ditujukan terutama pada terapi fisik, untuk membentuk otot pasien dan
mendapatkan kekuatan dan pergerakan otot yang normal, serta
mengajarkan penderita untuk menggunakan otot-ototnya secara optimal.
Kadang masih didapati nyeri, yang berasal dari sel-sel saraf yang
beregenerasi. Lama fase ini juga bervariasi, dan dapat muncul relaps.
Kebanyakan penderita mampu bekerja kembali dalam 3-6 bulan, namun
pasien lainnya tetap menunjukkan gejala ringan samapi waktu yang lama
setelah penyembuhan. Derajat penyembuhan tergantung dari derajat
kerusakan saraf yang terjadi pada fase infeksi.
2.2.5 Pemeriksaan Diagnostik
1) Cairan serebrospinal (CSS)
Yang paling khas adalah adanya disosiasi sitoalbuminik, yakni
meningkatnya jumlah protein (100-1000 mg/dL) tanpa disertai adanya
pleositosis (peningkatan hitung sel). Pada kebanyakan kasus, di hari
pertama jumlah total protein CSS normal; setelah beberapa hari, jumlah
protein mulai naik, bahkan lebih lanjut di saat gejala klinis mulai stabil,
jumlah protein CSS tetap naik dan menjadi sangat tinggi. Puncaknya pada
4-6 minggu setelah onset.Derajat penyakit tidak berhubungan dengan
naiknya protein dalam CSS. Hitung jenis umumnya di bawah 10 leukosit
mononuclear/mm
2) Pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS) dan elektromiografi (EMG)
Manifestasi elektrofisiologis yang khas dari GBS terjadi akibat
demyelinasi saraf, antara lain prolongasi masa laten motorik distal
(menandai blok konduksi distal) dan prolongasi atau absennya respon
gelombang F (tanda keterlibatan bagian proksimal saraf),blok hantar saraf
motorik, serta berkurangnya KHS.Pada 90% kasus GBS yang telah
terdiagnosis, KHS kurang dari 60% normal. EMG menunjukkan
berkurangnya rekruitmen motor unit Dapat pula dijumpai degenerasi
aksonal dengan potensial fibrilasi 2-4 minggu setelah onset gejala,
sehingga ampilitudo CMAP dan SNAP kurang dari normal. Derajat
hilangnya aksonal ini telah terbukti berhubungan dengan tingkat
mortalitas yang tinggi serta disabilitas jangka panjang pada pasien GBS,
akibat fase penyembuhan yang lambat dan tidak sempurna. Sekitar 10%
penderita menunjukkan penyembuhan yang tidak sempurna, dengan
periode penyembuhan yang lebih panjang (lebih dari 3 minggu) serta
berkurangnya KHS dan denervasi EMG.
3) Pemeriksaan darah
Pada darah tepi, didapati leukositosis polimorfonuklear sedang
dengan pergeseran ke bentuk yang imatur, limfosit cenderung rendah
selama fase awal dan fase aktif penyakit. Pada fase lanjut, dapat terjadi
limfositosis; eosinofilia jarang ditemui. Laju endap darah dapat
meningkat sedikit atau normal, sementara anemia bukanlah salah satu
gejala
4) Elektrokardiografi (EKG)
Menunjukkan adanya perubahan gelombang Tserta sinus
takikardia.Gelombang T akan mendatar atau inverted pada lead lateral.
Peningkatan voltase QRS kadang dijumpai, namun tidak sering.
(1) Tes fungsi respirasi (pengukuran kapasitas vital paru)
Menunjukkan adanya insufisiensi respiratorik yang sedang berjalan
(impending).
(2) Pemeriksaan patologi anatomi
Umumnya didapati pola dan bentuk yang relatif konsisten; yakni adanya
infiltrat limfositik mononuklear perivaskuler serta demyelinasi
multifokal. Pada fase lanjut, infiltrasi sel-sel radang dan demyelinasi ini
akan muncul bersama dengan demyelinasi segmental dan degenerasi
wallerian dalam berbagai derajat Saraf perifer dapat terkena pada semua
tingkat, mulai dari akar hingga ujung saraf motorik intramuskuler,
meskipun lesi yang terberat bila terjadi pada ventral root, saraf spinal
proksimal, dan saraf kranial.Infiltrat sel-sel radang (limfosit dan sel
mononuclear lainnya) juga didapati pada pembuluh limfe, hati, limpa,
jantung, dan organ lainnya.
2.2.6 Penatalaksanaan
1) Pengaturan jalan napas
Respirasi diawasi secara ketat terhadap perubahan kapasitas vital dan
gas darah yang menunjukkan permulaan kegagalan pernafasan.Setiap ada
tanda kegagalan pernafasan maka penderita harus segera dibantu dengan
oksigenasi dan pernafasan buatan. Trakheotomi harus dikerjakan atau
intubasi penggunaan ventilator jika pernafasan buatan diperlukan untuk
waktu yang lama atau resiko terjadinya aspirasi. Walaupun pasien masih
bernafas spontan, monitoring fungsi respirasi dengan mengukur kapasitas
vital secara regular sangat penting untuk mengetahui progresivitas
penyakit.
2) Pemantauan EKG dan tekanan darah
Monitoring yang ketat terhadap tekanan darah dan EKG sangat
penting karena gangguan fungsi otonom dapat mengakibatkan timbulnya
hipotensi atau hipertensi yang mendadak serta gangguan irama jantung.
Untuk mencegah takikardia dan hipertensi, sebaiknya diobati dengan
obat-obatan yang waktu kerjanya pendek (short-acting), seperti :
penghambat beta atau nitroprusid, propanolol. Hipotensi yang disebabkan
disotonomi biasanya membaik dengan pemberian cairan iv dan posisi
terlentang (supine). Atropin dapat diberikan untuk menghindari episode
brakikardia selama pengisapan endotrakeal dan terapi fisik. Kadang
diperlukan pacemaker sementara pada pasien dengan blok jantung derajat
2 atau 3.
3) Plasmaparesis
Pertukaran plasma (plasma exchange) yang menyebabkan reduksi
antibiotik ke dalam sirkulasi sementara, dapat digunakan pada serangan
berat dan dapat membatasi keadaan yang memburuk pada pasien
demielinasi.Bermanfaat bila dikerjakan dalam waktu 3 minggu pertama
dari onset penyakit. Jumlah plasma yang dikeluarkan per exchange adalah
40-50 ml/kg. Dalam waktu 7-14 hari dilakukan tiga sampai lima kali
exchange. Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk
mengeluarkan faktor autoantibodi yang beredar. Albumin : dipakai pada
plasmaferesis, karena Plasma pasien harus diganti
dengan suatu substitusi plasma.
4) Pengobatan imunosupresan:
Pengobatan imunosupresan berfungsi untuk menekan pembentukan
antibody.
Imunoglobulin IV : Beberapa peneliti pada tahun 1988 melaporkan
pemberian immunoglobulin atau gamaglobulin pada penderita GBS yang
parah ternyata dapat mempercepat penyembuhannya seperti halnya
plasmapharesis.Gamaglobulin (Veinoglobulin) diberikan perintravena
dosis tinggi.Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih
menguntungkan dibandingkan plasmaparesis karena efek
samping/komplikasi lebih ringan tetapi harganya mahal. Dosis aintenance
0.4 gr/kg BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4
gr/kg BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh. imunoglobulin intravena (IVIG
7s) : dipakai untuk memperbaiki aspek klinis dan imunologis dari GBS dan
Dosis dewasa adalah 0,4 g/kg/hari selama 5 hari (total 2 g selama 5 hari)
dan bila perlu diulang setelah 4 minggu. Kontraindikasi IVIg : adalah
hipersensitivitas terhadap regimen ini dan defisiensi IgA, antibodi anti IgE/
IgG. Tidak ada interaksi dng obat ini dan sebaiknya tidak diberikan pd
kehamilan.
5) Perawatan umum :
Perawatan immobilisasi : Mencegah timbulnya luka baring/bed sores
dengan perubahan posisi tidur.
6) Fisioterapi yang teratur dan baik juga penting. Fisioterapi dada secara
teratur untuk mencegah retensi sputum dan kolaps paru. Segera setelah
penyembuhan mulai fase rekonvalesen) maka fisioterapi aktif dimulai
untuk melatih dan meningkatkan kekuatan otot.
7) Spint mungkin diperlukan untuk mempertahakan posisi anggota gerak
yang lumpuh.
8) Kekakuan sendi dicegah dengan gerakan pasif. Gerakan pasti pada kaki
yang lumpuh mencegah deep voin thrombosis.
9) Perawatan kulit, kandung kemih, saluran pencernaan, mulut, faring dan
trakhea.
10) Infeksi paru dan saluran kencing harus segera diobati.
11) Bila ada nyeri otot dapat dapat diberikan analgetik.
2.2.7 Komplikasi
3.1 Pengkajian
1. Identitas :
Nama : Tn. A
Umur : 45 th
Jenis kelamin : Laki-laki
2. Keluhan utama : susah napas
3. Riwayat penyakit sekarang : Tn.A mengeluh susah napas, dada terasa
berat, serta gelisah. Tn. A telah menderita demam sejak 3 hari yang lalu,
serta kakinya tidak bisa digerakkan.
4. Riwayat penyakit dahulu : Perlu dikaji apakah ada riwayat penyakit ISPA
dan infeksi saluran pernapasan, selain itu juga apakah Tn. A pernah
mengkonsumsi obat jenis kortikosteroid, antibiotik, atau sebagainya
dalam jangka waktu yang lama.
5. Riwayat penyakit keluarga : -
6. Pemeriksaan fisik :
B3 [Brain] :
3.3 Intervensi
Diagnosa keperawatan Tujuan & Kritria hasil Intervensi
Tgl/jam Implementasi
3.5 Evaluasi
Intervensi Rasionalisasi
1. Kaji Kemampuan ventilasi Untuk klien dengan penurunan
kapasitasventilasi, perawat
mengkaji frekuensipernapasan,
kedalaman, dna bunyi
nafas,pantau hasil tes fungsi paru-
paru tidal, kapasitas vital,
kekuatan inspirasi),dengan interval
yang sering dalammendeteksi
masalah pau-paru,
sebelumperubahan kadar gas darah
arteri dansebelum tampak gejala
klinik.
Intervensi Rasionalisasi
1. Kaji kemampuan klien dalam Menjadi data dasar dalam
melakukan aktivitas melakukan intervensi selanjutnya
Intervensi Rasionalisasi
1. Kaji komunikasi verbal klien. Kelemahan otot-otot bicara klien
krisis miastenia gravis dapat
berakibat pada komunikasi
Intervensi Rasionalisasi
1. Kaji perubahan darigangguan Menentukan bantuan individual
persepsi danhubungan dengan dalammenyusun rencana
derajat ketidakmampuan perawatan ataupemilihan
intervensi.
Guillain Barre Syndrome (GBS) adalah penyakit yang langka dan dapat
disembuhkan akan tetapi nyeri ringan masih timbul dan derajat penyembuhan
tergantung dari derjat kerusakan saraf yang terjadi pada fase infeksi. Guillain
- Barre Syndrome (GBS) merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai
adanya paralisis yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun
dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis. Manifestasi
klinis berupa kelumpuhan, gangguan fungsi otonom, gangguan sensibilitas,
dan risiko komplikasi pencernaan.
DAFTAR PUSTAKA
Arie, Gde Agung Anom, Made Oka Adnyana & I Putu Eka Wisyadharma.
Diagnosis dan Tata Laksana Myasthenia Gravis (Jurnal), diakses pada 13
Maret 2016 pk. 20.32 WIB.
Black, Joys & Jane Hokanson. 2009. Medical Surgical nursing : Clinical
Management for Positive Outcomes 8th Edition. USA: Elsevier
Doenges, Marlynn E. 2000. RencanaAsuhan Keperawatan, Pedoman Untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. EGC: Jakarta
Morton, Patricia Gonce & Dorre K. Fontaine. 2009. Critical Care Nursing : a
Holistic Approach 9th Edition. China: Lippicont
PPNI (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia : Definisi dan
Indikator Diagnostik, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI
PPNI (2016). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria
Hasil Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI
PPNI (2016). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan
Tindakan Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI